Category: Uncategorized

  • Port Vila ACP-EU heard that more 1 000 West Papuans killed

    Port Vila ACP-EU heard that more 1 000 West Papuans killed

    Port Vila ACP-EU heard that more 1 000 West Papuans killed
    Port Vila ACP-EU heard that more 1 000 West Papuans killed

    West Papuans were never allowed the proper act of self-­determination guaranteed by the inalienable right to self-­determination as expressed in UN human rights Covenants and by the 1962 New York Agreement, a treaty between the Netherlands and Indonesia handing provisional administration of the territory from one country to the other.

     Indonesia arrived in West Papua in 1963 and immediately began violently suppressing all West Papuan aspirations for independence. West Papuans have suffered horrendously under Indonesian rule, including thirty years under the Suharto dictatorship and now nearly twenty under a more democratic, but ultimately colonial, regime. More than a hundred thousand (and perhaps hundreds of thousands) have died because of Indonesia’s annexation. Human rights violations, amounting to ‘crimes against humanity’, continue with impunity.
     Indonesian state authorities, Indonesian settlers and Indonesian (as well as foreign) companies have steadily but surely assumed control over every aspect and arena of West Papuan life. Indonesian claims to have developed West Papua’ ignore the fact that development has primarily benefited Indonesians not Papuans.  Ethnically, culturally and politically, West Papua is part of the Melanesian Pacific, not Southeast Asia. Papuans are black-­skinned Melanesians like the people in neighbouring Papua New Guinea, the Solomons Islands, and Vanuatu.  Indonesia and especially its security forces treat West Papuans as sub-­human because of this racial difference. For decades, the Indonesian government has sent tens of millions of Indonesians from more densely populated regions to its outer, more sparsely populated islands, including West Papua..A parallel voluntary migration continues to this day. In the early 1960s, indigenous Papuans constituted 97% of the population. Today, Papuans are almost a minority in the territory and are already outnumbered in the towns and cities, along the coasts and in the major areas of plantation agriculture. Their culture, the very names of their places, their words and rhythms, the skills, traditions and knowledge that have served for millennia, are being discounted, wiped out, leaving them bewildered and unprepared in an alien world.
     Amnesty International has estimated that more than one hundred thousand (or about 10 percent of the population) have been killed by Indonesian security forces. Other estimates of the deaths, are in the several hundred thousands, one quarter or more of the indigenous Papuans.
     
    On-­going violations of the human rights of indigenous West Papuans, including torture, extra-­judicial execution, forced disappearances and the beating and shooting of peaceful protestors, amounting in some instances to crimes against humanity,’ with estimates ranging up to a half-­million killings during Indonesias 54 year occupation of the territory
     A Yale University report is one of several defining Indonesian rule as genocidal.

     The worst period of killing occurred during the 1970s and 1980s, at the height of the Suharto military dictatorship, when West Papua was officially a “military operations area.” Although an even greater percentage of East Timorese likely died after Indonesia invaded the former Portuguese colony in 1975, the exterminationist violence employed is the same and Indonesian racist attitudes of superiority towards “subhuman” black Papuans is greater still.

     

    CALL for ACP-EU Resolution on West Papua

    ·       ACP-EU Parliamentarians can voice their concern and they can support Papuan rights, including the right to self-­determination by rallying to the call from the 8 Pacific Island Countries for justice and respect for the right to self –determination.

    ·       They can get regional and global intergovernmental bodies such the African Union, CARICOM and other regional and sub-regional multilateral bodies to pass resolutions and restrict commercial and other relations with Indonesia.

    ·       As member states of the United Nations ACP –EU countries can insist on an internationally supervised referendum on independence (or at least the re-­listing of West Papua as a non-­self-­governing territory).

    ·       Support with one voice the proposed resolutions in the upcoming Joint ACP-EU parliament meeting in month of October and also the resolution on West Papua to be adopted at ACP Council of Ministers meeting in November 2017

    ·       Call on ACP-EU Parliamentarians to urge their respective governments to address the issue of West Papua at the multilateral level and assist Indonesia to resolve this 54 year crisis.

    Source: https://www.gov.vu/

  • Tokoh Pro Referendum Papua Raih Penghargaan dari Timor Leste

    Mantan Perdana Menteri Vanuatu, Barak Sope (Foto: Ist)
    Mantan Perdana Menteri Vanuatu, Barak Sope (Foto: Ist)

    DILLI, SATUHARAPAN.COM – Mantan Perdana Menteri Vanuatu, Barak Sope, yang dikenal sangat vokal menyuarakan penentuan nasib sendiri (referendum) Papua, mendapat penghargaan “Order of Timor Leste” atas kontribusinya terhadap perjuangan kemerdekaan negara itu.

    Order of Timor-Leste (Bahasa Portugis: Ordem de Timor-Leste) adalah penghargaan tertinggi yang diberikan oleh pemerintah Timor Leste kepada tokoh domestik maupun asing.

    Penghargaan ini mulai diberikan pada 2009, yang pada awalnya diperuntukkan bagi mereka yang berjasa bagi perjuangan kemerdekaan Timor Leste. Namun belakangan ini penghargaan itu diberikan kepada tokoh-tokoh yang memiliki jasa lebih luas dari hanya untuk kemerdekaan Timor Leste. Dewasa ini penghargaan ini diberikan kepada tokoh dalam negeri maupun asing  yang memberikan kontribusi signifikan bagi Timor Leste, bagi rakyat Timor Leste dan bagi kemanusiaan secara umum.

    Berbicara setelah menerima penghargaan itu, sebagaimana dilaporkan oleh radionz.co.nz, Sope mengatakan ia percaya suatu saat Papua akan merdeka dari Indonesia.

    Akhir tahun lalu, ia mendorong Vanuatu untuk menjadi anggota Komite Khusus PBB untuk Dekolonisas (yang disebut Komite 24), untuk menghadapi pengaruh Indonesia yang juga berada dalam komite tersebut.

    Ada 24 teritori yang termasuk dalam daftar Dekolonisasi PBB, namun Papua tidak termasuk di dalamnya. Enam teritori Pasifik yang masuk dalam komite itu adalah French Polynesia, New Caledonia, American Samoa, Guam, Tokelau and Pitcairn.

    Sope juga mengeritik Papua Nugini dan Fiji sebagai negara yang menurut dia, menyebabkan Melanesian Spearhead Group (MSG) tidak efektif memperjuangkan nasib Papua.

    Ketokohan Barak Sope tidak lepas dari kontroversi. Tokoh bernama lengkap Barak Tame Sope Mautamata ini, pernah menjadi PM Vanuati dari 1999 sampai 2001, namun dimakzulkan oleh parlemen.

    Seusai dimakzulkan, ia didakwa atas tuduhan korupsi dan divonis tiga tahun penjara pada tahun 2002. Namun ia mendapat pengampunan pada tahun 2003, yang kemudian menuai protes dari Australia dan Selandia Baru.

    Ia pernah menjadi menteri luar negeri pada 2004 tetapi hanya beberapa bulan. Ia mundur setelah dengan sangat vokal menentang pemulihan hubungan Vanuatu dengan Taiwan.

    Pada bulan Desember 2004 ia diangkat menjadi menteri pertanian dan kelautan.

    Pada tahun 2008 ia memenangi sebuah kursi di parlemen, namun pada 2014 ia kalah dalam pemilihan presiden. Ia dikalahkan oleh presiden saat ini, Baldwin Lonsdale.

    Editor : Eben E. Siadari

  • Forum Gereja Papua Desak RI Akui KNPB dan ULMWP

    Dari kiri: Ketua Umum Badan Pelayan Pusat Persekutuan Gereja-gereja Baptis Papua, Pdt Socratez Sofyan Yoman S.Th, MA, Presiden Gereja Injili di Indonesia (GIDI), Pdt Dorman Wandibo, S.Th, Ketua Sinode Kingmi di Tanah Papua, Pdt Dr. Benny Giay. (Foto: Ist)
    Dari kiri: Ketua Umum Badan Pelayan Pusat Persekutuan Gereja-gereja Baptis Papua, Pdt Socratez Sofyan Yoman S.Th, MA, Presiden Gereja Injili di Indonesia (GIDI), Pdt Dorman Wandibo, S.Th, Ketua Sinode Kingmi di Tanah Papua, Pdt Dr. Benny Giay. (Foto: Ist)

    JAYAPURA, SATUHARAPAN.COM – Forum Kerja Oikumenis Gereja-gereja Papua, dalam Surat Gembala berjudul Minum dari Air Sumur Sendiri, mendesak pemerintah RI mengakui keberadaan Komite Nasional Papua Barat (KNPB) dan United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) ketimbang memberi stigma separatis kepada kedua organisasi itu.

    “Kami sebagai pimpinan gereja melalui surat gembala ini, mengulangi kembali pernyataan kami di depan Presiden SBY pada tanggal 16 Desember 2011. Pandangan kami sebagai Gereja terkait kedua lembaga ini (KNPB dan ULMWP, Red) belum berubah sampai hari ini (termasuk OPM dll). Kami usul agar KNPB  diterima dan diberi ruang,” demikian Surat Gembala yang ditandatangani oleh Pdt. Dorman Wandikmbo S.Th, Ketua Sinode GIDI di Tanah Papua, Dr. Socratez Sofyan Yoman, MA, Ketua Badan Pelayanan Persekutuan Gereja-gereja Baptis Papua dan Pdt Dr. Benny Giay, Ketua Sinode KINGMI di Tanah Papua dan pengacara HAM Papua, Frederika Korain SH MPA.

    Alasannya, menurut Surat Gembala tersebut, karena aspirasi Papua merdeka yang mereka bawa dan perjuangkan  tidak lahir begitu saja. “Mereka tidak tiba-tiba bermimpi dan langsung perjuangkan aspirasi ini. Aspirasinya tadi lahir dalam suasana interaksi dalam sejarah Indonesia dengan aparat Indonesia yang membawa kebijakan-kebijakan yang melumpuhkan Papua. Dalam bahasa Papua ‘aspirasi Papua merdeka’ (Nasionalisme Papua) yang diusung KNPB dan ULMWP ini adalah bayi yang lahir sebagai ‘buah’ dari interaksi/ perkawinan paksa Papua dengan Indonesia; seperti  nasionalisme Indonesia yang lahir sebagai reaksi terhadap kebijakan Pejajahan Belanda,” demikian Surat Gembala tersebut.

    Karena itu, didesak agar Idonesia menghentikan semua ‘stigma’, upaya kriminalisasi terhadap ULMWP dan KNPB.

    Lagipula, menurut Surat Gembala, KNPB dan ULMWP sudah hadir di Indonesia, mereka adalah bagian dari sejarah Indonesia; Indonesia punya andil dalam menghadirkan KNPB dan ULMWP dan lembaga lainnya.

    “Penyelesaiannya tidak boleh sepihak dengan politik stigma, tetapi  dialog seperti: yang dilakukan Pemerintah RI dan GAM.”

    Diingatkan pula bahwa Papua bukan lagi terisolir dari dunia internasional;  dengan media sosial Papua dan Indonesia sudah menjadi bagian dari dunia yang tengah mengglobal.

    “Kami mendengar dalam UPR di Dewan HAM PBB ada juga suara dari masyarakat internasional kepada Pemerintah NKRI yang mempersoalkan posisi Indonesia dalam hubungan dengan ULMWP dan KNPB,” demikian Surat Gembala tersebut.

    Negara Mendesain Kekerasan secara Khusus di Papua

    Terbitnya Surat Gembala yang terdiri dari enam bagian dan penuh dengan nada prihatin itu, dilatarbelakangi oleh berbagai perkembangan dalam satu bulan terakhir.

    Para pemimpin gereja di Papua itu, dalam Surat Gembala antara lain menyebut internasionalisasi masalah Papua lewat peran tujuh negara Pasifik yang di Sidang Majelis Umum PBB di New York, September 2016 dan dalam sidang Dewan HAM PBB di Genewa, Swiss, serta catatan kritis Negara-negara terhadap evaluasi UPR Indonesia 3 Mei 2017 Dewan HAM PBB di Genewa.

    Ditengarai bahwa pasca gencarnya internasionalisasi masalah Papua, Jakarta tidak tinggal diam. Jakarta mengambil  sejumlah  langkah, termasuk mewajibkan para Gubernur mengikuti latihan militer di Natuna; kunjungan Presiden Jokowi yang diduga untuk kepentingan pertahanan dengan kunjungan ke Perbatasan di PNG dan ke Habema Wamena untuk membangun Basis militer di sana; gencarnya usaha mempengaruhi kelompok-kelompok masyarakat Papua untuk menyerahkan diri dan upaya Kementerian Luar Negeri mengumpulkan dan memakai mahasiswa Papua untuk menciptakan image positif tentang Indonesia di luar negeri.

    Pada saat yang sama, Surat Gembala tersebut juga menengarai Negara mendesain kekerasan secara khusus di Papua, antara lain terlihat dari PGGP (Persekutuan Gereja-Gereja Papua) lewat pernyataan sikapnya melegitimasi upaya negara mengkriminalisasi organisasi masyarakat sipil Papua.

    Disebutkan, pada 15 Mei 2017, setelah dilantik sebagai Kapolda Papua yang baru, Kapolda menetapkan 12 program prioritas, salah satu diantaranya adalah membasmi organ-organ radikal di Tanah Papua dengan menyebut secara khusus nama KNPB. Kapolda Papua bahkan mengumumkan pada 19 Mei 2017, hendak membentuk Tim khusus  untuk menangani kasus kriminalitas.

    “Negara secara sistematis mengkriminalisasi KNPB sebagai organisasi gerakan masyarakat sipil Papua  yang memperjuangkan keadilan dan perdamaian tanpa kekerasan, sebagai pelaku pembunuhan dan kekerasan yang marak terjadi di Jayapura dan Sentani dalam sebulan terakhir,” demikian Surat Gembala.

    “Negara mempertontonkan wajah rasisme terhadap orang asli Papua, secara khusus warga Papua asal Pegunungan Tengah yang dituduh sebagai pelaku tindak kekerasan dan kriminalitas.”

    Berdiri Bersama Jemaat

    Di bagian lain Surat Gembala, para pemimpin gereja itu menegaskan sikap untuk tetap berdiri bersama umat, kendati berbagai penderitaan yang dialami.

    “Ketegaran warga jemaat kamilah yang membuat kami pimpinan Gereja bisa berkumpul di sini hari ini. Warga jemaat kami dibunuh, distigma, KNPB yang dihina/ distigma dan kapan saja bisa dihilangkan oleh perintah seorang komandan Brimob, Polisi, Kodim, dll. Tetapi kenyataan ini juga  yang membuat kami bertanya: apa arti tugas Gereja dalam dunia seperti ini? Apa yang sedang kami hadapi? Pengalaman mengikuti operasi keamanan minggu ini di Tanah ini, menolong kami mengerti bahwa kami sedang berhadapan dengan suatu sistem didikte oleh ‘rasisme Farhat Abas.’”

    “Lembaga keamanan ini sudah tidak berdiri di atas semua golongan. Pertanyaannya bagi kami Gereja ialah: Bagaimana kami, Gereja  bisa berdiri dan angkat muka dan keluar masuk dalam lingkungan sosial dan pemikiran sosial dan politik yang sudah bercampur baur dengan rasisme.  Seperti terlihat dalam kinerja Kapolresta dan Polda yang tidak mengejar pelaku pembunuhan di Waena tetapi langsung vonis “orang Wamena”, orang Gunung, dll (tgl 19 Mei 2017) sebagai pelaku dan membiarkan kelompok etnis tertentu membunuh dan membacok Pius Kulua (yang tewas seketika) dan Yowenus  sehingga dilarikan ke rumah sakit.
    Perkembangan ini, membuka mata kami pimpinan Gereja,  sehingga melihat perjuangan warga jemaat selama ini  sebagai perlawanan terhadap  apa yang Daniel Dakhidae  menyebutnya sebagai ‘disguised slavey, perbudakan  terselubung.’”

    Minum dari Sumur Sendiri

    Di bagian akhir dari Surat Gembala tersebut, kepada jemaat para pemimpin gereja menyerukan untuk mempertanggung-jawbkan imannya dengan keluarga dan para pendeta membuat komitmen bersama untuk “menyiapkan generasi masa depan Papua “yang bisa menjadi Surat Kristus” pada masa depan.

    “Kami pemimpin Gereja melalui surat Gembala ini  mengajak seluruh warga Gereja untuk memberi prioritas terhadap pendidikan, kemajuan  dan masa depan anak-anak Papua.  Kekerasan yang yang berwajah rasis ini kita lihat sebagai campuk dan lonceng dari Tuhan untuk kita menata diri, menentukan prioritas dan arah baru bagaimana anak-anak kita, banga Papua (dari Gunung dan Pantai, tanah besar dan pulau) kita giring, bentuk dan bina untuk  nanti bisa tampil gemilang dalam bidang pendidikan, Hukum, teolog, kimia, biologi, dll.”

    Konkritnya, warga Gereja diajak untuk bekerja keras, membangun ekonomi keluarga, bangun budaya kerja lalu  sisikan uang untuk memperhatikan gizi anak-anak dan uang dan kebutuhan anak-anak Papua dan dorong pendidikan anak2 dari SD sampai ke Perguruan Tinggi.

    Selain itu mereka mengimbau jemaat membangun budaya membaca dan diskusi dan sejak dini; ajar mereka mencintai bahasa dan budaya dan sejarah Papua sejak dini.

    Kepada para pejabat Papua, pemimpin gereja mengimbau untuk menangkap semangat ini, “Kita bisa jaga tanah dan budaya kita, hanya dengan membiayai pendidikan bagi generasi muda dan generasi anak Papua ke depan.”

    Editor : Eben E. Siadari

  • Hari Ini Tolak Fahri Hamzah, Senin Referendum Minahasa Merdeka

    Seruan aksi Referendum Minahasa Merdeka telah menyebar di media sosial (Medsos). Seperti yang diposting fanpage Facebook Ancient of Minahasa.

    “Tuntutan: Referendum Minahasa Merdeka. Sekarang waktunya Minahasa tegas,” tulisnya, Jumat (12/5/2017) kemarin.

    Aksi tersebut akan dilakukan di depan Kantor Gubernur Sulawesi Utara. Peserta aksi diminta menggunakan seragam hitam-merah.

    Seruan aksi berbau makar tersebut dilakukan warga Minahasa sebagai bentuk protes terhadap penahanan Basuki Tjahaja Purnama alia Ahok.

     

    Seruan Minahasa Merdeka. (Fanpage Facebook/Ancient of Minahasa)
    Seruan Minahasa Merdeka. (Fanpage Facebook/Ancient of Minahasa)

    Sementara itu, akasi menolak Fahri Hamzah menginjakkan kakinya di tanah Minahasa hari ini masih terus berlanjut. Fahri ditolak karena dianggap intoleran.

    Ribuan massa dari berbagai ormas memadati Bandara Sam Ratulangi Manado dan Kantor Gubernur Sulut, Sabtu (13/5). Jalan Bandara Sam Ratulangi dipenuhi masa yang berseragam hitam.

     

  • Tapanga Rarua applies for the registration of Holy (Healing) Water

    Tapanga Rarua applies for the registration of Holy (Healing) Water

    DailyPost – Former MP, Willie Jimmy Tapanga Rarua, the holder of the lease title for the land on which the miracle water in Luganville, Santo, is located and his wife Alvin Tapanga Rarua have applied to the Vanuatu Financial Services Commission (VFSC) in Port Vila to register the services under the name Holy (Healing) Water.

    A Notice by Luganville Municipal Council on the Property in Question to the site advising to the people that miracle water is for free
    A Notice by Luganville Municipal Council on the Property in Question to the site advising to the people that miracle water is for free

    The application forms lodged with the VFSC were signed on April 25, 2017 and signed by the two applicants.

    An accompanying Lands Records Office document shows that an Urban Commercial Lease dated April 17, 2007 between the Lessor, the Minister of Lands and the Lessees Willie Jimmy Tanaga Rarua and Alvin Tapanga Rarua is for 75 years.

    In a letter to the Commissioner of the VFSC dated April 15, 2017, Mr. and Mrs. Tanpanga Rarua said that: “As proprietors of the Property Lease Title 03/1113/053 situated in Luganville, Espiritu Santo, we wish to register the name Holy or Healing Water that is currently being used by the trespassers into our property without our consent.”

    “We are also concerned of the fact that while we allow the use of the water to be free, commercial entities such as Vanuatu Ferry, Vanuatu Cargo, Big Sister and other coastal shipping agencies and even Air Vanuatu are all providing special trips to the travelling public at discounted rates to travel to travel to Santo to bathe in the Healing Water in my property,” they wrote.

    They alleged these entities are abetting and are in complicity with the traveling public to trespass into their property.

    “We therefore request the Commissioner to assist us to register the words or Name ‘Healing (Holy) Water Limited’ in our favor as proprietors of the property.”

    The name is to only apply to the water in Luganville and not any other place, they said.

    Caretakers of the water source say that upwards to 1,000 people visit the Miracle Water site everyday and between 3,000 and 4,000 on public holidays and weekends.

    These people are coming from all over the country including now from nearby New Caledonia.

    Jonas Cullwick, a former General Manager of VBTC is now a Senior Journalist with the Daily Post. Contact: jonas@dailypost.vu. Cell # 678 5460922

  • Sidang paripurna, Komisi I DPRP minta pemerintah dialog dengan ULMWP

    Suasana Sidang Paripurna ke IV DPR Papua Terhadap LKPJ Gubernur Papua Tahun 2016, Selasa (9/5/2017) - Jubi/Arjuna
    Suasana Sidang Paripurna ke IV DPR Papua Terhadap LKPJ Gubernur Papua Tahun 2016, Selasa (9/5/2017) – Jubi/Arjuna

    Jayapura, Jubi Komisi I DPR Papua, komisi yang membidangi pemerintahan, politik, hukum, HAM dan hubungan luar negeri menyatakan pemerintah perlu berdialog dengan United Liberation Movement for West Papua (ULMWP), wadah yang selama ini gencar menyuarakan berbagai masalah Papua di kancah internasional.

    Hal itu disampaikan anggota Komisi I DPR Papua, Kusmato ketika membacakan laporan komisinya dalam sidang paripurna ke IV DPR Papua terhadap LKPJ Gubernur Papua tahun 2016, Selasa (9/5/2017) di ruang sidang DPRP.

    “Persoalan HAM di Papua, bukan rahasia lagi. Sudah menjadi pembahasan di dunia internasional bahkan sampai ke PBB. Pemerintah pusat, pemerintah Provinsi Papua, harus duduk bersama mencari solusi,” kata Kusmanto.

    Komisi I mendukung komitmen atau pernyataan gubernur, meminta pemerintah berdialog dengan ULMWP.

    Komisi I menilai, masih terjadinya pelanggaran HAM di Tanah Papua dan belum juga ada penyelesaian yang dapat dipertanggungjawabkan, mengakibatkan korban jiwa dan harta benda.

    “Komisi I DPR Papua mendukung sepenuhnya Pemprov Papua atau Gubernur Papua untuk menyelesaikan pelanggaran HAM di Papua,” kata Kusmanto.

    Sementara Emus Gwijangge, anggota Komisi I DPR Papua kepada Jubi usai laporan komisinya mengatakan, pihaknya merasa perlu mengangkat hal tersebut, sebagai salah satu upaya mendorong pihak terkait menyatukan persepsi menyelesaikan berbagai masalah di Papua.

    “Kami ingin mengingatkan pemerintah pusat, khususnya jangan pernah alergi dengan ULMWP. Suka tidak suka, wadah ini memang ada. Melakukan diplomasi di dunia internasional. Bagaimana agar pemerintah bisa duduk bersama bersama dengan ULMWP,” kata Emus. (*)

    Reporter :Arjuna Pademme
    harjuna@tabloidjubi.com
    Editor : Angela Flassy
  • Amunggut Tabi: Kunjungan Jokowi Sekedar Menutup Malu, Tetapi Terimakasih Bisa Sadar Juga Walaupn Sudah Terlambat

    Ada pepatah mengatakan “It is better late than never”, atau lebih baik lambat daripada tidak. Demikian dikatakan Lt. Gen. TRWP Amunggut Tabi menanggapi sekian kali sudah Presiden kolonial NKRI, Joko Widodo datang ke Tanah Papua, katanya, sebagai bukti keseriusannya membangun Tanah Papua.

    Menanggapi itu, Amunggut Tabi dari Markas Pusat Pertahanan Tentara Revolusi West Papua (MPP TRWP) menyampaikan beberapa catatan. Pertama, “terimakasih karena bisa sadar juga saat ini, walaupun itu sudah terlambat”. Menurut Tabi, persoalan hubungan West Papua dengan NKRI sudah lama mengalami kehancuran, dan hubungan itu secara psikologis-nurani, orang Papua sudah tidak menerima NKRI dan orang Indonesia ada di tanah leluhur bangsa Papua, ras Melanesia.

    Sudah berulang-ulang orang Papua, mulai dari orang-orang seperti Freddy Number, yang beberapa kali menjadi menteri dalam negara kolonial NKRI, Lukas Enembe, yang menjadi Gubernur Provinsi Papua saat ini, Abraham Atururi yang menjadi Gubernur NKRI Papua Barat hari ini, dan banyak pejabat kolonial asal Papua lain. Mereka dengan jelas dan degas mengatakan bahwa NKRI gagal meng-Indonesia-kan Papua.

    Artinya orang Papua sampai hari ini, biar diberi jabatan menteri sampai tiga, seratus kali-pun, orang Papua akan tetap merasa non-Indonesia, dan tanah Papua masih akan dianggap sebagai tanah jajahan NKRI.

    Hal kedua, menurut Tabi, apa yang dilakukan Joko Widodo bagus juga, karena NKRI memang harus membayar hutang nyawa orang Papua yang dia bunuh, hutang harga kekayaan yang dia sudah bawa keluar. Memang sangat sedikit yang dia bayar, tetapi paling tidak ada rasa bersalah di pihak Presiden NKRI sehingga berulang-ulang datang ke Tanah Papua untuk menutup rasa malu. Ini tanda-tanda manusia punya hatinurani. Tabi berharap Jokowi tidak kemudian menaruh harapan apa-apa kepada hati orang Papua supaya berbalik mendukung NKRI. Kata Tabi:

    Saya harap Jokowi tetap sadar, jauh di lubuk hati terdalamnya, bahwa bangsa Papua, diberi apapun, diberi berapapun, dikunjungi tiap hari-pun, dibangun istana Presiden-pun, sampai kiamat, tetap akan minta merdeka. Akan hidup bertetangga dengan baik, sama dengan Timor Leste, kalau West Papua merdeka dan berdaulat di luar NKRI. Jokowi tahu, bahwa apa yang telah dilakukan NKRI selama ini salah besar. Oleh karena itu apa yang dia lakukan hanya untuk menutup malu, bukan untuk membuat orang Papua berubah pikiran untuk mendukung NKRI atau membatalkan perjuangan Papua Merdeka.

    Ditanyakan tentang sisi lain dari pandangannya, bahwa justru semakin banyak jalan dibangun, maka semakin banyak proses militerisasi, dan semakin lama kekuatan perjuangan Papua Merdeka akan pudar, Tabi kembali menyatakan:

    Itu cerita dari mana sebuah perjuangan untuk menentukan nasib sendiri pernah dihentikan karena kunjungan presiden kolonial, sejarah dari mana pembangunan dilakukan oleh sang penjajah akhirnya elit dan rakyat yang terjajah pernah membatalkan perjuangan kemerdekaan mereka? Jangan tularkan mimpi lewat mulut orang Papua.

     

  • Jerman, Prancis, Kanada, Meksiko, Angkat Isu Papua di PBB

    JENEWA, SATUHARAPAN.COM – Isu Papua tetap menjadi sorotan sejumlah negara atas kondisi Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia di Dewan HAM Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) dalam Sidang Tinjauan Periodik Universal (Universal Periodic Review – UPR) pada hari Rabu (03/05) di Jenewa.

    Delegasi dari 103 negara secara berturut-turut mengomentari laporan HAM yang disiapkan oleh Indonesia, negara yang kali ini mendapat giliran untuk mendapat peninjauan.

    Berbagai tanggapan muncul terhadap laporan HAM di Indonesia yang disiapkan oleh delegasi RI yang dipimpin oleh Menteri Luar Negeri, Retno Marsudi dan Menteri Hukum dan HAM, Yasona Laoly.

    Isu penindasan aktivis dan wartawan di Papua merupakan salah satu yang mendapat sorotan dan kritik dari berbagai delegasi, disamping isu lain yang dominan, yaitu meningkatnya intoleransi beragama serta seruan untuk menghentikan hukuman mati terhadap penjahat narkoba.

    Berdasarkan catatan dokumen yang ada di laman UPR Info, setidaknya ada tujuh negara yang secara eksplisit menyebut Papua dalam rekomendasi yang mereka sampaikan. Negara-negara itu adalah Jerman, Prancis, Kanada, Meksiko, Selandia Baru, Korea Selatan dan Jepang.

    Jerman dalam rekomendasinya menyoroti pelanggaran HAM di Papua dalam kaitan penegakan hukum terhadap pejabat yang bertanggung jawab.

    “Jalankan prosedur yang akuntabel terhadap semua jajaran yang bertanggung jawab terhadap pelanggaran HAM di provinsi-provinsi Papua,” demikian rekomendasi dari delegasi Jerman.

    Selain itu Jerman juga merekomendasikan agar RI memberikan akses kepada delegasi ICRC ke provinsi-provinsi di Papua agar mereka dapat memenuhi mandat mereka.

    Sementara itu Prancis dalam rekomendasinya meminta agar RI melaksanakan investigasi independen terhadap kekerasan yang terjadi atas para pembela HAM dan membawa pihak yang bertanggung jawab ke pengadilan serta menjamin kebebasan berekspresi.

    Prancis juga menekankan perlunya kebebasan akses pers maupun masyarakat sipil ke Papua.

    Selanjutnya, Prancis mendesak Indonesia membebaskan jurnalis untuk melakukan liputan ke Papua.

    Dewan Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa melakukan UPR untuk setiap negara anggota setiap lima tahun, dan memberi kesempatan kepada negara lain untuk menganalisis kemajuan HAM di negara itu dan menyoroti masalah yang ada. Indonesia mendapat giliran pada sesi 27 pada sidang Dewan HAM PBB pada 3 Mei.

    Selain negara-negara yang sudah disebutkan di atas, Korea Selatan juga menyebut Papua secara eksplisit dalam rekomendasinya. Negara ini  merekomendasikan peningkatan perlindungan kepada pembela HAM dalam upaya mereka meningkatkan kondisi HAM kelompok etnis dan agama di wilayah tertentu, termasuk di Papua.

    Ada pun Meksiko merekomendasikan Pelapor Khusus PBB mengunjungi Indonesia khususnya Pelapor Khusus PBB tentang penghilangan paksa, Pelapor Khusus mengenai isu-isu minoritas, Pelapor Khusus mengenai hak atas makanan, dan Pelapor Khusus mengenai hak-hak masyarakat adat.

    Secara khusus, Meksiko meminta agar para Pelapor Khusus tersebut mengunjungi Papua.

    Hal senada disuarakan oleh Kanada. Negara ini meminta agar Indonesia mengambil langkah, terutama di Papua, untuk meningkatkan perlindungan bagi pembela HAM dalam melawan stigmatisasi, intimidasi dan serangan.

    Indonesia juga diharapkan mengambil langkah untuk menjamin penghormatan terhadap kebebasan berekspresi dan demonstrasi damai, termasuk melalui peninjauan terhadap peraturan yang dapat digunakan untuk membatasi ekspresi politik, khususnya pasal 106 dan 110 dari KUHP.

    Di bagian lain rekomendasinya Kanada meminta agar Indonesia membebaskan mereka yang ditahan semata-mata untuk kegiatan politik yang damai.

    Sementara itu, Selandia Baru memberikan rekomendasi yang lebih lunak. Negara ini merekomendasikan agar Indonesia melaksanakan pelatihan yang komprehensif tentang HAM kepada aparat militer dan kepolisian, termasuk mereka yang bekerja di Provinsi Papua dan Papua Barat.

    Selanjutnya, Jepang dalam rekomendasinya meminta RI segera menghentikan pelanggaran HAM oleh aparat militer dan kepolisian di Papua serta menghentikan impunitas terhadap pelanggaran HAM yang berlaku di Papua.

    Selain tujuh negara yang sudah disebutkan, sejumlah negara juga memberikan rekomendasi yang berkaitan dengan situasi HAM di Papua, walaupun tidak dinyatakan secara eksplisit.

    Australia merekomendasikan agar Indonesia meningkatkan transparansi HAM dengan memberikan akses media lokal maupu internasional, meningkatkan hubungan dengan Kantor Komisioner HAM PBB, Palang Merah Dunia dan organisasi internasional yang relevan.

    Selain itu Australia juga meminta Indonesia mengambil tindakan untuk memastikan bahwa pelanggaran HAM, termasuk pelanggaran yang dilakukan oleh pasukan keamanan Indonesia diselidiki dan mereka yang dianggap bertanggung jawab dituntut dengan cara yang adil.

    “Memastikan investigasi cepat, komprehensif, dan efektif atas tuduhan pelanggaran HAM yang kredibel oleh anggota pasukan keamanan…,” demikian rekomendasi Australia.

    Ada pun Austria merekomendasikan langkah-langkah efektif lebih lanjut untuk mengakhiri impunitas dalam kasus-kasus kekerasan dan penyiksaan yang dilakukan oleh aparat keamanan.

    Menteri Luar Negeri, Retno Marsudi, mengatakan setelah melakukan dialog selama 3,5 jam dengan delegasi dari 103 negara, tertangkap pesan kuat bahwa para delegasi mengapresiasi berbagai kemajuan serta upaya dan komitmen Indonesia dalam mengatasi tantangan di bidang pemajuan dan perlindungan HAM.

    Namun, intelektual muda dan aktivis HAM Papua, Markus Haluk, menilai sebaliknya. Ia berpendapat, laporan HAM delegasi RI di Dewan HAM PBB tidak mencerminkan keadaan yang sebenarnya.

    Karena itu, lanjut dia, rakyat Papua menolak ‘pembohongan’ pemerintah RI dalam UPR dan menuntut pemerintah memnerikan hak penentuan nasib sendiri.

     

    Editor : Eben E. Siadari

  • KNPB Wilayah Byak Supiori Melakukan Sosialisasi di Sektor KNPB Marawaf Byak Utara

    KNPB Wilayah Byak Supiori Melakukan Sosialisasi di Sektor KNPB Marawaf Byak Utara

    Byak 30 April 2017 Knpb Wilayah byak melakukan sosialisasi untuk Memobilisasi bahkanpula memberikan pemahaman tentang sejarah perjuangan Papua Merdeka di sektor Knpb  marawaf Byak Utara, sosialisasi tersebut di pusatkan di balai kampung Marawaf berjalan aman dan lancar, Maka dalam sosialisasi tersebut dihadiri seluruh masyarakat kampung marawaf, Dan dalam sosialisasi  tersebut memberikan Pemahaman tentang bagaimana sistem orang Papua harus bersatu demi menuju Kebebasan hak penentuan nasib bangsa Kami (West Papua), memberikan Pemahaman di awali oleh Ketua 1 Knpb wilayah Byak, di pesankan agar tidak boleh terpengaruh dengan semua kerja-kerja Bin, Milisi, Pemimpin daerah, bahkan Program Nkri dalam realita sosial saat ini karena sebuah ini jika kita memahami maka dimaksud tersebut Cuma hanya di pengaruhi/ di bunuh  Nasionalisme, tegas Ketua 1 knpb wilayah Biak-Supiori

    Sosialisasi KNPB Wilayah Byak Utara
    Sosialisasi KNPB Wilayah Byak Utara

    Selajutnya Sek Knpb wilayah Biak Yudhas Kossay menambahkan pemahaman tentang perkembangan Knpb dalam perjuangan Pembebasan Manusia Papua Di West Papua dari kolonial Indonesia, bahwa Knpb adalah Media Rakyat untuk mengungkap fakta dan mendorong/memberikan dukungan terhadap faksi-faksi Utama yang telah bersatu dalam United Liberation movment for West Papua (ULMWP) Berkata demikian sebab banyak rakyat West Papua yang maasih belum Tahu lahirnya ULMWP di vanuatu, di jelaskan agar masyarakat dapat memahaminya bagaimana Jalan menuju kebesan penentuan nasib bangsa (self determination)

    Melihat Realitas Sosial, Saat ini di kota biak bahwa kota biak telah di kuasai Tni dan Polri tanah adat hak ulayat masyarakat adat di rampas habis oleh TNI Di kota biak ini benar benar TNI telah di langgar Isi undang undang yang di buatnya bersama perserikatan bangsa bangsa Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa  Atas Hak-Hak Asasi Masyarakat Adat (United Nations Declarations on the Rights of Indigenous Peoples),Semuanya tidak sesuai dengan pasal 1-45 ini adalah fakta yang telah terjadi di kota biak, begitupun pemerintah juga hanya memperindah wajah kota tidak di perhatikan segala fasilitas umum dan ekonomi masyarakat,katanya Melpa”

    Tanggapan masyarakat Mereka senang ada sosialisasi ini karena sebelumnya belum pernah melakukan sosialisasi, dan di karena selalu terjadi kecelakaan banyak di jalan lintas biak supiori maka masyarakat sangat di butuhkan kamera untuk menyambil gambar tangapan kepala desa  marawaf

  • Stop diwarnai baliho Drans Kaisepo dalam perayaan Paskah

    Stop diwarnai baliho Drans Kaisepo dalam perayaan Paskah

    Pahlawan NKRI, Frans Kaisiepo dalam Operasi Militer NKRI
    Pahlawan NKRI, Frans Kaisiepo dalam Operasi Militer NKRI
    Pahlawan NKRI, Frans Kaisiepo dalam Operasi Militer NKRI
    Pahlawan NKRI, Frans Kaisiepo dalam Operasi Militer NKRI

    Stop diwarnai baliho Drans Kaisepo dalam perayaan Paskah. Foto-foto di bawah itu, adalah sebuah baliho yang di pasang oleh Aparat Indonesia yang bertugas di Biak, di dalamnya foto uang baru bergambar Frans Kaisepo dan penulisan perikop baliho adalah, bangsa yang besar adalah,bangsa yang menghargai jasa para pahlawannya dan lanjut pahlawan nasional Frans Kaisepo Putra Biak,

    Logo yang mereka pakai di dalam baliho tersebut ini Logo Kodam Cenderawasih, Maka itu baliho tersebut yang militer pasang ini adalah untuk mempengaruhi Masyarakat wilayah adat Byak-Saireri, agar Nasionalisme Sejarah West papua oleh masyarakat adat wilayah Byak dapat dibunuh (Pro dan kontra)

    Jadi kami harap kepada Masyarakat adat di wilayah Byak tidak boleh terpengaruh dengan apa yang sedang di lakukan oleh musuh kita di daerah ini, sebab kita saat ini memang ada perhatian jadi pantas bila anda mau jadi berwajah topeng dll, tetapi ingat berapa tahun kedepan apa yang akan terjadi kepada anak cucuh kita, ingat anak cucu kita mereka akan lebih menderita dari pada kita saat ini

    Di bawah ini adalah pertanyaan buat kita orang papua:

    • Mengapa kami rakyat Papua Barat ingin merdeka di luar Indonesia?
    • Mengapa kami rakyat Papua Barat masih tetap meneruskan perjuangan Papua merdeka mereka?
    • Kapan kami mau berhenti berjuang?

     

    Ada empat faktor yang mendasari keinginan rakyat Papua Barat untuk memiliki negara sendiri yang merdeka dan berdaulat di luar penjajahan manapun, yaitu:

    1. Wilayah geografis jelas dan pasti
    2. masyarakat (penduduk) dengan budaya dan ras yang jelas
    3. perangkat Negara West Papua sudah siap
    4. sejarah pendirian Negara West Papau dan sejarah perjuangan pembebasan dari Belanda dan dari Indonesia sudah jelas dan tidak dapat diganggu-gugat
    5. realitas dukungan Negara-negara Melanesia, Pasifik Selatan dan Afrika sudah jelas memberikan lampu hijau

     

    By, Melpa Sampari

  • Are you sure want to unlock this post?
    Unlock left : 0
    Are you sure want to cancel subscription?