Category: Uncategorized

  • Jangan Biarkan Bali Merdeka!

    IndonesianReview.com — Siapa tak kenal Bali? Selain terkenal dengan keindahan alamnya, pulau yang terletak di sebelah timur Jawa ini juga terkenal dengan kesenian dan budayanya yang unik. Tak mengherankan bila Bali jadi pusat destinasi wisata terbaik dunia.

    Bali adalah juga primadona pariwisata Indonesia yang sudah terkenal di seluruh dunia. Ia bahkan menjadi daerah yang wajib dikunjungi setiap wisatawan. Namun siapa sangka di balik semua keindahan Pulau Dewata itu tersimpan banyak polemik bak bara dalam sekam? Bahkan jika kondisi tersebut tak segera ditangani secara serius, tak mustahil wacana Bali Merdeka menjadi nyata!

    Bukan rahasia lagi, jika di Bali banyak sekali terlihat perbedaan sisi pola dan sistem pemerintahan yang terkesan menjurus pada pembangkangan terhadap aturan dan perundang-undangan Negara. Bahkan ada plesetan yang secara vulgar menyebutkan bahwa UU Negara seperti dikalahkan oleh UU Adat di Bali.

    Anda pun bisa melihat kondisi itu di saat mulai memasuki pulau Bali. Ketika menyeberang masuk dan melangkahkan kaki di pelabuhan Gilimanuk yang jadi pintu gerbang masuk dari pulau Jawa ke daratan Bali, setiap penyeberang akan terkena razia. Semua pendatang wajib memperlihatkan kartu identitas resmi (KTP) yang masih berlaku.

    Selain itu, setiap pendatang yang akan berkegiatan dan menetap di Bali, harus memiliki semacam kartu khusus yang diberi label KIPEM (Kartu Ijin Penduduk Musiman). Peraturan ini mengesankan Bali sepertinya ingin eksklusif dan tak mau berbaur dan memiliki identitas bersama dengan orang luar. Mereka seperti tak peduli negara ini telah memiliki identitas resmi yang semestinya berlaku di mana pun di seantero negeri ini.

    Selain itu, masyarakat Bali juga memiliki pemerintahan ganda di setiap desa. Sering dalam satu desa memiliki perangkat yang berbeda dan pemimpin yang juga berbeda. Ada namanya desa Adat dan juga desa Dinas, namun masih dalam satu lokasi di desa yang sama. Pola pemerintahan desa ini sempat menimbulkan pro-kontra.

    Bahkan ketika pemerintah mulai menetapkan UU Nomor 6/2014 tentang Desa, muncul beragam pertentangan dari sejumlah tokoh dan organisasi massa di Bali. Menurut sebagian masyarakat di sana, UU Desa tersebut tidak berpihak terhadap aspirasi dan kekhususan Bali.

    Pulau Dewata memang memiliki kekuatan adat dan religi sebagai penopang utama dalam sisi berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat. Bahkan Pemerintah Provinsi Bali sendiri telah memiliki peraturan daerah (perda) terkait pengelolaan desa, yaitu Perda Nomor 31/2001 tentang Desa Pakraman. Namun belakangan, perda ini juga sempat menuai pro-kontra, karena dianggap hanya sebuah perubahan nama belaka dari desa Adat menjadi desa Pakraman.

    Menurut Mark Hobart, status desa Adat dan desa Dinas bukanlah sebuah pilihan bagi pemerintahan di Bali. Mengapa? Di Bali, masih menurut antropolog Inggris yang pernah melakukan penelitian terkait pola pemerintahan ini sejak 1975 itu, selama ini kedua perangkat dan sistem tersebut telah berjalan dengan baik dan sinergis, serta memiliki peran dan fungsi yang juga berbeda. Desa Adat mengelola fungsi adat, serta desa Dinas akan mengatur dan menjalan pemerintahan desa secara kedinasan.

    Pendapat itu juga dikutip oleh I Gde Parimartha, guru besar Ilmu Sejarah pada Universitas Udayana, dalam orasi ilmiahnya yang bertajuk “Memahami Desa Adat, Desa Pakraman, dan Desa Dinas” pada pengukuhannya sebagai guru besar bidang sejarah pada tahun 2003.

    Namun, tatkala pemerintah pusat mulai menerapkan peraturan dan undang-undang yang dianggap tidak mewakili aspirasi Bali, maka muncul semacam perlawanan baik secara tertutup maupun terbuka. “Bahkan kini muncul desas-desus adanya pihak-pihak tertentu yang mencoba memanfaatkan kondisi tersebut untuk tujuan disintegrasi alias pergerakan menuju Bali Merdeka,” kata Parimartha.

    Kondisi ini tentu bukan masalah sepele. Banyak kalangan menilai, jika pertentangan dan kebuntuan aspirasi antara Bali dan Jakarta tidak diselesaikan secara serius, maka bukan mustahil akan banyak pihak yang memelintir persoalan ini menjadi melebar dan menjurus pada perpecahan.

    Nasionalisme masyarakat Bali sebenarnya sangat kuat. Masyarakat Bali terkenal sudah membela bangsa ini dengan melahirkan banyak pejuang dan pahlawan. Namun tatkala harga diri serta kehormatan mereka terancam, maka bukan mustahil mereka akan melakukan perlawanan. Situasi ini tentu harus disikapi dengan baik dari para pemimpin dan pengambil kebijakan di negeri ini. Jangan sampai “bara dalam sekam” ini membakar keutuhan NKRI.

    Waspadai Perpecahan

    Belum lama ini, pulau Bali yang terkenal tenang dan nyaman, mendadak terusik dengan beragam aksi yang menjurus rasis dan bersifat over-primordialis. Sejumlah demonstrasi dengan spanduk berbunyi menentang berdirinya bank syariah mulai disuarakan oleh komunitas tertentu. Sempat juga beredar larangan memakai jilbab oleh pegawai maupun siswi di sekolah yang meramaikan pemberitaan di sejumlah media massa.

    Pergerakan yang cenderung provokatif ini sempat membuat repot aparat keamanan dan institusi pemerintahan di Bali. Masyarakat Bali yang lebih separuhnya menggantungkan ekonominya dari industri pariwisata itu mulai dihinggapi rasa was-was dengan aksi  itu. Dikhawatirkan aksi itu akan melahirkan rasa tak nyaman di kalangan para wisatawan yang berkunjung ke daerah tersebut.

    Ironisnya, aksi itu terkesan didukung oleh sejumlah tokoh, politisi, dan juga pegiat akademisi dari universitas tertentu di Bali. Sempat muncul pertanyaan, kenapa persoalan rasis ini mulai menyeruak naik ke permukaan? Padahal selama ini masyarakat Bali dikenal sangat cinta damai, harmonis, serta memiliki solidaritas yang sangat tinggi.

    Beberapa pihak menduga, mencuatnya polemik berbasis rasis dan over-primordialis ini memiliki motif politik selain motif ekonomi. Bukan rahasia umum lagi bahwa sejumlah lokasi wisata strategis di Bali mulai dikuasai pendatang, sehingga orang asli Bali terpinggirkan. Kondisi ini dianggap menjadi pemicu munculnya antipati dari pelaku bisnis di sana.

    Selain itu, motif politik juga dianggap memiliki peran terhadap sejumlah aksi tersebut. Banyak kalangan menilai para politisi mencoba memanfaatkan primordialisme masyarakat Bali sebagai “jualan” mereka untuk mendapatkan legitimasi suara dari mayoritas masyarakat Bali.

    Terlepas dari kepentingan tersebut, semua pihak diharapkan dapat melihat persoalan yang muncul di Bali saat ini secara serius dan lebih konfrehensif. Jangan sampai keindahan Bali porak-poranda oleh perpecahan yang kini seakan dibiarkan tumbuh subur.

    Pemerintah pusat juga diminta untuk lebih arif menyikapi aspirasi masyarakat Bali. Membuat keputusan dan kebijakan yang lebih berpihak bagi kepentingan Bali secara khusus adalah salah satu kearifan yang dinanti. Dengan begitu masyarakat Bali bisa mengikatkan diri dengan kokoh dalam bingkai NKRI.

    Selain itu, para pelaku kepentingan yang mencoba melakukan upaya perpecahan di Pulau Dewata itu, harus segera dideteksi untuk kemudian merumuskan tindakan preventif, agar jangan sampai harmonisasi yang selama ini menjadi ikon masyarakat Bali dimanfaatkan menjadi konflik yang menjurus perpecahan.

    Sejatinya Presiden Jokowi telah mendapatkan mandat yang besar dari masyarakat Bali. Terbukti perolehan suara pasangan Jokowi-JK dalam Pilpres 2014 jauh  melebihi pasangan Prabowo-Hatta. Masyarakat Bali tentu berharap banyak kepada Presiden Jokowi mau memprioritaskan aspirasi mereka dengan mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang berpihak pada masyarakat Pulau Seribu Pura itu.

     

  • Negara Borneo Merdeka: Info Sekilas

    Bendera Negara Borneo

    Negara Bebas Borneo adalah sebuah negara dengan berstatus sebagai sebuah pemerintahan sementara yang didirikan untuk meraih kemerdekaan politik dan ekonomi bagi penduduk pulau Borneo serta menjadi fondasi yang kokoh bagi Negara Borneo di masa depan.

    Jadi Negara Bebas Borneo hanya bersifat sementara, sebagai batu loncatan untuk membentuk negara Borneo di masa depan, yaitu negara Federasi. Negara Bebas Borneo dapat dikenali dengan bendera yang digunakan, yaitu bendera yang menggunakan warna merah, putih dan kuning yang di susun membujur teratur dan dengan bintang berwarna hitam ditengah-tengah bendera.

    Negara Bebas Borneo adalah negara dengan pemerintahan Autoritaren Fuhrerstaat dan negara dengan bentuk negara kesatuan. Kepala negara disebut dengan Presiden yang dipilih sebuah mekanisme yang secara sederhana kandidat Presiden akan dipilih oleh Tim Pemilih dan kemudian harus mendapat persetujuan oleh warga negara melalui referendum untuk mengetahui apakah kandidat Presiden tersebut disukai oleh warga negara atau tidak untuk menjadi Presiden Negara Bebas Borneo. Sedangkan kepala pemerintahan disebut Kanselir yang dipilih oleh Presiden. Negara Bebas Borneo tidak mengenal Parlemen, karena Negara Bebas Borneo menganut paham bahwa peraturan hukum harus dibuat mereka yang memerintah karena mereka sangat memahami warga negara, akan tetapi peraturan hukum tersebut tidak bisa disahkan dan berlaku tanpa melalui proses Referedum untuk memperoleh persetujuan dari warga negara.

    Dalam menjalankan pemerintahannya, Negara Bebas Borneo telah merancang seperangkat Peraturan yang diberi nama “Pedoman Pelaksanaan Pemerintahan Negara Bebas Borneo” yang terdiri atas konstitusi dan beberapa undang-undang serta peraturan khusus lainnya. Peraturan ini sengaja dibuat terlebih dahulu agar apabila pemerintahan Negara Bebas Borneo telah diumumkan pendiriannya pada 17 Oktober 2015 nanti sudah siap operasional dan dapat langsung bekerja serta menjalankan pemerintahan dan melaksanakan tugasnya dengan efektif dan efisien.

    Pedoman Pelaksanaan Pemerintahan Negara Bebas Borneo secara garis besar berisi peraturan-peraturan yaitu :
    a. Hukum Dasar Negara Bebas Borneo, sebagai Konstitusi atau Undang-Undang Dasar bagi pemerintahan Negara Bebas Borneo.
    b. Undang-Undang Pembentukan Negara Baru, untuk memberikan wadah yang demokratis bagi warga negara yang ingin mendirikan negara tersendiri pada wilayah yang dikuasai Negara Bebas Borneo.
    c. Undang-Undang Perubahan Bentuk dan Pembubaran Negara, sebagai peraturan untuk menghindari terjadinya chaos pada saat terjadi perubahan bentuk dan pembubaran Negara Bebas Borneo.
    d. Undang-Undang Peraturan Khusus, yang berisi macam-macam peraturan yang dibuat oleh pejabat pemerintahan Negara Bebas Borneo seperti Keputusan Pemerintah dan Peraturan Daerah.
    e. Undang-Undang Peradilan Umum, yang berisi tentang tata cara peradilan yang berlaku di Negara Bebas Borneo.
    f. Undang-Undang Kejahatan Umum, yang berisi tentang macam-macam kejahatan yang mungkin akan terjadi di Negara Bebas Borneo dan hukuman bagi pelakunya.
    g. Undang-Undang Kewarganegaraan, yang berisi tentang aturan kewarganegaraan lebih rinci.
    h. Undang-Undang Perbelanjaan Nasional, yang berisi tentang aturan yang bersifat makro ekonomi yang menjadi pijakan untuk pembangunan ekonomi untuk kesejahteraan sosial.
    i. Undang-Undang Transaksi Ekonomi, yang berisi tentang aturan yang bersifat mikro ekonomi yang menjadi pijakan bagi kegiatan ekonomi seperti perdagangan dan industri.
    j. Keputusan Pemerintah Nomor 1 Tentang Susunan Pemerintahan Lokal, yang berisi tentang susunan pemerintahan daerah pada wilayah yang dikuasai Negara Bebas Borneo.
    k. Keputusan Pemerintah Nomor 2 Tentang Ukuran Bendera, yang berisi tentang peraturan tentang ukuran bendera yang menjadi atribut Negara Bebas Borneo.
    l. Keputusan Pemerintah Nomor 3 Tentang Simbol Negara, yang berisi tentang peraturan tentang simbol sebagai atribut Negara Bebas Borneo.
    m. Keputusan Pemerintah Nomor 4 Tentang Format Dokumen Kewarganegaraan, yang berisi tentang dokumen-dokumen untuk kewarganegaraan yaitu dokumen untuk Aplikasi Kewarganegaraan dan Surat Kewarganegaraan.
    n. Keputusan Pemerintah Nomor 5 Tentang Angkatan Bersenjata, yang berisi tentang peraturan umum untuk Angkatan Bersenjata Negara Bebas Borneo seperti struktur organisasi dan sistem kepangkatan.
    o. Keputusan Pemerintah Nomor 6 Tentang Mata Uang Yang Berlaku, yang berisi tentang mata uang Negara Bebas Borneo yang diberi nama Kurren (ж).
    p. Keputusan Pemerintah Nomor 7 Tentang Standar Barang Dan Harga, yang berisi tentang standar barang yang harus ada dalam perdagangan di Negara Bebas Borneo dan dilengkapi dengan penetapan harga yang pasti.
    q. Keputusan Pemerintah Nomor 8 Tentang Pendidikan Politik Resmi, yang berisi tentang peraturan umum untuk penyelenggaraan pendidikan politik resmi bagi warga negara.
    r. Keputusan Pemerintah Nomor 9 Tentang Pelayanan Untuk Warga Negara, yang berisi tentang aturan pelayanan dasar warga negara dibidang pendidikan dan kesehatan.

    Negara Bebas Borneo bukan sebuah negara untuk agama tertentu, akan tetapi memberikan kebebasan kepada pemeluk setiap agama yang menjadi warga negara Negara Bebas Borneo untuk melaksanakan ibadah dan hukum agamanya. Karena itulah Negara Bebas Borneo melarang setiap penyebaran agama pada pemeluk agama lain untuk menghormati setiap pemeluk agama yang menjadi warga negara dan agar tidak menjadi konflik di kemudian hari yang dapat menimbulkan perang antara agama diantara sesama rakyat Borneo.
    Wilayah yang menjadi teritorial Negara Bebas Borneo adalah wilayah 5 Provinsi Kalimantan dengan batas wilayah yang sudah disepakati sebagai wilayah utama, dan wilayah lain di luar wilayah utama yang dikuasai dan diduduki oleh Negara Bebas Borneo karena hal-hal tertentu. dan juga wilayah teritorial Negara Bebas Borneo dapat berubah, baik bertambah atau berkurang pada wilayah utama atau wilayah lain, sesuai dengan kebijakan dan kemampuan Negara Bebas Borneo untuk mengelola wilayah tersebut.

    Sedangkan yang menjadi warga negara adalah penduduk yang terdiri atas penduduk asli Borneo dari suku-suku Dayak, Banjar, Berau, Bulungan, Kutai, Melayu, Pasir dan Tidung serta penduduk dari bangsa-bangsa lain yang telah mengajukan aplikasi dan telah disetujui untuk menjadi warga negara. Bukti seseorang telah menjadi warga negara Borneo adalah telah memiliki Surat Kewarganegaraan dengan Nomor
    Kewarganegaraan dari Pemerintah Negara Bebas Borneo. Apabila seseorang belum mengajukan aplikasi dan belum disetujui maka tidak dapat disebut sebagai warga negara, sehingga tidak punya hak dan kewajiban sebagai warga negara. Jadi warga negara Borneo adalah penduduk Borneo, sedangkan penduduk Borneo tidak pasti adalah seorang warga negara, Karena itulah status kewarganegaraan Negara Bebas Borneo hanya bagi penduduk Borneo yang ingin bergabung menjadi warga negara saja.

    Apabila seseorang telah menjadi warga negara Borneo, maka ia memiliki hak yaitu :
    a. Hidup dan tidak diperbudak,
    b. Menjalankan memeluk dan menjalankan ibadah dan hukum agama,
    c. Mendapat pendidikan,
    d. Bekerja dan mendapatkan upah kerja yang layak,
    e. Memiliki harta benda,
    f. Memiliki keturunan lewat jalur pernikahan yang sah,
    g. Menyatakan pendapat dan pikiran,
    h. Menyetujui atau menolak kandidat Presiden dan Undang-Undang,
    i. Ikut serta dalam referendum,
    j. Memiliki dan menjaga rahasia,
    k. Perlindungan dari kekerasan, dan

    l. Status yang sama dalam hukum.
    Hak warga negara ini bersifat melekat pada setiap orang sebagai hak perorangan, akan tetapi hak ini dapat bisa hilang ketika dia merusak hak warga negara yang lainnya, misalnya melakukan kejahatan pembunuhan, maka hak dia untuk hidup bisa jadi akan hilang. Sedangkan apabila dia telah menjadi warga negara dan mendapatkan hak-haknya, maka dia berkewajiban untuk :
    a. Taat pada pemerintah negara dan hukum yang ada selama haknya sebagai warga negara terpenuhi dengan baik oleh negara,
    b. Memberikan pelayanan pada negara pada saat diperlukan,
    c. Tidak merahasiakan sesuatu hal yang dapat membahayakan keselamatan Negara Bebas Borneo,
    d. Bekerja sesuai dengan keterampilan yang dimiliki, dan
    e. Menghormati dan menjaga hak orang lain dengan tidak melakukan tindakan melawan hukum seperti tindakan kriminal dan melanggar kesopanan.

    Bahasa yang digunakan sebagai bahasa pemerintahan adalah bahasa Melayu dengan aksara Latin yang ejaannya telah disempurnakan. Akan tepi Negara Bebas Borneo mengakui dan menganjurkan penggunaan bahasa-bahasa ibu penduduk Borneo sebagai bahasa sehari-hari diwilayahnya masing-masing. Yang dimaksud dengan bahasa-bahasa ibu penduduk Borneo adalah bahasa-bahasa daerah seperti bahasa Ngaju, bahasa Maanyan, bahasa Kutai, bahasa Iban, bahasa Banjar dan sebagainya.

    Untuk sistem penanggalan dan standar waktu yang resmi digunakan oleh Negara Bebas Borneo adalah penanggalan Gregorian dan UTC +08:00, sehingga Negara Bebas Borneo memiliki waktu yang sama dengan Singapura, Malaysia, Hongkong dan China. Sedangkan standar pengukuran yang resmi digunakan adalah Standar Internasional (Meter, Kilogram, dan Sekon).

  • Great Dayak State – Negara Dayak Besar

    Source: https://folksofdayak.wordpress.com/

    Mungkin tidak banyak yang tahu bahwa dahulu sebelum bergabung dengan RI Indonesia, Kalimantan pernah memiliki beberapa negara yang kala itu tujuannya ingin mendirikan Negara Kalimantan. Hal ini dimulai ketika Jepang tunduk pada sekutu tahun 1945 maka Netherlands-Indies Civil Administration disingkat NICA mengambil alih Kalimantan dari tangan Jepang, NICA mendesak kaum Federal Kalimantan untuk segera mendirikan Negara Kalimantan menyusul Negara Indonesia Timur yang telah berdiri. Saat itu berdasarkan perjanjian Linggarjati antara pemerintah Indonesia dan Belanda tahun 1949 Belanda mengakui secara de facto wilayah Republik Indonesia hanya meliputi Jawa, Sumatera dan Madura. Maka yang masuk dalam  Republik Indonesia Serikat hanyalah:

    1. Negara Republik Indonesia (RI) di Jakarta
    2. Negara Indonesia Timur di Singaraja
    3. Negara Pasundan (termasuk Distrik Federal Jakarta) Bandung
    4. Negara Jawa Timur di Surabaya
    5. Negara Madura
    6. Negara Sumatera Timur
    7. Negara Sumatera Selatan

    Sedangkan Kalimantan saat itu merupakan neo-zelf-bestuur atau neo-self-governance atau daerah outonom sendiri. Beberapa negara bagian yang ada di Kalimantan adalah Negara Kalimantan Barat, Negara Kalimantan Timur, Kalimantan Tenggara, Negara Banjar dan satu-satunya Negara Bagian yang dicitak-citakan sebagai Dayak Homeland adalah Negara Dayak Besar. Pergerakan pembentukan negara Kalimantan  dimulai dengan dibentuklah Dewan Kalimantan Barat tanggal 28 Okt 1946, yang menjadi Daerah Istimewa Kalimantan Barat pada tanggal 27 Mei 1947; dengan Kepala Daerah, SultanHamid II dari Kesultanan Pontianak dengan pangkat Mayor Jenderal. Wilayahnya terdiri atas 13 kerajaan sebagai swapraja. Dewan Dayak Besar dibentuk tanggal 7 Desember1946, dan selanjutnya tanggal 8 Januari 1947 dibentuk Dewan Pagatan, Dewan Pulau Laut dan Dewan Cantung Sampanahan yang bergabung menjadi Federasi Kalimantan Tenggara. Kemudian tanggal 18 Februari 1947 dibentuk Dewan Pasir dan Federasi Kalimantan Timur, yang akhirnya pada tanggal 26 Agustus 1947 bergabung menjadi Dewan Kalimantan Timur. Selanjutnya Daerah Kalimantan Timur menjadi Daerah Istimewa Kalimantan Timur dengan Kepala Daerah, Aji Sultan Parikesit dari Kesultanan Kutai dengan pangkat Kolonel. Daerah Banjar yang sudah terjepit daerah federal akhirnya dibentuk Dewan Banjar tanggal 14 Januari1948.

    Perjuangan pembentukan Negara Dayak Besar tidak lepas dari pergerakan perjuangan Pakat Dayak. Pada waktu pergerakan Kemerdekaan Indonesia, Pakat Dayak mengambil arah anti nasionalis untuk melawan nasionalisme Banjar. Orang banjar yang telah berperang melawan Belanda selama 40 tahun adalah pendukung kuat terhadap Revolusi Indonesia yang mereka anggap sebagai “Second Holy War” sebab mereka bercita-cita mendirikan Indonesia sebagai Islamic State. Sebab itu Pakat Dayak “mendukung” Belanda melawan Republik Indonesia untuk menghindari pendirian negara agama (Islamic State). Maka kemudian Belanda kemudian melakukan pembagian – yang didukung oleh masyarakat Dayak dengan perjanjian Linggarjati 1946, yaitu Indonesia dan Belanda setuju untuk mendirikan suatu daerah semi outonom yang terpisah dari Kalimantan Selatan yang didominasi Banjar. Kemudian pemimpin Dayak sendiri bisa memipin Negara Dayak yang baru dibentuk. Dan pada pertemuan linggarjati II tahun 1949 Negara Dayak Besar mendapatkan Statusnya sebagai COSNTITUENT STATE.

    Pada tahun 1947 – 1950 Negara Dayak Besar sempat memiliki Bendera yaitu berupa garis horizontal dengan tiga warna yaitu merah, kuning dan biru

    James B. Minahan (Encyclopedia of the Stateless Nations – Ethnic and National Groups Around the World – volume II) presents:
    “The Dayak national flag, the flag of the national movement in Indonesia, is a horizontal tricolor of red, yellow and blue.”

    There is no other evidence (known to me) corroborating this claim. Could this flag be based on on the earlier, eventual, flag of Dayak Besar state of 1946-50?
    Chrystian Kretowicz, 13 April 2009

    Bendara Negara Dayak Besar

    Bendara Negara Dayak Besar

    Namun semangat mendirikan Negara Kalimantan kemudian pudar akibat kaum Banjar & Melayu (pendukung republik yang paling luas) merasa terancam sebab NEGARA KALIMANTAN dipandang sebagai upaya DAYAK MERDEKA. Sehingga hal ini menjadi materi propaganda Republik; selain melalui gerilya militer adalah juga infiltrasi ideologi. Singkat kata, kampanye para aristokrat dan golongan elit Kalimantan semakin terpecah, sehingga upaya mempersatukan ide ke NEGARA KALIMANTAN mengalami kemacetan, akhirnya semua mendukung RIS (Republik Indonesia Serikat), tetapi RIS sendiri kemudian dibubarkan pada tahun 1950. Pada tahun 1947anakhir, ada utusan DAYAK BESAR,  dibawah pimpinan ketua-muda Cyrilus Atak datang ke Jakarta dan membuat pernyataan resmi mendukung Republik Indonesia. Akhirnya konsepsi Dayak Besar sebagai negara, apalagi Negara Kalimantan itu tidak pernah teralisir.

    Namun bukan berarti tidak pernah ada pergolakan ketika status Otonomi Khusus Kalimantan ditolak oleh Republik Indonesia pada masa itu sempat terjadi pemberontakan dan kerusuhan sporadis. Lambat laun ketika masa Orde Baru pengaruh Dayak di Kalimantan di kerdilkan dengan sekian lama tidak diberikannya kesempatan orang Dayak untuk memimpin daerahnya sendiri kemudian pihak berwenang Indonesia sudah lama menolak untuk mengakui agama asli orang Dayak “Kaharingan” dan diklasifikasikan sebagai ateis, yang pada tahun 1965 membawa penganiayaan berat untuk mereka karena mereka diduga menjadi simpatisan komunis. Untuk memuluskan penguasaan atas Kalimantan maka pada Orde Baru Pemerintah mendatangkan sejumlah besar penduduk dari Jawa dan imigran Madura di Kalimantan yang dikemudian hari akan menjadi bibit konfllik dinegara ini dan kebijakan penebangan hutan yang tidak terkendali menyebabkan deforestasi di tanah Dayak dan memicu sentimen ethno-nasionalisme di antara orang-orang Dayak.

    Ide atau semangat mendirikan Negara Kalimantan bukanlah padam. Baru-baru ini mulai muncul hembusan untuk mendirikan Negara Dayak silahkan baca:Borneo Merdeka Berembus – terutama sejak tidak pernah dilibatkannya Orang Dayak dalam peta perpolitikan Nasional dan pembangunan Daerah yang tidak berimbang dengan kekayaan alam yang telah dikuras. Sehingga seolah-olah Negara hanya tertarik dengan Sumber Daya Alamnya sedangkan SDM – Sumber Daya Manusianya tidak dibangun – bahkan sempat oleh beberapa oknum pemerintahan dianggap pendatang di tanah leluhurnya. Baca: MENJAWAB TUDUHAN SUKU DAYAK ADALAH PENDATANG DI KALIMANTAN. Maka jika Pemerintah kedepan ini tetap masih menganaktirikan Kalimantan dan penduduk aslinya maka bukan tidak mungkin gerakan ini akan bangkit kembali. Quo Vadis Dayak??

     

    Tabe

    Jakarta 5/Nov/2014

  • Sumatera Harus Merdeka

    Sumatera Harus Merdeka

    http://www.kompasiana.com/

    Sumatera, jika kalian tidak begitu tercengang dengan nama ini, silahkan Googling “Sejarah Pulau Sumatera”.

    Dunia dan berbagai peradaban menjelaskan tentang kebesaran dan kemegahan “Pulau Emas” ini.Bahkan para penjelajah dunia zaman dahulu menulis banyak kisah tentang kaya dan hebatnya pulau ini berserta masyarakatnya. Jangan cerita perjuangan.

    Rakyat negeri Sumatera juga berjuang mati-matian untuk mempertahankan tanahnya dari para penjajah Portugis, Inggris, Belanda, dan Jepang. Para pemudanya juga bersuara dalam Kongres Pemuda tentang bersatunya Nusantara dalam nama Indonesia. Menyanyikan lagu Indonesia Raya yang sama. Bahkan begitu Pulau Jawa memerdekakan dan mengumandangkan nama Indonesia, Sumatera juga ikut melakukan hal yang sama. Negeri Sumatera juga banyak melahirkan orang-orang besar bagi negeri ini.

    Para pemikir, negarawan, budayawan, pendidik, rohaniawan, lahir dari rahim ibu-ibu hebat pulau ini. Sumbangsih mereka begitu besarnya bagi Negara ini. Sebut saja Jendral A. H. Nasution, Adam Malik, Teungku Hasan Muhammad di Tiro, Mohammad Hatta, Buya Hamka, Tengku Amir Hamzah, Djohan Hanafiah, T.D. Pardede, serta banyak lagi orang-orang besar negeri ini. Tidak hanya sumbangsih manusianya saja yang diberikan Sumatera untuk Negara ini. Kekayaan alamnya tidak kalah banyak dan besar yang diambil untuk kemakmuran bangsa. Minyak bumi, gas alam, emas, kelapa sawit, karet, jagung, kakao, kopi, dan banyak sumber daya alam dari darat dan laut Sumatera yang dikelola untuk kemakmuran bangsa.

    Tercatat bahwa tahun 2011, Sumatera menyumbangkan 23.5% bagi PDB Nasional Indonesia atau hampir satu per empat dari keseluruhan wilayah di Indonesia. Tetapi sayang, namanya hanya menjadi kelas kedua bagi Negara Indonesia yang menjadi naungannya secara legal. Pembangunan infrastrukturnya berjalan sangat lambat dibanding pembangunan di Pulau Jawa. Pembangunan kualitas manusianya melalui pendidikan pun masih berkejaran dengan Pulau Jawa bahkan luar negeri karena kualitasnya tidak berimbang. Apalagi berharap kepada media-media konvensionalnya yang tidak lagi bisa diharap sebagai pendidik sosial masyarakat karena lagi-lagi terlalu banyak tunggangannya. Seperti kuda hitam yang menjelma menjadi keledai tua. Inilah mengapa akhirnya masyarakat Sumatera harus merdeka.

    Bukan merdeka sebagai sebuah Negara baru. Namun merdeka secara mental dan pemikiran. Hal ini menjadi penting sebelum menuntut kemerdekaan kita secara ekonomi. Masyarakatnya dan yang terpenting para generasi mudanya, harus menjadi generasi cerdas yang bekerja dengan tulus dan ikhlas membangun kembali daerahnya.

    Tidak mengapa jika mereka harus belajar dari luar daerahnya, tetapi setidaknya mereka tidak lupa kembali untuk membawa semangat pembangunan dan perubahan yang sama dengan para generasi muda di luar Sumatera. Setidaknya pembenahan pemikiran dan mental para generasi muda saat ini, akan menjadi modal besar menjadikan Sumatera sebagai nama yang utama. Sebagai peradaban yang membesarkan Indonesia dan memakmurkan Dunia.

    Agar kelak Dunia lah yang akan belajar lagi kepada kita, seperti jayanya Sumatera di masa lalu. Memang benar bahwa kejayaan masa lalu cuma sejarah yang tidak akan di wariskan namun harus direbut dan diperjuangkan kembali serta dijaga. Untuk Sumatera, itu akan dilakukan oleh generasi mudanya yang ber-Tuhan dan berbudaya

    Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/aulyarusyadi/sumatera-harus-merdeka_550e7c14a33311a52dba82de

  • Sumatera Akan Pisah dari NKRI Jikwa Tidak Bisa Bubarkan FPI

    Sumatera Akan Pisah dari NKRI Jikwa Tidak Bisa Bubarkan FPI

    Thursday, November 17, 2016, http://berita1sl4m.blogspot.com

    Saya sebagai orang sumatera sejujurnya tidak suka satu negara sama orang-orang Jawa,alasannya sederhana saja,gara-gara orang jawa kebudayaan melayu dipulau sumatera lenyap perlahan-lahan,nyampur baur sama kebudayaan Jawa….

    Kemudian orang jawa dengan seenak perutnya aja ngangkut hasil bumi dari Sumatera untuk pembangunan di Jawa,Lihat saja Jawa yg tak punya apa-apa lebih maju dibanding Sumatera yg hasil minyak buminya 51% hasil nasional…Jawa?!….TKI dan TKW baru mereka punya.

    Untuk saudara sesama Melayu di Malaysia…kalian terserah mau panggil Indonesia apa aja(INDON or everything),tapi jangan kalian sakiti perasaan warga sesama melayu di Sumatera dan Kalimantan.

    salam hangat warga melayu di Indonesia

    Salam hangat kembali dari melayu nusantara.. takde yang perlu kita takutkan biarpun jawa banyak di indonesia, ingat !! takkan melayu hilang di bumi.. patah tumbuh hilang berganti esa hilang dua terbilang !! aku dukung kamu 100% kita bersama.. oke ??

    prince_sean…

    Saya juga sama dong dengan kalian. Saya org melayu dari Sumatra. Bapak saya orang palembang, ibu saya orang lampung. Kami jujur ga begitu suka dengan orang2 jawa. Di seluruh provinsi sumatra seperti Riau, Jambi, Palembang, Lampung, Bengkulu, banyak sekali orang jawa yang bermukim dan menjajah ekonomi kami. Mereka seenaknya saja datang ke pulau sumatra mengambil jatah pekerjaan buat orang sumatra. Sudah di kasih pekerjaan menjadi petani, masih saja bersikap yg macem-macem.

    Jikalau Sumatra pisah dari indonesia dan menjadi satu negara, mungkin saja kita bisa jadi lebih kaya bahkan melebihi malaysia atau singapura.

    Buat orang melayu di malaysia, kami sebenarnya tidak membenci kalian. Kami (orang indonesia di sumatra)punya darah sesama melayu.

    Salam hangat orang melayu di sumatra,indonesia.

    ok Brader,,, akhirnya aku dapat kawan juga,, aku sesama melayu nusantara kita harus bersatu, memang jawa ni tidak bagus orangnya.. ngomong2 sumatera di mananya bang ?? aku di kepri !!

  • Gereja-Gereja di Papua Dukung RI Berdialog dengan ULMWP

    Wakil Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia, Brian McFeeters (tengah), berfoto bersama sejumlah tokoh agama Papua di Hotel SwissBell, Jayapura, seusai melakukan pertempuan. Pdt Socratez Sofyan Yoman tampak berdiri paling kiri (Foto: satuharapan.com/Socratez Sofyan Yoman)
    Wakil Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia, Brian McFeeters (tengah), berfoto bersama sejumlah tokoh agama Papua di Hotel SwissBell, Jayapura, seusai melakukan pertempuan. Pdt Socratez Sofyan Yoman tampak berdiri paling kiri (Foto: satuharapan.com/Socratez Sofyan Yoman)

    JAYAPURA, SATUHARAPAN.COM – Gereja-gereja di Papua mendukung Indonesia mengadakan dialog dengan gerakan pro penentuan nasib sendiri di Papua, yakni United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) dengan dimediasi oleh pihak ketiga yang netral.

    n Yoman berfoto bersama Wakil Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia, Brian McFeeters seusai bertemu di Jayapura, Rabu, 16/11/2016. (Foto: Socratez Yoman)
    Sofyan Yoman berfoto bersama Wakil Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia, Brian McFeeters seusai bertemu di Jayapura, Rabu, 16/11/2016. (Foto: Socratez Yoman)

    Hal ini disampaikan oleh Pendeta Socratez Yoman, Ketua Umum Badan Pelayan Pusat Persekutuan Gereja-gereja Baptis Papua, dalam pertemuan tokoh-tokoh agama di Papua dengan Wakil Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia, Brian McFeeters, di SwissBell Hotel, Jayapura, pada hari Rabu malam (16/11).
    Pendeta Socratez Sofya

    Pada kesempatan itu selain tokoh gereja, tokoh ulama dari Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah turut hadir, dan menyampaikan pendapat kepada wakil duta besar.

    Dalam keterangannya kepada satuharapan.com, Socratez mengatakan ia menyampaikan pendirian gereja-gereja di Papua kepada wakil dubes AS, yakni meminta pemerintah Indonesia berdialog dengan ULMWP, yang menurut dia adalah payung politik resmi rakyat Papua.

    “ULMWP itu lembaga resmi yang dibentuk dan didukung oleh seluruh rakyat dan bangsa Papua dan diakui oleh masyarakat internasional,” kata dia.

    “Gereja-gereja di Papua, terutama GKI di Tanah Papua, Gereja Kingmi, GIDI dan Baptis mendorong pemerintah Indonesia berunding dengan ULMWP yang dimediasi pihak ketiga yang lebih netral,” kata Socratez.

    ULMWP kini tengah berjuang untuk mendapatkan keanggotaan penuh di Melanesian Spearhead Group (MSG), organisasi sub regional di kawasan Pasifik, yang beranggotakan Papua Nugini, Fiji, Vanuatu, Solomon Islands dan FLNKS Kaledonia Baru. Indonesia menjadi associate member di organisasi ini sedangkan ULMWP sampai saat ini masih berstatus sebagai peninjau.

    Permohonan keanggotaan ULMWP telah menjadi batu pengganjal di dalam tubuh MSG karena dua negara, Papua Nugini dan Fiji, condong untuk menolak keanggotaan ULMWP, seperti halnya Indonesia.

    Di sisi lain, bagi ULMWP keanggotaan di MSG sangat penting karena dengan keanggotaan tersebut, mereka dapat berdialog dengan Indonesia dalam kerangka sesama anggota MSG.

    Dalam Roadmap Papua edisi revisi yang disusun oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), kehadiran kelompok diaspora seperti ULMWP telah diakomodasi dan saran dialog yang dikemukakan dalam roadmap tersebut meliputi juga dialog dengan kelompok ini. Namun, Jakarta masih terkesan enggan untuk membuka jalur dialog tersebut.

    Terkait dengan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Papua, Socratez mengatakan ia menyampaikan penjelasan kepada wakil dubesAS  bahwa rakyat Papua pada umumnya menolak Tim Terpadu Penyelesaian HAM di Papua yang dibentuk oleh Menkopolhukam.

    Menurut dia, penolakan itu didasarkan pada pemikiran bahwa pemerintah adalah pelaku kekerasan dan kejahatan kemanusiaan di Papua. Oleh karena itu, ia mengusulkan perlu dibentuk tim yang lebih independen yang melibatkan lembaga-lembaga internasional.

    “Perlu ada utusan khusus PBB ke Papua sebagai tim pencari fakta,” kata Socratez.

    Selain itu, kepada wakil dubes AS juga disampaikan sejumlah usulan lain, di antaranya meminta pemerintah RI membuka akses kepada wartawan asing untuk berkunjung ke Papua.

    Tidak lupa, Socratez juga mengungkapkan terimakasihnya kepada tujuh negara Pasifik yang telah mengangkat persoalan HAM Papua di PBB.

    “Rakyat dan bangsa Papua sekarang berdiri dengan teman-teman di negara-negara Pasifik,” kata Socratez.

    Menurut Socratez, selama pertemuan itu wakil dubes AS lebih memilih mendengarkan penjelasan dari para hadirin. Di akhir pertemuan, kata Socratez, wakil dubes hanya memberikan jawaban singkat, berupa ucapan terimakasih karena telah memberi masukan dan informasi dengan jujur dan terbuka.

    “Beliau tidak melontarkan pertanyaan, beliau banyak mendengar,” kata Socratez.

  • Panglima TNI: Pertahankan NKRI, Prajurit Siap Berjihad

    Medan – Prajurit TNI juga siap untuk berjihad dalam mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

    Hal tersebut disampaikan Panglima TNI Jenderal TNI Gatot Nurmantyo,seusai mengikuti istigasah bersama ulama dan masyarakat Sumatera Utara (Sumut) di Lanud Soewondo Medan, Sabtu (19/11).

    Pada kesempatan itu, Gatot mengatakan pihaknya menghargai setiap proses demokrasi, termasuk unjuk rasa yang dilakukan elemen masyarakat. Namun, TNI memiliki kewajiban untuk berperan jika ada upaya yang berniat untuk merusak dan menghancurkan NKRI.

    “Prajurit saya juga siap berjihad mempertahankan NKRI berdasarkan Pancasila, bersama masyarakat, kita bersama-sama mempertahanan Pancasila,” katanya.

    Saat ditanya tentang persiapan terkait rencana demo pada 2 Desember, Gatot menyatakan pihaknya lebih banyak berdoa untuk kebesaran dan keutuhan bangsa. “Kesiapan kita berdoa, siapa pun yang ingin menghancurkan negara ini, tidak bisa kalau kita berdoa,” katanya.

    Menurutnya, pihak-pihak yang memiliki niat untuk menghancurkan NKRI adalah orang yang tidak beragama, sehingga mereka akan berhadapan dengan TNI, Polri, dan seluruh elemen masyarakat.

    Dari pengalaman sejarah selama ini, tidak ada satu pun pengkhianat bangsa yang bisa hidup di Indonesia. Gatot menyebutkan DI/TII, Kahar Muzakar, dan gerakan komunis, tidak bisa menghancurkan NKRI.

    “Tidak ada yang bisa, mau menantang, silakan. (Semua musnah) karena kita selalu berdoa pada Allah SWT,” kata Gatot.

  • Indonesian president Joko Widodo cancels Australia visit amid protests in Jakarta

    Postponement follows widespread unrest in Jakarta over claims its Christian governor had insulted the Qur’an

    Indonesia
    Indonesian Muslim protesters march during a demonstration in Jakarta, Indonesia, on Friday. Indonesian president Joko Widodo has postponed his visit to Australia . Photograph: Xinhua / Barcroft Images

    President Widodo – known as Jokowi – was set to arrive on Sunday for a three-day visit to meet his Australian counterpart, prime minister Malcolm Turnbull, as well as other ministers and business leaders. He was also scheduled to address the Australian parliament on Monday.

    However, protests in the streets of Jakarta, which began peacefully on Friday in response to accusations the governor, a Christian, had insulted the Qur’an, turned violent.

    Turnbull said he had received a call from Jokowi on Saturday afternoon to express regret that his trip would have to be rescheduled “as a result of the security situation in Jakarta which requires his personal attention”.

    “I said we were sorry we would not be able to welcome him to Australia tomorrow but entirely understood the need for him to remain in Indonesia at this time,” said Turnbull.

    “While disappointing, we agreed the postponement will not affect the need for continued and enhanced cooperation across a range of shared interests and challenges, including the threat of terrorism to our region.”

    In September, the Jakarta governor, Basuki Tjahja Purnama, was accused by Muslim groups of insulting the religion after he said political opponents had used a verse of the Qur’an to deceive voters and tell them they should not choose non-Muslims as leaders. Critics interpreted his comments as a criticism of the Qur’an, and he apologised.

    Purnama, the first ethnic Chinese to lead the Indonesian capital, is up for re-election in February.

    Jakarta protest
    Islamic demonstrators march in central Jakarta after a day of protest on Friday. Photograph: Ed Wray/Getty Images
    Pinterest

    Jokowi called for calm as the protests – which swelled to an estimated 150,000 people following Friday prayers – escalated later in the night, and hit out at unnamed politicians for stoking the situation.

    “We deplore the incident after the Isha prayers, when should have already disbanded but became violent. And, we see this was steered by political actors who were exploiting the situation,” he said.

    Widodo, a Muslim, has vowed not to interfere in any legal proceedings against Purnama, according to media reports. But he said at his news conference that any legal process involving Purnama would be executed “swiftly, firmly and transparently”.

    One protester has died, reportedly of an asthma attack, and 12 were injured in early skirmishes but reports later emerged of dozens of protesters and security personnel being treated for injuries. Police fired teargas and a watercannon at the crowds gathered around the presidential palace. More than 18,000 personnel and military were deployed ahead of the rallies, the national police chief, General Tito, said.

    Turnbull said the visit would be rescheduled as soon as “mutually convenient dates” were found.

    Negotiations on the Indonesia-Australia Comprehensive Economic Partnership Agreement would continue, he said.

  • TRWP Menolak Tegas Ajakan Dialogue Dipromosikan Oleh Agen Papindo JDP bersama Intelektual BIN di LIPI

    Gen. Mathias Wenda selaku Panglima Tertinggi Komando Revolusi lewat Sekretaris-Jenderal Lt. Gen. TRWP Amunggut Tabi menolak dengan tegas dan mentah-mentah tawaran dialogue yang dimotori oleh agen-agen BIN dalam payung-payung sbb:

    1. Jaringan Damai Papua (JDP) Neles Tebay dkk, yang tidak lain adalah perpanjangan tangan dari jaringan Papindo untuk NKRI Harga Mati!,
    2. Cabang Intelektual Indonsia beranggotakan pihak intelektual BIN yang menamakan dirinya LIPI; dan
    3. LSM bentukan NKRI lainnya.

    yang mempromosikan dialogue nasional dalam kerangka dan bingkai NKRI, yang ditawarkan oleh NKRI lewat agen-agen mereka di Tanah Papua, yaitu terutama Jaringan Damai Papua dan di Jakarta lewat LIPI.

    Lt. Gen. Tabi mengingatkan dengan tegas, bahwa siapapun yang terlibat di dalam dialogue dengan kerangka nasional, framework NKRI, termasuk ULMWP, maka mereka secara otomatis dapat dipastikan sebagai bagian dari NKRI yang berupaya melemahkan dan mematikan perjuangan bangsa Papua untuk melepaskan diri dari NKRI.

    Itu sama persis, dan secara otomatis adalah penghianatan terhadap pengorbanan bangsa Papua selama enam dekade terakhir, sebuah perbuatan memalukan bagi para pahlawan dan anak-cucu bangsa Papua.

    Lt. Gen. Tabi selanjutnya menyatakan

    Kami sudah tahu siapa-siapa di dalam ULMWP yang mewakili bahasa-bahasa JDP-LIPI, yang adalah secara langsung merupakan bibir dan mata, kaki-tangan BIN yang beroperasi dengan topeng kemanusiaan, topeng keagamaan, dan topeng perjuangan HAM di tanah Papua.

    Kami tahu ada anggota BIN yang sadar mereka anggota BIN, ada juga yang tidak tahu kalau sebenarnya mereka sudah beroprasi sebagai anggota BIN. Ada orang di dalam ULMWP adalah para anggota BIN. Oleh karena itu TRWP tidak semudah itu dimanipulasi. Ada juga para panglima dan organisasi yang menamakan diri OPM, TPN dan sebagainya, yang orang-orangnya adalah bermain sesuai skenario BIN.

    Oleh karena itu, dengan ini, Gen. Wenda lewat Sek-Jend menganjurkan kepada segenap organisasi perjuangan Papua Merdeka agar

    Pertama, Fokus dengan program bangsa Papua, jalankan program bangsa Papua, buang jauh-jauh apapun program yang datang dari Jakarta.

    Kedua, agar buang jauh-jauh semua usulan, mimpi dan harapan dialogue dengan NKRI, karena waktu tuntutan itu sudah lewat, sekarang waktunya untuk mendesak MSG dan bekerja di dalam kerangka ke-Melanesia-an, bukan dalam kerangka ke-Melayo-Indo-an lagi.

    Selanjutnya Tabi menyerukan kepada segenap organisasi perjuangan Papua Merdeka

    1. ULMWP
    2. PNWP
    3. KNPB
    4. WPNA
    5. WPNCL
    6. NRFPB
    7. DeMMAK
    8. PDP
    9. DAP
    10. WPIA
    11. OPM
    12. TPN/OPM
    13. TPN PB
    14. TRWP
    15. AMP

    untuk bersatu-padu menolak program intelektual BIN yang ditampilkan dengan wajah dua, (1) JDP dan (2) LIPI

  • RI Bersedia Berdialog dengan ULMWP

    Mayjen TNI Yoedhi Swastono, deputi I/Koordinasi Bidang Politik Dalam Negeri Kemenkopolhukam, pada seminar peluncuran ringkasan eksekutif hasil penelitian LIPI, Papua Road Map jilid II, Proses Perdamaian, Politik Kaum Muda dan Diaspora Papua: Updating Papua Road Map, di Gedung LIPI, Jakarta, hari ini (14/10).

    JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Pemerintah Indonesia membuka kesempatan melakukan dialog dengan United Liberation Movement for West Papua (ULMWP), kelompok yang selama ini dicap sebagai separatis  yang ingin memisahkan Papua dari Indonesia. Namun, dialog itu harus dilakukan dalam kerangka dialog nasional yang inklusif sebagai sesama anak bangsa Indonesia dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

    Hal ini dikemukakan oleh Mayjen TNI Yoedhi Swastono, deputi I/Koordinasi Bidang Politik Dalam Negeri Kemenkopolhukam, pada seminar peluncuran ringkasan eksekutif buku Papua Road Map jilid II, Proses Perdamaian, Politik Kaum Muda dan Diaspora Papua: Updating Papua Road Map, di Gedung LIPI, Jakarta, Jumat (14/10).

    “ULMWP tetap dilibatkan. Seluruh komponen bisa terlibat. Yang penting apa substansi dialognya,” kata Yoedhi, menjawab pertanyaan bagaimana posisi ULMWP dalam dialog nasional yang digagas oleh LIPI.

    Dalam seminar tersebut mengerucut kesepakatan bahwa dialog sebagai pendekatan damai harus diambil sebagai strategi dalam menyelesaikan konflik di Papua. Apalagi telah ada perubahan positif di pemerintahan. Jika selama ini Jakarta dianggap sangat sensitif terhadap istilah dialog, kini pendekatan itu sudah semakin dapat diterima.

    Pada saat yang sama, LIPI melihat bahwa peta aktor konflik Papua telah berkembang. Gerakan perlawanan rakyat Papua semakin terkonsolidasi dengan efektif di bawah ULMWP. Tidak hanya menguat secara internal, LIPI melihat ULMWP juga mendapatkan dukungan secara internasional.

    “Tumbuhnya nasionalisme baru kepada Melanesia, dan juga ideologi humanisme cukup memberikan amunisi bagi konsolidasi gerakan Papua. Disinilah awalnya terbentuk ULMWP, yang diterima dalam pertemuan Melanesian Spearhead Group (MSG) pada Juli 2015,” kata Adriana Elisabeth, Kepala Pusat  Penelitian Politik LIPI yang juga salah satu penulis buku Papua Road Map jilid II.

    “Gerakan perlawanan Papua memiliki struktur politik, basis massa, badan-badan perjuangan/pergerakan di seluruh Papua dan di luar negeri,” kata dia.

    Lebih jauh, jika dulu fraksi-fraksi di Organisasi Papua Merdeka (OPM)  terpecah, kini telah mengalami transformasi dalam ULMWP. Jika dulu Jakarta menganggap sulit melakukan dialog dengan Papua karena faksi-faksi yang ada tidak bersatu, kini ULMWP dapat menjadi jembatan pemersatu faksi-faksi tersebut.

    “Mereka memiliki satu wadah koordinasi dengan alamat yang jelas, kegiatan yang jelas, sehingga ada koordinasi dan komunikasi antarmereka. Sampai sejauh ini saya melihat belum ada pertentangan di antara mereka,” kata Pater Neles Tebay, koordinator Jaringan Damai Papua (JDP).

    Sebagai solusi terhadap konflik Papua yang sudah berlangsung lima dekade, LIPI mengajukan gagasan dialog nasional, sebagai media atau cara untuk menghadirkan para pihak secara inklusif agar dapat saling memahami dan membahas berbagai isu secara komprehensif, dalam konteks penyelesaian Papua.

    Namun timbul pertanyaan bagaimana kedudukan ULMWP dalam dialog tersebut, apabila selama ini mereka disebut sebagai gerakan separatis.

    LIPI mengajukan 14 unsur yang harus dilibatkan dalam dialog internal Papua, dalam kerangka dialog nasional tersebut. Ke dalam 14 unsur itu sudah termasuk diaspora Papua, yang dalam hal ini salah satunya adalah ULMWP.

    Selengkapnya 14 unsur yang dilibatkan dalam dialog internal tersebut adalah sebagai berikut:.

    Pertama, masyarakat adat Papua,
    kedua, paguyuban migran,
    ketiga, kelompok agama, terutama Kristen Protestan, Katolik dan Islam,
    keempat, pemerintah daerah, MRP, MRPB dan DPRP/DPRPB,
    kelima, LSM/aktivis,
    keenam, media,
    ketujuh, kelompok kaum muda,
    kedelapan, akademisi/peneliti
    kesembilan, kelompok perempuan,
    kesepuluh, kelompok profesional (buruh, guru dll)
    kesebelas, partai politik,
    keduabelas, pengusaha dan investor,
    ketigabelas, TPN/OPM
    keempat belas, diaspora Papua, yang salah satunya adalah ULMWP.

    Yoedhi mengatakan dirinya setuju dengan 14 rumusan masalah yang akan menjadi agenda dialog yang dirumuskan oleh LIPI. Salah satu agenda tersebut adalah: konflik vertikal mencakup stigma separatis, pelarangan penggunaan simbol-simbol daerah, kekerasan yang dilakukan oleh TNI/Polri dan kelompok bersenjata, serta pertentangan nasionalisme Indonesia versus etno-nasionalisme.

    Kendati demikian, Yoedhi menegaskan bahwa pemerintah tidak setuju dengan internasionalisasi masalah Papua, termasuk dengan mengangkat masalah ini ke Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB).

    Menurut dia, masalah Papua berbeda dengan Timor Timur. “Proses dekolonisasi Papua sudah selesai. Dekolonisasi Papua sudah final,” kata dia.

    Dia mengutip pernyataan salah seorang tokoh Papua yang mengatakan bahwa jika Papua ingin memisahkan diri dari Indonesia, jangan menanyakannya kepada PBB melainkan menanyakannya kepada Indonesia. Artinya, proses dekolonisasi secara internasional sudah selesai,” kata Yoedhi.

    Yoedhi menegaskan bahwa pemerintahan presiden Jokowi bersungguh-sungguh ingin menyelesaikan masalah Papua. Termasuk dalam menangani dugaan pelanggaran HAM berat. “Kita sangat terbuka, tetapi bukan dalam kerangka fact finding,” tutur dia.

    Pater Neles Tebay, mengatakan, saat ini sangat terbuka harapan bagi adanya dialog dengan pemerintah.

    “Dialog nasional untuk Papua, dalam kepemimpinan Jokowi masih ada harapan,  bahwa presiden ini memiliki perhatian yang besar terhadap Papua. Kalau punya hati untuk Papua, maka dialog itu ada kemungkinan dapat terwujud,” kata dia.

    Penulis: Eben E. Siadari 13:16 WIB | Sabtu, 15 Oktober 2016

Are you sure want to unlock this post?
Unlock left : 0
Are you sure want to cancel subscription?