Tag: Interim President

  • Chief General Mathias Wenda: Free West Papua is a path to Free Melanesia

    Chief General Mathias Wenda: Free West Papua is a path to Free Melanesia

    Chief General Mathias Wenda is a prominent figure in the movement to unite Melanesia and free West Papua from colonial influences. His vision for a “United States of Melanesia” is not only a political goal, but also a deeply cultural and spiritual one. Wenda’s passion for reclaiming Melanesian identity and advocating for the rights of the people of West Papua is rooted in a long history of colonial oppression in the region.

    Colonialism in Melanesia dates back to the 16th century, when European powers began to assert control over the region. The impact of colonialism on Melanesian cultures has been profound, leading to the suppression of traditional practices, languages, and beliefs. The people of Melanesia have long struggled to assert their own identities in the face of external domination.

    For Chief General Mathias Wenda, the fight for independence is not only about political sovereignty, but also about reclaiming a sense of cultural and spiritual autonomy. He has stated, “We are fighting for our independence, not just politically but culturally and spiritually as well. We want to reconnect with our roots and reclaim our identity as Melanesian people.”

    In pursuing his vision for a “United States of Melanesia,” Wenda seeks to unite the diverse peoples of the region under a common banner of shared history and heritage. The potential benefits of such a union are numerous, including increased political clout on the world stage, economic cooperation, and cultural exchange. However, the road to achieving this vision is not without its challenges.

    One of the main obstacles in uniting Melanesia is the legacy of colonial divisions and rivalries that have long plagued the region. The borders drawn by colonial powers have created artificial barriers between Melanesian peoples, leading to tensions and conflicts that continue to this day. Overcoming these divisions and building a sense of unity among the diverse peoples of Melanesia will require patience, diplomacy, and a shared commitment to a common goal.

    Furthermore, the fight for independence in West Papua is no easy task. The region has been plagued by decades of violence and oppression at the hands of the Indonesian government, which has sought to suppress the independence movement through military force. Chief General Mathias Wenda and his supporters face significant challenges in their struggle for self-determination, including political repression, human rights abuses, and the difficulty of gaining international recognition and support.

    Despite these obstacles, the vision of a “United States of Melanesia” holds great promise for the people of the region. By reclaiming their cultural identity and asserting their political sovereignty, the people of Melanesia can forge a new future based on unity, respect, and shared values. The potential impact of such a union is immense, offering hope for a brighter and more prosperous future for all Melanesian peoples.

    Chief General Mathias Wenda’s vision for uniting Melanesia and freeing West Papua from colonial influences is a powerful and inspiring one. By reclaiming their cultural identity and asserting their political sovereignty, the people of Melanesia can create a new future based on unity and mutual respect. While the challenges ahead are significant, the potential impact of a “United States of Melanesia” is profound. With determination, perseverance, and a shared commitment to their common goals, the people of Melanesia can overcome the obstacles in their path and build a brighter future for themselves and future generations.

  • PRESIDEN SEMENTARA BENNY WENDA: KOMNAS TAK PUNYA KAPASITAS, DIALOG SUDAH TERJADI DI MSG DAN PIF

    https://www.facebook.com/100083035645732/posts/145955731515614/

    Jayapura, Jubi – Ketua United Liberation Movement for West Papua (ULMWP), Benny Wenda menegaskan Komnas HAM RI tak punya kapasitas untuk menyelenggarakan ataupun menjadi mediator dialog damai antara rakyat Papua dan Pemerintah Indonesia. Komnas HAM, menurut Wenda adalah institusi yang menjadi bagian dari negara Indonesia.

    Komnas HAM RI menargetkan dialog damai antara pemerintahan dan warga asli Papua, termasuk dengan ULMWP dan Organisasi Papua Merdeka (OPM) bisa diselenggarakan pada tahun ini.

    “Harapannya tahun ini sudah dimulai tahap awalnya dari pemerintah, OPM, tokoh masyarakat, tokoh gereja, tokoh adat, sudah mulai bisa duduk,” kata Ketua Komnas HAM, Ahmad Taufan Damanik.

    Namun Taufan mengatakan dialog damai di Papua nantinya akan sedikit berbeda dengan yang pernah dilakukan di Aceh. Dialog damai di Papua rencananya akan dimediasi langsung oleh Komnas HAM. Berbeda dengan dialog antara Pemerintah dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang dimediasi oleh NGO asal Finlandia yaitu Crisis Management Initatiative.

    Taufan mengklaim hal itu dipilih lantaran masih banyak orang Papua yang percaya dengan lembaga di dalam negeri. Sehingga, mereka bersedia dimediasi oleh Komnas HAM.

    Klaim Taufan ini ditanggapi berbeda oleh Benny Wenda.

    “Tidak mungkin dialog dimediasi oleh satu dari para pihak yang berdialog,” kata Wenda.

    Selain itu, Wenda mengatakan selama ini apa yang dilakukan Komnas HAM pada kasus-kasus dugaan pelanggaran HAM di Papua pun tidak pernah tuntas ataupun ditindaklanjuti oleh pemerintah Indonesia. Fakta ini menunjukan tidak adanya kepercayaan dari Pemerintah Indonesia sendiri terhadap Lembaga HAM negara yang dibentuknya sendiri.

    “Fakta ini juga membuat rakyat Papua tidak percaya pada Komnas HAM itu juga,” kata Wenda.

    Wenda mengingatkan pada tahun 2019 lalu Presiden Jokowi juga pernah mengatakan bersedia berdialog dengan kelompok-kelompok yang memperjuangkan kemerdekaan Papua namun hingga saat ini, pernyataan tersebut tidak pernah terbukti.

    Dialog sudah terjadi di MSG dan PIF

    Menurut Wenda, sesungguhnya rakyat Papua sudah berdialog dengan Pemerintah Indonesia selama enam tahun belakangan ini dengan dimediasi oleh Melanesian Spearhead Groups (MSG) dan Pacific Islands Forum (PIF). Dalam setiap forum MSG, ULMWP yang memiliki posisi yang sama dengan Indonesia sebagai anggota (Indonesia sebagai Associated Member dan ULMWP sebagai Observer) mendapatkan kesempatan untuk menyampaikan kehendak rakyat Papua berikut persoalan-persoalan HAM di Papua. Demikian juga Pemerintah Indonesia mendapatkan kesempatan untuk memberikan responnya.

    “Kenapa Indonesia dimasukan sebagai Associated Member di MSG? Itu karena para pemimpin MSG mengharapkan Indonesia membawa solusi atas persoalan yang terjadi di Tanah Papua,” kata Wenda.

    Namun sejauh ini, belum ada titik temu untuk melanjutkan proses penyelesaian persoalan Papua. Sebab, kata Wenda, ULMWP membawa persoalan kasus-kasus dugaan pelanggaran HAM sedangkan Indonesia membawa isu pembangunan dan Otonomi Khusus.

    “Ini menunjukan bahwa Indonesia tidak punya niat yang baik untuk menyelesaikan persoalan. Bahkan mereka meremehkan persoalan yang terjadi,” tegas Wenda.

    Rakyat Papua, lanjut Wenda sebenarnya sudah tahu bahwa dialog yang diusulkan oleh Komnas HAM ini hanyalah pengalihan dari tekanan-tekanan masyarakat internasional pada Indonesia untuk mencari penyelesaian persoalan Papua.

    “Tekanan yang terjadi ini bukan tekanan Lembaga Swadaya Masyarakat ataupun inisiatif Komisioner Tinggi HAM PBB. Ini tekanan negara. Indonesia tahu itu, rakyat Papua juga tahu itu. Isu dialog ini hanyalah pengalihan perhatian rakyat saja,” jelas Wenda.

    Para pemimpin MSG dalam kesempatan Forum MSG menegaskan MSG mengakui kedaulatan Indonesia dan dapat menyediakan platform atau forum untuk dialog antara rakyat Papua dan Pemerintah Indonesia. Sebuah pernyataan yang disampaikan MSG dalam forum “Mengakhiri Kolonialisme” yang diselenggarakan oleh PBB, menyebutkan MSG telah berinisiatif untuk menciptakan dan melembagakan dialog ini, memelihara dan mengembangkannya dalam jangka menengah hingga jangka panjang untuk mengatasi keprihatinan Indonesia dan ULMWP. Upaya MSG untuk mendampingi anggota akan dinilai pada waktunya dan penyesuaian akan dilakukan untuk lebih menyempurnakan pendampingan dan keterlibatan konstruktif dengan anggota MSG.

    Sekretaris Jenderal Forum Kepulauan Pasifik (PIF), Dame Meg Taylor, mengaku Isu Papua telah menjadi agenda PIF sejak tahun 2000 dan melalui keterlibatan dengan masyarakat sipil Pasifik, menjadi agenda tetap PIF pada tahun 2015.

    Tahun 2021, PIF menyerukan kepada Dewan HAM PBB untuk mendorong semua pihak terkait untuk segera memfasilitasi misi ke West Papua oleh Komisaris Tinggi Hak Asasi Manusia,

    “Tanpa akses yang luas dari media independen, masyarakat sipil atau kelompok hak asasi manusia di Papua, sulit untuk memverifikasi masing-masing klaim. Namun demikian, laporan-laporan dugaan pelanggaran HAM itu tak bisa diremehkan. Saya tetap sangat bermasalah dengan konflik dan pelanggaran hak asasi manusia di West Papua,” kata Dame Meg Taylor.

    Syarat dialog

    Untuk melakukan proses dialog, Wenda mengatakan sudah mengajukan syarat pada tahun 2019. Hanya ajuka syarat-syarat ini dipenuhi, dialog damai antara Pemerintah Indonesia dengan Rakyat Papua bisa terjadi. Syarat-syarat itu adalah :

    .Orang-orang Papua yang telah lama bertekad menuntut referendum, diikutsertakan dalam pertemuan;

    .Pertemuan dilakukan melalui mediasi pihak ketiga (Misalnya diselenggarakan oleh PBB atau negara pihak ketiga yang disepakati).

    Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia diizinkan untuk mengunjungi Papua Barat sesuai dengan kesepakatan yang dilakukan oleh 18 negara Pasifik di Forum Kepulauan Pasifik ke-50 pada Agustus 2019;

    16 ribu personel militer dan polisi Indonesia yang dikerahkan sejak Agustus 2019 segera ditarik;

    Semua tahanan politik Papua Barat dibebaskan;

    Semua pembatasan masuk ke Papua Barat untuk media internasional dan LSM dicabut.

    Wenda menegaskan, sebaiknya Indonesia mengizinkan PBB untuk berkunjung ke Papua dan melihat fakta sesungguhnya. Apakah, laporan-laporan rakyat Papua yang benar atau laporan Pemerintah Indonesia. Setelah fakta dan bukti atas masing-masing klaim didapatkan barulah bisa dilanjutkan dengan berdialog untuk menyelesaikan persoalan Papua.

    “Kita selesaikan dengan hati yang dingin setelah mendapatkan bukti atas klaim masing-masing pihak,” ujar Wenda.

    Lanjut Wenda, persoalan yang dihadapi sekarang terjadi karena keterlibatan pihak internasional. Sehingga penyelesaiannya juga harus melibatkan mekanisme dan masyarakat internasional.

    https://jubi.co.id/benny-wenda-komnas-ham-tak-punya…/amp/
  • PRESIDEN BENNY WENDA DAN PEMERINTAH SEMENTARA ULMWP TELAH CAPAI KEMENANGAN BESAR BANGSA PAPUA

    Setelah tuan Benny Wenda terpilih sebagai ketua ULMWP sejak 2017, ia memimpin bangsa Papua dengan berlari secara maraton untuk mencapai kemenangan bangsa Papua. ULMWP di bawah komandonya telah mencapai prestasi demi prestasi yang diperoleh secara maraton. Di dalam bangsa Papua sendiri, presiden Benny Wenda dan ULMWP telah mengalami banyak perubahan yang signifikan, mulai dari persatuan militer dalam West Papua Army, Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS), bentuk Pemerintahan Sementara, perubahan posisi ketua ke presiden, Perdana Menteri dan West Papua Council, pengumunan kabinet hingga Visi Negara Hijau.

    Pada Agustus 2019, Presiden Wenda dan timnya yang didukung pemerintah Vanuatu telah memenangkan resolusi bersejarah di Pacific Islands Forum (PIF), dan pada Desember 2019 Presiden Wenda mencapai kemenangan besar di Kenya, dimana 79 negara anggota ACP resmi adopsi Resolusi PIF tersebut, kemudian Presiden Wenda juga mencapai prestasi luar biasa, di mana 4 negara Eropa mendukung resolusi tersebut, yaitu: Inggris, Belanda, Spanyol dan Polandia. Tahun 2022 ini, Presiden Wenda telah mencapai satu prestasi persejarah bahwa negara-negara besar dan beberapa negara yang memiliki hak veto menyatakan mendukung resolusi itu. Belanda mantan kolonial Indonesia resmi keluarkan resolusi di Parlemen, Spanyol resmi keluarkan resolusi, Jerman, Inggris, Prancis, Amerika Serikat semua berbaris di belakang Pemerintah Sementara ULMWP dan Presiden Benny Wenda, awal tahun ini. 

    Pada 21 Februari 2022 ini, di bulan suci bertepatan dengan hari kemerdekaan iman bangsa Papua pada 5 Februari 1855, Presiden Benny Wenda telah mencapai sebuah peristiwa besar dan signifikan. Tanggal 21 Februari 2022, Uni-Eropa yang berbasis 27 negara resmi mendukung Resolusi tersebut dan mendesak Komisi HAM PBB ke West Papua. Dengan demikian total 108 negara berbaris dibelakang Resolusi PIF dan pemerintah Sementara ULMWP. 

    Uni-Eropa juga mengumumkan dana 4.7 juta Euro yang mereka keluarkan untuk berbagai pembangunan di dua provinsi Papua, 112 juta Euro untuk perubahan iklim, deforesasi dll di Indonesia termasuk dua Provinsi di Papua, tetapi dana-dana itu disalahgunakan oleh pemerintah Indonesia selama ini. Terungkapnya bantuan dana ini menunjukkan teguran keras kepada Indonesia dan sebagai signal ketidak percayaan Uni-Eropa terhadap pemerintah Indonesia karena dinilai telah gagal mencapai misi dibalik bantuan dana tersebut. Dibukanya aliran dana ini adalah konsekuensi logis yang kemungkinan bisa menimbulkan sanksi terhadap negara penerima bantuan. Sanksi dalam bentuk apa, akan kita lihat ke depan.

    Presiden Wenda menghadapi berbagai badai, gelombang dan ombak dari dalam bangsanya sendiri maupun musuh utamanya, tetapi pemimpin yang sederhana, tenang, karismatik dan berwibah ini menghadapi dengan tenang, fokus dan konsisten. Presiden Wenda, yang juga adalah bapak bangsa Papua ini terus maju langkah demi langkah secara maraton, mencapai prestasi demi prestasi untuk mengantar bangsa Papua menuju gerbang kemenangan sejati. 

    Selama ini, baik musuh utamanya maupun orang-orang sesama bangsanya yang pro Indonesia selalu memvonis Presiden Benny Wenda dan Pemerintahan Sementara ULMWP tidak didukung negara lain, atau negara-negara besar di dunia. Akan tetapi, semua narasi-narasi musuh itu telah gugur dan gagal total. Hari ini Presiden Benny Wenda dan bangsa Papua melalui ULMWP telah mendapat dukungan luar biasa, dimana kini semua negara-negara besar di seluruh dunia ada dibelakangnya.

    Dukungan-dukungan fantastis dan masif digerakan oleh Free West Papua Campaign, International Parliamentarians for West Papua (IPWP) dan International Lawyers for West Papua (ILWP), bersama dengan negara-negara sponsor utama dan ULMWP. Beberapa orang berpendapat bahwa organ-organ strategi untuk diplomatis ini dianggap sebagai LSM tidak berguna. Tetapi, hari ini mereka telah bawa kemenangan besar dalan sejarah perjuangan bangsa kita. Dukungan Uni-Eropa hari ini misalnya adalah kerya nyata dari IPWP selain ACP dan ULMWP sendiri, wakil ketua IPWP tuan Puigdemont telah mengajukan mosi di Parlemen Eropa pada tanggal 18 november 2021 dan mosi tersebut dijawab tanggal 21 Februari 2022 oleh Uni-Eropa dalam bentuk dukungan tersebut. 

    Kemenangan hari ini adalah kemenangan Presiden Wenda, kemenangan ULMWP dan kemenangan bangsa Papua.

  • Presiden Sementara: Merayakan HUT ke-51 Proklamasi Kemerdekaan OPM

    Presiden Sementara: Merayakan HUT ke-51 Proklamasi Kemerdekaan OPM

    Hari ini kita merayakan hari jadi ke-51 deklarasi kemerdekaan Gerakan Papua Merdeka (OPM) di Markas Victoria pada 1 Juli 1971. Deklarasi yang ditandatangani oleh Seth Rumkoren dan Jacob Prai – yang meninggal dunia bulan lalu – merupakan penolakan langsung terhadap kolonialisme Indonesia. Ini mengirim pesan yang kuat ke Jakarta: kami, orang-orang West Papua, berdaulat di tanah kami sendiri, dan kami tidak mengakui pendudukan ilegal Anda atau ‘Tindakan Tanpa Pilihan — Pepera ’ 1969.
    Sejak saat itu, kami telah berjuang untuk kemerdekaan West Papua. Melalui perang gerilya, OPM telah membantu menjaga api perjuangan kemerdekaan tetap hidup. Mereka adalah penjaga rumah kita, membela tanah kita dan memperjuangkan kedaulatan yang dirampas dari kita oleh Jakarta.
    Hari ini adalah momen bagi semua orang West Papua untuk merenungkan perjuangan kami dan bersatu dengan tekad untuk menyelesaikan misi kami. Baik Anda yang diasingkan di luar negeri, di kamp-kamp pengungsian, anggota Tentara West Papua , atau dipindahkan secara internal oleh pasukan kolonial, kita semua bersatu dalam satu semangat dan bertekad untuk memerdekakan West Papua dari penjajahan Indonesia.
    OPM meletakkan dasar bagi perjuangan politik yang sedang diperjuangkan oleh Pemerintahan Sementara. Sebagaimana dinyatakan dalam Undang-Undang Dasar kita , Pemerintahan Sementara mengakui semua deklarasi sebagai momen vital dan bersejarah dalam perjuangan kita. Setelah mendeklarasikan pemerintahan sementara kami, kabinet kami, sayap militer kami, dan tujuh eksekutif regional kami, kami siap untuk mengambil alih urusan kami sendiri.
    Saya juga ingin menggunakan momen ini untuk membuat dua pengumuman baru tentang Pemerintahan Sementara. Pertama, saya mengumumkan pembentukan departemen baru, yaitu Departemen Intelijen. Seperti halnya departemen kami yang ada, itu akan beroperasi di tanah West Papua yang diduduki, dan memperkuat tantangan kami terhadap kolonialisme Indonesia. Selain itu, saya juga mengumumkan bahwa kami telah menunjuk anggota eksekutif untuk masing-masing dari tujuh badan regional yang kami dirikan pada Desember 2021. Dengan setiap langkah maju, kami membangun kapasitas dan infrastruktur kami sebagai Pemerintahan Sementara.
    Lebih dari lima puluh tahun sejak proklamasi 1971 , misi rakyat kita adalah sama. Kami menolak kehadiran Indonesia di West Papua, yang ilegal menurut hukum internasional. Kami tidak mengakui ‘Otonomi Khusus’, lima provinsi baru, atau hukum kolonial Indonesia lainnya; kami memiliki Undang-Undang Dasar kami sendiri.
    Saya kembali menegaskan seruan saya kepada Presiden Widodo untuk duduk bersama saya dan membahas referendum kemerdekaan. Ini tetap sebagai satu-satunya jalan menuju solusi damai.
    Interim President
    Pemerintahan Sementara ULMWP
    ______________
  • Papua Merdeka: antara Organisasi, Pejuang, Tokoh dan Pendekatan

    Papua Merdeka: antara Organisasi, Pejuang, Tokoh dan Pendekatan

    Semua orang West Papua, yang selama ini menyebut dirinya Orang Asli Papua (OAP) merindukan dan mendoakan “Papua Merdeka” itu terwujud nyata di mata-kepala sendiri, dan dialami secara nyata di dunia fisik, di pulau New Guinea bagian Barat, yang kini disebut Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat. Itu sesuatu yang pasti dan final. Pokoknya semua OAP mau NKRI keluar dari Tanah Papua, tanah leluhur ras Melayu.

    Ada yang bertanya, “Kalau begitu yang minta-minta NKRI harga mati di Tanah Papua itu siapa?“, maka jawabannya mudah, “Itu orang NKRI sendiri yang bicara! Tidak ada OAP yang bicara NKRI harga mati!” Jadi pada posisi itu jelas, pasti dan final.

    Terlihat seolah-olah OAP sedang bertentangan antara satu dengan yang lain. Terlihat orang Papua tidak menerima satu dengan yang lain. Bahkan NKRI berspekulasi OAP saling bermusuhan dan saling mengancam untuk saling menghabisi karena saling mencurigai di antara OAP sendiri.

    Ada empat hal yang terjadi di sini, yang menghambat Papua Merdeka dan dampaknya membingungkan dukungan:

    • Yang terjadi para tokoh Papua Merdeka tidak seragam dalam berpikir dan bertindak
    • Yang terjadi ialah para pejuang tidak sama langkah dan sama irama
    • Yang terjadi ialah tokoh dan pejuang tidak seragam dan tidak sama, maka masing-masing memiliki organisasi sendiri-sendiri
    • Yang tejadi ialah karena masing-masing memiliki tokoh, pejuang dan organisasi yang sendiri-sendiri, maka mereka juga punya pendekatan yang tidak sama.

    A. Tokoh Papua Merdeka tidak seragam dalam berpikir dan bertindak

    Kita tidak salahkan perbedaan suku dan persebaran wilayah kediaman, akan tetapi kedua hal ini telah memelihara dengan subur, bangsa Papua, secara khusus para tokoh Papua Merdeka tidak berpikir seragam dan bertindak seragam dalam memperjuangkan Papua Merdeka.

    Yang menjadi persoalan bukanlah isu dan tujuan, akan tetapi tentang selera enaknya, seharusnya, sepantasnya, setepatnya Papua Merdeka harus dicapai. Ada nilai yang berbeda, ada rasa yang berbeda di antara para pemimpin. Itu warisan dan ciptaan Allah, kita diciptakan dan ditempatkan di tempat yang berbeda, dengan bahasa dan budaya yang tidak persis sama antara satu sama lain.

    Ditambah lagi, apalagi kalau para tokoh Papua Merdeka memiliki ego yang kuat, yaitu ego kelompok dan ego pribadi, maka yang terjadi ialah “benturan” dan “bentrokan”, yang menyebabkan kesulitan-kesulitan dalam berkomunikasi di antara para tokoh Papua Merdeka sendiri.

    Ditambah lagi kalau ego-ego itu telah dirasuki oleh kepentingan-kepentingan pribadi yang melekat padanya, seperti ambisi menduduki posisi tertentu di dalam organisasi, seperti mendapatkan apa-apa dalam jabatan tertentu, maka benturan dan bentrokan akan terjadi tidak terkendal, sampai-sampai kita yang duduk berkomentar pun menjadi bingung mau katakan apa lagi.

    Ditambah lagi, kalau ego-ego itu diambil-alih dan dimanfaatkan oleh NKRI dan antek-anteknya, maka ujung-ujungnya ialah bentrok opini, bentrok organisasi, dan bahkan bisa terjadi bentrok oknum, karena memang target NKRI ialah membentrokkan dan menghancurkan para tokoh dan perjuangan Papua Merdeka.

    B. Pejuang Papua Merdeka tidak sama langkah dan tidak seirama

    Persoalan kedua ini sebenarnya sangat teknis, akan tetapi sering ditopang juga oleh hal nomor A di atas, yaitu bahwa mengingat perbedaan kemajuan di antara suku-suku yang ada di West Papua, maka langkah pergerakan masing-masing daerah, klen dan suku dalam bergerak memperjuangkan Papua Medeka juga telah terjadi pada waktu dan tingkatan yang berbeda-beda pula.

    Itulah sebabnya kita alami pada tahun 1977 wilayah Kabupaten Mamberamo Tengah sendiri yang bergejolak, sementara kabupaten lain sama-sekali tidak mengalami apa-apa. Itulah sebabnya hanya Mamberamo-Tabi yang mengalami operasi militer, sementara yang lain tidak. Itulah sebabnya saat ini, 2000-2022 wilayah tertentu saja yang bergejolak, yang lain tidak.

    Mengapa yang lain tidak bergabung hari ini saat Intan Jaya, Yahukimo, Nduga bergerak?

    Bukan karena tidak mendukung! Bukan juga karena tidak mau! Bukan karena menoka. Persoalan utama karena tidak melangkah bersama, tidak ada koordinasi yang jelas, tidak bergerak secara serentak dan seirama.

    NKRI pasti akan berusaha mengisolasi masing-masing wilayah yang bergerak supaya tidak saling menyebar ke mana-mana. Pendekatan pemadaman api yang dipakai. Mereka segera mematikan. Mereka segera mengatakan, “Situasi aman dan terkendal!” Mereka selalu mengerahkan jumlah tentara dan polisi berlebihan.

    Mereka melahirkan, memelihara dan mengembang-biakkan “Terror, Intimidasi” untuk menciptakan “Rasa Takut!”

    C. Masing-masing pejuang dan tokoh mendirikan organisasi mereka masing-masing

    Karena berangkat di waktu dan tempat yang berbeda, ditambah lagi dengan ego kelompok dan pribadi yang juga menguat di dalam perjuangan ini, maka masing-masing juga mendirikan organisasi masing-masing, yang dianggapnya sebagai satu-satunya organisasi yang didirikan untuk mewujudkan cita-cita Papua Merdeka.

    Akibatnya ialah ego kelompok berbasis geografis dan suku ditambah dengan ego kelompok modern secara politik, ditambah dengan ego pribadi, akhirnya menjamurlah banyak Komando Tentara, banyak Panlgima Tentara, bayak Presiden, banyak DIrektur, banyak Ketua, yang semuanya bicara tentang Papua Merdeka.

    Ditambah lagi, banyak Undang-Undang, banyak Proklamasi, dan banyak Pemerintah dan panglima yang dibentuk.

    Pertanyaan yang tersisa saat ini ialah

    • bagaimana caranya menggabungkan semua organisasi ini ke dalam satu wadah yang bersatu, bermartabat dan bergengsi sehingga menarik dukungan dunia?

    Menurut kami, United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) dengan UUDS (Undang-Undang Dasar Sementara) dan Pemerintah sementara ialah jawaban tercanggih, termutahir dan terbaik bagi semua tokoh dan organisasi Papua Merdeka.

    D. Pendekatan dan langkah dalam organisasi masing-masing tidak saling bersamaan, walaupun menyangkut hal yang sama

    Dengan tokoh dan pejuang yang berbeda-beda dari latar-belakang dan riwayat dalam perjuangan, didukung oleh ego pribadi dan ego kelompok, diperkuat lagi dengan organisasi masing-masing yand didirikan, maka pendekatan perjuangan bagi masing-masing organisasi juga menjadi sangat berbeda.

    Secara umum di dunia ini dikenal dua jenis pendekatan, yaitu pendekatan revolusi dan pendekatan damai. Kedua-duanya mendatangkan hasil, karena ada banyak contoh di dunia ini yang meraih kemerdekaan dengan kedua cara. Indonesia sendiri ialah contoh kemerdekaan yang diraih dengan pendeatan revolusi. Berbeda dengan itu, Papua New Guinea memperoleh kemerdekaan dengan perjuangan damai, dan sangat damai.

    Dalam Papua Merdeka ada yang terus berteriak untuk harus perang baru ada penyelesaian, dan di sisi lain ada seruan untuk selalu mengedepankan pendekatan damai.

    Jelas, kedua-duanya memiliki kelemahan dan kelebihan. Bangsa Papua harus menentukan, bukan soal damai atau perang, akan tetapi persoalan “Siapa yang West Papua hadapi?” Karena siapa yang kita hadapi akan menentukan pendekatan mana yang harus dipakai.

    Selain siapa yang West Papua hadapi, yang kedua yang harus diperhatikan ialah siapa yang harus kita dekati untuk mendukung Papua Merdeka, di antara blok barat, blok timur dan non-blok.

    E. Yang Tidak Terjadi ialah Saling Mengakui dan Saling Menerima di antara Sesama

    Kalau kita simak apa yang dilakukan United Liberation Movement for West Papua dengan Undang-Undang Dasar 28 Oktober 2020 dan Pemerintahan Sementara 1 Desember 2020 serta Kabinet 12-Murid 1 Mei 2021 ditambah Panglima West Papua Army 01 Mei 2021, maka ini merupakan satu gerak-langkah dengan capaian-capaian yang memiliki referensi hukum, politik dan sejarah yang jelas.

    Silakan saja ketik di google.com kata-kata ini, “ULMWP, Pemerintah Sementara West Papua atau Benny Wenda”. Anda pasti akan disajikan informasi tentang pengakuan, pertemuan pernyataan dan langkah-langkah ULMWP dan Pemerintah Sementara West Papua,

    Kalau kita simak apa yang dilakukan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPN PB) Organisasi Papua Merdeka (OPM) ialah mengedepankan revolusi Papua Merdeka dengan menggerakkan gerilya Papua Merdeka di rimba dan di kampung-kampung.

    Kedua pendekatan ini dibutuhkan dalam sebuah perjuangan kemerdekaan. Akan tetapi yang menjadi persoalan ialah TPN/OPM dan ULMWP tidak mau bersatu dan tidak mau menyatakan “Satu Komando, Satu Musuh, Satu Tujuan!” Mereka berdua berkata Satu Tujuan dan Satu Musuh, tetapi Berbeda Komando.

    Hal ini terjadi karena faktor-faktor di atas.

    Hanya negarawan dan bangsawan yang akan sanggup bertindak dan bergerak maju mengakhiri perjuangan ini dengan meminimalisir bahkan menghilangkan penghambat utama sebagaimana disebutkan di sini. Bagi yang hanya hadir untuk pamer diri atas nama Papua Merdeka pasti tidak akan rela menerima satu sama lain. Apalagi bagi yang biasanya digaji konsulat NKRI di Vanimo, Dubes RI di Port Moresby dan Gubernur Provinsi Papua dan Bupati-Bupati NKRI, mereka akan terus berpura-pura bicara dan berjuang Papua Merdeka, akan tetapi mereka tidak akan pernah rela menyatukan komando dan organisasi. Slogan “Satu Komando, Satu Musuh, Satu Tujuan!” akan mereka tolak, atau kebenaran untuk setuju. Yang mereka kedepankan ialah, “Satu Musuh, Satu Tujuan, Beda-Beda Komando!

    Mari terus belajar….

  • Presiden Sementara: Indonesia Memberlakukan Undang-Undang No Choice Kedua dengan RUU ‘Otonomi Khusus’

    14 juli 2021| Dalam Pernyataan

    Kami telah menerima informasi penting dari dalam Papua Barat: mahasiswa yang berdemonstrasi secara damai menentang pengenaan undang-undang ‘Otonomi Khusus’ kedua di Indonesia telah dilecehkan, dipukuli dan ditangkap oleh polisi di Universitas Cendrawasih di Jayapura hari ini.

    Kekerasan brutal ini terjadi ketika Jakarta mencoba untuk memaksakan periode ‘Otonomi Khusus’ lainnya kepada rakyat Papua Barat, di luar kehendak mereka. Majelis Rakyat Papua (MRP), yang dibentuk untuk menjadi bagian dari lengan panjang Jakarta di Papua Barat, bahkan telah menolak upaya pemerintah Indonesia untuk memaksakan era baru secara paksa.

    Orang-orang Papua Barat telah bersatu dalam menolak apa yang disebut Otonomi Khusus. MRP, Dewan Adat Papua (DAP), ULMWP, sayap militer Papua Barat, Petisi Rakyat Papua (terdiri dari lebih dari 100 organisasi masyarakat sipil), dan 1,8 juta yang menandatangani Petisi Rakyat Papua Barat pada tahun 2017, semuanya telah menyatakan langsung penolakan pendudukan Indonesia yang tidak sah dan upaya memperbaharui ‘Otonomi Khusus’.’Otonomi Khusus’ sudah mati.

    Kami menyaksikan Act of No Choice kedua. Pada 1960-an, Indonesia menginvasi negara kita dengan ribuan tentara, melecehkan, mengintimidasi, dan membunuh setiap orang Papua Barat yang berbicara untuk kemerdekaan. apa yang terjadi hari ini, dengan lebih dari 21.000 tentara baru dikerahkan, operasi militer besar-besaran di Intan Jaya, Nduga dan Puncak, dan penindasan polisi terhadap semua perlawanan, adalah sama dengan apa yang terjadi pada kita pada tahun 1969. ‘Otonomi Khusus’ 2.0 adalah pemaksaan kolonial .
    Indonesia harus segera menghentikan
    RUU ‘Otsus’ kedua. Rakyat Papua Barat sudah memberikan mandat penuh kepada Pemerintahan Sementara ULMWP. Kami memiliki konstitusi kami, kabinet kami dan departemen kami dan berjalan. kami tidak membutuhkan tipu daya dan kebohongan skema Jakarta. Kami sudah merebut kembali kedaulatan kami, dan menolak semua hukum Indonesia yang dikenakan kepada kami.

    Saya menyerukan kepada Uni Eropa, Pemerintah Inggris, Amerika Serikat, Australia, OACPS, MSG, PIF, Bank Dunia, dan semua organisasi internasional untuk menolak pemerintahan dengan todongan senjata ini. Tidak ada pendanaan, dukungan atau pelatihan internasional untuk paket ‘Otonomi Khusus’ Indonesia. Presiden Indonesia harus duduk bersama saya, sebagai Presiden Sementara Pemerintahan Sementara ULMWP, untuk mencari solusi bagi rakyat saya berdasarkan penentuan nasib sendiri, keadilan dan perdamaian.

    Untuk semua orang Papua Barat, di mana pun Anda berada di dunia – baik di pengasingan, bekerja di pemerintah Indonesia, atau di kota-kota dan desa – untuk pendukung solidaritas kami, inilah saatnya untuk bersatu dan mengakui Pemerintahan Sementara dan Konstitusi kami . kami siap untuk menjalankan urusan kami sendiri.
    Benny Wenda

    Presiden Sementara
    Pemerintah Sementara ULMWP
    https://www.ulmwp.org/interim-president-indonesia

  • Presiden Sementara: Pemungutan suara di PBB Indonesia memperlihatkan kemunafikannya atas West Papua

    Statement | 25 Mei 2021

    Pemerintah Indonesia berbicara tentang Myanmar dan Palestina sambil memberikan suara untuk mengabaikan genosida dan pembersihan etnis di PBB. Kami bersyukur para pemimpin Indonesia menunjukkan solidaritasPenderitaan rakyat Palestina dan Myanmar, tetapi Indonesia berusaha mati-matian untuk menutupi kejahatannya sendiri terhadap kemanusiaan di West Papua.

    Pada Sidang Umum PBB minggu lalu, Indonesia menentang mayoritas komunitas internasional dan bergabung dengan Korea Utara, Rusia dan China dalam menolak resolusi tentang ‘pencegahan genosida, kejahatan perang, pembersihan etnis dan kejahatan terhadap kemanusiaan’. Sementara Menteri Luar Negeri Indonesia mengklaim ‘berjuang untuk kemanusiaan’, kenyataannya sebaliknya: mereka melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan di West Papua dan mencoba untuk memastikan impunitas abadi mereka diPBB.

    Para pemimpin Indonesia sering berbicara tentang hak untuk menentukan nasib sendiri dan hak asasi manusia, dan pembukaan konstitusi Indonesia menyerukan ‘segala bentuk pendudukan asing’ ‘harus dihapus dari muka bumi’. Tapi di West Papua, pemerintah Indonesia melakukan pelanggaran yang diklaim ditentangnya. Penolakan mereka untuk menerima resolusi PBB jelas merupakan konsekuensi dari ‘pertanyaan Papua’, seperti yang dikatakan oleh Jakarta Post.

    Bukti sekarang berlimpah bahwa Indonesia telah melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan, kolonialisme, pembersihan etnis dan genosida di West Papua. Pada minggu yang sama dengan pemungutan suara PBB, militer Indonesia – termasuk ‘pasukan Setan’ yang terlibat dalam genosida di Timor Leste – menyerang desa-desa di Papua, membunuh perempuan dan anak-anak yang tidak bersenjata dan menambah lebih dari 50.000 orang terlantar sejak Desember 2018. Tujuan yang disebutkan dari operasinya adalah untuk ‘menghapus’ semua perlawanan terhadap kolonialisme Indonesia. Saat Anda menggusur penduduk desa, mereka kehilangan tempat berburu, rumah, dan milik mereka

    Seluruh cara hidup. Ini adalah pembersihan etnis sistematis, bagian dari strategi jangka panjang pendudukan Jakarta untuk mengambil alih tanah kami dan mengisinya dengan pemukim Indonesia dan perusahaan multi-nasional. Inilah maksudnya, dan kita membutuhkan tindakan sebelum terlambat.

    Setelah mendeklarasikan perlawanan terhadap ‘terorisme’ pendudukan ilegal, Indonesia meluncurkan celah besar-besaranTurun. Victor Yeimo, salah satu pemimpin perlawanan damai kami yang paling populer, telah ditangkap. Frans Wasini, anggota Departemen Politik ULMWP, juga ditangkap pekan lalu. Di kota, mahasiswa Universitas Cenderawasih diseret keluar dari asramanya [Rusunawa Uncen] oleh polisi dan militer dan dijadikan tuna wisma. Siapapun yang berbicara tentang West Papua, pelanggaran hak asasi manusia dan genosida, sekarang berisiko ditangkap, disiksa atau dibunuh. Victor Yeimo, Frans Wasini, dan semua yang ditangkap oleh rezim kolonial Indonesia harus segera dibebaskan.

    Mengirim lebih dari 21.000 tentara, membunuh para pemimpin agama, menduduki sekolah, menembak mati anak-anak – iniAdalah terorisme negara, kejahatan terhadap rakyat West Papua. Pemimpin Indonesia tahu apa yang mereka lakukan. Mereka telah mengirim TNI, polisi, unit ‘kontra-terorisme’, ‘pasukan Setan’, dan dinas intelijen ke West Papua. Unit-unit ini bersaing satu sama lain untuk melihat siapa yang dapat membunuh rakyat saya dengan lebih efisien, siapa yang dapat mencuri tanah kami dengan lebih aktif. Mereka yang paling mampu memusnahkan populasi kita akan mendapat keuntunganDalam peringkat. Orang-orang saya telah diubah menjadi objek permainan kerajaan Jakarta.

    Perkembangan ini menunjukkan dengan lebih jelas perlunya Indonesia berhenti menghalangi kunjungan Komisioner Tinggi Hak Asasi Manusia PBB. Delapan puluh empat negara telah menyerukan kunjungan tersebut. Tidak ada lagi penundaan.

    Pasukan harus ditarik, dan PBB diizinkan masuk sebelum bencana melanda.

    Benny Wenda
    Interim Presiden
    Pemerintahan Sementara ULMWP
    (https://www.ulmwp.org/interim-president-indonesias-un…)

    ULMWP #WestPapua #UNGA #HumanRight #UNHCR #FreeWestPapua #Referendum #FreeVictorYeimo #FreeFransWasini #ReferendumYes

Are you sure want to unlock this post?
Unlock left : 0
Are you sure want to cancel subscription?