Tag: HAM

  • Komnas HAM Belum Tegas – Bahas Hukuman Mati dalam Paripurna

    JAKARTA- Drama eksekusi bagi para terpidana mati masih berlanjut. Setelah Rio “Martil” Bulo tewas di hadapan regu tembak (8/8), sepertinya giliran trio bom Bali -Amrozi, Muklas, dan Imam Samudra- segera menghadapi nasib sama. Terkait hal itu, Komnas HAM juga belum menyatakan sikap tegas; mendukung atau menolak pelaksanaan pidana mati tersebut.

    Anggota Komnas HAM Hesti Armiwulan mengungkapkan, saat ini sikap komisi masih mengacu pada rapat paripurna bulan lalu. Yakni, hukuman mati diserahkan sepenuhnya kepada subbidang pengkajian. Komnas HAM lebih bersikap sesuai tugas dan fungsinya.

    “Apa yang diputuskan bidang pengkajian itulah sikap komisi. Sementara soal standar dan norma menjadi bidang subkomisi pemantauan. Kami tentu tidak ingin merumuskan sikap menolak atau mendukung,” ujarnya kemarin (10/8). Apa yang diputuskan bidang tersebut, itulah sikap komisi.

    Agenda rapat paripurna (13/8) mendatang, kata Hesti, juga akan membahas lagi sikap komisi terkait hukuman mati tersebut. “Bisa muncul desakan lagi untuk membahas posisi Komnas,” jelas aktivis yang juga akademikus di Universitas Surabaya (Ubaya) tersebut. Hasil final terhadap rapat itu akan disampaikan kepada Mahkamah Agung dan DPR.

    Namun, suara yang berkembang di masing-masing individu keanggotaan komisi memang lebih banyak yang menolak hukuman mati. Menurut dia, tak ada seorang pun yang berhak mencabut nyawa seseorang. Hak hidup adalah hak paling utama. Negara pun tak boleh campur tangan untuk menentukan hukuman mati tersebut.

    Menurut Hesti, sikap itu sebenarnya bisa dilihat dalam pembahasan RUU KUHP. Komisi terus mendesak bahwa hukuman mati bukan termasuk hukuman pokok. Sifatnya nanti, hukuman mati merupakan tambahan apabila vonis dijatuhkan hakim.

    Selain membahas hukuman mati, Komnas HAM mendapat desakan untuk hadir saat pelaksanaan eksekusi mati. Tapi, itu juga tidak bisa diputuskan. Sebab, bila komisi hadir dalam hukuman mati, akan muncul dilema tersendiri. “Kalau Komnas HAM hadir, itu sama saja mendukung,” ujarnya.

    Desakan membahas hukuman mati tersebut diluncurkan jaringan LSM, seperti Kontras, LBH Masyarakat, serta Imparsial bersamaan dengan pengajuan judicial review terhadap UU No 2 PNPS Tahun 1964 tentang tata cara hukuman mati yang diajukan trio bom Bali, Amrozi, Muklas dan Imam Samudra. Mereka menilai Komnas HAM tidak mempunyai sikap tegas terhadap hukuman mati. Padahal, komisi tersebut mempunyai basis legal yang cukup kuat untuk menolak pidana mati. (git/agm)

  • Semangat Rekonsiliasi

    Komisi Kebenaran dan Persahabatan (KKP) RI-Timor Leste, yang dibentuk pada 9 Maret 2005, bertujuan mewujudkan ke- inginan rakyat Indonesia dan Timor Leste, menyelesaikan masa lalunya dengan tetap melihat pada kebenaran dan semangat rekonsiliasi.

    KKP dibentuk atas alasan penegakan keadilan lewat persidangan-persidangan terbukti tidak bisa memberikan hasil memuaskan.

    Pengadilan menghasilkan keputusan yang sifatnya semata-mata menang dan kalah, yang diyakini justru akan bisa jadi ganjalan upaya-upaya rekonsiliasi.

    Menyeret para pelaku pelanggaran HAM di Timor Leste ke baik ke meja persidangan maupun mahkamah internasional, seperti yang diharapkan banyak kalangan, dikhawatirkan justru menyulitkan penyembuhan luka lama dan menjadi kendala rekonsiliasi.

    Karena itu, KKP dalam mandatnya sengaja dirancang untuk tidak memiliki fungsi pro yustisi atau penegakan hukum. Dengan begitu, rekomendasi apa pun yang dihasilkan oleh KKP tidak akan berujung dengan digelarnya persidangan-persidangan.

    Mengacu mandatnya itu, KKP tidak mempunyai kewenangan untuk membuat rekomendasi pengadilan lanjut. Maka, sejak awal para komisioner KKP harus memelihara tugas-tugasnya di komisi agar tidak tergelincir ke aktivitas-aktivitas yang bersifat pro yustisia. [E-9]

    Last modified: 15/7/08

  • Enam Oknum Satgas 413 Aniaya Warga Sipil di Papua

    SP/Robert Isidorus

    Nyonya Christian Aipassa sedang menunggui suaminya di Rumah Sakit Umum Daerah Dok II, Jayapura, Papua sehabis dioperasi, Senin (7/7) siang.

    [JAYAPURA] Polisi Militer Kodam (Pomdam) XVII/Cenderawasih masih menahan enam anggota Satgas 413/ Kostrad, Sragen, dan statusnya telah ditetapkan sebagai tersangka penganiayaan terhadap Christian Aipassa (38), pegawai negeri sipil (PNS) Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Sarmi, Papua, di Pasar Lama depan Toko Karimun, Sarmi. (more…)

  • Ada Pengalihan Isu Kasus Munir

    [JAKARTA] Polisi diminta tetap profesional dalam mengusut dan menyidik kasus terbunuhnya tokoh hak asasi manusia (HAM) Munir. Hal itu mengingat ada upaya pihak tertentu yang mengintervensi polisi dan mengalihkan isu. “Polisi jangan sampai terpengaruh dengan intervensi dari sejumlah pihak dengan berbagai cara, seperti ada upaya untuk mengalih isu dalam kasus ini,” kata istri almarhum Munir, Suciwati, di Jakarta, Selasa (8/7) pagi.

    Tanggapan Suciwati itu sehubungan dengan pernyataan Direktur Indonesia Policy Studies, Fadli Zon, bahwa ada intervensi Amerika Serikat (AS) dalam kasus Munir. Fadli menyayangkan adanya intervensi AS tersebut.

    “Saya mempunyai dua surat sebagai bukti adanya intervensi Kongres AS dalam Munir. Mereka yang menandatangani surat kepada pemerintah Indonesia adalah mereka yang tangannya berlumuran darah, yakni menyetujui serangan ke Irak dan Afganistan,” kata Wakil Ketua Umum Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), Senin (7/7) malam.

    Menurut Suciwati, tudingan intervensi dari AS dalam kasus Munir tidak lebih dari sekedar pengalihan isu. Intervensi adalah wajar, apalagi dalam komunikasi internasional seperti Kaukus Palestina DPR RI yang mengecam serangan militer Israel ke wilayah Gaza yang menewaskan 120 orang. [E-8]

    Last modified: 8/7/08

  • Mayat Membusuk Ditemukan di Kampung Wasur II

    MERAUKE- Masyarakat Kampung Wasur II, Kabupaten Merauke digemparkan dengan penemuan sesosok mayat laki-laki yang sudah mulai membusuk di dalam sebuah bekas galian. Informasi yang diperoleh Koran ini menyebutkan jenasah tersebut bernama Agus Katobi, kelahiran Jawa Timur 1985. (more…)

  • 10 Tahun ” Biak Berdarah” Diperiganti

    BIAK-Tragedi 10 tahun “Biak Berdarah” diperingati, Minggu 6/7) kemarin. Peringatan itu dilakukan dalam bentuk doa bersama sekitar 100 orang. Doa bersama itu dipusatkan ditempat peristiwa 10 tahun lalu, tepatnya di bawa menara air minum, Tower Puskesmas Biak Kota. (more…)

  • Pemindahan Makam Theys Eluay dan (Hukum) Adat Papua

    Dalam Persepektiv Deklarasi PBB untuk Hak Asasi Masyarakat Adat (Deklarasi HAMADAT)

    Papua Menggugat Penculikan dan Pembunuhan Theys Hiyo EluayDalam perspektiv negara-bangsa dalam kaitannya dengan Hak Asasi Manusia, ditinjau dari semua, sekali lagi, semua produk hukum internasional menyangkut moral kemanusiaan atau Hak Asasi Manusia, maka tertulis jelas bahwa dalam konteks ini negara tidak memiliki hak apapun untuk melakukan apapun terhadap sebuah manusia atau kemanusiaan. Negara hanya berkewajiban. Dan kewajiban utama dan pertama adalah melindungi dan menegakkan hak asasi manusia. Oleh karena itu, produk hukum utama internasional, yaitu Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa, Piagam HAM PBB, Konvensi PBB tentang Hak-Hak ECOSOC, dan tentang SosPol diakhiri dengan Deklarasi HAMADAT dan Deklarasi Kaum Minoritas, maka dalam Pasal 1 sampai Pasal 3 selalu ada tiga butir penekanan terhadap HAM:

    Pasal 1
    Masyarakat adat berhak untuk menikmati secara penuh, secara kolektiv ataupun individual, keseluruhan hak asasi manusia dan kebebasan fundamental sebagaimana diakui dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa, Piagam Hak Asasi Manusia dan hukum hak-hak asasi manusia internasional, Masyarakat Adat berhak untuk menikmati sepenuhnya, secara kolektiv atau pribadi, semua hak-hak asasi manusia dan kebebasan fundamental sebagaimana diakui di dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa, Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia dan hukum-hukum hak-hak asasi manusia internasional.

    Pasal 2
    Masyarakat adat dan individu anggota masyarakat adat bebas dan setara dengan semua masyarakat dan individu lainnya dan berhak untuk bebas dari jenis dikriminasi manapun, dalam pelaksanaan hak-hak mereka, khususnya yang didasarkan atas asal-usul atau identitas mereka.

    Pasal 3
    Masyarakat Adat berhak untuk menentukan nasib sendiri. Atas berkat hak itu, mereka berhak untuk menentukan status politik mereka dan secara bebas memacu pengembangan ekonomi, sosial dan budaya mereka.

    Ini bunyi dari Deklarasi HAMADAT. Perubahan yang terjadi hanyalah pada kata “Masyarakat Adat” dalam ketiga ayat, sementara esensi jaminan HAM untuk umat manusia untuk keseluruhan produku hukum internasional tentang moral-kemanusiaan sama saja.

    Ini menandakan dengan jelas eksistensi dan jatidiri Masyarakat Adat (MADAT) diakui secara Internasional sebagai bagian dari masyarakat dalam komposisi dan konstelasi sosial-politik masyarakat modern. Mereka tidak masuk ke dalam kelompok Masyarakat Sipil, Masyarakat Ekonomi ataupun Politik. Dengan dasar tiga pasal ini, maka jelas sekali MADAT berhak menikmati segala hak yang seharusnya dimiliki dan dinikmati oleh semua umat manusia di Planet bernama Bumi ini, termasuk hak untuk menghargai dan mengatur penguburan dan penentuan tempat pemakaman sesama manusia yang telah meninggal dunia. Dalam kasus isu pemindahan Makan Alm. Ondofolo Dortheys Hiyo Eluay ini MADAT Papua berhak penuh untuk menentukan dan memeliharan makamnya. Apalagi Almarhum adalah salah satu Tokoh Adat bangsa Papua, bukan sekedar tokoh Adat Sereh/Sentani.

    Dalam Pasal 1 ini dengan jelas, untuk pertama kalinya dalam sejarah perlindungan dan penegakkan HAM di muka bumi dalam sejarah manusia modern (sejak 250 tahun lalu), diakui secara internasional dalam dalam produk hukum PBB bahwa MADAT memiliki “hak kolektiv”, selain hak-individual yang diajarkan berdasarkan paham individualisme-kapitalis (eurosentris) selama ini.

    Salah satu dari hak kolektiv bangsa Papua adalah hak untuk menentukan lokasi makam Almarhum, mengingat beliau adalah Tokoh Adat Papua, terlepas dari beliau adalah Ketua PDP, tokoh pejuang aspirasi bangsa Papua. Tanpa beliau menjadi Ketua PDP-pun, sebagai anggota dan tokoh MADAT Papua, MADAT Papua secara kolektiv berhak secara bersama-sama menentukan nasib dari lokasi makam dimaksud.

    Yohanis Eluay, yang SPMNews kategorikan sebagai penghianat bangsa Papua dapat dikatakan memiliki hak asasinya dalam hal ini untuk menentukan lokasi makam dimaksud. Termasuk orang-orang sekitarnya yang menyetujuinya dapat memgkleim hak individual untuk menyetujui pemindahan dimaksud. Akan tetapi, dalam konteks Deklarasi HAMADAT ini, di mana ada pengakuan hak kolektiv, maka memang ada pengaturan dari masing-masing kelompok dan bangsa MADAT dalam mengatur hak yang individual dan yang kolektiv dimaksud.

    Memang harus ada batas-batas di mana hak individual dan hak kolektiv dapat beroperasi tanpa saling mengurangi/merugikan. Penghianat Anis Eluay dapat saja berkilah dengan berpayung dalam Payung Hukum Adat Sereh/Sentani untuk melakukan pemindahan dimaksud. Akan tetapi dalam kasus Almarhum, hak asasi individunya itu tidaklah semudah itu diwujudkan. Apalagi Alarhum adalah seorang tokoh Adat Sereh/Sentani yang telah menjadi Tokoh Adat Papua.

    Almarhum telah diberikan berbagai penghargaan dan gelar serta penobatan sebagai Tokoh Adat disertai segala perkakas doa dan mantra adat dari sejumlah suku di Tanah Papua. Apalagi, posisi beliau adalah sebagai Ketua PDP, dan dibunuh-pun bukan karena ia menjadi Ondofolo di Sentani atau Ondoafi Sereh, tetapi karena ia menjadi Tokoh Adat Papua, Pemimpin Besar Bangsa Papua, maka dalam konteks ini, hak individual dan hak kolektiv suku Sereh/Sentani itu haruslah menghormati dan menyesuaikan diri dengan hak kolektiv dan Hukum Adat suku-suku bangsa Papua secara keseluruhan. Hubungan kematiannya dan pemakamannya sama sekali tidak ada dengan suku Sereh/Sentani, apalagi Anis Eluay.

    Dalam seluruh hukum adat di Papua atau Hukum Adat di Dunia, Anis Eluay hanya dapat bertindak sedemikian JIKALAU Boy Eluay tidak pernah Almarhum lahirkan ke Bumi. Selama Boy Eluay masih ada, Anis Eluay secara otomatis tidak berhak sama-sekali, demi hukum adat.

    Kalau mau dkatakan harus dilakukan pembayaran kepala Almarhum, seperti menjadi alasan sang penghianat, maka Hukum Adat Papua tidak mengenal sejumlah keanehan yang ditunjukkan dalam gelagat sang penghianat seperti berikut:

    1. Mengapa pembayaran kepala ini baru muncul hampir 10 tahun setelah kematiannya?;
    2. Siapa yang harus membayar kepala, sementara Almarhum wafat di medan perjuangan untuk sekalian bangsa Papua? Mengapa pihak keluarga Almarhum yang layak menerima bayaran dimaksud tidak memintakan pembayaran dimaksud kepada seluruh bangsa Papua? Atau lebih tepat, mengapa pembayaran dimaksud dituntut kepada NKRI sebagai pelaku pembunuhannya?
    3. Mengapa pengaturan pembayaran dimaksud harus diusulkan dan diatur oleh Anis Eluay, seolah-olah Boy Eluay sebagai anak lelaki pengganti Almarhum menurut Adat Papua masih hidup?
    4. Apa hubungan hukum adat dengan gereja, sehingga pemindahan makam Almarhum dengan dalih hukum adat dilakukan, tetapi pemindahannya bukan ke Pendopo Boy Eluay, tetapi di halaman Gereja?

    Bukankah dengan menjawab sejumlah pertanyaan ini kita dengan jelas mengetahui sejauh mana Anis Eluay telah menjadi penghianat, menyusul dua abangnya: Fransalbert Joku dan Nick Messet? Mengapa rencana pemindahan ini dimuat secara besar-besaran oleh Cenderawasih Pos, media Penerangan TNI Kodam NKRI yang ada di Papua Barat? Mengapa rencana ini justru dikomentari pertama oleh pejabat TNI nomor satu di Provinsi Papua?

    Kalau seandainya Suku Sereh, Keluarga Eluay atau Anis Eluay hendak menuntut kepala Almarhum, sesuai Hukum Adat, maka yang harus dituntut adalah Megawati Sukarnoputri sebagai Presiden waktu itu, dan NKRI sebagai Negara di mana Megawati menjabat. Kalau rencana dimaksud dicampur-aduk dengan rencana pencalonan Ondoafi Pengganti Almarhum, maka isu ini malahan melanggar adat Papua manapun, karena Boy Eluay masih hidup, dan sementara itu Anis Eluay muncul dengan usulannya yang menghianati dimaksud.

    Hukum Adat tidak mengenal Anis sebagai Ketua DPRD Kabupaten Jayapura, ia tidak mengenal Megawati sebagai Presiden NKRI atau Kapolda dan Pangdam waktu itu sebagai pejabat Negara. Ia mengenal manusia satu per satu sebagai sesama manusia. Maka Hukum Adat harus menuntut pihak-pihak yang bertanggungjawab atas kemanusiaan, keamanan dan pemerintahan waktu itu.

    Tetapi barangkali Anis menggunakan hukum tambal-sulam buatan NKRI, sama seperti identitas dirinya yang sudah menjadikan dirinya Papua-Indonesia (Papindo), orang Papua pendukung Indonesia, orang Papua penghianat bangsa Papua. Memang Almarhum Eluay pada awalnya pernah menghianati tanah dan bangsa Papua, ia telah menjadi pembunuh terbanyak orang Papua terhadap sesama suku dan bangsanya dalam sejarah pembunuhan dalam sejarah pendudukan NKRI di tanah Papua selama hampir 30 tahun. Akan tetapi ia terbalik disebut pahlawan dan makamnya kini menjadi milik bangsa dan Masyarakat Adat Papua karena ia berbalik seratus delapanpuluh derajad dan membela bangsanya selama kurang dari 3 tahun. Perbuatannya selama kurang dari 3 tahun dimaksu dtelah menebus tuntas dosa-dosanya selama puluhan tahun. Apakah Anis Eluay mau mengkopi jejak orang tuanya: menjadi penghianat, lalu di akhir ajalnya membela bangsa dan tanah airnya?

  • Pentingnya Peradilan HAM di Tanah Papua

    Hak Asasi Manusia adalah hak dasar yang dimiliki pribadi manusia sejak lahir secara kodrat sebagai anugrah dari Tuhan. Hak Asasi Manusia yang dalam bahasa Inggrisnya Human Rights haruslah universal yang artinya merata untuk semua orang, baik orang Jawa, orang Sumatra, orang Bali maupun orang Papua sendiri. Hak Asasi Manusia haruslah dihargai dan dijunjung tinggi. Untuk tetap menghormati, melindungi dan menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia Negara kita bangsa Indonesia membuat beberapa peraturan dan menetapkan dalam berbagai tulisan, seperti; dalam UUD 1945, Tap MPR NO XVII/MPR/1998 dan lebih rinci lagi diatur dalam UUD NO 39 THN 1999 tentang Hak Asasi Manusia. (more…)

  • Diskusi

    Satu LSM yang bernama Institute for Policy Studies (IPS) mengadakan diskusi Dinamika dan Masa Depan Papua di dalam NKRI pada 21 Juni 2007 di Jakarta. Dari judulnya yang maha luas itu bisa diduga bahwa di dalam diskusi itu orang boleh ngomong apa saja soal Papua, yang penting tetap

  • Diskusi ‘Masa Depan Papua pake NKRI’

    Satu LSM yang bernama Institute for Policy Studies (IPS) mengadakan diskusi Dinamika dan Masa Depan Papua di dalam NKRI pada 21 Juni 2007 di Jakarta. Dari judulnya yang maha luas itu bisa diduga bahwa di dalam diskusi itu orang boleh ngomong apa saja soal Papua, yang penting tetap ‘di dalam koridor NKRI’. Penyelenggara secara implisit mau bilang ke penguasa bahwa mereka pro-NKRI.

    Kita bisa menduga arah diskusi ini juga dari pembicaranya. Ada mantan Dubes RI untuk PNG asal Papua, R.G. Jopari, yang dikenal kritis dan loyal kepada NKRI. Ada Ketua DPRD Provinsi Papua Barat (dulu Irian Jaya Barat), Jimmy Idjie, yang dikenal sebagai tokoh kunci pemekaran Irjabar dan dekat dengan BIN dan TNI. Ditambah lagi Direktur IPS yang dikenal dekat dengan bekas Danjen Kopassus Prabowo Subianto yakni Fadli Zon; dan anggota DPR RI asal Golkar, Yudhi Krisnandi.

    Di antara peserta diskusinya, tidak tampak satu pun aktivis LSM Jakarta yang berkepentingan dengan masalah Papua semacam Kontras, YLBHI, Elsam, Pokja Papua, atau pun SNUP, hadir. Sebagian besar pesertanya merupakan wajah baru bagi saya yang selama ini berusaha selalu hadir dalam setiap diskusi tentang Papua. Sebagian lainnya adalah wajah-wajah yang selalu saya lihat di setiap diskusi Papua. Saya tidak pernah tahu asal institusi kelompok kedua ini.

    Substansi yang dibicarakan jelas dari awal: bagaimana memperbaiki situasi di Papua dengan tetap berada di dalam koridor NKRI. Jopari dan Idjie dari sisi sejarah jelas menunjukkan bahwa integrasi Papua ke dalam NKRI sudah sah dan final. Tuntutan kemerdekaan yang ada di Papua selama ini adalah produk rekayasa pemerintah kolonial Belanda. Krisnandi dan Zon juga bernada sama.

    Menariknya, ketika bicara tentang kebijakan Jakarta terhadap Papua, korupsi dan pelanggaran HAM, Jopari dan Idjie sangat kritis. Ketajaman kritik mereka tidak jauh berbeda dengan aktivis LSM atau pun tokoh-tokoh intelektual Papua yang pro-otonomi atau pro-merdeka. Mengenai Otsus, mereka menggarisbawahi persoalan inkonsistensi akut kebijakan dan perilaku politik Pemerintah Pusat. Selain itu keberadaan UU No 32 juga dianggap mengebiri dan menghambat pelaksanaan UU Otsus.

    Di akhir diskusi, nada pesimis sangat kuat di kalangan orang-orang pro-NKRI ini. Kelihatan bahwa orang-orang yang berada di ‘pihak yang kuat’ ini pun menyimpan kekecewaan dan skeptisisme yang mendalam terhadap Jakarta. Jopari dan Idjie sependapat bahwa NKRI harus dipertahankan namun sistem politik, perilaku elit, dan pola kebijakan yang berlangsung tidak mendukung kemungkinan perbaikan situasi di Papua.

    Dulu Theys Eluay almarhum juga loyal terhadap NKRI seperti Jopari dan Idjie. Beberapa tahun sebelum dibunuh, dia berubah menjadi pemimpin pro-kemerdekaan. Banyak orang sejenis Theys bisa ditemukan dalam sejarah hubungan Papua-Jakarta. Mudah-mudahan Jopari dan Idjie tidak mengikuti jejak politik Theys…

Are you sure want to unlock this post?
Unlock left : 0
Are you sure want to cancel subscription?