Category: Penghianat

Menggugat aksi dan gelagat para Kaum Papindo sebagai penghianat tanah dan bangsa Papua.

  • Waspadai Kepulangan ‘Eks Separatis’

    TIBA : Yunus Wanggai bersama Putrinya Anike Wanggai tiba di bandara Soekarno Hatta – Cengkareng, Sabtu (29/11) lalu

    Jakarta (PAPOS)– Tiga aktivis mahasiswa dari Kelompok Cipayung, mengingatkan pemerintah mewaspadai gelombang kepulangan para eks separatis atau orang-orang yang pernah minta suaka politik di luar negeri, karena dikuatirkan jangan sampai kepulangan mereka merupakan bagian dari skenario asing untuk merusak kondisi di tanah air dari dalam.

    Ketiga aktivis tersebut, masing-masing mantan Ketua Umum Pengurus Pusat (PP) Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) Kenly Poluan, mantan Sekjen Presidium Pusat Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Donny Lumingas, dan mantan Ketua Umum DPP Presidium Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) Emmanuel Tular. Selain itu juga mereka, mengingatkan para pihak tertentu, agar jangan menjadikan para ‘eks separatis’ Papua sebagai alat untuk naik pangkat atau mendapatkan proyek tertentu.

    “Dalam dua bulan terakhir, kami memonitor adanya pengumuman di berbagai media massa mengenai kembalinya warga Papua yang sempat ‘lari’ ke negara tetangga Papua New Guinea (PNG) atau yang sempat minta suaka politik ke Australia,” ujar Kenly Poluan seperti dirilis dari Antara, tadi malam (Jumat 5/12).

    Ia dan Donny Lumingas menyorot kritis kegiatan tersebut, karena ada indikasi, atau dugaan kuat, ‘proyek’ ini dulu sempat dijadikan alat untuk cari keuntungan pihak-pihak tertentu yang tidak bertanggung jawab.

    “Bagi kelompok tertentu, ini biasa dipakai untuk mendapat kenaikan pangkat, karena dianggap berhasil menjalankan operasi di wilayah perbatasan RI-PNG. Tetapi di pihak yang lain, ini proyek dengan nilai rupiah bahkan dolar menggiurkan. Itu indikasi kuat yang kami nilai,” kata Donny Lumingas.

    Sementara itu, Emmanuel Tular juga mengingatkan, agar kepulangan para ‘eks separatis’ atau mereka yang terlanjur minta suaka politik di luar negeri, harus ditangani lebih cermat, jangan sampai hal ini hanya akan dimanfaatkan pihak-pihak tertentu sesuai skenario dan agenda asing.

    Ketiganya juga minta pemerintah bersama instansi berkompeten, agar tidak mudah percaya atas berbagai kejadian itu, tetapi tidak pula bersifat kaku untuk menerima kembali warga yang sungguh-sungguh mau bergabung dengan Republik Indonesia.(nas/ant)

    Ditulis Oleh: Ant/Papos
    Sabtu, 06 Desember 2008
    http://papuapos.com

  • Gubernur Suebu: Tuntutan Merdeka Telah Berkurang

    DHONI SETIAWAN

    Ratusan mahasiswa Papua se-Jawa Bali yang tergabung dalam Komite Aksi Nasional Rakyat Papua Barat (KANRPB) dengan menggunakan berbagai atribut adat melakukan aksi di Bundaran Hotel Indonesia (HI), Jakarta, Senin (1/12). Dalam aksinya mereka menuntut Pemerintah Pusat untuk membuka ruang dialog dan melaksanakan Referendum bagi kebebasan rakyat Papua menentukan nasibnya sendiri.
    DHONI SETIAWAN

    Ratusan mahasiswa Papua se-Jawa Bali yang tergabung dalam Komite Aksi Nasional Rakyat Papua Barat (KANRPB) dengan menggunakan berbagai atribut adat melakukan aksi di Bundaran Hotel Indonesia (HI), Jakarta, Senin (1/12). Dalam aksinya mereka menuntut Pemerintah Pusat untuk membuka ruang dialog dan melaksanakan Referendum bagi kebebasan rakyat Papua menentukan nasibnya sendiri.
    Rabu, 3 Desember 2008 | 06:11 WIB

    JAYAPURA, RABU – Gubernur Papua Barnabas Suebu mengatakan saat ini jumlah rakyat Papua yang menuntut kemerdekaan sudah jauh berkurang. “Hasil pelaksanaan otonomi khusus (Otsus) di Papua sudah mulai dirasakan masyarakat sehingga tuntutan untuk melepaskan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) telah jauh berkurang,” kata Gubernur Suebu di Jayapura, Selasa (2/12) malam.

    Menurut dia, indikasi berkurangnya tuntutan kemerdekaan itu terlihat dari kehadiran warga untuk memperingati apa yang disebut hari “Papua Merdeka” pada 1 Desember dengan wujud mengibarkan bendera bintang Kejora. “Di masa sebelum Pemberlakuan Otonomi Khusus, ribuan orang menghadiri hari kemerdekaan pada setiap 1 Desember dan diwarnai aksi kekerasan. Namun kini acara semacam itu hanya dihadiri segelintir orang,” katanya.

    Bertalian dengan itu, gubernur menyesalkan penilaian beberapa kalangan yang hanya terfokus pada pengibaran bendera Papua Merdeka saja tanpa melihat akar persoalannya.

    Suebu, yang pernah menjadi gibernur Papua di masa Orde Baru itu, mengibaratkan pengibaran Bendera Papua hanyalah asap saja, sementara apinya adalah kemiskinan, ketidakadilan dan keterbelakangan. “Jika apinya telah kita bendung, maka asapnya tidak akan muncul lagi,” kata Suebu mengibaratkan.

    Dalam pertemuan dialogis dengan sejumlah wartawan dari berbagai media massa cetak Jakarta di kediaman resmi gubernur di Jayapura, Suebu menjelaskan beragam persoalan yang dihadapi provinsi terkebelakang di Indonesia tersebut. Pertemuan para wartawan Ibukota dan Gubernur Suebu itu diprakarsai oleh Departemen Luar Negeri, yang pada kesempatan itu dihadiri pula para peserta Diklat calon diplomat RI.

    Gubernur memaparkan mengenai upaya pemerintah untuk mengentaskan kemiskinan, peningkatan pelayanan kesehatan, pengembangan infrastruktur, pendidikan, dan membendung pelanggaran hak asasi manusia (HAM).

    Menjawab pertanyaan Antara dalam pertemuan itu menyangkut kecaman Amnesti Internasional atas pelanggaran HAM di Papua, Suebu menepis bahwa banyak data yang digunakan lembaga tersebut tidak akurat. “Saya pernah menemui pimpinan Amnesti Internasional yang bermarkas di Inggris itu. Ternyata data mengenai para korban HAM yang dihimpunnya tidak akurat,” katanya.

    Sebelumnya, pada 25 September, Amnesti Internasional mendesak Pemerintah Indonesia untuk menyelidiki kasus pelanggaran HAM di Papua terutama mengenai penyiksaan terhadap para narapidana.

    Suebu mengungkapkan bahwa pihak Amnesti pernah menunjukkan pada dia tentang nama-nama korban HAM di Papua. “Tapi saya sendiri tidak mengenal (nama-nama) yang disodorkan Amnesti. Bagaimana saya menjelaskan. Toh saya sendiri tidak mengenal nama-nama korban pelanggaran HAM itu,” katanya.

    IMA

    Dapatkan artikel ini di URL:KCM

  • Warga Boven Digoel di PNG Minta Pulang

    JAKARTA (PAPOS) -Jumlah total warga negara Indonesia (WNI) asal Kabupaten Boven Digoel, Papua, yang berada di beberapa lokasi di negara tetangga Papua New Guinea (PNG) terus meningkat hingga sekitar 25 ribu jiwa. “Itu perkiraan sementara yang saya dapat dari beberapa rekan di sejumlah instansi pemerintah PNG dan dikompilasikan dengan catatan di KBRI di Port Moresby,” kata Bupati Boven Digoel Yusak Yaluwo seperti dilansir Koran ini dari ANTARA, tadi malam.

    Bupati Boven Digoel mengungkapkan hal itu sehubungan dengan adanya keinginan sebagian besar WNI itu kembali ke tanah air, setelah mereka menyaksikan pembangunan berlangsung pesat di kabupaten Boven Digoel.

    “Saya yakin kebutuhan mereka untuk menyekolahkan anak, mendapatkan fasilitas kesehatan dan kebutuhan pokok, merupakan hal yang mendorong mereka mau kembali ke Indonesia,” kata Yusak Yaluwo, yang dua pekan silam bersama sejumlah bupati di wilayah perbatasan RI-PNG ke Port Moresby, ibukota PNG, guna memenuhi undangan Pemerintah PNG.

    Yusak mengakui bahwa data resmi yang dimilikinya menyebut ada sekitar 8 ribu orang asal kabupaten pemekaran dari Kabupaten Merauke tersebut yang pergi ke PNG sejak pertengahan 1980-an.

    “Kalau memang angkanya membengkak jadi sekitar 25 ribu-an, itu berarti karena beberapa faktor, seperti kawin mawin dan melahirkan keturunan,” ungkap Yusak Yaluwo, bupati pertama yang memimpin Boven Digoel sejak tiga tahun silam itu.

    WNI asal Boven Digoel yang ada di PNG, sebagian besar berasal dari Suku Muyu, karena memang mereka memiliki kerabat se-kultur di negara tetangga tersebut.

    Kabupaten Boven Digoel merupakan pemekaran dari Kabupaten Merauke pada 2003. Kabupaten itu terdiri atas tiga suku besar, yakni Wambon, Muyu serta Auyu.

    Dimasa lalu, Kabupaten Boven Digoel dengan ibukotanya Tanah Merah itu merupakan lokasi “kamp konsentrasi” bagi para tahanan politik di masa pra kemerdekaan RI. Banyak pejuang nasionalis yang dibuang ke sana oleh pemerintah kolonial Belanda, antara lain Bung Karno dan Bung Hatta.(ant)

    Ditulis Oleh: Ant/Papos
    Senin, 24 November 2008

  • Yunus Wanggai Tiba Di Bandara Soetta

    JAYAPURA (PAPOS) -Yunus Wanggai peminta suaka ke Pemerintah Australia, tiba di Bandara Internasional Seokarno-Hatta (SOETTA), pada Sabtu (29/11) sekitar pukul 16.15 WIB.
    Yunus Wanggai tiba di Indonesia menggunakan pesawat Garuda nomor penerbangan GA-409 tujuan Denpasar – Jakarta bersama anak perempuannya bernama Anike Wanggai. Sebelumnya, Yunus Wanggai bersama 42 orang warga Papua lainnya yang mencari suaka politik kepada Pemerintah Australia pada tahun 2006 lalu.

    Para pencari suaka tersebut melakukan perjalanan menggunakan mesin perahu mulai dari Jayapura menuju Serui, Kabupaten Yapen di sebuah Pulau Cendrawasih, Papua.

    Kemudian warga Papua tersebut melanjutkan perjalanan menuju Pulau Kamaan di Kabupaten Merauke dan berhasil menyeberang ke Australia.

    Saat tiba di bandara terbesar di Indonesia, Yunus Wanggai menggunakan topi merah, jaket abu, celana jeans warna biru muda, sedangkan Anike mengenakan baju pink dan membawa boneka koala berwarna putih-abu.

    Kepada Papua Pos Yunus Wanggai(38) melalui telefon selularnya, tadi malam, mengatakan keinginan Yunus bersama anaknya Anike Wainggai (6) kembali ke Indonesia mendapat tantangan keras dari Herman Wainggai, karena sebelum dirinya bertolak ke Indonesia Yunus sempat bertengkar dengan Herman.

    Bertengkarnya Yunus dengan Herman karena keinginan Yunus balik ke Indonesia tidak disetujui dan dihalang-halangi Herman, dan juga uang Yunus tidak diganti oleh Herman atas janji yang diberikan kepada Yunus, sehingga mereka bertengkar.

    Dikatakan, ketika Yunus melapor ke Kedutaan Besar Republik Indonesia di Canberra Australia, dirinya langsung diantar oleh Duta Besar Indonesia di Canberra, Hamzah Tayeb hingga ke Bandara Sidney.

    Dalam perjalanan dari Australia ke Indonesia, Yunus dan anaknya Anike didampingi Konselor Politik KBRI, Dupito Hutagalung dan Sekretaris KBRI, Saut Situmorang. Setibanya di Bandara Soekarno-Hatta Jakarta Sabtu (29/11) kemarin, Yunus dan anaknya dijemput Direktur Perlindungan Warga Negara Indonesia Departemen Luar Negeri, Tegus Wardoyo dan Humas Deplu, Djujur Hutagalung.

    Pulang kampungnya Yunus Wanggai kembali ke Indonesia karena ingat keluarganya di Serui, Kabupaten Yapen, Papua.

    “Saya ingin kembali hidup bersama keluarga di Papua,” kata Yunus Wanggai, saat tiba di Terminal kedatangan 2-F, Bandara Internasional Soekarno-Hatta, Sabtu (29/11).

    Yunus Wanggai dan anak perempuannya, Anika Wanggai kembali ke Indonesia setelah mencari suaka politik di Australia selama tiga tahun sejak tahun 2006 lalu.

    Yunus bersama 42 orang warga Papua lainnya melakukan perjalanan menggunakan perahu mesin mulai dari Jayapura menuju Serui, Kabupaten Yapen di sebuah Pulau Cendrawasih, Papua.

    Kemudian warga Papua tersebut melanjutkan perjalanan menuju Pulau Kamaan di Kabupaten Merauke dan berhasil menyeberang ke Australia. Yunus mengatakan, kedatangannya kembali ke Indonesia tidak ada paksaan dari pihak manapun. Dia hanya berharap dapat berkumpul kembali bersama keluarganya.

    Yunus yang mengenakan topi merah, menuturkan, selama tinggal di Negeri Kangguru, dirinya diperlakukan baik oleh pemerintah Australia.

    Namun dia merasa tidak betah hidup di Australia karena lingkungan seperti cuaca dan menu makanannya tidak cocok dengan di Papua.

    Setelah pulang ke Papua, Yunus akan kembali menjalani profesi sebelumnya sebagai nelayan penangkap ikan di perairan Serui dan kumpul bersama keluarga.

    Disinggung alasan meninggalkan Indonesia, Yunus enggan memberikan komentarnya. Selain itu, suami dari Siti Farida tersebut tidak mau menuturkan kondisi warga Papua lainnya yang masih berada di Australia.

    Sementara itu, Staf KBRI di Australia, Dupito Darma Simamora menuturkan, sebelumnya Yunus mendatangi kantor KBRI di Australia menyampaikan keinginannya untuk kembali ke Indonesia.

    “Sebagai Warga Negara Indonesia, kami wajib memberikan perlindungan dan melayani keinginannya untuk kembali ke Indonesia,” kata Dupito.(islami/dhany/ant)

    Ditulis Oleh: Islami/Dhany/Papua Pos
    Senin, 01 Desember 2008

  • Frans Alberth Yoku : Otsus Solusi Bijak

    JAYAPURA (PAPOS) –Mantan Peminta Suaka Franz Alberth Yoku mengajak, masyarakat Papua berpikir realistis di era globalisasi. Sebab itu, olehnya Otsus dinilai keputusan bijak, yang diberikan pemerintah pusat kepada Provinsi Papua. Otsus menurutnya, memberi ruang dan kesempatan kepada masyarakat Papua seluar-luasnya untuk mengembangkan diri, tidak hanya melulu berpikir bagaimana meraih kemerdekaan, karena hal itu hanyalah sia-sia saja.

    Perjuangan merdeka itu lanjut dia, hanyalah simbolis saja bagi kelompok tertentu yang memanfaatkan kepentingan dan mengatasnamakan masyarakat Papua. “Mari kita sama-sama mengisi kemerdekaan bagi diri kita dengan mempersiapkan pendidikan yang baik untuk meraih tingkat kesejahteraan yang setara dengan masyarakat lain. Sehingga masyarakat Papua tidak larut dalam ketertinggalan,” ujarnya kepada Papua Pos melalui ponsel, Minggu (30/11) kemarin.

    Kesejahteraan bagi masyarakat Papua di era Otsus ini belum mengalami peningkatan, tetapi kata dia, peningkatkan kesejahteraan masyarakat Papua tidaklah semudah membalik telapak tangan.

    Namun semua itu membutuhkan proses secara bertahap, maka diminta semua lapisan masyarakat maupun pemerintah harus bergandengan tangan untuk melakukan peningkatan di berbagai bidang.

    “ Bukan perayaan yang penting, mau 1 Desember kah, 2 Desember kah atau hari lain yang dianggap hari penting, bukanlah yang utama. Yang utama tingkatkan pendidikan dan wawasan masyarakat Papua untuk mampu berkompetisi di era globalisasi dan untuk menghadapi hari depan demi kesejahteraan semua,” jelasnya.

    Perlu disadari, Papua memiliki Sumber Daya Alam (SDA) yang kaya, maka masyarakat harus menyiapkan segala sesuatu untuk mengelolahnya, bukan hanya memikirkan perjuangan atau kemerdekaan yang simbolis tidak ada habis-habisnya.

    “ Akan lebih baik, putra-putri Papua mengisi ilmu pengetahuan, sehingga bisa digunakan untuk pengelolahan SDA yang cukup kaya itu,”katanya.(feri)

    Ditulis Oleh: Feri/Papos
    Senin, 01 Desember 2008

  • Separatis Papua: Tuntutan Atau Intervensi Asing

    Anggota Komisi I DPR RI berharap pemerintah memacu pembangunan di provinsi Papua dan Papua Barat, karena hanya dengan cara itu, nilai-nilai persatuan dan kesatuan kebangsaan akan kuat tertanam di masyarakat. DEMIKIAN pendapat Yooris Raweyai (Fraksi Partai Golkar) dan Ali Mochtar Ngablin (Bintang Pelopor Demokrasi/BPD) dalam diskusi “Separatisme Papua; Tuntutan atau Intervensi Asing” di Gedung DPR/MPR Jakarta, Kamis (27/11) kemarin.

    Pendapat senada juga disampaikan mantan Menteri Luar Negeri (menlu) Organisasi Papua Merdeka (OPM) Nicolas Messet. Nicolas yang pernah melakukan kampanye OPM di beberapa negara di Eropa dan Amerika, kembali menjadi WNI pada 27 Nopember 2007.

    Dalam diskusi ini, Nicolas mengemukakan, OPM tidak cocok lagi digunakan untuk menyebut Organisasi Papua Merdeka tetapi “Orang Papua Membangun”.

    Menurut dia, kampanye OPM di luar negeri sudah melemah dan orang-orangnya tidak solid. Yang ada adalah penipuan-penipuan. “Saya berjuang 39 tahun. Tak ada yang mau kasih uang. Penipu semua,” katanya.

    Ali Mochtar Ngabalin juga mengemukakan, ketidakadilan dan diskriminasi masih dirasakan masyarakat Papua. Persoalan utama masyarakat Papua adalah persamaan hak.

    “Bagaimana keseriusan pemerintah pusat mengurus Papua?,” katanya yang menambahkan, gerakan separatis sebenarnya mengecil dan hal itu disebabkan karena ketidakadilan dan diskriminasi dalam pembangunan.

    Ngabalin dalam Sidang Parlemen Parlemen (APA) ke-2 di Teheran (Iran), dua tahun lalu, menantang anggota parlemen negara lain yang mempertanyakan persoalan Papua.

    “Bagaimana orang luar lebih tahu Papua dari saya yang orang Indonesia, orang dari Papua. Pasti kamu bohong,” katanya kepada anggota parlemen negara lain.

    Persoalannya, kata Ngabalin, apakah orang Indonesia memang mengakui bahwa Papua benar-benar bagian dari Indonesia kalau masih memberlakukan diskriminasi dan ketidakadilan.

    JUSTIFIKASI

    Yorris menjelaskan, OPM tidak pernah menentukan struktur kepemimpinan. OPM hanya justifikasi yang digunakan aparat terhadap sekelompok orang yang melakukan pelanggaran hukum.

    Munculnya aksi-aksi sporadis terutama menjelang tanggal yang diklaim sebagai ulang tahun OPM (setiap awal Desember) merupakan pelampiasan atas ketidakadilan pembangunan wilayah Papua oleh pemerintah pusat.

    Menurut Yorris, ketidakadilan dan diskriminasi bagi kedua propinsi di Papua masih terjadi hingga saat ini. Salah satunya, melalui UU tentang Perpajakan yang tidak mencerminkan keadilan.

    Waktu Belanda masih menguasai Papua hanya mengambil minyak di Sorong dan batubara di Bintuni. Tetapi setelah masuk NKRI, wilayah Papua di kavling-kavling untuk mengeksploitasi sumber daya alam sehingga ekosistem rusak.

    Dia mengemukakan, Papua bergabung ke NKRI tahun 1962 dan secara resmi menjadi propinsi ke 27 tahun 1969. Tetapi sumber daya alam Papua sudah dikavling mulai tahun 1967.

    Ketidakadilan yang dirasakan masyarakat papua terkait perpajakan dan royalti terjadi pada sumbangan pajak PT Freeport kepada pemerintah Indonesia sebesar Rp17 triliun/tahun.

    “Kita minta 30 persen dikembalikan ke masyarakat Papua untuk membangun wilayah. Tetapi Papua hanya memperoleh Rp300 miliar/tahun untuk 25 kabupaten/kota,” kata Yorris.

    Kenyataan ini, kata Yorris menggambarkan ketidakadilan. “Jadi jangan menuduh separatisme. Perjuangan kami ingin bebas dari kemiskinan dan kebodohan,” katanya.

    Perhatian pemerintah pusat kepada masyarakat juga dinilai rendah. Akibat tingkat kesehatan rendah, usia hidup orang Papua rata-rata 47 tahun dan banyak penyakit AIDS.

    Menurut Yorris, penyelesaian persoalan bukan pada ekonomi, tetapi pada kemauan politik pemerintah pusat. “Amanat UU No.21/2001 tentang Otonomi Khusus (Otsus) Papua tidak dijalankan pemerintah secara konsisten,” katanya.

    UU Otsus mengamanatkan pula bahwa pemerintah harus menerbitkan setidaknya dua Keppres dan 9 peraturan pemerintah (PP) serta 11 Perda propinsi dan Perda khusus untuk pelaksanaan Otsus. “Tetapi pemerintah tidak konsisten,” katanya.(**)

    Ditulis Oleh: Ant/Papos
    Jumat, 28 November 2008

  • Di Boven Digoel, Mantan Danyon OPM Kembali ke NKRI

    MERAUKE- Tokoh separatis OPM, John Imko yang mengaku sebagai Komandan Batalyon (Danyon) OPM secara resmi menyerahkan diri dan mengakhiri perjuangannya serta menyatakan bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonsia di Tanah Merah Ibukota Kabupaten Boven Digoel, Selasa (4/11) kemarin.

    Selain menyerahkan diri, John Imko bersama istrinya Maria (40) dan dua anaknya masing-masing Veronika (20) dan Jefrito (18) serta 2 anggotanya Januarius ((28) dan Samuel (30), mengikrarkan diri untuk setia kepada Pancasilan dan UU Dasar 1945, Bergabung dengan NKRI dan setia kepada Pemerintah Republik Indonesia.

    Ikrar tersebut dinyatakan John Imko dalam bentuk upacara di depan Pemerintah Kabupaten Boven Digoel yang diterima Dandim 1711 Boven Digoel Letkol Inf.Basuki Purwosusanto berlangsung di Makodim bari, Kilometer 6 Tanah Merah, sekitar pukul 10.30 WIT kemarin. Hadir pula dalam upacara itu, Ketua DPRD Boven Digoel Drs Paulinus Wanggimop.

    Sehari sebelumnya, yakni Senin (3/11), John Imko bersama istri dan kedua anaknya serta 2 anggotanya itu menyerahkan diri kepada petugas yang ada di Asiki, Distrik Jair Kabupaten Boven Digoel.

    Dandim 1711 Boven Digoel, Letkol Inf. Yang dikonfirmasi Cenderawasih Pos ke Tanah Merah, sesaat setelah upacara ikrar tersebut membenarkan kembalinya mantan Danyon OPM John Imko bersama istri, 2 anaknya dan 2 anggotanya itu. ‘’ Sekitar pukul 10.30 WIT tadi upacara ikrar itu dilakukan. Dan mereka sendiri yang membacakan ikrar tersebut,’’ terang Dandim.

    Menurutnya, dalam upacara penyerahan dan ikrar setia itu, John Imko juga menyerahkan sepucuk senjata rakitan berupa enklop. Penyerahan diri yang dilakukan John Imko kepada Pemerintah Daerah Kabupaten Boven Digoel ini dilakukan secara sukarela dan dengan kesadaran sendiri oleh John Imko dan istrinya, keduanya anaknya serta kedua anggotanya tersebut. ‘’Mereka kembali setelah melihat pembangunan yang semakin baik dan keamanan yang terus kondusif,’’ kata Dandim.

    Selama ini, lanjut Dandim, John Imko bersama keluarganya itu tinggal di PNG. Namun harus memutuskan untuk kembali setelah kedua anaknya tidak bisa melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi. Pada kesempatan itu, John Imko mengaku akan membawa pulang saudara-saudara lainnya yang masih berada di PNG untuk kembali ke negerinya, Indonesia.

    ‘’ Pak Bupati (Bupati Yusak Yaluwo,red) pernah sampaikan ke mereka, bahwa Pemerintah Daerah dan Muspida dengan senang hati dan tangan terbuka akan menerima kembali saudara-saudara kita ini yang ingin kembali ke kampung halamannya. Karena kampung halaman mereka sebenarnya ada di Kabupaten Boven Digoel,’’ jelas Dandim.

    Selain dengan tangan terbuka itu, terang Dandim, keamanan mereka akan dijamin dengan baik dan tidak seperti issu yang sering dihembuskan oleh pihak-pihak yang masih bersebarangan dengan Pemerintah Republik Indonesia. (ulo/CEPOS)

  • Ancaman masyarakat Papua dan Papua Barat untuk lepas dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)

    Catatan:
    Yang benar saja Jimmy, kalau mau posisi pimpinan DPR di tempatmu, kasih tahu aja, jangan memperalat aspirasi murni bangsamu. Itu lagu lama!!!!
    ——————

    [JAKARTA] Ancaman masyarakat Papua dan Papua Barat untuk lepas dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), jika Undang-Undang (UU) Pornografi yang disahkan DPR tidak dibatalkan demi hukum, adalah serius. Sementara itu, masyarakat Nusa Tenggara Timur (NTT), Bali, dan Sulawesi Utara, juga menyatakan penolakan keras atas UU yang dipaksakan tersebut.

    Ketua DPRD Papua Barat, Jimmy Demianus Ijie yang bersama dengan 40 pimpinan denominasi gereja se-Papua Barat, ketika menemui pimpinan Dewan Perwakilan daerah (DPD) di Senayan, Jakarta, Selasa (4/11) menegaskan, rakyat di daerahnya tetap berkeras UU Pornografi itu, karena sejak awal sudah ditentang. Menurutnya, masyarakat Papua dan Papua Barat akan menggunakan UU 21/2001 tentang Otonomi Khusus (Otsus) Papua untuk menolak berlakunya UU Pornografi itu.

    “Rakyat Papua serius dan bertekad memisahkan diri, jika UU tersebut dipaksa untuk diberlakukan secara nasional. Jangan buat kami berpikir ulang. Kami rindu Republik yang bisa mengakomodasi semuanya, tapi kalau disakiti, lebih baik kami berpisah saja,” tegas Jimmy ketika diterima Wakil Ketua DPD, Laode Ida.

    Mereka pun bertekad untuk tidak ikut menggunakan hak pilihnya atau minimal tidak memboikot partai politik dan calon presiden yang mendukung UU Pornografi tersebut dalam pPemilu 2009 mendatang, jika pemerintah mengabaikan seruan mereka tersebut. “Ini seolah-olah ada upaya sadar atau tidak untuk menyuruh orang Papua keluar dari NKRI,” tegas Pdt Bram Mahodoma.

    Pernyataan masyarakat Papua Barat tersebut juga disampaikan ketika bertemu dengan Ketua DPR, Agung Laksono, Senin (3/11). Ketua Delegasi Andrikus Mofu mengatakan, UU Pornografi kalau diberlakukan sangat mengancam kebinekaan Indonesia dan berpotensi menimbulkan konflik vertikal maupun horizontal.

    Jimmy menyatakan, kalau menyimak UU Pornografi, hampir seluruh aktivitas budaya masyarakat Papua khususnya kawasan pegunungan tengah dan pedalaman bisa masuk dalam kategori porno aksi, karena memiliki kebudayaan dengan busana minim. “Jadi, kalau UU Pornografi diberlakukan, semua orang Papua bisa terancam masuk penjara karena tak bermoral dan melanggar UU,” kata Jimmy.

    Batal Demi Hukum

    Sementara itu, Wakil Ketua Komisi VIII DPR, H MH Said Abdullah dari daerah pemilihan, Sumenep, Madura, Jawa Timur yang dihubungi SP, Rabu (5/11) pagi menegaskan, bukan sekadar secara prosedural, tetapi subtansial UU Pornografi bertentangan dengan konstitusi. Karena itu, demi hukum dan tegaknya konstitusi, UU Pornografi harus dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK).

    “Suatu fakta bahwa penolakan dari masyarakat itu muncul di berbagai daerah baik di Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, Sumatera Utara, Bali, Sulawesi Utara, DI Yogyakarta, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Tengah, dan Papua. Penolakan atas UU itu, bukan hanya ditolak dari Timur, tapi juga ditolak di pusat kekuasaan, bahkan kalau mau jujur, dari sisi pendekatan agama, justru yang menolak mayoritas beragama muslim,” tegas Ketua Umum Baitullah Muslimin Indonesia (BMI) ini.

    Terkait dengan itu, ratusan warga yang tergabung dalam Gerakan Rakyat Sulut, dari berbagai elemen, dan ormas, Selasa (4/11) melakukan aksi unjuk rasa di Kantor DPRD dan Gubernur Sulut. Aksi damai itu sebagai penolakan UU Pornografi. Benny Ramdhani Ketua Pemuda Ansor Sulut yang turut dalam berunjuk rasa mengatakan, ditetapkannya UU Pornografi itu, melecehkan masyarakat Sulut.

    Dari Jayapura, Papua dilaporkan, Ketua Pemerintahan Dewan Adat Papua (DAP), Fadhal Alhamid, dan ketua DPR Papua, Jhon Ibo kembali menegaskan penolakan atas UU Pornografi tersebut. “Orang banyak mengatakan tanpa Papua, Indonesia belum sempurna. Tapi, kini Indonesia justru mengorbankan Papua, ” tegasnya.

    Sementara itu, Forum Masyarakat Nusa Tenggara Timur (NTT) Anti Undang-Undang (UU) Pornografi mendukung seruan Gubernur Frans Lebu Raya, untuk menolak pemberlakuan UU Pornografi di provinsi itu.

    Sedangkan, Komponen Rakyat Bali (KRB) akan mengajukan uji materi (yudicial review) kepada MK. Langkah ini sebagai bentuk perjuangan rakyat Bali sekaligus membela pemimpin Bali (Gubernur dan Ketua DPRD) yang juga telah menolak UU Pornografi itu.

    “Kita akan tempuh semua jalur legal. Terkecuali, yudicial review ditolak MK, barulah kita melakukan pembangkangan sipil,” tandas Wayan Juniartha, pentolan KRB Senin (3/11). [ASR/136/120/137/154/M-15]

  • Ramses Wali: Pro Kontra Kaukus Parlemen Inggris

    SIKAP : Ketua Umum Barisan Merah Putih, Ramses Ohee ketika menandatangani pernyataan sikap menolak pelaksanaan Kaukus Parlemen Inggris, Senin (13/10) kemarin dikediamannya

    JAYAPURA (PAPOS) –Komponen masyarakat Papua peduli NKRI, menolak dengan tegas pelaksanaan Kaucus Parlemen Inggris untuk perjuangan Papua Merdeka pada (15/10), dan rencana unjuk rasa pada 15-17 Oktober yang dinilai mengarah pada disintegrasi bangsa.

    Pernyataan sikap ini disampaikan Ketua Umum Barisan Merah Putih, Ramses Ohee, dihadapan ratusan masyarakat, Tokoh masyarakat, pemuda dan mahasiswa maupun puluhan anggota TNI yang hadir di kediamannya, Senin (13/10) kemarin. Sementara itu, komponen masyarakat lainnya menyatakan sikap yang berbeda. Mereka mendukung peluncuran parlemen internasional untuk Papua Barat di London Inggris dengan akan menggelar aksi dukungan moril ke DPRP, yang direncanakan akan dilaksanakan, Kamis (16/10).

    Pernyataan dukungan ini, terungkap dalam talk show Review Pepera 1969 di aula STT IS Kijne Abepura, Senin (13/10) kemarin, yang dipadati ratusan pemuda, mahasiswa, serta masyarakat umum maupun saksi pelaksanaan Pepera 1969.

    Komponen masyarakat ini menamakan diri Panitia Nasional Papua Barat untuk IPWP (International Parlement for West Papua) juga menggelar pamflet pernyataan sikap yang ditempel di depan masyarakat, pemuda, yang memadati aula tersebut.(berita lengkapnya baca di hal 4).

    Komponen masyarakat Papua peduli NKRI merasa prihatin, perkembangan situasi di wilayah Papua saat ini, karena masih ada saudara-saudara yang mempersoalkan dan mengangkat kembali masalah Pepera tahun 1969 yang sudah final di PBB dan Papua sah merupakan bagian tidak terpisahkan dari NKRI.

    “Upaya-upaya untuk memperjuangkan Papua lepas dari NKRI oleh gerakan separatis Papua Merdeka dengan cara menimbulkan gejolak sosial politik yang dilaksanakan pada 15/17 Oktober merupakan pengingkaran dan pengkhianatan terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara,” tegas Ramses Ohee yang juga adalah salah satu pelaku sejarah pejuang Pepera ini.

    Untuk itu, lanjutnya, komponen masyarakat Papua peduli NKRI yang terdiri dari Barisan Merah Putih, Ondoafi, Ondofolo, Kepala Suku, Organisasi Keluarga Besar TNI/POLRI, Pejuang Trikora, Menwa, Pramuika, Tomas, Todat, Toga, Toper, PKRI, Masyarakat Adat, Paguyuban, GM Trikora, FKPPPIP menghimbau masyarakat agar tidak terprovokasi dan terpengaruh serta tidak mengikuti ajakan SMS gelap maupun selebaran-selebaran yang disebarkan oleh pihak yang tidak bertanggungjawab.

    Hal ini terkait dengan rencana unjuk rasa yang mengarah pada disintegrasi bangsa pada tanggal 15 dan 17 Oktober. “Kami meminta kepada Gubernur, Ketua DPRP dan Ketua MRP untuk menyampaikan penolakan secara tegas terhadap pelaksanaan Caucus Parlemen di Inggris untuk perjuangan Papua Merdeka, karena Papua adalah bagian yang tidak terpisahkan dari Indonesia dan negara lain tidak boleh ikut campur,” kata Ramses Ohee menegaskan.

    Selain itu, meminta agar eksekutif segera mensosialisasikan PP 77 tahun 2007 tentang lambang daerah, agar masyarakat di Papua mengerti tentang pelarangan pengibaran bendera Bintang Kejora, lagu Hai Tanahku Papua dan lambang burung Mambruk yang selama ini dipakai kelompok separatis Papua merdeka, karena sebagai bangsa Indonesia mereka sudah mempunyai bendera Merah Putih, lambang burung Garuda dan lagu kebangsaan Indonesia Raya.

    Sosialisasi ini perlu agar tidak terulang kembali kasus pembakaran PP 77 oleh DAP di depan kantor DPRP. Pihaknya juga meminta kepada aparat keamanan mengambil langkah-langkah tegas sesuai hukum yang berlaku terhadap gerakan separatis di Papua sehingga tidak mengganggu dan menghambat pembangunan di Papua yang sedang melaksanakan Otsus.

    Terakhir, pihaknya juga meminta kepada Gubernur, DPRP dan MRP segera menyelesaikan Perdasi/Perdasus yang merupakan penjabaran UU Otsus sebelum berakhir masa jabatan DPRP periode 2004/2009. (frida)

    Ditulis Oleh: Frida/Papos Selasa, 14 Oktober 2008

  • 159 Tentara OPM Menyerah

    OKSIBIL, KAMIS – Sebanyak 159 anggota Tentara Pembebasan Nasional (TPN) Organisasi Papua Merdeka (OPM) dari dua kelompok yang beroperasi di perbatasan RI-Papua Nugini, Kamis siang sekitar pukul 13.25 WIT, menyatakan ikrar kesetiaannya kepada Negara KJesatuan Republik Indonesia (NKRI).

    Ikrar kesetiaan tersebut dibacakan Komandan Kompi dari Kelompok Paulus Kalakdana, Engel Kalakmabin, di hadapan Menko Kesra Aburizal Bakrie, Mendagri Mardiyanto, Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto, dan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Syamsir Siregar di Oksibil, Kabupaten Pegunungan Bintang, Papua.

    Kedua kelompok tersebut adalah kelompok Paulus Kalakdana yang beroperasi di sekitar kawasan Baton, dan kelompok Agus Kaproka yang beroperasi di daerah Iwur, Kabupaten Pagunungan Bintang.

    Ikrar kesetiaan terhadap NKRI itu berisi lima butir, antara lain berisi kesediaan hidup rukun dan turut serta menciptakan ketertiban dan keamanan di Kabupaten Pegunungan Bintang, Papua.

    Sebagian besar dari para anggota TPN OPM itu tampak masih mengenakan pakaian tradisional, ada yang memakai koteka, celana pendek dengan bertelanjang dada, dan hiasan rumput-rumputan di kepala.

    Setelah membacakan ikrar kesetiaan, salah seorang perwakilan TPN OPM kemudian menyerahkan tiga pucuk senjata jenis “double loop” bersama 10 pelurunya yang merupakan senjata buatan Papua Nugini.

    Ketiga senjata yang dimiliki kelompok TPN OPM itu diserahkan oleh Hendru Birdana kepada Menko Kesra Aburizal Bakrie, disaksikan rombongan dan Wakil Gubernur Papua Alex Hesegem, Ketua Majelis Rakyat Papua (MRP) Agus Alua dan Bupati Pegunungan Bintang Welinton Wenda.

    Menko Kesra Aburizal Bakrie dalam sambutannya mengajak masyarakat setempat untuk melupakan masa lalu, saling memaafkan jika ada kesalahan, dan segera membangun daerah setempat.

    ABI Sumber : Ant

Are you sure want to unlock this post?
Unlock left : 0
Are you sure want to cancel subscription?