Tag: dialogue

  • Presiden Pilih Jalur Dialog Daripada Otsus Plus

    Sabtu, 14 Februari 2015 00:30, BiPa

    Gubernur Papua Lukas Enembe bersama Ketua MRP Timotius Murib JAYAPURA — Di tengah kekecewaan atas tidak masuknya Rancangan Undang-Undang Otonomi Khusus Bagi Provinsi di Tanah Papua (RUU OTSUS Plus) dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas Tahun 2015, Gubernur Papua Lukas Enembe mengatakan jika saat ini pemerintah pusat lebih memilih menggelar dialog antara Jakarta-Papua untuk menyelesaikan segala permasaahan yang ada di Tanah Papua.
    “Dengan demikian saya menyampaikan kepada masyarakat Papua permohonan maaf, bahwa kita tidak berhasil mendorong ini untuk menjadi satu UU. Tidak berhasil dalam pengertian sesungguhnya tahun ini sudah bisa disahkan, tapi pemerintah masih mau kaji karena pemerintah lebih mengedepankan dialog,” ujar Gubernur kepada wartawan di VIP Room Bandara Sentani pada Jumat (13/02) siang.

    Menurut gubernur, dimasa kepemimpinan Presiden Joko Widodo pemerintah pusat masih membutuhkan waktu untuk menelaah lebih dalam RUU Otsus Plus, dan mereka memandang dialog adalah alternatif terbaik bagi Papua.

    Gubernur pun memperingatkan kepada pemerintah pusat untuk lebih berhati-hati dalam mengeluarkan kata dialog karena menurutnya ada perbedaan pandangan antara pusat dan masyarakat Papua mengenai makna dialog itu sendiri.

    “Pemerintah (pimpinan) Jokowi-JK menginginkan penyelesaian masalah Papua lewat dialog. Konsep dialog saya sendiri belum memahami, tapi bagi Pemprov papua yang bagus adalah Otsus Plus dalam bingkai kerangka NKRI, dialog kan dalam pengertian orang Papua berbeda, jangan coba-coba bicara dialog karena orang Papua bisa terjemahkan beda-beda,” tuturnya.

    Ditegaskannya juga jika setelah RUU Otsus Plus tidak dimasukkan dalam Prolegnas 2015 dan pusat memilih untuk menggelar dialog, maka Pemprov Papua lebih memilih untuk tidak ikut campur dalam pelaksanaan dialog dan menyerahkan hal tersebut kepada Majelis Rakyat Papua (MRP).

    “Kalau sudah masuk dialog saya akan berhenti disini, saya minta maaf kepada rakyat Papua, saya tidak akan melanjutkan (perjuangan) UU Otsus Plus, karena bagi kita perjuangan yang panjang sudah the end/habis,” cetusnya.

    “Sekarang kita serahkan ke MRP karena pengertian dialog harus diterjemahkan oleh MRP karena wakil rakyat Papua ada disitu. Saya pikir dari pemerintah sudah (selesai) sampai disitu, saya sudah bilang kalau dipanggilpun untuk bicara Otsus saya tidak akan datang karena sudah buang energi satu tahun lebih, jadi pintu untuk Otsus Plus ditutup.”

    Dikatakan gubernur saat ini urusan yang menyangkut dialog diserahkan ke MRP dan ia pu meminta lembaga tersebut dapat mencari konsep terbaik untuk melaksanakan dialog.

    “Kami minta MRP untu memfasilitasi konsep dialog seperti apa bersama dengan pusat, seperti apa yang ditawarkan Presiden Jokowi. Itu saja selesai, jadi yang berkaitan dengan rakyat semua akan ditangani oleh MRP, pemerintah provinsi tidak ada urusan. Kalau pusat ingin konsep dialog seperti apa silahkan kordinasi dengan MRP.” (ds/don/l03)

  • Kasdam : Dialog Politik Papua Sudah Terlambat

    Kasdam XVII Cenderawasih, Brigadir Jenderal (TNI) Hinsa Siburian (Jubi/Indrayadi TH)

    Jayapura, 22/5 (Jubi) – Kasdam XVII Cenderawasih, Brigjen (TNI) Hinsa Siburian mengatakan dialog tentang Papua pada akhirnya akan tergantung dari sudut pandang Negara. Hal ini diungkapkan dalam pertemuan hari kedua Konferensi Nasional VI, Selasa (20/5) di Hotel Sentani Indah, Sentani.

    “Dialog akan sangat tergantung dari sudut pandang siapa. Bagi kami, sebagai alat negara, dialog politik sudah terlambat, selesai. Sebab, Papua sudah menjadi wilayah NKRI yang diakui PBB. Jadi secara politik sudah sah dari segi hukum, undang-undang termasuk hukum internasional,”

    ungkap Kasdam seperti rilis yang diterima tabloidjubi.com, Rabu (21/5) sore.

    Maka, lanjut Hinsa , yang diperlukan sekarang adalah membangun kesejahteraan. Jika ingin melakukan dialog, hal itu memungkinkan melalui Otonomi Khusus di mana masyarakat bisa menggunakan berbagai jalur atau sarana di pemerintahan daerah dan DPR yang di Papua untuk membicarakan setiap permasalahan kesejahteraan yang ada di masyarakat.

    “Papua sama seperti wilayah-wilayah Indonesia yang status hukum dan politiknya adalah tertib sipil. Sehingga, fungsi kami sebagai TNI melakukan pembinaan teritorial dan membantu serta melindungi masyarakat agar tidak terganggu. Kami mengambil peran agar Papua damai karena itu operasi yang kami lakukan adalah membangun kepercayaan dengan pendekatan terhadap masyarakat,”

    tutur Hinsa

    Dia mengatakan , operasi yang dilakukan pihaknya bukan dengan menerjunkan berkompi-kompi pasukan tetapi ikut mendorong kesejahteraan Papua. Untuk itulah Babinsa bersama-sama dengan masyarakat. Tugasnya membantu polisi mengatasi kriminalitas dan di beberapa wilayah yang di perbatasan maupun di pedalaman. Di antaranya membantu masyarakat dengan mengajar atau membuka jalan untuk pembangunan jalan.

    “Namun begitu setiap ada oknum-oknum yang melakukan kesalahan dalam bertugas harus pula diproses secara hukum. TNI harus profesional juga menghormati hak asasi manusia. Itu undang-undang tentang TNI yang sekarang ini,”

    katanya.

    Tetapi, Pungky Indarti, Direktris Imparsial Jakarta, selaku moderator diskusi justru membantah pernyataan Kasdam tersebut.

    “Apa yang disampaikan Kasdam jauh dari realitas sehari-hari di Papua yang itu tercermin dari proses Konferensi Nasional VI Jaringan Antariman Indonesia yang sedang berjalan di Hotel Sentani Indah,”

    kata Poengky dalam release yang diterima tabloidjubi.com melalui surat elektronik. (Jubi/Aprila)

    May 22, 2014 at 21:57:38 WP,TJ

  • DPR Papua Minta Swiss Jadi Pihak Ketiga Dialgoue Papua – Jakarta

    Jayapura, 7/5 (Jubi) – DPR Papua meminta Swiss menjadi pihak ketiga dan menfasilitasi terwujudnya dialog Papua-Jakarta.

    Ketua Komisi A DPR Papua bidang Politik, Hukum dan HAM, Ruben Magay mengatakan, ketika Wakil Duta Besar (Dubes) Swiss, Daniel Dersic mengunjungi Papua, Senin (5/5) lalu, pihaknya tak hanya menyampaikan Otonomis Khusus (Otsus) yang dinilai gagal, namun juga masalah dialog Papua-Jakarta.

    “Kami meminta Swiss membantu. Jika Papua memang bagian dari NKRI, hak-hak masyarakatnya harus diperhatikan. Baik hak politik, hak perekonomian serta hak demokrasi. Pemerintah pusat jangan melihat Papua lewat isu politik saja,”

    kata Ruben, Rabu (7/5).

    Selain itu ia menurutnya, masalah lain yang disampaikan DPR Papua adalah pemekaran. Ia menilai, Undang-undang pemekaran penyebab jumlah penduduk fiktif di Papua.

    “Pemekaran ini yang menjadi masalah di Papua. Daerah yang dimekarkan selalu di terima pemerintah pusat. Daerah yang dimekarkan itu kemudian menjadi daerah imigran yang membuat masyarakat asli tersisih,” ujarnya.

    Sementara Ketua Fraksi Golongan Karya (Golkar) DPR Papua, Ignasius W Mimin mengatakan, tanpa dijelaskan pun, pemerintah Swiss pasti tahu apa yang terjadi di Papua. Termasuk pelanggaran HAM yang terjadi sejak puluhan tahun lalu hingga kini.

    “Mengenai Otsus, kami di DPR Papua juga sepakat Otsus gagal. Semoga saja Otsus Plus yang kini digagas Pemprov Papua bisa menjawab keinginan masyarakat. Tapi untuk pelanggaran HAM, kami mau itu diungkap. Kalau dialog Papua dengan Pemerintah RI, tentu akan terus diupayakan,”

    kata Ignasius Mimin. (Jubi/Arjuna)

  • Socratez: Referendum itu Suara Rakyat

    Socratez YomanJAYAPURA – Ketua Umum Persekutuan Gereja-Gereja Baptis (PGGB) di Tanah Papua, Socratez Yoman, kali ini membela Gubernur dan MRP. Ia mengatakan, filosofis landasan lahirnya Otonomi Khusus (Otsus) bagi rakyat Papua, itu karena isu Papua Merdeka yang diperjuangkan rakyat Papua.

    Untuk itulah, baginya apa yang disampaikan oleh Gubernur Lukas Enembe, dan Majelis Rakyat Papua (MRP) yang menyatakan jika draf Otsus plus ditolak pemerintah pusat berarti terjadi referendum bagi Papua itu merupakan suara rakyat, bukan suara pribadi Gubernur dan MRP. “Itu suara rakyat yang disampaikan Gubernur Lukas Enembe dan Ketua MRP, Timotius Murib dengan mereka, yang harus disikapi secara bijaksana oleh Pemerintah Indonesia,” ungkapnya kepada Bintang Papua via ponselnya, Jumat, (17/1).

    Sebab itu, jangan mereduksi kepentingan-kepentingan yang tidak membawa manfaat, karena pernyataan jika Otsus Plus ditolak, maka ada referendum, itu bagian dari bargaining politik antara Pemerintah Provinsi Papua dan Pemerintah Pusat, di mana ketika Otsus dinilai gagal, lahirlah UP4B dan berikutnya Otsus Plus tersebut.

    “Jadi jangan persalahkan Gubernur Lukas Enembe dan Ketua MRP Timotius Murib, sebab apa yang disampaikan itu suara rakyat selama ini. Apalagi memang benar mereka (Gubernur dan MRP) adalah kepanjangan tangan dari Pemerintah Pusat,” katanya lagi.

    Disinggung soal kemungkinan ada beberapa point yang akan ditolak oleh Pemerintah Pusat, diantaranya, point tentang pemilihan Gubernur, bupati/walikota melalui DPRP/DPRD? Namun, baginya apa yang disampaikan ke Pemerintah Pusat, yang walaupun draff UU Otsus Plus itu dirinya belum tahu, karena pihaknya belum banyak dilibatkan untuk mendiskusikannya, tetapi setidaknya Pemerintah Indonesia harus mendengar itu, jika Pemerintah Indonesia masih menginginkan Papua di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

    Namun, apabila Pemerintah Indonesia bermain-main, maka rakyat akan terus berbicara dan berjuang lebih keras lagi, karena yang namanya Papua Merdeka itu menyangkut ideologi, yang tidak bisa diselesaikan dengan kebijakan pembangunan dan kesejahteraan, tetapi harus diselesaikan dengan pendekatan ideologi.

    “Jadi saya mau tegaskan lagi, Pemerintah Indonesia dan siapapun jangan salahkan Gubernur Lukas Enembe dan MRP, karena itu suara rakyat. Gubernur Lukas Enembe dipilih oleh rakyat Papua, bukan dipilih oleh Pemerintah Pusat,” tegasnya.

    Dengan demikian, Pemerintah Pusat jangan salah menterjemahkan hal itu dan kemudian memberikan stigma yang jelek bahwa itu separatis. Itu tidak bisa dan tidak benar seperti itu, karena bukan zamannya lagi stigma separatis itu dilontarkan oleh Pemerintah Pusat.

    Lanjutnya, Pemerintah Pusat harus membuka ruang yang lebih luas untuk menyelesaikan persoalan Papua, walaupun rancangan UU Otsus Plus disahkan, dan itu berarti masalah Papua Merdeka sudah selesai. Itu belum, sebab UU Otsus Plus bukan sebuah solusi untuk tuntaskan masalah Papua. Dan di sini Solusi menyelesaikan masalah Papua, hanya melalui dialog yang benar dan jujur yang melibatkan semua komponen masyarakat, yaitu TPN/OPM, pemimpin-pemimpin yang ada di Papua, terutama orang asli Papua yang baik di Tanah Papua maupun di luar negeri.

    “Ini harus duduk bersama dialog, baru masalah Papua bisa selesai. Draff UU Otsus Plus itu bukan solusi, namun apa yang disampaikan Gubernur Lukas Enembe itu harus diseriusi oleh Pemerintah Pusat. Serius dan sungguh-sungguh, jangan bersandiwara dan mempermainkan martabat rakyat Papua,”

    pungkasnya.(nls/don/l03)

    Sabtu, 18 Januari 2014 09:27, BinPa

    Enhanced by Zemanta
  • Markus Haluk : OPM Rampas Senjata, Tunjukan Eksistensi

    Markus Haluk (Ist)

    Jayapura,7/1(Jubi)– Setelah Bupati Puncak Jaya mengatakan 100 anggota Goliat Tabuni menyerah, TPN-OPM menunjukkan eksistensinya. TPN-OPM menyerang dan merampas 8 pucuk senjata dan hari ini menembak mati satu tukang ojek bernama M.Halil di kampung Wuyuneri, Distrik Mulia.

    “Mereka memperlihatkan eksistensi ketika Henok ibo mengatakan 100 OPM menyerah,”

    tutur Markus Haluk, sekjen Asosiasi Mahasiswa Pegunungan Tegah Papua Se-Indonesi (AMPTPI) kepada tabloidjubi.com di Abepura, Kota Jayapura, Papua Selasa(7/1).

    Beberapa waktu lalu bupati Puncak Jaya mengatakan 100 anggoya Goliat Tabuni menyerah. Mereka mengikuti pembinaan anggota Satpol PP. Pernyataan itu tidak terbukti oleh aksi-aksi yang sedang berlangsung.

    Menurut Markus, OPM malah marah atas pernyataan itu hingga melahirkan korban jiwa. Karena itu, Henok Ibo harus  minta maaf.

    “Dia harus minta maaf kepada Goliat Tabuni, dan rakyat Papua,”

    tegasnya. Karena pernyataan ini lanjut dia hanya strategi dari Henok Ibo untuk meminta pemekaran Tingginambut.

    Wilem Rumasep, PLH Ketua Dewan adat juga mendesak Henok Ibo harus bertanggungjawab atas korban jiwa itu.

    “Saya kira pihak yang mengeluarkan pernyataan yang mengecewakan itu harus bertanggungjawab,”

    tegasnya.

    OPM tidak akan pernah menyerah segampang melontarkan pernyataan. Persoalan Papua Merdeka itu soal perjuangan harga diri bangsa dan bukan makan minum. Kalau pemerintah menempuh jalan kekerasan untuk mengahiri perjuangan OPM tidak akan pernah berhasil.Korban jiwa akan berjatuhan.

    Karena itu, menurut Markus, pemerintah Indonesia harus tempuh jalan damai.

    “Salah satunya dialog yang harus kita tempuh tetapi kalau pemerintah tidak mau, jalan orang Papua menuju Papua merdeka makin terbuka,”

    tuturnya (Jubi/Mawel)

     January 7, 2014 at 23:19:08 WP,TJ

  • Dialog Jakarta Papua Anti Referendum

    rakyat papua di australia juga tuntut referendum_thumb_medium300_225 JUBI — Atas permintaan beberapa pihak untuk menggelar dialog antara Jakarta dan Papua, Lamadi de Lamato pengamat politik di Papua mengatakan, bisa terjadi jika pihak Papua menghindari adanya isu referendum.

    “Jakarta sepertinya sangat anti dengan referendum,” kata Lamato, Sabtu (14/8).

    Dia menjelaskan Dialog antara Jakarta dan Papua mamang harus ada untuk menghindari permintaan referendum. Lanjutnya, dialog Jakarta Papua yang pastinya, hanya untuk menemukan suatu solusi antara Jakarta dan Papua. Bukan untuk saling membuka aib masing-masing pihak.

    ”Kalau dari awalnya pihak Papua kemukakan dialog untuk minta merdeka pasti akan sulit untuk diterima Jakarta,” ujarnya.

    Dirinya menilai dialog Jakarta Papua memang merupakan solusi sementara pada saat ini untuk bisa mensejahterakan rakyat Papua.

    "Keinginan dialog telah menjadi buah diskusi antara kalangan aklifis, Lembaga Swadaya Masyarakat dan juga pihak gereja di Papua. Namun hingga saat ini masih dalam proses dan wacana karena masih ada saling kontra pendapat," pungkasnya. (Yarid AP)

  • Papua Road Map,Ungkap 4 Isu Utama Peta Konflik

    Dialog Papua-Jakarta Selesaikan Konflik Secara Damai

    MANOKWARI-LP3BH (Lembanga Penelitian Pengkajian dan Pengembangan Batuan Hukum) Manokwari sebagai lembaga advokasi masyarakat kembali menyerukan agar segera digelar dialog Papua-Jakarta sebagai jalan keluar penyelesaian masalah.

    ‘’Telah berkali – kali menyampaikan pandangan dan pikirannya tentang betapa dialog Papua – Jakarta adalah suatu hal yang urgen, bersifat mendesak dan perlu segera dilaksanakan,’’  ujar Direktur LP3BH Manokwari,Yan Ch Warinussy,SH dalam siaran persnya,

    Dikatakan,sudah banyak pihak yang mengumandangkan tentang dialog Jakarta – Papua untuk menyelesaikan konflik Papua secara Damai. Hal ini mengingat bahwa telah banyak terjadi tindakan – tindakan politik yang bersifat manupalitif, rekayasa bahkan mengabaikan visi bersama tentang cara – cara demokratis, partisipatif dan bermartabat dalam menyelesaikan masalah konflik di Papua.

    Adalah Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dalam hasil penelitiannya yang berjudul Papua Road Map, Negotiating the Jast, improving the Present, and Securing the future. Dimana telah diidentifikasi adanya 4 (empat) isu utama dalam konteks peta konflik di Papua, yaitu :
    Isu Pertama, masalah marjinalisasi dan efek diskriminatif terhadap orang asli Papua akibat pembangunan ekonomi, konflik politik dan deimigrasi masal ke Papua sejak tahun 1970. Untuk menjawab masalah ini, diperlukan adanya kebijakan afirmatif relogvisi untuk pemberdayaan orang Asli Papua.

    Isu Kedua, kegagalan pembangunan terutama di bidang pendidikan, kesehatan dan pemberdayaan ekonomi rakyat. Untuk itu diperlukan paradigma baru pembangunan yang berfokus pada perbaikan pelayanan publik demi kesejahteraan orang Asli Papua di Kampung – kampung.

    Isu Ketiga, adalah adanya kontradiksi sejarah dan konstruksi identitas politik antara Papua dan Jakarta. Masalah ini hanya bisa diselesaikan dengan dialog seperti yang sudah dilakukan untuk Aceh. Isu Keempat, pertanggung jawaban atas kekerasan Negara di masa lalu terhadap warga Negara Indonesia di Papua.

    ‘’Untuk masalah ini, jalan rekonsiliasi diantara Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM) dan Pengungkapan Kebenaran adalah pilihan – pilihan untuk penegakan Hukum dan Keadilan bagi Papua, terutama korban, keluarganya, dan warga Indonesia di Papua secara umum,’’ tandasnya.
    Papua Road Map menyimpulkan bahwa keempat isu dan agenda tersebut  dapat dirancang sebagai strategi kebijakan yang saling terkait untuk penyelesaian konflik Papua secara menyeluruh dalam jangka panjang.  ‘’Pertanyaannya sekarang ialah Siapakah yang harus atau memiliki tanggung jawab dalam merancang strategi kebijakan tersebut, Pemerintah Indonesia, atau orang asli Papua kah, atau LIPI kah, atau pihak lain yang lebih netral,’’ ujarnya dengan nada tanya.

    Menurut LP3BH,tanggung jawab utama tetap ada di pihak yang terlibat konflik yaitu pemerintah Indonesia dan orang asli Papua sendiri. Kedua belah pihak mempunyai tanggung jawab yang sama untuk menyusun dan merancang strategi dalam mendorong terlaksananya dialog damai

  • Pendekatan Dialog Kasus Makar

    Papua ternyata masih menyimpan bara api. Kemunculannya dari berbagai aspirasi dan sikap yang dilakukan terhadap aspirasi yang timbul. Entah bersinggungan dengan “sebutan makar” atau sekedar menegakkan demokrasi, aspirasi sering bermunculan di tengah-tengah kita. Mulai dari penegakan HAM, hukum yang berkeadilan, sampai bunyi “merdeka.” Perlu kehati-hatian menyikapi aspirasi ini.

    Tak selamanya aspirasi itu jahat. Tak selalu juga aspirasi itu bisa memperbaiki semuanya. Perlu memilah, mana aspirasi yang menjadi ungkapan kekecewaan yang dalam, mana pula yang hanya sekedar mengikuti tren. Perlu juga memilih, mana aspirasi yang mewakili kebanyakan orang, mana pula aspirasi yang hanya mewakili kelompok. Jika sudah memilah dan memilih, pendekatan aspirasi bisa dilakukan.

    Aspirasi adalah bagian dari bentuk demokrasi. Ia merupakan keinginan yang tersimpan di benak kebanyakan orang, atau di benak sebagian orang yang berkelompok.

    Aspirasi memiliki saluran yang bermacam-macam. Penggalangan massa untuk melakukan demo adalah salah satu penyaluran aspirasi. Aksi yang dilakukan Buchtar Tabuni adalah salah satu bentuk penyaluran aspirasi. Sayangnya, pendekatan sikap terhadap aspirasi ini ditempeli dengan “aksi makar.”

    Memang, makar adalah bentuk yang tidak kita inginkan sebagai orang Indonesia. Karena tidak diinginkan, lantas pendekatannya menggunakan hukum. Cara ini bisa ampuh, bisa juga malah jadi bumerang yang menuai celaka.

    Ampuhnya: bila pendekatannya memang mampu meredam keinginan banyak orang untuk tidak makar. Celakanya: bila ternyata dihukum satu malah tumbuh seribu orang yang berteriak “makar.”

    Aksi yang dilakukan pendukung Buchtar Tabuni dengan mendatangi Pengadilan Tinggi Papua menjadi sinyal bahwa pendekatan “hukum makar” untuk kasus Buchtar Tabuni tidak ampuh. Malah justru diprotes. Memang, kalau sudah pendekatan hukum, protes tidak akan mempan. Hanya bisa melalui pembelaan kuasa hukum di depan hakim.

    Sebenarnya ada cara lain yang bisa ditempuh. Yakni: pendekatan dialog. Aspirasi dibalas dengan aspirasi. Bila dilakukan dengan cara ini: bukan perangkat hukum yang bergerak. Polisi hanya bisa membantu. Sementara yang garis depan adalah perangkat pemerintah. Bisa wakil rakyat atau juga dinas pemerintah terkait.

    Sudah saatnya aspirasi makar didekati dengan cara-cara dialog. (***)

  • Politik Dialogue: Untuk Apa dan Siapa?

    Isu dan tuntutan Dialogue bisa disorot dari sebuah proses politik, ataupun dialogue itu sendiri sebagai sebuah politik, tergantung siapa yang mau ber-dialogue dan apa yang mau di-dialogue-kan. Khususnya setahun terakhir kita dihibur habis-habisan dengan bola “dialogue” yang digulirkan West Papua National Coalition for Liberation (WPNCL) sebagai hasil dari pertemuan mereka di Republik Vanuatu.

    Dalam tuntutan dialogue WPNCL dengan NKRI dimasukkan berbagai macam bingkisan. Tiga diantaranya, janji-jani pembelian senjata di Papua New Guiena, di Acheh dan di tempat lainnya di Asia, “Kalau Indonesia tolak Dialogue, maka orang Papua harus perang, dan untuk itu kita siapkan senjata, dan ketiga, bahwa Maret tanggal 10 adalah akhir dari peluang bagi West Papua untuk merdeka, maka kalau kita tidak bergerak secepatnya sekarang, maka kita akan ketinggalan, dan West Papua tidak akan merdeka selamanya.

    Mereka mengkleim mewakili mayoritas organisasi perjuangan berbasis politik, jenis kelamin, suku dan usia di West Papua dan menyatakan semua perwakilan telah hadir dan mendukung pendirian WPNCL, dan WPNCL diberi mandat untuk mendesak NKRI ber-dialogue secara damai untuk menyelesaikan sengketa politik NKRI-West Papua. Kleim ini dibantah oleh dua pemimpin yang sekarang memperjuangkan kemerdekaan West Papua. Panglima Tertinggi Tentara Revolusi West Papua lewat suratnya yang ditujukan kepada salah satu tokoh WPNCL menunjukkan sejumlah hal yang telah keliru dan tidak benar sama sekali yang dikleim dan disiarkan oleh WPNCL dalam media NKRI. Sang Panglima Tertinggi (TRWP) Genral TRWP Mathias Wenda juga mengigatkan agar pemalsuan dan penipaun publik seperti itu tidaklah bijak, tidak mendidik dan mengacaukan. Senada dengan itu, Benny Wenda, Sekretaris-Jenderal DeMMAK (Dewan Musyawarak Masyarakat Koteka) sendiri per telepon menyangkal DeMMAK terlibat dalam pertemuan dimaksud dan selanjutnya menuduh pemain di WPNCL sedang mengaburkan perjuangan murni bangsa Papua.

    Ditambah lagi, setelah SPMNews menghubungi Sekretaris-Jenderal TRWP, Amunggut Tabi per email menyatakan, “Politik Dialogue sudah tidak trendy lagi semenjak penculikan, pembunuhan dan kematian Alm. Dortheys Hiyo Eluay.” Tabi melanjutkan, “Almarhum yang waktu itu menuntut dialogue, dan selama tiga tahun NKRI tidak pernah menanggapi, apalagi menjawab “tidak” kepadanya. Malahan jawaban yang NKRI berikan adalah nyawanya sendiri dicabut. Jadi, kalau ada orang Papua lagi yang minta dialogue sekarang, berarti dia minta nyawa siapa lagi yang dicabut?” tanya Tabi. Tambahnya lagi, “Pembunuhan Kwalik secara brutal dan tidak manusiawi terjadi sementara WPNCL hangat-hangatnya menuntut dialgoue lagi, jadi kita semua jadi takut, kalau mereka (red-WPNCL) meneruskan minta dialogue lagi, berarti mereka kelihatan tidak puas dengan kematian Jenderal Kwalik, mereka mau Jenderal lain mati juga, begitu ka?”

    Para tokoh pejuang Papua Merdeka saling menuding dan saling menyalahkan. Akan tetapi masyarakat West Papua sebagai pihak yang bersangkutan yang mau merdeka harus membaca politik secara jeli dan bertanya kepada diri sendiri, “Apakah dialogue yang diusung pejuang Papua Merdeka merupakan sebuah politik belaka, ataukah merupakan sebuah tuntutan untuk proses politik.” Karena keduanya berbeda, malahan bertolak-belakang. Yang satunya sama dengan menerima dan mendukung Otsus sepenuhnya, dan yang lainnya bertentangan dengannya.

    Sekarang bukan waktunya lagi bagi kita untuk ditipu oleh elit politik yang tidak jelas orientasi dan strategi politiknya. Kita sepatutnya sudah mahir ditipu sekian puluh tahun lamanya. Teman-teman kita dari Timor Leste yang mulai berjuang setelah 10 tahun kita berjuang duluan saja sudah tahu bagaimana membaca politik yang dimainkan para elit dan memposisikan diri mereka dengan baik, sehingga mereka sudah merdeka saat ini. Orang Papua memang mudah ditipu, dan mudah menipu. Siapa saja bisa menipu, tanpa harus menyusun strategi untuk menipu. Kita disuru kumpul uang untuk membeli senjata, kita jual babi, jual semuanya dan kita serahkan uang untuk beli senjata. Padahal urusan beli senjata bukanlah semua orang, tetapi hanya Tentara yang berjuang untuk kemerdekaan kita. Kita disuruh siapkan lapangan dan helipad di mana-mana di dataran New Guinea, juga kita terus bangun lapangan dan helipad di mana-mana. Orang bisa pikir kita bersihkan lahan untuk berkebun atau membangun rumah, padahal kita siapkan tempat pendropan senjata hasil sumbangan kita. Kita juga mudah tertipu dengan tanggal-tanggal palsu. Dulu kita dibilang tahun 2000 adalah akhir dari riwayat perjuangan Papua Merdeka. Ditunda lagi setahun, ditunda lagi setahun, sampai yang terakhir katanya 10 Maret 2010 adalah terakhir dari yang terakhir. Besok-besok akan ada terakhir dari yang terakhir dari yang terakhir dengan janji tanggal, bulan dan tahun. Orang Papua terus saja percaya, terus saya percaya, dan terus-terusan tertipu, dan lagi-lagi tidak pernah kenyang dengan ‘kena tipu.’

    Kalau begini cara kita berjuang, maka, “Kapan kita dewasa berpolitik? Kapan kita naik kelas dari politik yang sangat amatir menjadi politik yang ‘agak’ profesional? Bangsa mana yang harus datang mengajarkan politik yang sebenarnya untuk memperjuangkan kemerdekaan sebuah bangsa?”

    Isu dialogue sudah didengungkan di telinga kita semua. Sebenarnya sih, ini lagu lama, tetapi rupanya sih, orang Papua sengaja mau menganggapnya lagu pop baru versi Papua Merdeka yang harus didengarkan dan dibayar dengan harga berapapun.

    Dengarkanlah dan bayarlah, sampai berapapun nyawamu. Karena perjuangan untuk kemerdekaan bangsa-bangsa di muka bumi tidak akan pernah terjadi hanya dengan BERBICARA dengan sang penjajah.

    Masalah sekarang BUKAN membicarakan apa yang salah dalam sejarah integrasi West Papua ke dalam NKRI, karena masalahnya sudah diketahui dan sudah jelas letak kesalahannya. Kita tidak perlu menjelaskan siapa yang salah dan siapa yang benar dalam pelaksanaan Pepera 1969. Kita tidak perlu menuntut dialogue dicampur menuntut Pepera ulang. Dengan kata lain, sangat tidak pandai kalau kita meminta sesuatu kepada NKRI padahal pada waktu bersamaan kita tahu persis NKRI tidak akan berikan. Kita berdosa kepada diri dan bangsa ini kalau kita memperjuangkan sesuatu yang membawa korban nyawa bagi para pemimpin Papua Merdeka.

    Papua belum bisa merdeka bukan karena NKRI tidak tahu kalau dia buat salah dalam Pepera 1969. Bukan juga karena Barack Obama dan Ban Ki Moon tidak tahu persoalan ini. Bukan karena Inggris tidak tahu kasus pelanggaran HAM menjelang, selama dan seusai Pepera 1969. Semua orang tahu.

    Yang tersisah adalah jawaban dari orang Papua, “Mau merdeka atau tidak?” Kalau jawabannya “Mau merdeka,” maka kita harus merubah mentalitas politik, wawasan politik, dan belajar dari pengalaman politik selama ini. Kita harus berjuang secara modern, profesional dan bertanggung-jawab. Tidak dengan cara amatir dan tidak dengan cara meminta-minta.

    SPMNews meyakini, suatu waktu kelak, Papua Merdeka menjadi sebuah fakta, bukan mimpi siang bolong. Dan waktu itu akan terjadi, hanya setelah orang Papua bersikap jelas dan jujur terhadap dirinya, mengakui kelemahannya, meninggalkannya dan mau belajar berjuang secara modern, profesional dan bertanggung-jawab. Bangsa-bangsa lain di dunia sedang menunggu dengan satu pertanyaan, “Kapan waktu itu tiba?”

  • Pangdam: Jangan Terpengaruh Isu Dialog

    SORONG-Panglima Kodam (Pangdam) XVII/Cenderawasih Mayjen TNI Hotma Marbun minta agar masyarakat tidak terpengaruh dengan isu dialog Jakarta-Papua yang bakal memecah belah persatuan bangsa.

    Dialog Jakarta-Papua yang diisukan akan diikuti dengan tuntutan untuk lepas dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) bukanlah tujuan yang diharapkan dari dialog tersebut.

Are you sure want to unlock this post?
Unlock left : 0
Are you sure want to cancel subscription?