Tag: dukungan internasional

  • Langkah ULMWP Harus Didukung Semua Komponen Rakyat Papua

    Oleh : Redaksi | Minggu, 22 Maret 2015 – 12.38 WIB

    *Oleh: Yan Christian Warinussy “SUARAPAPUA.com

    Sebagai Advokat dan Pembela Hak Asasi Manusia di Tanah Papua, saya cenderung memandang bahwa langkah yang telah dilakukan oleh rakyat Papua melalui wadah pemersatu bernama United Liberation Movement for West Papua/ULMWP (Gerakan Persatuan Pembebasan untuk Papua Barat) saat ini tengah berada pada aras dan ruang yang tepat, proporsional serta dapat dipertanggungjawabkan secara hukum internasional, bahkan memenuhi syarat dan mekanisme yang dibenarkan pada tingkat Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB).

    Langkah dimaksud adalah dimana pada awal dan pertengahan Desember 2014 lalu di Port Villa, Vanuatu, telah terjadi kesepakatan diantara 3 (tiga) organisasi politik rakyat Papua yang sangat berpengaruh untuk bersatu demi secara bersama-sama mendorong pendaftaran ulang aplikasi keanggotaan Papua Barat (West Papua) sebagai calon anggota pada Melanesian Spearhead Group (MSG).

    Hal itu kemudian diwujudkan dengan ditandatanganinya Deklarasi Saralana oleh 3 pimpinan organisasi politik Papua, yaitu Buchtar Tabuni mewakili Komite Nasional Papua Barat (KNPB), Rex Rumakiek mewakili West Papua National Coalition for LIberation (WPNCL) serta Edison K.Waromi atas nama Negara Republik Federal Papua Barat (NRFPB).

    Saya ingin menggunakan kesempatan ini untuk menyampaikan pandangan bahwa apa yang sudah dicapai tersebut merupakan sebuah langkah maju dalam konteks perjuangan penegakan hak-hak politik rakyat Papua sebagai bagian dari masyarakat adat dan pribumi di dunia sebagaimana diatur di dalam Deklarasi Internasional tentang masyarakat adat dan pribumi di negara-negara merdeka.

    Pencapaian agenda pendaftaran secara resmi aplikasi keanggotaan rakyat Papua oleh para wakil mereka di ULMWP yang diwakili Sekretaris Jenderal ULMWP, Oktovianus Mote dan anggotanya ke Kantor Sekretariat MSG di Port Villa, Vanuatu, 5 Februari 2015 lalu.

    Ini merupakan sebuah langkah nyata dan semakin maju dari segi perjuangan penegakan hak-hak politik dan demokrasi rakyat Papua di tingkat internasional, sekaligus dapat dipandang sama dengan sebuah perjuangan perlindungan hak asasi dan hak dasar mereka yang selama 50 tahun sejak tahun 1963 terus dilanggar secara sistematis dan struktural oleh Pemerintah Indonesia.

    Oleh sebab itu, langkah yang sangat progresif ini sangat perlu mendapat dukungan nyata dan positif dari semua komponen perjuangan politik rakyat Papua, bahkan oleh mayoritas rakyat Papua di atas Tanah Papua secara keseluruhan.

    Kenapa demikian? Karena langkah yang sedang dilakukan tersebut adalah langkah yang sesuai dengan mekanisme hukum internasional sebagaimana diakui dan digunakan di tingkat PBB. Hal ini sebagaimana pernah diungkapkan oleh Sekretaris Jenderal PBB, Bang Ki Mon di Auckland, Selandia Baru, beberapa tahun lalu, bahwa terhadap penyelesaian masalah Papua dapat ditempuh melalui dua jalan.

    Menurut Sekjen PBB, bilamana masalah Papua menyangkut soal hak asasi manusia, maka prosesnya harus dimulai dengan membawa dan membahas serta memutuskannya pada Dewan Hak Asasi Manusia PBB (United Nations Human Rights Council) yang berkedudukan di Jenewa, Swiss.

    Sedangkan jika hal itu merupakan masalah politik, maka mekanisme penyelesaiannya harus dibawa untuk dibahas dan diputuskan pada Komisi Dekolonisasi yang berada dibawah Majelis Umum PBB yang berkedudukan di New York, Amerika Serikat.

    Dengan demikian, langkah rakyat Papua bersama ULMWP adalah sangat tepat, bermartabat dan memenuhi standar dan mekanisme serta prosedur hukum internasional yang diakui PBB sebagai organisasi bangsa-bangsa di dunia, dimana Indonesia dan negara-negara berumpun Melanesia seperti halnya Vanuatu, Papua New Guinea (PNG), Fiji dan Solomon Island maupun Kaledonia Baru juga menjadi anggotanya.

    Bila pada pertemuan tingkat tinggi MSG pada Juni 2015 mendatang, aplikasi ULMWP dan rakyat Papua diterima dan status mereka menjadi anggota, maka sesungguhnya sebuah langkah progresif ke arah penyelesaian damai bagi masalah konflik politik berkepanjangan selama 50 tahun terakhir yang berdimensi pelanggaran HAM serius di Tanah Papua makin menemukan solusinya secara imparsial, damai, transparan, demokratis, bermartabat dan memenuhi prinsip-prinsip hak asasi manusia yang berlaku secara universal.

    Oleh sebab itu, peran Pemerintah Indonesia dibawah pimpinan Presiden Joko Widodo hendaknya tidak bersifat konfrontatif dan sedikit lebih menyesuaikan diri dengan langkah-langkah damai yang sudah dibangun secara damai dan dalam periode yang cukup lama diantara ULMWP dan rakyat Papua dengan para saudara-saudaranya di negara-negara Pasifik serumpun Melanesia tersebut.

    Saya kira saudara Mote dan para anggota ULMWP akan sangat sedia untuk duduk secara terhormat berbicara bersama jajaran Pemerintah Indonesia saat ini dan di masa depan dalam mencari model penyelesaian damai bagi masalah-masalah sosial-politik di Tanah Papua selama 50 tahun terakhir ini secara damai kelak. Terutama setelah aplikasi ULMWP atas nama rakyat Papua diterima oleh MSG Juni mendatang.

    *Yan Christian Warinussy, Direktur Eksekutif LP3BH Manokwari/Pemenang Penghargaan Internasional di Bidang HAM “John Humphrey Freedom Award” Tahun 2005 dari Canada.

  • Papua Sudah Bersatu: Apa Berikutnya?

    Ini pertanyaan yang diajukan oleh semua yang bercita-cita dan mendukung perjuangan Papua Merdeka. Selama ini kami selalu dibuat kecewa dan dikendorkan semangat oleh fakta faksionaliasi di antara organisasi yang memperjuangkan satu aspirasi bernama: Papua Merdeka.

    Faksionalisasi sebenarnya tidak menyebabkan pertentangangan dan cekcok di antara faksi, tetapi membuat energi, waktu dan sumberdaya yang tersalur melakui masing-masing faksi menjadi tersebar dan tidak terarah secara baik sehingga bangsa Papua dan bahkan para pejuang sendiri sulit membayangkan hasil kerja dan tindak-lanjut dari perjuangan yang sedang diperjuangkan.

    Kini persoalan faksionalisasi sudah mati. Dengan pendirian ULMWP di Vanuatu pada Desember 2014 maka tidak ada satupun orang Papua yang bisa mengkleim diri sebagai satu-satunya dan menyalahkan yang lain sebagai organisasi atau tokoh palsu atau bayaran. Kita semua sudah sehati, sejiwa, senasib, sepenanggunggan, se-tujuan, sekata.

    Buahnya sangat jelas: dukungan dari seluruh masyarakat dan negara-negara Melanesia sudah mengalir tak terbendung. Dukungan dari Arfika tidak dapat dibendung juga. Mengalir semuanya sesuai hukum alam: Di mana ada pelanggaran HAM, di situ akan disoroti oleh manusia beradab di seluruh dunia; di mana ada penipuan, pasti ketahuan boroknya dan akan diperbaiki oleh kebenaran.

    Setelah dukungan tunggal dari Negara Republik Vanuatu dan rakyat Vanuatu, kini rakyat Fiji sudah menyatakan dukungan terbuka, disponsori oleh gereja-gereja. Dukungan dari rakyat Solomon Islands juga sudah jelas. Apalagi yang kurang, dukungan dari orang Papua sendiri, yaitu dari Papua New Guinea, baik pemerintah dan rakyat serta gereja dan LSM sudah jelas sudah tidak dapat dibendung lagi.

    Dukungan yang sudah membanjir ini tentu saja tidak dapat dibendung atau dialihkan oleh siapapun, karena dukungan ini bukan berasal dari emosi rasialisme atau fasisme, tetapi ditimbulkan oleh belas-kasihan manusia yang satu terhadap manusia yang tertindas dan teraniaya, manusia yang saban hari menerima nasib maut di moncong senjata penjajah.

    Lalu pertanyaan selanjutnya ialah: Apa yang harus dilakukan selanjutnya?

    Papua Merdeka News mengusulkan kepada segenap organ perjuangan kemerdekaan West Papua hal-hal berikut:

    Pertama, para tokoh kemerdekaan West Papua dan organ-organ yang terlibat dalam ULMWP selalu berkoordinasi, berkonsultasi dan saling mendukung, baik secara pribadi, organisasi, dalam urusan pribadi, organisasi; dalam bentuk doa, dukungan moral ataupun dukunga finansial. “Komunikasi” di antara semua pihak “setiap hari” menjadi kunci pada saat ini dalam kondisi ini, demi mempertahankan spirit dan kesatuan dan keutuhan yang telah terbangun, sehingga tidak dirusak/ dikoyak oleh lawan.

    Kedua, organ perjuangan Papua Merdeka agar terus melakukan sosialisasi perjuangan Papua Merdeka dan menggalang dukungan sumberdaya dari seluruh orang Papua: baik pejabat, petani, siswa/ mahasiswa, penganggur, Merah-Putih, Bintang-Kejora, Otsus-Merdeka, semuanya memberikan sumbangan menurut kemauan, kelebihan/kekurangan dan menurut kerelaan dan tanggungjawab.

    Ketiga, Membentuk sebuah wadah bernama “West Papua Trust Fund”, yang dikelola oleh sebuah badan bernama Pundi Revolusi West Papua sehingga wadah ini memobilisasi, menganggarkan, mengorganisir, mempertanggungjawabkan dan mengatur pemanfaatan dana perjuangan Papua Merdeka.

    Keempat, agenda perjuangan dipersatukan. Sudah jelas, agenda perjuangan Papua Merdeka sudah disatukan secara otomatis pada saat ULWP dibentuk. Akan tetapi ULWP sebagai sebuah organisasi perlu pertama-tama (1) membuka kantor sekretariat; kemudian kantor dimaksud diisi oleh para pekerja/ fungsionaris; dan selanjutnya mengorganisir semua kampanye Papua Merdeka secara terpusat. (2) Setelah ada kantor, maka mengatur kantor-kantor diplomasi untuk melobi negara-negara di seluruh dunia mendukung Papua Merdeka serta (3) menyusun rencana perjuangan jangka pendek, jangka panjang dan jangka menengah.

    Semua orang tahu, bahwa perjuangan Papua Merdeka selalu bersifat faksional dan panas-panas tahi ayam. Kini salah satu sifat sudah dimatikan. Kini tunggu kita matikan sifat yang lain, “panas-panas tahi ayam” dengan empat saran di atas.

    Semoga bermanfaat.

  • Pro Papua Merdeka Hanya Tahu Papua dari Sisi Negatif

    JAYAPURA – Mantan Diplomat RI untuk Brasil, (America Latin), Fredi Kambu, mengatakan, di America Latin sekitar 1500 NGO (LSM) yang mendukung (pro) gerakan Papua Merdeka. Namun persoalannya, dukungan itu tidak terarah, karena pihak NGO ini tidak tahu siapa pimpinan gerakan Papua Merdeka, seperti almahrum Theys Eluay.

    “Jerman dan Belanda adalah negara yang pro aktif mendukung gerakan Papua Merdeka. Khusus Belanda, Walikota London memberikan hadiah rumah kepada Pimpinan Papua Merdeka di London untuk mendukung gerakan Papua Merdeka. Hal ini mendapat protes keras dari Kementrian Luar Negeri,”

    ungkapnya kepada wartawan usai pertemuan Tim Kementrian Luar Negeri Direktorat Informas dan Media dengan Pemerintah Kota Jayapura di Ruang Rapat Kantor Walikota Jayapura, Selasa, (17/3).

    Dijelaskannya, selama dirinya menjadi diplomat luar negeri, adanya dukungan 1500 NGO dan dukungan negara lain terhadap Papua Merdeka, itu tidak lain disebabkan karena mereka (NGO dan negara luar negeri) hanya mengetahui kondisi Papua sisi negatifnya saja yang dibesar-besarkan oleh media, sementara sisi positif mengenai masalah keamanan, pembangunan infrastruktur, pemberdayaan ekonomi rakyat, dan kegiatan pembangunan lainnya tidak pernah diketahui oleh pihak NGO-NGO dan negara luar tersebut.

    “Isu yang disebarkan di luar negara adalah Indonesia tidak memperhatikan dan melaksanakan pembangunan di Papua, sehingga Papua tertinggal. Pelanggaran HAM pun menjadi menu makanan yang asik di luar negeri, tanpa memperhatikan hal-hal lainnya,”

    tegasnya lagi.

    Terhadap persoalan itu, tentunya disini tanggungjawab Kementrian Luar Negeri untuk menyikapi persoalan itu dengan serius. Maka dari itu, salah satu kebijakan yang ditempuh Kementrian Luar Negeri adalah menjaring segala informasi di Papua, dan melihat langsung kondisi pembangunan di Tanah Papua dan masalah-masalah lainnya, yang nantinya dijadikan referensi untuk menjawab isu-isu negatif yang disebarkan di luar negeri melalui pemberitaan di luar negeri.

    Informasi yang pihaknya lihat dan rasakan langsung, akan ditulis dalam bahasa Inggris dan bahasa sesuai negara masing-masing di luar negeri, kemudian dikirim ke setiap pemerintahan melalui kedutaan RI di setiap negara-negara semua komponen terkait di luar negeri, seperti di negara-negara eropa dan negara-negara pasifik. Hal ini agar warga dunia internasional tahu persis mengenai kondisi yang ada di Tanah Papua.

    “Persoalannya negara-negara luar hanya melihat Papua dari luarnya, tidak melihat ke dalam kondisi di Papua dan mendalami apa yang ada di Papua, padahal banyak kegiatan pembangunan yang sudah dicapai dalam meningkatkan kemandirian dan kesejahteraan rakyat Papua. Keberhasilan pembangunan di Papua, pihak luar negeri tidak melihat hal itu, hanya melihat sisi negatifnya saja. Kami berusaha menjawab sorotan-sorotan negatif itu,”

    katanya.

    “NGO-NGO itu tidak mau tahu, mereka lebih banyak menyoroti yang negatif-negatif saja, apalagi adanya penembakan-penembakan dan segala macam yang terjadi. Penembakan-penembakan yang terjadi yang dilakukan aparat itu, saya tidak tahu apakah untuk mencari nasib atau naik pangkat. Karena bicara OPM itu siapa yang kasih senjata untuk mereka. Jadi kita harus jaga Papua ini dengan baik, supaya Papua berjalan sebagaimana adanya dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI),” sambungnya.

    Ditandaskannya, tentunya persoalan Papua tidak terlepas dari berbagai pandangan dan kepentingan pihak luar terhadap Papua. Terutama negara-negara eropa dan pasifik.

    Ditempat yang sama, Direktur Informasi dan Media, Kementrian Luar (Kemenlu) Negeri RI, Siti Sofia Sudarma, menandaskan, untuk masalah Papua Merdeka yang didengungkan di luar negeri bahwa Papua tidak dibangun dan adanya pelanggaran HAM. Baginya, persoalan yang disampaikan oleh pergerakan Papua Merdeka tersebut, dan di follow up oleh 1500 NGO tersebut, tentunya jika mereka (NGO) melihat dari sisi politiknya saja. Dan itu tantangan yang perlu dicermati dengan serius.

    Namun, berbagai potensi yang ada pada bidang sosial, ekonomi, infrastruktur dan keamanan yang baik, tentunya menjadi modal untuk mengedukasi masyarakat internasional bahwa Kota Jayapura dan daerah wilayah Papua lainnya adalah kota yang aman, kota yang berkembang dalam menata dan meningkatkan pembangunan di berbagai sektor pembangunan juga berjalan dengan baik.

    Disinggung soal persoalan ganja yang menjadi ladang transaksi dari PNG ke Papua, kata Direktur Negeri RI, Siti Sofia Sudarma, bahwa masalah Narkoba kini menjadi perhatian serius pemerintah, apalagi Presiden Jokowi sudah menyatakan Indonesia darurat Narkoba, maka Kemenlu tentunya bekerjasama dengan negara lain untuk memberantas peredaran narkoba ini, seperti Philipina, Malasya dan negara lainnya, karena masalah narkoba ini bukan menjadi masalah Indonesia saja.(Nls/don/l03)

    Source: Rabu, 18 Maret 2015 03:05, BinPa

  • Diplomat Indonesia : Masalah Papua Jadi Sorotan Internasional

    Jayapura, Jubi – Salah satu Mantan Diplomat Luar Negeri, Fredik Kambu mengungkapkan bahwa Indonesia banyak disoroti negara – negara di dunia atas tindakan pelanggaran HAM yang terus terjadi di Tanah Papua.

    Lelaki yang pernah bertugas di Dubes Brasil dan Belanda ini mengatakan berbagai tindakan aparat bersenjata yang menghilangkan nyawa khususnya di Papua sering menjadi pemberitaan hangat di luar negeri, terutama negara yang peduli dengan Papua.

    “Banyak pandangan macam – macam terutama Eropa, Amerika. Mereka itu memperhatikan Papua, mengawasi dan menjaga Papua ini dengan melihat hal – hal yang positif di sini. Banyak (media Internasional-red) menulis yang negatif. Apalagi gerakan tentara baku tembak di perbatasan dan segala macam yang setiap saat terjadi, itu mereka menilai sangat negatif. Jadi mau sangkal bagaimana itu setiap hari ditulis. Daerah lain nggak ditembak begitu, di Papua ini tiap hari,”

    kata Kambu disela – sela pertemuan rombongan Departemen Luar Negeri dengan Walikota Jayapura, Benhur Tommy Mano bersama intansi terkait di Kantor Walikota Jayapura, Selasa (17/3/2015) siang.

    Dia mengakui ada sebanyak 1.500 lebih lembaga swadaya di luar negeri yang prihatin terhadap kejahatan kemanusian yang menimpa masyarakat Papua.

    “Jadi mereka mendukung. Bukan hanya Papua, ada gerakan lain di dunia mereka dukung. Kayak di Eropa, misalnya Jerman sebagai negara pro aktif, Belanda, semua NGO bahkan Inggris yang pernah memberikan rumah untuk salah satu wali kotanya kepada Ketua Papua Merdeka yang ada di London. Tapi Papua Merdeka itu siapa ketuanya yang memimpin Papua Merdeka, itu yang mereka tunggu dan mencari supaya mereka memberikan saran, masukan, dukungan kepada ketua itu,”

    kata lelaki asal Sorong ini.

    Ia mencontohkan Theis Eluay. Menurut Kambu, negara-negara Eropa sangat kenal Theys Eluay almarhum.

    Lanjut Kambu, berbagai pemberitaan yang diangkat media internasional di negara yang pernah dikunjunginya, rata- rata beranggapan bahwa Papua tidak mendapat perhatian dari Indonesia, sehingga Papua terus terisolir.

    Dari hasil penjelasan tentang pembangunan Papua yang disampaikan oleh Wali Kota Jayapura ini, kata Kambu akan diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa untuk dibagikan kepada negara lain agar diketahui bahwa Pemerintah RI tidak mengabaikan Papua.

    ”Di kantor kami Deplu itu, buka lihat daftar, banyak yang menyorori negatifnya. Untuk itulah kami berusaha menjawab sorotan negatif itu kepada mereka. Kalau tidak, orang tetap menyoroti terus Papua itu ketinggalan. Padahal banyak hal yang dicapai,”

    kata pria asal Sorong tersebut. (Sindung Sukoco)

    Source: Jubi, Diposkan oleh : Sindung Sukoco on March 17, 2015 at 22:58:12 WP [Editor : Victor Mambor]

  • Wakil Dubes Inggeris dan MRP Bahas Kasus HAM di Papua

    Wakil Duta Besar dan Konsul Jenderal Kedutaan Besar Inggris Rebecca Razavi menerima cinderamata dari Wakil Ketua II MRP Enggel Bertha Kotorok, ketika audiensi di Kantor MRP di Kantor MRP, Kota Jayapura, Papua, Rabu (3/12).JAYAPURA — Wakil Dubes Inggris dan Konsul Jenderal Kedubes Inggris Rebecca Razavi didampingi Feye Belnis selaku penterjemah bersama pimpinan dan anggota MRP, masing-masing Wakil Ketua I MRP Pdt. Hofni Simbiak, S.Th, Wakil Ketua II Enggel Bertha Kotorok, Anggota Pokja Adat Joram Wambrauw, SH., dan anggota Pokja Perempuan Debora Mote, S.Sos, membahas kasus pelanggaran HAM di Papua, khususnya terhadap ibu dan anak asli Papua di wilayah Pegunungan Tengah. Pertemuan itu berlangsung di Kantor MRP, Kota Jayapura, Provinsi Papua, Rabu (3/12).

    Terkait kasus pelanggaran HAM di Papua, cetus Hofni Simbiak, pihaknya menyampaikan kasus pelanggaran HAM di Papua, khususnya pelanggaran terhadap ibu dan anak asli Papua yang terjadi di Pegunungan Tengah, diantaranya, kasus perang suku disejumlah wilayah di Papua, yang telah mengalami pergeseran nilai dari nilai adat ke nilai komersial atau mengkomersialkan Orang Asli Papua (OAP) mengatasnamakan adat. Padahal sebagaimana aturan hukum, tak ada seorangpun berhak menghilangkan nyawa orang lain.

    Pasalnya, perang suku bisa pecah kapan dan dimanapun di wilayah Papua, hanya untuk mendapatkan pembayaran kepala, yang jumlahnya mencapai puluhan miliar.

    “Kita harapkan keadaan seperti ini tak boleh terjadi lagi, yakni menyelesaikan kasus perang suku dengan ganti rugi uang,” tandasnya.

    Hofni Simbiak menjelaskan, pihak Kedubes Inggris juga ingin melihat pembangunan hukum berhubungan dengan keamanan, terutama situasi yang terjadi akhir-akhir ini di Tanah Papua.

    Dikatakan Hofni Simbiak, ada kejadian di Papua yang sebenarnya paradox. Di satu sisi disampaikan situasi keamanan di Papua aman dan terkendali, sebagaimana seruan para tokoh agama Papua tanah damai. Tapi di sisi lain terjadi gejolak seperti aksi penembakan dan pembunuhan yang dilakukan Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB). Semua aksi-aksi yang terjadi modus operandinya sama, karena tak pernah diketahui siapa pelaku.

    Kesulitannya tak ada investigasi yang jelas menyangkut aksi penembakan dan pembunuhan tersebut,” katanya.

    Hofni menerangkan, pihaknya bekerjasama dengan Komnas Perempuan tengah mengumpulkan dokumen kasus-kasus pelanggaran HAM terhadap ibu dan anak asli Papua, khususnya di wilayah Pegunungan Tengah Papua sejak 1962 hingga 2010 bekerjasama dengan Komnas Perempuan.

    Diutarakan Hofni, pihaknya tengah mempersiapkan Buku berjudul Anyaman Noken Kehidupan, direncanakan dilaunching 15 Desember mendatang di Kampus Universitas Indonesia Jakarta, diinisiasi ibu-ibu dari wilayah Pegunungan Tengah Papua. (Mdc/don/l03/par)

    Sabtu, 06 Desember 2014 12:34, BP

  • Ini Foto Aksi Pengibaran Bendera Bintang Kejora di Sejumlah di Negara

    AUSTRALIA, SUARAPAPUA.com — Memperingati Hari Ulang Tahun (HUT) Kemerdekaan Papua Barat, yang jatuh pada 1 Desember, Free West Papua Campaign (FWPC), melalui halaman Facebook, mempublikasi sejumlah foto aksi yang berlangsung di sejumlah negara hari ini

    Di Australia, aksi berlangsung di 10 kota. Di Kota Brisbane, puluhan massa aksi melangsungkan demonstrasi damai di depan King George Square, yang digelar sekitar pukul 11.30 waktu setempat.

    “1 Desember adalah tanggal khusus untuk semua orang Papua Barat. Dua tahun kemudian Papua Barat diserbu oleh militer Indonesia dan sejak saat itu diduduki secara brutal, dengan ratusan ribu orang Papua tewas,”

    ujar panitia aksi dalam laman Facebook mereka.

    Di Melbourne, aksi dilangsungkan di Federation Square, pukul 11.30 waktu setempat, dan dilanjutkan dengan pemutara film Papua tentang pelanggaran HAM di Papua berjudul “Isolate”. Aksi ini di koordinir langsung oleh Black Orchid Stringband.

    “Bertepatan dengan ulang tahun ke-53 ini, kami akan rayakan lewat pemutaran film, festival media, dan musik. Kami memberikan dukungan kepada kemerdekaan Papua Barat,”

    tulis panitia aksi di laman Facebook mereka.

    Di Kota Pert, aksi akan dilangsungkan di Konsulat Indonesia, yang terletak di 134 Adelaide Terrace PO Box 6683, East Perth, WA, 6892. Massa juga akan mengibarkan bendera bintang kejora di depan kantor ini.

    Wiwince Pigome, inisiator aksi mengatakan,

    “Kami menuntut hak penentuan nasib sendiri. Kami menuntut kepada pemerintah Indonesia untuk mengizinkan media internasional dan wartawan memasuki Papua Barat,”

    katanya.

    Aksii juga berlangsung di Inggris, Turkey, Amerika, Belanda, Papua Nugini, Vanuatu, dan sejumlah negara di dunia.

    Baca berita selengkapnya: Peringati HUT Papua Merdeka, 10 Kota di Australia Kibarkan Bendera Bintang Kejora

    Senin, 01 Desember 2014 19:52 WIB,SP

  • Peringati HUT Papua Merdeka, 10 Kota di Australia Kibarkan Bendera Bintang Kejora

    Bendera Bintang Kejora dikibarkan di jalan utama Darwin, Australia (Foto: FWPC).
    Bendera Bintang Kejora dikibarkan di jalan utama Darwin, Australia (Foto: FWPC).

    AUSTRALIA, SUARAPAPUA.com — Memperingati Hari Ulang Tahun (HUT) Kemerdekaan Papua Barat, yang jatuh pada 1 Desember, Free West Papua Campaign (FWPC), melalui halaman Facebook, mengabarkan, bahwa aksi demo damai dan pengibaran bendera bintang kejora akan dilangsungkan di 10 kota di Australia.

    Di Kota Brisbane, puluhan massa aksi melangsungkan demonstrasi damai di depan King George Square, yang digelar sekitar pukul 11.30 waktu setempat.

    “1 Desember adalah tanggal khusus untuk semua orang Papua Barat. Dua tahun kemudian Papua Barat diserbu oleh militer Indonesia dan sejak saat itu diduduki secara brutal, dengan ratusan ribu orang Papua tewas,”

    ujar panitia aksi dalam laman Facebook mereka.

    “Sejumlah aktivis Papua berada di penjara karena mengibarkan bendera, termasuk Filep Karma, yang saat ini menjalani 15 tahun penjara hanya karena menaikkanbendera Bintang Kejora pada 1 Desember 2004.”

    “AktivisPapua di seluruh dunia akan merayakannya, ini menunjukan bahwa mereka ingin hak menentukan nasib sendiri, dan bebas dari Indonesia. Kami di Brisbane berkumpul di King George Square, dan menaikkan bendera Bintang Kejora untuk solidaritas dengan rakyat Papua dan perjuangan mereka untuk kemerdekaan,”

    tulis panitia aksi.

    Di Melbourne, aksi dilangsungkan di Federation Square, pukul 11.30 waktu setempat, dan dilanjutkan dengan pemutara film Papua tentang pelanggaran HAM di Papua berjudul “Isolate”. Aksi ini di koordinir langsung oleh Black Orchid Stringband.

    “Bertepatan dengan ulang tahun ke-53 ini, kami akan rayakan lewat pemutaran film, festival media, dan musik. Kami memberikan dukungan kepada kemerdekaan Papua Barat,”

    tulis panitia aksi di laman Facebook mereka.

    Di Kota Pert, aksi akan dilangsungkan di Konsulat Indonesia, yang terletak di 134 Adelaide Terrace PO Box 6683, East Perth, WA, 6892. Massa juga akan mengibarkan bendera bintang kejora di depan kantor ini.

    Wiwince Pigome, inisiator aksi mengatakan, “Kami menuntut hak penentuan nasib sendiri.

    Kami menuntut kepada pemerintah Indonesia untuk mengizinkan media internasional dan wartawan memasuki Papua Barat,” katanya.

    Menurut Wiwince, sejak tahun 1961, orang Papua Barat telah ingin berdaulat dan merdeka dari Republik Indonesia.

    “Perjuangan untuk mencapai kamerdekaan dilakukan karena sejarah panjang penindasan, kekerasan dan pembatasan kegiatan jurnalistik dari Jakarta, serta karena keterlibatanpemerintah Indonesia,”

    kata perempuan kelahiran Paniai ini.

    Di kota Darwin, aksi dilangsungkan sejak pukul 07.30 waktu setempat, di Bagot Rd Overpassa, yang dilanjutkan dengan upacara pengbaran bendera bintang kejora.

    Aksi juga di langsungkan di Kota Alice Springs, sejak pukul 06:30 waktu setempat; Disini, massa aksi berkumpul menyampaikan orasi untuk kemerdekaan Papua Barat.

    Di Kota Sydney, aksi dilangsungkan di Balai Kota Sidney, sekitar pukul 10.00 waktu setempat. Aksi juga dilakukan dengan mengunjungi konsulat Indonesia menggunakan bus.

    Sedangkan di Selandia Baru, aksi juga dilangsungkan di pusat jalan utama. Di kota Christchuch, aksi dilangsungkan dengan mengibarkan bendera bintang kejora di sudut jalan Durham dan Kilmore.

    Di Welington, aksi dikordinir oleh Peace Movement Aotearoa, dan dilangsungkan di Kantor Parlemen Welington, dan berlangsung sekitar pukul 13.00 waktu setempat.

    Peace Movement Aotearoa dalam laman facebook mengataka, 1 Desember adalah hari kemerdekan Papua Barat, dan menandai lima puluh tiga tahun kemerdekaan Papua Barat yang diberikan Belanda pada tahun 1961.

    “Di Papua Barat, orang memperingati Hari Kemerdekaan dalam berbagai cara, termasuk menaikkan Bintang Kejora, meskipun ancaman penangkapan dan pembunuhan.”

    “Dalam tahun-tahun sebelumnya, militer dan polisi Indonesia telah merespon dengan peningkatan penindasan dan kekerasan di hari ini. Pemerintah akan menangkap dan membunuh orang-orang yang mereka anggap sebagai aktivis pro-kemerdekaan.”

    “Rakyat Papua Barat membutuhkan solidaritas dunia, termasuk dari Aotearoa Selandia Baru,”

    tulisnya.

    Di Auckland, aksi dilangsungkan di pantai, tempat yang menjadi pusat tamasya warga Aucland; Aksi ini dilakukan oleh beberapa perempuan Auckland yang mendukung kemerdekaan Papua.

    Aksi juga berlangsung di Tasmania, New Castle; Serta beberapa negara di dunia, seperti Vanuatu, Inggris, Turki, Malaysia, Papua New Guinea, dan Ghana.

    Lihat foto-foto aksi: Ini Foto Aksi Pengibaran Bendera Bintang Kejora di Sejumlah di Negara

     

    OKTOVIANUS POGAU, Senin, 01 Desember 2014 – 19.14 WIB, SP

  • Dua Jurnalis Asing Didakwa Terlibat Perjuangan OPM

    Dua Jurnalis Perancis Marie-Valentine Louise Bourrat dan Thomas Charlie Dandois, ketika disidang di Kantor PN Jayapura, Senin (20/10). JAYAPURA – Dua Jurnalis Perancis masing-masing Marie-Valentine Louise Bourrat (29) dan Thomas Charlie Dandois (40) didakwa terlibat perjuangan Organisasi Papua Merdeka (OPM). Hal itu terungkap, dalam sidang di Pengadilan Negeri Klas I A Jayapura, Senin (20/10). Sidang tersebut dipimpin Ketua Majelis Hakim Martinus Bala, S.H., didampingi Anggota Majelis Hakim Maria Sitanggang, S.H., M.H., dan Irianto P.U, S.H., M.Hum.

    Dalam Surat Dakwaan, JPU Sukanda, S.H., M.H., mengatakan, para terdakwa didakwa melanggar Pasal 122 huruf a UU No. 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP dengan ancaman penjara 5 tahun dan dikenakan denda kumulatif, yakni setiap orang asing yang dengan sengaja menyalahgunakan atau melakukan kegiatan yang tak sesuai dengan maksud izin tinggal yang diberikan kepadanya, baik orang yang melakukan, yang menyuruh melakukan dan turut-serta melakukan.

    Pasalnya, para terdakwa datang ke Papua menggunakan visa kunjungan wisata, tapi ternyata melakukan kegiatan jurnalistik, antara lain mewawancarai Presiden Demokrat West Papua Forkorus Yoboisembut di Doyo, Kabupaten Jayapura pada Senin (4/8). Kemudian bertemu tokoh OPM Areki Wanimbo di Wamena, Kabupaten Jayawijaya pada Kamis (7/10) sekaligus berencana melakukan kegiatan jurnalistik di Kabupaten Lanny Jaya mengikuti Lembah Baliem.

    Ia mengatakan, para terdakwa menyadari atau mengetahui untuk melakukan kegiatan jurnalistik di Indonesia dilarang menggunakan visa kunjungan wisata, tapi mesti menggunakan izin jurnalis setelah mendapat Clearing House (CH) dari Kementerian Luar Negeri.

    Menurut Sukanda, kedua terdakwa mengaku melakukan kegiatan jurnalistik di Papua untuk mengetahui mengapa OPM selalu berseberangan dengan pemerintah Indonesia dalam perspektif sosial, budaya, adat-istiadat dan sejarah. Hasil kegiatan jurnalistik pada terdakwa nantinya dibuat film dokumenter dan disiarkan pada salah-satu TV di Perancis.

    “Kami memiliki barang bukti yakni audio visual termasuk laptop dan ponsel yang berisi gambar dan wawancara para terdakwa dengan tokoh OPM,”

    tukasnya.

    Sementara itu, Penasehat Hukum para terdakwa Aristo MA Pangaribuan, S.H., dalam eksepsinya menuturkan pihaknya memohon Majelis Hakim menolak surat dakwaan yang disampaikan JPU, karena batal demi hukum. Pasalnya, surat dakwaan kabur, tak jelas dan tak menjelaskan maksud dari jurnalistik.

    Kami minta kedua terdakwa segera dideportasi ke negaranya,” tegas Aristo MA Pangaribuan.
    Sidang dilanjutkan pada Selasa (21/10) dengan agenda jawaban JPU terhadap esepsi para terdakwa. Dikatakan Sukanda, para terdakwa ditangkap aparat kepolisian pada 7 Agustus 2014 di Wamena. Sebelumnya terdakwa Marie-Valentine Louise Bourrat bersama-sama dengan Thomas Charlie Dandois pada Senin (4/8) di Doyo, Distrik Sentani, Kabupaten Jayapura, Papua setiap orang asing yang dengan sengaja menyalahgunakan atau melakukan kegiatan yang tak sesuai dengan maksud izin tinggal yang diberikan kepadanya, baik orang yang melakukan, yang menyuruh melakukan dan turut-serta melakukan.

    Adapun perbuatan tersebut para terdakwa lakukan dengan cara-cara antara lain sebagai berikut.

    Awalnya, terdakwa Marie-Valentine Louise Bourrat dan Thomas Charlie Dandois mendapat informasi dari Nick Cherterfield warga negara Australia pengelola Media Papua Alert di Australia tentang situasi Papua, dan terdakwa Marie-Valentine Louise Bourrat sering melakukan Email.

    Selanjutnya terdakwa Marie-Valentine Louise Bourrat datang ke Indonesia melalui Bandara Soekarno-Hatta Jakarta pada 3 Juli 2014 dengan menggunakan Paspor Republique Francaise No. 09FD72946, masa berlaku 16-07-2009 hingga 15-07-2019 dan Izin Keimigrasian visa kunjungan wisata indeks B.211 No.Register GA1231B-761 DN yang dikeluarkan KBRI Paris pada 27 Juni 2014 berlaku selama 90 hari. Dan terdakwa Thomas Charlie Dandois datang ke Indonesia melalui Bandara Soekarno-Hatta Jakarta pada 28 Juli 2014 dengan menggunakan Paspor Republique Francaise No. 14CPB8231 masa berlaku 07-07-2014 hingga 05-05-2020 dan Izin Keimigrasian visa kunjungan saat kedatangan/Visa on Arrival Kode Voucher VSA 7432412 yang berlaku selama 30 hari. Selanjutnya para terdakwa bertemu di Sorong, Papua Barat. Lalu pada 3 Agustus 2014 para terdakwa ke Jayapura menginap di Swissbelt Hotel. (mdc/don/l03)

    Rabu, 22 Oktober 2014 11:57 BinPa

  • Negara-Negara di Balik Gerakan Papua Merdeka

    Kompasiana.com, 11 September 2014 21:28:31 Diperbarui: 18 Juni 2015 00:58:55 Dibaca : Komentar : Nilai :

    Dalam banyak ulasan saya sebelumnya dan didukung referensi dari postingan rekan-rekan Kompasianer lainnya, bisa dibaca dengan jelas negara mana saja yang mempunyai kepentingan langsung maupun tak langsung terhadap Papua. Berikut ini ulasan saya tentang keterlibatan sejumlah negara berdasarkan berita media terpercaya.

    Noam Chomsky seorang Profesor Linguistik Modern dari Massachusetts Institute of Technology awal Desember 2013 menuding Amerika Serikat dan Australia telah melakukan skandal besar mengenai masalah Papua. Tudingan itu diungkapkan dalam sebuah wawancara yang dilakukan YouTube dan dipublish di media sosial itu 8 Desember 2013. Chomsky menilai perlawanan di Papua Barat akan terus terjadi walaupun tidak akan berhasil. Untuk meredam perlawanan itu, Chomsky menyarankan pihak barat (Australia dan AS) harus mengambil tanggungjawab dan tindakan atas konisi yang terjadi. http://youtu.be/EaaaeHFKXI4

    Tudingan Chomsky itu dilontarkan setelah tahun 2011 lalu, Presiden AS Barack Obama dalam perjalanan menuju Bali dalam rangka dua KTT, ASEAN dan Ekonomi Asia Timur, Obama singgah di Australia. Obama mengumumkan sebuah keputusan penting, yaitu AS akan menempatkan 2.500 personil marinir di Darwin, Australia Utara. Menurut Obama kehadiran pasukan AS Darwin dalam rangka mengimbangi pergerakan China di kawasan Asia Tenggara. AS dan Astralia sama-sama memiliki kepentingan di Papua. AS melalui PT Freeport, sedangkan Australia selain soal kesamaan ras penduduk asli Papua dengan etnis Aborigin, juga punya sejumlah perusahaan penebangan kayu yang beroperasi di wilayah Papua Nugini, dan bukannya tidak mungkin Australia juga mengincar kayu di hutan-hutan Papua.

    Dalam sebuah analisis yang dipublish situs rajawalinews.com, menyebutkan kehadiran militer AS di Darwin itu harus dilihat sebagai sebuah “peringatan” bagi Jakarta. AS sendiri sudah menyatakan kekhawatirannya tentang pergerakan China. China sudah berhasil memasukan perusahaan gas miliknya ke Tangguh, Papua Barat. Antisipasi yang perlu dilakukan adalah boleh jadi penempatan marinir di Darwin dalam rangka menyambut perubahan yang mungkin bisa terjadi di Indonesia yang berdampak di Papua. Jika situasi panas di Papua bereskalasi dan Indonesia tidak punya kemampuan mengatasinya, maka AS bersama-sama Australia sewaktu-waktu dapat “menyelamatkan” Papua. Yang berbahaya adalah “penyelamatan” Papua oleh kedua negara itu belum tentu menguntungkan Indonesia. http://rajawalinews.com/5109/pasukan-as-di-australia-antisipasi-papua-keluar-dari-nkri/

    Selain China, Inggris sudah lebih dahulu menempatkan perusahaannya di Papua, yaitu Perusahaan minyak dan gas bumi British Petroleum (BP) di Tangguh, Papua Barat. Untuk “mengamankan” usahanya itu, Inggris “memelihara” Benny Wenda dengan memberinya sejumlah kemudahan, antara lain suaka politik dan kantor perwakilan OPM yang diresmikan April 2013. Menyusul kemudian, kelompok pendukung gerakan Papua merdeka di Australia membuka kantor perwakilan OPM di Melbourne pada 25 Juni 2014. Kantor tersebut terletak di wilayah Docklands yang merupakan salah satu area bisnis di Melbourne. Besar kemungkinan, pembukaan kantor tersebut juga didanai pihak Australia. Advokat kemerdekaan Papua Barat, Ronny Kareni kepada ABC, seperti dikutip Australia Network News mengharapkan Pemerintah Australia dapat melakukan proses negosiasi dengan Indonesia untuk mencari masa depan Papua Barat. http://international.okezone.com/read/2014/06/25/413/1004080/cari-dukungan-pbb-pendukung-papua-barat-buka-kantor-di-australia

    Australia juga diketahui telah menginisiasi pembentukan kaukus parlemen internasional untuk mendukung kemerdekaan Papua (International Parliamentarians for West Papua / IPWP). IPWP diluncurkandi Canberra tanggal 28 Februari 2012 (Kompas.com, 17 April 2012). Kaukus ini beranggotakan sejumlah politikus lintas partai politik dari sejumlah negara, antara lain Ricard Di Natale dan Bob Brown dari partai Hijau Australia, Powes Parkop dari Papua Nugini (PNG), Rahl Regenvanu (Vanuatu), Chaterine Delahunty (New Zeland).

    Di pasifik selatan, Vanuatu merupakan salah satu negara yang konsisten dan terang-terangan mendukung kemerdekaan Papua. Vanuatu telah berusaha mendukung masuknya Papua kedalam organisasi MSG (Melanesian Spearhead Group). Marinus Yaung, pengamat Politik Papua dari Uncen Jayapura kepada koran lokal Bintang Papua 14 Agustus 2014 dan dirilis papuapost.com mengatakan, berdasarkan pengamatannya, isu Papua Merdeka di negara Vanuatu telah menjadi komoditi politik para elit politik di Vanuatu untuk memperebutkan kursi kekuasaan perdana menteri. Isu Papua Merdeka yang disuarakan di Vanuatu, tidak untuk kepentingan orang Papua, tetapi untuk kepentingan politik para elit politiknya. Hampir sebagian besar Perdana Menteri Vanuatu yang terpilih sejak Tahun 1986 sampai sekarang, selalu menjadikan isu Papua Merdeka sebagai isu kampanye politiknya untuk mendapatkan kepercayaan parlamen dan rakyat Vanuatu. http://papuapost.com/2014/08/isu-papua-merdeka-hanya-kepentingan-elit-politik-vanuatu/

    Dalam MSG Summit di Port Moresby Juni 2014, pengajuan kembali proposal kelompok gerakan Papua merdeka untuk menjadi anggota MSG lagi-lagi ditolak. MSG meminta agar proposal itu harus diajukan oleh sebuah organisasi resmi yang mempresentasikan seluruh elemen perjuangan masyarakat asli Papua. Keputusan MSG ini kemudian ditindaklanjuti oleh Perdana Menteri Vanuatu yang baru, Joe Natuman dengan memfasilitasi pertemuan rekonsiliasi seluruh komponen perjuangan Papua Merdeka di Port Villa, Vanuatu, namun hingga kini, pertemuan dimaksud belum juga digelar.

    Menurut Marinus, jika sampai Oktober 2015 tidak ada lagi 1-2 negara yang ikut bersama Vanuatu mendukung secara terbuka kemerdekaan Papua, Papua tidak masuk menjadi anggota MSG. Maka semua orang Papua harus mengecam dan mengutuk negara Vanuatu bersama-sama para elit politiknya yang hanya menjadikan orang Papua sebagai bagian dari strategi eksploitasi politik mereka.

    Sebelum mengakhiri tulisan ini, tidak lupa saya menyebut Belanda. Karena Belanda-lah yang membentuk tentara berisikan orang-orang Papua untuk menghadapi ancaman Trikora tahun 1961. Dan patut diduga, tentara bentukannya itulah yang kemudian bermetamorfosis menjadi OPM sekarang.

    Menurut Nicolaas Jouwe, OPM didirikan oleh opsir-opsir Belanda pada 1965 bersamaan dengan pecahnya G-30S/PKI untuk memusuhi Indonesia dan mengganggu keamanan di wilayah Papua. OPM berkeyakinan bahwa Papua telah mendapatkan kemerdekaan yang diberikan oleh Belanda dan memerdekaan itu telah dideklarasikan tanggal 1 Desember 1965 oleh Nieuw Guinea Raad dimana Nicolaas Jouwe sebagai salah satu anggotanya. Peristiwa 1 Desember 1961 inilah yang seringkali menjadi dasar klaim pemimpin Papua sekarang bahwa ‘negara’ Papua pernah ada, tetapi telah dirampas oleh konspirasi internasional Indonesia, Amerika Serikat, dan Belanda (antaranews.com 13 Mei 2014).

    Negara-negara yang disebutkan di atas dalam diplomasi dengan Pemerintah Indonesia selalu menyatakan menghormati dan mengakui kedaulatan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) termasuk Papua. Namun diplomasi itu tentu saja dilakukan demi kepentingan ekonomi negaranya. Namun jika kebijakan Indonesia atas Papua mengganggu kepentingan ekonomi mereka, pengakuan kedaulatan bisa saja berubah. Ini akan menjadi pekerjaan rumah teramat berat bagi Pemerintahan Jokowi-JK ke depan.

  • Dua Jurnalis Asing Diduga (Spionase) Mata-mata di Papua

    Sabtu, 16 Agustus 2014 06:50, BINPA

    JAYAPURA – Dari hasil pemeriksaan secara mendalam terhadap dua jurnalis Asing asal Perancis masing Thomas Charles Dendies (40) yang bekerja di ARTE TV Perancis dan Valentine Bourat ARTE TV, diduga melakukan kegiatan (spionase) mata-mata kepada kelompok KKB di Papua.

    Sementara itu, Kapolda Papua Irjend (Pol) Drs. Yotje Mende M.H., M.Hum., ketika ditemui wartawan di DPRP mengungkapkan, pihaknya akan terus melakukan pengembangan terhadap dua jurnalis asing asal Negara Perancis dengan Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) di Papua.

    Dua Jurnalis Asing yang sudah melakukan komunikasi dengan KKB di Papua itu, masing-masing, Thomas Charles Dendies (40) yang bekerja di ARTE TV Perancis dan Valentine Bourat ARTE TV Perancis masih dalam penahanan keimigrasian Kota Jayapura.

    Kapolda Yotje juga mengaku, akan terus melakukan koordinasi dengan pihak Imigrasi, pasalnya dua jurnalis Asing tersebut sudah di Imigrasi. “Dua Jurnalis sudah digelar perkaranya, dan kesimpulannya mereka ditetapkan sebagai tersangka berdasarkan bukti-bukti pelanggaran keimigrasian,” kata dia.

    Disamping menetapkan mereka sebagai tersangka, Polda juga akan mencari bukti dan terus menggali kegiatan-kegiatan lain yang mereka lakukan selama berada di Papua. “Bukti-bukti dari dari laptop memang ada kegiatan mata-mata, jika ada terbukti maka kita akan melakukan penegakkan hukum,” tegas dia usai menghadiri Rapat Paripurna Istimewa DPRP dalam rangka mendengarkan Pidato Presiden RI memperingati HUT ke-69 kemderdekaan RI yang berlangsung di Aula DPRP, Jumat (15/8) kemarin.

    Kapolda Yotje menjelaskan, pelanggaran keimigrasian itu adalah Visa turis yang disalah gunakan untuk melakukan peliputan. Selain pelanggaran visa, polisi juga mencurigai ada pelanggaran lain dan kegiatan lain, namun sementara diserahkan ke imigrasi untuk lakukan penyelidikan dan tetap polri membackup penyelidikan.

    “Pemeriksaan saat ini masih kewenangan imigrasi sesuai dengan aturan dari imigrasi. Jikalau masa penahanan selama 20 hari belum selesai proses penyelidikan maka akan bisa dilakukan penambahan masa penahanan 20 hari lagi,”

    jelasnya.

    Untuk pasal yang dikenakan kepada dua jurnalis Asing ini, tambah Kapolda Yotje, bahwa keduanya dikenakan pasal 122a UU nomor 6 tahun 2011 tentang imigrasi dengan ancaman penjara lima tahun penjara.

    Di tempat berbeda, Staf Kedubes Prancis, Dominique Romeu Bert ditemui di Mapolda Papua, mengatakan, mengakui bahwa kedua orang warga Asing asal Peranis ini masih aktif sebagai jurnalis di ARTE TV Prancis. “Kami sudah menyampaikan kepada pihak kepolisian dan imigrasi bahwa keduanya memang jurnalis di Perancis,” katanya dengan menggunakan bahasa Indonesia.

    Menganai masa berlaku kepemilikan Kartu pers habis sejak tahuan 2006, Romeu menyampaikan, bahwa pihaknya akan terus melakukan komunikasi dengan pihak kepolisian bahwa keduanya memang wartawan. “Untuk sementara pihak kedutaan akan terus mengusahakan dalam pemeriksaannya dan pasti mereka akan di dampingi pengacara,” tandasnya. (loy/jir/don)

Are you sure want to unlock this post?
Unlock left : 0
Are you sure want to cancel subscription?