Tag: opini penjajah

  • Wartawan Asing di Papua Bisa Buka Kemunafikan Indonesia

    Selasa, 07 Juni 2016

    Sudah Saatnya Indonesia Takut Papua Merdeka “Kita anggap ini serius.” kata Tantowi Yahya

    Anggota Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI Tantowi Yahya meminta, pemerintah serius menangani persoalan keamanan di Papua.

    Ia juga mengkritisi pemberian izin masuk ke Papua kepada wartawan asing, lantaran tanpa melalui proses diskusi bersama dengan DPR.

    “Kita anggap ini serius, tapi kebijakan ini, persoalan Papua selalu seakan dianggap tidak penting,” kata Tantowi di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Senin, 15 Februari 2016.

    Menurut Tantowi, saat ini terdapat internasionalisasi isu terkait Papua. Jika dahulu tentang kemerdekaan, maka menurutnya saat ini ada yang mengangkat isu-isu tentang pelanggaran HAM di Papua.

    “Ketika mereka angkat soal pelanggaran HAM, simpati datang dari mana-mana. Karena pelanggaran HAM adalah isu seksi,” ujarnya menambahkan.

    Tantowi mengatakan, ia tidak anti dengan keterbukaan pers. Namun ia menilai harus ada kehati-hatian dari pemerintah dalam pemberian izin kepada wartawan asing.

    “Ketika kita biarkan wartawan asing ke Papua, itu sama saja dengan kita mempersilakan orang membuka borok kita,” kata Tantowi.

    Sumber :Bayu Adi Wicaksono, Reza Fajri/http://nasional.news.viva.co.id/news/read/736065-tantowi-wartawan-asing-di-papua-bisa-buka-borok-indonesia

  • Agar Daerah Kaya Tak Menuntut Merdeka

    By Saad Saefullah, Posted on May 19, 2016, www.islampos.com

    BARU-baru ini beredar secara viral foto di sosial media pengibaran bendera OPM (Organisasi Papua Merdeka) dengan menyingkirkan bendera merah putih. Aparatpun terkesan membiarkan pengibaran ini terjadi.

    Terjadi juga pemberian jatah yang sangat besar dalam pengelolaan hasil Sumber Daya Alam (SDA) di daerah-daerah yang pernah memberontak kepada pemerintah RI. Hal ini menyebabkan daerah-daerah kaya yang lain menjadi iri hati.

    Mereka mengatakan bahwa hal ini seperti di sebuah keluarga di mana ada anak yang baik dan bandel dan sering meminta ini itu. Justru yang selalu dibelikan barang adalah anak yang bandel itu. Hal ini mendorong anak yang tidak bandel untuk menjadi bandel juga. Perumpamaan ini berlaku juga kepada daerah-daerah. Ini mendorong daerah-daerah yang tidak memberontak untuk memberontak.

    Sebenarnya ada 3 point penting pengelolaan keuangan Pusat-Daerah. Isu pertama adalah beberapa persoalan mendasar yaitu ada peraturan bagi hasil tapi implementasinya kabur tentang hitung-hitungan bagi hasil itu. Juga ada kesimpangsiuran data misalnya antara pertamina atau PT Aneka Tambang dengan pemda dan dengan Multi National Corporation (MNC) yang beroperasi di daerah. Sehingga terjadi akal-akalan dari pemerintah pusat.

    MNC pun tidak transparan dalam mengungkapkan data keuangan mereka sebagaimana diungkap oleh anggota-anggota DPR yang mengusulkan hak angket dalam bagi hasil Blok Cepu antara Exxon Mobil-Pemerintah RI c.q. Pertamina. Juga dalam bagi hasil Freeport Indonesia dengan pemerintah Indonesia sebagaimana diungkapkan oleh Amien Rais baru-baru ini.

    Isu kedua adalah birokrasi yang bobrok baik di pusat maupun daerah. Misalnya terjadi penundaaan pencairan dana sehingga lahirlah calo-calo anggaran. Juga terjadi proyek pembangunan tanpa tender karena pengusaha sudah memulai proyek tanpa adanya dana dari pemda mereka memakai dana sendiri. Mau tidak mau ketika dana cair mereka langsung ditunjuk pemda untuk menjadi pelaksana proyek.

    Juga ada permasalahan pengelolaan SDA yang sebagian besar masih dikelola pusat. Ini menyebabkan pemda tidak mandiri. Sebagai contoh, dinas-dinas di daerah tidak bisa mendesain program. Juga tidak adanya transparansi dari pemerintah pusat dan daerah.

    NGO dan CSO di daerah juga ada beberapa yang berkolusi dengan pemerintah daerah. Awalnya mereka bergandengan tangan dalam menekan pemerintah pusat dan DPR dalam hal APBD. Kemudian ujung-ujungnya mereka mendapat proyek-proyek dari pemerintah daerah.

    Yang cukup menarik adalah studi kasus sejarah Riau yaitu tuntutan Riau Merdeka. Pada tahun 1956 ada Kongres Rakyat Riau di Bengkalis. Kongres ini menghasilkan 3 opsi yaitu bergabung dengan Malaya, bergabung dengan NKRI, atau berdiri sendiri alias merdeka. Tetapi ketika itu pilihannya adalah bergabung dengan NKRI.

    BARU-baru ini beredar secara viral foto di sosial media pengibaran bendera OPM (Organisasi Papua Merdeka) dengan menyingkirkan bendera merah putih. Aparatpun terkesan membiarkan pengibaran ini terjadi.

    Terjadi juga pemberian jatah yang sangat besar dalam pengelolaan hasil Sumber Daya Alam (SDA) di daerah-daerah yang pernah memberontak kepada pemerintah RI. Hal ini menyebabkan daerah-daerah kaya yang lain menjadi iri hati.

    Mereka mengatakan bahwa hal ini seperti di sebuah keluarga di mana ada anak yang baik dan bandel dan sering meminta ini itu. Justru yang selalu dibelikan barang adalah anak yang bandel itu. Hal ini mendorong anak yang tidak bandel untuk menjadi bandel juga. Perumpamaan ini berlaku juga kepada daerah-daerah. Ini mendorong daerah-daerah yang tidak memberontak untuk memberontak.

    Sebenarnya ada 3 point penting pengelolaan keuangan Pusat-Daerah. Isu pertama adalah beberapa persoalan mendasar yaitu ada peraturan bagi hasil tapi implementasinya kabur tentang hitung-hitungan bagi hasil itu. Juga ada kesimpangsiuran data misalnya antara pertamina atau PT Aneka Tambang dengan pemda dan dengan Multi National Corporation (MNC) yang beroperasi di daerah. Sehingga terjadi akal-akalan dari pemerintah pusat.

    MNC pun tidak transparan dalam mengungkapkan data keuangan mereka sebagaimana diungkap oleh anggota-anggota DPR yang mengusulkan hak angket dalam bagi hasil Blok Cepu antara Exxon Mobil-Pemerintah RI c.q. Pertamina. Juga dalam bagi hasil Freeport Indonesia dengan pemerintah Indonesia sebagaimana diungkapkan oleh Amien Rais baru-baru ini.

    Isu kedua adalah birokrasi yang bobrok baik di pusat maupun daerah. Misalnya terjadi penundaaan pencairan dana sehingga lahirlah calo-calo anggaran. Juga terjadi proyek pembangunan tanpa tender karena pengusaha sudah memulai proyek tanpa adanya dana dari pemda mereka memakai dana sendiri. Mau tidak mau ketika dana cair mereka langsung ditunjuk pemda untuk menjadi pelaksana proyek.

    Juga ada permasalahan pengelolaan SDA yang sebagian besar masih dikelola pusat. Ini menyebabkan pemda tidak mandiri. Sebagai contoh, dinas-dinas di daerah tidak bisa mendesain program. Juga tidak adanya transparansi dari pemerintah pusat dan daerah.

    NGO dan CSO di daerah juga ada beberapa yang berkolusi dengan pemerintah daerah. Awalnya mereka bergandengan tangan dalam menekan pemerintah pusat dan DPR dalam hal APBD. Kemudian ujung-ujungnya mereka mendapat proyek-proyek dari pemerintah daerah.

    Yang cukup menarik adalah studi kasus sejarah Riau yaitu tuntutan Riau Merdeka. Pada tahun 1956 ada Kongres Rakyat Riau di Bengkalis. Kongres ini menghasilkan 3 opsi yaitu bergabung dengan Malaya, bergabung dengan NKRI, atau berdiri sendiri alias merdeka. Tetapi ketika itu pilihannya adalah bergabung dengan NKRI.

    Kontrak Politik bergabung dengan NKRI ditinjau kembali ketika pada tahun 1994 ada kelaparan di daerah Kampung Giri, Riau. Peristiwa ini mendorong beberapa intelektual Riau untuk mengadakan Kongres Rakyat Riau yang memutuskan Riau harus merdeka karena Negara ini tidak bisa menjamin kesejahteraan rakyat.

    Pada tahun 2000 kembali diadakan Kongres Rakyat Riau yang menghasilkan 3 opsi yaitu Merdeka, Otonomi, atau Federal.

    Di sini terlihat ada kesan pemerintah pusat tidak percaya kepada daerah. Pada tahun 2000 terjadi deadlock pembicaraan mengenai Dana Bagi Hasil Minyak Bumi Blok CPP di Riau antara pemerintah pusat dengan pemerintah provinsi Riau.

    Pemerintah pusat lebih percaya kepada bangsa asing dari pada pemerintah Riau yang nota bene adalah bangsa sendiri, seolah-olah Riau adalah jajahan Jakarta yang diperas terus-menerus.

    Sebagai contoh adalah Pulau Singkep setelah timahnya habis ditinggalkan dalam keadaan rusak dan sekarang menjadi seperti Pulau Hantu karena sepi dan tidak terurus. Pulau Singkep kemudian juga jadi daerah tertinggal dan kantong kemiskinan.

    Memang ada tradisi pada pemerintah Indonesia bahwa daerah-daerah yang setia kepada NKRI tidak diurus. Hanya daerah yang memberontak saja yang diberikan gula-gula, diperhatikan, dan diberikan kue pembangunan serta dikabulkan sebagian besar tuntutannya.

    Sebagaimana bisa dilihat dalam sejarah bahwa Sumatra Barat dibangun setelah terjadi pemberontakan PRRI, Sulawesi Utara dibangun setelah Permesta. Papua dan Aceh diberikan Otonomi Khusus. Bahkan Mantan Anggota GAM diberikan gaji bulanan (tunjangan) dan tanah.

    Ini merupakan preseden buruk. Ini akan mendorong daerah-daerah kaya yang selama ini baik-baik saja dan tidak banyak menuntut untuk menuntut lebih banyak atau bahkan memberontak oleh karena yang memberontaklah yang diperhatikan dan diberi gula-gula.

    Kalau daerah kaya itu berada di perbatasan dengan negara lain maka ini akan lebih berbahaya lagi. Hal ini bisa dilihat pada wilayah perbatasan RI-Malaysia di Kalimantan Barat. Ada jurang kesejahteraan yang sangat dalam antara wilayah RI dengan Malaysia. Ini menyebabkan WNI yang di perbatasan itu ingin merdeka saja. Seharusnya wilayah perbatasan jangan dijadikan halaman belakang RI tetapi beranda depan RI.

    Kabupaten Sambas dan penduduknya berkiblat ke Malaysia bukan NKRI. Hal ini disebabkan akses ke Malaysia jauh lebih mudah dari pada ke RI. Baik akses jalan maupun komunikasi.

    Di daerah Riau, Kepualuan Riau dan provinsi-provinsi di Kalimantan bahkan para Sultan atau bangsawan pemangku adat mempunyai hubungan darah dan kekerabatan dengan Sultan-Sultan di Malaysia. Hendaknya pemerintah sekarang ini belajar dari sejarah agar tidak terantuk batu yang sama dan terperosok ke lubang yang sama, dua kali. []

  • Papua di Era Media Sosial

    Penulis Amiruddin al-Alrahab – Minggu, 8 Mei 2016, geotimes.co.id

    Segala hal mengenai Papua kini telah mendunia. Melampaui imajinasi di era yang sudah-sudah. Tidak ada lagi yang bisa disembunyikan, sekalipun “borok” sebagaimana yang pernah disampaikan oleh seorang anggota legislatif Indonesia. Itu berkat kemajuan teknologi komunikasi dan dunia media sosial.

    Simaklah halaman-halaman dunia maya, di situ Anda dengan mudah menemukan berbagai isu mengenai politik, hak asasi manusia, dan sekaligus perkembangan sosial-ekonomi Papua.

    Era media sosial memasuki Papua bersamaan dengan munculnya generasi Y. Generasi Y di Papua adalah generasi anak kandung reformasi. Mereka bertumbuh dalam alam demokrasi yang mulai mekar di Indonesia. Demokrasi itu juga dinikmati oleh generasi Y Papua, meskipun dalam kekurangan di sana-sini.
    CRV iklan baner GT

    Singkatnya, sekarang ini dan ke masa depan, generasi Y Papua dengan perangkat digital di tangan tersebutlah yang akan mengendalikan opini dan persepsi mengenai Papua di semua level. Ibarat kata, generasi media sosial itulah yang sedang dan akan menjadi legiun laga informasi di berbagai palagan wacana tentang Papua.

    Cobalah luangkan waktu dan simak dunia maya sejenak untuk menyimak perkembangan wacana terkini mengenai Papua. Anda akan dengan mudah menemukan gambar, foto, dan opini-opini yang sangat berbeda dari yang berkembang di media-media arus utama Jakarta.

    Sekadar contoh, begitu banyak wacana mengenai United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) dan Melanesia Spearhead Group (MSG) berkembang di dunia maya tanpa media-media umum Jakarta mampu menandingi. Bahkan kini dengan mudah pula ditemukan foto-foto orang-orang membentangkan bendera Bintang Kejora dari berbagai belahan dunia. Bukan itu saja, juga ada foto-foto dengan latar berbagai orang Papua dengan bendera tersebut.

    Dengan menyimak foto-foto tersebut, tampak dua hal. Pertama, untuk mengibarkan bendera Bintang Kejora kini tidak diperlukan lagi tiang dan lokasi, cukup dengan sekali klik telepon genggam pintar, kemudian unduh ke Twitter, Facebook, dan Instagram, maka menyebarlah ia. Kedua, ketika foto-foto itu menyebar, tidak ada satu pun tangan hamba wet yang bisa menjangkaunya.

    Melalui media sosial itu pula para generasi Y Papua dari berbagai belahan dunia berkomunikasi, berdebat, dan bersepakat. Tidak mengherankan lagi, perjalanan Benny Wenda ke Ghana, bisa dalam hitungan detik disimak di Wamena. Begitu pula yang terjadi di Tolikara, dalam hitungan detik bisa diketahui di Belanda.

    Bukan itu saja. Di media sosial, segala kritik kepada kebijakan pemerintah tentang Papua juga ditemukan. Kritik itu disampaikan secara keras, gamblang, dan dengan gaya Papua pula. Segala perkembangan dunia kini juga mudah menjangkau anak-anak muda Papua. Dalam hitungan detik, peristiwa di London bisa diketahui oleh orang-orang di Wamena.

    Begitu pula segala bentuk solidaritas internasional dari berbagai belahan dunia segera bisa diketahui oleh orang di pelosok Papua. Selama ada sinyal dan telepon pintar di tangannya. Singkatnya, dunia kini sudah menciut!

    Artinya, kini permasalahan Papua memasuki era baru, yaitu era media sosial, era yang begitu egaliter dengan segala macam gagasan. Dunia yang egaliter itu pemainnya pun kini anak-anak muda Papua sendiri. Melalui media sosial, orang muda di Papua dengan cepat membagi dan menerima informasi. Era instruksi tunggal sudah tidak ada tempat lagi.

    Nah, dalam perkembangan sedemikian itu, respons Jakarta atas perkembangan Papua tampaknya masih tertatih-tatih. Padahal dunia informasi telah berlari cepat dengan media sosial kendaraannya.

    Menyembunyikan Papua dari mata dunia, atau menyembunyikan perkembangan dunia dari Papua, adalah kesia-siaan. Saya rasa Jakarta perlu bergegas. Jika tak mau tergilas di Papua. Semoga.

  • Kaum Muda Papua Andalkan ULMWP Setelah Kematian Theys

    Penulis: Eben E. Siadari 11:16 WIB | Selasa, 03 Mei 2016, satuharapan.com

    Dibandingkan dengan Theys, secara institusional ULMWP lebih tepat untuk konteks saat ini dan lebih berdampak secara internasional.

    JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Setelah kematian pemimpin adat Papua yang kharismatik, Theys Hiyo Eluway, belum ada tokoh pemersatu Papua dalam memperjuangkan tuntutan politik rakyat Papua. Namun, adanya wadah pergerakan politik kaum muda Papua yang disebut United Liberation Movement for West Papua, arah gerakan Papua lebih jelas.

    Hal ini dikatakan oleh peneliti Lembaga Ilmu Penegtahuan Indonesia (LIPI) yang mendalami permasalahan Papua, Adriana Elisabeth, menjawab pertanyaan satuharapan.com. Adriana dimintai pendapatnya tentang peristiwa ditangkapnya ratusan aktivis ULMWP di Jayapura Senin (2/5) yang menuntut diberikannya hak penuh sebagai anggota bagi ULMWP di organisasi sub-regional, Melanesian Spearhead Group (MSG).

    Adriana Elisabeth juga diwawancarai sehubungan dengan akan diadakannya konferensi tentang Papua oleh International Parliamentarians for West Papua (IPWP) di London, pada 3 Mei. Pertemuan yang digagas oleh ULMWP itu  mengagendakan perumusan strategi untuk penyelenggaraan penentuan nasib sendiri bagi Papua, paling tidak akhir dekade ini. Paling tidak 95 politisi dan anggota parlemen dari berbagai negara menandatangani dukungan bagi penentuan nasib sendiri Papua. Sejumlah pemimpin negara Pasifik dijadwalkan hadir dalam pertemuan itu.

    Menurut Adriana, walaupun Theys tak ada lagi dan belum ada tokoh pemersatu di antara berbagai faksi perjuangan rakyat Papua seperti Theys, keberadaan ULMWP membuat arah gerakan Papua lebih jelas dalam mendorong agenda politik untuk menuntut penyelesaian pelanggaran HAM di Papua, pelurusan sejarah politik Papua, dan referendum menuju kemerdekaan politik.

    Memang, kata dia, kaum muda yang membentuk ULMWP tidak bisa dibandingkan dengan Theys yang karismatik. Namun, baik ULMWP maupun Theys sama-sama memiliki peran mempersatukan gerakan Papua. “ULMWP lebih tepat untuk konteks saat ini dan secara institusional lebih berdampak di tingkat internasional,” kata dia.

    Mengenai pertemuan IPWP di London, menurut Adriana, hal itu harus tetap dicermati dan diantisipasi. “Untuk mengantisipasi perluasan isu Papua secara internasional, sekecil apa pun pengaruhnya perlu diupayakan untuk dicegah,” tutur dia.

    Ia mengakui belum tahu apa agenda pertemuan tersebut. “Tetapi mungkin akan ada update tentang ‘kemajuan’ penyelesaian kasus HAM di Papua, khususnya di masa Jokowi. Komitmen presiden untuk menyelesaikan seluruh kasus HAM tahun ini termasuk di Papua, kalau secara politis tentu tidak sejalan dengan proses rekonsiliasi yang memerlukan beberapa tahap, seperti pengakuan, restorasi, kompensasi dan seterusnya,” kata Adriana.

    Namun, penyelesaian HAM, kata dia, dapat dimasukkan sebagai salah satu agenda dialog nasional. Ini menjadi bagian dari mediasi untuk perdamaian jangka panjang di Papua.

    Menurut Adriana, upaya ULMWP dalam menggalang dukungan internasional tidak boleh dianggap enteng. Ia mencontohkan Juru Bicara ULMWP, Benny Wenda, terus berupaya menggalang dukungan internasional, terutama dengan mengusung kasus-kasus kekerasan di Papua yang mengarah pada pelanggaran HAM. Di antaranya dengan menggalang dukungan dari Benua Hitam Afrika.

    Adriana menambahkan, pemerintah memang telah memberikan otonomi khusus kepada Papua lewat UU Otsus. Ini, dalam hemat Adriana, merupakan bagian dari pemberian hak menentukan nasib sendiri, dalam pengertian Papua diberikan otoritas untuk mengatur daerahnya sendiri. Ini tampak, misalnya, dari posisi kepala daerah d itangan orang asli Papua. Juga alokasi dana Otsus.

    Namun demikian, Adriana mengakui dalam implementasinya, UU Otsus Papua yang harus tetap mengacu pada “template” nasional yang juga berlaku di daerah lain di Indonesia, membuat hak menentukan nasib sendiri itu tidak optimal.
    “Apabila yang dimaksud self-determination adalah memperoleh kebebasan politik secara penuh, maka hal ini tidak akan pernah diberikan oleh Pemerintah Indonesia,” kata Adriana.

    Adriana mengatakan, perjuangan Papua untuk menentukan nasib sendiri adalah proses yang akan memakan waktu sangat panjang. Ia tidak yakin dapat diselesaikan dalam satu dekade.

    Theys Hiyo Eluay ditemukan terbunuh di mobilnya di Jayapura pada 10 November 2001. Wikipedia mencatat, penyidikan  pembunuhan ini mengungkapkan bahwa pelakunya adalah oknum-oknum Kopassus, yang kemudian telah dipecat secara tidak hormat.

    Eluay dimakamkan di sebuah gelanggang olahraga di tempat kelahirannya di Sentani, pada sebuah tanah ada yang sudah diwakafkan oleh para tetua suku. Pemakamannya dihadiri kurang lebih 10.000 orang Papua.  Sebuah monumen kecil di jalan raya antara Jayapura dan Sentani didirikan untuk mengenang pembunuhan itu.

    Editor : Eben E. Siadari

  • LIPI: Gerakan Pro-Kemerdekaan Papua Semakin Solid

    Penulis: Eben E. Siadari 09:32 WIB | Selasa, 12 April 2016

    JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Ketua Tim Kajian Papua Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Dr. Adriana Elisabeth, mengakui gerakan pro-kemerdekaan Papua dalam tiga tahun terakhir semakin solid. Hal itu terlihat dari keberhasilan mereka memperluas internasionalisasi isu Papua yang antara lain dimotori oleh United Liberation Movement for West Papua (ULMWP).

    Soliditas gerakan pro-kemerdekaan Papua juga dipicu oleh tiadanya kebijakan yang komprehensif dalam menangani Papua selama tiga tahun terakhir. Adriana menilai ada kesan anggap remeh dan ambigu dari pemerintah pusat dalam menangani konflik di Papua, yang mengakibatkan gerakan kaum muda Papua tak diperhatikan. Akibatnya, mereka berkembang dan menjalin afiliasi dengan gerakan diaspora Papua.

    “Kalau soal internasionalisasi isu Papua, itu sudah terjadi. Pemerintah mengklaim itu masalah domestik. Tetapi di dalam isu Papua itu sendiri sudah ada aspek internasional. Dengan adanya United Liberation Movement for West Papua (ULMWP), sudah semakin sulit membendung internasionalisasi masalah Papua yang kami sebut eksternalisasi, di luar Papua dan di luar Indonesia,”

    kata Adriana, dalam wawancara khusus dengan satuharapan.com, di kantornya, Senin (11/4).

    Adriana Elisabeth adalah salah satu peneliti LIPI yang telah menekuni kajian ini sejak tahun 2004 bekerjasama dengan Jaring Damai Papua (JDP). Menurut Adriana, dewasa ini ULMWP sedang berupaya untuk mendapatkan keanggotaan penuh di Melanesian Spearhead Group (MSG) yaitu organisasi negara-negara di Pasifik Selatan. Indonesia juga sedang memperjuangkan memperoleh keanggotaan yang sama. Namun, menurut Adriana, selama tiga tahun terakhir, ULMWP tampak lebih agresif dibandingkan dengan upaya diplomasi Indonesia.

    “Dengan soliditas yang dibangun gerakan kaum muda (Papua) yang berafiliasi kuat dengan diaspora Papua, itu solidnya luar biasa, dan aspek internasionalnya sudah besar sekali. Dan itu pe-ernya Indonesia, strategi diplomasi di Pasifik Selatan, misalnya, itu kan harus dihadapi. Termasuk ke forum-forum internasional, dimana teman-teman kita gerakan pro-kemerdekaan Papua selalu membawa isu pelanggaran HAM. Kalau bicara pelanggaran HAM, mereka pasti satu suara,”

    kata Adriana.

    Oleh karena itu, Adriana mengatakan pemerintah harus memiliki strategi dalam menghadapi gerakan ini.

    Menurut dia, dalam tiga tahun terakhir, pemerintah sempat missed dalam melihat pergerakan kaum muda di Papua. Masalah Papua sering dipandang lebih kecil daripada yang seharusnya. Di sisi lain, Adriana juga mengakui LIPI juga sempat lalai dalam merawat pihak-pihak yang diajak berdialog sejak 2004.

    “Memang tentara Organisasi Papua Merdeka (OPM) tidak sesolid GAM. Mereka kecil, senjatanya juga kurang, tetapi gerakan kaum muda ini tidak diperhatikan. Mereka sangat cermat, mereka juga memakai agenda pro-demokrasi. mereka tidak anarkis lagi. Jadi itu saya kira yang agak missed oleh pemerintah tiga tahun terakhir,”

    kata dia.

    “Jadi sikap underestrimate itu ada. Dengan itu strateginya menjadi sangat elitis. Seolah mendekati Papua itu dapat didekati dengan hanya melobi negara-negara di Pasifik Selatan. Diplomasi hanya tingkat elit. Bagaimana di tingkat akar rumput yang semakin eksis, itu tidak terpikir strateginya. Itu sebabnya kami tawarkan dialog nasional untuk merangkul semua elemen untuk duduk bersama, dan bicara bersama,”

    kata Adriana.

    Adriana juga menyinggung kunjungan Menkopolhukam, Luhut Binsar Pandjaitan ke Fiji, yang disebut-sebut dalam rangka melobi negara-negara Pasifik Selatan untuk mendukung Indonesia dalam menghadapi ULMWP.

    “Lalu Pak Luhut bicara tidak mau dialog dengan ULMWP. Nah, itu menjadi pertanyaan gerakan kaum muda di Papua. Maka kita akan menjadi repot. Daripada bicara begitu, kenapa Pak Luhut tidak minta dukungan publik di dalam dulu, ‘Saya mau ke Fiji, saya mau bicara apa.’ Lalu kenapa tidak Menlu yang pergi. Pernyataan itu menjadi blunder. Ini jadi amunisi yang baik untuk dipakai oleh gerakan pro-kemerdekaan. Ini malah buka front,”

    kata Adriana.

    “Dan mereka semakin canggih. Anda sudah tahu kan bahwa Benny Wenda (Juru Bicara ULMWP, Red), sudah melakukan pendekatan ke keluarga Nelson Mandela. Itu artinya apa? Mereka sedang meminta dukungan dari ras kulit hitam. Dan kalau semua negara ras kulit hitam mendukung Papua dalam isu HAM saja, kita mau bicara apa. Kalau bersuara seperti itu kita bisa kalah di PBB, karena semua negara memiliki hak suara yang sama, baik negara kecil atau pun besar. Jadi saya kira strategi kawan-kawan (gerakan pro-kemerdekaan Papua) itu luar biasa,”

    tutur Adriana.

    Berangkat dari hal ini, kata Adriana, LIPI memberikan rekomendasi agar segera dilaksanakan dialog nasional dengan Papua. Dalam dialog, dibicarakan solusi untuk mengatasi konflik di Papua yang sudah berlangsung selama 50 tahun.

    Untuk mempersiapkan dialog nasional, LIPI merekomendasikan agar pemerintah dan masyarakat Papua terlebih dulu menentukan dan menyepakati tujuan utama dari dialog nasional ini. Tahap selanjutnya adalah menentukan pihak-pihak yang akan terlibat di dalam dialog, serta agenda, mekanisme dan mediator dialog.

    Adriana mengatakan dialog nasional harus melibatkan pemerintah pusat, pemerintah daerah, masyarakat adat Papua, paguyuban migran, kelompok agama, aktivis/LSM, media, kelompok kaum muda, akademisi/peneliti, pengusaha/investor, kelompok profesional, kelompok perempuan, partai politik, TPN/OPM dan diaspora Papua.

    Untuk menindaklanjuti pernyataan kesiapan Presiden Jokowi untuk berdialog, kata Adriana, LIPI berpendapat presiden perlu dibantu oleh seseorang untuk mempersiapkan dialog nasional sebagai “Utusan Khusus” atau special envoy.

    “Saya ditelepon oleh Ibu Menlu, mengoreksi bahwa special envoy itu kata dia biasanya untuk urusan luar negeri. Saya menjelaskan yang kami maksud sebagai special envoy di sini bukan dalam terminologi seperti itu. Maksud kami adalah orang, atau tim kecil, yang selama 24 jam mengurusi Papua dan memiliki akses langsung kepada presiden,”

    tutur dia.

    LIPI membuat kriteria yang harus dipenuhi oleh tokoh atau tim kecil itu, yakni: (1) Presiden Republik Indonesia harus sangat percaya pada orang itu; (2) Orang itu memiliki pemahaman yang akurat mengenai akar persoalan di Tanah Papua; (3) Objektif dan tidak diskriminatif; dan (4) Tidak pernah terlibat dalam pembentukan milisi-milisi sipil pro-Indonesia dan/atau yang mendukung kemerdekaan Papua.

    Empat kriteria bagi utusan khusus dimaksudkan agar dia dapat bekerja secara efektif dan mendapatkan legitimasi kuat dalam proses dialog. Kemudian utusan khusus tidak mencari satu pihak saja untuk merepresentasikan masyarakat, tetapi melibatkan banyak elemen masyarakat penting untuk terlibat di dalam dialog nasional.

    Editor : Eben E. Siadari

  • Adriana Elisabeth: Dialog Nasional Papua Tidak Bisa Ditunda

    Senin, 11 April 2016 | 06:57 WIB

    Adriana Elisabeth: Dialog Nasional Papua Tidak Bisa Ditunda

    Dr Adriana Elisabeth, Ketua tim kajian Papua LIPI. TEMPO/Maria Rita

    TEMPO.CO, Jakarta – Sudah setengah abad konflik di Papua, selama itu pula belum ada penyelesaian yang komprehensif. Tim kajian Papua Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) sudah lama mengusulkan sebuah dialog dengan melibatkan semua pihak untuk mengetahui akar masalah dan upaya penyelesaiannya. Tim juga merekomendasikan tentang perlunya memperbaiki koordinasi antar lembaga-lembaga pemerintah yang berbeda suara hingga ketiadaan grand strategy mengenai Papua.

    “Kami mengusulkan dialog nasional untuk sebuah awareness kepada pemerintah bahwa dialog nasional ini sudah tidak bisa ditunda,” kata Adriana Elisabeth, Ketua tim kajian Papua LIPI dalam wawancara khusus dengan Tempo di gedung LIPI, Jakarta, Jumat, 8 April 2016.

    Kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi), Adriana menagih konsistensi pernyataan Jokowi saat kunjungan kerja pertamanya ke Papua. Jokowi saat itu menegaskan siap berdialog dengan semua pihak. Namun, pernyataan siap itu belum ada realisasinya. Peneliti senior di LIPI ini mengkhawatirkan  dengan cara pemerintah merespons Papua seperti saat ini yang elitis, mengedepankan represif dan stigma separatis, justru akan jadi bumerang bagi Indonesia. “Kalau strategi pemerintah masih sama, menganggap Papua nga berkembang, tidak selevel, maka saya tidak punya harapan lagi Papua akan tetap bersama Indonesia,” Adriana menegaskan.

    Sejatinya, seperti apa dialog nasional yang ditawarkan LIPI, apa yang membuat pemerintah tak kunjung merespons tawaran LIPI, dan apa saja perubahan besar yang terjadi di Papua terkait dengan tudingan separatis itu? Berikut petikan wawancara Maria Rita dari Tempo dengan Adriana yang berlangsung sekitar 1 jam 15 menit dengan beberapa permintaan off the record.

    Bagaimana tanggapan pemerintah terhadap usulan LIPI agar diadakan dialog nasional di Papua?
    Sejak media briefing terakhir (14 Maret 2016) belum ada follow up lagi dengan pemerintah. Dialog nasional merupakan sebuah pendekatan baru untuk Papua. Dalam
    dialog nasional ada istilah special envoy. Inti sebetulnya adalah satu unit, badan, orang yang mengurus Papua secara konsisten. Probably 24 hours, anytime we
    need to ask something, so someone is there. Kita tidak tahu siapa yang mengurus Papua. Ada ksp (kantor staf presiden), ada seskab (sekretaris Kabinet), ada sekneg (sekretaris negara), ada kemendagri (kementerian dalam negeri), ada kemenlu (kementerian luar negeri), and then kita mau tanya kepada siapa. Soal isu sektoral seperti kesehatan, pendidikan sudah ada lembaganya. Tapi isu politik keamanan  memang ada di Kemenkopolhukam yang membawahi beberapa kementerian. Walaupun ada desk Aceh dan Papua, tapi saya melihat tidak ada grand strategy sebenarnya mengurus Papua seperti apa? Makanya kemudian kementerian jalan sendiri, semua bikin policy sendiri, and then kita bingung. Kami mengusulkan dialog nasional untuk sebuah awareness kepada pemerintah bahwa dialog nasional ini sudah tidak bisa ditunda.

    Reaksinya setelah media breifing seperti sekarang yang kita lihat, tiba-tiba pak Luhut (Menteri Koordinator Polhukam Luhut Panjaiatan) ke Fiji. Kenapa menlunya tidak? Semua pertanyaan soal Papua, pak Luhut yang jawab. Apakah ini orangnya (special envoy)?  Beliau pergi ke Fiji, tetapi katakan tidak mau dialog. Lalu sebenarnya maunya apa. Kita jadi bingung.

    Apakah pak Luhut pernah bertanya kepada Anda tentang dialog nasional?
    Saya duga dia bertanya lewat Kemlu (kementerian luar negeri). Makanya ketika kami diminta begini: sudahlah LIPI tidak usah bicara tentang special envoy dengan media, lalu Luhut pergi ke Fiji dan orang-orang bertanya apakah dia special envoy?

    Kenapa dialog nasional tidak dilakukan. Lalu, Papua seperti apa?
    Saya melihat pemerintah belum memahami dialog nasional. Memahami dulu itu yang penting, baru action. Kalau paham saja, susah. Persoalannya, tidak paham dialog nasional sebagai satu pendekatan. Bukan hal baru sebetulnya dialog nasional, banyak dilakukan negara-negara lain. Formatnya bisa macam-macam. Kedua, pemerintah selalu melihat dialog berhadapan dengan pihak yang tidak equal, which is menurut saya, salah karena dialog itu untuk menyelesaikan soal bukan soal struktur. Yang menilai seperti itu keliru karena bagaimana pun Papua itu kita, Indonesia. Punya hal yang harus dibicarakan, terus forumnya apa kalau bukan dialog. Ketiga, dialog ini dilihat sebagai pendekatan relatif damai. Tidak toleran sama sekali dengan kekerasan.

    Kita mengajak kedua belah pihak duduk untuk bernegosiasi. Ternyata yang saya pahami dalam proses dialog, butuh moral consideration. Tak akan orang itu mau berdialog kalau dia tidak punya moral untuk mau berdamai. Ini esensinya sangat dalam, yang saya pahami menjadi sulit karena orang pada melihat keadaan ini sudah merasa insecure.

    Kalau bicara Papua pasti larinya merdeka. Sudah tidak punya pikiran peaceful lagi. Bagaimana ini semua diblocked. Ini yang saya lihat pemerintah Indonesia belum paham tentang esensi dialog. Represif sudah tidak relevan, malah jadi bumerang, backfire buat Indonesia sendiri. Melihat perkembangan gerakan politik muda semakin terkoordinasi, mereka pakai cara-cara demokrasi yang hampir tidak mungkin dihadapi dengan cara represif. Itu yang menurut saya, strategi yang harus dibangun adalah bernegosiasi, berbicara. Jadi don’t think they are not equal. Dia bangsa sendiri. Dialog itu memang bukan dengan yang equal.

    Bagaimana mempertemukan dua belah pihak yang satu klaim NKRI dan satunya klaim Papua merdeka?
    Dialog nasional juga tidak bicara soal posisi, tapi interest kita yang beda. Kenapa berbeda? Kalau posisi itu jelas, ekstrim,  satu NKRI dan satunya merdeka, which is itu impossible dibicarakan dalam dialog. We are not talking about position.  Kita bicara soal interest, soal pemahaman yang berbeda, soal pandangan yang tidak sama misalnya mengenai akar masalah. Akar masalahnya ekonomi, ketidaksejahteraan ekonomi masyarakat Papua which is menjadi fokusnya Jokowi bicara ekonomi, infrastruktur. Tapi orang Papua bilang ini bukan soal kesejahteraan ekonomi saja tapi tidak sejahtera secara nonekonomi: kebebasan jurnalis dibatasi, kami distigma separatis. Ini soal nonekonomi yang tidak pernah di-addressed. Jadi bagaimana caranya? Ya, kita duduk bareng, kita bicara apa sih yang selama ini dikhawatirkan. Saya paham pemerintah Indonesia sangat insecure kalau bicara Papua apalagi ujung-ujungnya merdeka.

    Pemerintah merasa tidak aman karena trauma Timor Timur atau ada penyebab lain?
    Sebelum menjawabnya, saya mau jelaskan. Jokowi mundur (kebijakannya tentang Papua). Pada waktu sebelumnya, Jokowi bilang saya siap berdialog dengan semua
    elemen. Kunjungan terakhir, Jokowi meresmikan proyek-proyek infrastruktur. Jangan dong direduced isu Papua seperti ini. Itu yang menjadi backward. Mereka sekarang bertanya loh, pemda juga bertanya yang dimaksud dengan dialog apa sih. Presiden bicara siap berdialog, dialognya seperti apa sih. Jika sesuatu sudah dilontarkan dan tidak ada action , mereka bertanya maksud Jokowi siap berdialog. Ketika kemudian Jokowi berkunjung ke Papua untuk meresmikan proyek infrastruktur, itu mereduce persoalan, menurut saya berlebihan. Proyek itu bisa menteri saja yang meresmikan, kenapa mesti presiden.

    Jadi, menurut saya, kekhawatiran tentang Papua, insecurity feeling bisa dipahami. Tapi harus lihat dinamika hari ini. Yang merasa insecure itu pasti TNI, mungkin yang berlatar belakang Kopassus. Saya menduga tentara  melihat Indonesia itu teritori betul. Masyarakat Papua mau diapakan kalau hanya berdasarkan pandangan Indonesia harus bersatu. Stigma-stigma separatis kepada Papua justru bumerang bagi kita sekarang. Kalau kita bicara dialog , maka seolah nanti bertemunya dengan pro Papua merdeka. Siapa yang membuat?

    Kalau melihat Papua sebagai musuh, sudah susah itu jadi  unequal. Menurut saya bukan itu, ini soal kita. Jadi melihat Papua seperti orang Indonesia yang punya permintaan-permintaan tertentu,  harus ditanya kenapa kamu minta itu. Jika memandang Papua dengan stigma separatis dan enemy, jadi cenderung paranoid,
    khususnya tentara. Istilah dialog dikhawatirkan ini jalan Papua minta merdeka. Itu memang disuarakan oleh pro Papua merdeka. Tapi LIPI tidak melihat dalam kerangka itu, tapi berdialog untuk membangun Papua damai. Tentunya dalam konteks Indonesia dong. Nga  mungkin kita mau… Saya bilang kepada teman-teman otonomi khusus itu self determination. Lalu karena persoalan ini  minta merdeka, personally saya melihat itu masuk akal tapi sebagai bangsa Indonesia yang tahu Papua di dalamnya, saya nga rela loh Papua pisah. Jadi, pemerintah tidak bisa memahami bagaimana membuat Papua itu merasa homy di dalam Indonesia. Kalau selalu dianggap musuh, mohon maaf hari ini mereka sudah punya forum bersama, ULMWP (The United Liberation Movement for West Papua), yang semakin kuat dengan dukungan regional.

    Pemerintah mendekati Fiji dan Papua Nugini untuk meminta dukungan, bagaimana tanggapan Anda?
    Dalam konteks itu, mereka bilang kami sudah mendekati Fiji utk jadi full member di MSG (Melanesian Spearhead Group-organisasi negara-negara Melanesia di Pasifik Selatan), itu pasti diikuti ULMWP untuk dapat status yang sama. Kalau sudah posisi yang sama, jadi repot lagi. Dalam isu HAM, seluruh negara Pasifik selatan sudah bersatu: Semua mendukung Papua dalam konteks pelanggaran ham berat. Indonesia harus bertanggung jawab dalam hal ini. Jadi, kalau ditimbang-timbang dari itu, posisi Indonesia lemah. Tidak mendapat dukungan sama sekali. Terus diambil strategi elitis dengan berkunjung ke Fiji, beri bantuan. Memang ada semacam perjanjian bahwa harus mendukung Indonesia. Uang itu dikasih ke Papua, mana kita tahu. Maksudnya strategi masih strategi yang tidak memahami di level akar rumput , gerakan kaum muda dan jaringan diaspora mereka sudah menyatu.

    Kenapa pemerintah belum satu suara tentang Papua?
    Pak Jokowi sudah betul dengan datang langsung ke Papua. Sosoknya jadi harapan bagi Papua. Saat tapol dibebaskan tapi pembebasan tapol tidak diikuti kementerian. Pak Jokowi sepertinya tidak punya kemampuan memaksa, mestinya kebijakannya harus diikuti. Kalau presidennya omong A, kok kenapa yang dijalankan B. Itu menunjukkan dari segi good governance, menurut saya itu buruk.Negara ini sistem presidensial, presiden sebagai penentunya. Policynya sudah tegas, akses jurnalis ke Papua terbuka, kemudian yang lain bergunjing sendiri kemudian dengan alasan masing-masing tidak melakukannya. Dalam aspek good governance itu buruk sekali. Papua  isu yang sudah lama tidak terselesaikan. Kalau pak Jokowi dianggap mau serius tapi tak bisa menghandle para menteri, maka orang akan berpikir masalah Papua tak selesai juga di masa Jokowi.

    Saya khawatir betul, Pater John bilang (Wawancara Pater John Djonga dengan Tempo pada Desember 2015 tentang cepat atau lambat Papua akan merdeka dari Indonesia jika pendekatan dalam penyelesaian Papua tidak diubah).Kita sebenarnya worried. Tapi kok pemerintah cara bermainnya masih elitis, seolah Papua tidak berubah , seolah Papua seperti 20 tahun lalu. Lho gimana, suasana sudah beda sekali.

    Suasana apa yang berbeda sekali yang membuat Anda khawatir?
    Bicara Papua banyak elemen, fragmentasinya tinggi meski jumlah penduduknya sedikit. Yang membuat saya ngeri adalah gerakan kaum muda Papua yang sekarang ini cerdas, menguasai IT, mereka tahu cerita Papua dari dahulu sampai dengan sekarang, mereka sudah tidak lagi terlalu appreciate dengan orang-orang tua Papua yang tidak punya prestasi untuk Papua, mereka progresif. Orang-orang muda inilah yang bisa mengkonsolidasi diri, mereka tahu agenda-agenda demokrasi, mereka berorasi dengan baik, cantik, mereka belajar bagaimana mengkonsolidasi diri. Let say mereka sudah tiga tahun ini melakukan itu, dan kita tidak memperhatikan. Seolah-olah Papua masih seperti dulu, bodoh.

    Kemudian, anak-anak muda itu pintar menggunakan media sosial untuk apapun. Bahkan mereka mengkritik berita tentang pernyataan Uskup Jayapura tentang TNI yang melakukan pendekatan kesejahteraan. Mereka sangat kritis. Mereka punya agenda yang solid. Isu merdeka mereka kuatkan. Dengan jaringan diaspora mereka minta dukungan yang ujungnya memang merdeka. Terus kita menganggap ini seperti 20 tahun lalu seolah tidak terjadi sesuatu, seolah dengan datang ke Fiji selesai, dengan hubungan bilateral selesai.

    Menurut saya, harus ada strategi regional Indonesia khususnya di Pasifik selatan. Kemlu sudah buat Regional Policy for South Pacific. Sekarang Benny Wenda (Juru bicara ULMWP) sudah dapat dukungan dari keluarga Nelson Mandela. Dia baru pulang dari Ghana. Artinya itu sebuah cara memobilisasi  dukungan berdasarkan ras. Kalau seluruh ras kulit hitam sudah mendukung gerakan Papua, kita mau berdiplomasi dengan cara apa, mau pakai strategi represif? Reputasi kita tambah hancur. Prestasi kita sebagai negara demokrasi tidak bisa dipertahankan lagi. Justru untuk menyelamatkan Indonesia kita usulkan dialog nasional.

    Menurut Komite Nasional Papua Barat (KNPB), dialog sudah tak perlu lagi.
    Kalau strategi pemerintah masih sama, menganggap Papua nga berkembang, tidak selevel, maka saya tidak punya harapan lagi. Papua  juga tidak ada salahnya. Masalahnya pemerintah tidak paham, insecuritynya luar biasa. Kalau bicara dengan TNI, selalu bilang jangan seperti Timor Leste.

    Anda masih yakin warga Papua mau dialog?
    Saya masih yakin. Merdeka is not easy. Kalau bicara skenario merdeka, banyak sekali yang harus diimprove oleh Papua. Teman-teman muda ini masih lebih banyak fokus ke polkam. Merdeka butuh yang lain, itu pasti tidak terpikir hari ini. Jadi bisa dibuat skenario dalam konteks Indonesia. Tapi menurut saya, ada atau tidak ada dialog, mereka pasti bicara merdeka. Dari pada bahas merdeka atau tidak, yuk duduk bersama untuk bahas kenapa minta merdeka.

    Jika Jokowi bersedia duduk berdialog, apa yang pertama kali dilakukan?
    Presiden Jokowi harus bicara langsung dengan semua kepala daerah di Papua untuk membenarkan semua kerja-kerja di Papua. Itu penting banget karena banyak kasus korupsi. Wah, itu parah. Itu juga yang membuat bumbu sehingga ada teriak: Papua di Indonesia tak lebih baik kok. Itu kesalahan pemda-pemda juga. Itu harus dibuka.  Presiden harus memberikan arahan khusus: saya mau ini, saya mau itu. Karena akhirnya uang itu tidak jelas kemana. Termasuk untuk anggaran perjalanan ULMWP, Presiden harus omong.  Tidak boleh selevel menteri lagi. Simbol politik tertinggi untuk Papua adalah presiden. Presiden harus datang. Saya dengar dari Komnas HAM, Presiden mau datang ke Papua bertemu pemda, gubernur dan semua bupati.

    Pemerintah perlu evaluasi otonomi khusus?
    Iya, karena selama ini evaluasinya parsial. Kemendagri pernah bikin, tapi belum utuh. Namanya evaluasi, ya pasal per pasal. Anggaran diaduk-aduk. Bagaimana mau buat assesment. Evaluasinya juga mestinya reguler. Melihat Papua itu tidak satu. Kalau merujuk pada otsus, posisi utama semua pada warga Papua. Tapi pertanyaannya, setelah mendapat posisi itu apa yang mereka lakukan untuk Papua? Itu yang harus dibicarakan presiden, harus ada assesment atas kinerja gubernur, wali kota dan bupati. Misalnya ada daerah yang sulit dijangkau, mereka tidak bisa buat renstra (perencanaan strategis), itu diberi bantuan. Australia sudah bantu pemerintah membuat assesment di daerah pegunungan.

    Lalu kasus korupsi juga, misalnya beli rumah, pesawat. Harus ada punishment kalau ada temuan. Bilapun banyak bupati masuk penjara, ya itu resiko. termasuk dalam kaitannya dengan anggaran yang harus dikelola dengan baik. Nah saya tidak tahu apakah ada pemda mendanai gerakan kaum muda. Pertanggungjawabannya seperti apa. Sama juga dana untuk pos-pos keamanan, cost of conflict dari perspektif perusahaan.

    Kenapa Anda bertahan menggeluti isu Papua bertahun-tahun? Apa yang memotivasi?
    Wow, sebenarnya saya sudah ingin resign. Seperti berteriak di gurun pasir, menggarami air laut yang sudah asin. Kami punya prinsip dari dulu ketika masih riset sampai sekarang, beyond research: kita menawarkan satu pendekatan yang damai. Kita mau damai tidak cukup hanya karena kita tidak suka perang, tapi kita have to do something completely. Negosiasi itu sesuatu yang damai. Peace itu bukan hanya soal skill, tapi harus ada moral action. Peace harus dilakukan secara peaceful. Sebenarnya LIPI punya keterbatasan, kita hanya menyodorkan konsep-konsep yang assuming bisa diterapkan, kalau mau diterapkan.

    Persoalannya adalah hal itu tidak pernah dicoba. Ini loh kami mereduce kesenjangan pemahaman tentang perlunya dialog sebagai bagian dari proses mediasi antara para pihak. Mungkin tanggung jawab kita ketika kita keluarkan konsep, terus kita tinggalkan, kok rasanya bagaimana ya. Lebih ke situ. Bagaimana ya membahasakannya saya tidak punya sesuatu yang konkrit untuk menjawab itu. Kita coba menyakinkan loh, caranya seperti ini. That’s it.

  • Pengelolaan Dana Otsus Papua Bermasalah

    Selasa, 18 Desember 2012 | 22:05 WIB

    JAKARTA, KOMPAS.com Ketua Tim Kajian Papua Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Adriana Elisabeth menjelaskan, pengelolaan dana Otonomi khusus (Otsus) bermasalah.

    Pasalnya, pembangunan di Papua dinilainya tidak sebanding dengan alokasi anggaran. SeLISepanjang 2002 sampai 2012, provinsi Papua menerima Rp 28,445 Triliun dana otsus.

    “Dana Otsus tidak bermasalah, tapi pengelolaannya bermasalah. Kalau Otsus dimulai di 2001, harus ada evaluasi komprehensif pemerintah menyikapi Otsus,” kata Elisabeth dalam peluncuran buku “Otonomi Khusus Papua Telah Gagal dan Saya Bukan Bangsa Budak” di Kantor Komnas HAM, Jakarta, Selasa (18/12/2012).

    Adriana mengatakan, kegagalan pembangunan di Papua disebabkan kinerja pemda. Pemda, terangnya, berperan dalam implementasi Otsus.

    Salah satu implementasi yang gagal terjadi pada sektor kesehatan. Kesehatan masyarakat di Papua, lanjutnya, tidak mengalami perbaikan.

    Padahal, dana otsus juga dialokasikan bagi anggaran untuk kesehatan. “Orang Papua sakit, tapi tidak dapat ditolong meskipun mereka punya uang untuk berobat. Kegagalan ini harus dievaluasi lagi,” tandasnya.

    Selain implementasi di sektor kesehatan, pendidikan wajib dicermati. Sebab, impelementasi pemda dalam sektor pendidikan, terangnya, tidak kalah mengkhawatirkan dari kesehatan.

    Hal itu, tambahnya, dapat dilihat dari partisipasi masyarakat Papua pada pendidikan yang rendah. Hal itu, diperparah oleh ketersediaan fasilitas pendidikan yang jauh dari harapan.

    “Pemda melakukan apa di sana (Papua), banyak anak tidak bersekolah. Apa yang dilakukan pemda saat diberikan dana otsus begitu besar?” tanyanya.

    Ia mencermati, pemda Papua tidak menjalankan tugasnya. Sehingga, implementasi dana otsus dalam sektor pendidikan dan kesehatan tidak berjalan sebagaimana mestinya.

    Kegagalan Pemda di masa kini itu, lanjutnya, harus menjadi bahan pelajaran pemerintah dalam membangun Papua ke depan. Menurutnya, pembangunan Papua harus memprioritaskan target implementasi dalam skala tertentu.

    Ukuran tersebut, tambahnya, harus memperhatikan kondisi internal Papua. “Kalau pembangunan Papua disamakan oleh pemerintah dengan kondisi daerah lain itu tidak tepat. Papua memiliki ciri khasnya sendiri yang membedakannya dengan daerah lain,” pungkasnya.

    Penulis: Aditya Revianur
    Editor: Benny N Joewono
  • Lily Wahid: Situasi Keamanan di Papua Bisa Berujung Referendum

    INTELIJEN.co.id – Situasi keamanan di papua yang terus memanas dikhawatirkan akan memunculkan persoalan lebih krusial dan luas. Masyarakat Papua akan semakin tidak percaya dengan pemerintah pusat, sehingga mencari pola penyeleseian ke organisasi internasional.

    Kondisi tersebut, harus segera mendapat respon dan langkah-langkah penyeleseian. Pemerintah pusat harus segera menyelesaikan persoalan Papua agar masyarakatnya tidak mengajukan referendum yang didukung PBB.

    “Analisa saya, indikasi referendum, warga Papua mendatangi kantor PBB di Jakarta,” kata anggota Komisi I DPR RI Lily Wahid kepada wartawan di gedung DPR, Rabu (26/10).

    Menurut Lily Wahid, dengan masuknya warga Papua ke PBB, pihak internasional menganggap bangsa Indonesia tidak menangani wilayah di Bumi Cenderawasih itu.

    “Ini bisa berujung ke referendum,” paparnya.

    Lily juga meminta pemerintah tidak melakukan pendekatan represif terhadap pergolakan di Papua. Persoalannya juga terkait kebijakan di daerah. Dana otonomi daerah selama ini tidak didukung dengan Peraturan Daerah (Perda).

    “Pemerintah Provinsi Papua harus membuat Perda pelaksanaan otonomi khusus, agar yang di bawah tidak teriak-teriak,” pungkasnya.

    Sumber: indonesiatoday.in

  • Pelapor Khusus PBB : Jurnalis Asing Bebas ke Papua, Untungkan Papua

    Surabaya, Jubi/Antara – Pelapor Khusus PBB mengenai Situasi HAM Palestina, Prof Dr Makarim Wibisono MA-IS MA, menilai kebijakan Presiden Joko Widodo membebaskan jurnalis asing untuk meliput Papua itu justru akan sangat menguntungkan Papua.

    “Kalau dilarang justru akan memunculkan pemberitaan yang keliru tentang Papua, tapi kalau dibuka bebas akan membuat jurnalis asing bisa melihat fakta dan perubahan di sana,”

    katanya setelah berbicara dalam debat publik bertajuk ‘Pengungsi Rohingya dan Respons ASEAN’ di Auditorium Fisip Unair Surabaya, Rabu (27/5/2015).

    Dalam “diskusi reboan” yang juga menampilkan dosen HI Fisip Unair Baiq Wardhani MA PhD itu, Prof Makarim yang juga guru besar luar biasa pada Hubungan Internasional (HI) Fisip Unair Surabaya itu menyatakan kebebasan jurnalis asing meliput Papua itu juga memaksa pemerintah untuk lebih siap.

    “Kalau orang asing bisa meliput Papua secara bebas, maka pemerintah pun tidak akan main-main dalam membangun Papua, sehingga dampaknya akan justru mendorong kesejahteraan masyarakat Papua,” katanya.

    Dampak lebih lanjut, katanya, kalau masyarakat Papua sejahtera, maka obsesi masyarakat Papua untuk merdeka itu akan hilang, apalagi Papua merdeka itu tidak menguntungkan Papua dan Indonesia, melainkan menguntungkan negara lain.

    “Jadi, kalau kita mampu mengelola Papua hingga masyarakatnya senang, maka obsesi untuk merdeka itu tidak akan pernah ada. Tapi, kalau kita salah dalam mengelola Papua, maka jurnalis yang ada di sana akan menyebarluaskan ke seluruh dunia dan citra kita akan tercoreng,”

    katanya.

    Sebelumnya (26/5), Direktur Utama Perum LKBN Antara Saiful Hadi mengusulkan adanya sanksi tegas untuk para jurnalis, termasuk dari luar negeri, yang menyajikan berita bias serta tidak berimbang tentang keadaan di tanah Papua.

    “Perlu sanksi tegas bagi jurnalis, termasuk berasal dari luar negeri, yang menyajikan pemberitaan tentang Papua berdasarkan fakta yang direkayasa,” katanya dalam Seminar Nasional bertema ‘Peluang, Tantangan dan Hambatan Atas Terbukanya Papua bagi Jurnalis Asing’ di Wisma Antara, Jakarta.

    Menurut dia, bentuk sanksi tersebut harus dibahas bersama dengan Dewan Pers agar seluruh pewarta dan termasuk jurnalis asing, dapat menjaga profesionalitas dalam pemberitaan mereka.

    Terkait permasalahan sanksi tersebut, Dewan Pers akan mendorong masyarakat untuk menyelesaikan permasalahan jurnalistik sesuai dengan Kode Etik Jurnalistik dan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers (hak jawab dan hak koreksi). (*)

    Source: TJubi.com, Diposkan oleh : Admin Jubi on May 28, 2015 at 11:11:08 WP [Editor : Victor Mambor] Sumber : Antara

  • Ada Peluang OPM Gugat PEPERA 1969 Mewujudkan Refrendum

    Jayapura, Jubi – “Agenda perjuangan kami masih tetap menuntut referendum. Agenda perjuangan penentuan nasib sendiri melalui mekanisme internasional itu solusi terakhir bagi Rakyat West Papua,” kata ketua I Komite Nasional Papua Barat (KNPB) Pusat, Agust Kossay kepada penulis, melalui telepon genggamnya, pertengahan Februari 2014.

    Gerakan rakyat Papua menuntut refredum mengemuka melalui pembentukan Komite Nasional Papua Barat (KNPB) pada 2008 bertepatan dengan peluncuran International Lawyers for West Papua (ILWP) di Inggris. Gerakan sipil kota ini berhasil memobilisasi ribuan masa rakyat. Kampanye tertutup hingga terbuka meluas ke seluruh wilayah Papua walaupun kini militer dan polisi sudah membatasi gerakan mobilisasi massa para aktivis muda yang radikal ini.

    Pembatasan itu tidak membatasi kampanye mereka. Suara mereka masih menggema di jalan-jalan, di kampung-kampung di seluruh wilayah Papua. “Refredum…” teriak orator kemudian dibalas massa aksi “yes” hingga berulang kali setiap kali ada aksi mobilisasi massa dalam jumlah besar maupun kecil. Tembok-tembok di kota Jayapura tidak sulit kita temukan kata “Refredum”. Kata itu kiranya menjadi familiar di kalangan akar rumput.

    Gerakan perjuangan yang kebanyakan digalang anak muda ini menjadi perhatian khusus aparat negara, sorotan media pemberitaan dan perbincangan publik dan kalangan aktivis Papua Merdeka. Sebagian aktivis Papua, kelompok pro integrasi dan pemerintah Indonesia memastikan kampanye referendum satu agenda yang tidak mungkin dan tidak boleh terjadi dengan beragam alasan.

    Aktivis pro Papua merdeka beralasan Papua belum masuk ke dewan dekolonisasi PBB. Banyak pertanyaan, apa prosesnya dan sebagainya mempersoalkannya? Karena itu, sejumlah kelompok yang kebetulan bergabung atau berafiliasi dengan faksi politik Papua Merdeka yang lain terang-terangan menentang agenda referedum. Referedum dilihat sebagai agenda yang tidak mungkin dan sulit membawa Papua lepas dari Indonesia.

    Kemudian, kelompok pro Indonesia mengatakan referedum suatu yang mustahil. Status Papua sudah final, menjadi bagian integral dari NKRI melalui PEPERA 1969. Catatan hasil PEPERA pada 19 November 1969 dengan nomor 2054 menjadi intrumen mereka mengatakan masalah Papua sudah final. Karena itu, gerakan sipil pro integrasi muncul untuk mempertahankan status final itu. Barisan Merah Putih (BPM) dan mungkin Lembaga Mis Reclaserring Indonesia (LMRI) bagian dari itu. “Kami akan rekrut 9.000 anggota di seluruh Papua,” kata Komando LMRI Imam Safey kepada penulis dalam satu wawancara di Waena, Kota Jayapura.

    Gerakan pro Integrasi itu tentunya mendapat dukungan pemerintah pusat melalui kekuatan militer. Pemerintah Jakarta memasok ribuan pasukan ke Papua memback-up pasukan yang ada di Papua. Puluhan orang Papua pro kemerdekaan dan warga sipil menjadi korban, termasuk puluhan anggota KNPB yang terang-terangan kampanye referedum. Sebagian dari mereka menjadi tahanan politik di seluruh wilayah Papua, misalnya Jayapura, Nabire dan Jayawijaya.

    Puluhan anggota KNPB ditangkap, ditahan, diinterogasi, dianiya, diadili, dipenjarakan dan bahkan dibunuh. Kata Agust Kossay, 29 anggota KNPB tewas di tangan TNI/POLRI Indonesia. Mereka tertembak saat melaksanakan aksi damai maupun tidak melakukan aksi, tertembak mati karena sudah ditargetkan seblumnya dengan kecurigaan dan kebencian, namun mereka tidak pernah mundur dengan slogannya “Lawan. Kita harus mengahiri. Referedum Solusi untuk Papua”.

    Kata Laksda TNI (Purn) Soleman B. Ponto, upaya negara melalui militer mempertahankan Papua dengan kekerasan itu membuka jalan menjawab aspirasi aktivis Papua yang menuntut refrredum. Korban yang terus berjatuhan bisa mengundang reaksi dunia internasional yang sudah berkoar-koar di beberapa negara. Reaksi itu bisa datang melalui berbagai cara, tergantung situasi Papua dalam kekuasaan Indonesia. Indonesia jahat atau tidak, menentukan campur tangan asing.

    “Mungkinkan Papua akan lepas seperti Timor Timur melalui suatu referendum? Peluang itu bukan tidak mungkin,” kata mantan kepala Badan Intelejen Strategis (BAIS) TNI periode 2011-2013 ini dalam bukunya, “Jangan lepas Papua,Mencermati Pelaksaan Operasi Militer di Papua, Sebuah Kajian Hukum Humaniter dan Hukum HAM”.

    Bagaimana proses referedum yang kebanyakan orang mengatakan tidak mungkin itu menjadi mungkin dan bisa memerdekan Papua? Apakah Papua bisa mengikuti Jejak Timor-Timur yang menentukan Nasib Sendiri melalui mekanisme Refrendum? Kata Jenderal, peluang itu sangat terbuka, tergantung sikap Indonesia dan respon orang Papua, terutama aktivis Papua Merdeka terhadap tindakan Indonesia yang kian nampak pelanggaran HAMnya.

    Katanya, referedum bisa berjalan lancar dengan cara mengugat PEPERA 1969. Aktivis Papua bukan negara, tentunya tidak bisa mengugat, namun dengan alasan ada pelanggaran HAM, negara-negara lain bisa saja membantu orang Papua mengugat PEPERA. Negara-negara yang konsen terhadap isu HAM dan negara-negara yang menjadi basis diplomasi aktivis Papua bisa mengugatnya.

    Kata Jenderal yang mendalami ilmu hukum HAM ini, ada dua kelompok negara yang berpotensi besar membantu Papua mengugat PEPERA. Pertama, negara-negara kecil yang selama ini sudah menunjukan sikap mendukung Papua. Negara-negara itu tentunya negara-negara kecil di kawasan Pasific dan Afrika yang selama ini menyuarakan pelanggaran HAM. Negara-negara itu antara lain Vanuatu, Nauru, Fiji, Samoa, Kepulauan Salomon dan sejumlah negara Afrika seperti Anggola, Saotome dan Mozambik.

    Negara-negara ini bisa saja membantu gugat PEPERA namun potensinya sangat kecil. Karena, menggugat hingga menyelenggarakan refredum itu membutuhka biaya yang tidak sedikit. “Sebagai negara mereka bisa mengajukan gugatan tetapi negara-negara kecil ini tidak mungkin mendukung pembiayaannya,” tulis mantan Jendral bintang dua ini dalam buku yang mencerahkan dan buku suatu pengakuan seorang militer terhadap pelanggaran HAM di Papua ini.

    Kedua, Negara-negara besar yang memiliki anggaran besar. Negara-negara besar ini bisa membantu Papua dengan dua kepentingan. Kepentingan membela kemanusiaan manusia Papua dan kepentingan sumber ekonomi di Papua. Negara-negara ini sangat berkepentingan. Mereka bisa menyokong aktivis Papua, mengajukan gugatan dan menyelengarakan refredum.

    “…yang perlu diwaspadai adalah negara-negara kaya yang memiliki kepentingan tertentu terhadap Papua dan Indonesia, misalnya untuk alasan ekonomi. Apa lagi sejumlah kalangan menyebutkan bahwa LSM-LSM di AS, Inggris, Kanada, Australia, Belanda, Irlandia, Belgia…, makin banyak yang memberikan dukungan kepada OPM,”

    katanya.

    Karena itu, mantan Kepala Intelijen Negara ini mengingatkan pemerintah, terutama alat Negara yang berusaha mempertahankan Papua melalui tindakan bersenjata harus waspada. Negara harus merubah pendekatan, bukan membantah dengan alasan regulasi nasional. Alasan hukum nasional itu sulit dijadikan tameng bila berhadapan dengan negara luar yang berpegang teguh pada hukum Internasional dan HAM.

    Pihak luar yang berpegang teguh pada hukum Internasional dan hukum HAM bisa saja menyatakan telah terjadi pelanggaran HAM. Kalau itu yang terjadi, sekali lagi kata jenderal bukan tidak mungkin Papua mengikuti jejak Timor Timur. Karena itu, kata sang Jenderal, pemerintah perlu evaluasi pengiriman pasukan dan evaluasi UU TNI.

    Pernyataan jenderal ini sesuguhnya menginpirasi kedua belah pihak. OPM maupun pemerintah Indonesia untuk bertindak mewujudkan tujuannya. Pemerintah yang ingin mempertahankan Papua dengan konsep Papua bagian dari NKRI harus melaksanakan usulan jenderal untuk mengevaluasi dan mengubah pendekatan terhadap gerakan Papua merdeka atau semuanya melalui dialog Jakarta Papua yang di perjuangkan Jaringan Damai Papua (JDP).

    Kemudian, kalau usulan itu tidak diterima dan dilakukan, proses yang disampaikan sang jenderal, bagaimana mengugat PEPERA dan Refrendum itu dapat dimanfaatkan aktivis Papua Merdeka. Aktivis Papua bisa saja melakukan pemantauan pelanggaran HAM, melaporkan, mengudang simpati negara-negara yang dimaksud membantu proses. “Bukan hal yang tidak mungkin,” katanya. (Mawel Benny)

    Source: Jubi , Diposkan oleh : Benny Mawel on March 16, 2015 at 17:31:24 WP [Editor : Victor Mambor]

Are you sure want to unlock this post?
Unlock left : 0
Are you sure want to cancel subscription?