JAYAPURA- Ribut-ribut soal sikap Majelis Rakyat Papua (MRP) yang mengancam akan memboikot Pemilu 2009 jika jatah 11 kursi di DPR Papua tidak diakomodir, rupanya ditanggapi serius DR Agus Sumule dan Ketua KPU Provinsi Papua Benny Sweny S.Sos. Sebagai salah seorang perumus Undang Undang 21 tahun 2001 tentang Otsus bagi Papua, Agus Sumule mengatakan kalau sikap itu bukanlah suatu jalan keluar yang baik.
“Tanggung jawab MRP memang untuk mengingatkan semua Parpol, tetapi memboikot Pemilu bukanlah jalan keluar,” katanya kepada Cenderawasih Pos kemarin.
Staf ahli Gubernur Papua ini lalu menjelaskan bahwa selama ini sebagian orang telah salah mengerti tentang amanat Pasal 28 UU 21/2001 itu. Khusus pada ayat 3 yang mengatakan bahwa rekriutmen politik oleh Parpol di Provinsi Papua dilakukan dengan memprioritaskan masyarakat asli Papua.
“Di sini orang sudah salah mengerti, orang mengartikan bahwa di DPRP itu yang diprioritaskan itu orang asli Papua. Itu memang benar, tetapi yang seharusnya itu adalah Parpol harus merekrut pengurus atau anggotanya mayoritas adalah orang asli Papua, itu yang dimaksud oleh pasal 28 ayat 3 itu,” terangnya.
Dengan begitu kata dia, kalau semua Parpol pendekatannya seperti itu dengan memprioritaskan orang asli Papua, maka dengan sendirinya kursi di DPRP itu akan diduduki oleh orang asli Papua. Tetapi kenyataannya tidak seperti itu, sehingga tidak heran jika orang asli Papua belum menjadi mayoritas di DPR Papua maupun di Parpol.
Karena itu untuk memperbaiki keterwakilan orang asli Papua di DPRP itu, ketika UU 21 tahun 2001 disusun, maka dibuat lembaga MRP sebagai lembaga representase cultural dalam rangka melindungi hak – hak orang asli Papua ini. Selanjutnya dibuat juga ketentuan tentang jumlah anggota DPRP sebanyak 11/4 kali dari ketentuan nasional.
“Tapi yang tambahan 1/4 ini jangan disalah artikan bahwa itu harus orang asli Papua,” imbuhnya serius. Karena pengertiannya memprioritaskan orang asli Papua adalah melalui Parpolnya. “Kalau ingin orang asli Papua sebanyak mungkin masuk ke DPRP maka caranya dengan mengacu pada pasal 28 ayat 3 itu,” jelasnya.
Hal ini kemudian diatur dalam pasal 28 UU 21/2001 agar dapat memperbaiki keterwakilan orang asli Papua di DPRP, DPRD maupun di DPR RI. Itu artinya setiap Parpol wajib memprioritaskan orang asli Papua dalam merekrut anggota atau pengurusnya.
Hanya saja kata Agus Sumule, ia tidak setuju kalau anggota DPRP untuk orang asli Papua tidak melalui pemilihan. “Kalau tidak melalui pemilihan itu tidak benar, untuk menjadi anggota DPRP ataupun DPRD tentu harus melalui pemilihan, itu aturan baku,” tukasnya serius.
Tentang prioritas Parpol terhadap orang asli Papua itu lanjut Agus Sumule, adalah tugas KPU dan MRP sendiri untuk mengecek langsung ke masing-masing Parpol, apakah mereka sudah memprioritaskan orang asli Papua atau tidak. “Kalau dapat MRP memanggil semua Parpol atau KPU harus mendatangi semua Parpol untuk mengecek siapa saja pengurusnya,” sarannya.
Selama ini yang terjadi tidak sesuai dengan ketentuan, hal itu karena KPU tidak pernah menegur Parpol seolah – olah yang 1/4 itu harus orang asli Papua. “Itu salah harusnya seluruhnya dalam arti Parpol harus merekrut anggotanya dengan memprioritaskan orang asli Papua,” katanya lagi. Karena itu, MRP wajib proaktif dan berkomunikasi dengan Parpol karena MRP bertanggung jawab melindungi hak – hak orang asli Papua.
Terkait dengan itu pihak KPU Provinsi Papua mendesak gubernur dan DPRP segera membuat produk hukum yang mengatur tentang jatah 11 kursi di DPR Papua bagi orang asli Papua. “Karena itu saya mendesak kepada lembaga terkait seperti DPRP, gubernur dan dengan persetujuan MRP untuk menghasilkan produk hukum ini, demi memperjuangkan hak-hak orang asli Papua,” ungkap Ketua KPU Papua, Benny Sweny,S.Sos saat ditemui di kantornya, Kamis (3/7) kemarin.
Pihaknya kembali menjelaskan, sebagaimana pertemuannya dengan MRP, 11 kursi itu jangan dijadikan satu dengan 45 kursi yang lain dan didistribusikan ke 6 Dapil di Papua.
“Minggu ini keputusan KPU tentang pembagian jumlah kursi di 6 Dapil itu akan keluar. Saya akan ke KPU Pusat dengan membawa surat MRP mengenai hal itu, besok (hari ini,red), sehingga ada langkah dari KPU untuk memending keputusan itu,” paparnya.
Ditegaskan, untuk pengaturan jatah 11 kursi itu perlu dasar hukum (legal basic), yang dapat memberikan legitimasi bagi KPU Papua untuk melaksanakan proses penentun 11 kursi itu. “Harus ada peraturan yang bisa menjabarkan pasal 6 UU 21 Tahun 2001 tentang 1/4 atau 25% dari anggota DPR Papua itu. Misalnya, bagaimana melakukan pemilihan terhadap 11 orang itu, lalu bentuk seleksinya bagaimana. Apa persyaratan atau criteria bagi calon yang akan mengambil 11 kursi itu. Ini harus ada dasar hukumnya,” tandasnya.
“Saya menyayangkan. Mengapa air sudah di leher baru kita mendesak. Kalau ini sudah dilakukan pada tahun-tahun yang lalu barangkali kita sudah mempunyai dasar hukum dan kita tinggal mengatur bagaimana proses pemilihan 45 kursi diperebutkan oleh Parpol secara umum dan 11 kursi diperebutkan oleh orang asli Papua dengan dasar hukum yang dihasilkan oleh DPRP dan gubernur itu serta dukungan MRP itu,” tandasnya.
Kemudian terkait rekruitmen politik yang dilakukan Parpol dengan harus memprioritaskan orang-orang asli Papua juga belum ada aturan hukumnya.
“Saya kira MRP juga harus merumuskan suatu kebijakan atau keputusan bagaimana bentuk pertimbangan yang diberikan, yang akan menjadi landasan hukum bagi KPU untuk menverifikasi terhadap daftar calon anggota DPRP dan DPRD. Ini ada dalam pasal 28 ayat 4. yang berbunyi, dalam rekrutmen politik, perlu pertimbangan dari MRP dan itu harus lebih memprioritaskan orang-orang asli Papua,” terangnya.
Jadi kalau sayarat dalam UU No 10 Tahun 2008 sudah jelas, misalnya calon anggota DPRD atau DPRP itu harus WNI, umur diatas 21 tahun, kemudian ijazah minimal SMA. “Lalu pertimbangan MRP seperti apa. Supaya menjadi dasar untuk verifikasi. Misalnya calon yang diajukan Parpol itu yang orang asli Papua harus berapa persen. Kalau tidak memenuhi kita kembalikan,” sambungnya.
Ditambahkan, yang bisa diverifikasi sekarang ini adalah 30% perempuan. “Ini sudah jelas dalam UU 10 Tahun 2008. Kalau daftar calon anggota DPRD/DPRP tidak memenuhi 30% atau dalam urut satu sampai 3 tidak ada perempuannya, maka kita kembalikan berkasnya,” imbuhnya.
“Kalau Perdasus atau Perdasi tentang ini semua tidak ada. Lalu kita dituntut untuk berani, lalu bagaimana. Kita berani saja asal ada dasar hukumnya. Tanpa dasar hukum kita bisa ramai-ramai masuk penjara,” pungkasnya. (ta/fud)