Category: Uncategorized

  • Band asal Papua meriahkan festival musik terbesar Vanuatu

    Band asal Papua meriahkan festival musik terbesar Vanuatu

    Jayapura, Jubi – Fest Napuan, festival musik tahunan terbesar Vanuatu, digelar malam ini, Rabu (12/10/2016) waktu setempat di Port Vila, Vanuatu. Ya’Mune, band internasional dari Boven Digoel-Papua, akan ikut meriahkan acara yang berlangsung hingga lima hari ke depan itu.

    Saralana Park, Port Vila-Vanuatu, akan dipenuhi para pecinta musik dalam acara Fest Napuan ke-21, yang akan dimeriahkan oleh musik-musik papan atas dan berkualitas oleh band-band lokal dan internasional secara gratis.

    Acara yang dibuka malam ini dan berlangsung hingga Minggu nanti, seperti dilansir Vanuatu Daily Post, Rabu (12/10/2016) mengambil tema “Kemerdekaan di Pasifik: Apa yang sudah kita menangkan dan apa yang masih harus diperjuangkan”.

    Fest Napuan, akan dibuka oleh konser pengiringnya Fest Nalenga, oleh band-band akustik lokal seperti Erawia, Soumaro, Dongo Leo Wia, Fenuariki, Kensul Youth, Red Re Fenua dan Malnaruru. Kesemua band akustik tersebut akan membawakan lagu-lagu yang diciptakan khusus terkait tema festival itu.

    Puncak Fest Napuan akan akan dibuka dengan penampilan lagu-lagu dan pertunjukan kebudayaan bebas mulai besok, Kamis (13/10).

    Ya’Mune, band raggae asal Boven Dogoel, Papua, akan memeriahkan acara pada Kamis malam berkolaborasi dengan artis-artis lokal seperti Black Ghetto, Vanuazoom, Kranke Man Band, Real Peace, Realistic dan Pang Vibration.

    Band terkenal asal Vanuatu, famous Stan & the Earth Force dan Naio menghentak panggung di hari Jumat bersama Hoobz, Krasrut Star, Confliction dan Two-4-One dari Kepulauan Solomon.

    Sementara Sprigga Mek dari MNG dan VKSON New Caledonia akan tambil Sabtu bersama pemusik lokal seperti Marcel Melto, Koncerners, Alcina, Young Life, Metoxide, Milly Dhan, dan Dropvkal Groove Band.

    Christafari Band, yang kabarnya paling digandrungi, akan tampil seiring Festival Zion di penghujung acara bersama artis-artis kawasan lainnya seperti Jah N I dari Solomon dan Eagle Wings dari Fiji.

    Acara tahun ini akan disiarkan langsung oleh Vanuatu Broadcasting and Television Corporation (VBTC).(*)

  • PBB Setujui Hak Menentukan Nasib Sendiri Sahara Barat

    Penulis: Eben E. Siadari 14:33 WIB | Selasa, 11 Oktober 2016

    NEW YORK, SATUHARAPAN.COM – Komite Politik dan Dekolonisasi Majelis Umum Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) atau yang lebih dikenal sebagai Komite Keempat, kemarin (10/10) menerima resolusi yang menegaskan kembali hak rakyat Saharawi untuk menentukan nasib sendiri.

    Resolusi, yang diadopsi pada akhir dari beberapa hari debat di PBB tentang dekolonisasi, menegaskan dukungan Majelis Umum PBB terhadap proses perundingan yang diprakarsai oleh Dewan Keamanan PBB untuk solusi politik yang adil, langgeng dan dapat diterima bersama serta memastikan hak rakyat Sahara Barat untuk menentukan nasib sendiri.

    Resolusi yang diajukan oleh 25 negara, termasuk Aljazair, itu menyambut upaya yang dilakukan oleh Sekjen PBB dan utusan pribadinya untuk Sahara Barat, Christopher Ross, untuk mengadakan kembali perundingan yang ditangguhkan pada tahun 2012.

    Sebagaimana dilaporkan oleh Sahara Press Service, resolusi yang diadopsi dengan konsensus itu mengundang pihak-pihak yang terlibat dalam konflik (Front Polisario dan Maroko) dan negara-negara di wilayah itu untuk bekerja sama penuh dengan utusan PBB.

    Resolusi tersebut telah mengambil ide-ide PBB yang jelas dan besar tentang penyelesaian konflik Sahara Barat, yang terdiri dari dukungan terhadap peluncuran kembali perundingan antara Front Polisario dan Maroko, serta upaya mediasi yang dilakukan oleh Christopher Ross.

    Delegasi dari negara-negara yang mengambil bagian dalam debat Komite Keempat tentang dekolonisasi, menyatakan dukungan besar untuk hak orang Saharawi dalam menentukan nasib sendiri. Mereka menyerukan dimulainya kembali perundingan antara pihak-pihak yang terlibat dalam konflik.

    Editor : Eben E. Siadari

  • West Papua’s MSG membership expected by December

    Radio NZ – Reports from Vanuatu say West Papua is poised to be granted full membership of the Melanesian Spearhead Group (MSG) in December.

    The Daily Post said this was announced by the MSG chair, the Solomon Islands prime minister Manasseh Sogavare, in Port Vila at a meeting with West Papuan representatives.

    Mr Sogavare reportedly said Solomon Islands, Vanuatu and New Caledonia’s FLNKS movement would admit West Papua at the next MSG Leaders Summit in Vanuatu even if Papua New Guinea and Fiji stay away.

    An MSG summit planned for last week was cancelled without a reason being given after it had already been deferred earlier in the year.

    The United Liberation Movement for West Papua has been seeking to become a full member of the MSG which last year made Indonesia as an associate member.

    The Chairman of the Vanuatu Free West Papua Association Pastor Allan Nafuki said if Fiji and Papua New Guinea do not turn up for the next summit, the three other members will have no alternative but to go ahead and vote West Papua into full MSG membership.

    Concern about human rights abuses by Indonesian forces in West Papua was raised by several Pacific Islands countries at the United Nations last month, triggering a rebuke from Jakarta for alleged interference in Indonesia’s domestic affairs.

  • UN adopts resolution reaffirming Western Sahara people’s right to self-determination

    SPS 10/10/2016 – 21:04

    New York (United Nations), October 10, 2016 (SPS) – UN General Assembly Special Political and Decolonization Committee (Fourth Committee) adopted Monday in New York a resolution reaffirming Saharawi people’s right to self-determination.

    The resolution, adopted at the end of a several-day general debate on decolonization, reiterated UN general Assembly’s support of the negotiation process initiated by the Security Council to reach a just, lasting and mutually acceptable political solution ensuring Western Sahara people’s right to self-determination.

    Presented by 25 countries, including Algeria, the resolution, greeted the efforts made by the UN secretary general and his personal envoy to Western Sahara, Christopher Ross, for the relaunch of the talks suspended in 2012.

    The resolution adopted, by consensus, invites the parties to the conflict (Polisario Front and Morocco) and the States of the region to fully cooperate with the United Nations envoy.

    The resolution has taken up UN clear and major ideas on the settlement of Western Sahara conflict, which consist in backing the relaunch of negotiations between the Polisario Front and Morocco, as well as the mediation efforts undertaken by Christopher Ross.

    The delegations of the countries taking part in the Fourth Committee debate on decolonization expressed a large support to Saharawi people’s right to self-determination, calling for resumption of negotiations between the parties to the conflict. (SPS)

    062/090/700

  • Lt. Gen. Amunggut Tabi: Mari Tinggalkan Kampung Masalah, Kita Pindah ke Jalan Solusi

    Dengan terbentuknya ULMWP sebagai lembaga eksekutif perjuangan Papua Merdeka, PNWP sebagai lembaga legislatif dan para panglima serta gerilyawan di rimba raya New Guinea sebagai alat negara dalam membela dan mempertahankan tanah leluhur pulau New Guinea Bagian Barat, maka berakhirlah sudah pekerjaan yang telah diberikan oleh Gen. TRWP Mathias Wenda sebagai Panglima Tertinggi Komando Revolusi.

    Secara teori, Kantor Sekretariat-Jenderal TRWP telah mengakhiri pekerjaannya, dan selanjutnya diserahkan kepada PNWP, ULMWP dan wadah perjuangan politik Papua Merdeka untuk melanjutkan perjuangan ini.

    PMNews menyempatkan diri menanyakan apa pekerjaan selanjutnya dari Sekretariat-Jenderal. Dan Gen. Tabi menjawab,

    “Tugas kami sudah berakhir, Sekretariat-Jenderal sebagai sebuahorgan baru di dalam struktur militer ada karena kita perlu upayakan wadah politik terbentuk dan beroprasi. Tugas utama menjalankan fungsi politik dan administrasi sejak 2006. Kini tahun 2016 telah mengakhiri tugasnya pada usianya yang kesepuluh. Selanjutnya adalah tugas ULMWP, dan PNWP.”

    Ditanyakan apa yang akan dilakukan Sekretariat-Jenderal selanjutnya, Gen. Tabi mengatakan

    “Sekretariat-Jenderal akan dibubarkan dengan resmi oleh Panglima Tertinggi Komando Revolusi. Bisa juga kita katakan secara otomatis berakhir tugasnya, dan bubar secara otomatis karena ULMWP dan PNWP telah terbentuk. Tugas-tugas Sekretariat-Jenderal itulah yang sekarang diteruskan oleh ULMWP dan PNWP.”

    PMNews selanjutnya menanyakan apa saja pesan kepada PNWP dan ULMWP untuk perjuangan selanjutnya, Gen. Tabi mengatakan

    Kasih tahu kepada PNWP dan ULMWP begini,

    “Mari Tinggalkan Kampung Masalah, Marilah Kita Pindah ke Jalan Solusi”

     

     

    Ditanyakan PMNews kembali untuk penjelasan lanjutan, Tabi katakan,

    Ya, maksudnya kita sudah terlalu lama, sudah lebih dari setengah abad bicara masalah Pepera salah, masalah pelanggaran HAM< masalah ketidak-adilan, masalah marginalisasi, masalah dan masalah. Itu yang kami sebut “Kampung Masalah”.

    Marilah kita pindah ke Jalan Solusi, artinya bahwa baik PNWP maupun ULMWP, dengan berakhirnya tugas dan tanggungjawab Sekretariat-Jenderal, maka kedua lembaga ini berkewajiban secara hukum Revolusi untuk mempresentasikan kepada dunia solusi-solusi yang datang dari West Papua, solusi saat ini dan West Papua merdeka sebagai solusi untuk West Papua, untuk New Guinea, untuk Melanesia, untuk Pasifik Selatan dan solusi untuk masyarakat global dan planet Bumi.

    Dunia mau tahu, dan dunia harus tahu, “Apa manfaatnya Papua Merdeka bagi mereka?” Gen. Tabi kembali menjawab,

    Ingat, jangan bicara tentang apa manfaatnya bagi orang Papua atau bagi West Papua, tetapi kita fokus kepada apa keuntungannya bagi New Guinea, Melanesia, Pasifik Selatan dan Planet Bumi secara global.

    ***

    Ya, benar, kita sudah punya Undang-Undang Revolusi West Papua yang menajdi fondasi dan dasar hukum perjuangan kita, sehingga tidak ada gerakan tambahan, semua berjalan berdasarkan aturan dan undang-undang perjuangan yang ada.

    Kita juga sudah punya PNWP yang akan membuat Undang-Undang dan Peraturan yang masih banyak harus diatur berdasarkan UURWP yang sudah disahkan, sekaligus menyusun Anggaran Pendapatan dan Belanja Perjuangan Papua Merdeka lalu mengawasi pekerjaan dari ULMWP sebagai lembaga eksekutif.

    Kita juga sudah punya ULMWP, sebagai wadah eksekutif perjuangan Papua Merdeka, oleh karena itu mereka perlu bergerak menjalankan UURPW yang sudah disahkan dan sudah menjadi Hukum Perjuangan Papua Merdeka karena kita melawan hukum kolonial dengan menegakkan hukum tuan-tanah, hukum pemilik ulayat, hukum Negara West Papua.

     

  • Romo Benny:RI Tak Hati-hati, Papua Lepas Seperti Timor Leste

    Penulis: Bob H. Simbolon 18:37 WIB | Rabu, 05 Oktober 2016

    Rohaniawan Romo Benny Susetyo (kiri), Kepala Humas PGI Jeirry Sumampouw (tengah) dan Koordinator LIMA Ray Rangkuti (kanan) menggelar jumpa pers terkait dengan masalah pelanggaran HAM di Papua yang sampai saat ini belum terselesaikan (Foto: Dedy Istanto)
    Rohaniawan Romo Benny Susetyo (kiri), Kepala Humas PGI Jeirry Sumampouw (tengah) dan Koordinator LIMA Ray Rangkuti (kanan) menggelar jumpa pers terkait dengan masalah pelanggaran HAM di Papua yang sampai saat ini belum terselesaikan (Foto: Dedy Istanto)

    JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Rohaniawan Romo Benny Susetyo mengatakan Presiden Joko Widodo harus melakukan pendekatan kebudayaan dalam menyelesaikan permasalahan di Papua.

    “Peristiwa akhir-akhir ini di Papua menyita perhatian masyarakat internasional lantaran pemerintah Indonesia menggunakan pendekatan ultra nasionalis dalam menyelesaikan permasalahan Papua,” kata Benny di Grha Oikoumene, Jakarta pada hari Rabu (5/10)

    Menurut dia, pendekatan kebudayaan era Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) kepada masyarakat Papua akan membuat masyarakat Papua menjadi bangga dan pada saat itu bendera Bintang Kejora kembali berkibar.

    “Maka saat itu Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) ingin menyapa orang Papua bahwa orang Papua merupakan bagian dari NKRI,” kata dia.

    Namun kata dia, pasca Presiden Abdurrahman Wahid, terjadi perubahaan metode pendekatan kepada masyarakat Papua dengan menggunakan metode kekerasan. Jadi kalau tidak hati-hai maka Papua bisa lepas seperti Timor Leste.

    “Pendekatan berubah menjadi pendekatan kekerasan dan kita masuk ke dalam perangkap, akhirnya menciptakan orang Papua memiliki stigma negatif kepada NKRI,” kata dia.

    Editor : Eben E. Siadari

  • Papua is non-negotiable: Minister

    Liza Yosephine, The Jakarta Post

    apua’s place in the Unitary State of the Republic of Indonesia is not up for negotiation, a minister has said in a response to allegations of human rights violations conveyed during a recent UN General Assembly (UNGA) session.

    “In diplomacy, several things are negotiable but some others cannot be negotiated. When it comes to the issue of support toward separatism, I think not only diplomats, but all of us, know that this is a point where we should stop,” Foreign Minister Retno LP Marsudi told journalists on Tuesday.

    The minister was responding to criticism of Indonesia’s strong response to six Pacific Island heads of state, who conveyed their allegations of human rights violations in Papua and West Papua provinces during the recent UNGA in New York.

    Retno asserted that Indonesia strongly upheld the principles of the UN Charter, which include non-interference and respecting other nations’ sovereignty. At the same time, she continued, Indonesia was committed to maintaining friendly relations with all countries.

    “We will never act with hostility toward other countries and will continue to engage with them. But, again, when it comes to the issue of sovereignty and non-interference, once those [principles] are violated, that’s where we will stop [negotiating],” Retno said.

    Nara Masista Rakhmatia, the second secretary at Indonesia’s permanent mission to the UN, called speeches made by the heads of state of the Solomon Islands, Vanuatu, Nauru, Marshall Islands, Tuvalu and Tonga “interference” and said they aimed to encourage separatism in the two provinces.

    The reported failure of Papua’s special autonomy has led to a rise of support for Papuan independence movements across the globe, particularly from Pacific nations. (ebf)

  • Undang-Undang ialah Fondasi dan Bahasa Negara, UURWP Sudah Menyatakan Itu Dengan Jelas

    Seteah UURWP telah  dibentuk, setelah PNWP secara sah hukum revolusi mengambil tanggungjawab Parlemen Nasional West Papua yang bertugas utama membuat Undang-Undang, Mensahkan Anggaran Belanja dan mengawasi pelaksanaan pemerintahan, maka kita tidak bicara hal-hal yang biasa-biasa lagi. Kita bicara hukum sekarang.

    Dari Sekretariat-Jenderal TRWP, yang sebentar lagi akan berakhir masa tugasnya karena telah selesai tugasnya mempersiapkan wadah politik perjuangan Papua Merdeka, kami menyampaikan

    “terimakasih sedalam-dalamnya”

     

     

     

    terutama kepada para pahlawan yang telah gugur di medan perjuangan Papua Merdeka, dari Sorong sampai Samarai, karena hanya dengan pertolongan mereka-lah, perjuangan ini telah sampai kepada titik-titik, tahapan dan momentum yang sangat meentukan sekaligus menggembirakan.

    Undang-Undang ialah bahasa Negara, oleh karena itu kita dari Negara West Papua berbicara kepada Negara Indonesia bahwa tanah Papua, wilayah West Papua telah memiliki hukum yang mengatur segala-sesuatu yang ada di dalam, dan di atas Tanah Papua. Oleh karena itu, secara otomatis, hukum-hukum kolonial, hukum-hukm asing, yang pernah diberlakukan di atas tanah Papua gugur demi hukum.

    Undang-Undang ialah fondasi sebuah Negara. Dengan UURWP ini, kita sudah tahu wajah Negara West Papua yang menjadikan West Papua sebagai satu-satunya negara di seluruh dunia yang merupakan “Negara Konservasi” (Conservation Nation-State), bukan sekedar negara Sustainable Development, bukan sekedar Millennium Goals, tidak ikut dengan Protokol Kyoro dan lain sebagainya. UURWP telah memberikan wajah yang jeals, yaitu West Papua sebagai sebuah negara, satu-satunya negara di dunia yang

    1. mngakui dan melindungi hak makhluk roh
    2. mengakui dan melindungi hak flora
    3. mengakui dan melindungi hak fauna
    4. mengakui dan melindungi hak benda alam (seperti batu, tanah, dll)
    5. mengakui, melindungi dan mempromosikan hak Masyarakat Adat

    Perhatikan juga Peradilan Negara West Papua, di mana ada pengakuan yang jelas terhadap Peradilan Adat dan juga ada Peradilan Alam.

    West Papua harus berbicara dengan bahasa hukum, karena negar-negara berdiri di atas hukum dan berbicara dengan hukum, bukan dengan politik, tetapi menggunakan politik berbicara tentang hukum. Hukum Negara West Papua sudah ada. Mari kita bicara dengan NKRI dengan bahasa hukum kita.

    Penegakkan Hukum West Papua di atas tanah Papua otomatis akan menganulir hukum asing, hukum kolonial, hukum buatan NKRI. Mari kita tegakkan dan pertahankan hukum kita, demi kejayaan Melanesia Raya.

  • Pemuda Indonesia : Respon Indonesia di PBB itu kebohongan yang harus dipertanyakan

    Jakarta, Jubi – Nara Masista Rakhmatia, diplomat muda Indonesia belakangan naik pamor karena respon pernyataanya dianggap ‘menampar’ para pemimpin Pasifik yang sedang mendorong penyelesaian HAM Papua ke tingkat regional dan PBB di Sidang PBB baru lalu.

    Netizen Indonesia di media sosial gempar. Media-media cetak dan online nasional ikut bersuara. Seketika Nara menjadi keributan di dunia maya, yang sebetulnya telat dua hari setelah responnya terhadap pernyataan 7 pemerintah negara-negara Pasifik di sesi debat Sidang Umum PBB usai.

    “Mendengar jawaban Nara di forum PBB itu saya teringat peristiwa tahun 1995 yang ramai diberitakan pers, ketika rombongan aksi solidaritas pro-referendum Timor Leste menyambut kedatangan Diktator Suharto di Dresden, Jerman,” demikian kata Windu Jusuf, dosen muda alumnus HI UGM yang sekarang mengajar di Jurusan Film Universitas Bina Nusantara, kepada Jubi di Jakarta, Jumat (30/9/2016).

    Menurut Windu, menteri luar negeri saat itu, Ali Alatas, mengacungkan jari tengahnya kepada para pemrotes dari balik jendela bis. “Dua-duanya sikap yang pongah, nekat, dan memalukan. Pesan yang sampai ke publik dunia adalah: ‘Kami tahu sejarah tidak berada di sisi kami, tapi setidaknya kami bisa berpura-pura menggigit.”

    Lalu, lanjutnya, empat tahun kemudian (1999) Timor Leste terbebas dari okupasi Indonesia. “Jadi empat tahun lagi, wahai Tuan dan Nyonya turis Jakarta, bersiaplah mengurus visa tiap kali Anda mau menghabiskan akhir pekan di Raja Ampat,” kata Windu dengan nada menyindir kelas menengah Jakarta.

    Karir Nara, diplomat muda ini memang tergolong cepat. Menurut beritagar.id Nara yang jebolan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) UI itu pernah ditempatkan di Direktorat Kerjasama Antar Kawasan pada Direktorat Jenderal Urusan Asia Pasifik dan Afrika. Dia pernah bertugas di Organisasi Kerjasama Ekonomi Asia Pasific (APEC), lalu ditempatkan sebagai sebagai juru bicara Indonesia di Forum PBB dengan jabatan Sekretaris Dua Perwakilan Tetap RI di PBB.

    Sebagai sesama Alumni FISIP UI, Ridho yang juga aktif di pergerakan politif progresif di Jakarta, menyebut apa yang dikatakan Nara di Sidang PBB itu sebagai bentuk arogansi dalam diplomasi.

    “Arogansi ini terjadi dalam dua arah, ke luar dan ke dalam. Arogansi ke luar karena menganggap remeh permintaan bersahabat dari negara-negara Pasifik untuk penyelesaian masalah HAM Papua secara manusiawi dan bermartabat , dan arogansi ke dalam karena mengabaikan fakta keras tentang masifnya pelanggaran HAM yang dilakukan Negara Indonesia terhadap Papua,” ujar Ridho.

    Dengan nada kesal, Ridho menekankan bahwa arogansi tersebut bentuk kekuasaan Indonesia yang menjijikkan. “Dan sayangnya, si diplomat muda menjadi representasi dari bentuk kekuasaan seperti ini,” kata dia.

    Sebagai sesama orang muda, Ridho tidak habis pikir mental generasi muda di dalam kekuasaan negara. “Apakah ini artinya generasi muda kita sudah sebegitu korupnya dengan kekuasaan yang menindas?” kata dia.

    Atas nama kedaulatan

    Berbeda dengan Hikmawan Saefullah, yang bisa memahami posisi dan tindakan yang dilakukan Nara, karena itulah tugasnya sebagai diplomat.

    Namun dosen muda Prodi HI Fakultas FISIP Universitas Padjajaran itu mengatakan pernyataan balasan Nara bahwa “komitmen Indonesia terhadap HAM tak perlu dipertanyakan” di sidang Umum PBB itu sebagai kebohongan yang harus dipertanyakan.

    “Sudah rahasia umum Indonesia punya PR besar dalam menyelesaikan persoalan-persoalan HAM di dalam negeri: pembantaian ratus ribuan hingga jutaan rakyat Indonesia di 1965-66 pasca G30S, ribuan di Aceh pada masa pendudukan militer (1989-98), puluhan pada peristiwa Tanjung Priok (1984), puluhan hingga ratusan di Talangsari (1989), penghilangan aktivis reformasi (1997-98), pembantaian warga keturunan Tiong Hoa (Mei 1998), Maluku (1999), dan Papua dari 1960-an hingga sekarang. Aktivis HAM Munir dibunuh kan karena mengingatkan pemerintah akan PR besar ini,” ujar dosen yang juga kandidat PhD Politik, di Asia Research Centre, Murdoch University, Australia.

    Secara khusus Hikmawan menekankan agar pemerintah Indonesia tidak perlu berlindung di dalam dalih kedaulatan. “Dari perspektif Hubungan Internasional, apa yang dilakukan para diplomat dari negara-negara Pasifik sebenarnya sih sah-sah saja, karena komunitas internasional berhak mempertanyakan negara anggotanya ketika mengetahui rakyat negara bersangkutan mendapatkan perlakuan yang tidak adil,” kata dia.

    Norma ini, lanjutnya, sudah diterima oleh komunitas internasional sejak pasca-Perang Dingin.

    “Dalam istilah Hubungan Internasional dan Hukum Internasional, ada konsep “Responsibility to Protect” (R2P), dimana kedaulatan negara bisa ‘dianulir’ jika negara yang bersangkutan gagal melindungi warga negaranya dari perlakuan tidak adil atau teraniaya (genocide, ethnic cleansing, dan kekerasan lainnya), terutama setelah proses diplomasi dan kerjasama dinilai gagal,” ujar Hikmawan.

    Dalam situasi ini, komunitas internasional menjadi berhak melakukan langkah kolektif berupa intervensi untuk melindungi warga yang teraniaya tersebut atau “intervensi kemanusiaan”, kata Himawan.

    Dengan alasan yang berbeda, Iqra Anugerah, mahasiswa PhD di Departemen Ilmu Politik, Northern Illinois University, mengatakan bahwa klaim kemutlakan kedaulatan negara atas Papua gugur dengan sendirinya ketika terjadi stigma dan pengingkaran atas pelanggaran HAM di Papua.

    “Stigma terhadap upaya-upaya pengorganisasian politik yang sah oleh rakyat Papua untuk menentukan nasibnya, dan keengganan mengakui kekerasan negara yang berkepanjangan di Papua, membuat klaim kedaulatan negara tersebut gugur dengan sendirinya,” katanya melalui pesan singkat kepada Jubi.

    Baik Himawan maupun Indra menganjurkan pemerintah untuk tidak menanggap remeh masalah HAM Papua.

    “Pemerintah Indonesia jangan anggap remeh isu HAM. Sederhananya, jika pemerintah ingin melindungi kedaulatan Indonesia dari intervensi asing, maka bereskan tugas-tugas pelanggaran HAM di dalam negeri supaya nggak ada alasan “direcokin tetangga”, ujar Hikmawan.

    Dia juga menyarankan agar pemerintah justru mengajak dialog rakyat yang tertindas, “bukan justru mengkriminalisasi mereka dengan berlindung dibalik jubah nasionalisme yang justru menjustifikasi kekerasan berlanjut. Mau sampai kapan kita terus menutup mata dan berpura-pura tidak tahu?” katanya.

    Sementara Iqra memandang keributan terkait tanggapan pemerintah Indonesia ini ada segi positifnya. “Setidaknya kericuhan ini bisa memantik perdebatan yang lebih luas mengenai persoalan Papua, bukan hanya di dunia internasional tetapi juga di Indonesia,” ujar alumni HI Ritsumeikan Asia Pasific University Jepang ini.(*)

  • Diplomasi RI tentang Papua di PBB Jangan Defensif dan Arogan

    SatuHarapan.com, Penulis: Eben E. Siadari | Kamis, 29 September 2016

    Ketua Tim Kajian Papua Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Adriana Elisabeth (Foto: Eben Ezer Siadari)

    JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Diangkatnya isu pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) oleh enam negara Pasifik, menunjukkan bahwa masalah HAM adalah masalah kemanusiaan global.

    Indonesia sulit untuk menghindari sorotan maupun kritikan internasional tanpa ada penjelasan secara substantif dengan bukti perbaikan kondisi HAM secara signifikan.

    Hal ini dikatakan oleh Ketua Tim Kajian Papua Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Dr. Adriana Elisabeth, menjawab pertanyaan satuharapan.com, sehubungan dengan diangkatnya isu Papua oleh enam negara Pasifik (Solomon Islands, Vanuatu, Nauru, Marshall Islands, Tuvalu dan Tonga) di Sidang Umum PBB.

    Adriana menilai, belum ada sinkronisasi antara strategi penyelesaian isu HAM di dalam negeri dan luar negeri.

    “Argumentasi diplomasi RI tidak dibarengi dengan kemajuan kerja tim terpadu yang dibentuk oleh Menko Polhukam yang menetapkan penyelesaian kasus Wasior, Wamena dan Paniai. Sementara kekerasan terus berlangsung hampir setiap minggu,” kata Adriana, hari ini (29/9) di Jakarta.

    Dalam menanggapi kritik enam negara Pasifik di PBB, Indonesia mengatakan isu Papua merupakan urusan dalam negeri dan mengangkat isu itu di PBB merupakan tindakan mencampuri urusan dan kedaulatan negara lain. Namun, Adriana mengatakan kedaulatan harus dipertahankan dengan bukti perbaikan kondisi HAM Papua.

    “Tidak cukup dengan cara-cara defensif dan ofensif. Cara ini justru mengesankan arogansi politik yang tidak berdampak pada munculnya simpati kepada Indonesia,” kata Adriana.

    Adriana menyarankan Indonesia mengambil langkah-langkah strategis komprehensif dan integratif dalam penyelesaian HAM, mencakup aspek proteksi dan pemenuhan hak-hak sipil, politik, ekonomi dan sosial budaya.

    “Untuk perbaikan kondisi politik dan keamanan, perlu penghentian kekerasan segera, penataan intelijen dan aparat keamanan di Papua,” kata dia.

    Menurut Adriana, pihaknya telah berulang kali memberikan rekomendasi demikian, meskipun faktanya kondisi politik dan keamanan belum membaik.

    “Pembangunan infrastruktur penting jangan sampai mereduksi kepentingan untuk membangun politik dan keamanan Papua yang menjamin keselamatan dan kesejahteraan masyarakat Papua,” kata dia.

     

    Editor : Eben E. Siadari

Are you sure want to unlock this post?
Unlock left : 0
Are you sure want to cancel subscription?