Category: Penghianat

Menggugat aksi dan gelagat para Kaum Papindo sebagai penghianat tanah dan bangsa Papua.

  • Dua Peminta Suaka ke Australia Kembali – Satu Pulang ke Serui, Satunya di Merauke

    JAYAPURA- Masih ingat dengan 43 warga Papua yang melarikan diri dan meminta suaka ke negara tetangga Australia 3 tahun lalu, tepatnya akhir tahun 2005?. Ternyata dua diantaranya kembali ke tanah air, karena apa yang dialami di Australia tidak seperti yang dijanjikan sebelumnya.

    Wartawan Cenderawasih Pos dari Merauke melaporkan, kedua peminta suaka ini telah tiba kembali ke tanah Air, kemarin. Yubel Kareni kembali ke Serui tempat asalnya dan Hana Gobay kembali ke Merauke. Keduanya diantar langsung oleh Konsul for Economic Affairs Kedubes Indonesia untuk Australia di Canberra, Jahar Gultom, Rabu ( 24/9) pagi kemarin, dengan menggunakan pesawat penerbangan komersial Merpati Aoba dari Jakarta. Yubel Kareni turun di Bandara Kaisiepo Biak untuk melanjutkan perjalannya ke Serui, sedangkan Hana Gobay turun di Bandara Mopah Merauke sekitar pukul 09.30 WIT.

    Sebelum pesawat mendarat di Bandara Mopah Merauke, keluarga Hana Gobay yang terdiri dari ayah ibunya, Alfons Gobay-Blastina Gobay, pamannya Haryanto Gobay, kakak kandungnya Maria Gobay dan Sopiah Dokopiah adik kandung dari ibu Hana Gobay sudah menunggu kedatangannya di Bandara Mopah Merauke.

    Saat turun dari anak tangga pesawat, Hana Gobay yang mengenakan asesoris serba hitam, topi hitam, kaca mata hitam, jaket kaos warna hitam, celana hitam dan sepatu hak tinggi warna hitam, langsung disambut pelukan ibu dan kakak perempuannya Blastina Gobay-Maria Gobay dan tantenya Sopiah Dokopiah.

    Blastina Gobay tampak mencucurkan air mata kebahagiaan saat berpelukan dengan anak bungsunya dari 4 bersaudara itu.

    ”Saya sangat bersyukur karena akhirnya dapat berjumpa dan bersama kembali dengan anak saya setelah 3 tahun lamanya berpisah. Selama ini saya hanya dapat berdoa dan berdoa untuk dapat dipertemukan kembali. Dan hari ini doa itu telah terkabulkan,” kata Blastina Gobay dengan mata berbinar tanda bahagia.

    Setelah istirahat sejenak di Viip Room Bandara Mopah Merauke, Jahar Gultom mewakili Pemerintah Indonesia menyerahkan secara resmi kepada orang tua Hana Gobay dan Pemerintah Kabupaten Merauke yang diterima langsung oleh Blastina Gobay dan Bupati Merauke Drs Johanes Gluba Gebze dengan menandatangani surat penyerahan dan penerimaan secara resmi.

    Hana Gobay, kepada wartawan mengaku sangat senang dan gembira bisa kembali ke Indonesia, khususnya ke Merauke setelah kurang lebih 3 tahun berada di Australia. Hana mengaku tujuannya saat itu ke Australia hanya satu yakni ingin melanjutkan pendidikannya.
    ”Saat itu ada beberapa mahasiswa yang akan melanjutkan sekolah ke Australia. Nah, waktu itu saya pikir bahwa mengapa tidak bisa, kalau pergi menuntut ilmu ke luar negeri,” jelas mantan Mahasiswi Universitas Sam Ratulagi Manado, Semester VII jurusan sosiologi ini memulai keterangannya ke pers.

    Jaminan untuk melanjutkan pendidikan di Australia itu, lanjut Hana Gobay, dijanjikan langsung oleh Herman Wanggai. Karena keinginan menuntut ilmu di luar negeri itu, lanjut Hana Gobay, mereka berangkat dipimpin oleh Herman Wanggai. ”Untuk ke sana, kami sendiri yang membayar dengan menyumbang Rp 7 juta perorang,” jelasnya. Saat itu, lanjut Hana, disampaikan bahwa uang Rp 7 juta yang dikumpulkan tersebut akan digunakan untuk mengurus pasport dan visa. ”Jadi kami ikut saja,” jelasnya.

    Diceritrakan waktu itu, pihaknya menginginkan untuk lewat Bali, namun Herman Wanggai sebagai pimpinan rombongan memberi alasan tidak perlu lewat Bali prosesnya akan lama dan butuh uang banyak. Dan meminta untuk naik perahu saja, dengan alasan nanti pada saat di perbatasan akan ada jaringan tertentu yang akan menjemputnya. ”Jadi apa yang dijanjikan tidak ada,” katanya.

    Soal keinginan pulang ke Papua, Hana Gobay mengungkapkan merupakan bagian dari haknya sebagai warga Negara Indonesia. ”Keinginan pertama itu karena hak saya untuk kembali karena saya adalah warga Negara Indonesia,” katanya. Kedua, karena ingin bertemu dengan keluarga yang ada di Merauke. Ketiga, ingin agar apa yang diperolehnya selama di Australia, yakni kursus bahasa Inggris dan computer ia ingin terapkan untuk membangun NKRI. Hana mengaku, selama di Australia, mereka diberi peluang untuk belajar Bahasa Inggris, belajar computer dan bekerja.

    Disinggung apa ada keinginan yang lainnya untuk kembali ke Papua? Hana mengaku ada. Hanya saja, ada saja issu yang dikembangkan untuk tidak kembali ke Papua karena akan dipenjara, diinterogasi dan dibunuh yang membuat mereka takut pulang. ”Jadi seperti itu. Tapi saya punya tekad bahwa saya sebagai warga Negara Indonesia punya hak untuk kembali dan saya terlepas dari mereka,” katanya. Karena dengan tekad itu akhirnya meminta untuk dipulangkan. ”Mereka katakan bahwa kalau kamu pulang dengan selamat, maka kami akan siap pulang. Jadi begitu,” jelasnya.

    Menurut Hana, keinginan pulang itu tidak hanya baru dilakukan pada bulan Juli lalu, tapi sejak tiba di Australia. Sebab, visi yang disampaikan ternyata berbalik 180 derajat saat sampai di Australia. Hana yang telah kembali dengan selamat itu, mengaku akan melanjutkan kuliahnya yang sempat terbengkai, namun bukan lagi di Manado tapi akan melanjutkan di perguruan tinggi yang ada di Papua. Selain itu, lanjutnya, jika ada perhatian dari pemerintah dirinya berencana akan membuka kursus bahasa Inggris.

    Bupati Merauke Drs Johanes Gluba Gebze dimintai tanggapannya terkait kepulangan 2 warga Papua setelah sebelumnya meminta suaka politik ke Australia, mengatakan, yang menjadi istimewa itu jika setiap warga bangsa tidak kehilangan rasa cinta tanah airnya. ”Itu yang istimewah. Sejauh-jauh bangau mengangkasa tapi pasti akan kembali ke kubangan. Hujan mas di negeri orang dan hujan batu di negeri sendiri tidak ada seindah negeri sendiri. Tidak ada kemerdekaan, tidak ada kebebasan di negeri manapun kalau bukan di negeri sendiri,” kata Bupati Gebze dengan mengutip kata filsafat. Sebab, menurut Gebze, meski ada kekurangan atau apapun tapi kita bisa merasakan bahwa denyut nadi dan jantung bisa berdenyut bebas tanpa harus mengalami hambatan di seluruh tubuh. Karena itu yang harus menjadi prinsip bahwa setiap orang harus kembali mencintai negeri dan bangsanya dan tanah airnya. ”Karena apa. Karena hidup kita itu adalah belahan jiwa dari tanah air, bangsa dan keluarga. Kalau pisah dari keluarga betapa tersiksanya. Sehingga kita harus kembali bersekutu dan keutuhan kasih sayang dan kedamaian. Karena tidak ada kedamaian dimanapun. Sekalipun di gua tidak pernah ada kedamaian. Karena keadamian yang hakiki itu ada di dalam hati sanubari kita sendiri,” jelas Bupati panjang lebar. Disinggung apa ada perhatian khusus bagi warga yang kembali tersebut, Bupati Gebze menandaskan semua warga Negara diberlakukan sama dan tidak ada dibeda-bedakan.
    Sedangkan, Wakil Ketua II DPR Papua, Paskalis Kossy, S.Pd mendengar informasi menyambutnya dengan antusias. “Bagus itu, kalau memang ada keinginan pulang itu sangat positif,” tukasnya kepada Cenderawsih Pos kemarin.

    Dikatakan, selaku pemerintah daerah, ia juga sangat berterima kasih karena perwakilan pemerintah RI di Australia sudah memfasilitasi kedua WNI asal Papua itu untuk kembali ke tanah air dan berkumpul kembali bersama keluarganya.

    Menurut politisi asal Partai Golkar ini, pengalaman kedua orang itu hendaknya menjadi pelajaran bagi warga lainnya yang juga berniat meminta suaka politik ke negera lain ataupun berbeda idelogi. “Ini menjadi pelajaran yang bagus bagi semua yang ingin minta suaka ke negara lain, disana mereka ternyata hidup susah. Jadi sebenarnya lebih baik hidup di tanah sendiri, tetapi dihargai dan bermartabat dan bebas melakukan apa saja dari pada hidup di negara orang tetapi menderita,” katanya.

    Karena itu kata Paskalis Kossy, jika ingin meminta suaka ke luar negeri hendaknya berpikir masak-masak agar tidak menyesal dikemudian hari. “Karena bagaimanapun, tinggal di negeri orang dengan di tanah sendiri sangat jauh berbeda, jadikan itu pelajaran besar bagi kita semua,” katanya.

    Ia juga berharap, hal itu juga bisa diikuti oleh WNI asal Papua lainnya yang masih ada di luar negeri agar kembali ke tanah air dan membangun tanahnya sendiri sehingga bisa hidup lebih baik dimasa depan di tanahnya sendiri.

    Sementara itu siaran pers yang dikeluarkan Direktorat Informasi dan Media Deplu tertanggal 23 September yang diterima koran ini menyebutkan, keputusan kembalinya 2 warga Indonesia yang sempat meminta suaka politik ke Australia, atas kerelaan dan didorong oleh rasa kecewa mereka atas janji-janji dan keterangan palsu Herman Wanggai dan kelompoknya kepada mereka. Karena itu mereka telah menghubungi KBRI yang ada di Australia pada Juli 2008 dan mereka meminta dibantu untuk dikembalikan ke Papua. Pemerintah Indonesia melalui KBRI Melbourn dan KBRI Canberra telah memfasilitasi keduanya pulang ke kampung halamannya di Papua. Selama proses pemulangan, mereka mendapatkan intimidasi dari sesama suaka lainnya tapi mereka asemakin mantap untuk kembali. Pemerintah, lanjutnya, berkewajiban memberikan perlindungan dan bantuan mengingat mereka masih menjadi warga negara Indonesia. Karena itu Pemerintah Indonesia tidak hanya menyetujui tapi juga memfasilitasi kepulangan mereka.

    Diharapkan kepulangan mereka ini dapat membuka hati dan mata mereka yang masih terus berusaha memojokan Indonesia melalui berbagai cara untuk melihat secara objektif kondisi di tanah air pada umumnya dan Papua pada khususnya. ”Kedua warga Negara Indonesia tersebut menunjukan keberaniannya untuk mengambil sikap ditengah-tengah disinformasi dan tekanan. Karena mereka yakin akan hidup dan kondisi yang baik di Papua,” katanya dalam siara pers. Kepulangan 2 warga Indonesia ini juga, membuktikan bahwa persekusi sebagai alasan permintaan suaka sama sekali tidak terbukti akan tetapi lebih sebagai korban dari konspirasi politik dan tipu daya Herman Wanggai beserta pendukungnya. ”Kalau mendengar dari Hana dan Yubel, kemungkinan masih ada yang ingin kembali. Sebagai perwakilan kita (Pemerintah Indonesia,red) di Australia, adalah kewajiban kita memfasilitasi dan membantu kalau mereka mau pulang,” tambah Jahar Gultom, Konsul Ekonomi di KBRI Caberra ini menambahkan setelah menyerahkan Hana Gobay secara resmi yang diterima orang tuanya dan Bupati Merauke Drs Johanes Gluba Gebze di ruang Viip Room Bandara Mopah Merauke. (ulo/ta)

  • Jhon Ibo: Para Pelintas Batas Tetap Miliki Hal Pilih

    KETUA DPRP, Drs John Ibo,MM mengatakan para pelintas batas di PNG yang saat ini masih dalam proses pengembalian ke tanah kelahirannya masing-masing baik di Kabupaten Jayapura, Sorong dan beberapa daerah lainnya, tetap memiliki hak pilih dalam pemilu Legislatif 2009 mendatang.

    Meski dalam aturan domisili, seseorang diperbolehkan untuk ikut memilih jika telah mendiami sebuah daerah selama 6 bulan secara berturut-turu, John Ibo tetap meyakinkan bahwa ke 708 warga yang akan kembali tersebut boleh ikut memilih.

    Dikatakan, tak ada alasan apapun untuk menolak sekelompok orang ini mengikuti Pemilu karena bagaimanapun juga para Repatriasi ini masih warga negara Republik Indonesia yang telah diterima secara resmi oleh negara yang diwakili oleh daerah.Pernyataan ini disampaikan John Ibo menjawab pertanyaan Cenderawasih Pos usai peresmian Huluva Kombo, baru-baru ini.

    “Mereka tetap memiliki hak pilih meski nama mereka sempat cacat karena memilih keluar dan berdiam ke negara lain,” tutur John Ibo.Menyangkut kesadaran untuk kembali ini, John Ibo menyampaikan bahwa pemerintah akan memberikan peluang penuh kepada mereka dan sewajarnya memberikan hak-hak dalam berkewarganegaraan karena telah diterima meski memiliki noda politik.

    Keputusan untuk meninggalkan Indonesia saat itu juga bukan tanpa alasan dimana aspirasi yang disampaikan ke DPRP saat itu menurut John Ibo situasi keamanan sangat tidak kondusif dan tidak menjamin keselamatan hidup dan diputuskan berlindung ke negara tetangga yang lebih aman.(ade)

  • Dua Anggota TPM OPM Biak Menyerahkan Diri

    ISTIMEWA/POLRES BIAK
    Barang bukti yang diserahkan dua Tentara Papua Merdeka yang menyerahkan diri hari Selasa (26/8) ini.
    Selasa, 26 Agustus 2008 | 12:23 WIB

    Laporan wartawan Kompas Ichwan Susanto

    MANOKWARI, SELASA– Dua anggota Tentara Papua Merdeka dari Organisasi Papua Merdeka (TPM-OPM) Biak, Selasa (26/8) pukul 10.00 WIT, menyerahkan diri ke Kepolisian Resor Biak Numfor. Mereka juga menyerahkan dua kartu tanda anggota, dua pucuk pistol rakitan, dan 10 butir peluru.

    “Satu anggota berinisial MAP dan satu lagi tidak saya sebutkan demi keselamatan mereka,” ujar Ajun Komisaris Besar Kif Aminanto, Kepala Polres Biak Numfor, ketika menghubungi Kompas, Selasa siang. Pada foto kartu anggota tertulis MAP berasal dari Korps Mariners dan bergambar lambang burung mambruk dengan pita bertuliskan One People One Soul.MAP selama ini bersembunyi di Kampung Vanusi wilayah Biak Barat.

    Penyerahan diri kedua orang ini, kata Aminanto, disebabkan perjuangan mendapatkan Papua Merdeka tidak kunjung menunjukkan hasil.

    ICH

  • 156 OPM Menyerah – Serahkan 3 Pucuk Senjata, Diterima Langsung Menkokesra di Oksibil

    OKSIBIL- Sadar akan kemajuan pembangunan yang terjadi di daerahnya dengan ditunjang fasilitas-fasilitas berteknologi, serta adanya upaya persuasif aparat keamanan, akhirnya menggerakkan hati 156 TPN/OPM yang berada di belantara Kabupaten Pegunungan Bintang, turun gunung alias menyerahkan diri.
    Mereka terdiri dari kelompok Agustinus Kaproka 50 orang dan kelompok Paulus Kalakdana 106 orang, sehingga totalnya 156 orang.

    TPN/OPM yang turun gunung tersebut dipimpin langsung Benidiptus dari kelompok Iwu/ Yumakot Endiri Bitdana. Disaksikan dan diterima langsung oleh Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat (Menkokesra), Aburizal Bakrie, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Mardiyanto dan Menteri Pekerjaan Umum, Djoko Kirmanto, serta sejumlah pejabat lainnya di halaman Kantor Bupati Pegunungan Bintang yang baru, Kampung Okyop, Distrik Dabolding, Kamis (7/8), kemarin.

    Selain menyerahkan diri, mereka juga menyerahkan 3 pucuk senjata organik jenis dabloop dan 10 amunisinya.

    Ratusan TPN/OPM tersebut menyerahkan diri bertepatan peresmian Kantor Bupati dan kantor DPRD Kabupaten Pegungan Bintang, Kamis (7/8), kemarin. Ditandai pembacaan berita acara oleh salah satu perwakilan TPN/OPM Benidiptus Jamkin, yang selanjutnya prosesi perdamaian dengan Menkokesra. Selanjutnya berita acara itu ditandatangani perwakilan OPM Benidiptus Jamkin, Mendagri Mardiyanto, Wagub Alex Hesegem, dan Danrem 172/PWY Kolonel CZI I. Made Sukadana.

    Seusai penandatanganan dilanjutkan penyerahan bendera merah putih kepada TPN/OPM oleh Mendagri dan diakhiri foto bersama.

    Sementara Dandim 1702/ Jayawijaya Letkol Inf Grandy di tempat terpisah mengatakan, kesadaran para TPN/OPM tersebut menyerahkan diri tidak terlepas dari segala upaya pendekatan persuasif yang diberikan aparat, sehingga niat baik tersebut harus mendapat dukungan penuh dari pihak Pemerintah untuk memberikan fasilitas perumahan, agar mereka juga dapat dilibatkan dalam pembangunan.

    “Niat tersebut merupakan niat baik yang perlu diseriusi Pemerintah,dalam melibatkan mereka (TPN/ OPM red) dalam pembangunan,” ujarnya.

    Dirinya juga akan berupaya untuk memberikan uaya-upaya persuasif agar masyarakat lainnya lagi yang masih di hutan karena berbeda pendapat dengan konsep bingkai NKRI agar segera kembali ke tengah masyarakat dan beraktivitas seperti biasa.

    Sedangkan bunyi isi berita acara itu antara lain, menyatakan menerima penyerahan diri masyarakat yang berbeda pendapat dengan negara ke satuan RI kembali ke pangkuan ibu pertiwi NKRI, atas nama anggota dan Benniditus Jamkin dengan sejumlah catatan. Antara lain, 1 Setia kepada NKRI berdasarkan pancasila dan UUD 1945, 2 Tidak bergabung kembali dengan kelompok masyarakat yang berbeda pendapat dengan NKRI dan membantu menciptakan keamanan dan ketertiban di wilayah Kab Pegunungan bintang dan 3 Mendukung program pembangunan di wilayah Kabupaten Pegunungan Bintang.

    Menkokesra saat menggelar jumpa pers di Bandara Sentani seusai kunjungannya ke Pegunungan Bintang, Kamis (7/8) kemarin mengatakan, setelah meresmikan Kantor Bupati Pegunungan Bintang, dirinya menerima 156 orang yang tadinya berseberangan dengan NKRI untuk kembali ke pangkuan NKRI.

    “Mereka itu dari kelompoknya Agustinus Kaproka 50 orang, dan dari kelompok Paulus Kalakdana 106 orang. Dalam kesempatan itu, mereka juga menyerahkan 3 pucuk senjatanya,” kata Aburizal Bakrie.

    Dikatakan, kepada mereka dan masyarakat di sekitar daerah itu, diberikan 400 unit rumah, berikut listrik mikro hidro dan fasilitas lainnya dengan dana Rp 98 miliar dari APBN. “Jadi pembangunan ini tidak hanya bagi orang-orang yang kembali ke NKRI, tapi juga bagi rakyat di sekitar tempat itu,” tuturnya.

    Dengan adanya ini, pihaknya berharap bahwa kelompok lainnya juga segera kembali ke NKRI, seperti kelompok Tadius Yogi di Enarotali, kelompok Kelik Kwalik di Timika dan kelompok Guliat Tabuni di Puncak Jaya. “Kita berharap mereka bias turun gunung dan mulai membangun Papua dengan damai,” harap Menko Kesra.

    Pada kesempatan itu, Ical panggilan akrab Menko Kesra juga menjelaskan, pada 6 Maret 2008 lalu, pihaknya telah meresmikan suatu pemukiman terpadu di Distrik Konero Kabupaten Tolikara yang pendanaannya berasal dari dana pasca bencana/konflik tahun 2006.

    Setelah itu, di Wamena, Menko Kesra menerima 36 orang mantan kelompok masyarakat yang berseberangan dengan pemerintah yang kembali ke pangkuan NKRI.

    Pada kesempatan itu, pihaknya berjanji membantu keinginan masyarakat tersebut untuk mendapatkan pemukiman yang layak. Setelah melakukan perencanaan dan berkoordinasi dengan Pemprov Papua, akhirnya terbit persetujuan pemerintah pusat senilai kurang lebih Rp 40 miliar untuk pembangunan di tiga tempat, yaitu Balingga, Melagaineri dan Kuyage yang berupa 100 unit perumahan tipe 36, Puskesmas Pembantu (Pustu), balai desa, pembangkit listrik mikro hidro, demplot pertanian, rehabilitasi sekolah, sarana air bersih dan jalan desa.

    “100 unit rumah itu untuk 20 orang tokoh masyarakat, 15 orang kepala suku, 15 tokoh agama, dan 50 orang mantan kelompok yang berseberangan dengan NKRI,” terangnya.

    Sebagai tanda dimulainya pembangunan tersebut, Menko Kesra Kamis (7/8) pagi kemarin melaksanakan peletakan batu pertama di Distrik Balingga Kabupaten Lani Jaya dan direncanakan pembangunan ini akan selesai Desember 2008.

    “Dengan adanya pembangunan ini diharapkan kondisi masyarakat akan semakin membaik, sehingga dengan sendirinya masyarakat yang masih berseberangan mau turun dan mau bergabung untuk membangun daerahnya. Pemda diharapkan juga membina mereka. Karena itu, saya ditugaskan oleh presiden untuk mendukung pembangunan di derah itu, karena pendekatan yang dilakukan presiden sekarang bukan lagi pendekatan keamanan, tetapi pendekatan peningkatan kesejahteraan rakyat. Kelompok yang belum bergabung, diharapkan mengikuti saudara-saudaranya yang sudah kembali ke pangkuan NKRI,” pungkasnya..(jim/fud/ade)

  • Sekitar 440 TPN Akan Kembali dari PNG

    Catatan SPMNews di PapuaPost.com
    SPMNews menyaksikan langsung sejumlah pertemuan digelar antara para tuan tanah di wilayah perbatasan yang ada di Papua New Guinea. Untuk pemantauan, Kopassus menyamar menjadi nelayan dan pemburu kasuari, dan pura-pura mengejar buruan lalu muncul di PNG, berjualan, memegang proyek penebangan kayu dan sebagainya. Sementara itulah, mereka bergaul dengan tuan tanah orang Papua di Papua TImur (PNG) dan membujuk mereka untuk mengusir sesama sebangsa dari tanah air mereka di Pulau New Guinea bagian TImur.

    Ada satu orang bernama John Wakum dkk di berada di Kamp Pengungsi Kiunga menjadi pengurus dan contact person utama.
    Dia mendaftar nama mereka. Lau ada operasi TNI besar-besaran di perbatasan Vanimo, Maroke, pegunungan tengah.

    Jadi, BUKAN ANGGOTA TPN yang mau PULANG, tetapi para pengungsi, dan BUKAN karena sukarela, TETAPI KARENA PAKSAAN. Dikejar baru lari, dikejar lagi mau dipulangkan, nanti akan dikejar lagi di Papua Barat, lalu nasib suku-bangsa Papua mau ke mana???
    =============================

    Jayapura [papuapos.com ] – Panglima Kodam XVII Cenderawasih, Mayjen TNI Hariyadi Soetanto mengatakan, TPN/OPM masih ada, tetapi keberadaan mereka saat ini sudah tidak eksis lagi. Soalnya, sebagian besar mereka itu sudah mau turun alias kembali dari wilayah seberang, Papua New Guine. Diperkirakan tidak kurang dari 440 TPN yang akan pulang kampung.

    “Beberapa waktu yang lalu mereka pulang ke Wamena, dalam waktu dekat bulan Agustus ini, begitu seringnya Menko Kesra, stafnya Menko Kesra Aburizal Bakrie datang ke Wamena, datang ke Oksibil, datang ke Enarotali, itu dalam kaitan mencari data berapa lagi yang akan turun karena mempersiapkan apa yang bisa diberikan bantuan,” terang Mayjen Soetanto menjawab wartawan terkait keberadaan TPN, Jumat (25/7) usai Sertijab Danrem 172/PWY.

    Ia mengatakan, informasi yang ia dapatkan dari aparatnya bahwa tidak kurang dari 200 orang yang akan turun di Oksibil, tidak kurang dari 240 orang yang akan turun di Enarotali, dimana mereka adalah bekas-bekas TPN. Sehingga menurutnya, kalau dikatakan ada, mereka memang ada, tapi mungkin berada di wilayah Papua New Guine, bersembunyi disama. “Itupun tidak perlu kita kejar. Jangankan disana, didalampun tidak perlu dikejar, kita gabung saja marilah sama-sama,” katanya mengajak.

    Menurut kaca mata Pangdam, mantan TPN ini adalah masyarakat bangsa Indonesia yang berbeda pandangan sementara ini. Sehingga kalau merekak menamakan diri sebagai TPN, silahkan saja. “Kita punya kewajiban menyadarkan mereka untuk kembali dan buktinya mereka sadar sekarang ini dan banyak yang sudah mau kembali, meskipun ada beberapa kelompok yang ingin kembali karena ingin mendapatkan sesuatu,” ujarnya kemudian. [Frida/Papua Pos]****
    ———————————
    Sumber: www.papuapos.com
    Date : Senin, 28 Juli 200

  • 90 TPN/OPM Menyerah

    SEMENTARA ITU, pernyataan Pangdam Mayjen TNI Haryadi Soetanto (Cepos, Sabtu (16/5) bahwa pendekatan persuasif sangat efektif dalam menyadarkan kelompok-kelompok yang berbeda ideologi (TPN/OPM), rupanya benar adanya.

    Data di Korem 172/PWY, November 2007- Maret 2008, setidaknya ada sekitar 90 anggota TPN/OPM yang telah kembali ke pangkuan Ibu pertiwi. (more…)

  • Demo Papua Merdeka di London, Sensasi Politik

    JAYAPURA (Papua Pos) – Aksi demonstrasi damai yang digelar beberapa orang yang menamakan diri “Free West Papua” di depan gedung KBRI London pada 1 Mei lalu dipimpin Benny Wenda hanya untuk menarik perhatian para wisatawan setempat agar kaum wisatawan tidak perlu lagi melakukan perjalanan wisata ke Papua untuk melihat dari dekat orang asli Papua berpakaian tradisional.

    Hal itu disampaikan salah seorang mantan pejuang politik Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang sudah secara resmi kembali ke pangkuan ibu pertiwi Indonesia, Nicholas Messed di Jayapura melalui telepon selular, Jumat kemarin.
    “Aksi demonstrasi di depan gedung KBRI London dengan pameran utama Benny Wenda yang mengenakan pakaian tradisional orang asli Papua itu merupakan sebuah atraksi seni, sehingga tidak perlu ditanggapi secara politis, tetapi dipandang dari sisi seni berbusana tradisional. Jika pendemonya meneriakkan kemerdekaan Papua, maka hal itu tidak perlu digubris,” tuturnya.
    Messed yang pernah menjadi warga negara Swedia itu meminta Benny Wenda sebaiknya tidak perlu mencari sensai politik di luar negeri, tetapi kembali saja ke Papua, tanah kelahirannya sendiri untuk bersama-sama dengan saudara-saudaranya di sini membangun Papua menuju Papua Baru yang lebih adil, damai dan sejahtera.
    Dia mengingatkan Benny Wenda agar menyadari dirinya yang saat ini sedang dimanfaatkan oleh LSM tertentu untuk kepentingan LSM itu sendiri yang ujung-ujungnya adalah menarik simpatik guna mendatangkan uang sebanyak-banyaknya demi suksesnya agenda politik LSM tersebut.
    “Patut dicatat bahwa apa yang dilakukan Benny Wenda di depan gedung KBRI pada 1 Mei itu tidak sedikitpun mempengaruhi sikap resmi Pemerintah Inggris tehadap keberadaan Papua di dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pemerintah Inggris telah secara resmi dan konsisten mengakui Papua sebagai bagian integral dari NKRI,” tegasnya.
    Dikemukakan lagi, apa yang dilakukan Benny Wenda bersama rekan-rekannya itu hanyalah membuang waktu dan energi. Jauh lebih baik dia kembali ke Papua untuk membangun tanah Papua ini. “Saya sudah punya pengalaman puluhan tahun berjuang di luar negeri untuk kemerdekaan Papua namun semua perjuangan itu sia-sia belaka, malahan menyengsarakan diri sendiri dan merugikan sesama masyarakat di tanah Papua,” katanya.
    Kesadaran yang mendalam akan kesia-siaan memperjuangkan kemerdekaan Papua itulah maka pada akhirnya ia memutuskan untuk kembali ke pangkuan ibu pertiwi Indonesia khususnya pulang ke provinsi tertimur dari kepulauan Nusantara ini yaitu tanah Papua yang indah, permai, subur serta kaya akan potensi laut, hutan dan potensi tambang di perut bumi Cenderawasih ini.
    “Baik atau tidak baik, tanahku Papua lebih baik. Hujan emas di negeri orang, hujan batu di negeri sendiri, baiklah di negeri sendiri,” katanya dengan nada puitis.
    Messed mengatakan, ketika berunjuk rasa damai di depan gedung KBRI London itu, Benny Wenda mengenakan topi tradisional khas Papua dengan wajah yang dicoreng warna putih bagaikan seorang kepala suku di tanah Papua.
    “Apa yang dilakukannya sangat menarik karena atraksi itu merupakan tampilan seni tradisional Papua yang menarik perhatian kaum wisatawan di Inggris. Baiklah aksi itu dipandang sebagai sebuah atraksi seni tradisional yang patut dilestarikan seperti halnya pemerintah dan masyarakat Papua di tanah Papua ini sedang melestarikan berbagai potensi seni dan budaya asli Papua,” katanya.
    Sebuah tontonan gratis di bidang seni tradisional Papua sudah diperlihatkan Benny Wenda dan rekan-rekannya. Itu saja yang dipahami ketimbang mendiskusikan hal itu dari sudut pandang politik yang hanya membuang waktu dan energi saja.
    Demo damai yang dilakukan anggota Gerakan Papua Merdeka sudah sering dilakukan dan hal itu lumrah di sebuah negara yakni Inggris yang menjunjung hak asasi manusia dan demokrasi.** (sumber: papuapos.com)
  • Para Aktivis Gerakan Papua Merdeka yang Kembali ke Pangkuan NKRI

    Beberapa tokoh Organisasi Papua Merdeka (OPM) memilih kembali ke kampung halaman sebagai WNI. Mereka ingin membangun tanah Papua dalam kerangka otonomi khusus.

    SEJAK 1969 Nick Messet mencoba berjuang untuk sebuah negara Papua yang merdeka. Karena pilihannya itu, dia kehilangan identitas sebagai warga negara Indonesia (WNI). Namun, setelah puluhan tahun berjuang, Messet sadar bahwa memerdekakan provinsi yang dulu bernama Irian Jaya itu bukan hal gampang.

    Messet lahir di Kampung Keder, Kabupaten Sarmi, Papua, 1946, dari keluarga yang cukup terhormat. Ayahnya, Thontje Messet, pernah menjadi bupati Jayapura (1975 – 1982). Dia putra Papua yang cerdas. Usai meraih gelar sarjana muda arsitektur di ITB, Messet pulang ke Papua. Dia dijanjikan bisa kuliah di Amerika. Namun, rencana itu dibatalkan pemerintah tanpa alasan yang jelas.

    "Saya lalu berpikir kalau kita tinggal dengan bangsa yang jahat (Republik Indonesia, Red) akan sangat berbahaya," katanya kepada Cenderawasih Post (Grup Jawa Pos).

    Pada 1966, Messet lalu meminta restu ayahnya untuk sekolah pilot di Sekolah Penerbangan NASA (Nationwide Aviation Space Academy) di Australia dan lolos menjadi penerbang. "Kenapa saya ingin menjadi pilot? Karena saya mau buktikan bahwa kita orang Papua pintar-pintar," katanya.

    Pulang dari Negeri Kanguru, dia menjadi aktivis Organisasi Papua Merdeka (OPM). Jabatannya: pejabat penghubung (liaison officer) antara para pejuang OPM dan Papua Nugini (PNG).

    Dengan lisensi penerbang yang dipunyainya, Messet diterima bekerja sebagai pilot maskapai penerbangan PNG (Air Nugini). Tapi, perjuangannya terus dilakukan. Selama 10 tahun di PNG, dia banyak menyelundupkan tokoh OPM ke PNG. Karena kegiatan itu, dia ditangkap dan dideportasi oleh pemerintah PNG. Untungnya, dia menerima suaka dan sejak 1979 tinggal di Swedia.

    Meski hanya berbekal semangat, di Swedia Messet terus berjuang. "Di Swedia, pengangguran seperti kita dijamin hidupnya oleh pemerintah," ujarnya.

    Messet terus melakukan kampanye dan melakukan lobi-lobi internasional untuk membantu kemerdekaan West Papua. Dalam lobi internasionalnya itu, Messet antara lain bertemu Yuri Andropov, pimpinan KGB, pada September 1982. Kepala Dinas Intelijen Uni Soviet (sekarang Rusia) itu, lanjut Messet, berjanji membantu kemerdekaan Papua dengan mengirimkan senjata melalui Vietnam. Tapi, rencana itu batal karena Tuhan punya rencana lain. Yuri keburu meninggal dunia.

    Selain ke Uni Soviet, Messet juga menemui tokoh-tokoh penting di negara Pasifik seperti di Vanuatu dan Nauru.

    Pada 1985 Messet diajak pemerintah Vanuatu untuk menjadi pilot di Air Vanuatu. Tawaran itu diterimanya. Jabatan itu dijalani hingga 1988. Ketika terjadi konflik di negara yang terletak di Pasifik itu, Messet ikut menjadi korban. "Saya kembali lagi ke Swedia hidup sebagai pengangguran," katanya.

    Selama di Swedia, Messet sempat bertemu tokoh GAM Hasan Tiro dan seorang tokoh yang disebut Zainal. "Saya pernah bawa Zainal ke Rusia, tapi Yuri (Yuri Andropov) tidak mau bertemu dengan tokoh GAM," ujarnya.

    Pada 1994, Messet kembali ke PNG yang saat itu dipimpin PM Julius Chan. Situasi politik di negara itu sudah berubah. Dia menghubungi rekannya, Franzalbert Joku, untuk menfasilitasi dirinya kembali ke tanah Papua melalui PNG.

    Julius Chan menyambut positif kepulangan Messet ke Port Moresby, ibu kota PNG. Yang membuat dia bersyukur, Chan memerintahkan pencabutan surat deportasi. Di negeri itu, dia bergabung dengan Nation Air dan kembali bekerja sebagai pilot.

    Pada 1997 secara kebetulan Messet bertemu Fredy Numberi yang saat itu gubernur Papua. Oleh Numberi, Messet mendapat tugas membantu urusan Papua di PNG. Namun, setelah Numberi diangkat menjadi menteri, Messet berhenti. Dia lalu ke Australia dan aktif kembali pada kegiatan politiknya.

    Pada 2001 Papua kembali bergolak menyusul terbunuhnya Pimpinan Presidium Dewan Papua (PDP) Theys Hio Eluay. Dia terlibat aktif dalam berbagai lobi internasional untuk menekan pemerintah RI.

    Namun, pada 11 Juli 2005 Messet kembali bertemu Fredy di Jakarta yang mengajak Messet bekerja di bidang perikanan. Ajakan yang sama disampaikan Gubernur Papua Barnabas Suebu saat bertemu dengannya setahun kemudian.

    Messet mengatakan, dalam menyelesaikan masalah Papua, tokoh-tokoh Papua memiliki dua pandangan. Kalangan OPM seperti Zet Rumkorem dan Yacob Prai menginginkan masalah Papua diselesaikan melalui jalur konfrontasi militer. "Tapi, kami memilih cara dialog yang damai," ujarnya.

    Masalah Papua terus menggelinding hingga menjadi perhatian intenasional. Namun, sejalan dengan itu, hati Messet juga terpanggil untuk kembali pulang. "Hati saya untuk pulang sebenarnya sudah ada ketika bertemu Pak Fredy," ujarnya.

    Puncaknya, Messet meminta Fredy menjamin kepulangannya itu. Namun, dia tak bisa memberikan jaminan. Alasannya, hal seperti itu adalah isu yang sangat sensitif.

    Lewat pendekatan melalui KBRI di Port Moresby kepada pemerintah pusat, Jakarta menyambut positif, tetapi tidak langsung mengiyakan. Suatu saat dia bertemu tokoh Sulsel Alwi Hamu yang mau mempertemukannya dengan Wapres Jusuf Kalla pada Juli 2007 lalu. Akhirnya keinginan itu terwujud. Pada akhir Februari lalu bukti identitas dirinya sebagai bagian dari bangsa Indonesia telah diberikan oleh utusan Wapres Jusuf Kalla.

    "Saya melihat perubahan di Indonesia. Demokrasi sudah berkembang meski belum sempurna. Tapi, saya yakin akan terus tumbuh," katanya.

    Selain itu, dengan Otsus Papua, dia melihat Papua semakin menunjukkan kemajuan. Messet ingin ikut membangun Papua melalui bidang lain. "Otsus adalah hasil perjuangan Papua Merdeka. Tanpa perjuangan Papua merdeka, Otsus tidak akan lahir," tandasnya.

    Pelajaran lain yang dipetik dari perjuangan selama 40 tahun untuk Papua merdeka, kata Messet, adalah banyak negara yang berjanji membantu perjuangan OPM. "Itu hanya janji yang tak terwujud hingga detik ini."

  • Aktivitas PDP Tidak Terganggu Dengan Sikap Politik Nick Messet

    JAYAPURA [Cepos] – Keinginan Nickholas ‘Nick’ Messet yang mengaku sebagai Menteri Luar Negeri OPM untuk menjadi Warga Negara Indonesia (WNI) sebagaimana yang disampaikan di hadapan Wapres Jusuf Kalla, tidak membuat Presidium Dewan Papua (PDP) kebakaran jenggot. Sebab, dalam tubuh PDP, Nick tak lebih dari seorang simpatisan.

    Sekjen PDP, Thaha Al Hamid, saat dimintai tanggapannya terkait dengan sikap politik Nick Messet yang mengaku sebagai Menteri Luar Negeri OPM tersebut, pertama-tama ingin mengklarifikasi tentang pengakuan Nick sebagai Menteri Luar Negeri (Menlu) OPM di massa Theys Hiyo Eluay. “Di masa Theys, kami (PDP) tidak membentuk kabinet apapun, sehingga tidak ada yang namanya menteri ini dan itu. Jadi tidak benar ada menteri luar negeri pada masa Theys seperti pengakuan Nick Messet. Ini yang perlu kami klarifikasi,” jelas Thaha.

    Dijelaskan oleh Thaha, pada masa Theys sebagai Ketua PDP, yang ada hanya organisasi perjuangan, dimana ada ketua, wakil ketua dan Sekjen. Sementara untuk urusan dalam luar negeri maupun dalam negeri, ditunjuk orang-orang yang disebut sebagai moderator.

    Dari sepengetahun Thaha, peran Nick Messet untuk membantu diplomasi luar negeri soal Papua Merdeka bahwa pada masa tokoh OPM seperti Zeth Rumkorem dan Nickolas Tanggahma ke Senegal membuka kantor kedutaan OPM di sana, Nick Messet adalah seorang anak muda yang ikut bersama-sama dengan mereka dalam kegiatan itu. Selanjutnya, yang dirinya tahu, aktivitas Nick adalah sekolah menjadi pilot.

    Thaha juga mengakui tahu persis bahwa Nick Messet adalah pilot yang sangat disegani negara-negara Pasifik. Ini didengar dan disaksikan langsung saat kunjungan ke beberapa negara di daerah Pasifik beberapa waktu lalu.

    Ditanya, apakah selama ini Nick juga dipakai oleh PDP untuk membantu diplomasi politik masalah Papua di luar negeri? Thaha tidak menyangkalnya, namun peran Nick itu bukan dalam jabatan struktural lembaga PDP. “Di PDP, posisi Nick sebagai simpatisan. Jika Nick disebut membantu diplomasi di masa lalu, saya akui iya! Walaupun tidak secara resmi dalam bentuk surat atau SK sebagai wakil PDP secara struktural,” jawabnya seraya mencontohkan, bahwa Nick ikut terlibat dalam pertemuan yang dilakukan PDP tahun 2000 lalu di Port Vila, Ibu Kota negara Vanuatu dan beberapa pertemuan lainnya di Pasifik.

    Sementara itu, tentang sikap politik Nickholas ‘Nick’ Messet, untuk minta kembali menjadi Warga Negara Indonesia (WNI), ditanggapi Thaha sesuatu yang biasa. Bahkan lembaga representasi perjuangan politik rakyat Papua itu mengaku, tidak kaget dengan keputusan Nick itu.

    Thaha Al Hamid menilai, sebenarnya yang terjadi adalah Nick Messet menghadap Wapres Yusuf Kalla adalah dalam rangka momohon atau minta kewarganegaraan atau Naturalisasi dan bukan repatriasi atau minta kembali menjadi WNI. “Yang saya pahami bahwa Nick belum pernah bergabung menjadi warga negara Indonesia, sebab dia keluar negeri sebelum massa Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) di Papua tahun 1969,” jelasnya.

    Thaha mengaku tidak kaget dengan apa yang dilakukan Nick Messet, sebab satu tahun lalu (2006), niat untuk naturasi pernah disampaikan Nick kepada dirinya. “Jadi apa yang dilakukan Nick bukan sesuatu yang luar biasa. Itu hal yang wajar dan biasa saja,” jelasnya.

    Digambarkan, apa yang dilakukan Nick, sama seperti Ivana Lee, Liem Swie King, Tan Joe Hok, Hendrawan (Para Pemain Bulutangkis Andalan Indonesia di Tahun 1980-an) yang meskipun sudah membela nama Indonesia dan lahir di Indonesia, namun harus terus berjuang bertahun-tahun untuk mendapatkan Warga Negara Indonesia. “Artinya, apa yang dilakukan Nick untuk minta naturalisasi adalah hal yang biasa saja, sama seperti mereka,” tegasnya lagi.

    Dijelaskan, sebenarnya 5 tahun lalu atau sekitar tahun 2000 -2002, Nick sudah pulang ke Papua. Hanya saja, karena ia warga negara Swedia, maka Nick terpaksa bolak-balik Papua dan luar negeri, terutama ke PNG. “Jadi yah… keinginan menjadi WNI sudah dia pikirkan jauh-jauh sebelumnya, apalagi dalam usianya saat ini, Nick ingin datang dan menetap di Papua, sehingga ia mewujudkan keiginannya itu melalui prosedur resmi ke pemerintah RI,” terang Sekjen PDP ini.

    Dengan demikian, keiginan Nick menjadi WNI sama sekali tidak mengurangi aktivitas PDP baik di dalam maupun di luar negeri dalam hal diplomasi. “Kami tetap menghormati keputusan yang diambil Nick Messet, hanya saja, yang saya sayangkan, apa yang dilakukan Nick ini di blow up seolah-olah sebagai suatu keberhasilan, padahal yang perlu dicari dan dijawab adalah mengapa orang Papua lari dan bermukim di luar negeri, itu yang seharusnya selesaikan akar masalahnya,” papar Thaha.

    Lalu bagaimana jika orang Papua lainnya yang lari ke luar negeri atau menjadi warga negara asing mengikuti jejak Nick Messet ingin kembali menjadi WNI? Thaha tetap saja menilai bahwa hal itu tak menjadi masalah. Malah, dirinya menilai bahwa sewajarnya orang Papua yang ada di luar negeri kembali ke tanah airnya di Papua. “Papua adalah tanah lahir mereka, jadi wajar jika mereka ingin kembali ke sini. Sebab kalau ingin berjuang untuk Papua, mari bersama-sama kita berjuang di sini, Kalau bisa berjuang di Papua, mengapa harus bermukim di sana (luar negeri),” ungkapnya.

    Yang dirinya tahu, lanjut Thaha, dari laporan Badan Intelijen Negara (BIN) saat dirinya bertemu dengan DPR RI di Jakarta beberapa waktu lalu, selain Nick, Frans Albeth Joku (Mantan Mederator Urusan Luar Negeri PDP) juga akan melakukan naturalisasi. “Yang pokok di sini, bahwa dengan dilakukan repatriasi satu atau seribu orang Papua di luar negeri kan tidak berarti persolan di Papua menjadi selesai, sebab bagi kami, proses naturalisasi dan repatriasi adalah proses yang wajar saja,” jelasnya lagi.

    Dikatakan juga bahwa sudah diketahui umum, baik dari internet mapun media massa bahwa orang-orang seperti Nick Messet, Frans Alberth Joku dan Febiola Ohei ini dipakai pemerintah untuk melakukan tour ke Eropa beberapa waktu lalu untuk diplomasi bagi pemerintah Indonesia terkait kampanye Otsus dan masalah Papua. Namun, hal itu dipandang sebagai sikap yang tidak mengganggu aktivitas PDP. “Perbedaan pandangan itu wajar, dan biarlah kita dalam perbedaan tetap membangun komunikasi yang baik, sehingga tidak menjadi pertentangan. Sebab sudah rahasia umum, bahwa dari dulu orang Papua memang selalu sengaja dibuat untuk saling bertentangan yang akhirnya bisa menimbulkan perpecahan,” jelas Thaha. (luc)

    ____________________________________
    Sumber: SKH Cenderawasih Pos

  • Kisah Mantan Aktivis Gerakan Papua Merdeka yang Kembali ke Pangkuan NKRI (bagian-1)

    40 Tahun Melobi Negara Luar, Tidak Ada yang Terealisasi. Nicholas Simion Messet dan Frans Albert J, Franzalbert F.A Joku adalah sebagain dari para pejuang gerakan Papua Merdeka atau OPM, tapi kini mereka berbalik arah ingin menjadi bangsa Indonesia yang hakiki. Apa yang membuat kedua orang radikal ini berbalik arah dan bagaimana perjuangan mereka untuk gerakan Papua merdeka. Simak juga keinginan pejuang OPM lainnya yang ingin kembali ke pangkuan NKRI tetapi belum terwujud.

    Laporan RAHMATIA

    Perjuangan itu begitu melelahkan tetapi tak jua terwujud, begitu kata Nick Messet tentang perjuangannya untuk gerakan Papua merdeka. Bagaimana tidak, puluhan tahun sejak tahun 1969, ia menanggalkan identitasnya sebagai Warga Negara Indonesia (WNI) dan berjuang untuk mewujudkan Papua merdeka untuk lepas dari NKRI, namun toh hingga detik ini usaha itu tak kunjung berhasil. Padahal berbagai cara telah dilakukan untuk mewujudkan impian yang kian meredup itu.
    Messet lahir di Keder Sarmi 1946 silam dari keluarga yang cukup terhormat, ayahnya pernah menjadi Bupati Kabupaten Jayapura Thontje Messet (1975 – 1982). Awalnya Messet adalah seorang putra Papua yang cerdas pernah kuliah di ITB. Usai meraih gelar sarjana muda Arsitek, Messet pulang ke Papua dan dijanjikan untuk kuliah di Amerika Serikat, tetapi rencana itu kemudian batal tanpa alasan yang jelas oleh pemerintah. “Saya lalu berpikir kalau kita tinggal dengan bangsa yang jahat (Republik Indonesia, red) akan sangat berbahaya,” kisahnya menerawang.

    Tahun 1966, Messet lalu meminta restu ayahnya untuk sekolah pilot di Sekolah Penerbangan Nasa (Nationwide aviation space academy) di Australia dan lolos hingga ia menjadi penerbang. Lulus dari sekolah itu dan melihat situasi politik Papua ketika itu yang labil khususnya menjelang pelaksanaan PEPERA, ia berpikir untuk ikut berjuang bagi kemerdekaan Papua atau West Papua. Lalu bergabung dengan gerakan – gerakan separatis yang menentang pemerintah RI. Jabatan Messet ketika itu adalah sebagai Koordinator di wilayah Perbatasan yang memberikan kartu identitas bagi anggota GSP/OPM yang hendak menyeberang ke Papua New Guinea (PNG).

    Selain sebagai koordinator, Messet juga ketika itu bertugas memberikan saran dan usul dan ide kepada OPM sehingga ia diangkat menjadi pejabat penghubung. Ketika menjadi pejabat penghubung ini, Messet pernah tertangkap beberapa kali oleh aparat karena terbukti membantu kegiatan separatis khususnya menjelang pelaksanaan PEPERA.
    Messet menjadi pejabat penghubung di perbatasan selama 10 tahun, 1979 ia dipindahkan ke Swedia setelah empat kali dideportasi oleh pemerintah RI kemudian terakhir PNG. Pemerintah PNG mendeportasi Messet karena tertangkap basah di Vanimo pada 27 September 1978 ketika menyelundupkan 2 orang tokoh utama OPM di perbatasan yakni Yacob Prai yang kemudian berjuang di Swedia dan John Otto O di Vanuatu. “Kedua tokoh ini saya selundupkan untuk bertemu dengan Perdana Menteri PNG Michael Somare, sebab ketika itu ada rapat penting di negara itu yang diagendakan akan membahas masalah Papua,” kenangnya. Hingga akhirnya Messet dideportasi oleh pemerintah PNG ke Swedia.

    Di Swedia, hanya berbekal semangat, Messet terus berjuang, untungnya pemerintah Swedia sangat demokratis dan mau membiayai hidupnya yang pengangguran ketika itu namun harus berusaha untuk mencai pekerjaan. “Di Swedia, pengangguran seperti kita di jamin hidupnya oleh pemerintah,” ujarnya.
    Messet terus melakukan kampanye dan melakukan lobi – lobi internasional untuk membantu kemerdekaan West Papua. Dalam lobi internasionalnya itu, Messet antara lain bertemu dengan Direktur KGB Rusia di Moskow Yuri Antropov pada September 1982. ketika itu, ia dijanjikan oleh Yuri akan membantu kemerdekaan West Papua dengan mengirimkan senjata melalui Vietnam Utara, namun rencana ini batal karena Tuhan punya rencana lain, Yuri keburu meninggal dunia. “Padahal waktu itu saya sudah senang karena Rusia mau membantu Papua untuk merdeka, Yuri meninggal dunia,” ujarnya pelan.
    Selain ke Rusia, Messet juga menemui tokoh – tokoh penting di negara Pasisfik baik di Vanuatu, Nauru, Jerman, Ukraina, Vietnam, Belanda, Cekoslovakia, Jepang sampai ke PBB.
    Messet kemudian menjadi pilot ditahun 1974, setelah tamat dari Sekolah Penerbang di Australia. Meski sekolah di Australia, Messet tidak pernah melobi pemerintah Australia untuk membantu Papua Merdeka, keinginannya di Australia hanya belajar meski sesekali melakukan kampanye. “Kenapa saya terus belajar menjadi pilot, karena niat saya sampai detik ini, saya mau buktikan bahwa kita orang Papua pintar – pintar,” tukasnya dengan semangat. Sejak itu ia menjadi bekerja pada Maskapi Air Nuigini namun tetap bekerja untuk OPM hingga akhirnya ia kembali di deportasi ke Swedia.
    Tahun 1985 ia diajak oleh pemerintah Vanuatu untuk menjadi pilot di Air Vanuatu hingga tahun 1988, tetapi karena terjadi konflik dalam negeri di negara itu, Messet juga menjadi korban, Messet kembali lagi ke Swedia hidup sebagai pengangguran.

    Selama di Swedia, Messet sempat bertemu dengan tokoh GAM Hasan Tiro dan Zainal “Saya pernah bawa Zaenal ke Rusia, tapi Yuri (direktur KGB Rusia) tidak mau ketemu dengan tokoh GAM,” ujarnya.
    Tahun1994, Messet menyempatkan diri kembali ke West Papua (RI) untuk bertemu kerabatnya di tanah air, ketika ia kembali ke PNG. Saat itu PNG telah dipimpin oleh Julius Chan dan situasi politik di negara itu sudah berubah. Ia menghubungi rekannya Franzalbert Joku untuk menfasilitasi dirinya kembali ke tanah Papua melalui PNG. “Saya kontak pak Franz minta difasilitasi kepulangan saya,” ujarnya.

    Perdana Menteri Julius Chan rupanya menyambut positif kepulangan Meset dan disambut positif, pada tahun 1994 ia meninggalkan Swedia dan sejak itu ia kembali berdomisli di Port Moresby. “Setelah di Poprt Moresby Chan perintahkan pencabutan surat deportasi saya,” katanya. Di Port Moresby ia bergabung dengan Nation Air dan kembali bekerja sebagai pilot di Maskapai itu.

    April 1994, untuk pertama kalinya Messet masuk ke Jayapura setelah melalui proses yang cukup rumit. “Saya sebenarnya ketika itu sudah ingin kembali menjadi WNI karena waktu itu Papua sudah jaya diera Orde baru, tapi keinginan saya itu tidak ditanggapi serius oleh pemerintah RI,” katanya. Akhirnya Messet tetap komit pada perjuangannya untuk mewujudkan Papua Merdeka.

    Tahun 1997, secara kebetulan Messet bertemu dengan Fredy Numberi yang ketika itu menjadi Gubernur Papua, ia lalu diperbantukan untuk urusan ke PNG, tetapi setelah Numberi diangkat menjadi menteri, ia berhenti. Ia lalu kembali ke Australia dan aktif kembali pada kegiatan politiknya.

    Tahun 2000, tepatnya bulan Februari, bersama Franz Joku, Theys Eluai, Tom Beanal dan tokoh – tokoh lainnya mereka menggelar Musyawarah Besar di Sentani yang disusul dengan Kongres Papua bulan Mei 2000 dan mambentuk Presidium Dewan Papua (PDP). Pada Kongres itu, Messet membawa 130 orang West Papua dari PNG (panel pasifik).

    Setelah kongres Messet bersama Frans Joku ditugaskan PDP sebagai moderator urusan internasional, hingga saat itu kampanye Papua Merdeka terus ditingkatkan di tingkat internasional.

    15 Juni 2000 Messet kembali ke Port Moresby, disponsori pemerintah Nauru salah satu negara di Pasifik Island, Messet boleh kemana saja untuk melakukan lobi internasional dan puncaknya adalah milleniun summit PBB di New York dan pada September 2000 pimpinan PDP They Hio Eluai, Tom Beanal dan 11 putra Papua lainnya salah satunya Yoris Raweyai menuju New York dan berikutnya pimpinan dan delegasi PDP menghadiri Pasifik Island Forum di Kiribati, disini dikeluarkan satu resolusi pasal 17 yang dalam komunikenya menyatakan keprihatinan bangsa – bangsa itu atas gejolak di Papua dan mendorong tokoh – tokoh politik Papua dan pemeirntah RI untuk menyelesaikan masalah Papua secara damai. “Tapi sebagian orang menterjemahkan salah,” imbuhnya.

    Disitu juga komunike itu disambut baik. Dan selanjutnya Indonesia menjadi anggota Post Forum Dialogue Partner dan ditindaklanjuti dengan pertemuan negara – negara di Pasifik. Bersamaan dengan itu, Undang Undang 21 tahun 2001 tentang Otsus bagi Papua lahir. “Otsus adalah buah perjuangan aspirasi Papua Merdeka,” katanya.

    Hingga tahun 2001, Papua kembali bergolak menyusul terbunuhnya Pimpinan PDP Theys Hio Eluay. Kejadian ini membakar hati masyarakat Papua tak terkecualil Messet. Tahun 2003, ia ke Australia dan terus melakukan kampanye politiknya dan pada bulan Mei ia ke Cekoslovakia untuk misi Gereja dan kembali melalui Singapore dan kembali lagi ke Australia. Tetapi di jalan ada yang mengajaknya ke Jakarta, 11 Juli 2005 Messet kembali bertemu Fredy Numberi dan mengajaknya untuk bekerja di bidang perikanan hingga akhirnya tahun 2006 ia diajak Gubernur Barnabas Suebu.
    Messet mengatakan, dalam menyelesaikan masalah Papua tokoh – tokoh Papua memiliki dua pandangan. Kalangan OPM seperti Zet Rumkorem dan Yacob Prai menginginkan masalah Papua diselesaikan melalui jalur konfrontasi militer. “Tapi kami memilih cara dialog yang damai dan sepertinya itu berhasil,” ujarnya.

    Masalah Papua terus menggelinding hingga menjadi perhatian intenasional tetapi sejalan dengan itu, hati Messet juga terpanggil untuk kembali menjadi bagian dari Bangsa Indonesia. “Hati saya untuk pulang sebenarnya sudah ada ketika bertemu dengan pak Fredy,” ujarnya. Dan puncaknya, ia meminta Fredy Numberi untuk menjaminkan kepulangannya itu. Namun Numberi tak bisa memberikan jaminan sebab apa yang akan dilakukannya itu adalah issu yang sangat sensitive. Hal yang sama juga dilakukan oleh Gubernur Suebu. “Tapi saya sadar, saya tidak ingin melibatkan pak Bas dan pak Numberi,” imbuhnya.

    Untungnya melalui pendekatan – pendekatan yang dilakukan melalui KBRI (kedutaan besar RI) di Port Moresby kepada pemerintah pusat di Jakarta, ia bertemu dengan pejabat penting di KBRI Pratito Soeharyo dan Frans Pampo yang didukung oleh Dubes RI di Port Moresby Brigjend TNI Bom Soeyanto. Mereka menjembatani Messet untuk berinteraksi dengan Jakarta.

    Jakarta menyambut positif tetapi tidak langsung mengiyakan, kembalinya Messet diuji dengan menemui Eny Faleomavega di Amerika Serikat dengan membawa misi Otsus untuk penyelesaian masalah Papua. Dan Kunjungan Eny ke Indonesia adalah bukti kesungguhan Messet dan Franz Joku untuk menjadi bagian dari bangsa Indonesia.
    Hingga suatu saat ia bertemu dengan Alwi Hamu dan mau mempertemukannya dengan Wapres Jusuf Kalla pada Juli 2007 lalu. Dan akhirnya keinginannya itu terwujud dan kemarin bukti identitas dirinya sebagai bagian dari bangsa Indonesia itu telah diberikan oleh utusan Wapres Jusuf Kalla.

    Namun begitu, satu hal yang ditekankan Messet adalah bahwa dirinya ingin kembali ke pangkuan ibu pertiwi tak lain karena melihat Indonesia saat ini telah berubah. “Saya melihat perubahan di Indonesia, demokrasi sudah berkembang meski belum sempurna, tapi saya yakin akan terus tumbuh,” katanya. Selain itu, dengan Otsus, ia melihat Papua semakin menunjukan kemajuan, tak heran kalau terbersit keinginannya untuk ikut membangun Papua melalui bidang lainnya. “Otsus adalah perjuangan Papua Merdeka, tanpa perjuangan Papua merdeka Otsus tidak akan lahir,” tandasnya.
    Tak hanya itu, satu yang dipetik dari perjuangannya selama 40 tahun untuk Papua merdeka, Messet telah kemana-mana melakukan lobi internasional di sejumlah negara demi terwujudnya Papua merdeka tetapi yang ditemuinya hanya janji yang tak jua terwujud hingga detik ini.(bersambung)
    Cepos

Are you sure want to unlock this post?
Unlock left : 0
Are you sure want to cancel subscription?