Category: Demo & Aksi

Berbagai aksi dan demonstrasi dalam rangka penegakkan HAM, keadilan, kebenaran dan tuntutan Papua Merdeka

  • 2 Orang Pendemo Jadi Tersangka Karena Membawa Alat Tajam

    JAYAPURA-Dua orang yang diamankan bersama 30 orang massa Komite Nasional Papua Barat (KNPB) lainnya pada saat melakukan aksi demo Senin (22/3) lalu itu akhirnya ditetapkan sebagai tersangka.

    Dua orang menjadi tersangka itu masing-masing berinisial LP (32) warga belakang Kantor PTUN Waena dan MK warga BTN Sereh Sentani.

    “Kami hanya melakukan penahanan terhadap 2 warga, karena mereka kedapatan membawa senjata tajam,” kata Kapolresta Jayapura AKBP H. Imam Setiawan,SIK didampingi Kasat Reskrim AKP IGG Era Adhinata,SIK saat dikonfirmasi Cenderawasih Pos, Selasa (23/3) kemarin.
    Keduanya dijerat dengan pasal 2 ayat 1 Undang-Undang No 12 Tahun 1951 yakni membawa, memiliki dan menyimpan dan menguasai senjata tajam tanpa izin dengan ancaman hukuman penjara maksimal 10 tahun.

    Kapolresta mengungkapkan, dari dua tersangka itu salah satunya merupakan peserta aksi unjuk rasa, sedangkan seorang diantaranya merupakan warga yang kedapatan membawa sajam saat dilakukan razia.

    Sementara 30 orang lainnya itu sudah dilepaskan kembali pada malam harinya. Namun, sebelum mereka dilepaskan, pihaknya sempat memberikan pengarahan tentang Undang-Undang No 9 Tahun 2008 tentang penyampaian pendapat di muka umum yang disampaikan langsung oleh Kabag Ops Polresta Jayapura, AKP Dominggus Rumaropen, S.Sos, sehingga diharapkan ke depan tidak terjadi lagi unjuk rasa tanpa mengantongi izin dari kepolisian.

    “Kami ingin sampaikan agar prosedur dalam aksi ini dipahami oleh masyarakat yang akan menyampaikan aspirasi, karena dalam aksi itu harus ada pemberitahuan kepada aparat kepolisian, kemudian dikoordinasikan, siapa koordinatornya, berapa jumlah massanya, alat yang digunakan, tempatnya dimana dan lainnya, selanjutnya aparat kepolisian mengeluarkan STTP (Surat Tanda Terima Pemberitahuan),” jelasnya.

    Hal ini juga, ujar Kapolresta, pada prinsipnya untuk mengamankan kegiatan aksi penyampaian pendapat di muka umum tersebut, sehingga kegiatan berjalan dengan lancar. “Kami pada prinsipnya tidak menghalang-halangi masyarakat menyampaikan aspirasi, namun harus sesuai dengan prosedur, karena jika sesuai prosedur tentu kami akan melakukan pengamanan,” jelasnya.
    Kapolresta menegaskan, jika memang tidak sesuai dengan aturan, maka pihaknya tidak segan-segan untuk melakukan tindakan tegas terhadap kelompok warga yang melakukan demo, karena pada dasarnya Undang-undang dibuat untuk ketertiban dan keamanan masyarakat.

    Untuk diketahui, tersangka LP diamankan di Terminal Ekspo Waena, Senin (22/3) pukul 09.00 WIT, karena kedapatan membawa 1 buah pisau stainless US Army dengan gagang warna hitam namun tanpa sarung, kemudian tersangka MK diamankan polisi saat berada di Terminal Ekspo Waena pukul 11.30 WIT, karena kedapatan membawa 1 pisau badik dengan gagang kayu tanpa sarung.
    Sementara itu, Ketua Solidaritas Ham Papua, Usama Usman Yogobi memberikan apresiasi terhadap keputusan Kapolresta Jayapura yang telah membebaskan 30 pendemo yang diamankan dari di berbagai lokasi Senin (22/3).

    Atas kejadian tersebut, Usama meminta agar Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi, DPRP, MRP lebih membuka ruang demokrasi, kebebasan warga sipil untuk menyuarakan pendapatnya “Jangan menilai apa yang mereka lakukan itu selalu dari sisi negatif,” ungkapnya. (bat/cr-158/fud)

  • Polisi Bubarkan Massa KNBP

    Massa pendemo KNPB diamankan pihak kepolisian, tiba di Mapolres sebelum dilakukan pemeriksaan terhadap mereka terkebih dahulu dilakukan pendataan.

    Massa pendemo KNPB diamankan pihak kepolisian, tiba di Mapolres sebelum dilakukan pemeriksaan terhadap mereka terkebih dahulu dilakukan pendataan.
    JAYAPURA [PAPOS]

  • Warga Minta Obama Datang ke Papua

    JAKARTA [PAPOS]- Perwakilan masyarakat Papua menyambut positif rencana kunjungan Presiden Amerika Serikat Barack Obama ke Indonesia akhir Maret 2010. Pesan itu mereka sampaikan lewat demonstrasi di kantor Kedutaan Besar Amerika Serikat (Jalan Medan Merdeka Selatan) dan Istana Merdeka (Jalan Medan Merdeka Utara), Jakarta Pusat, Rabu [17/3].

  • Aspirasi Tuntut Merdeka Kembali Disuarakan

    JAYAPURA – Ratusan massa yang menamakan dirinya Solidaritas HAM, Hukum dan Demokrasi Papua kembali menyuarakan aspirasi Papua Merdeka lewat aksi demo damai yang dilakukan di DPRP, Senin (22/2) kemarin.

    Aksi demo yang berlangsung tertib itu, awalnya massa berkumpul dari Perunas III Waena sekitar pukul 09.00 Wit.

    Massa dengan berjalan kaki menuju Ekspo Waena. Sesampainya di depan Ekspo Waena sekitar pukul 09.45 WIT kemudian massa yang dari Perumnas III bergabung dengan massa yang telah menunggu di Ekpo Waena. Disana mereka kemudian beberapa orasi.

    Dalam orasinya, para pendemo beberapa kali meneriakan ‘Papua Merdeka’. Mereka juga mengajak rakyat Papua untuk memperjuangkan hak-hak rakyat Papua yang selama ini tertindas. Kemudian setelah massa semakin banyak selanjutnya massa hendak berjalan kaki kearah Abepura.

    Setelah berkoordinasi dengan Pihak Polsekta Abepura yang dipimpin langsung oleh Polsekta Abepura AKP Yafet Karafir akhirnya pihak kepolisian mengijinkan para pendemo untuk melakukan long much.

    Para pendemo dengan berjalan kaki sambil bernyanyi dan terus meneriakan ‘Papua Merdeka’. Selain itu, para pendemo menggelar spanduk yang isinya ; Pemerintah segera tarik pasukan organic dan non organic , Stop militerisme di Papua. Negara bertanggung jawab atas seluruh korban pelanggaran HAM di Papua.

    Selain spanduk para pendemo juga membawa beberapa pamflet yang diantaranya tertulis, Papua tanah damai hanyalah hayalan. Hentikan kekerasan terhadap tahanan Napol Tapol, bebaskan tahanan Tapol dan Napol di Papua. Stop militerisme di Papua, stop pembunuhan di luar proses hukum, hentikan penambahan kodam di Tanah Papua, hentikan bisnis di Tanah Papua, rakyat Papua lawan penindasan, dan pamphlet-pamflet lainnya.

    Sesampainya di Padang Bulan ratusan massa itu dihentikan aksinya oleh pihak kepolisian karena aksi itu cukup mengganggu arus lalu lintas. Setelah berkoordinasi dengan aparat, kemudian disediakan lima buah truk dan satu buah taxi untuk mengangkut mereka. Ratusan pendemo kemudian menuju ke Abepura.

    Sesampainya di Abepura tepatnya di depan Kantor Pos Abepura mobil yang dikendarai pendemo langsung berhenti dan para pendemo kembali berkoordinasi dengan pihak kepolisian akan melanjutkan aksinya tersebut ke DPRP.

    Pengawalan ketat dari aparat gabungan Dalmas Mapolresta Jayapura dan Brimob sebanyak 1 kompi plus ditambah 1 unit kendaraan Water Canon telah disiagakan di Taman Imbi guna mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan. ”Dalam mengantisipasi hal-hal yang tidak kita inginkan dalam aksi demo ini, kami telah menyiagakan pasukan untuk siap siaga,”ungkap Kapolresta Jayapura, AKBP. H. Imam Setiawan, SIK kepada wartawan disela-sela aksi demo tersebut.

    Massa yang tiba di DPRP dengan berjalan kaki sambil membawa spanduk dan pamflet langsung masuk kemudian meneriakkan Papua Merdeka dan mengelilingi bundaran taman air yang ada di DPRP. Setelah tiba kemudian massa langsung membentangkan spanduk lain yang bertuliskan ”Pemerintah segera bebaskan Tapol/Napol tanpa syarat kemudian
    Pemerintah RI segera membuka ruang HAM dan Demokrasi bagi rakyat Papua serta meminta supaya pemerintah segera menarik pasukan organik maupun non organik.

    Sambil melakukan orasi secara bergantian dari masing-masing daerah dan kota. Dalam orasi-orasinya, Koordinator aksi, Usama Yogobi meminta supaya semua tahanan politik (Tapol) dan narapidana politik (Napol) dibebaskan tanpa syarat kemudian meminta kepada aparat kepolisian mengungkap kasus penembakan Opinus Tabuni di Wamena yang sampai sekarang tidak jelas.

    Massa sempat menunggu lama ada pihak DPRP yang turun menemui namun menurut informasi bahwa hampir seluruhnya anggota DPRP sedang tidak ditempat karena sedang mengikuti Raker Bupati Se-Pegunungan Tengah di Wamena. Sambil menunggu, orasi terus berlanjut dan akhirnya Wakil Ketua II DPRP, Komarudin Watubun, SH, MH bersama Wakil Ketua Komisi A, Ir. Weynand Watori, anggota Komisi A, Amal Saleh, Wakil Ketua Komisi B, H. Zainuddin Sawiyah, SH dan anggota Komisi E, H. Maddu Mallu, SE turun untuk menemui mereka.

    Namun sangat disayangkan meskipun pihak DPRP sudah menemui mereka tampaknya massa menginginkan Ketua DPRP, Drs. John Ibo, MM yang datang menemui namun berkat proses negosiasi dan pemahaman bahwa Ketua DPRP sedang tidak ditempat maka Wakil Ketua II yang menerima. Alasan itu akhirnya diterima massa namun tidak serta merta langsung memberikan semua pernyataan sikapnya sehingga dialog secara singkat pun terjadi. Massa meminta supaya DPRP bekerja untuk memperjuangkan pembebasan sejumlah tapol dan napol lewat pembentukan tim.

    ”Aspirasi ini tetap akan kami tindaklanjuti dan akan menjadi agenda sehingga untuk memutuskan permintaan itu kami tidak bisa karena harus lewat mekanisme. Kemudian menyangkut pembentukan tim itu akan ditinjau kembali karena akan lebih koordinasi dengan pimpinan DPRP sedangkan untuk pembebasan tapol dan napol, hal itu akan dikoordinasikan kepada Komisi A yang membidanginya sehingga perlu dibahas lebih jauh,”jelas Komarudin. (dni/nal/luc) (scorpions)

  • Long Mars Pendemo Digagalkan Aparat Keamanan

    DEMO : Massa Solidaritas HAM dan Demokrasi Rakyat Sipil Papua saat melakukan unjuk rasa terkait masalah
    pelanggaran HAM yang terjadi di Papua. Berlangsung di gedung DPR Papua, Senin (22/2) kemarin[ft:loi/papos]

    JAYAPURA [PAPOS] – Ratusan masa yang tergabung dalam Solidaritas HAM dan Demokrasi Rakyat Sipil Papua melakukan unjuk rasa terkait masalah pelanggaran HAM yang terjadi di Papua selama ini.

    Masa yang dipimpin Usama Yogobe berecana melakukan aksi demo di Gedung DPR Papua, sebelum menuju ke DPRP masa
    berkumpul di Depan Ekspo Waena, Perumnas III Waena dan di depan Kantor Pos Abepura dikawal Satgas Penjaga Tanah
    Papua (Petapa), Massa dari Perumnas III dan Expo Waena kumpul lalu melakukan long mars menuju Abepura untuk bergabung dengan massa di Abepura dan sama-sama menuju ke DPRP menyampaikan aspirasi.

    Namun masa tiba di Padang bulan menuju Abepura sudah dihadang aparat keamanan lantara aksi long mars tersebut membuat arus lalulintas macet.

    Aparat keamanan yang dipimpin Kapolsekta Abepura AKP Yafet Karafir langsung mengarakan masa untuk naik ke truk dan menuju ke DPRP di Jayapura agar arus lalulintas tidak terganggu.

    Masa kemudian naik truk, sesampai di Abepura masa yang berkumpul di depan Kantor Pos Abepura, langsung naik ke truk dan masa dibawa menuju kota Jayapura dengan truk, diatas truk massa sambil membentangkan berbagai spanduk dan pamplet langsung menuju ke DPRP di pusat kota.

    Menurut Koordinator aksi demo, Usama Yogobe kepada wartawan mengatakan, tujuan aksi tersebut ke DPRP adalah menyampaikan tuntutan tentang kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Papua dan yang tidak terselesaikan.

    Menurut, Usama Yogobe Inti dari tuntutan yang disampaikan ke DPRP yakni pemerintah harus bertanggungjawab terhadap
    kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Papua, Mendesak Pemerintah RI untuk membuka ruang HAM dan Demokrasi bagi rakyat sipil Papua, mendesak DPRP segera membentuk komisi hukum dan HAM karena kasus pelanggaran HAM di Papua menuju genoside dan meminta pemerintah segera menarik pasukan organik dan non organik dari Papua, mendesak pemerintah RI dan Internasional untuk membawa kasus pelanggaran HAM di Papua ke Pengadilan Internasional.

    Tiba di gedung DPR Papua, massa yang datang dengan truk itu melakukan orasi-orasi yang disampaikan Ketua koordinator Usama didepan anggota DPRP terkait dengan kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Tanah Papua.

    Mereka menuntut pemerintah Indonesia dan negera-negara asing bertanggungjawab masalah kemanusiaan (Genoside) di Papua.

    Selain itu pendemo juga menuntut agar pemerintah provinsi Papua, DPRP dan Kakanwil Hukum dan HAM Papua bertanggungjawab atas biaya kesehatan Filep Karma karena status tahanan negara (Tapol) dan menuntut DPRP segera melakukan sidang istimewa untuk penutupan PT Freepot Indonesia.

    Wakil II DPRP Komarudn Watubun SH.MH yang menerima aspirasi yang disampaikan para pendemo, mengatakan semua aspirasi yang disampaikan akan diterima dengan baik, namun belum bisa dipastikan untuk memberikan jawaban atas tuntutan yang disampaikan, karena perlu dibicarakan dalam kalangan dewan.

    Sementara itu Wakil Ketua Komisi A, Ir. Weynand Watory mengatakan pihaknya siap mempasilitasi pertemuan dengan perwakilan pendemo pada tanggal 15 Maret 2010 mendatang.

    Weynand juga mengatakan kalau semua persoalan yang terjadi di Tanah Papua telah disampaikan kepada dewan akan disampaikan ke pimpinan dewan, serta akan melakukan pertemuan-pertemuan dengan berbagai pihak untuk membicarakan masalah yang disampaikan sesuai mekanisme yang ada di dewan.

  • Warga Nabire Palang Lapangan Terbang

    Jayapura, (tvOne)

    Ratusan warga masyrakat Kabupaten Nabire, Provinsi Papua sejak Pkl.06.00 WIT memalang lapangan terbang (Lapter) Nabire dan hingga kini mereka masih menduduki lapangan terbang itu.

    Dari Jayapura, Rabu, ANTARA melaporkan, masyarakat Nabire yang dipimpin salah seorang tokoh masyarakat, Jhon Gobai menduduki lapangan terbang itu dengan tujuan agar penerbangan Helikopter menuju wilayah penambangan tradisional di Kabupaten Paniai dibatalkan.

    “Kami memimpin warga Nabire untuk menduduki lapangan terbang ini dalam rangka mengamankan instruksi Bupati Paniai Drs Naftali Yogi yang isinya melarang helikopter mengangkut peralatan berat seperti excavator ke wilayah penambangan tradisional di Kabupaten Paniai,” kata John Gobay. Biasanya, semua peralatan berat yang dibawa ke lokasi penambangan tradisional di wilayah Paniai harus melalui lapangan terbang Nabire.

    Dia mengatakan, pada 27 Agustus 2009, Bupati Paniai mengeluarkan instruksi Bupati yang isinya melarang peralatan berat memasuki wilayah pendulangan emas. Untuk sementara wilayah penambangan tradisional itu ditutup namun pada hari ini seorang pengusaha didukung oknum-oknum tertentu berupaya menerbangkan helikopter mengangkut satu unit excavator ke lokasi pendulangan emas di wilayah Paniai.

    Setelah masyarakat mengetahui rencana tersebut, pihaknya langsung memimpin ratusan warga setempat menduduki dan memalang lapangan terbang ini sehingga helikopter yang rencananya terbang pada pagi ini membawa peralatan berat excavator batal terbang.

    Dia mengakui, sampai saat ini ratusan warga Nabire masih menduduki lapangan terbang Nabire sampai ada kepastian dari pihak keamanan yang menyatakan bahwa helikopter ini tidak diterbangkan ke lokasi pendulangan emas.

    “Kami tidak akan meninggalkan lapangan terbang ini sampai mendapatkan kepastian dari pihak keamanan bahwa helikopter di lapangan terbang ini tidak jadi diterbangkan dan mengusut tuntas permasalahan yang meresahkan masyarakat Nabire dan Paniai,” kata Jhon Gobai. (Ant)

  • Makar dan Penghasutan, Memupus Harapan Keadilan

    Tuntutan Pembebasan Buchtar dan Sebby.Pasal-pasal makar, warisan kolonial. (JUBI/Foto:Yunus Paelo)
    Tuntutan Pembebasan Buchtar dan Sebby.Pasal-pasal makar, warisan kolonial. (JUBI/Foto:Yunus Paelo)

    JUBI — Puluhan tahun Indonesia merdeka, namun pengadilan masih menerapkan pasal-pasal makar warisan kolonial Belanda. Di Papua pasal-pasal itu digunakan memukul para aktivis prodemokrasi, seakan Papua koloni Indonesia.

    Dalam situsnya, Aliansi Demokrasi Papua (AlDP) menyebutkan, pasal-pasal makar dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) muncul pada abad ke 19, ketika menteri kehakiman Belanda menolak mentah usul penggunaan makar sebagai peraturan terhadap seluruh masyarakat.

    Dia menyatakan, “de ondergeteekende zou deze bepalingen, welke op zichzelf te verklaren zijn door de behoefte van een koloniale samenleving, zeker niet voor het rijk in Europa willen overnemen,” (peraturan di bawah ini, dengan sendirinya dinyatakan hanya berlaku bagi kebutuhan masyarakat kolonial, jelas tidak diperuntukkan bagi negara-negara Eropa) (Prof MR. J.M.J. schepper,het gevaar voor de vrijheid van godsdienstige belijdenis te duchten van het in artikel 156 No. 1 SW. omschreven haatzaaidelict”, T. 143, hal. 581-582).
    Pasal-pasal makar KUHP diadopsi pemerintah kolonial Belanda dari pasal 124a British Indian Penal Code tahun 1915. Walaupun, dinyatakan sudah tidak berlaku lagi oleh Indian Supreme Court dan East Punjab High Court, karena dinilai bertentangan dengan konstitusi India yang mendukung kebebasan memiliki dan menyatakan pendapat.

    Di Belanda sendiri ketentuan dalam pasal-pasal makar KUHP ini dipandang tidak demokratis karena bertentangan dengan gagasan freedom of expression and opinion. Inilah alasan Pemerintah Kolonial Belanda hanya memberlakukan pasal-pasal tersebut di koloni-koloninya. Sehingga sudah semestinya, setelah puluhan tahun Indonesia merdeka dari Belanda, pasal-pasal tersebut sudah raib dari hadapan warga negara Indonesia, termasuk di Papua. Karena Papua bukanlah koloni Indonesia.

    Makar (aanslag) secara yuridis, adalah suatu tindakan penyerangan secara sepihak terhadap penguasa umum dengan maksud supaya sebagian wilayah negara jatuh ke tangan musuh atau memisahkan sebahagian wilayah dari negara lain. Makar diatur dalam pasal 104 hingga pasal 129 KUHP.

    Dalam pengertian lain, makar juga bisa diklasifikasikan sebagai: kejahatan terhadap presiden dan wakil presiden (negara dan/atau wakil kepala negara sahabat), terhadap pemerintahan yang sah atau badan-badan pemerintah, menjadi mata-mata musuh, perlawanan terhadap pegawai pemerintah, pemberontakan, dan perbuatan lain yang ‘merugikan’ kepentingan negara.
    Makar juga kerap kali dimaknai sebagai penyerangan yang ditujukan kepada pemerintah (kepala negara dan wakilnya). Motif utamanya: membuat subjek tidak cakap memerintah, merampas kemerdekaan, menggulingkan pemerintah, mengubah sistem pemerintahan dengan cara yang tidak sah, merusak kedaulatan negara dengan menaklukan atau memisahkan sebagian negara untuk diserahkan kepada pemerintahan lain atau dijadikan negara yang berdiri sendiri.

    Sedangkan pasal-pasal “penyebaran kebencian” (Haatzai Artikelen) atau penghasutan dalam KUHP diatur dalam Pasal 154, 155, dan 156. Pasal-pasal ini menetapkan, “pernyataan di muka umum mengenai perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap pemerintah” sebagai sebuah kejahatan dan melarang “pernyataan mengenai perasaan atau pandangan semacam itu melalui media publik.” Pelanggaran atas pasal-pasal tersebut diancam hukuman penjara hingga tujuh tahun.
    Di era Presiden Soeharto (mendiang), pasal-pasal ini sering digunakan untuk mengekang kebebasan berpendapat. Lawan-lawan politik, kritikus, mahasiswa, dan pembela hak asasi manusia paling sering menjadi target pembungkaman. Penguasa menarik-ulur pasal-pasal ini (pasal-pasal “karet”) untuk membatasi dan mengekang hak-hak individu atas kebebasan berpendapat. Di era reformasi ini, pasal-pasal ini masih sering digunakan untuk mendakwa aktivis pro demokrasi. Di Papua sendiri, pasal ini getol dijeratkan pada untuk aktivis prodemokrasi, jika mereka gagal dibuktikan terlibat makar.

    Tal heran, Human Rights Watch (HRW), dalam laporannya “Protes dan Hukuman Tahanan Politik di Papua” 2007, menyebutkan Indonesia sebagai contoh sebuah negara di mana pengecualian yang berlaku-batasan dan kekangan yang dimaksud oleh komite- sering bertentangan dengan prinsip dasar kebebasan berpendapat.
    HRW melihat banyaknya peristiwa penangkapan dan pemenjaraan individu di Indonesia, terutama Papua, atas keterlibatan secara damai dalam upacara pengibaran bendera. Tindakan yang melanggar undang-undang internasional hak asasi manusia.
    Pengadilan Indonesia juga kerap menerapkan pasal “penyebar kebencian” atau “penghasutan” kepada aktivis pro-damai yang menggunakan prinsip-prinsip kebebasan berpendapat. Pasal-pasal tersebut juga melanggar semangat konstitusi Indonesia, yang menjamin hak semacam itu di saat kemerdekaan dicapai.
    Mengenai kecenderungan Pengadilan Negeri di Papua mengalihkan ketidakterbuktian kasus makar menjadi pidana penghasutan, Harry Maturbongs, Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Papua, mengakui ada indikasi dipaksakan sebagai efek jera.

    “Pasal makar ini digunakan di zaman kolonial Belanda untuk menekan individu atau kelompok yang memberontak (membangkang). Padahal di era kini, pasal makar ini dapat dianggap sebagai pelanggaran terhadap hak masyarakaat sipil untuk mengemukakan aspirasi di muka umum,” tegas Harry. Hak ini bagian dari hak politik masyarakat sipil yang dilindungi Undang-Undang Tahun 1998 tentang Kebebasan Menyampaikan Pendapat di depan umum.

    Gustaf Kawer, salah satu pengacara kasus makar Nabire menyebutkan, kecenderungan pihak Pengadilan Negeri dan Jaksa Penuntut Umum di Papua mengalihkan ketidakterbuktian kasus makar menjadi pidana Penghasutan sebagai sebuah bentuk kehati-hatian penegak hukum. Ini untuk mencegah terjadinya gugatan balik dari pihak terdakwa kepada negara, jika tidak terbukti bersalah di pengadilan. Juga antisipasi terhadap tekanan dunia internasional aktif memantau setiap kegiatan di Papua yang berkaitan dengan demokratisasi.

    Dalam kasus-kasus penghianatan atau penyebaran kebencian, pengadilan-pengadilan di Papua menjatuhkan putusan yang sangat memberatkan. Pada hampir setiap kasus, hukuman vonis yang dijatuhkan lebih berat daripada tuntutan jaksa. Meskipun “pelanggaran” terdakwa merupakan tindakan yang sah. Yakni, pengungkapan pandangan politik secara damai sebagaimana dijamin Undang-Undang No. 9 Tahun 1998.

    Seringkali, aktivis pro-damai di Papua dijerat dengan pasal berlapis daripada pasal tertentu KUHP sesuai pelanggaran spesifik. Kasus Buchtar, misalnya. Ia dijerat dengan lima pasal, yakni Pasal 106 KUHP JO Pasal 110 (makar) KUHP, Pasal 160 KUHP, Pasal 212 KUHP serta Pasal 216 KUHP terkait kasus makar, penghasutan dan melawan perintah jabatan.

    Atau surat dakwaan terhadap Filep Karma dan Yusak Pakage yang menyebutkan dakwaan utama: “konspirasi untuk melakukan pemberontakan dengan maksud menyebabkan perpecahan Republik Indonesia dan menyebabkan keresahan sosial” (Pasal 110 (1) berkaitan dengan Pasal 106 KUUHP).

    Dakwaan kedua: “… melakukan atau memberikan perintah atau ikut serta dalam tindakan pemberontakan dengan maksud menyebabkan perpecahan atau pemisahan Republik Indonesia,”[Pasal 106 dan Pasal 55 (1)].

    Dan terakhir: “secara terbuka menyatakan permusuhan, perasaan kebencian atau penghinaan terhadap pemerintah Republik Indonesia,” [Pasal 154 berkaitan dengan Pasal 55 (1)].

    Jaksa menuntut lima tahun penjara untuk masing-masing terdakwa. Namun Keduanya, akhirnya harus menerima 15 tahun dan 10 tahun penjara. Juga denda Rp 5000 (sekitar US$0.50) untuk biaya pengadilan. Karma juga dicopot dari statusnya sebagai pegawai negeri.

    Dalam laporan HRW 2007 disebutkan, untuk membenarkan hukuman berat yang dijatuhkan kepada Karma, yang tiga kali lebih lama daripada lima tahun penjara yang awalnya diajukan penuntut. Hakim menyebutkan adanya banyak faktor yang memberatkan terdakwa daripada faktor yang meringankan.

    Karma memang sudah pernah diputuskan bersalah atas kasus serupa di Biak pada 1988 dan dipenjarakan enam tahun. Para hakim menganggap Karma memiliki “Sikap permusuhan” terhadap Pemerintah Indonesia. Tindakan-tindakannya untuk memecah-belah dan menghancurkan integritas wilayah negara dan menyebabkan keresahan sosial (menyebarkan “kebencian” atau “penghasutan”).

    Dalam laporannya, berdasarkan kunjungan ke Indonesia pada Juli 2002, Pelapor Khusus (Special Rapporteur) PBB mengenai kemandirian para hakim dan pengacara, Dato’ Param Cumaraswamy menyimpulkan, rakyat Papua “tidak percayaan terhadap sistem administrasi yudisial” di Indonesia. (JUBI/Victor/Marcel/Evert)

  • Bila Makar Bersalin Rupa

    Demo penolakan Otsus. Kasus Makar punya sejarah panjang. (JUBI/Foto:Ist)
    Demo penolakan Otsus. Kasus Makar punya sejarah panjang. (JUBI/Foto:Ist)

    Sepanjang 2008 hingga 2009, tercatat sejumlah kasus hukum yang berujung pengenaan Pasal makar. Sebelumnya, 1 Desember 2007, aparat kepolisian Timika, Kabupaten Mimika menangkap 36 warga yang mengibarkan Bintang Kejora di Kelurahan Kwamki Lama, Distrik Mimika Baru. Tujuh dari 36 orang yang ditahan dijadikan tersangka dan diajukan ke Pengadilan dengan tuduhan makar.
    Pada 3 Maret 2008, warga Manokwari yang terdiri dari unsur masyarakat, West Papua National Authority (WPNA) dan Badan Eksekutif Mahasiswa melakukan aksi demo menolak Peraturan Pemerintah No. 77 Tahun 2007 tentang Lambang Daerah. Aksi kembali terjadi pada 13 Maret 2008. Ujungnya: penangkapan sembilan peserta yang kemudian ditetapkan sebagai tersangka kasus makar. Salah satu dari terdakwa tergolong anak-anak.
    Pada 19 Maret 2008 kepolisian Resort Manokwari mengubah status seorang warga yang, sedianya hendak dijadikan saksi, menjadi tersangka kasus makar.
    Di pengujung 2008, terjadi penangkapan terhadap Buchtar Tabuni dan Sebby Sembom. Keduanya dikaitkan dengan kasus di gerbang Kampus Uncen dan depan Ekspo Waena, pada Kamis, 16 Oktober. Mereka diduga sebagai aktor di balik rencana aksi demo massa dalam rangka mendukung peresmian International Parliament of West Papua (IPWP) di London, Inggris, 15 Oktober 2008. Aksi itu dituding bermuatan makar dan dianggap melawan aparat keamanan sebagai aparat penegak yang sah di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Buchtar divonis 3 tahun penjara, dianggap terbukti melakukan penghasutan. Tuduhan makar yang dialamatkan kepadanya tidak bisa dibuktikan Jaksa Penuntut Umum.
    Medio 2008, 49 orang ditangkap di Fakfak dengan dugaan mengibarkan Bintang Kejora di Gedung Pepera, pada 19 Juli. Dari 49 orang, 9 ditetapkan sebagai tersangka makar.
    Lalu, pada 3 April, ratusan warga Nabire melangsungkan demo dukungan bagi pemunculan International Lawyers for West Papua (ILWP) di London.inggris Mereka membentangkan dua spanduk besar, sejumlah pamflet dan gambar-gambar bermuatan pelanggaran HAM di Papua. Lima belas orang ditangkap, 7 tertembak. Di pihak polisi, satu anggota terkena panah. Ke-lima belas orang yang ditangkap ini kemudian didakwa sebagai pelaku tindakan makar.
    Sebagian besar wujud ekpresi masyarakat Papua berakhir di pengadilan dengan tuduhan makar. Pasal makar telah menjadi instrumen hukum utama aparatus negara untuk

  • Demo Merdeka Tolak Pemilu

    AKSI : Massa KNPB saat melakukan aksi demo di taman Imbi sebelum ke DPRP Papua, Selasa (10/3) kemarin.
    JAYAPURA (PAPOS) -Sekitar ratusan massa yang tergabung dalam Komite Nasional Papua Barat (KNPB), Selasa (10/3) kemarin, berdemo ke DPRP menuntut Papua merdeka dan menolak Pemilu.

    Massa sebelumnya berkumpul di Ekspo dari beberapa titik di kawasan Abepura dengan berlongmartch, selanjutkan menggunakan 10 truk dan kendaraan umum lain dikawal aparat kepolisian dari Polresta dan Brimob Polda Papua.

    Sesampai di depan jalan Kalam Kudus Polimak massa turun dari kendaraan truk melanjutkan longmatrht berkumpul dengan massa yang sudah berkumpul di Taman Imbi pusat kota Jayapura, kemudian melangkah kaki menuju gedung DPRP.

    Selain meneriakkan yel yel, massa juga menyanyikan lagu lagu yang terdapat dalam “seruling emas”. Adapun spanduk dan pamflet yang dibawa antara lain bertulis “Review Pepera 1969, Bebaskan Tapol, Napol, Otsus Makar segera Referendum”, dan tuntut kemerdekaan pasca Papua Barat.

    Kapolresta Jayapura AKBP Roberth Djoensoe kepada mengakui, pihaknya menyiagakan empat SSK (Satuan Setingkat Kompi) yang berasal dua kompi Dalmas dan Brimob.

    Dalam orasinya massa antara lain menyatakan melalui diskusi-diskusi di UNCEN, MRP, bahkan Gubernur sudah menyatakan bahwa memasuki 8 tahun, Otonomi Khusus (Otsus) gagal membawa kesejahteraan rakyat Papua.

    Artinya tidak satu partai atau calon anggota dewan dengan tegas menyatakan sikap tentang kegagalan OTSUS. Hal ini membuktikan bahwa mereka berlomba-lomba untuk memakan dana otsus yang berikutnya dan rakyat Papua cuma dijadikan lahan untuk mencari suara.

    Mereka kata para pendemo, tidak pernah memberikan solusi hanya memberikan janji-janji yang sudah pasti tidak akan dijawab. Terbukti dengan DPRP saat ini yang tidak mampu membuat aturan yang memproteksi

    (aturan yang memihak) orang Papua.

    Seperti menyediakan tempat khusus bagi mama-mama Papua untuk berjualan, membatasi arus pendatang ke tanah papua, pendidikan gratis dan kesehatan gratis yang belum menyentuh rakyat kecil.

    Menurut salah satu pendemontrans Apolo menyatakan Gubernur, Walikota, Bupati yang didukung oleh partai-partai politik, mempunyai prestasi/raport yang sangat buruk, bahkan dia menciptakan konflik horizontal.

Are you sure want to unlock this post?
Unlock left : 0
Are you sure want to cancel subscription?