Category: Uncategorized

  • Potret Luka Perempuan Timor Leste dalam ‘Memoria’

    Jakarta, CNN Indonesia — Timor Leste resmi memisahkan diri dari Indonesia 14 tahun silam. Meski sudah meraih kemerdekaannya, masih terdapat luka kenangan yang membekas bagi sebagian masyarakatnya.

    Luka itu dialami para wanita yang selama masa penjajahan di negaranya harus melayani nafsu seksual para tentara. Atas dasar kisah itu, sutradara Kamila Andini pun tergerak untuk mengangkat kisah itu dalam film yang digarapnya, bertajuk Memoria.

    “Dalam film ini saya ingin bicara tentang luka. Tentang bagaimana luka itu didapat, bagaimana ia bertahan, bagaimana ia berusaha keluar dari diri seseorang dan menjadi kenangan, memori,” kata Kamila menjelaskan, di Galeri Indonesia Kaya, pada Jumat (16/12).

    Bagi banyak perempuan di luar sana, ia menambahkan, luka dan kenangan merupakan sumber kekuatan atas kehidupan itu sendiri.

    Mengambil latar belakang tempat di sebuah kota kecil di Timor Leste bernama Ermera, Memoria menceritakan tentang seorang ibu yang mencoba melupakan ingatannya menjadi korban selama perang di Timor Leste. Ada pula seorang anak yang mencoba melindungi diri melalui pernikahan. Mereka berdua sedang mencoba menemukan arti kebebasan yang sesungguhnya.

    Maria adalah salah satu perempuan korban kekerasan seksual di Timor Leste pada tahun-tahun gelap masa perang itu. Meskipun Timor Leste sekarang sudah merdeka, Maria merasa ia tetap menjadi seorang yang terjajah. Ia melihat kemungkinan ini bisa terjadi kepada anaknya, Flora, yang menghadapi masa-masa persiapan pernikahan, hanya karena mahar.

     

    Tentang Perempuan dan Menjadi Merdeka

    Di samping keinginan Kamila yang ingin bicara soal luka, film itu pun dibuat dengan melihat adanya kebutuhan mengampanyekan isu kekerasan terhadap perempuan di Timor Leste.

    Hal tersebut disampaikan oleh Theresia lswarini, Project Manager dari Survivor Project Timor Leste. “Harapannya perhatian penuh diberikan kepada para penyintas, khususnya penyintas kekerasan seksual masa perang karena mereka masih hidup dalam kemiskinan.”

    Menurut Kamila sendiri, Timor Leste memang telah merdeka. Seperti Maria, dirinya, juga semua masyarakat, hidup di negara merdeka.

    “Tapi kemerdekaan perempuan masih terus dipertanyakan. Ini tidak lagi kemerdekaan menjadi persoalan politik, ini persoalan kemanusiaan,” ujarnya.

    Diungkapkan Kamila, Memoria dibuat oleh delapan orang kru di lapangan. Total kru film hanya 11 orang, termasuk yang tidak turun ke lapangan. Selain dari Jakarta, Memoria turut mendapat bantuan kerjasama dari teman-teman organisasi lokal di Timor Leste.

    “Semua pemain dalam film ini adalah bakat-bakat atau aktor non-profesional, yang ditemukan dengan sistem casting di Dili dan semua pemain ibu dalam film ini adalah penyintas,” kata Kamila.

    Di awal film yang berdurasi kurang lebih 45 menit itu, penonton diajak menyusuri ruang yang menjadi kenangan buruk bagi hidup Maria. Maria bercerita bagaimana ia dipaksa melayani tentara di Hotel Flamboyan tanpa mengenal waktu.

    Bayang-bayang kelam akan masa lalu itu terkadang membuatnya sakit dan tak kuat menahan tangis, juga rasa takut. Meski demikian, Maria beruntung masih bertemu kawan seperjuangannya yang pernah mengalami hal serupa.

    Dia dikuatkan oleh temannya, Alsina. Tak ayal tingkah Alsina pun menjadi satu karakter menarik yang menampilkan sisi ketangguhan wanita dalam menjalani rumitnya hidup.

    Di satu sisi, kala Maria tak lagi bersama teman-temannya, dia harus menghadapi konflik batin. Maria yang memiliki putri bernama Flora. Ketakutan akan hal yang pernah dialaminya mungkin terjadi pada putrinya.

    Belum lagi ia harus berhadapan dengan stigma buruk dalam rumah tangganya, lagi-lagi karena beban kejadian masa lalu.

    Tak hanya mengajak untuk ikut merasakan luka yang masih membekas dalam diri Maria, penonton juga dihadapkan dengan realita masa kini. Soal kehidupan masyarakat, tekanan, dan rasa kemanusiaan.

    Sang produser Gita Fara menyampaikan, tim produksi melakukan riset dengan mewawancarai banyak penyintas dari masa perang kemerdekaan Timor Leste dari Indonesia.

    “Beberapa ‘kisah’ mereka kami masukkan dalam opening film. Dari wawancara ini kami memilih beberapa di antara mereka untuk bermain dalam film ini,” ujar Gita.

    Selain beradaptasi dengan lingkungan sosial budaya Timor Leste, Kamila mengungkapkan, saat menggarap film tersebut ia tengah mengandung dan janinnya berusia tujuh bulan. Tak ayal Kamila pun mengatakan bahwa bagi dirinya sendiri film tersebut begitu emosional.

    “Selama riset, selama menulis, harus mendengar banyak kisah tentang kehidupan para penyintas saat saya sendiri sedang mengandung sangatlah tidak mudah,” ujarnya.

    Dia menambahkan, “Tapi saya berpikir apabila mereka sepanjang hidupnya sanggup melewati banyak hal, perang, menjadi ibu, dan masih mengalami kekerasan. Maka tidak ada alasan bagi saya untuk tidak menceritakan kisah mereka dalam kondisi apa pun,” katanya.

    kemerdekaan perempuan masih terus dipertanyakan. Ini tidak lagi kemerdekaan menjadi persoalan politik, ini persoalan kemanusiaan.Kamila Andini

     

    Memoria Kibarkan Sayap Ke Luar Negeri

    Film Memoria pertama kali diputar secara perdana pada gelaran acara Busan International Film Festival 2016. Film itu juga berkompetisi dengan film-film pendek lain dalam Wide Angle Asian Shorts Film Competition.

    Di Indonesia sendiri, film yang digarap mulai Februari lalu itu masuk menjadi salah satu nominasi Film Pendek Terbaik dalam Festival Film Indonesia 2016. Lalu pada awal Desember ini, Memoria telah memenangi dua penghargaan dalam Jogja-netpac Asian Film Festival, yaitu Blencong Awards untuk film pendek terbaik dan Student Choice Awards dari para mahasiswa film.

    Menurut salah satu juri asal Singapura di Jogja Asian Film Festival, Kan Lume penghargaan untuk Memoria diberikan karena dianggap mampu menabrak batas-batas sinema.

    “Bahkan menjadi suara yang kuat atas keberpihakan terhadap orang-orang yang selama ini menjadi korban. Film ini menawarkan sudut pandang spesifik yang mengakomodasi sejumlah isu yang kompleks dalam masyarakat secara utuh,” katanya yang juga seorang sutradara.

    Dia menambahkan, “Film ini menjadi jembatan menyentuh pengetahuan mengenai keadilan.”

    Garapan Terbaru, Film Hingga Buku

    Saat ini, Kamila yang juga istri sutradara Ifa Isfansyah itu sedang menyelesaikan film panjangnya bertajuk Seen and Unseen. Ditemui usai acara, Kamila mengatakan bahwa film itu bercerita tentang hubungan dua anak kembar yang mengambil latar belakang budaya Bali.

    Berdasarkan pengakuannya, film itu telah mendapat dukungan dari dunia internasional, di antaranya Hubert Bals Fund dari International Film Festival Rotterdam (Belanda), Asia Pacific Screen Awards’s Children Film Fund (Australia), Wouter Barendrechts Awards dari Hongkong Asia Film Financing Forum.

    Kamila juga menyebut telah mempresentasikan proyek itu ini di beberapa pasar internasional, di antaranya Venice Gap Financing Market dari Venice International Film Festival (Italia) pada September lalu.

    Selain proyek di bidang film, Kamila pun baru merilis buku catatan produksi dari film pertamanya The Mirror Never Lies, sebuah film yang berlatarbelakang budaya suku laut-Suku Bajo, Wakatobi.

    Buku itu diberinya judul Laut Bercermin Sebuah Catatan dan Tafsir Film.

    “Buku ini bukan cuma catatan produksi, tapi juga berisi rangkaian tafsir film yang ditulis oleh akademisi, praktisi dan kritikus film, juga catatan dari media, baik dari dalam dan luar negeri,” katanya.

    Buku tersebut telah dirilis di Jogja Netpac Asian Film Festival pada 30 November lalu. (rsa)

  • Rakyat Aborigin Australia Ingin Miliki Negara Sendiri

     Michael Mansell, pengacara dan aktivis hak-hak rakyat Aborigin, mengusulkan kepada pemerintah Australia agar membentuk negara bagian tersendiri bagi rakyat Aborigin. (Foto: abc.net.au)
    Michael Mansell, pengacara dan aktivis hak-hak rakyat Aborigin, mengusulkan kepada pemerintah Australia agar membentuk negara bagian tersendiri bagi rakyat Aborigin. (Foto: abc.net.au)

    CANBERRA, SATUHARAPAN.COM –  Pemerintah Australia diminta membentuk negara bagian ketujuh yang dikelola oleh warga Aborigin, yang merupakan penduduk asli Australia. Negara bagian itu harus sama dengan negara bagian lainnya di Australia, yang memiliki pemerintahan, parlemen dan sistem pengadilan sendiri.

    Usulan ini dikemukakan aktivis dan pengacara Aborigin, Michael Mansell dari Tasmania, sebagaimana dilansir dari abc.net.au.

    Menurut Mansell, pembentukan negara bagian ketujuh untuk Aborigin, akan menjadi sebuah hadiah berharga menuju penentuan nasib sendiri bagi rakyat Aborigin.

    Ia mengatakan, negara bagian ketujuh itu harus dijalankan seperti negara-negara bagian yang sudah ada.

    “Ini akan memiliki wewenang untuk memungut pajak, mengelola jalan, kelistrikan, pendidikan, kesehatan, perumahan dan sebagainya,” kata dia.

    “Dengan kata lain, ini akan memberikan rakyat Aborigin secara penuh tanggung jawab di dalam federasi Australia untuk melakukan yang terbaik di dalam sistem federasi itu sendiri,” kata dia.

    Pria beretnis Palawa ini baru saja menerbitkan buku berjudul Treaty and Statehood, dan ia mengatakan negara bagian ketujuh itu dapat didirikan di tanah yang saat ini dikuasai oleh rakyat Aborigin, tanpa mengubah konstitusi Australia.

    Kendati demikian, ia mengakui bahwa apa yang dia usulkan ini tidak bisa terwujud dalam waktu dekat. Menurut dia, setidaknya diperlukan satu atau dua dekade lagi agar kesepakatan ini diperoleh.

    “Anda harus melihat ke 20 atau 30 tahun ke depan untuk model yang kita tuju secara bertahap,” katanya.

    “Jika kita mencoba untuk membawa orang-orang Aborigin ke posisi kedaualatan secara politik seperti sebelum invasi tahun 1788, maka anugerah besar yang bisa diberikan (oleh Australia) adalah sebagai negara bagian ketujuh.”

    Seruan bagi adanya negara bagian ketujuh ini muncul setelah pemerintah negara bagian South Australia mengumumkan rencananya untuk mencapai kesepakatan dengan kelompok-kelompok Aborigin di dalam negara bagian itu.

    South Australia telah menyiapkan dana  4 juta dolar AS dalam anggaran pemerintah untuk mencapai kesepakatan.

    Menteri Negara Urusan Aborigin, Kyam Maher, mengatakan ia ingin pembahasan terkait dengan itu dimulai hari Rabu mendatang dan berharap perjanjian pertama akan selesai dalam waktu 12 bulan.

  • Guam decolonisation, Trump and China

    A decolonisation plebiscite on Guam that was due to be held last month is likely to be deferred to 2018.

    Controversy over who was eligible to vote and fears voters wouldn’t understand their options have been blamed for the postponement.

    The delay means the US colony’s plebiscite could be held during the first term of President Trump, whose reaction to the result may depend on his stance towards China.

    Guam is strategically important to the United States, housing both an Air Force and Navy base. Here, a US F-16 flies along the island's coastline.
    Guam is strategically important to the United States, housing both an Air Force and Navy base. Here, a US F-16 flies along the island’s coastline. Photo: US Department of Defense

     

    An unincorporated territory of the United States, Guam has been poised to hold the non-binding plebiscite since the 1980s that would give voters a choice of three options for their Micronesian island.

    Become a US state, independence, or free association with the US.

    To educate voters about each option three taskforces were established in 1997.

    The Independence Taskforce had been accused of delaying this year’s plebiscite, but its co-chair Victoria-Lola Leon Guerrero said Guam law required it to be held in conjunction with a gubernatorial election.

    Victoria-Lola Leon Guerrero.
    Victoria-Lola Leon Guerrero. Photo: Guampedia

    “So what the governor had been proposing was illegal because it was in violation of Guam’s own decolonisation plebiscite laws,” said Ms Leon Guerrero.

    “That’s what we were opposed to. We were also opposed to our community being rushed to vote on something,” she said.

    “We were just interested in ensuring that our community was informed. That we together were all educating each other on what would be best for Guam.”

    The indigenous Chamorro, Guamanians and their decendants nativised by the Organic Act of 1950 are able to vote in the plebiscite, however, that is being challenged in a US court by a long-term American resident of Guam deemed ineligible to join the decolonisation registry.

    13,192 people had joined the registry by mid-December, while about 52 thousand people were registered to vote in November’s general election.

    Chair of the Free Association Taskforce Adrian Cruz said the three groups would now join forces to educate Guam on the importance of the plebiscite.

    “So that’s the first task. Once we get maybe within about six to seven months before the actual election is when we are really going to try to make our particular option a little more clear,” he said.

    “But the first thing we’ve all agreed to do is get people to be educated about why they should vote in general.”

    Co-chair of the Statehood Taskforce Eloy P. Hara said becoming a state would allow the US military to protect Guam’s fisheries as China seeks greater influence in the region.

    “The Chinese are already starting to move to try to take over the Federated States of Micronesia. They’re already loaning money to the FSM government,” said Mr Hara.

    “As a state we can ask the military to enforce the economic zone. Right now the Chinese, the Koreans they come in and we have no way of protecting ourselves.”

    Adrian Cruz
    Adrian Cruz Photo: Michael Lujan Bevacqua

     

    With the number of US military personnel on Guam set to surge from six to 11 thousand as troops are relocated from Japan, Mr Cruz said free association would make Guam a sovereign nation with a say on America’s military presence.

    He said most Guamanians have cultural and family ties to America and its military, but a recent decision to convert a culturally significant area into a live firing range made some reconsider the relationship.

    “It demonstrated again how the military could unilaterally do things without our input,” said Mr Cruz.

    “We’ve all seen the news from Okinawa and the protests and the grievances that they have and now we’re going to be in their shoes so to speak,” he said.

    “That really made people think twice. It really gave impetus to the decolonisation movement.”

    An independent Guam would have even more power to negotiate an equitable arrangement with the US military, according to Ms Leon Guerrero, which could include the return of the island’s most fertile farm land.

    She said the election of President Trump had driven a surge of interest in the independence option given Guam would be at the forefront of a US-China war.

    “Why would China have missiles called the Guam Killers? Because they see the United States’ presence here as an aggressive presence that’s directed at them,” said Ms Leon Guerrero.

    “So those kinds of things are very terrifying that somebody like Donald Trump would make those kinds of decisions,” she said.

    “Whether or not that country goes to war we will probably be the place that gets attacked and that’s really terrifying for such a small community.”

    Mr Hara, who served in the US Navy, said becoming a state would drive infrastructure development on Guam to support an even larger military presence.

    Eloy P. Hara
    Eloy P. Hara Photo: Statehood Taskforce, Guam

     

    “If they build Guam sufficiently the war can be fought from here instead of being fought from the mainland US, just like they did during the second world war,” he said.

    “Common sense would dictate that – hey, let’s build up Guam, let’s fight the war over there if we’re fighting the Chinese and the North Koreans, let’s fight it over there.”

    Given Guam’s geopolitical importance to the United States, would President Trump heed the result of the plebiscite?

    Mr Cruz said it would be within best interests of the US to do so.

    “Not only strategically but also to show the world that the United States really is not an imperialistic country as its critics contend it to be especially in China and Russia,” he said.

    “I hope that Donald Trump does hear our vote and I hope that it also expresses to him that it’s not that we’re clamouring for rebellion on Guam but that we desire to be treated equitably in the American tradition.”

    The United States entered into a Compact of Free Association with the Federated States of Micronesia and the Marshall Islands in 1986 and with Palau in 1994.

  • George Junus Aditjondro Meninggal Dunia

    George Junus Aditjondro Meninggal Dunia
    George Junus Aditjondro (Foto: Ari Saputra/detikFoto)

    News Detik – Palu – Aktivis, peneliti dan penulis George Junus Aditjondro meninggal dunia di Palu, Sulawesi Tengah, Sabtu, 10 Desember 2016 sekitar pukul 05.45 Waktu Indonesia Tengah. Ia meninggal dalam perawatan di Rumah Sakit Bala Keselamatan di Jalan Woodward, Palu, Sulawesi Tengah.

    “Duka mendalam wafatnya seorang tokoh reformasi. Guru dan mentor politik saya semasa mahasiswa di Salatiga: George Junus Aditjondro. Rest in peace,” tulis Menteri Tenaga Kerja (Menaker) Hanif Dhakiri lewat akun Twitter-nya @hanifdhakiri seperti dilihat detikcom, Sabtu (10/12/2016) pagi.

    Kabar meninggalnya George ini juga disampaikan aktivis HAM Andreas Harsono lewat akun Facebook-nya. “Dia adalah mentor saya ketika saya sedang belajar di Salatiga, Jawa Tengah, pada 1980-an,” sebutnya.

    Semasa hidup, mendiang George dikenal karena sejumlah tulisannya yang menyoroti bisnis Keluarga Cendana yang menurutnya sarat dengan korupsi, kolusi dan nepotisme. Ia aktif juga menulis soal bisnis militer Indonesia.

    George lahir di Pekalongan, Jawa Tengah, pada 27 Mei 1946.

    Ia pernah jadi wartawan untuk Tempo. Pada 1994 dan 1995, nama George Aditjondro menjadi dikenal luas sebagai pengkritik pemerintahan Soeharto mengenai kasus korupsi dan Timor Timur. Ia sempat harus meninggalkan Indonesia ke Australia dari 1995 hingga 2002. Ia dicekal oleh rezim Soeharto pada Maret 1998.

    Di Australia ia menjadi pengajar di Universitas Newcastle dalam bidang sosiologi. Sebelumnya, saat di Indonesia ia juga mengajar di Universitas Kristen Satya Wacana.

    Sepulangnya dari Australia, ia menulis beberapa buku kontroversial.

    Saat hendak menghadiri sebuah lokakarya di Thailand pada November 2006, ia dicekal pihak imigrasi Thailand yang ternyata masih menggunakan surat cekal yang dikeluarkan Soeharto pada 1998.

    Pada akhir Desember 2009, saat peluncuran bukunya Membongkar Gurita Cikeas, ia dituduh melakukan kekerasan terhadap Ramadhan Pohan, seorang anggota DPR RI dari Partai Demokrat, yang kemudian melaporkan kejadian tersebut kepada polisi.

    Beberapa lama setelah peluncuran bukunya terakhir, Membongkar Gurita Cikeas: Di Balik Skandal Bank Century, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan keprihatinannya atas isi buku tersebut. Buku itu sempat ditarik dari etalase toko walaupun pada saat itu belum ada keputusan hukum terhadap peredaran buku ini.

    Di Palu, ia pernah bergabung dengan Yayasan Tanah Merdeka. Di organisasi nonpemerintah yang dibidani kelahirannya oleh Sosiolog Arianto Sangadji ini, George meneliti dan menulis soal silang sengkarut operasi militer dan polisi di Poso selama konflik sosial berlangsung di daerah itu. Ia pernah menulis soal bisnis dan peredaran senjata illegal di daerah konflik. Soal korupsi lunsum prajurit di daerah konflik pun pernah ditulisnya.
    (hri/hri)

  • Penulis Gurita Cikeas, George Junus Aditjondro Meninggal Dunia

    Suara.com – Penulis buku kontroversial George Junus Aditjondro dikabarkan telah meninggal dunia di usia 70 tahun.

    Lelaki kelahiran Pekalongan 27 Mei 1946 itu menghembuskan napas terakhir di Palu, Sulawesi Tengah, pada hari ini, Sabtu (10/12/2016) sekitar pukul 05.45 WITA.

    Meninggalnya George, yang pernah bikin rezim pemerintahan Soesilo Bambang Yudhoyono geram karena karya bukunya berjudul Gurita Cikeas, telah dikabarkan oleh wartawan senior Yan Widjaya di akun Twitternya @yan_widjaya.

    “RIP DR George Junus Aditjondro (27/5/1946 – 10/12/2016) penulis buku #CuritaCikeas, tadi pg Sabtu, pkl 05.45 WITA di Palu,” tulis Yan.

    Kabar meninggalnya lelaki yang juga pernah menjadi wartawan, sosiolog dan dosen itu juga dikabarkan oleh Menteri Tenaga Kerja Hanif Dhakiri di akun Twitternya @hanifdhakiri.

    “Duka mendalam wafatnya seorang tokoh reformasi. Guru&mentor politik sy semasa mahasiswa di Salatiga: George Junus Aditjondro. Rest in peace,” tulis Hanif.

    George sebelum meninggal sempat mengalami masalah kesehatan di jantungnya. Bahkan, George sudah sulit berbicara lagi setelah terkena serangan stroke pada tahun 2012.

    George dan istrinya, Erna Tenge, akhirnya memutuskan tinggal di Palu setelah Erna menyelesaikan pendidikan doktor di Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada, pada tahun 2014.

    Lelaki bertubuh tambun itu pernah dilaporkan Ramadhan Pohan, anggota DPR RI dari Partai Demokrat pada bulan Desember 2009 karena dituduh melakukan kekerasan terhadap Pohan.

    Beberapa lama setelah peluncuran bukunya terakhir, Membongkar Gurita Cikeas: Di Balik Skandal Bank Century, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan keprihatinannya atas isi buku tersebut. Buku itu sempat ditarik dari etalase toko walaupun pada saat itu belum ada keputusan hukum terhadap peredaran buku itu.

    Selain itu, George juga penah diusir Forum Masyarakat Yogyakarta saat menggelar diskusi Membedah Status Sultan Ground/Pakualaman Ground dalam Keistimewaan Yogyakarta pada 30 November 2011.

    George dituding telah menghina Keraton Yogyakarta karena ucapannya dianggap menghina keraton setelah menyebut keraton adalah kera yang enak ditonton.

    George melayangkan kritik kebijakan Keraton terkait penambangan pasir besi di pesisir selatan Kulon Progo. Polisi sempat menetapkannya sebagai tersangka setelah ada laporan masyarakat.

  • Sope praises Fidel Castro over Cuban backing for Vanuatu independence

    By Godwin Ligo in Port Vila
    Late President Fidel Castro ... a champion of Vanuatu independence. Image: Vanuatu Daily Post
    Late President Fidel Castro … a champion of Vanuatu independence. Image: Vanuatu Daily Post

    Former Vanuatu Prime Minister and the country’s first Roving Ambassador, Barak Sope, has expressed his personal tribute to the late Fidel Castro of Cuba who died late last week.

    Speaking from his home on Ifira in a telephone interview with the Daily Post, Barak Sope, who was one of the young political activists for Vanuatu independence during the New Hebrides colonial era, related how Cuba was the first country in the world to support political freedom from the two colonial powers, Britain and France.

    “In 1977, [founding prime minister] Father Walter Lini and I were present during a UN Committee of 24 on Decolonisation in New York.

    “This was the first time that the Vanuatu cry for political independence was heard by the UN Committee.

    “It was through the Cuban President Fidel Castro at the time that Cuba became the first country in the world to sponsor the then New Hebrides application to the UN 24 Committee in 1977.

    “So, Father Walter Lini, who was the president of the Vanua’aku Party, and I made a trip to New York to be present during the UN Committee of 24 on Decolonization to listen to the debate for our freedom,” Sope recalled.

    “It was timely too, because Cuba did not only sponsor Vanuatu’s application to the UN Committee, but it so happened that at the time Cuba chaired the committee, and so we knew with hope that our political freedom was eminent, with the Cuban Ambassador appointed by President Fidel Castro to chair the UN Committee,” he said.

    Two roles
    Sope said it was through the two roles that Cuba played at the time that the UN Committee of 24 on Decolonisation shepherded Vanuatu’s application through.

    Sope said other countries that supported the then New Hebrides in its initial stages for political freedom through the UN were Algeria and Tanzania.

    “After Independence in 1980, I was appointed by Vanuatu’s first Prime Minister, Father Walter Lini, as Vanuatu’s first Roving Ambassador and Secretary for Foreign Affairs, because Foreign Affairs at the time was under the Prime Minister’s portfolio.

    “In August 1981, Prime Minister Father Walter Lini appointed me as a Special Envoy to travel to Havana, Cuba, to deliver Vanuatu’s Special Message of ‘thank you and appreciation’ to President Castro, and at the same time formalised diplomatic relations with Cuba that saw Vanuatu flag raised in Havana.

    “I could not travel through the US at the time, so I had to make a long trip via UK and Canada and then to Havana, Cuba where I was accorded a high level welcome personally by President Castro in his Presidential Palace.

    “I extended to him on behalf of the government and the people of Vanuatu, deep appreciation for the support that President Fidel Castro and his country paving the way from Havana to the corridors of the United Nations and finally to the Committee of 24 on Decolonisation that released our colonised country and people from Britain and France to become the independent state and the new Republic of Vanuatu,” Sope said.

    “Port Vila tied diplomatic relations with Havana in August 1981 before becoming a full member of the United Nations (UN) in September of 1981 – the same year, but we recognised Cuba first because without Cuba and President Fidel Castro, it may have taken longer or never for this country to become an independent state from Britain and France,” Sope recalled.

    Independent state
    “In 1977, Father Walter Lini and I attended the UN Decolonisation Committee in informal clothing but in 1981 we attended the UN General Assembly for the first time after independence where Father Walter Lini as the first Vanuatu Prime Minister addressed the UN General Assembly for the first time as an independent state and as the UN welcomed Vanuatu as its full member.

    fidel-castro
    A younger Fidel Castro …medical scholarships for Vanuatu. Image: Vanuatu Daily Post

    “Today, I am sad to say that Vanuatu has lost its first political pillar of our political freedom, the late President Fidel Castro.

    “Personally, and of course the country has lost a man that stood up for the right of the political freedom of our nation and people in international forum and the United Nations. We truly miss him,” Sope said.

    The former Cuban President Fidel Castro handed over his responsibilities in 2006 to his brother Raul.

    He died at the age of 90 last Friday.

    Relations with Cuba were enhanced further when the country provided scholarships for ni-Vanuatu to attend medical school to become doctors.

    Godwin Ligo is a senior journalist on the Vanuatu Daily Post. This article has been republished with permission.

  • Peringati hari HAM, KNPB Sorong : Indonesia tak akan bisa mengindonesiakan OAP

    Aktifis KNPB Sorong Raya yang menggelar ibadah dalam rangka peringatan hari HAM di Sekretariat KNPB Malanu Kampung - Jubi/Niko MB
    Aktifis KNPB Sorong Raya yang menggelar ibadah dalam rangka peringatan hari HAM di Sekretariat KNPB Malanu Kampung – Jubi/Niko MB

    Sorong,Jubi – Komite Nasional Papua Barat [KNPB] Wilayah Sorong Raya, Sabtu (10/12/2016) dalam rangka memperingati hari HAM sedunia, mengenang penculikan dan pembunuhan Alm. Marthinus Yohame, Ketua Umum KNPB Sorong Raya tiga tahun lalu.

    “Hari HAM ini moment penting buat kami Rakyat Papua untuk mengangkat semua pembunuhan dan penculikan para pejuang Bangsa Papua Barat selama 55 tahun penjajahan kolonial Indonesia yang terus menerus melakukan tindakan tidak manusiawi pada rakyat Papua,” kata Jubir KNPB Sorong Raya, Agustinus Aud kepada Jubi, Sabtu (10/12/2016).

    Lanjutnya, rakyat Papua tidak mendapat kebebasan hidup sebagai manusia yang punya derajat sama dihadapan Tuhan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sehingga ia mendesak rakyat Papua bersatu untuk menentukan nasib sendiri.

    “Sudah cukup 55 tahun kita menangis air mata darah,”katanya

    Sementara Ketua KNPB Sorong Raya Arnoldus Kocu menilai rezim militer Order Baru masih ada di tanah Papua sampai saat ini,

    “TNI/Polri sampai saat ini seenaknya membunuh Rakyat Papua. Apakah TNI/Polri itu Tuhan sehingga seenaknya mencabut nyawa manusia Papua?” tanyanya.

    Pemerintah Indonesia, menurutnya harus sadar telah merusak tatanan hidup orang Papua dengan memanipulasi PEPERA 1969 dan memaksa Rakyat Papua dibawah tekanan rezim militer untuk bergabung dengan Indonesia.

    “Negara Indonesia tidak akan bisa mengindonesiakan Orang Asli Papua karena ideologi Bintang Fajar sudah mendarah daging dalam jiwa kami,” kata Kocu tegas. (*)

  • Dukungan sekelompok WNI untuk referendum di Papua Barat

    Juru bicara FRI-West Papua, Surya Anta dalam konferensi pers di Jakarta, 29 November 2016
    Kelompok FRI-West Papua menganjurkan “kepada rakyat Indonesia yang bermukim di tanah West Papua untuk mendukung perjuangan bangsa Papua dalam menentukan nasibnya sendiri”.

    BBC.com – Sekelompok warga negara Indonesia yang tergabung dalam Front Rakyat Indonesia untuk Papua Barat (FRI-West Papua) menyatakan dukungan agar Papua Barat bisa menentukan nasib sendiri melalui mekanisme referendum.

    Dukungan itu rencananya akan disampaikan lewat aksi bersama di Jakarta dan beberapa kota lain pada Kamis 1 Desember nanti dengan berjalan dari kawasan Bundaran Hotel Indonesia ke Istana Negara dan rencananya akan dihadiri 200 orang.

    “Keanggotaan kami orang-orang Indonesia, walaupun kami tetap akan bekerjasama dengan orang-orang Papua, dengan organisasi Papua, dari segi mobilisasi massa maupun di dalam informasi, komunikasi,” kata juru bicara FRI-West Papua, Surya Anta, dalam pernyataan pers di kantor LBH Jakarta, Selasa (29/11).

    Menurutnya organisasi yang beranggotakan warga negara Indonesia yang bukan asal Papua itu memang sengaja ‘menjadi proyek percontohan’ bagi warga Indonesia dalam menanggapi isu kemerdekaan Papua Barat.

    “Masih banyak (warga Indonesia yang menganggap isu kemerdekaan Papua Barat) tabu, banyak yang setuju tapi takut, kami bagian dari yang setuju tapi tidak takut.”

    “Proyek percontohan kami adalah untuk membangkitkan kepercayaan diri dan melawan ketakutan supaya orang-orang lain yang bersolidaritas dan masih merasa takut atau berhati-hati untuk supaya bisa berani,” kata Surya.

    Image copyright BBC Indonesia
    Image caption Presiden Joko Widodo sedikitnya sudah lima kali mengunjungi Papua.

    Beberapa pejabat pemerintah Indonesia yang dihubungi BBC Indonesia menolak memberi komentar, antara juru bicara presiden Johan Budi dan Deputi V Bidang Politik, Hukum, Pertahanan Keamanan, dan HAM Kantor Kepresidenan, Jaleswari Pramodhawardani.

    Sedangkan staf khusus presiden soal Papua, Lenis Kogoya, mengaku belum mengetahui tuntutan yang sebenarnya, “Saya tidak tahu masalahnya.”

    Solidaritas untuk Papua

    Surya memberi contoh bahwa dalam pengepungan asrama mahasiswa Papua di Yogyakarta oleh polisi, Juli 2016 lalu, warga setempat bersolidaritas dengan memberi makanan dan air minum bagi mahasiswa yang tak bisa keluar dari barikade.

    Namun dia menilai aksi solidaritas tersebut masih berupa sebagai inisiatif yang ‘berserak’ sementara yang diperlukan adalah konsolidasi.

    “Yang kami lakukan dengan membentuk FRI-West Papua adalah aksi konsolidasi politik bahwa kami ingin menunjukkan tidak cukup bersolidaritas dengan cara yang minimal dan berserak,” kata Surya.

    Kelompok ini juga menganjurkan kepada rakyat Indonesia yang bermukim di tanah Papua Barat untuk mendukung perjuangan bangsa Papua dalam menentukan nasibnya sendiri”.

    Dalam dua tahun lebih masa jabatannya, Presiden Joko Widodo sedikitnya sudah lima kali mengunjungi Papua dan mengumumkan berbagai proyek infrastruktur besar di sana, termasuk pembangunan ruas jalan Nduga-Wamena di Kabupaten Nduga yang merupakan bagian dari target menghubungkan semua kabupaten di Provinsi Papua dengan jalur darat pada 2018.

    Pada Oktober lalu, presiden juga mengeluarkan kebijakan satu harga BBM.

    Namun, menurut Surya, pendekatan-pendekatan seperti ini ‘tidak bisa menjawab’ tuntutan atas pelaksanaan referendum di Papua Barat.

    Dalam aksi mereka 1 Desember nanti, menurut Surya, selain mengangkat masalah referendum di Papua Barat, mereka juga mendukung keanggotaan Persatuan Gerakan Pembebasan Papua Barat atau United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) di Melanesia Spearhead Group (MSG).

    MSG adalah sebuah blok regional yang meliputi Fiji, Vanuatu, Papua Nugini, dan Kepulauan Solomon. ULMWP mengajukan diri menjadi anggota penuh, dengan harapan gerakan mereka akan mendapat pengakuan lebih tinggi.

  • Sepuluh orang ditangkap, diduga rencanakan makar

    Lily Wahid, Ahmad Dhani, dan Rachmawati Soekarnoputri, menyampaikan keterangan pers terkait keterlibatan mereka pada aksi 212 di Jakarta, 1 Desember 2016.—tempo.co
    Lily Wahid, Ahmad Dhani, dan Rachmawati Soekarnoputri, menyampaikan keterangan pers terkait keterlibatan mereka pada aksi 212 di Jakarta, 1 Desember 2016.—tempo.co

    Jakarta, Jubi – Sebanyak sepuluh orang ditangkap oleh polisi terkait dugaan upaya permufakatan jahat. “Telah ditangkap 10 orang pada rentang waktu 03.00 hingga 06.00 WIB pagi hari ini,” kata Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karopenmas) Polri Kombes Pol Rikwanto di Jakarta, Jumat (2/12/2016).

    Rikwanto merinci kesepuluh orang tersebut berinisial AD, E, AD, KZ, FH, RA, RS, SB, JA dan RK. Ia menyebut delapan di antara mereka ditangkap atas tuduhan makar dan akan dikenai Pasal 107 juncto Pasal 110 juncto Pasal 87 KUHP dengan ancaman hukuman penjara minimal 20 tahun atau maksimal penjara seumur hidup. “Kalau JA dan RK dikenai pelanggaran Pasal 28 Undang-undang ITE,” katanya.

    Menurut dia, setelah ditangkap, kesepuluh orang tersebut langsung dibawa ke Markas Komando Brimob di Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat. Mantan Kabidhumas Polda Metro Jaya ini mengatakan penangkapan 10 orang tersebut atas hasil penyelidikan Polda Metro Jaya. Ia pun berujar tidak ada perlawanan dalam penangkapan mereka. “Tidak ada perlawanan,” katanya.

    Kesepuluh orang itu merupakan tokoh yang beberapa di antaranya aktif mendukung aksi 2 Desember. Mereka adalah musikus Ahmad Dhani yang ditangkap di Hotel San Pacific, Eko ditangkap di rumahnya di Perum Bekasi Selatan, Aditya Warman ditangkap di rumahnya.

    Selain itu Purnawirawan TNI Kivlan Zein juga ditangkap di rumahnya di Komplek Gading Griya Lestari. Putri presiden pertama Soekarno, Rachmawati Soekarnoputri juga ikut ditangkap sekitar pukul 05.00 WIB, di rumahnya. Beberapa aktivis seperti Ratna Sarumpaet, Sri Bintang Pamungkas, Jamran, juga Rizal Kobar juga dikabarkan turut ditangkap. Menurut Martinus, saat ini mereka dibawa untuk menjalani pemeriksaan di Markas Komando Brimob, Kelapa Dua, Depok.

    Di tempat terpisah, pengacara Yusril Ihza Mahendra juga dikabarkan siap mengadvokasi pihak yang ditahan. (*)

  • Flag day in Papua takes form of prayer events, petition

    Events held in the cities of West Papua to mark the anniversary of the Papuan nationalist day mainly took the form of prayer events.

    Morning Star Flag
    Morning Star Flag Photo: Copyright: chelovek / 123RF Stock Photo

    Yesterday was the 55th anniversary of a declaration of independence by the indigenous people of the former Dutch New Guinea declared independence.

    The Papuan nationlist Morning Star was subsequently banned when Indonesia took over, but each year global rallies mark this anniversary in support of Papuans.

    In Papua, the biggest of yesterday’s events was in the Highlands town of Wamena where 3000 people converged for a large prayer event at the Traditional Council headquarters.

    West Papuans show solidarity at a prayer event at Sinapuk Stadium in Wamena.
    West Papuans show solidarity at a prayer event at Sinapuk Stadium in Wamena. Photo: Supplied

    Benar News reported that organisers of the event thanked the Indonesian authorities for permitting the opportunity to worship.

    Among the speakers at another peaceful event, across in Papua’s provincial capital, was Filep Karma.

    Papuan pro-independence activist Filep Karma (C) asks police for a permit to hold a convoy with his supporters after being released from prison in Abepura, Papua province, on November 19, 2015.
    Papuan pro-independence activist Filep Karma (C) asks police for a permit to hold a convoy with his supporters after being released from prison in Abepura, Papua province, on November 19, 2015. Photo: AFP

    Mr Karma was released from prison a year ago after serving eleven years for raising the Morning Star in 2004.

    At the Jayapura event, hundreds signed a petition in support of the United Liberation Movement for West Papua with its growing representative role in the Pacific region.

    Thousands sign petition message in support of the United Liberation Movement for West Papua movement in the Pacific and at the UN.
    Thousands sign petition message in support of the United Liberation Movement for West Papua movement in the Pacific and at the UN. Photo: Supplied

     

    ‘Political maturity’

    Unlike December 1st demos in global centres such as London, Sydney, the Papua events were not allowed to feature raising of the Morning Star.

    “Papuans are already aware and do not want to be provoked by violence and conflict,” Mr Karma was reported as saying.

    “Prayers and speeches such as these show political maturity and a dignified struggle.”

    West Papuan independence campaigner Filep Karma.
    West Papuan independence campaigner Filep Karma. Photo: RNZI / Koroi Hawkins

    The event also heard a speech written by the Liberation Movement secretary-general Octo Mote.

    He said Indonesians “are starting to acknowledge that crimes have been committed by the government and military of Indonesia in Papua”.

    In Jakarta police arrested over two hundred people for participating in a demonstration in support of West Papuans’ right to self-determination.

    14 were arrested in the other Indonesian city of Yogyakarta.

    Indonesian police turn water canons on protestors who were mostly university students from Free Papua Organization and the Papua Student Alliance in Jakarta on December 1, 2016.
    Indonesian police turn water canons on protestors who were mostly university students from Free Papua Organization and the Papua Student Alliance in Jakarta on December 1, 2016. Photo: Supplied

     

Are you sure want to unlock this post?
Unlock left : 0
Are you sure want to cancel subscription?