Meskipun konflik di Aceh dan Papua memiliki beberapa kesamaan tetapi pendekatan yang diambil pemerintah untuk mengatasi konflik di kedua tempat berbeda. Seperti yang diungkapkan mantan Kepala Badan Intelijen Negara, A.M. Hendropriyono, pemerintah tidak hanya menghadapi Organisasi Papua Merdeka (OPM), melainkan juga persoalan kewarganegaraan dan sumber daya alam. Ia mengungkapkan hal ini dalam simposium nasional “Memutus Mata Rantai Radikalisme dan Terorisme” di Jakarta, Selasa sore, 27 Juli 2010.
“Metode dan objeknya berbeda antara GAM dan OPM. Apakah OPM itu betul tidak objek (yang harus dibasmi), atau otonomi khusus, apakah itu menyelesaikan masalah. Juga masalah lingkungan di Papua. Di satu kabupaten di Papua New Guinea (PNG), ada yang mengibarkan bendera merah putih. Tetapi kalau ditanya, dia (mengaku) orang PNG. Ada hukum agraria Indonesia yang mengakui hukum hak ulayat (hak masyarakat adat),” ungkap Hendropriyono.
Sedangkan persamaan antara konflik di Aceh dan Papua adalah tidak ada kekerasan antar kelompok etnis seperti di Sambas, Kalimantan Barat, atau antara warga Kristen dan Islam, seperti di Poso dan Ambon. Selain itu, baik warga Aceh maupun Papua sama-sama mengalami kekerasan akibat konflik vertikal antara gerakan separatisme dengan negara.
Dalam kesempatan yang sama, Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf juga menyampaikan analisanya terhadap konflik yang terjadi di Aceh dan Papua. Menurutnya perbedaan diantara keduanya adalah dalam hal persatuan warga. Tanpa persatuan yang solid antar warga, maka akan semakin mudah bagi pihak-pihak luar untuk melakukan provokasi kemerdekaan.
“Kawan-kawan di Papua secara internal tidak begitu solid, di Aceh punya satu pimpinan dan (warga) tunduk pada pemimpin sipil. Di Papua masih ada perang suku dan tawuran antar kampung. Jika di Papua mereka sudah satu suara, maka akan lebih mudah bagi pemerintah untuk bernegosiasi,” jelas Irwandi Yusuf.
Wikimedia commons
Demonstrasi yang dilakukan oleh para aktivis Organisasi Papua Merdeka (OPM) di Papua.
Disamping itu, persoalan di Papua tidak sederhana, karena menyangkut pula pengelolaan sumber daya alam oleh pihak asing, seperti Freeport, perusahaan tambang emas yang berkantor pusat di Amerika, yang beroperasi di Timika. Banyak warga Papua mengeluh, kekerasan yang dilakukan aparat TNI dan polisi semakin menjadi-jadi sejak Freeport beroperasi disana.
Menurut Ketua Dewan Adat Papua (DAP), Forkorus Yoboisembut, ada dua motif dibelakang terjadinya konflik berlatar belakang separatisme di Papua. Pertama, gerakan yang direkayasa pejabat sipil setempat. Kedua, gerakan separatisme yang memang ingin memperjuangkan nasib rakyat Papua.
“Itu pihak-pihak tertentu, misalnya kurang suka dengan pemerintah pusat, ingin lekas naik pangkat dan jabatan, lalu direkayasa untuk menunjukkan pada Jakarta. Tapi ada yang murni berjuang sebagai bangsa Papua, merasa berhak menentukan nasib bangsanya sendiri, dan ini ada dalam sejarah deklarasi 19 Oktober 1961,” kata Forkorus Yoboisembut.
Pendekatan yang dilakukan pemerintah melalui otonomi khusus ternyata juga tidak memuaskan rakyat Papua. Juni lalu, persatuan warga adat malah meminta Majelis Rakyat Papua (MRP) dan Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) mengembalikan otonomi khusus itu kepada pusat
Dialog JaKARTA-PAPUA, merupakan suatu solusi yang baik untuk menyelesaikan berbagai masalah yang terjadi selama sekian tahun di Tanah Papua ,. oleh sebab itu semua pihak harus menerima dialog yang di usulkan oleh LIPI dan tokoh – tokoh agama tersebut, karena melalui dialog inilah kita akan menemukan suatu solusi yang baik untuk menyelesaikan kasus- kasus yang terjadi di Tanah Papua agar terciptanya suatu kepercayaan di dalam benak Orang asli Papua terhadap memerintah Pusat, dan jangan menganggap dialog sebagai suatu titik akhir dalam perjuangan untuk PApua MERDEKA pendapat ini merupakan suatu pemahaman yang sempit tentang dialog yang di upayakan tersebut.
Dialog JaKARTA-PAPUA, merupakan suatu solusi yang baik untuk menyelesaikan berbagai masalah yang terjadi selama sekian tahun di Tanah Papua ,. oleh sebab itu semua pihak harus menerima dialog yang di usulkan oleh LIPI dan tokoh – tokoh agama tersebut, karena melalui dialog inilah kita akan menemukan suatu solusi yang baik untuk menyelesaikan kasus- kasus yang terjadi di Tanah Papua agar terciptanya suatu kepercayaan di dalam benak Orang asli Papua terhadap memerintah Pusat, dan jangan menganggap dialog sebagai suatu titik akhir dalam perjuangan untuk PApua MERDEKA pendapat ini merupakan suatu pemahaman yang sempit tentang dialog yang di upayakan tersebut.
dialogue dengan siapa dan siapa yang berdialog dulu. Bukan masalah dialogue atau tidak, tetapi siapa yang berdialogue?
kedua, apa yang menjadi bahan dialogue itu?
Ketiga bagaimana dialogue itu dilakukan/
tanpa kejelasan ini semua, siapa yang mau dijebak terjerumus ke dalam lubang buaya, seperti pengalaman selama hampir setengah abad ini/ siapa tidak tahu Indonesia?
dialogue dengan siapa dan siapa yang berdialog dulu. Bukan masalah dialogue atau tidak, tetapi siapa yang berdialogue?
kedua, apa yang menjadi bahan dialogue itu?
Ketiga bagaimana dialogue itu dilakukan/
tanpa kejelasan ini semua, siapa yang mau dijebak terjerumus ke dalam lubang buaya, seperti pengalaman selama hampir setengah abad ini/ siapa tidak tahu Indonesia?