Tag: Gereja Baptis Papua

  • Forum Gereja Papua Desak RI Akui KNPB dan ULMWP

    Dari kiri: Ketua Umum Badan Pelayan Pusat Persekutuan Gereja-gereja Baptis Papua, Pdt Socratez Sofyan Yoman S.Th, MA, Presiden Gereja Injili di Indonesia (GIDI), Pdt Dorman Wandibo, S.Th, Ketua Sinode Kingmi di Tanah Papua, Pdt Dr. Benny Giay. (Foto: Ist)
    Dari kiri: Ketua Umum Badan Pelayan Pusat Persekutuan Gereja-gereja Baptis Papua, Pdt Socratez Sofyan Yoman S.Th, MA, Presiden Gereja Injili di Indonesia (GIDI), Pdt Dorman Wandibo, S.Th, Ketua Sinode Kingmi di Tanah Papua, Pdt Dr. Benny Giay. (Foto: Ist)

    JAYAPURA, SATUHARAPAN.COM – Forum Kerja Oikumenis Gereja-gereja Papua, dalam Surat Gembala berjudul Minum dari Air Sumur Sendiri, mendesak pemerintah RI mengakui keberadaan Komite Nasional Papua Barat (KNPB) dan United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) ketimbang memberi stigma separatis kepada kedua organisasi itu.

    “Kami sebagai pimpinan gereja melalui surat gembala ini, mengulangi kembali pernyataan kami di depan Presiden SBY pada tanggal 16 Desember 2011. Pandangan kami sebagai Gereja terkait kedua lembaga ini (KNPB dan ULMWP, Red) belum berubah sampai hari ini (termasuk OPM dll). Kami usul agar KNPB  diterima dan diberi ruang,” demikian Surat Gembala yang ditandatangani oleh Pdt. Dorman Wandikmbo S.Th, Ketua Sinode GIDI di Tanah Papua, Dr. Socratez Sofyan Yoman, MA, Ketua Badan Pelayanan Persekutuan Gereja-gereja Baptis Papua dan Pdt Dr. Benny Giay, Ketua Sinode KINGMI di Tanah Papua dan pengacara HAM Papua, Frederika Korain SH MPA.

    Alasannya, menurut Surat Gembala tersebut, karena aspirasi Papua merdeka yang mereka bawa dan perjuangkan  tidak lahir begitu saja. “Mereka tidak tiba-tiba bermimpi dan langsung perjuangkan aspirasi ini. Aspirasinya tadi lahir dalam suasana interaksi dalam sejarah Indonesia dengan aparat Indonesia yang membawa kebijakan-kebijakan yang melumpuhkan Papua. Dalam bahasa Papua ‘aspirasi Papua merdeka’ (Nasionalisme Papua) yang diusung KNPB dan ULMWP ini adalah bayi yang lahir sebagai ‘buah’ dari interaksi/ perkawinan paksa Papua dengan Indonesia; seperti  nasionalisme Indonesia yang lahir sebagai reaksi terhadap kebijakan Pejajahan Belanda,” demikian Surat Gembala tersebut.

    Karena itu, didesak agar Idonesia menghentikan semua ‘stigma’, upaya kriminalisasi terhadap ULMWP dan KNPB.

    Lagipula, menurut Surat Gembala, KNPB dan ULMWP sudah hadir di Indonesia, mereka adalah bagian dari sejarah Indonesia; Indonesia punya andil dalam menghadirkan KNPB dan ULMWP dan lembaga lainnya.

    “Penyelesaiannya tidak boleh sepihak dengan politik stigma, tetapi  dialog seperti: yang dilakukan Pemerintah RI dan GAM.”

    Diingatkan pula bahwa Papua bukan lagi terisolir dari dunia internasional;  dengan media sosial Papua dan Indonesia sudah menjadi bagian dari dunia yang tengah mengglobal.

    “Kami mendengar dalam UPR di Dewan HAM PBB ada juga suara dari masyarakat internasional kepada Pemerintah NKRI yang mempersoalkan posisi Indonesia dalam hubungan dengan ULMWP dan KNPB,” demikian Surat Gembala tersebut.

    Negara Mendesain Kekerasan secara Khusus di Papua

    Terbitnya Surat Gembala yang terdiri dari enam bagian dan penuh dengan nada prihatin itu, dilatarbelakangi oleh berbagai perkembangan dalam satu bulan terakhir.

    Para pemimpin gereja di Papua itu, dalam Surat Gembala antara lain menyebut internasionalisasi masalah Papua lewat peran tujuh negara Pasifik yang di Sidang Majelis Umum PBB di New York, September 2016 dan dalam sidang Dewan HAM PBB di Genewa, Swiss, serta catatan kritis Negara-negara terhadap evaluasi UPR Indonesia 3 Mei 2017 Dewan HAM PBB di Genewa.

    Ditengarai bahwa pasca gencarnya internasionalisasi masalah Papua, Jakarta tidak tinggal diam. Jakarta mengambil  sejumlah  langkah, termasuk mewajibkan para Gubernur mengikuti latihan militer di Natuna; kunjungan Presiden Jokowi yang diduga untuk kepentingan pertahanan dengan kunjungan ke Perbatasan di PNG dan ke Habema Wamena untuk membangun Basis militer di sana; gencarnya usaha mempengaruhi kelompok-kelompok masyarakat Papua untuk menyerahkan diri dan upaya Kementerian Luar Negeri mengumpulkan dan memakai mahasiswa Papua untuk menciptakan image positif tentang Indonesia di luar negeri.

    Pada saat yang sama, Surat Gembala tersebut juga menengarai Negara mendesain kekerasan secara khusus di Papua, antara lain terlihat dari PGGP (Persekutuan Gereja-Gereja Papua) lewat pernyataan sikapnya melegitimasi upaya negara mengkriminalisasi organisasi masyarakat sipil Papua.

    Disebutkan, pada 15 Mei 2017, setelah dilantik sebagai Kapolda Papua yang baru, Kapolda menetapkan 12 program prioritas, salah satu diantaranya adalah membasmi organ-organ radikal di Tanah Papua dengan menyebut secara khusus nama KNPB. Kapolda Papua bahkan mengumumkan pada 19 Mei 2017, hendak membentuk Tim khusus  untuk menangani kasus kriminalitas.

    “Negara secara sistematis mengkriminalisasi KNPB sebagai organisasi gerakan masyarakat sipil Papua  yang memperjuangkan keadilan dan perdamaian tanpa kekerasan, sebagai pelaku pembunuhan dan kekerasan yang marak terjadi di Jayapura dan Sentani dalam sebulan terakhir,” demikian Surat Gembala.

    “Negara mempertontonkan wajah rasisme terhadap orang asli Papua, secara khusus warga Papua asal Pegunungan Tengah yang dituduh sebagai pelaku tindak kekerasan dan kriminalitas.”

    Berdiri Bersama Jemaat

    Di bagian lain Surat Gembala, para pemimpin gereja itu menegaskan sikap untuk tetap berdiri bersama umat, kendati berbagai penderitaan yang dialami.

    “Ketegaran warga jemaat kamilah yang membuat kami pimpinan Gereja bisa berkumpul di sini hari ini. Warga jemaat kami dibunuh, distigma, KNPB yang dihina/ distigma dan kapan saja bisa dihilangkan oleh perintah seorang komandan Brimob, Polisi, Kodim, dll. Tetapi kenyataan ini juga  yang membuat kami bertanya: apa arti tugas Gereja dalam dunia seperti ini? Apa yang sedang kami hadapi? Pengalaman mengikuti operasi keamanan minggu ini di Tanah ini, menolong kami mengerti bahwa kami sedang berhadapan dengan suatu sistem didikte oleh ‘rasisme Farhat Abas.’”

    “Lembaga keamanan ini sudah tidak berdiri di atas semua golongan. Pertanyaannya bagi kami Gereja ialah: Bagaimana kami, Gereja  bisa berdiri dan angkat muka dan keluar masuk dalam lingkungan sosial dan pemikiran sosial dan politik yang sudah bercampur baur dengan rasisme.  Seperti terlihat dalam kinerja Kapolresta dan Polda yang tidak mengejar pelaku pembunuhan di Waena tetapi langsung vonis “orang Wamena”, orang Gunung, dll (tgl 19 Mei 2017) sebagai pelaku dan membiarkan kelompok etnis tertentu membunuh dan membacok Pius Kulua (yang tewas seketika) dan Yowenus  sehingga dilarikan ke rumah sakit.
    Perkembangan ini, membuka mata kami pimpinan Gereja,  sehingga melihat perjuangan warga jemaat selama ini  sebagai perlawanan terhadap  apa yang Daniel Dakhidae  menyebutnya sebagai ‘disguised slavey, perbudakan  terselubung.’”

    Minum dari Sumur Sendiri

    Di bagian akhir dari Surat Gembala tersebut, kepada jemaat para pemimpin gereja menyerukan untuk mempertanggung-jawbkan imannya dengan keluarga dan para pendeta membuat komitmen bersama untuk “menyiapkan generasi masa depan Papua “yang bisa menjadi Surat Kristus” pada masa depan.

    “Kami pemimpin Gereja melalui surat Gembala ini  mengajak seluruh warga Gereja untuk memberi prioritas terhadap pendidikan, kemajuan  dan masa depan anak-anak Papua.  Kekerasan yang yang berwajah rasis ini kita lihat sebagai campuk dan lonceng dari Tuhan untuk kita menata diri, menentukan prioritas dan arah baru bagaimana anak-anak kita, banga Papua (dari Gunung dan Pantai, tanah besar dan pulau) kita giring, bentuk dan bina untuk  nanti bisa tampil gemilang dalam bidang pendidikan, Hukum, teolog, kimia, biologi, dll.”

    Konkritnya, warga Gereja diajak untuk bekerja keras, membangun ekonomi keluarga, bangun budaya kerja lalu  sisikan uang untuk memperhatikan gizi anak-anak dan uang dan kebutuhan anak-anak Papua dan dorong pendidikan anak2 dari SD sampai ke Perguruan Tinggi.

    Selain itu mereka mengimbau jemaat membangun budaya membaca dan diskusi dan sejak dini; ajar mereka mencintai bahasa dan budaya dan sejarah Papua sejak dini.

    Kepada para pejabat Papua, pemimpin gereja mengimbau untuk menangkap semangat ini, “Kita bisa jaga tanah dan budaya kita, hanya dengan membiayai pendidikan bagi generasi muda dan generasi anak Papua ke depan.”

    Editor : Eben E. Siadari

  • Gereja-Gereja di Papua Dukung RI Berdialog dengan ULMWP

    Wakil Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia, Brian McFeeters (tengah), berfoto bersama sejumlah tokoh agama Papua di Hotel SwissBell, Jayapura, seusai melakukan pertempuan. Pdt Socratez Sofyan Yoman tampak berdiri paling kiri (Foto: satuharapan.com/Socratez Sofyan Yoman)
    Wakil Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia, Brian McFeeters (tengah), berfoto bersama sejumlah tokoh agama Papua di Hotel SwissBell, Jayapura, seusai melakukan pertempuan. Pdt Socratez Sofyan Yoman tampak berdiri paling kiri (Foto: satuharapan.com/Socratez Sofyan Yoman)

    JAYAPURA, SATUHARAPAN.COM – Gereja-gereja di Papua mendukung Indonesia mengadakan dialog dengan gerakan pro penentuan nasib sendiri di Papua, yakni United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) dengan dimediasi oleh pihak ketiga yang netral.

    n Yoman berfoto bersama Wakil Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia, Brian McFeeters seusai bertemu di Jayapura, Rabu, 16/11/2016. (Foto: Socratez Yoman)
    Sofyan Yoman berfoto bersama Wakil Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia, Brian McFeeters seusai bertemu di Jayapura, Rabu, 16/11/2016. (Foto: Socratez Yoman)

    Hal ini disampaikan oleh Pendeta Socratez Yoman, Ketua Umum Badan Pelayan Pusat Persekutuan Gereja-gereja Baptis Papua, dalam pertemuan tokoh-tokoh agama di Papua dengan Wakil Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia, Brian McFeeters, di SwissBell Hotel, Jayapura, pada hari Rabu malam (16/11).
    Pendeta Socratez Sofya

    Pada kesempatan itu selain tokoh gereja, tokoh ulama dari Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah turut hadir, dan menyampaikan pendapat kepada wakil duta besar.

    Dalam keterangannya kepada satuharapan.com, Socratez mengatakan ia menyampaikan pendirian gereja-gereja di Papua kepada wakil dubes AS, yakni meminta pemerintah Indonesia berdialog dengan ULMWP, yang menurut dia adalah payung politik resmi rakyat Papua.

    “ULMWP itu lembaga resmi yang dibentuk dan didukung oleh seluruh rakyat dan bangsa Papua dan diakui oleh masyarakat internasional,” kata dia.

    “Gereja-gereja di Papua, terutama GKI di Tanah Papua, Gereja Kingmi, GIDI dan Baptis mendorong pemerintah Indonesia berunding dengan ULMWP yang dimediasi pihak ketiga yang lebih netral,” kata Socratez.

    ULMWP kini tengah berjuang untuk mendapatkan keanggotaan penuh di Melanesian Spearhead Group (MSG), organisasi sub regional di kawasan Pasifik, yang beranggotakan Papua Nugini, Fiji, Vanuatu, Solomon Islands dan FLNKS Kaledonia Baru. Indonesia menjadi associate member di organisasi ini sedangkan ULMWP sampai saat ini masih berstatus sebagai peninjau.

    Permohonan keanggotaan ULMWP telah menjadi batu pengganjal di dalam tubuh MSG karena dua negara, Papua Nugini dan Fiji, condong untuk menolak keanggotaan ULMWP, seperti halnya Indonesia.

    Di sisi lain, bagi ULMWP keanggotaan di MSG sangat penting karena dengan keanggotaan tersebut, mereka dapat berdialog dengan Indonesia dalam kerangka sesama anggota MSG.

    Dalam Roadmap Papua edisi revisi yang disusun oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), kehadiran kelompok diaspora seperti ULMWP telah diakomodasi dan saran dialog yang dikemukakan dalam roadmap tersebut meliputi juga dialog dengan kelompok ini. Namun, Jakarta masih terkesan enggan untuk membuka jalur dialog tersebut.

    Terkait dengan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Papua, Socratez mengatakan ia menyampaikan penjelasan kepada wakil dubesAS  bahwa rakyat Papua pada umumnya menolak Tim Terpadu Penyelesaian HAM di Papua yang dibentuk oleh Menkopolhukam.

    Menurut dia, penolakan itu didasarkan pada pemikiran bahwa pemerintah adalah pelaku kekerasan dan kejahatan kemanusiaan di Papua. Oleh karena itu, ia mengusulkan perlu dibentuk tim yang lebih independen yang melibatkan lembaga-lembaga internasional.

    “Perlu ada utusan khusus PBB ke Papua sebagai tim pencari fakta,” kata Socratez.

    Selain itu, kepada wakil dubes AS juga disampaikan sejumlah usulan lain, di antaranya meminta pemerintah RI membuka akses kepada wartawan asing untuk berkunjung ke Papua.

    Tidak lupa, Socratez juga mengungkapkan terimakasihnya kepada tujuh negara Pasifik yang telah mengangkat persoalan HAM Papua di PBB.

    “Rakyat dan bangsa Papua sekarang berdiri dengan teman-teman di negara-negara Pasifik,” kata Socratez.

    Menurut Socratez, selama pertemuan itu wakil dubes AS lebih memilih mendengarkan penjelasan dari para hadirin. Di akhir pertemuan, kata Socratez, wakil dubes hanya memberikan jawaban singkat, berupa ucapan terimakasih karena telah memberi masukan dan informasi dengan jujur dan terbuka.

    “Beliau tidak melontarkan pertanyaan, beliau banyak mendengar,” kata Socratez.

  • Pimpinan Gereja : 54 Tahun Setelah New York Agreement, Umat Semakin Tak Berdaya

    Jayapura, Jubi – Perjanjian New York Agreement antar Belanda dan Indonesia, 15 Agustus 1962 atau 54 tahun lalu diduga menjadi landasan politik yang menyebabkan konflik berkepanjangan di Tanah Papua, hingga kini.

    Hal itu dikatakan Forum Oikumenis Pimpinan Gereja Papua dalam keterangan persnya di Kantor Sinode Kingmi di Tanah Papua yang dihadiri Pdt. Socratez Sofyan Yoman (Ketua Umum Badan Pelayanan Pusat Persekutuan Gereja-Gereja Baptis Papua), Pdt. Benny Giay (Ketua Sinode Kingmi di Tanah Papua) dan Pdt. Dorman Wandikbo (Presiden GIDI).

    “Perjanjian New York atau yang dikenal dengan sebutan New York Agreement ditandatangani Pemerintah Kerajaan Belanda dan Indonesia tanpa melibatkan rakyat Papua, mengatur tentang penyelesaian status politik Papua Barat/Irian Barat,” kata Pdt. Socratez, Senin (15/8/2016)

    Menurutnya, melihat situasi umat di Papua kini, gereja-gereja di Papua seperti sedang menjalani masa-masa gelap dan ketidakberdayaan seperti yang terjadi pada 1960an, dimasa berlangsungnya konfrontasi dan aksi-aksi terror di seluruh Tanah Papua dalam rangka memenangkan PEPERA.

    “Dalam setahun ini kami mengamati terjadi berbagai peristiwa dan tindakan pihak penguasa yang memposisikan umat kami semakin tak berdaya dan memicu terjadinya krisis kemanusiaan,” ucapnya.

    Beberapa poin yang dicatat Forum Oikumenis Pimpinan Gereja Papua diantaranya, kasus meninggalnya kurang lebih 60 anak dan orang dewasa di Distrik Mbua, Kabupaten Nduga, kurun waktu Oktober 2015-Maret 2016 akibat wabah misterius.

    “Februari 2016, ketika wabah berlangsung, Presiden Jokowi sempat berkunjung ke Kenyam, Nduga. Sayangnya Presiden tak sedikitpun berbicara meninggalnya umat kami di sana. Beliau hanya sibuk membicarakan pembangunan jalan raya yang dikerjakan TNI,” katanya.

    Di tempat yang sama, Pdt. Benny Giay mengatakan, poin lain antara lain, dalam masa kepemimpinannya, Jokowi hanya hebat pada pencitraan dan wacana mengurus Papua. Kunjungan demi kunjungan yang dilakukan Jokowi ke Papua dinilai tak membawa perubahan. Hanya pencitraan. Berbagai pernyataan Jokowi diantaranya membebaskan wartawan asing mengunjungi Papua hanyalah wacana. Tak ada bukti hingga kini. Upaya pencitraan ini kata Pdt. Benny, terlihat dalam ketidakjelasan pembangunan pasar mama-mama Papua di tengah Kota Jayapura. Padahal Presiden sudah meletakkan batu pertama, April lalu.

    “Pasar yang dibangun di Sentani, Kabupaten Jayapura oleh tim Jokowi yang awalnya disebut diperuntukkan kepada mama-mama Papua, kini dibiarkan kosong tanpa peruntukan jelas,” kata Pdt. Benny Giay.

    Katanya, sikap Polda Papua mengeluarkan maklumat menyampaikan pendapat di muka umum pada 1 Juli lalu ditengarai ikut memelihara konflik. Dalam maklumat itu Kapolda menyebut KNPB, NRFPB, IPWP, PRD, TPN, OPM dan ULMWP sebagai organisasi separatis yang terlarang.

    Tindakan Kapolda ini lanjut dia, mengangkangi hak berdemokrasi rakyat Papua untuk bebas berekspresi. Selain itu pembunuhan misterius peluhan pemuda Papua di berbagai kota sejak April 2016, dengan muda pihak kepolisian menyimpulkan akibat kecelakaan lalulintas.

    “Ini terlihat dalam kasus meninggalnya sekretaris Solpap, Robert Jitmau yang hingga kini kasusnya belum diselesaikan aparat penegak hukum. Itu juga menunjukkan adanya upaya sistematis pihak tertentu dalam menciptakan ketakutan rakyat banyak,” ucapnya.

    Selain itu Forum Oikumenis Pimpinan Gereja Papua juga menilai, negara ikut memelihara rasisme terhadap orang Papua. Ini terlihat dari pernyataan Luhut Panjaitan semasa menjabat Menkopolhukam, mengusir orang Papua yang tergabung dalam ULMWP untuk pergi ke Pasifik. Pernyataan rasis lainnya dari Farhat Abbas, artis yang juga pengacara. Yang terbaru panggilan “monyet” kepada mahasiswa Papua di Jogjakarta oleh oknum ormas setempat.

    “Disayangkan, tak ada tindakan berarti dari negara dan aparatnya memproses sesuai hukum. Selain itu negara melakukan upaya sistematis dengan memusnahkan panganan lokal dan memaksa orang Papua bergantung pada beras. Raskin menerobos hingga ke pelosok Papua. Belakang ini ramai diberitakan kebijakan ratusan hektar lahan padi diberbagai wilayah di Tanah Papua yang dikerjakan TNI,” imbuhnya.

    Sementara Presiden GIDI, Pdt. Dorman Wandikbo mengatakan, melihat berbagai dinamika itu, pihaknya menyatakan sikap antar lain, pihaknya meminta semua pihak yang menandatangani New York Agreement yang menjadi akar masalah Papua dan pihak yang menerima hasil PEPERA yang dinilai tak adil, bertanggungjawab atas keselamatan hidup orang asli Papua.

    Forum Oikumenis Pimpinan Gereja Papua menyatakan menolak rekayasa peringatan hari Kemerdekaan RI, 17 Agustus secara besar-besaran di seluruh Tanah Papua di tengah penderitaan rakyat. Ini dinilai upaya negara menutupi borok-borok yang diciptakan.

    Forum Oikumenis Pimpinan Gereja Papua berterimakasih kepada ULMWP dan organisasi serta elemen rakyat Papua yang bernaung dibawahnya dan telah menempuh jalan panjang perjuangan dimasa lalu yang kini tetap memilih berjuangan dengan jalan damai.

    “Kami juga berterimakasih kepada semua pihak yang bersolider dengan penderitaan umat kami. Baik perorangan, kelompok, organisasi, media massa, tokoh masyarakat dan pimpinan-pimpinan banga di Tanah Papua, di Indonesia maupun diberbagai negara yang telah mengambil jalan penderitaan bersama rakyat Papua. Dukungan kalian adalah roh yang menguatkan kami. Kami menghimbau kepada seluruh orang Papua tetap tegar, bertekun dalam doa, merawat kehidupan pribadi, keluarga, maupun budaya dan indentitas demi anak cucu dimasa depan,” kata Pdt. Dorman. (Arjuna Pademme)

  • Papua: Saatnya Dialog Setara RI-ULMWP

    Penulis: Pdt Socratez Sofyan Yoman 07:15 WIB | Rabu, 25 Mei 2016

    JAYAPURA, SATUHARAPAN.COM – Rakyat Papua, para pemimpin agama, gereja-gereja, para akademisi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), politisi, pekerja kemanusiaan, bahkan beberapa pemerintah negara sahabat menyampaikan tawaran kepada pemerintah Indonesia supaya mengadakan dialog damai dengan Organisasi Papua Merdeka (OPM) untuk mengakhiri konflik politik yang berkepanjangan antar rakyat Papua dan pemerintah Indonesia. Dalam menyikapi penawaran ini, pemerintah merasa kesulitan mengakomodasi rakyat Papua untuk berdialog karena banyak kelompok antara rakyat Papua yang berjuang untuk tujuan politik.

    Untuk memudahkan pemerintah Indonesia berdialog yang setara dengan Organisasi Papua Merdeka (OPM), rakyat Papua dengan cerdas dan inovatif membentuk satu payung politik perjuangan formal yang dinamakan United Liberation Movement for West Papua (ULMWP). Wadah politik rakyat dan bangsa Papua ini dikonsolidasikan dan dibentuk resmi pada tahun 2014 di Vanuatu. ULMWP yang mengakomodasikan seluruh kelompok perjuangan dan kepentingan perjuangan rakyat Papua ini disambut luas oleh seluruh rakyat Papua. Persatuan dari seluruh kelompok perjuangan merupakan pergumulan doa seluruh rakyat Papua. Rakyat dan bangsa Papua sekarang dengan sepenuh hati mendukung ULMWP walaupun pemerintah Indonesia tidak mengakui keberadaan ULMWP.

    Orang-orang yang menakhodai ULMWP juga sangat representatif dari seluruh rakyat Papua dari Sorong-Merauke. Octovianus Mote sebagai Sekretaris Jenderal, Benny Wenda sebagai Spokeperson, Leoni Tanggahma (anggota mewakili) perempuan, Rex Rumakiek (anggota) dan Jakob Rumbiak (anggota).

    Pemerintah Indonesia bereaksi keras bahwa lima orang ini bukan perwakilan rakyat dan bangsa Papua tetapi hanya kumpulan kelompok kecil yang berdiaspora di luar negeri. Walaupun demikian, rakyat dan bangsa Papua menerima dan percaya penuh bahwa lima orang itu sudah merupakan perwakilan resmi rakyat dan bangsa Papua.

    Dasar yang dipegang rakyat Papua adalah lima orang itu dipilih resmi dalam Konferensi Perdamaian Papua pada 5-7 Juli 2011 di Auditorium, Jayapura. Konferensi ini dibuka dan sekaligus menjadi KeyNote Speaker adalah Pemerintah Indonesia melalui Menteri Koordinator Politik, Hukum dan HAM pada masa pemerintahan Hj. Bambang Susilo Yudoyono. Para pembicara yang hadir dalam konferensi itu juga mewakili pemerintah, aparat keamanan, dan juga para pemimpin agama. Gebernur Papua, Pangdam VXII Cenderawasih, Kapolda Papua, Uskup Leo Laba Ladjar, Dr. Tonny Wanggai dan saya (Socratez Yoman) sebagai pembicara dalam konferensi itu.

    Lima orang ini dipilih resmi oleh peserta Konferensi Perdamaian Papua yang terdiri dari 1.350 orang yang merupakan utusan perwakilan seluruh rakyat Papua. Tidak ada alasan bagi pemerintah Indonesia bahwa lima orang itu mewakili orang-orang Papua yang ada di luar negeri. Kita juga harus jujur bertanya, mengapa lima orang itu ada di luar negeri yang meninggalkan tanah air dan keluarga mereka.

    Belakangan ini rakyat Papua semakin solid and kuat. Karena, selama bertahun-tahun, dunia membisu atas pembantaian rakyat Papua atas nama keamanan nasional. Namun demikian, dunia tidak selamanya membisu ketika nilai-nilai kemanusiaan, martabat manusia terus dilecehkan dan direndahkan oleh Negara. Pemerintah, rakyat dan Gereja Vanuatu, pemerintah, rakyat dan Gereja Kepulauan Salomon, rakyat dan Gereja dan Kaledonia Baru, rakyat, Gereja, dan pemerintah Tonga, tidak selamanya membisu, menutup mata dan telinga atas penderitaan rakyat Melanesia dan Pasifik di Papua Barat.

    Adapun utusan Pemerintah Indonesia yang dipimpin oleh Menteri Koordinator Politik, Hukum dan HAM, Luhut B. Panjaitan berangkat mengadakan pertemuan dengan Lord Richard Harries, mantan Uskup Oxford, pendukung Papua Merdeka di Parlemen Inggris. Kunjungan itu juga sekaligus mengajukan protes atas pernyataan dukungan Papua Merdeka dari Tuan Jeremy Corbyn, Ketua Partai Buruh Inggris pada 3 Mei 2016 pada pertemuan Parlemen Internasional untuk Papua Barat di London.

    Dalam tulisan ini saya mau sampaikan kontribusi pemikiran bahwa substansi masalahnya bukan ada pada Lord Harries, Tuan Jeremy Corbyn, Pemerintah Vanuatu, Pemerintah Kepulauan Salomon, Pemerintah Kanaki dan Pemerintah Tonga. Persoalan sesungguhnya ada pada terjadinya kejahatan kemanusiaan terhadap Papua. Masyarakat internasional, siapapun dia, tidak setuju dengan pembunuhan manusia ciptaan dan gambar Allah atas nama dan kepentingan nasional.

    Saya secara pribadi pun mempunyai hubungan yang sangat baik dan kuat dengan Tuan Lord Richard Harries selama 12 tahun sejak 2015 sampai 2016. Tuan Lord Harries sudah mengundang saya tiga kali dan kami berdua bertukar pikiran tentang perbaikan dan perdamaian untuk masa depan rakyat Papua. Pemimpin dan rakyat Papua sudah ada dimana-mana yang sedang membagikan penderitaan mereka kepada sesama manusia di setiap pelosok seluruh dunia. Intinya rakyat Papua telah memenangkan hati masyarakat Internasional dari akar rumput sampai pada pemerintah.

    Karena itu, demi kehormatan dan kredibilitas pemerintah Indonesia di mata masyarakat Internasional, saran saya kepada pemerintah, sudah saatnya dialog setara antara Pemerintah Republik Indonesia dan United Liberation Movement for West Papua. Karena dunia ini sudah menjadi seperti sebuah kampung kecil sehingga tidak ada ruang untuk berpura-pura dan tidak ada tempat untuk kebohongan-kebohongan.

    Lagi pula satu-satunya provinsi di Indonesia yang dimasukkan ke dalam wilayah Republik Indonesia melalui persetujuan masyarakat internasional adalah Provinsi Papua. Maka, Pemerintah Indonesia jangan berpandangan keliru dalam proses sejarah ini.

    Penulis adalah Ketua Umum Badan Pelayan Pusat Persekutuan Gereja-gereja Baptis Papua beralamat di Jln. Ita Wakhu Purom, Numbay (Jayapura) Papua.

    Editor : Eben E. Siadari

  • Jokowi Didesak Bentuk KPP HAM Kasus Paniai

    JAYAPURA – Forum Kerja Oikumenis Gereja-Gereja di Papua mendesak Presiden RI Joko Widodo (Jokowi)  membentuk KPP HAM untuk menyelesaikan kasus penembakan warga sipil di Paniai pada 8 Desember 2014 lalu. Desakan itu muncul, karena hingga saat ini belum ada sinyal terungkapnya siapa pelaku kasus penembakan tersebut. ”Hingga memasuki bulan keempat, pelaku penembakan terhadap para pelajar di Paniai yang terjadi 7-8 Desember tahun lalu, belum juga ada tanda-tanda ditemukan. Terkesan penyelidikan tidak memberikan titik terang.” ujar Ketua Sinode Persekutuan Gereja-gereja Baptis di Papua Pendeta Socrates Soyan Yoman, Senin 16 Maret di Kantor Kingmi Jayapura.

    Untuk itu, lanjutnya, karena penyelidikan yang dilakukan Kepolisian maupun institusi pemerintah lainnya terkesan tidak serius, Gereja-gereja di Papua mendesak Presiden segera membentuk KPP HAM, karena peristiwa itu adalah pelanggaran HAM berat. “Kami minta Presiden serius mengungkap kasus Paniai, dengan membentuk KPP HAM dengan mandat memeriksa semua pihak yang terlibat, dan itu harus dilaksanakan sebelum Presiden berkunjung lagi ke Papua,”tandas Pendeta Socrates.

    Socrates menilai, penyelidikan yang sedang dilakukan Polda Papua selama ini terkesan tidak serius karena, laporannya berupaya melindungi anggotanya yang telah melakukan penembakan. “Juga berusaha memecah kasus yang utuh itu, yakni penembakan brutal menjadi kasus yang berdiri sendiri-sendiri, sehingga kabur dan susah menemukan pelaku penembakan. Penyidik juga terkesan tidak membicarakan subtansi tuntutan, yakni mengenai lima orang korban, bahkan juga tidak netral dan pro kepada institusi tertentu dengan menggiring kasus pelanggaran HAM berat itu, menjadi kasus kriminal biasa,”paparnya.

    Institusi TNI, tambahnya, terkesan diam, seakan tidak terlibat dalam penembakan Paniai. “TNI dan Polri baku tuding, dan tidak pernah memastikan dua orang yang ditempatkan diatas tower menara Bandara Enarotali, yang diduga sebagai pelaku,”tukasnya.

    Gereja beranggapan, sambungnya kekerasan demi kekerasan masih terus terjadi dari tahun ke tahun, namun TNI/polri selalu berlindung atau menghindar sebagai pelaku. “TNI-Polri selalu mengubur pembantaian di Paniai, supaya nanti lanjut dengan peristiwa kekerasan lainnya,”kata dia.

    Ketua Sinode Kingmi Pendeta Beny Giay mendesak selain membentuk KPP HAM, Presiden Jokowi harus menunjuk seseorang untuk menjadi mediator guna mewujudkan dialog Papua Jakarta. “Presiden harus menunjuk seseorang petinggi negara setingkat menteri untuk mengurus persoalan konflik Papua Jakarta lewat jalan dialog damai yang dimediasi pihak ketiga ditempat yang netral,”paparnya.

    Kepada masyarakat sipil Papua, kata Beny Giay, diimbau supaya menjemput bola wacana dialog damai. “Caranya dengan Stop membeli/jual belikan senjata amunisi, yang diperjual belikan pihak TNI Polri di Tanah Papua sejak September hingga Desember 2014. Memberikan prioritas mengurus dialog Jakarta Papua yang sedang diwacanakan berbagai pihak dengan bekerja sama pada Jaringan Damai Papua untuk mencegah konflik berlanjut,”tandasnya.

    Ia juga meminta kaum perempuan yang selama ini kerap menjadi korban kekerasan, supaya menjadi penggerak dalam proses terwujudnya dialog damai.

    Sementara Ketua Sinode Gidi Dorman Wandikbo juga menyerukan hal yang sama, bentuk KPP HAM supaya terungkap siapa sebenarnya pelaku aksi penembakan Paniai. “Ayo mari buktikan, siapa yang benar atau salah, Gereja hanya ingin bicara tentang keadilan yang mutlak,”pungkasnya.

    Menyikapi seruan gereja yang menganggap Kepolisian tidak serius, Juru Bicara Polda Papua Kombes Patrige Renwarin mengatakan, pihaknya selalu berterima kasih kepada semua element masyarakat, yang memberikan dorongan moril kepada penyidik, supaya tidak menyerah dengan berbagai kendala yang dihadapi dalam mengungkap pelaku maupun mencari bukti-bukti insiden penembakan Paniai. “Kami berterima kepada masyarakat juga pimpinan sinode gereja-gereja di Papua, tas dorongannya,”kata dia.

    Lanjut Patrige, beberapa waktu lalu Polda Papua telah memaparkan hasil penyelidikan kasus Paniai di Komnas HAM Pusat. Dan saat ini masih menunggu tindak lanjutnya. “Kami berharap sebaiknya semua komponen masyarakat menyatukan persepsi dalam memandang peristiwa 8 Desember di Paniai, dan sebaiknya tidak saling menuding. Polri juga menghadapi kendala, dimana masyarakat tidak mau jadi saksi atas peristiwa itu,”tukasnya.

    DPRP juga meminta kasus penembakan Paniai diungkap dengan secepatnya, karena ini mempertaruhkan kepercayaan masyarakat Papua kepada pemerintah pusat. “Sudah 4 bulan kasus Paniai belum juga menunjukkan hasil yang baik, kita harap pihak berkompeten mengungkap siapa sebenarnya dibalik peristiwa Paniai,”tandas Ketua DPRP Yunus Wonda.

    Sebenarnya, kata Yunus Wonda, rakyat Papua sudah mengetahui secara jelas siapa pelaku penembakan Paniai, namun yang ditunggu adalah pengakuan dari mereka. “Rakyat sudah tahu kok, tinggal apakah mau mengaku, sebaiknya ya mengaku saja, kasus Paniai bukan saja hanya jadi perhatian Papua dan Jakarta, tapi juga Internasional, jadi semua pihak harus transparan,”pungkasnya.

    Yunus Wonda melanjutkan, Parlemen Papua yang dipimpinnya akan terus memantau sejauh mana hasil pengungkapan kasus penembakan Paniai. “Kami pantau terus, kami harap dalam waktu dekat sudah terungkap,”imbuhnya. (loy/jir/don)

    Source: Selasa, 17 Maret 2015 09:47, BinPa

Are you sure want to unlock this post?
Unlock left : 0
Are you sure want to cancel subscription?