Tag: dukungan Pasifik Selatan

  • Awal Mei, Benny Wenda akan disambut hangat di Selandia Baru

    Awal Mei, Benny Wenda akan disambut hangat di Selandia Baru

    Lukisan karya Adele O’Conner berjudul Mama Yosepha versus the TNI - Katalog pameran
    Lukisan karya Adele O’Conner berjudul Mama Yosepha versus the TNI – Katalog pameran

    Jakarta, Jubi – Benny Wenda, juru bicara United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) akan mengunjungi Aotearoa, Selandia Baru dari tanggal 8 hingga 16 Mei mendatang.

    Dilansir voxy.co.nz (19/4) kunjungannya kali ini selain untuk tetap meminta dukungan keadilan politik dan sosial terhadap rakyat West Papua, juga secara khusus hendak meminta agar pemerintah Selandia Baru mendukung inisiatif bangsa-bangsa Pasifik yang mendorong isu West Papua di PBB.

    Terakhir kunjungannya ke Selandia Baru pada tahun 2013, Wenda sempat dicekal oleh Juru Bicara Parlemen David Carter untuk tidak berbicara di hadapan parlemen negeri itu.

    Namun saat ini kelompok-kelompok yang cukup beragam hingga anggota-anggota parlemen lintas partai mulai makin luas mendukung West papua dan memberikan jaminan bahkan sambutan hangat terhadap tokoh pergerakan kemerdekaan West Papua itu.

    Wenda akan disambut di Orakei Marae saat ketibaannya dan diundang resmi untuk memberikan sambutan pada Ngati Whatua Orakei whanau. Sejumlah jadwal pertemuan yang cukup padat menantinya di Auckland, Wellington, Christchurch, dan menyusul Te Tai Tokerau.

    Seperti diketahui, tujuh bangsa-bangsa Pasifik di negara Vanuatu, Kepulauan Solomon, Tonga, Tuvalu, Palau, Kepulauan Marshall, dan Nauru secara kolektif menyarakan situasi hak azasi manusia di West Papua di hadapan sidang umum PBB tahun lalu serta sidang Dewan HAM PBB baru-baru ini.

    Hal ini telah memulai momentum baru bagi keterlibatan badan-badan tertinggi PBB untuk menetapkan kemungkinan resolusi baru bagi hak-hak rakyat West Papua.

    Diharapkan pemerintah Selandia Baru tidak berdiam diri dan berada dipinggiran, melainkan member dukungan kepada bangsa-bangsa Pasifik tersebut untuk mendorong isu West Papua dan membantu perjuangan keadilan di wilayah itu.

    Wenda akan bertemu gelombang aktivis peduli West Papua, Maori dan Pasifika, yang baru di berbagai wilayah Selandia Baru, termasuk anggota-anggota International Parliamentarians for West Papua (IPWP).(*)

  • Kelompok HAM minta pemerintah sambut ajakan 6 Negara Pasifik soal Papua

    Jayapura, Jubi – Asian Human Rights Commission (AHRC) menyampaikan apresiasi mendalam kepada enam negara-negara Pasifik yang telah mengangkat dugaan pelanggaran HAM di Papua serta pengormatan terhadap hak penentuan nasib sendiri bagi rakyat Papua.

    AHRC mengakui bahwa pelanggaran HAM sudah terjadi puluhan tahun di Papua, dan tidak ada upaya serius oleh pemerintah Indonesia untuk menanganinya.

    AHRC bahkan mencatat, sejak Papua diintegrasikan ke wilayah Indonesia, banyak pelanggaran HAM sudah terjadi. Diantara yang dicatat dan dilaporkan oleh lembaga pemantau HAM di Asia ini adalah kasus Wasior Wamena, pembunuhan Theys Hiyo Eluay, penghilangan paksa Aristoteles Masoka, dugaan genosida di Puncak Jaya 1977, kasus Paniai tahun 2014 dan Tolikara.

    Lembaga ini juga mengingatkan bahwa tak satupun dari kasus-kasus tersebut ditangani. Terlebih fungsi-fungsi yudisial tidak ada; polisi malah menjadi pihak yang melindungi pelaku dan melakukan pelanggaran HAM; juga tidak ada investigasi yang transparan terhadap aparat keamanan yang terlibat.

    “Kami tidak tahu nama-nama unit dan jumlah orang yang terlibat. Pertanyaan-pertanyaan semacam itu tetap tak terjawab karena pemerintah tidak pernah sungguh-sungguh mengatasi kasus-kasus pelanggaran HAM,” ujar rilis AHRC yang diterima redaksi, Senin (3/10/2016).

    AHRC mengakui bahwa ada beberapa inisiatif yang dilakukan pemerintah terkait Papua, seperti Unit Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat (UP4B) di masa Presiden SBY, pembentukan tim KOMNAS HAM untuk persoalan HAM di Papua, kebijakan Presiden Joko Widodo terkait pembebasan beberapa tahanan politik.

    Namun upaya-upaya tersebut tidak menunjukkan hasil bagi Papua. “Sebaliknya, pelanggaran HAM terus terjadi, pembunuh Theys jadi kepala KaBAIS, dan secara umum tidak ada keadilan dan pemulihan terhadap korban,” ujar AHRC.

    AHRC menyerukan kepada pemerintah Indonesia untuk dengan serius menerima semua poin dan rekomendasi yang diberikan oleh enak negara Pasifik tersebut; pemerintah juga harus membuka akses bagi badan independen untuk memonitor perlindungan HAM di Papua.

    Pemerintah Indonesia juga diminta untuk membuka ruang dialog dengan rakyat Papua difasilitasi oleh pihak ketiga yang independen dan kredibel dibawah dukungan PBB.

    Pemantauan khusus PBB

    Senada dengan itu Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, dalam siaran persnya belum lama ini, juga membantah jawaban delegasi tetap Indonesia di PBB terhadap 7 negara Pasifik terkait penegakan HAM di Papua.

    “Keterangan yang disampakan perwakilan Indonesia pada Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa Ke 71 tersebut sangatlah bertolak belakang dengan realita yang ditemukan di Papua,” ujar Pratiwi Febri yang menangani isu Papua di LBH Jakarta.

    Jumlah penangkapan di Papua tahun 2012-2016 – dokumen LBH JakartaMenurut data yang dihimpun oleh LBH Jakarta bersama jaringan, terhitung sejak April 2016 hingga 16 September 2016, total penangkapan telah terjadi terhadap 2.282 orang Papua yang melakukan aksi damai. Dalam kurun waktu 28 Mei hingga 27 Juli 2016, total terdapat 1.889 demonstran yang ditangkap. Sedangkan terhitung hingga 15 Agustus 2016, terdapat 77 demonstran yang ditangkap.

    Penangkapan tersebut dilakukan di beberapa tempat berbeda di Papua dan mayoritas disertai dengan intimidasi dan tindak kekerasan. Dari data yang dihimpun sejak tahun 2012 sampai Juni 2016 terhimpun jumlah penangkapan mencapai 4.198 orang Papua.

    LBH Jakarta secara khusus juga menyoroti dampak pasca diberlakukanya Maklumat oleh Kapolda Papua tanggal 1 Juli 2016, yang pada intinya melakukan pembatasan kebebasan berekspresi melalui penjatuhan stigma sparatis atau pemberontak kepada masyarakat yang melakukan unjuk rasa yang berdampak pada pembubaran dan penangkapan setiap unjuk rasa.

    Menurut catatan LBH Jakrata, terhitung 13 Agustus sampai 16 September telah terjadi penangkapan lagi terhadap 112 demonstran yang sedang melakukan aksi damai di berbagai tempat di Papua.

    “Menyikapi hal ini Lembaga Bantuan Hukum Jakarta mendorong Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk melakukan pemantauan khusus terkait pelanggaran hak asasi manusia di Papua.” LBH Jakarta juga menekankan agar Presiden Joko Widodo lebih terbuka dalam memberikan informasi terkait pelanggaran hak asasi manusia di Papua serta menghentikan segala bentuk pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di Papua.(*)

  • Sengkarut Diplomasi Pasifik Selatan

    23 June 2016, Angelo Wake Kako, Harian Indoprogress

    NDONESIA membuat terobosan baru dalam membangun hubungan kerjasama antar negara. Jikalau pola kerjasama selama ini lebih fokus dengan negara-negara besar, atau negara Utara, maka kali ini Indonesia mencoba menjajaki negara-negara di kawasan Pasifik Selatan. Papua Timur (PNG), Fiji, Vanuatu, Kepulauan Solomon, dan sejumlah negara pasifik lainnya menjadi target kerjasama yang hendak dibangkitkan. Sebagai realisasinya, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan HAM langsung melakukan lawatan (Kompas, 13/2/2016). Salah satu misi yang dibawa adalah persoalan Papua. Pasifik Selatan menjadi penting ketika berbicara mengenai Papua. Bagaimanapun, rumpun bangsa penghuni negara-negara Pasifik Selatan merupakan bangsa Melanesia yang sama dengan suku bangsa di Papua, Maluku dan juga Nusa Tenggara Timur. sebagaimana diketahui bahwa Organisasi negara-negara Melanesia (Melanesian Spearhead Group) atau MSG telah memberikan tempat kepada Papua sebagai peninjau, dan isu pelanggaran HAM di Papua menjadi isu utama yang menjadi perjuangan MSG di dunia internasional. Pada titik inilah, diplomasi Pasifik Selatan dipandang mendesak.

    Pertanyaan reflektifnya adalah manakah yang lebih penting antara diplomasi Pasifik Selatan sebagai ancaman eksternal keutuhan NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) ataukah pembangunan yang berkemanusiaan di Papua, sebagai masalah internal terhadap ancaman disintegrasi bangsa? Ibarat api dan asap, riakan di wilayah Pasifik Selatan tidak akan pernah berhenti tatkala api di Papua tidak mampu dipadamkan. Singkatnya, pemerintah harus fokus pada penyelesaian masalah Papua. Pendekatan diplomasi Pasifik Selatan sedang menunjukkan bahwa pemerintah Indonesia menjadikan masalah Papua sebagai propaganda dari negara lain yang ingin merongrong keutuhan NKRI. Hemat penulis, tanpa adanya kesadaran dan kejujuran dari pemerintah tentang permasalahan Papua, niscaya pendekatan apapun yang diakukan di Papua, ibarat membuang garam di laut.

    Nasionalisme Papua

    Pemerintah Indonesia sudah saatnya harus menyadari bahwa nasionalisme Papua itu ada. Dalam diri orang Papua terdapat nasionalisme ganda, yakni nasionalisme Papua dan nasionalisme Indonesia. Nasionalisme Papua berbasis pada ras Melanesia yang berkulit hitam dan berambut keriting, sementara nasionalisme Indonesia mengacu pada Bhineka Tunggal Ika. Penyemaian Nasionalisme Papua telah dilakukan oleh pemerintah Belanda sejak tahun 1925 melalui pendidikan formal berpola asrama, sementara penyemaian keindonesiaan baru dimulai sejak tahun 1945 (Bernarda: 2012). Nasionalisme Papua berawal dari munculnya sikap anti – amberi (orang bagian Timur yang membawa budaya Melayu) akibat kebrutalan perlakuan tentara jepang dan orang Maluku dan Sulawesi Utara pada saat itu. Selain itu, lambannya pembangunan dan sikap pemerintah belanda di Batavia yang mengabaikan masalah Papua memberikan kontribusi bagi kebangkitan nasionalisme Papua (Penders,2002)

    Berangkat dari latar sejarah seperti itu, masih relevankah pengerahan pasukan ke wilayah Papua dalam jumlah yang besar dan memunculkan kekacauan dan keresahan bagi warga sipil Papua? Bukankah segala penindasan dan pelanggaran HAM yang selama ini terjadi di Papua semakin menumbuhkan nasionalisme Papua?

    Perjumpaan penulis dengan beberapa mahasiswa Papua beberapa waktu lalu di Jayapura, semakin menguatkan asumsi bahwa aparat keamanan menjadi biang kerok kemarahan masyarakat Papua. Rupanya, sakit hati ketika sanak keluarganya yang meninggal tertembak timah panas aparat keamanan kian hari kian membatu. Apakah Otsus (otonomi khusus) dan janji pembangunan yang dikampanyekan Jokowi dapat mengobati sakit hati mereka?

    Otsus dan Janji Damai

    Berbicara tentang Otsus, pasti hanya ada satu hal yang terlintas, yakni membanjirnya uang dalam jumlah besar ke wilayah Papua. Besaran dana yang diharapkan dapat membantu meningkatkan kesejahteraan masyarakat Papua, malah melahirkan berbagai masalah seperti korupsi para elit lokal Papua. Lagi-lagi hasil diskusi dengan beberapa mahasiswa Papua, masih meyakini bahwa dana Otsus tidak lebih ibarat permen yang diberikan bagi anak Papua yang sedang merengek nasibnya. Besaran dana akhirnya menjadi tidak efektif untuk dikelola demi pembangunan masyarakat Papua, lantaran masyarakat memilih apatis. Apatisme tersebut sungguh beralasan, karena yang mereka butuhkan adalah kedamaian. Apa artinya segepok uang yang diterima tangan kanan, di saat bersamaan tangan kiri harus melepas kepergian sanak saudara yang harus meninggal karena hujaman peluru para serdadu? Apalah artinya sejumlah uang yang diperoleh sementara hidup hanya menunggu mati karena HIV AIDS menjadi “peluru lunak” yang mematikan lapisan generasi? Di sinilah, letak masalah pembangunan Papua. Papua harus dibangun dengan hati agar kedamaian senantiasa dirasakan oleh segenap insan penghuni cendrawasih.

    Mengenai kedamaian di tanah Papua, sebenarnya pemerintah Indonesia sudah jauh hari memikirkannya sebelum melahirkan Otonomi Khusus bagi Papua. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Papua sudah mendorong dibentuknya Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, dengan harapan untuk memperkuat integritas Negara Kesatuan Republik Indonesia. Komisi ini diharapkan dapat mempersempit kesenjangan interpretasi antara pihak Papua dan Jakarta, khususnya dalam aspek kesejarahan dan penyelesaian berbagai pelanggaran HAM yang terjadi. Sudah 15 tahun Undang-Undang ini berjalan, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi masih menjadi mimpi. Parahnya, di tengah penantian hadirnya komisi tersebut guna menyelesaikan aspek kesejarahan dan pelanggaran HAM di Papua, sejak Otsus berlaku, perilaku aparat keamanan semakin menjadi liar, seakan sedang berada di medan perang. Ratusan nyawa manusia Papua hilang di ujung senapan tanpa penyelesaian yang jelas. Ribuan warga Papua kehilangan kebebasan, mereka ditangkap, dipenjara atas nama “Makar”.

    Pendekatan Kesejahteraan Berbasis Rekonsiliatif

    Rekonsiliasi menjadi urgen. Rekonsiliasi tentu hanya bisa dilakukan apabila semua pihak berkomitmen untuk menghentikan seluruh gejolak berdarah yang sering terjadi di tanah Papua. Konsekuensi dari rekonsiliasi adalah tidak lagi terdengar berita hilangnya nyawa manusia Papua di ujung senapan tentara, Polisi ataupun orang tidak dikenal seperti yang selama ini sering terjadi. Hal yang paling ekstrim untuk dilakukan adalah dengan menarik pasukan bersenjata yang semakin banyak dikerahkan ke Papua. Pengerahan pasukan mengindikasikan bahwa negara masih menggunakan security approach dalam menangani masalah Papua yang sejauh ini dinilai gagal. Pendekatan keamanan tentu akan melahirkan berbagai masalah turunan yang tidak akan pernah menyelesaikan persoalan.

    Semangat rekonsiliasi sebenarnya bertalian dengan pendekatan kesejahteraan dalam artian kesejahteraan batiniah. Untuk apa sejahtera kalau tidak mencakupi aspek lahiriah dan batiniah? Untuk apa memobilisasi pembangunan dengan sejumlah instrumen didalamnya tanpa memberikan rasa aman bagi masyarakat setempat? Sejumlah gebrakan pembangunan yang sudah dilakukan pemerintah patut diapresiasi. Kita menunggu kiranya pembangunan yang difokuskan untuk Papua, sekali lagi, tidak hanya menjadi “permen”, sebagai pemanis bibir belaka. Gebrakan pembangunan dengan mengedepankan semangat rekonsiliatif antara pemerintah Indonesia dan Masyarakat Papua adalah sebuah kemendesakan. Tanpa menghabiskan energi untuk berjibaku dengan pergolakan yang terjadi di Pasifik Selatan ataupun negara lainnya. Karena masalah sesungguhnya adalah bagaimana membangun Papua dengan hati. Bukan terjebak dengan gejolak yang terjadi di luar negeri. Mari wujudkan Papua sebagai tanah damai. Tunjukkan kepada pihak luar bahwa Indonesia mencintai Papua sebagai sesama saudara dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.***

    Penulis adalah mahasiswa pascasarjana Kajian Ketahanan Nasional UI/Ketua Presidium Pengurus Pusat PMKRI Periode 2016-2018

  • Negara-Negara di Balik Gerakan Papua Merdeka

    Kompasiana.com, 11 September 2014 21:28:31 Diperbarui: 18 Juni 2015 00:58:55 Dibaca : Komentar : Nilai :

    Dalam banyak ulasan saya sebelumnya dan didukung referensi dari postingan rekan-rekan Kompasianer lainnya, bisa dibaca dengan jelas negara mana saja yang mempunyai kepentingan langsung maupun tak langsung terhadap Papua. Berikut ini ulasan saya tentang keterlibatan sejumlah negara berdasarkan berita media terpercaya.

    Noam Chomsky seorang Profesor Linguistik Modern dari Massachusetts Institute of Technology awal Desember 2013 menuding Amerika Serikat dan Australia telah melakukan skandal besar mengenai masalah Papua. Tudingan itu diungkapkan dalam sebuah wawancara yang dilakukan YouTube dan dipublish di media sosial itu 8 Desember 2013. Chomsky menilai perlawanan di Papua Barat akan terus terjadi walaupun tidak akan berhasil. Untuk meredam perlawanan itu, Chomsky menyarankan pihak barat (Australia dan AS) harus mengambil tanggungjawab dan tindakan atas konisi yang terjadi. http://youtu.be/EaaaeHFKXI4

    Tudingan Chomsky itu dilontarkan setelah tahun 2011 lalu, Presiden AS Barack Obama dalam perjalanan menuju Bali dalam rangka dua KTT, ASEAN dan Ekonomi Asia Timur, Obama singgah di Australia. Obama mengumumkan sebuah keputusan penting, yaitu AS akan menempatkan 2.500 personil marinir di Darwin, Australia Utara. Menurut Obama kehadiran pasukan AS Darwin dalam rangka mengimbangi pergerakan China di kawasan Asia Tenggara. AS dan Astralia sama-sama memiliki kepentingan di Papua. AS melalui PT Freeport, sedangkan Australia selain soal kesamaan ras penduduk asli Papua dengan etnis Aborigin, juga punya sejumlah perusahaan penebangan kayu yang beroperasi di wilayah Papua Nugini, dan bukannya tidak mungkin Australia juga mengincar kayu di hutan-hutan Papua.

    Dalam sebuah analisis yang dipublish situs rajawalinews.com, menyebutkan kehadiran militer AS di Darwin itu harus dilihat sebagai sebuah “peringatan” bagi Jakarta. AS sendiri sudah menyatakan kekhawatirannya tentang pergerakan China. China sudah berhasil memasukan perusahaan gas miliknya ke Tangguh, Papua Barat. Antisipasi yang perlu dilakukan adalah boleh jadi penempatan marinir di Darwin dalam rangka menyambut perubahan yang mungkin bisa terjadi di Indonesia yang berdampak di Papua. Jika situasi panas di Papua bereskalasi dan Indonesia tidak punya kemampuan mengatasinya, maka AS bersama-sama Australia sewaktu-waktu dapat “menyelamatkan” Papua. Yang berbahaya adalah “penyelamatan” Papua oleh kedua negara itu belum tentu menguntungkan Indonesia. http://rajawalinews.com/5109/pasukan-as-di-australia-antisipasi-papua-keluar-dari-nkri/

    Selain China, Inggris sudah lebih dahulu menempatkan perusahaannya di Papua, yaitu Perusahaan minyak dan gas bumi British Petroleum (BP) di Tangguh, Papua Barat. Untuk “mengamankan” usahanya itu, Inggris “memelihara” Benny Wenda dengan memberinya sejumlah kemudahan, antara lain suaka politik dan kantor perwakilan OPM yang diresmikan April 2013. Menyusul kemudian, kelompok pendukung gerakan Papua merdeka di Australia membuka kantor perwakilan OPM di Melbourne pada 25 Juni 2014. Kantor tersebut terletak di wilayah Docklands yang merupakan salah satu area bisnis di Melbourne. Besar kemungkinan, pembukaan kantor tersebut juga didanai pihak Australia. Advokat kemerdekaan Papua Barat, Ronny Kareni kepada ABC, seperti dikutip Australia Network News mengharapkan Pemerintah Australia dapat melakukan proses negosiasi dengan Indonesia untuk mencari masa depan Papua Barat. http://international.okezone.com/read/2014/06/25/413/1004080/cari-dukungan-pbb-pendukung-papua-barat-buka-kantor-di-australia

    Australia juga diketahui telah menginisiasi pembentukan kaukus parlemen internasional untuk mendukung kemerdekaan Papua (International Parliamentarians for West Papua / IPWP). IPWP diluncurkandi Canberra tanggal 28 Februari 2012 (Kompas.com, 17 April 2012). Kaukus ini beranggotakan sejumlah politikus lintas partai politik dari sejumlah negara, antara lain Ricard Di Natale dan Bob Brown dari partai Hijau Australia, Powes Parkop dari Papua Nugini (PNG), Rahl Regenvanu (Vanuatu), Chaterine Delahunty (New Zeland).

    Di pasifik selatan, Vanuatu merupakan salah satu negara yang konsisten dan terang-terangan mendukung kemerdekaan Papua. Vanuatu telah berusaha mendukung masuknya Papua kedalam organisasi MSG (Melanesian Spearhead Group). Marinus Yaung, pengamat Politik Papua dari Uncen Jayapura kepada koran lokal Bintang Papua 14 Agustus 2014 dan dirilis papuapost.com mengatakan, berdasarkan pengamatannya, isu Papua Merdeka di negara Vanuatu telah menjadi komoditi politik para elit politik di Vanuatu untuk memperebutkan kursi kekuasaan perdana menteri. Isu Papua Merdeka yang disuarakan di Vanuatu, tidak untuk kepentingan orang Papua, tetapi untuk kepentingan politik para elit politiknya. Hampir sebagian besar Perdana Menteri Vanuatu yang terpilih sejak Tahun 1986 sampai sekarang, selalu menjadikan isu Papua Merdeka sebagai isu kampanye politiknya untuk mendapatkan kepercayaan parlamen dan rakyat Vanuatu. http://papuapost.com/2014/08/isu-papua-merdeka-hanya-kepentingan-elit-politik-vanuatu/

    Dalam MSG Summit di Port Moresby Juni 2014, pengajuan kembali proposal kelompok gerakan Papua merdeka untuk menjadi anggota MSG lagi-lagi ditolak. MSG meminta agar proposal itu harus diajukan oleh sebuah organisasi resmi yang mempresentasikan seluruh elemen perjuangan masyarakat asli Papua. Keputusan MSG ini kemudian ditindaklanjuti oleh Perdana Menteri Vanuatu yang baru, Joe Natuman dengan memfasilitasi pertemuan rekonsiliasi seluruh komponen perjuangan Papua Merdeka di Port Villa, Vanuatu, namun hingga kini, pertemuan dimaksud belum juga digelar.

    Menurut Marinus, jika sampai Oktober 2015 tidak ada lagi 1-2 negara yang ikut bersama Vanuatu mendukung secara terbuka kemerdekaan Papua, Papua tidak masuk menjadi anggota MSG. Maka semua orang Papua harus mengecam dan mengutuk negara Vanuatu bersama-sama para elit politiknya yang hanya menjadikan orang Papua sebagai bagian dari strategi eksploitasi politik mereka.

    Sebelum mengakhiri tulisan ini, tidak lupa saya menyebut Belanda. Karena Belanda-lah yang membentuk tentara berisikan orang-orang Papua untuk menghadapi ancaman Trikora tahun 1961. Dan patut diduga, tentara bentukannya itulah yang kemudian bermetamorfosis menjadi OPM sekarang.

    Menurut Nicolaas Jouwe, OPM didirikan oleh opsir-opsir Belanda pada 1965 bersamaan dengan pecahnya G-30S/PKI untuk memusuhi Indonesia dan mengganggu keamanan di wilayah Papua. OPM berkeyakinan bahwa Papua telah mendapatkan kemerdekaan yang diberikan oleh Belanda dan memerdekaan itu telah dideklarasikan tanggal 1 Desember 1965 oleh Nieuw Guinea Raad dimana Nicolaas Jouwe sebagai salah satu anggotanya. Peristiwa 1 Desember 1961 inilah yang seringkali menjadi dasar klaim pemimpin Papua sekarang bahwa ‘negara’ Papua pernah ada, tetapi telah dirampas oleh konspirasi internasional Indonesia, Amerika Serikat, dan Belanda (antaranews.com 13 Mei 2014).

    Negara-negara yang disebutkan di atas dalam diplomasi dengan Pemerintah Indonesia selalu menyatakan menghormati dan mengakui kedaulatan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) termasuk Papua. Namun diplomasi itu tentu saja dilakukan demi kepentingan ekonomi negaranya. Namun jika kebijakan Indonesia atas Papua mengganggu kepentingan ekonomi mereka, pengakuan kedaulatan bisa saja berubah. Ini akan menjadi pekerjaan rumah teramat berat bagi Pemerintahan Jokowi-JK ke depan.

Are you sure want to unlock this post?
Unlock left : 0
Are you sure want to cancel subscription?