Anggota DPR RI Dari Partai Demokrat Dapil Papua, Willem Wandik S.Sos.JAYAPURA – Divestasi Saham memiliki makna yang cukup mendalam bagi keberlangsung hak-hak rakyat dan bangsa Papua untuk mengelola sumber daya alam di tanahnya sendiri, yang mana divestasi saham adalah menjadikan rakyat dan bangsa Papua sebagai pemilik sah umber daya pertambangan yang dikelola oleh Pt. Freeport Indonesia.
Namun jika elit-elit Jakarta berusaha menghalang-halangi keinginan luhur rakyat dan bangsa Papua untuk menjadi pemilik sebagian saham PT. Freeport Indonesia, maka sejatinya kita sedang berperang melawan para elit-elit Jakarta yang berusaha merampas hak-hak rakyat dan bangsa Papua untuk memperoleh kembali anugerah Tuhan yang telah diberikan kepada rakyat Papua yang mempunyai cirri khas tersendiri yakni berambut keriting dan berkulit hitam ini
Anggota DPR RI dari Demokrat Daerah Pemilihan (Dapil) Papua, Willem Wandik mengatakan, Divestasi saham (pengambilalihan sebagian saham) yang dimiliki PT. Freeport Indonesia yang telah dijadwalkan oleh Pemerintah Pusat pada, 14 Oktober 2015 mendatang dengan rencana pelepasan saham tahap pertama sebesar 10,64%) terlihat syarat dengan kepentingan elit-elit Jakarta.
“Pengambilalihan sebagian saham yang dimiliki PT. Freeport Indonesia merupakan momentum pengambilalihan saham (divestasi saham) harus menjadi konsen serius seluruh generasi di Tanah Papua yang saat ini bertanggungjawab memegang otoritas kekuasaan, baik itu di birokrasi Pemerintahan Daerah (Gubenur, Bupati/ Walikota) maupun representasi rakyat di Tanah Papua (DPR RI, MRP, DPRP, dan DPRD),” kata Willem Wandik kepada Bintang Papua, pada Minggu (29/9/2015).
Menurutnya, dalam negosiasi yang berproses disepanjang Tahun 2015 ini, terlihat pembicaraan dilakukan secara sepihak oleh Pemerintah Pusat dalam menentukan langkah-langkah negosiasi kontrak, termasuk menentukan siapa pihak-pihak yang boleh ikut serta dalam skema besar renegosiasi yang dibahas secara eksklusif oleh para elit-elit Jakarta.
“Monopoli kepentingan negosiasi divestasi saham, benar-benar telah menunjukkan proses pengambilan kebijakan yang bertalian dengan kepentingan investasi besar pengelolaan sumber daya pertambangan di Tanah Papua, dikendalikan secara rapi oleh penguasa Jakarta,” katanya.
Dikatakannya, divestasi saham yang sedang diperjuangkan pada saat ini memiliki arti penting sebagai langkah awal merubah perjalanan sejarah pengelolaan pertambangan PT. Freeport Indonesia yang sebelumnya hanya menempatkan rakyat Papua yang berkulit hitam dan berambut keriting diwilayah penambangan kaya emas, hanya sebatas “kelas pekerja kasar” yang diberi upah murah, tanpa hak kepemilikan langsung terhadap kekayaan “resources” yang melimpah di tanahnya sendiri.
Oleh karena itu, momentum pengambilalihan saham (divestasi saham) harus menjadi konsen serius seluruh generasi di Tanah Papua yang saat ini bertanggung jawab memegang otoritas kekuasaan, baik itu di birokrasi Pemerintahan Daerah (Gubenur, Bupati/ Walikota) maupun representasi rakyat di Tanah Papua (DPR RI, MRP, DPRP, dan DPRD).
“Saat ini merupakan momentum yang tepat untuk bekerja serius untuk mengembalikan hak rakyat Papua, sebagai pemilik sah pengelolaan sumber daya pertambangan, melalui perjuangan untuk memiliki sebagian saham di PT. Freeport Indonesia,” tegas dia.
Menurutnya, dari generasi ke generasi, kaum intelektual dan pemerhati persoalan di Tanah Papua, yang telah berlangsung beberapa decade selama ini telah menyaksikan monopoli kepentingan Jakarta atas pengelolaan sumber daya pertambangan yang dikuasai oleh PT. Freeport Indonesia.
Dimana hak kepemilikan saham bukanlah hak yang hanya boleh dimonopoli oleh elit-elit Jakarta atau Pemerintah yang bernama Pusat (Jakarta). “Tanah Papua juga merupakan bagian dari republik ini karena kesuksesan pembangunan nasional turut serta dipengaruhi oleh keberhasilan daerah membangun kawasannya masing-masing,” ucapnya.
Lanjut dia, di tanah Papua terdapat Gubernur, Bupati, Walikota sebagai wakil Pemerintah Pusat yang wajib diperkuat dengan pemberian otonomi dalam pengelolaan sumber daya strategis bagi daerahnya masing-masing.
Namun kehadiran mareka bukan malah dimonopoli pengelolaan sumber daya strategis yang dimiliki daerah oleh Pusat, sehingga menjadikan daerah seperti Tanah Papua mengalami ketergantungan fiskal (keuangan) terhadap Pemerintah Pusat secara terus menerus.
Politisi Partai Demokrat itu, menegaskan bahwa dalam pengelolaan fiskal (keuangan) daerah telah diamanatkan oleh Undang- Undang Desentralisasi, skema pemberian otonomi kepada daerah otonom yang dibagi kedalam dua kepentingan utama yaitu pertama pemberian kewenangan kepada daerah otonom untuk mengelola sumber-sumber pendapatan daerah untuk memperkuat pembangunan di daerah, dan kedua penguatan kapasitas fiskal (keuangan) daerah agar tidak tergantung secara terus menerus terhadap sumber pendanaan yang berasal dari APBN Pusat.
Untuk itu, Willem Wandik berharap agar penguatan kewenangan pemerintah daerah dalam mengelola sumber pendapatan asli bisa dapat membangun kemandirian daerah untuk mengelola secara mandiri terhadap sumber pendapatannya sendiri dan dapat mendanai secara mandiri agenda pembangunan di daerahnya masing-masing. “Ketidakberdayaan pelaksanaan otonomi daerah di Tanah Papua lebih disebabkan monopoli penguasaan aset-aset strategis yang dikendalikan sepenuhnya oleh Pemerintah Pusat,” katanya.
Lebih jauh disampaikan Willem Wandik bahwa desentralisasi tidak akan berjalan baik, apabila sumber pendapatan daerah di Tanah Papua turut dibajak oleh mekanisme yang masih mempertahankan sentralisasi pengelolaan sumber daya alam.
Namun menjadi pertanyaan siapa yang disebut sebagai Pemerintah di negeri ini? Pemerintah di Jakarta atau Pemerintah di Tanah Papua dan siapa sasaran tujuan pengelolaan sumber daya pertambangan yang menguras habis resources yang terdapat di daerah?. “Apakah rakyat yang ada di pusat atau rakyat yang ada di negeri-negeri terpencil di Tanah Papua,” tanyanya.
Ia menandaskan, Gubernur Papua, Para Bupati, Walikota, MRP, DPRP, DPRD, adalah simbol negara kesatuan Republik yang berada di Tanah Papua. “Mereka adalah penyelenggara negara di daerah yang menjalankan fungsi pemerintahan untuk mencapai tujuan berbangsa dan bernegara,” katanya.
Sambung Willem, jika Gubernur Papua, Para Bupati, Walikota, MRP, DPRP, DPRD seabgai representasi negara yang diakui oleh sistem ketatanegaraan nasional, mengapa negosiasi divestasi saham PT. Freeport Indonesia, hanya melibatkan segelintir elit-elit Jakarta sebagai penentu kebijakan pengambil-alihan saham milik PT. Freeport Indonesia.
Padahal, kata dia, melalui Pemerintah Daerah di Tanah Papua (simbol negara kesatuan Republik di daerah) telah berulang kali meminta kepada Pemerintah Pusat terkait kepentingan rakyat di Tanah Papua untuk memiliki sebagian saham di PT. Freeport Indonesia.
Kata dia, Pemerintah Daerah di Tanah Papua selalu dijadikan sebagai simbol negara kesatuan Republik di daerah, sehingga kali sudah saatnya meminta kepada Pemerintah Pusat terkait kepentingan rakyat di Tanah Papua untuk memiliki sebagian saham di PT. Freeport Indonesia.
“Rakyat di Tanah Papua tidak lagi ingin secara terus menerus dijadikan sebagai buruh pekerja di wilayah penambangan PT. Freeport Indonesia. Kini sudah saatnya diberikan kepada rakyat Papua selaku kepemilikan lahan, kawasan hutan, gunung, lembah,” tukas Willem.
Willem kembali menegaskan, bahwa jika elit-elit jakarta berusaha menghalang-halangi keinginan luhur rakyat dan bangsa Papua untuk menjadi pemilik sebagian saham PT. Freeport Indonesia, maka sejatinya kita sedang berperang melawan para elit-elit Jakarta yang berusaha merampas hak-hak rakyat dan bangsa Papua untuk memperoleh kembali anugerah Tuhan yang telah diberikan kepada rakyat Papua. “Hak Tanah Papua untuk memiliki saham PT. Freeport Indonesia adalah hak yang juga diakui oleh konstitusi sehingga tidak ada yang salah dengan konstitusi negara ini,” tutupnya. (Loy/don/l03/par
Sumber: Senin, 28 September 2015 06:31, BintangPapua.com