Blog

  • Dokumen AS dibuka, terkuak banyak orang tak bersalah ditembaki dalam peristiwa Bukit Arfai Papua

    Jayapura, Jubi  Sejumlah dokumen kabel diplomatik Amerika yang berkaitan dengan Indonesia, utamanya soal tragedi 1965 kembali dibuka ke publik oleh tiga lembaga Amerika. Dokumen-dokumen itu menguak sejumlah telegram dari dan ke Amerika Serikat terkait pembunuhan massal pasca 1965.

    Ketiga lembaga itu adalah National Security Archive (NSA), National Declassification Center (NDC), keduanya lembaga nirlaba, dan lembaga negara National Archives and Records Administration (NARA).

    Satu dari sekian banyak dokumen telegram itu menguak penembakan orang tak bersalah yang dilakukan oleh tentara Indonesia pada periode Juni-Juli 1965.

    Kisah brutal di Arfai

    Dokumen yang dibuka adalah 39 dokumen setebal 30.000 halaman yang merupakan catatan Kedutaan Besar Amerika Serikat (AS) untuk Indonesia sejak 1964 hingga 1968.  Dari sejumlah dokumen itu, satu dokumen ternyata menguak penembakan terhadap sekian banyak Orang Asli Papua di Manokwari pada tahun 1965.

    Dokumen telegram bernomor kontrol 542A, tertanggal 15 September 1965 itu berkisah tentang kondisi di Irian Barat (Papua Barat) pada pertengahan September 1965, sebagaimana diceritakan oleh seorang misionaris Protestan Belanda yang melaporkan tentang dipenjarakannya seorang misionaris, Harold Lovestrand.

    Isi telegram itu menyebutkan pada bulan Juni, aparat keamanan Indonesia telah mencegah sejumlah orang Papua yang berencana meninggalkan Papua menuju Australia dengan sebuah dokumen yang ditandatangani oleh sejumlah orang Papua terkemuka saat itu di Manokwari. Kejadian ini diikuti dengan penangkapan sebagian besar pegawai sipil dan sejumlah fungsionaris daerah.

    Telegram yang ditandatangani Duta Besar AS untuk Indonesia Marshall Green itu, menjabarkan aksi pertama tentara Indonesia di Manokwari yang dikatakan brutal. Pada tanggal 26 Juni di salah satu bukit di Manokwari tiga orang tentara Indonesia yangs sedang menaikkan bendera merah putih, ditembak oleh kelompok orang Papua yang memberontak saat itu. Peristiwa ini kemudian dikenal sebagai penyerangan Markas Arfai oleh Permenas Ferry Awom.

    Yunus Inauri, salah satu pelaku penyerangan markas Arfai itu dalam satu wawancaranya dengan Jubi mengatakan Permenas Awom adalah bekas anggota Batalyon Papua. Dia komandan Papua PVK pada jaman Belanda. Dia dan kawan-kawannya berontak karena pasukan Indonesia yang datang membuat ketidaknyamanan bagi masyarakat.

    Inauri yang adalah seorang guru saat itu, mengatakan bila tentara Indonesia mendapati orang di jalan yang dinilai berperilaku aneh, maka mereka akan main pukul seenaknya, termasuk anak muridnya di sekolah. Permenas yang melihat keadaan tidak beres ini, bersama kawan-kawannya memukul tentara Indonesia yang bikin kacau. Bukan hanya baku pukul, baku tembak pun tak terelakkan. Situasi jadi ramai, masyarakat lari kocar-kacir. Permenas saat itu punya senjata yang selalu dibawa kemana-mana.

    Setelah penembakan tiga tentara Indonesia itu, keesokan harinya tentara Indonesia menembaki setiap orang Papua yang terlihat dan banyak orang tidak bersalah jatuh tertembak di jalanan. Aksi penembakan semakin meluas di hari-hari berikutnya, namun kelompok Permenas Awom tidak pernah turun menyerang Manokwari.

    Perlawanan kelompok Awom terus berlangsung hingga pasukan utama Indonesia didatangkan dari luar Manokwari. Dalam massa perlawanan ini, gencar beredar issu jika Papua merdeka, maka Belanda, Australia dan Amerika Serikat akan membantu dana pembangunan Papua.

    Kasus Lovestrand

    Lovestrand sendiri, dalam telegram tersebut disebut ditahan karena dikhawatirkan bisa menjadi korban penembakan. Sebab pada periode itu, orang-orang Papua yang menginginkan kemerdekaan memenuhi jalan, demikian juga aparat keamanan Indonesia.

    Selain Lovestrand, seorang Pendeta Katolik asal Belanda bernama Vandenberg di Sukarnopura (nama Jayapura saat itu) juga ditahan tanpa alasan yang jelas.

    Dalam blog NDC dikatakan kasus Lovestrand yang terjadi pada massa itu memberi tekanan signifikan terhadap hubungan AS – Indonesia. Sekretaris Rusk mendesak Duta Besar Green pada 29 Januari untuk melanjutkan pembicaraan dengan Menteri Luar Negeri Subandrio. Percakapan yang dihasilkan tidak berlangsung sampai 9 Februari, di mana Duta Besar Green menemukan bahwa Jaksa Agung Indonesia mendapat pengakuan yang ditandatangani dari Lovestrand yang menyatakan bahwa dia tidak melaporkan bukti pemberontakan di Papua. Perantara lainnya terus mendesak Sukarno untuk membebaskan Lovestrand. Kedutaan Besar menyadari bahwa tekanan yang terus berlanjut pada Sukarno menciptakan lebih banyak masalah daripada kemajuan. Akhirnya, pada tanggal 18 Maret, Kedutaan Besar Indonesia mengindikasikan melalui telegram kepada Rusk bahwa Jaksa Agung Indonesia mulai memproses dokumen untuk mendeportasi Lovestrand.

    Misionaris Belanda ini akhirnya dideportasi bersama keluarganya menggunakan pesawat KLM pada tanggal 23 Maret 2066.

    Harold Lovestrand kemudian menulis tentang pengalamannya di Indonesia dalam buku Penyanderaan di Jakarta, yang diterbitkan oleh Moody Press pada tahun 1967. (*)

  • Wartawan Tanyakan Dukungan Israel terhadap Referendum Papua

    Wartawan Tanyakan Dukungan Israel terhadap Referendum Papua

    Benny Wenda, SekJend DeMMAK, Jubir ULMWP, Pendiri IPWP dan ILWP
    Benny Wenda, SekJend DeMMAK, Jubir ULMWP, Pendiri IPWP dan ILWP

    YERUSALEM, SATUHARAPAN.COM – Pemberitaan yang cukup masif tentang adanya petisi referendum Papua telah menarik perhatian media di dalam dan luar negeri. Kendati klaim penyerahan petisi tersebut sudah dibantah dan klaim itu dianggap hoax, isu Papua kini semakin menarik perhatian dunia.

    Penyerahan petisi kepada Komite Dekolonisasi PBB atau lazim disebut C24, pertama kali diberitakan oleh koran Inggris, The Guardian pada 28 September lalu. Berita tersebut kemudian menjadi meluas setelah berbagai media lain juga mengangkatnya.  Salah satu media yang memberi perhatian terhadap isu ini  adalah Arutz Sheva, sebuah media Israel yang dikenal menyuarakan kalangan religius Yahudi.

    Arutz Sheva menurunkan tulisan berdasarkan laporan The Guardian, yang mengetengahkan bantahan dan penolakan PBB terhadap petisi referendum Papua yang digagas oleh United Liberation Movement for West Papua (ULMWP). Namun, pada saat yang sama, media ini juga memberi ruang bagi Benny Wenda, jurubicara ULMWP, untuk mengemukakan gagasannya tentang latar belakang petisi tersebut.

    Tidak sampai di situ. Media ini juga mencoba mencari tahu bagaimana posisi Israel terhadap isu referendum Papua yang digagas oleh ULMWP. Relevansi menanyakannya tidak disebutkan. Tetapi patut dicatat, Israel — yang tidak memiliki hubungan diplomatik dengan Indonesia — adalah negara pertama yang menyatakan dukungan terhadap kemerdekaan wilayah otonomi Kurdi di Irak, yang pekan lalu melaksanakan referendum yang ditentang oleh banyak negara.

    Arutz Sheva menghubungi Jurubicara Kementerian Luar Negeri negara itu, Emmanuel Nachshon, untuk menanyakan bagaimana posisi Israel terkait isu kemerdekaan Papua. Sayangnya, jurubicara tersebut menolak untuk memberikan komentar.

    Didengar dan Dibicarakan di Dunia

    Dijawab atau tidaknya pertanyaan tersebut, bagi kalangan pro referendum Papua hal itu tak terlalu penting. Yang  lebih penting, gagasan penentuan nasib sendiri Papua telah didengar dan dibicarakan di banyak negara.

    “Bagi rakyat dan bangsa Papua, petisi tidak sah atau ditolak, itu bukan masalah utama. Pesan kunci bagi bangsa Papua adalah  persoalan Papua menjadi perbincangan di tingkat internasional,” kata Socratez Sofyan Yoman, salah seorang tokoh gereja di Papua yang mendukung perjuangan ULMWP dalam salah satu komentarnya yang disebarkan melalui WA.

    Bahkan diangkatnya isu ini oleh media dan pejabat Indonesia, menurut dia, menjadi promosi gratis. “Media dan pejabat Indonesia turun berperan aktif mempromosikan dengan gratis petisi dan perjuangan bangsa Papua. Dalam posisi Indonesia seperti ini lebih banyak  memberi keuntungan bagi bangsa Papua,” kata dia.

    Rumit dan Sulit
    Pakar Ilmu Politik dari Deakin University, Australia, Damien Kingsbury, mengakui simpati dunia terhadap isu Papua makin meluas. Namun pada saat yang sama, ia juga mengingatkan bahwa diplomasi Indonesia masih sangat kuat dan sebaliknya, dukungan formal dari negara-negara di dunia sangat minim terhadap kelompok separatis yang pro referendum Papua.

    Damien Kingsbury adalah salah seorang pakar yang menaruh perhatian terhadap isu-isu referendum. Ia terlibat dari dekat dalam  monitoring penentuan nasib sendiri Timor Leste. Kingsbury juga pernah dilarang ke Indonesia karena keterlibatannya dalam memberi nasihat kepada Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Namun dalam soal isu Papua, ia selama ini berpandangan bahwa Papua tidak bisa disamakan dengan Timor Leste, karena PBB telah mengakui Papua sebagai bagian integral dari Indonesia, berbeda dengan status Timor Leste.

    Menurut dia, walaupun integrasi Papua ke dalam Indonesia melalui Pepera tahun 1969 dilaksanakan ‘dibawah todongan senjata’  dan hanya melibatkan 1.025 orang Papua dari populasi 800.000 orang, “Papua adalah bagian dari Indonesia – diakui ‘sah’ oleh PBB,” kata dia dalam sebuah artikel yang dimut di Crikey, akhir pekan lalu.

    “Tidak seperti kasus Timor Timur, yang tidak pernah diakui secara hukum sebagai bagian dari Indonesia, PBB harus membubarkan atau mengabaikan pengakuannya atas Papua sebagai bagian dari Indonesia untuk  bisa mendukung pemungutan suara  mengenai kemerdekaan (Papua),” lanjut dia.

    Di sisi lain, Kingsbury mengatakan bahwa kedudukan Indonesia di dunia internasional sangat kuat dibanding dengan pihak- pihak yang menyuarakan  kemerdekaan Papua. “Tidak seperti Papua, Indonesia memiliki teman-teman yang kuat di PBB, yang berusaha untuk mempertahankan hubungan ekonomi dan diplomatik yang kuat,” tutur dia. Sementara, lanjut dia lagi, pergerakan yang menginginkan kemerdekaan  Papua, “Hanya memiliki sedikit pendukung internasional.”

    Belanda, negara yang dahulu dianggap berada di belakang pendukung kemerdekaan Papua, menurut dia, sudah menjauh dan dalam istilahnya sendiri, ‘cuci tangan’ dari isu ini.

    Senada dengan itu, Australia juga telah menjamin bahwa negara itu menghormati kedaulatan teritorial Indonesia dengan  pertimbangan untuk memelihara hubungan bilateral dengan Indonesia.

    Ada pun Amerika Serikat, kata Kingsbury, memiliki investasi besar di Papua  dan juga ingin mempertahankan hubungan  baik dengan Indonesia yang penting secara strategis.

    Oleh karena itu, Kingsbury belum dapat memberikan kesimpulan terhadap prospek penanganan masalah ini. Di satu sisi ia mengatakan isu Papua sangat sulit; bahwa mencapai cita-cita penentuan nasib sendiri untuk Papua yang merdeka akan menghadapi berbagai rintangan yang terlalu sulit untuk dapat  diatasi. Di sisi lain, ia juga tidak bisa menutup mata terhadap keadaan yang mendesak untuk dilakukannya penentuan nasib sendiri, bahkan lebih kuat dari pada  sebelumnya.

    “Di tengah keadaan ini, Presiden Joko Widodo, seperti mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, tampaknya tidak berdaya  untuk secara mendasar memperbaiki keadaan penduduk asli Papua, apalagi membebaskan rakyat Papua dari cengkeraman polisi dan militer,” demikian Kingsbury.

    Pada akhirnya, Kingsbury hanya dapat mengatakan bahwa hadirnya petisi yang dideklarasikan oleh Benny Wenda dan kawan-kawan menunjukkan bahwa rakyat Papua masih tetap menolak untuk menjadi bagian dari Indonesia setelah hampir lima dekade  mengalami penggabungan paksa; walaupun untuk itu mereka harus bergerak secara ‘bawah tanah’ dan sembunyi-sembunyi.

    The Blue Water Rule

    Ketua the Center for World Indigenous Studies, Rudolph C. Ryser, juga mengakui kerumitan masalah penentuan nasib sendiri untuk dijadikan agenda PBB. Salah satu penyebabnya, menurut dia, dalam sebuah tulisan yang dimuat di intercontinentalcry.com, adalah apa yang dikenal sebagai The Blue Water Rule, yang termaktub dalam Resolusi PBB No 637 VII. Dalam resolusi tersebut, negara-negara anggota PBB sepakat bahwa bangsa-bangsa yang berada di dalam wilayah negara-negara anggota PBB tidak boleh mendapatkan kemerdekaan melalui proses penentuan nasib sendiri.

    Sampai sejauh ini, Papua tidak termasuk dalam kategori wilayah yang tanpa pemerintahan (Non-Self-Governing Territories) pada Komite Dekolonisasi PBB. Hanya ada 17 teritori yang sudah terdaftar, yaitu Western Sahara, Anguilla, Bermuda, British Virgin Islands, Cayman Islands, Falkland Islands, Montserrat, Saint Helena, Turks and Calcos Islands, United States Virgin Islands, Gibraltar, American Samoa, French Polynesia, Guam, New Caledonia, Pitcairn dan Tokelau.

    Sementara itu, menurut Ryser, ada sejumlah teritori lainnya yang diketahui menuntut referendum dari negaranya. Di antaranya Catalonia (Spanyol), Kurdistan (Irak), Palestina (Israel), Biafra (Nigeria), Papua (Indonesia), Baluchistan (Pakistan), Uyghuristan (Tiongkok), Pasthunistan (Afghanistan), Crimean Tartars (Rusia), Qom (Argentina).

    “Ada banyak bangsa yang tidak setuju untuk diperintah oleh negara yang menguasainya namun PBB dengan dipelopori oleh AS pada tahun 1952 mendorong untuk secara permanen mencegah bangsa-bangsa tersebut memisahkan diri dari ‘hubungan yang tidak menyenangkan dengan negara yang sekarang melingkupinya,” kata Ryser.

    Menurut Ryser, Blue Water Rules seharusnya dihapuskan di PBB.

    Di tengah rumitnya mekanisme di PBB tersebut, ULMWP dalam siaran persnya mengatakan akan tetap menempuh mekanisme PBB dalam memperjuangkan hak menentukan nasib sendiri Papua.
    Editor : Eben E. Siadari

  • Worse West Papua human rights, ‘shrinking space’, says new report

    West Papua has experienced a “significant aggravation” of the human rights situation in the past two years compared to previous years, says a new report from more than 40 faith-based and civil rights organisations.

    “Reports by local human rights defenders describe an alarming shrinking of democratic space,” says the report.

    “Although Indonesian President Joko Widodo pushed economic development and granted clemency to five long-term political prisoners, the police strictly limited even the most peaceful dissident political activities.”

    READ MORE: Pacific Media Watch on Indonesia’s hit back at Oceania nations

    The report says that Indigenous Papuans – particularly women – “continued to have a high risk of becoming victims of human rights violations.”

    It adds that “racist attitudes toward West Papuans among the police and military, insufficient legal protection, the lack of proper law enforcement, inconsistent policy implementation and corruptive practices among government officials contributed to the impunity of security forces.”

    Local journalists in West Papua also continued to face “intimidation and obstruction” from the security forces.

    This is the fifth report of the International Coalition for Papua (ICP) covering events from January 2015 until December 2016.

     

    Human rights analysis

    More than 40 organisations in West Papua, Jakarta, and worldwide have brought their analysis on the human rights and conflict situation in West Papua together.

    The executive summary of the 218-pages report explains how several human rights standards have deteriorated over the last two years.

    The report is compiled by the International Coalition for Papua (ICP) and the German Westpapua-Netzwerk (WPN). The executive summary says:

    “The years 2015 and 2016 were characterised by a significant aggravation of the human rights situation in West Papua compared to previous years. The term West Papua refers to the Indonesian easternmost provinces of ‘Papua’ and ‘Papua Barat’. Reports by local human rights defenders describe an alarming shrinking of democratic space.

    “Although Indonesian President Joko Widodo pushed economic development and granted clemency to five long-term political prisoners, the police strictly limited even the most peaceful dissident political activities.

    “Indigenous Papuans, particularly women, continued to have a high risk of becoming victims of human rights violations. Racist attitudes toward West Papuans among the police and military, insufficient legal protection, the lack of proper law enforcement, inconsistent policy implementation and corruptive practices amongst government officials contributed to the impunity of security forces.

    “Government critics and activists faced legal prosecution with varying charges. Using a charge of treason (‘makar’) remained common against non-violent offenders.

     

    Increasing ‘incitement’ charges

    “West Papuan political activists also faced an increasing number of charges incitement or violence despite the non-violence of protest and almost all activism.

    “The deterioration of the political and civil rights situation in West Papua during the past two years was most obvious in the sheer number of political arrests.

    “Those arrests drastically increased to 1083 in 2015, and then quadrupled in 2016 to 5361 arrests, in tandem with growing political protest for self-determination.

    “Almost all of the arrests came during peaceful protest in support of the United Liberation Movement for West Papua (ULMWP). In addition, the Indonesian government and the regional police in West Papua increasingly restricted the right to freedom of opinion and expression using official statements (Makhlumat) issued by the Papuan Regional Police in 2016.

    “Local journalists in West Papua faced continued intimidation and obstruction from the security forces. In comparison to previous years, the number of reported cases against local journalists has slightly decreased throughout the reporting period 2015 and 2016.

    “President Joko Widodo’s promise in May 2015, to make West Papua freely accessible to foreign journalists and international observers was not implemented. Foreign journalists were in an increasing number of cases prevented from entering West Papua or when permitted to enter, they faced obstruction, surveillance, intimidation and physical violence.

    “International human rights organisations and humanitarian organisations such as the Inter­national Committee of the Red Cross (ICRC) remained banned from freely accessing West Papua.

     

    Threatened, obstructed

    “Human rights defenders in West Papua had to work under fear of being monitored, threatened and obstructed by the security forces. The killing of well-known human rights defender Joberth Jitmau, marked the sad highlight of attacks against human rights defenders during these two years.

    “The police termed Jitmau’s killing a traffic accident and did not conduct a criminal investigation. Jitmau’s case was a representative example of the widespread impunity in West Papua.

    “Only in rare instances were security forces prosecuted in public or military trials. Two of the three cases of prosecution resulted in considerably low sentences for the perpetrators in view of the severity of the criminal offences.

    “Security force members also continued to use torture and ill-treatment as a common response to political protest or incidents of alleged disturbance of public order. Extra-judicial killings occurred particularly often as an act of revenge or retaliation for violent acts or other non-violent interactions with members of the security forces.

    “The situation with regard to economic, social and cultural rights in West Papua was stagnant. The quality of education in West Papua remained considerably low, due to poor management of the education system, inadequate competencies, high absence rates amongst teachers, and inadequate funding. (Less than 1 percent of Papua Province’s annual budget goes to education.)

    “There is still no culturally appropriate curriculum in place, which is capable of improving the educational situation of indigenous Papuan children and of preserving local cultures.

    “Health care and education remained in a devas­tating condition, far below the national average, despite the large amount of special autonomy funds that flow to the two administrative provinces Papua and Papua Barat.

     

    Strong imbalance

    “There is a strong imbalance in the fulfillment of minimum standards in terms of health, education, food and labor rights between the urban areas and the remote inland areas of West Papua.

    “Indigenous Papuans, who mostly reside outside the urban centres, suffer the most of this imbalance. Both Papuan provinces are amongst the regions with the highest prevalence rate for HIV/AIDS infections and child mortality of any ‘Indonesian province’, while the quality of health services is alarmingly low.

    “Insufficient equipment in rural health care institutions and a lack of adequate health monitoring and response mechanisms remained strikingly evident. These shortcomings were highlighted when a pertussis epidemic broke out in the remote highland regency of Nduga, killing least 51 children and three adults within a span of three months in late 2015. Malnutrition enabled the rapid spread of the epidemic.

    “The case also mirrors the government’s growing challenge to guarantee indigenous Papuans right to food. Palm oil plantations and other agri­cultural mega-projects have led to the destruction of local food sources, livestock and access to clean drinking water.

    “Cases of domestic violence are often settled in non-legal ways, which fail to bring justice for the victims and lack a deterrent effect for perpetrators. Women living with HIV/AIDS are particularly often facing discrimination and stigmatization.

    “The very existence of West Papuans is threatened by the uncontrolled migration from other parts of Indonesia. This particularly applies to the urban centers where they have largely become a marginalised minority facing strong economic competition.

    “In most rural areas, where indigenous Papuans are still the majority, government-promoted large-scale natural resource exploitation projects attract migrants and continue to cause severe environmental degra­dation as well as the destruction of live­ stock of indigenous communities.

    “Govern­ment institutions continued to facilitate the interests of private Indonesian and foreign companies. This practice negatively impacts indigenous people’s right to their ancestral lands and resources as well as their right to determine their development.

    “Resource extraction often means clearing large forest areas and polluting of water resources, thereby forcing indigenous communities to change their very way of life. Destruction of forests and hunting grounds as a life source puts an additional burden on women, in particular.”

  • Lt. Gen. A. Tabi: Referendum Catalonia dan Kurdistan Bukti Jelas dan Pasti NKRI BUKAN Harga Mati!

    Dukungan kuat untuk Kemerdekaan Katalonia
    Dukungan kuat untuk Kemerdekaan Katalonia

    Dari Markas Pusat Pertahanan (MPP) Terntara Revolusi West Papua (TRWP). Lieutenant -General Amunggut Tabi menyatakan bahwa peristiwa-peristiwa yang terjadi belakangan ini, mulai dari Deklarasi Kemerdekaan Sudah Selatan 9 Juli 2011, deklarasi kemerdekaan Kosovo 17 Februari 2008, pembentukan State Union of Serbia and Montenegro pada tahun 2003 menyusul keruntuhan Yugoslavia, Timor Leste yang merdeka dari NKRI pada 20 Mei  2000, kemerdekaan Palau 1 Oktober 1994, didahului oleh Eritrea pada 27 April 1993 menyatakan kemerdekaan setelah referendum, didahului oleh Republik Czech dan Slovakia pada tanggal 1 1993, di mana Czechoslovakia di-disolved menjadi dua yaitu Cheko dan Slovakia.

    Dalam minggu ini kita saksikan referendum di Katalonia dan Kurdistan. Dalam waktu dekat kita akan saksikan referendum di ujung pulau New Guinea, Bougainville.

    Peta Wilayah Spanyol dan Katalonia
    Peta Wilayah Spanyol dan Katalonia

    Semua peristiwa ini mementahkan, dan memuntahkan gosip dan isi-isu pembodohan dari pihak-pihak yang juga tidak mengerti politik dunia, antara lain mereka katakan

    1. PBB sudah tutup pintu untuk semua negara di dunia untuk merdeka. Akhir dari kesempatan hanya tahun 2000, kalau lewat dari tahun 2000, maka PBB tidak akan terima lagi bangsa manapun di dunia ini untuk berkesempatan merdeka. Ini termentahkan total. Dan terbukti kebodohan dari isu ini.
    2. Isu NKRI Harga Mati, adalah sebuah logika politik yang tidak hanya menyesatkan tetapi secara langsung menentang kodrat dan rencana Allah Sang Pencipta. New Guinea ialah buatan Tuhan, Jawa adalah buatan Tuhan, Sumatera adalah buatan Tuhan, Bali ialah buatan Tuhan. Tetapi Irian Jaya, Sumatera Utara, Jawa Barat, Indonesia, Kalimantan Selatan, dan sejenisnya semuanya ini ialah buatan manusia, yang tidak mutlak, tidak harga mati, tidak kodrati. NKRI bukan kodrat, bukan dirumuskan dalam Kitab Suci manapun, dan sekaligus menentang hukum alam yang paling mendasar, yaitu rumus organisme, yang secara hakiki selalu, setiap detik dan moment mengalami perubahan, dari satu titik ke titik lain. Mematikan NKRI merupakan usaha pembodohan yang memalukan, dan tidak hanya itu, langsung melanggar kodrat Sang Ilahi.
    3. Melarang bangsa-bangsa yang ingin melepaskan diri dengan cara intimidasi, teror, hasutan, yang memainkan “fear-factor” secara lihai ialah perbuatan zaman kuno, cara kerja kerjaaan Majapahit dan Mataram, yang sudah harus dibuang di era yang beradab dan demokratis ini. Sudah jelas, bangs Papua, berdasarkan atas UUD 1945 dan UU NKRI, berhak untuk mementukan nasibnya sendiri. Oleh karena itu, dalam memperjuangkan kemerdekaan ini, kita harus berbangga hati bahwa kita bukan pencuri, kita bukan penjahat, kita bukan gerakan liar, kita bukan kelompok sipil bersenjata, bukan OTK – orang tak dikenal, tetapi kami adalah pemilik tanah leluhur, yang punya hak penuh atas tanah leluhur bangsa Papua, yang secara luhur dan murni menuntut NKRI keluar dari Tanah leluhur, yang tidak harus diteror, ditembaki, diusir dari tanah leluhur sendiri.

      Saksikanlah apa yang terjadi dengan Brexitr, Katalonia dan Kurdistan. Yang terjadi adalah debat politik, proses demokrasi dan beradab. Bukan penerjunan pasukan gelap dan pasukan terang, bukan pasukan teroris berbaju hijau atau putih, bukan cara-cara kuno.

      Karena NKRI sudah berdemokrasi, maka bangsa Papua sudah saatnya untuk menuntut referendum di Tanah Papua secara terbuka, tanpa harus dikejar dan ditembaki di hutan-hutan.

    4. Hai bangsa Papua, perhatikan, Spanyol, Sudan, Cheko, Slovakia, Timor Leste, Kurdistan, semua wilayah ini berbagi peta daratan dengan negara-negara penjajah, tetapi mereka sukses melepaskan diri dari penjajahan. Tanah Papua terlepas secara ras, secara etnis, secara suku-bangsa, secara geografis pulau jelas dan tegas terpisah, dan tidak sama dengan wilayah geografis dan suku-bangsa mayoritas NKRI. Oleh karena itu, kami pasti dan harus merdeka dan berdaulat di luar NKRI.
    5. Kami serukan kepada United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) untuk segerak menyelesaikan langkah-langkah untuk mendirikan pemerintahan Republik West Papua, dengan menerapkan Undang-Undagn Revolusi West Papua (UURWP) yang telah disahkan oleh Parlemen Nasional West Papua (PNWP) dan melakukan upaya konsolidasi untuk menerapkan aturan-aturan sebagaimana sebuah negara.
    6. Kami mengundang Gubernur Provinsi Papua dan Gubernur Provinsi Papua Barat, Wali Kota dan Bupati, Ketua DPRP dan Ketua DPRPB serta para anggota dewan serta elit politik di seluruh Tanah Papua untuk mendukung langkah-langkah pendirian sebuah pemerintahan dengan kantor pemerintahan dalam waktu dekat demi mewujudkan cita-cita para leluhur bangsa Papua: Nicolaas Jouwe, Loudwick Mandatjan, Barens Mandatjan, Kelly Kwalik, Yustinus Murib, Eduard Mofu, Theys Eluay, Mako Tabuni, Hans Bomay, Elias Yikwa, Petrus Tabuni, Lukas Tabuni, Arnold C. Ap, Otto Ondawame, August Rumaropen, dan semua pejuang tanpa nama yang berada di sepenjang tanah Papua, Sorong sampai Samarai.
    7. Kepada seluruh elemen perjuangan kemerdekaan West Papua, mari kita tinggalkan pikiran-pikiran egoisme pribadi dan kelompok yang secara langsung dan jelas-jelas merusak perjuangan kita. Pada titik saat ini, kami dari TRWP jelas-jelas membaca, barangsiapa dengan alasan apapun, menghambat, mempermasalahkan dan memberikan banyak alasan menghalangi pengesahan UURWP dan pembentukan pemerintahan sementara Republik West Papua, maka tanpa ragu-ragu, kita harus pastikan bahwa mereka itu adalah agen-agen NKRI, penghambat perjuangan, pendukung agenda BIN dan BAIS RI.

    ————————————-

    Dikeluarkan di: Markas Pusat Pertahana

    Pada tanggal: 3 Oktober 2017

     

     

     

    Amunggut Tabi, Lt.Gen. WPRA

    BRN: A.DF 018676
    Personal Adviser to the WPRA Commander in Chief

  • Vanuatu urged to be consistent with foreign policy

    Sato Kilman - pictured during a visit to Russia in March 2015
    Sato Kilman. Photo: Vladimir Pesnya / RIA Novosti

    A Vanuatu opposition MP says the government should be careful to act consistently on foreign policy.

    The comment from Sato Kilman, a former prime minister, comes after another call on West Papua by Vanuatu at the United Nations.

    Speaking at the UN General Assembly, current prime minister Charlot Salwai called for an investigation into alleged killings and abuses of the indigenous people of Indonesia’s Papua region.

    Mr Kilman said the UN was the right place in which to raise concern on Papua.

    But he questions whether Vanuatu takes the same stand on similar issues in other parts of the world.

    “If Vanuatu has got to be able to show that she has credibility then she must be able to deal with all the issues in a consistent manner. Being members of the United Nations, while we are dealing with these issue, we are making comments, we are raising awareness on these isues, I think it’s only fair that we should be dealing with the others equally well,” he said

    Prime Minister of Vanuatu Charlot Salwai
    Prime Minister of Vanuatu Charlot Salwai Photo: Supplied

     

    Mr Salwai’s statement in New York last week was the second consecutive year that he raised West Papua at the General Assembly.

    He accused world leaders at the UN of turning a deaf ear to more than half a century of atrocities committed by Indonesia on West Papuans.

    “We also call on our counterparts throughout the world to support the legal right of West Papua to self-determination and to jointly with Indonesia put an end to all kinds of violence and find common ground to facilitate a process to make their own choice,” said Mr Salwai.

    Indonesian representative at the UN General Assembly in New York, September 2017.
    Indonesian representative at the UN General Assembly in New York, September 2017. Photo: UNGA

    In response to Mr Salwai’s statement, an Indonesian government spokeswoman told the assembly Indonesia categorically denied all allegations levelled against it regarding Papua.

    She accused Mr Salwai and other Melanesian leaders concerned about Papua of being misled and of supporting separatism in a sovereign nation.

    “These countries were foolishly deceived by individuals with separatist agendas to exploit the issue of human rights,” said the spokeswoman.

    “If human rights are at the heart of the issue, why were these concerns not raised in the appropriate forum, namely the 3rd Cycle of the Periodic Review of Indonesia at the United Nations Human Rights Council,” she said.

    Sato Kilman admitted the West Papua issue was one that ran deep with ni-Vanuatu, but he cautioned against cherry-picking foreign policy issues from a Vanuatu government perspective.

    “Yes, you can raise the issues, but when there are similar problems around the globe, and Vanuatu, it doesn’t matter how small we are, we are one voice at the UN. Our voice is good enough to be heard in the UN about the other issues as well.”

    When he was prime minister of Vanuatu in four brief tenures during a period of political volatility in his country between 2010 and 2016, Mr Kilman adopted a controversial policy on Papua.

    He departed from standard Vanuatu foreign policy by forging closer ties with Indonesia, in spite of his country’s long-running support for West papuan independence.

    He also advocated this softer approach with Jakarta in his various stints as Foreign Minister, although it was unpopular with grassroots communities in Vanuatu.

    Ultimately, the Malekula MP advocated keeping communication lines with Jakarta open on the Papua issue.

    “I’d be very interested to know those of us who have been advocating for West Papua, or New Caledonia for that matter,” said Mr Kilman.

    “How many of us have actually spoken with the Indonesian government or the French government about these issues?”

  • 1.8 million West Papuans petition UN for independence vote

    West Papuan independence leader Benny Wenda.
    West Papuan independence leader Benny Wenda. Photo: RNZI/ Koroi Hawkins

    A petition with the signatures of 1.8 million West Papuans in Indonesia has been presented to the United Nations in New York demanding an internationally supervised vote on independence.

    The exiled West Papuan independence leader Benny Wenda presented the document to the C24, the special committee on decolonisation on Tuesday.

    Dr Jason MacLeod from the University of Sydney is a West Papua expert who has just returned from the Indonesian territory to verify the petition.

    He said it was fair and accurate representation of the West Papuan people’s will and the UN needed to pay due attention.

    “They’ve got two choices before them. They can either re-list West Papua on the UN Committee for Decolonisation or they can put pressure on the Indonesian government to hold a referendum. One of those two things really need to happen.”

    The Free West Papua movement said the 1.8 million people who signed the petition account for more than 70 percent of the region’s population.

    Ballot box in a Vanuatu election.
    Calls persist to revisit the 1969 vote which passed the former Dutch colony into Indonesian possession Photo: RNZ / Johnny Blades

     Source: http://www.radionz.co.nz/

  • West Papuan liberation movement focussed on UN plans

    West Papuan liberation movement focussed on UN plans

    From , 4:03 am on 18 September 2017

    The West Papua National Coalition for Liberation says its decolonisation aspirations are focussed on action at the United Nations.

    The Coalition is one of the key groups within the United Liberation Movement for West Papua, which is pushing for internationally-facilitated negotiation with Indonesia over Papua’s political status.

    Various Papuan civil society, church and customary leaders met with Indonesia’s president Joko Widodo last month about establishing dialogue over problems in Papua.

    However self-determination is not expected to be on the agenda in the dialogue, in which the Liberation Movement is not involved.

    The Coalition’s chairman Andy Ayamiseba says the Movement rejects direct dialogue with Jakarta because it considers Indonesia an illegal occupier in Papua.

     

  • Nicolaas Jouwe: Cucu, Tete Benci Manusia Papua dengan Ego Besar, tetapi Miskin Pemikirannya untuk Masa Depan Papua

    Selama seminggu penuh, tepat Bulan Mei, tahun 2000, telah berlangsung Kuliah Khusus dengan topik, “Sejarah dan Arah Papua Merdeka” di Den Haag, Negeri Belanda. Ruang kuliahnya ialah ruang tamu dari Rumah mantan gerilyawan TEPENAL Alez Derey, dan dosen yang memberikan kuliah ialah Prof. OPM Nicolaas Jouwe. Mahasiswanya hanya satu orang, bernama Capt. TPN/OPM Amunggut Tabi.

    Setelah kuliah itu berlangsung, maka Capt. TPN/OPM Amunggut Tabi datang ke Tanah Papua, menghadiri Kongres Rakyat Papua II (KRP II) 2000.

    Akan diberitakan dalam PMNews rentetan perkuliahan dimaksud. Akan tetapi terkait dengan arahan umum Gen. Mathias Wenda dari Markas Pusat Pertahanan (MPP) Tentara Revolusi West Papua (TRWP) menyangkut perjuangan Papua Merdeka dan “ego” dari tokoh dan aktivis Papua Merdeka hari ini, maka kita angkat catatan perkuliahan ini dengan judul “Nicolaas Jouwe: Cucu, Tete Benci Manusia Papua dengan Ego Besar, tetapi Miskin Pemikirannya untuk Masa Depan Papua

    Topik ini, “ego pemimpin Papua harus dimatikan”, itu muncul pada Prof. OPM Jouwe berkuliah tentang

    “Apa penyebab utama kegagalan demi kegagalan dialami oleh para tokoh perjuangan Papua Merdeka, padahal Timor Leste yang baru mulai berjuang 10 tahun belakangan malah sudah merdeka waktu itu?”

    Ini pernyataan sebagai pertanyaan dari sang mahasiswa kepada professornya, karena dia baru saja kehilangan banyak teman-temannya dari Timor Leste karena mereka telah pulang dari Eropa, setelah mengakhiri perjuangan mereka. Sang mahasiswa bertanya, mereka berjuang belakangan tetapi masuk ke garis finish duluan, sedangkan orang Papua mengambil start 10 tahun lebih dulu, tetapi belum juga menunjukkan garis-garis final.

    Jawaban pertama dari Nicolaas Jouwe sebagai berikut

    Cucu, Tete kasih tahu bahwasannya para pejuang Papua Merdeka, anak-anak dan cucu-cucu saya semua, sekalian bangsa Papua yang masih berjuang dengan ego-ego pribadi, dengan kepentingan kelompok sendiri dan mengesampingkan kepentingan Bintang Kejora, seperti adik saya Theys Eluay dan lain-lain, mereka semua akan mati sebelum tete mati. Mereka tidak akan melihat Papua Merdeka.

    Mereka akan mati di seberang sungai Yordan. Alasannya karena mereka itu egonya besar, egonya masih hidup. Kepentingan pribadi mereka untuk dapat kursi di DPR RI, di provinsi Irian Jaya, untuk menjadi pejabat itulah sebabnya mereka minta Papua Merdeka. Ini alasan dan cara salah. Ini hanya melayani ego pribadi.

    Sama dengan itu, cucu sudah tahu di hutan itu banyak terjadi cek-cok dan baku bunuh kiri-kanan. Ini anak Derey masih ada, dia ada dengar. Generasi mereka ini tidak baik, mereka harus mati semua dulu baru Indonesia keluar dari Tanah Papua.

    Bahwasannya ego pribadi Alex Derey, Theys Eluay,. Thom Beanal, Mathias Wenda, semua harus mati dulu, itu baru Papua Merdeka.

    Ingat cucu, Fretelin menyatukan semua perjuangan Timor Leste, dan mereka lepas. Orang Papua sidang beribu-ribu kali di Negeri Belanda ini, mereka bilang mau satukan barisan. Tetapi tokoh-tokoh seperti …., …., …., mereka-mereka ini yang tidak mau bersatu. Masing-masing pertahankan ego dan kelompok mereka.

    Cucu harus camkan, dan ingat baik-baik. Bahwasannya sebuah perjuangan kebangsaan untuk mendirikan negara baru seperti kita bangsa Papua, kita butuh orang-orang negarawan, yang sepenuh hidupnya memikirkan kepentingan bangsanya dan berjuang untuk negara West Papua.

    Saya yakin, cucu, saya percaya cucu. Tuhan sudah kasih tahu tete, makanya tete datang ke sini. Generasi kalian ini-lah yang akan membawa Papua menjadi merdeka. Tetapi cucu harus jaga adik-adik semua, siapa saja yang ego-nya besar, suruh mereka mundur dari barisan ini. Kalau tidak kalian akan tunda waktu kemerdekaan bangsa Papua.

    Perkuliahan dilakukan selama 24 jam, 2 minggu, Senin sampai Minggu. Babi yang disembelih waktu itu diantar langsung dari warung yang telah dipesan Tete Jouwe, babi guling ala Bali, dua ekor, dan anggur yang dibawa waktu itu 2 karton, masing-masing karton berisi kira-kira 12-20 botol.

    Tete Jouwe memang senang anggur, sangat menyukainya, dan pipa cerutu selalu di mulutnya sambil berbicara. Tongkat komando adatnya selalu saja disamping. Saat bicara yang penting, bersifat komando atau mandat, beliau selalu memnita cucunya, Capt. TPN/OPM Amunggut Tabi untuk memegang dan mencium tongkatnya itu.

    [Berlanjut ke cerita 2)

  • Let. Gen. Amunggut Tabi: Penghalang Utama dan Pertama Papua Merdeka ialah Ego Aktivis Papua Merdeka

    Dari Markas Pusat Pertahanan (MPP) Tentara Revolusi West Papua (TRWP). Lieutenant-General Amunggut Tabi menjawab pertanyaan Papua Merdeka News (PMNews) terkait pesan singkat yang disampaikan ke redaksi PMNews beberapa waktu lalu terkait ULMWP, pejuang Papua Merrdeka, dan tokoh ULMWP.

    PMNews menanyakan “Mengapa Gen. Wenda fokus kepada ego dan mematikan ego dalam kaitannya dengan Papua Merdeka daam beberapa pesan singkat baru-baru ini?”. General Tabi menjawab,

    “Stop bicara Papua Merdeka kalau ego Anda masih hidup! Bilang saja saya berjuang untuk ego saya sebagai orang Papua, bukan untuk kepentingan bersama! Ego itu racun! Ego masalah utama dan pertama dalam perjuangan Papua Merdeka!”

    Berikut petikan wawancara

    PMNews: Selamat pagi!

    TRWP: Selamat pagi, salam kompak, salam hormat.

    PMNews: Kami mau informasi tambahan, kalau ada, terkait dengan minimal dua artikel terakhir tentang “mengalahkan ego” dalam kaitannya dengna perjuangan Papua Merdeka.

    TRWP: Kami sudah jelas dalam bahasa Indonesia sederhana sudah katakan, “ego” atau dalam bahasa Lani disebut “an-an” adalah masalah pertama yang harus kita “salibkan” dan “kalahkan” kalau kita benar-benar mau Papua Merdeka.

    Soalnya proyek Papua Merdeka ini sudah menjadi judul yang bagus bagi banyak pihak untuk mendatangkan keuntungan ekonomi bagi mereka.

    Ingat, orang Papua, orang Melanesia, orang Bule, orang Melay banyak yang dapat keuntungan ekonomi dari proyek Papua Merdeka.Bagi beebrapa pihak ini proyek yang mendatangkan banyak uang.

    Makanya TRWP sudah keluarkan ultimatum yang jelas.

    PMNews: Minta maaf, ultimatum apa?

    TRWP: Ultimatum supaya pejuang Papua Merdeka “membunuh, dan mematikan ego” pribadi para aktivis Papua Merdeka, terutama anggota ULMWP.

    PMNews: Kami terus langsung, maksudnya ego dari Oktovianus Motte, Benny Wenda, Tanggahma, Yeimo dan lainnya?

    Dari Markas Pusat Pertahanan (MPP) Tentara Revolusi West Papua (TRWP). Lieutenant-General Amunggut Tabi menjawab pertanyaan Papua Merdeka News (PMNews) terkait pesan singkat yang disampaikan ke redaksi PMNews beberapa waktu lalu terkait ULMWP, pejuang Papua Merrdeka, dan tokoh ULMWP.

    PMNews menanyakan “Mengapa Gen. Wenda fokus kepada ego dan mematikan ego dalam kaitannya dengan Papua Merdeka”. General Tabi menjawab,

    “Stop bicara Papua Merdeka kalau ego Anda masih besar! Ego itu racun! Ego masalah utama dan pertama dalam perjuangan Papua Merdeka!”

    Berikut petikan wawancara

    PMNews: Selamat pagi!

    TRWP: Selamat pagi, salam kompak, salam hormat.

    PMNews: Kami mau informasi tambahan, kalau ada, terkait dengan minimal dua artikel terakhir tentang “mengalahkan ego” dalam kaitannya dengna perjuangan Papua Merdeka.

    TRWP: Kami sudah jelas dalam bahasa Indonesia sederhana sudah katakan, “ego” atau dalam bahasa Lani disebut “an-an” adalah masalah pertama yang harus kita “salibkan” dan “kalahkan” kalau kita benar-benar mau Papua Merdeka.

    Soalnya proyek Papua Merdeka ini sudah menjadi judul yang bagus bagi banyak pihak untuk mendatangkan keuntungan ekonomi bagi mereka.

    Ingat, orang Papua, orang Melanesia, orang Bule, orang Melayu banyak yang dapat keuntungan ekonomi dari proyek Papua Merdeka. Mengapa? Karena kita orang Papua sendiri bukannya bergumul dengan isu Papua Merdeka, tetapi sibuk dengan melayani ego dan pentingan pribadi sehingga orang lain dengan mudahnya memanfaatkan itu untuk kepentingan pribadi mereka.

    Semua, semua, semua. Termasuk Anda dan saya, termasuk semua. Tetapi khusus untuk tahun 2015 – 2020 ini pertama-tama adalah ego dari Oktovianus Motte harus disalibkan, dan kedua ego dari Benny Wenda juga harus disalibkan. Kalau dua ego ini dimatikan, maka ULMWP pasti akan menjadi alat untuk isu bersama, isu Papua Merdeka, bukan sebagai media menunjukkan “ego” masing-masing oknum.

    Sampai hari ini tanggal 18 September 2017, ego dua orang ini belum mati, masih hidup, dan masih aktiv. Kalau begini, cara terbaik untuk bangsa Papua ialah “Mereka mundur dari ULMWP”P, karena ULMWP tidak hadir untuk “ego” tetapi hadir untuk isu dan case Papua Merdeka.

    PMNews. Mohon jelaskan lagi.

    TRWP: Jelaskan apa lagi? Sudah jelas, kalau masih punya ego tinggi, mundur! Kepentinga bangsa Papua lebih penting daripada ego pribadi. Ego pribadi tidak ada gunantnya. Sejarah perjuangan bangsa Papua mengajar kita dengan pasti, semua pemimpin orang Papua yang punya ego lah yang matikan perjuangan, merusak perjuangani ini. Ego pribadi siapapun, sayapun, Anda-pun, Ego Individu Harus dimatikan. Kita harus menyerah kepada kepentingan “Papua Merdeka”, bukan saya, bukan aku, bukan saya punya suku, bukan saya punya kelompok. Ini harus dihapus. Sekarang bicara HANYA atas nama ULMWP, bukan kelompok lain, bukan nama lain. Itu maksudnya.

    PMNews: Apakah pembentukan ULMWP itu sendiri sebuah tanda bahwa ego para pemimpin sudah dimatikan?

    TRWP: Bukan. Itu bukan tanda ego pribadi dimatikan. Itu hanya tana ego kelompok dikonsolidasikan. Dan perlu dicatat, perjuangan Papua Merdeka ini masalahnya bukan di organisasi, bukan di militer, bukan di tua-tua adat. Kesalahan terbesar dan terutama ada di para diplomat dan politisi Papua Merdeka.

    PMNews: TRWP sudah sepanjang tahun 2017 bicara banyak mengkritik ULMWP tetapi selama ini tidak pernah ada prebaikan dilakukan oleh ULMWP. Apa tujuan terus-menerus melakukan ini, padahal terlihat tidak sukses?

    TRWP: Ingat, Anda PMNews itu media pemberita “Kebenaran”, bukan kebenaran saya, kami, bukan kebenaran mereka, atau Anda, tetapi “Kebenaran” itu sendiri dari dirinya sendiri. Artinya apa? Siapa saja yang salah, itu adik, kakak, tante, om, sesama kampung harus ditegur, harus dimarahi. Agama Kristen punya kita Amsal Solaiman mengatakan apa? Lebih baik teguran yang terbuka daripada kita mengasihi tetapi secara tersembunyi,

    “Lebih baik teguran yang nyata-nyata dari pada kasih yang tersembunyi.”

    https://www.bible.com/id/bible/306/PRO.27.5.tb

    Jadi kami harus mengatakan kebearan itu tanpa kompromi. TRWP ada untuk Papua Merdeka, bukan untuk memelihara dan membesarkan ego-ego individu orang Papua. Kita punya aspirasi bersama, cita-cita bersama, perjuangan berasma, oleh karena itu ego pribadi wajib dan harus dimatikan.

    Kami tidak akan berhenti-hentinya berbicara untuk kepentingan bersama bangsa Papua. Individu siapapun yang menjadi penghalang perjuangan ini, tanah leluhur, moyang, darah para pejuang yang sudah gugur di medan pertempuran, di rimba raya, dan keringat air mata pejuang di hutan dan semua orang Papua di manapun kita berada telah menjadi berkat di satu sisi dan menjadi kutuk di sisi lain. Mereka yang memelihara ego pribadinya, akan merugikan perjuangan ini, dan mereka sendiri tidak akan mencapai cita-cita perjuangan ini. Mereka akan mati bersama ego mereka.

    Ingat ini bukan bahasa manusia, ini bahasa “monggar”, artinya bahasa dari makhluk non-manusia, yang juga punya hak asasi yang sama untuk hidup di Tanah Papua, dan juga berjuang untuk kemerdekaan West Papua dari pendudukan dan penjajahan NKRI.

    PMnews: Sudah banyak nasehat dan teguran disampaikan. Apakah para tokoh politik dan diplomat Papua Merdeka akan mendengar atau tidak, kami berdoa semoga mereka mendengarkan dan menuruti permintaan-permintaan ini.

    Terimkasih untuk sekarang cukup sekian dulu.

    TRWP: Kami juga sampaikan terimakasih. Banyak media di Tanah Papua sudah dimasukki oleh agen-agen Cyber Crime NKRI, jauh sebelum itu juga mereka sudah aktif, jadi dengan kehadiran PMNews ini sejak tahu 1998, kami harap terus berkarja sampai Papua Merdeka dan berdaulat di luar NKRI.

  • Periode Bersiap Sarat Pembantaian Jadi Sorotan Penelitian Belanda

    Ilustrasi: Salah satu kapal perang Belanda yang tenggelam pada Pertempuran Laut Jawa 1942, tenggelam saat menghadang invasi Jepang ke Pulau Jawa. (Royal Navy Official Photographer)
    Ilustrasi: Salah satu kapal perang Belanda yang tenggelam pada Pertempuran Laut Jawa 1942, tenggelam saat menghadang invasi Jepang ke Pulau Jawa. (Royal Navy Official Photographer)

    Jakarta – Saat periode Bersiap, diperkirakan puluhan ribu orang Belanda dan Indo-Belanda dibantai. Rentang waktu yang berlangsung pada 1945 sampai 1946 akan menjadi perhatian di penelitian Belanda berdana 4,1 juta Euro.

    Penelitian itu bertajuk ‘Dekolonisasi, kekerasan, dan perang di Indonesia, 1945-1950’. Ada tiga lembaga Belanda yang menyelenggarakan riset ini yakni Lembaga Ilmu Bahasa, Negara dan Antropologi Kerajaan Belanda (KITLV), Lembaga Belanda untuk Penelitian Perang, Holocaust, dan Genosida (NIOD), dan Lembaga Penelitian Belanda untuk Sejarah Militer (NIMH).

    Tiga lembaga ini membuat surat informasi teknis yang ditandatangani Direktur NIOD, Prof dr Frank van Vree pada 9 Februari 2017. Dalam surat yang bisa diunduh dari situs pengumuman resmi Belanda itu, tertulis bahwa periode bersiap bakal menjadi konsentrasi dalam penelitian ini.

    Riset akan dilakukan menggunakan perspektif yang luas. “Misalnya, bahwa dalam penyelidikan baru ini secara eksplisit perhatian akan diberikan pada periode kacau-‘masa Bersiap’ pertengahan Agustus 1945 sampai awal 1946,” tulis Frank van Vree dalam surat itu.

    Mereka juga akan meneliti latar belakang Periode Bersiap yang penuh kekerasan ini, hingga dampak psikologis kekerasan di masa itu bagi militer dan penduduk sipil Belanda.

    Apa itu Periode Bersiap?

    Sejarawan kontemporer Indonesia dari Universitas Indonesia, Rushdy Hoesein menjelaskan Periode Bersiap berlangsung dari 1945 sampai 1946. Istilah ‘bersiap’ sebenarnya lebih akrab digunakan orang Belanda ketimbang orang Indonesia.

    Mereka menyebut dengan istilah seperti itu karena mendengar teriakan dari para pejuang zaman itu.

    “Orang pribumi membuat jargon-jargon politik, membuat pertahanan kampung dengan bambu runcing dan meneriakkan, ‘Siap!’ Itu dalam rangka mengantisipasi kembalinya Belanda yang membonceng NICA,” tutur Rushdy kepada detikcom, Senin (18/9/2017).

    Penuh kekerasan, memang itu yang terjadi, baik kekerasan terhadap orang Belanda yang dilakukan orang Indonesia maupun kekerasan yang dilakukan pihak Belanda terhadap orang Indonesia.

    “Cuma, pihak Belanda menuduh kejahatan yang dilakukan oleh orang-orang Indonesia. Faktanya ada? Ada. Misalnya tiga buah truk yang membawa Prisoner of War selama zaman Jepang. Di Surabaya, ada yang dicegat rakyat. Truknya dibakar, laki-laki dan perempuan dibunuh,”

    ujar Rusdhy.

    “Ngeri!” imbuhnya.

    Tak peduli siapa saja, pokoknya yang berasosiasi dengan Belanda dibunuh. Ada pula orang-orang Indo-Eropa, Tionghoa, dan pribumi yang bersekongkol dengan Belanda juga dipersekusi. Pria, wanita, dewasa, hingga anak kecil juga kena persekusi.

    Dalam presentasi sejarawan dari Universitas Gadjah Mada, Abdul Wahid, berjudul ‘Bersiap and Violence in Indonesia’s Revolutionary Period, 1945-1949: A Review’, korban dari pihak Belanda, Indo, Tionghoa, dan kaum minoritas yang tewas dalam periode Bersiap berjumlah ribuan, meski jumlah ini masih diperdebatkan.

    Ada 3 ribu sampai 8 ribu mayat Belanda dan orang Indo yang ditemukan, 20 ribu hingga 30 ribu orang hilang. Sekitar 10 ribu keturunan Tionghoa dan ratusan orang Indonesia lainnya juga jadi korban. Pelakunya disebut-sebut pihak Belanda dengan istilah ‘pemuda’, milisi, badan/laskar perjuangan, orang kampung, kriminal, dan sebagainya.

    Peneliti asal Belanda dari yayasan Histori Bersama, Marjolein van Pagee, mengkritik penelitian Belanda yang dimulai September ini hingga empat tahun mendatang. Menurutnya, ketimbang meneliti dampak psikologis periode Bersiap terhadap tentara Belanda, lebih baik adakan saja penelitian soal pengaruh propaganda Belanda terhadap cara berpikir masyarakat Belanda sendiri dalam memandang kolonialisme di Indonesia.

    “Mereka menjelaskan bahwa periode Bersiap akan menjadi bagian penting dalam riset itu. Secara pribadi, saya tidak menentang riset tentang periode itu, namun pertanyaan yang mendasari riset itu terasa konyol,” tuturnya.

    Dia menilai pihak negaranya menggunakan istilah Periode Bersiap dengan pemahaman agak berbeda. Belanda berpandangan perang kemerdekaan Indonesia adalah perang antara dua pihak yang sama-sama kuat dan sama-sama berhak. Maka dari itu, pihak Belanda menilai kedua pihak sama-sama melakukan kejahatan perang. Baik Belanda maupun Indonesia sama-sama bersalah. Marjolein mengkritik cara berpikir Belanda ini.

    “Saya berkata: Anda semua (pihak Belanda) berkata seolah-olah pemerintah kolonial adalah pemerintah yang sah! Ayo mulai dengan pertanyaan: Apakah kolonialisme itu sah?” kata dia sambil tersenyum.
    (dnu/ams)

Are you sure want to unlock this post?
Unlock left : 0
Are you sure want to cancel subscription?