Category: Otonomisasi

Information and upates on Special Autonomy as political policy for West Papua

  • 22 Tahun Otsus, Ada Kemajuan Tapi Tak Signifikan

    22 Tahun Otsus, Ada Kemajuan Tapi Tak Signifikan

    JAYAPURA – Hari ini Selasa (21/11), diperingati sebagai Hari otonomi khusus (Otsus) yang diberikan pemerintah Indoneia kepada Papua. Bahkan, untuk memperingati hari yang istiomewa tersebut,  Pemerintah Provinsi Papua menetapkan 21 November sebagai hari libur fakultatif.

    Pj Gubernur Papua Barat Daya yang juga sebagai Tim Asistensi Penyusunan UU Otsus Papua M Musa’ad menyampaikan, 22 tahun pemberlakuan Otsus di tanah Papua. Tak dipungkiri banyak perubahan namun ada juga hal hal yang mesti diperbaiki dan dilakukan pemantapan untuk kemajuan di tanah ini.

    “22 tahun Otsus, Perubahan cukup kencang di Papua,” kata Musa’ad saat dikonfirmasi Cenderawasih Pos, Senin (20/11).

    Perubahan yang dimaksudkan ini kata Musaad, seperti ada kewenangan kewenangan tertentu yang diberikan kepada Papua yang tidak dimiliki oleh Provinsi lainnya di Indonesia. Bahkan, dengan adanya Otsus memberikan kesempatan yang lebih luas untuk pemerintah daerah dalam mengeksekusi berbagai program pembangunan.

    “Dengan adanya 6 provinsi di tanah Papua, memberikan ruang untuk kita di Papua ikut berpartisipasi dalam kerja aturan pemerintahan pembangunan secara nasional. Adanya DOB memberikan kebijakan yang tidak ada di tempat lain dan hanya ada di Papua, harusnya dengan begitu bisa memberikan ruang yang lebih luas bagi partisipasi masyarakat melalui adat, lembaga keagamaan dan lainnya,” terangnya.

    Lantas, 22 tahun Otsus di tanah Papua apakah sudah dirasakan masyarakat hingga akar rumput ?  Musa’ad menyatakan perlu adanya perbaikan, konsolidasi dan kolaborasi antara pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota dan kementrian lembaga agar Otsus itu benar benar dirasakan manfaatnya hingga ke akar rumput.

    “Supaya otsus sampai ke akar rumput, harus ada konsolidasi dan koordinasi serta kolaborasi antara pemerintah melalui kementrian kelembagaan yang ada dan provinsi dan pemerintah kabupaten/kota,” kata mantan Kepala Bappeda Papua ini.

    Musa’ad menyadari bahwa tidak mungkin pemerintah semata yang harus melakukan upaya upaya untuk memberikan pelayanan pembangunan kepada masyarakat sampai ke akar rumput, namun perlunya sinergitas dengan berbagai pihak.

    “22 tahun Otsus di tanah Papua, ada yang sudah berhasil dengan baik namun masih ada yang perlu perbaikan. Dan dengan UU Otsus yang baru, perubahan harusnya menjadi instrumen yang baik. Sebab dibanyak ruang bisa digunakan untuk lebih memantapkan pelaksanaan pembangunan sampai pada akar rumput,” tuturnya.

    Yang perlu dibenahi kata Musa’ad, perlunya konsolidasi dengan semua sumber daya yang dimiliki di tanah Papua. Dengan cara kerjasama, tidak jalan sendiri sendiri

    “Sekarang kita sudah punya rencana induk percepatan pembangunan Papua, kita juga sudah punya rencana aksi percepatan pembanguann Papua. Ini harus menjadi acuan kita semua,” terangnya.

    22 tahun Otsus di tanah Papua, Musa’ad mengajak semua komponen untuk menciptakan Papua yang damai. Sebab, kita butuh investasi. Tidak bisa membangun tanah Papua yang besar ini dengan hanya menggunakan APBD.

    “Kita butuh investasi dan kita butuh investor, dengan demikian bisa menambah kemajuan di tanah Papua,” ucapnya.

    Disampaikan Musa’ad, perlunya menciptakan kedamaian dan suasana aman serta bersatu. Tanpa harus ada segmen segmen di tingkat daerah, terlebih Papua saat ini sudah memiliki 6 Provinsi. Dimana diikat oleh tiga kekuatan yaitu, diikat satu kultur dan satu budaya, terikat dalam bingkai NKRI dan ketiga yakni satu Otsus.

    “Kendati Papua sudah ada 6 Provinsi, namun kita perlu kerjasama untuk kemajuan Papua dan memberikan lompatan untuk pembangunan di tanah Papua. Dengan 22 tahun Otsus, mari kita bersatu supaya rakyat bisa merasakan apa yang seharusnya mereka rasakan dan hak hak mereka terpenuhi,” ucapnya.

    Sementara itu, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) telah memutuskan dan menetapkan Provinsi Papua Barat Daya (PBD) sebagai tuan rumah pelaksanaan momentum memperingati hari otonomi khusus (Otsus) pertama gabungan dari enam provinsi di tanah Papua.

    Musa’ad mengatakan, peringatan hari Otsus dengan PBD sebagai tuan rumah dikemas dalam Papua Fest Spirit Of Otsus. Dimana ada berbagai kegiatan yang digelar, seperti pameran inovasi dan kreasi Otsus, bazar kuliner dan kegiatan lainnya.

    “Yang ingin kita tonjolkan adalah aspek aspek kultural dalam memperingati hari Otsus, aspek pariwisata dan aspek olahraga. Ada juga kajian ilmiah,” ungkapnya.

    Sementara itu, Ketua DPC Peradi SAI Kota Jayapura dan Ahli Hukum Tata Negara, Dr. Anthon Raharusun, S.H.,M.H mengatakan, kebijakan utama Otsus untuk mempercepat pembangunan kesejahteraan masyarakat Papua.

    “Peringatan Otsus harus menjadi sebuah refleksi dalam penataan pembangunan untuk mempercepat peningkatan kesejahteraan, kemakmuran dan peningkatan demokrasi dan demokratisasi bagi masyarakat Papua dalam bingkai NKRI,” bebernya.

    Menurut Anthon, Otsus harus didesain dalam kerangka repelita. Dengan begitu, 20 tahun kedepan masyarakat Papua sudah harus tinggal landas dari berbagai aspek.

    “Ketika masyarakat tidak sejahtera, artinya Otsus tidak memberikan dampak bagi masyarakat Papua. Sehingga itu, peringatan Otsus harus menjadi kesadaran bersama. Baik pemangku  kepentingan, pemerintah pusat maupun pemerintah daerah dan masyarakat,” terangnya.

    Adapun seluruh kebijakan pemerintah kata Anthon, harus berkorelasi dengan peningkatan kesejahteraan atau percepatan kesejahteraan masyarakat Papua. Juga peningkatan kemakmuran dan domokrasi bagi masyarakat di tanah Papua.

    “22 tahun Otsus di tanah Papua, kemajuan itu ada. Tetapi belum signifikan, sebab masih  terdengar sebagian masyarakat Papua yang menganggap Otsus belum memberikan satu kemajuan bagi orang Papua. Padahal kita tahu bahwa hampir semua pejabat di Papua adalah OAP,” bebernya.

    Menurut Anthon, Otsus lebih banyak dimaknai sebagai sebuah kebijakan yang hanya mendorong bagaimana uang yang banyak. Tetapi uang yang banyak juga menjadi problem bagi masyaraka Papua  dalam hal bagaimana masyarakat Papua bisa menikmati kebijakan khusus itu.

    “Kedepannya, jika Otsus gagal maka pemerintah harus mempertimbangkan kembali  bagaimana kebijakan kebijakan yang bersifat asimetri yang diberikan kepada masyarakat Papua ataupun daerah daerah yang dianggap sebagai daerah kekhususan,” terangnya.

    Menurut Anthon, ke depan pemerintah harus melakukan sosialisasi kepada masyarakat tentang kebijakan Otsus 20 tahun kedepan. Terutama mengenai kebijakan pelaksanaan Otsus UU nomor 2 tahun 2021 dengan peraturan pelaksanannya harus disosialisasikan kepada masyarakat, sehingga masyarakat tidak bertanya tanya tentang arah kebijakan Otsus kemana. (fia/wen)

    Dapatkan update berita pilihan setiap hari dari Cenderawasihpos.jawapos.com 

    BACA SELENGKAPNYA DI KORAN DIGITAL CEPOS  https://www.myedisi.com/cenderawasihpos

  • Pemerintah Masih Dominan Memikirkan Masalah Politik di Papua

    Pemerintah Masih Dominan Memikirkan Masalah Politik di Papua

    Refleksi 22 Tahun Perjalanan Otonomi Khusus di Tanah Papua

    Selasa (21/11) hari ini, genap Otonomi Khusus (Otsus) Papua diterapkan di Papua 22 tahun silam. Dalam rentang perjalanan waktu dua dekade lebih ini, Otonomi Khusus belum berjalan sesuai harapan. Masih banyak pro dan kontra terkait pemberlakukan Otsus dan juga  pertanyaan terkait capaian Otsus dan dampak kesejahteraan yang dirasakan masyarakat Papua. 

    Laporan: Robert Mboik-Jayapura 

    tonomi Khusus Papua diberikan oleh Negara Republik Indonesia melalui Undang-undang Nomor 21 Tahun 200. Lahirnya otonomi khusus ini tidak lepas  dari upaya pemerintah memberikan jalan tengah, di tengah aspirasi Merdeka bagi masyarakat Papua kala itu.

    Dengan adanya Otsus ini diharapkan bisa meredam aspirasi itu, agar masyarakat Papua tetap bersatu dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Oleh karenanya, dalam Otsus ini ada tida pilar utama, yakni keberpihakan, perlindungan, dan pemberdayaan Orang Asli Papua.

    Dengan kebijakan seperti itu,  semestinya sekian triliun rupiah  dana masuk ke Papua selama dua puluh tahun, sejatinya harus bisa  merubah taraf hidup orang asli Papua, sejajar dengan masyarakat di daerah lain di Indonesia. Lantas apa yang salah, hingga Otsus ini belum berjalan maksimal?

    Hengky Yoku salah salah satu tokoh yang juga ikut berperan dalam pembentukan Otsus Papua, memberikan releksi terkait perjalanan Otsus ini. Menurutnya, pembentukan  sistem pemerintahan otonomi khusus Papua,  ide dasarnya adalah Bas Suebu, itu pemrakarsanya. Itu lahir ketika Bas Suebu dipanggil oleh Presiden Gus Dur bersama dua tokoh lainya, Isak Hindom, Acub Zaenal, yang merupakan mantan Gubernur Irian Barat kala itu.

    “Gus Dur tahu orang-orang ini punya pikiran-pikiran brilian. Isak Hindom, Acub Zaenal berikan saran kepada bapak presiden,  agar percayakan urusan tentang sistem pemerintahan dan seperti apa untuk papua itu kepada Bas Suebu. Dari pikiran Bas Suebu lahirlah otonomi khusus,”kata Hengky Yoku, Senin (20/11).

    “Disitu,  yang paling penting pemerintah pusat itu hanya memiliki 5 kewenangan yaitu, moneter atau keuangan,  pertahanan keamanan,  politik luar negeri pendidikan dan agama.  Selebihnya Itu kewenangan diberikan kepada daerah.  Inti daripada otsus itu adalah menjadikan orang asli Papua menjadi tuan di atas negerinya. Itu tercatat di dalam pembukaan undang-undang 21 tahun 2001,” ujarnya.

     “Tapi perjalanan selama 20 tahun,  fakta realitas objektif di Papua,  dua provinsi sebelumnya, Papua dan Papua Barat adalah provinsi termiskin di Indonesia. Dengan indeks pembangunan manusia,  terendah dari seluruh Indonesia.  Artinya apa, secara jujur kita harus akui bahwa otonomi khusus relatif gagal,” ujarnya lagi.

    Di sisi lain pemerintah pusat telah memperpanjang otonomi khusus Papua dan itu merupakan suatu hal yang patut diapresiasi, karena memberikan dana yang cukup besar untuk Papua, yaitu  senilai 2% dari jumlah dana alokasi umum nasional.  Nilai ini jelas cukup besar jika dilihat dengan populasi penduduk Papua yang berkisar sekitar 4 jutaan jiwa.  Semestinya selama 20 tahun yang lalu kesejahteraan orang Papua sudah bisa setara dengan pulau Jawa.

    Catatanya, selama 20 tahun menurutnya pemerintahan hanya fokus mengurus hal-hal yang sifatnya politik.  Arogansi membangun birokrasi,  bahwa harus orang asli Papua. Menurut Hengky Yoku, esensi sebenarnya bukan itu. Siapapun silakan dalam 20 tahun memimpin, tetapi harus menyiapkan orang asli Papua itu yang paling penting.

    Menyiapkan bukan berarti hanya menjadi birokrat yang baik, dia harus menguasai ekonomi dan paling penting mengimplementasikan tiga  pilar Otsus  itu, keberpihakan, perlindungan, dan pemberdayaan Orang Asli Papua. “Kalau itu semua terpenuhi orang Papua tidak akan teriak merdeka.”tandasnya.

    Secara lengkap pemerintah memang mengklaim dana ribuan triliun masuk ke Papua,  tetapi kata dia dana itu membangun apa.  Apakah membangun gedung DPR yang megah,  kantor gubernur yang begitu Megah, juga kantor MRP  dan juga jembatan.

    “Tapi kalau kita mau jujur katakan semua pembangunan infrastruktur,  itu hanya menghidupkan BUMN yang kolaps, kita harus jujur akui. Siapa pejabat di Papua ini, secara angka dia bisa menunjukkan,  kepada publik bahwa kehadiran  gedung MRP yang mewah ini menghasilkan sekian kontraktor yang hebat di Papua,  sekian konglomerat sekian ekonom hebat. Tidak ada, itu kan sekian dana dari pusat  ke bawah, kemudian perusahaan dari pusat datang bangun di sini.  Di sini kemudian pulang dan bawa pulang dananya,  kan itu” pungkasnya.

     Masalah Otsus ini memang menarik, begitu juga dengan capaian yang dirasakan, masing-masing bisa memiliki pendapat yang berbeda. Baik dari penggas Otsus, pelaku Otsus dalam hal ini birokrasi pemerintah, maupun dari masyarakat asli Papua yang menjadi sasaran utama Otsus ini. Aspirasi merdeka pun belum sepenuhnya bisa diredam lewat kebijakan Otsus ini. (*).

    Source: CEPOS Online

  • KPK Ultimatum Lukas Enembe Sebelum Dijemput Paksa, Minta Kooperatif Penuhi Panggilan

    KPK Ultimatum Lukas Enembe Sebelum Dijemput Paksa, Minta Kooperatif Penuhi Panggilan

    Merdeka.com – Merdeka.com – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengultimatum Gubernur Papua Lukas Enembe memenuhi panggilan untuk diperiksa sebagai tersangka kasus gratifikasi pengerjaan proyek menggunakan APBD di bumi cenderawasih. KPK mengirimkan surat panggilan kedua sebelum menjemput paksa Lukas Enembe untuk diperiksa dalam perkara tersebut.

    “Sejauh ini kami akan segera kirimkan kembali surat panggilan kedua sebagai tersangka. Mengenai waktu pemanggilannya kami akan infokan lebih lanjut,” ujar Juru Bicara KPK Ali Fikri dalam keterangannya, Kamis (29/9).

    Ali menyebut KPK belum akan mengambil langkah hukum penjemputan paksa terhadap politikus Partai Demokrat tersebut. Ali menyebut tim penyidik KPK masih akan memberikan kesempatan kepada Lukas Enembe kooperatif terhadap proses hukum di lembaga antirasuah.

    “Kami berharap kesempatan kedua bagi tersangka ini. Nantinya dapat koperatif hadir memenuhi panggilan,” kata Ali.

    Ali mengatakan, KPK juga bakal memikirkan dan bertanggungjawab atas kondisi kesehatan Lukas Enembe. Namun yang terpenting, Ali meminta agar Lukas Enembe memiliki itikad baik hadiri pemeriksaan.

    “Terkait permohonan berobat ke Singapura, tentu silakan tersangka hadir dulu di Jakarta. Untuk objektifitas, kami lakukan assesment langsung oleh tim dokter independent dari PB IDI. Bila dokter pribadi tersangka ikut dalam tim juga kami persilakan,” kata Ali.

    Istana Tegaskan Kasus Lukas Enembe Tak Terkait Politik

    Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko menegaskan bahwa kasus dugaan suap dan gratifikasi yang menjerat Gubernur Papua Lukas Enembe tak ada hubungannya dengan politik. Dia menekankan aparat TNI siap dikerahkan apabila ada masyarakat menghalangi proses hukum Lukas Enembe.

    “Kalau mereka dalam perlindungan masyarakat yang dalam pengaruhnya Lukas Enembe, apa perlu TNI dikerahkan? Untuk itu, kalau diperlukan ya apa boleh buat. Begitu,” kata Moeldoko kepada wartawan di Kantor Staf Presiden Jakarta, Kamis (29/8).

    Menurut dia, tidak ada pengecualian di mata hukum. Sehingga, kata Moeldoko, semua masyarakat harus mempertanggungjawabkan semua yang diperbuatnya di hadapan hukum.

    “Intinya, adalah siapapun harus mempertanggungjawabkan di depan hukum,” ucap dia.

    Mantan Panglima TNI era Presiden SBY ini meminta masyarakat menunggu proses hukum Lukas Enembe. Dia mendorong Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bekerja lebih keras lagi dalam menindak Lukas Enembe yang telah berstatus tersangka dugaan suap.

    “Saya tak melangkahi praduga tak bersalah, itu urusan penegak hukum. KPK harus bekerja lebih keras lagi untuk ambil langkah-langkah atau proses hukum,” ujar Moeldoko.

    AHY Minta Kader Taati Proses Hukum di KPK

    Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) mendorong kadernya, Lukas Enembe untuk menaati proses hukum sebagai tersangka dugaan korupsi di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

    AHY berjanji, Partai Demokrat tidak akan melakukan intervensi apapun dan mendukung proses hukum terhadap Lukas Enembe yang sedang berjalan di KPK.

    “Partai Demokrat tidak akan pernah melakukan intervensi terhadap proses hukum dalam bentuk apapun. Mari kita hormati proses hukum yang sedang berjalan,” kata AHY saat jumpa pers di Kantor DPP Partai Demokrat, Jakarta Pusat, Kamis (29/9).

    AHY memastikan, Partai Demokrat akan menyiapkan tim bantuan hukum terhadap yang bersangkutan jika dibutuhkan. Dia pun berharap, kader Demokrat setempat tidak terpancing provokasi dan tenang dalam mengawal proses kasus ini.

    “Kepada seluruh kader Partai Demokrat di Provinsi Papua, saya minta tetap tenang dan jaga situasi kondusif di tanah Papua yang kita cintai,” minta AHY.

    SBY Diminta Turun Gunung Bujuk Lukas Enembe Penuhi Panggilan KPK

    Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI) meminta Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) turun gunung bujuk Gubernur Papua Lukas Enembe memenuhi panggilan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). MAKI yakin Lukas Enembe akan menjalani perintah dari Presiden kelima RI itu.

    “Ya perlu memang, saya memohon pada Pak SBY untuk bersedia memberikan arahan atau memberikan imbauan kepada Pak LE (Lukas Enembe) selaku juga pengurus Demokrat Papua, ketuanya bahkan, ya untuk menghadiri panggilan KPK itu,” ujar Koordinator MAKI Boyamin Saiman, Selasa (27/9).

    Selain meminta SBY terlibat, Boyamin juga menyarankan para petinggi Partai Demokrat lainnya juga bisa membujuk Lukas untuk kooperatif terhadap proses hukum. Setidaknya, menurut Boyamin, hal ini menandakan kepedulian Partai Demokrat dalam pemberantasan korupsi.

    “Ini menunjukkan semua partai patuh hukum dan mendukung proses prosesnya,” kata Boyamin.

    Reporter: Fachrur Rozie/Liputan6.com [gil]

  • Diplomasi NKRI, Otsus dan Kesejahteraan Orang Asli Papua

    Diplomasi NKRI, Otsus dan Kesejahteraan Orang Asli Papua

    Daerah Otonomi Baru (DOB) dan Keberlanjutan Otonomi Khusus (Otsus) Sebagai Alasan Kesejahteraan akan Menjadi Bahan Diplomasi Indonesia (NKRI) ke Sidang Pacific Islands Forum (PIF) dan Sidang Umum PBB 2022

    Selain pemaksaan pemekaran Daerah Otonomi Baru dan keberlanjutan UU Otsus Papua menurut versi Pemerintah Republik Indonesia, saya prediksi bahwa hanya ada dua jalan menuju penyelesaian masalah Papua yang akan ditempuh, yaitu antara (1). Dialog, ataukah Indonesia akan menghadapi gugatan hukum di Pengadilan hukum internasional (ICJ). Kedua model itu sama-sama memiliki sangsi yang sangat berat.
    Pemerintahan Sementara ULMWP telah menandatangani MoU dengan Kementerian Urusan Luar Negeri Negara Republik Vanuatu, terkait langkah-langkah diplomatik ULMWP ke seluruh dunia dibawah kendali protokol system VANUATU. Jangan sampe NKRI menelan pil pahit seperti yang Inggris dan USA (Amerika) alami dalam kasus negara Mauritius dan pulau Chagos. Satu dari antara dua opsi di atas akan terjadi setelah keputusan PIF tanggal 14 Juli 2022.
    Andaikan Pemerintahan Sementara ULMWP mendapat pengakuan dari 18 negara PIF melalui resolusinya yang akan lahir…sebab Tuan Hon Benny Wenda telah diundang resmi oleh Sekretariat PIF dengan kapasitas sebagai PRESIDEN SEMENTARA ULMWP.
    Para diplomat RI selalu meremehkan Vanuatu sebagai negara kecil yang tidak berdaya, namun perlu diketahui bahwa Vanuatu adalah RAKSASA PASIFIK yang telah sukses membawa ULMWP mnejadi anggota OBSERVER di MSG dan meyakinkan 18 negara PASIFIK untuk mengakui dan melahirkan Resolusi PIF untuk meminta DEWAN HAM PBB segera mengunjungi West Papua.
    Perlu diketahui, Vanuatu juga adalah negara sponsor utama dalam missi kemenangan gugatan hukum internasional (ICJ) atas pulau Chagos yg dikuasai dirampas oleh Kerajaan Inggris serta mengijinkan USA membangun pangkalan militernya di sana. Vanuatu berhasil memenangkan sidang gugatan hukum di ICJ, pengadilan internasional memerintahkan INGGRIS dan USA mengosongkan pulau Chagos Kembali kepada milik negara Mauritius.
    Vanuatu telah menjadikan kasus itu sebagai test case untuk membawa Indonesia atas perampasan pulau West Papua ke pangkuan ibu pertiwi.
    Kita akan lihat, ditengah multi krisis yang melanda indonesia ini akan ada berapa biaya lagi yang disiapkan oleh Indonesia untuk menghadapi diplomasi West Papua yang sedang dikawal oleh Vanuatu, MSG, PIF, ACP, UNI-EROPA, atas ijin Tuhan.
    Progres ini bukanlah karena kemampuan Tuan Hon Benny Wenda dan ULMWP, akan tetapi sebagai bukti campur tangan Tuhan.
    Rabu, 6 Juli 2022
    💪🏿💪🏿🙏🏼🙏🏼💪🏿💪🏿
  • Tokoh Papua Ingatkan Pemerintah Soal Pertemuan Solomon

    Rabu, 29 Juni 2016, 15:58 WIB

    REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Koordinator Gerakan Papua Optimis, Jimmy Demianus Ijie menyatakan pemerintah seharusnya tidak meremehkan pertemuan mengenai masalah Papua di Kepulauan Solomon pada 14-16 Juli 2016. “Jangan meremehkan gerakan semacam itu. Ini ancaman serius,” katanya kepada wartawan di Jakarta, Rabu (29/6).

    Pemerintah semestinya mengambil sejumlah langkah nyata dan strategis guna menjadi solusi komprehensif untuk menyelesaikan masalah Papua, terutama terkait manuver kelompok yang mengatasnamakan masyarakat Papua di forum internasional. “Persoalan Papua saat ini bukan lagi hanya mencakup ranah domestik, tapi sudah lama menjadi isu internasional,” katanya.

    Bahkan, kata Jimmy, berbagai upaya internasionalisasi seringkali membuat posisi Indonesia serba salah dalam menyikapi persoalan di Papua. Dalam beberapa tahun terakhir kelompok-kelompok itu mengubah strategi dan tak menggunakan kekerasan, tapi melalui diplomasi.

    “Sebagai bagian dari kepedulian kami kepada bangsa ini, kami minta pemerintah lebih serius urusi Papua,” kata Ketua DPRD Papua Barat 2004-2009 dan Wakil Ketua DPRD Papua Barat 2009-2014 ini.

    Karena itu, Jimmy meminta pemerintah mengantisipasi pertemuan di Solomon pada 14-16 Juli mendatang. “Jangan terlalu ‘over confidence,” katanya.

    Dia mengatakan, pemerintah juga perlu mempercepat pembangunan di Papua dengan membentuk tiga provinsi baru, yaitu Papua Tengah, Papua Selatan, dan Papua Barat Daya. “Soal Papua belajarlah dari Soekarno saat pembebasan Irian Barat. Di saat seru-serunya diplomasi pembebasan, Soekarno sudah berani mengumumkan pembentukan provinsi,” katanya.

    Dia mempertanyakan mengapa sekarang pemerintah dan DPR tak berani menyatakan pembentukan Provini Papua Selatan, Papua Tengah, dan Papua Barat Daya. “Memang pemekaran ada konsekuensinya soal anggaran, tapi semestinya tak berlaku untuk Papua yang luasnya tiga setengah kali Pulau Jawa,” katanya.

    Dia mengatakan, pembentukan tiga provini baru di Papua sudah melalui proses panjang dan akan sangat penting untuk memacu perkembangan wilayah serta mempersempit gerakan yang dapat menggoyahkan NKRI. “Apa susahnya bentuk lima provinsi? Untuk Papua jangan hanya merasa terbebani anggaran. Uang bisa dicari. Tapi kehilangan kedaulatan tidak akan bisa kembali,” katanya.

    Dia mengingatkan jajaran pemerintah agar jangan main-main dengan isu Papua dengan menganggap remeh persoalan Papua. “Jangan tonjolkan ego sektoral. Kita harus serius,” katanya.
    Sumber : Antara

  • Sengkarut Diplomasi Pasifik Selatan

    23 June 2016, Angelo Wake Kako, Harian Indoprogress

    NDONESIA membuat terobosan baru dalam membangun hubungan kerjasama antar negara. Jikalau pola kerjasama selama ini lebih fokus dengan negara-negara besar, atau negara Utara, maka kali ini Indonesia mencoba menjajaki negara-negara di kawasan Pasifik Selatan. Papua Timur (PNG), Fiji, Vanuatu, Kepulauan Solomon, dan sejumlah negara pasifik lainnya menjadi target kerjasama yang hendak dibangkitkan. Sebagai realisasinya, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan HAM langsung melakukan lawatan (Kompas, 13/2/2016). Salah satu misi yang dibawa adalah persoalan Papua. Pasifik Selatan menjadi penting ketika berbicara mengenai Papua. Bagaimanapun, rumpun bangsa penghuni negara-negara Pasifik Selatan merupakan bangsa Melanesia yang sama dengan suku bangsa di Papua, Maluku dan juga Nusa Tenggara Timur. sebagaimana diketahui bahwa Organisasi negara-negara Melanesia (Melanesian Spearhead Group) atau MSG telah memberikan tempat kepada Papua sebagai peninjau, dan isu pelanggaran HAM di Papua menjadi isu utama yang menjadi perjuangan MSG di dunia internasional. Pada titik inilah, diplomasi Pasifik Selatan dipandang mendesak.

    Pertanyaan reflektifnya adalah manakah yang lebih penting antara diplomasi Pasifik Selatan sebagai ancaman eksternal keutuhan NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) ataukah pembangunan yang berkemanusiaan di Papua, sebagai masalah internal terhadap ancaman disintegrasi bangsa? Ibarat api dan asap, riakan di wilayah Pasifik Selatan tidak akan pernah berhenti tatkala api di Papua tidak mampu dipadamkan. Singkatnya, pemerintah harus fokus pada penyelesaian masalah Papua. Pendekatan diplomasi Pasifik Selatan sedang menunjukkan bahwa pemerintah Indonesia menjadikan masalah Papua sebagai propaganda dari negara lain yang ingin merongrong keutuhan NKRI. Hemat penulis, tanpa adanya kesadaran dan kejujuran dari pemerintah tentang permasalahan Papua, niscaya pendekatan apapun yang diakukan di Papua, ibarat membuang garam di laut.

    Nasionalisme Papua

    Pemerintah Indonesia sudah saatnya harus menyadari bahwa nasionalisme Papua itu ada. Dalam diri orang Papua terdapat nasionalisme ganda, yakni nasionalisme Papua dan nasionalisme Indonesia. Nasionalisme Papua berbasis pada ras Melanesia yang berkulit hitam dan berambut keriting, sementara nasionalisme Indonesia mengacu pada Bhineka Tunggal Ika. Penyemaian Nasionalisme Papua telah dilakukan oleh pemerintah Belanda sejak tahun 1925 melalui pendidikan formal berpola asrama, sementara penyemaian keindonesiaan baru dimulai sejak tahun 1945 (Bernarda: 2012). Nasionalisme Papua berawal dari munculnya sikap anti – amberi (orang bagian Timur yang membawa budaya Melayu) akibat kebrutalan perlakuan tentara jepang dan orang Maluku dan Sulawesi Utara pada saat itu. Selain itu, lambannya pembangunan dan sikap pemerintah belanda di Batavia yang mengabaikan masalah Papua memberikan kontribusi bagi kebangkitan nasionalisme Papua (Penders,2002)

    Berangkat dari latar sejarah seperti itu, masih relevankah pengerahan pasukan ke wilayah Papua dalam jumlah yang besar dan memunculkan kekacauan dan keresahan bagi warga sipil Papua? Bukankah segala penindasan dan pelanggaran HAM yang selama ini terjadi di Papua semakin menumbuhkan nasionalisme Papua?

    Perjumpaan penulis dengan beberapa mahasiswa Papua beberapa waktu lalu di Jayapura, semakin menguatkan asumsi bahwa aparat keamanan menjadi biang kerok kemarahan masyarakat Papua. Rupanya, sakit hati ketika sanak keluarganya yang meninggal tertembak timah panas aparat keamanan kian hari kian membatu. Apakah Otsus (otonomi khusus) dan janji pembangunan yang dikampanyekan Jokowi dapat mengobati sakit hati mereka?

    Otsus dan Janji Damai

    Berbicara tentang Otsus, pasti hanya ada satu hal yang terlintas, yakni membanjirnya uang dalam jumlah besar ke wilayah Papua. Besaran dana yang diharapkan dapat membantu meningkatkan kesejahteraan masyarakat Papua, malah melahirkan berbagai masalah seperti korupsi para elit lokal Papua. Lagi-lagi hasil diskusi dengan beberapa mahasiswa Papua, masih meyakini bahwa dana Otsus tidak lebih ibarat permen yang diberikan bagi anak Papua yang sedang merengek nasibnya. Besaran dana akhirnya menjadi tidak efektif untuk dikelola demi pembangunan masyarakat Papua, lantaran masyarakat memilih apatis. Apatisme tersebut sungguh beralasan, karena yang mereka butuhkan adalah kedamaian. Apa artinya segepok uang yang diterima tangan kanan, di saat bersamaan tangan kiri harus melepas kepergian sanak saudara yang harus meninggal karena hujaman peluru para serdadu? Apalah artinya sejumlah uang yang diperoleh sementara hidup hanya menunggu mati karena HIV AIDS menjadi “peluru lunak” yang mematikan lapisan generasi? Di sinilah, letak masalah pembangunan Papua. Papua harus dibangun dengan hati agar kedamaian senantiasa dirasakan oleh segenap insan penghuni cendrawasih.

    Mengenai kedamaian di tanah Papua, sebenarnya pemerintah Indonesia sudah jauh hari memikirkannya sebelum melahirkan Otonomi Khusus bagi Papua. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Papua sudah mendorong dibentuknya Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, dengan harapan untuk memperkuat integritas Negara Kesatuan Republik Indonesia. Komisi ini diharapkan dapat mempersempit kesenjangan interpretasi antara pihak Papua dan Jakarta, khususnya dalam aspek kesejarahan dan penyelesaian berbagai pelanggaran HAM yang terjadi. Sudah 15 tahun Undang-Undang ini berjalan, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi masih menjadi mimpi. Parahnya, di tengah penantian hadirnya komisi tersebut guna menyelesaikan aspek kesejarahan dan pelanggaran HAM di Papua, sejak Otsus berlaku, perilaku aparat keamanan semakin menjadi liar, seakan sedang berada di medan perang. Ratusan nyawa manusia Papua hilang di ujung senapan tanpa penyelesaian yang jelas. Ribuan warga Papua kehilangan kebebasan, mereka ditangkap, dipenjara atas nama “Makar”.

    Pendekatan Kesejahteraan Berbasis Rekonsiliatif

    Rekonsiliasi menjadi urgen. Rekonsiliasi tentu hanya bisa dilakukan apabila semua pihak berkomitmen untuk menghentikan seluruh gejolak berdarah yang sering terjadi di tanah Papua. Konsekuensi dari rekonsiliasi adalah tidak lagi terdengar berita hilangnya nyawa manusia Papua di ujung senapan tentara, Polisi ataupun orang tidak dikenal seperti yang selama ini sering terjadi. Hal yang paling ekstrim untuk dilakukan adalah dengan menarik pasukan bersenjata yang semakin banyak dikerahkan ke Papua. Pengerahan pasukan mengindikasikan bahwa negara masih menggunakan security approach dalam menangani masalah Papua yang sejauh ini dinilai gagal. Pendekatan keamanan tentu akan melahirkan berbagai masalah turunan yang tidak akan pernah menyelesaikan persoalan.

    Semangat rekonsiliasi sebenarnya bertalian dengan pendekatan kesejahteraan dalam artian kesejahteraan batiniah. Untuk apa sejahtera kalau tidak mencakupi aspek lahiriah dan batiniah? Untuk apa memobilisasi pembangunan dengan sejumlah instrumen didalamnya tanpa memberikan rasa aman bagi masyarakat setempat? Sejumlah gebrakan pembangunan yang sudah dilakukan pemerintah patut diapresiasi. Kita menunggu kiranya pembangunan yang difokuskan untuk Papua, sekali lagi, tidak hanya menjadi “permen”, sebagai pemanis bibir belaka. Gebrakan pembangunan dengan mengedepankan semangat rekonsiliatif antara pemerintah Indonesia dan Masyarakat Papua adalah sebuah kemendesakan. Tanpa menghabiskan energi untuk berjibaku dengan pergolakan yang terjadi di Pasifik Selatan ataupun negara lainnya. Karena masalah sesungguhnya adalah bagaimana membangun Papua dengan hati. Bukan terjebak dengan gejolak yang terjadi di luar negeri. Mari wujudkan Papua sebagai tanah damai. Tunjukkan kepada pihak luar bahwa Indonesia mencintai Papua sebagai sesama saudara dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.***

    Penulis adalah mahasiswa pascasarjana Kajian Ketahanan Nasional UI/Ketua Presidium Pengurus Pusat PMKRI Periode 2016-2018

  • Sekda Papua: Ada Relevansi RUU Penilai dengan RUU Otsus Plus

    ABARPAPUA.CO, Kota Jayapura – Sekretaris Daerah (Sekda) Provinsi Papua Hery Dosinaen mengatakan, pemerintah Provinsi Papua menyatakan Rancangan Undang-Undang (RUU) Penilai dinilai relevan dengan didorongnya RUU Otonomi Khusus (Otsus) Plus.

    “Relevansi ini tergambar pada penyelenggaraan pemerintahan yang fokus pada kekhususan,” kata Hery kepada sejumlah wartawan, usai bertemu tim Komite IV Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI di ruang Sasana Karya, Kantor Gubernur Papua di Kota Jayapura, Papua, Selasa, 14 Juni 2016.

    RUU Penilai ini berlaku secara nasional, yang mana di dalamnya terdapat pasal-pasal tertentu yang menyebut soal kekhususan di daerah seperti otonomi khusus. “RUU Penilai ini sudah tercakup juga dalam RUU Otsus Plus sehingga terus mendorong hal ini agar segera masuk Prolegnas,” jelas Hery.

    Menurut Hery, jika RUU Otsus Plus ini masuk dalam Prolegnas akan menghindari tumpang tindih dalam penyelenggaraan pemerintahan. “Hal ini juga dapat dijadikan referensi hukum untuk melaksanakan penyelenggaraan pemerintahan yang tak tumpang tindih,” katanya.

    Dalam penyusunan RUU Penilai ini juga, kata Hery, Komite IV DPD RI berupaya mengumpulkan saran dan masukan dari instansi terkait di lingkungan pemerintah Provinsi Papua. “Sehingga dapat menambah referensi dalam menyusun UU ini,” katanya.

    Sebelumnya, Komite IV Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI berkunjung ke Papua menemui pemerintah Provinsi Papua untuk berdialog dan mendorong Rancangan Undang-Undang (RUU) Penilai. Tim ini dipimpin H. A. Budiono selaku Wakil Ketua Komite IV DPD RI dan diterima Ketua DPR Papua, Yunus Wonda dan Sekda Papua Hery Dosinaen. ***(Lazore)

  • Gubernur Papua: Dana Otonomi Khusus Tak Bermanfaat bagi Warga

    Rabu, 17 Februari 2016 | 20:26 WIB

    JAYAPURA, KOMPAS.com — Gubernur Papua Lukas Enembe mengklaim, dana otonomi khusus yang diberikan pemerintah pusat tidak bermanfaat untuk meningkatkan pembangunan dan kesejahteraan masyarakat.

    Hal ini disampaikan Lukas dalam pidatonya dalam acara pelantikan kepala daerah untuk enam kabupaten di Aula Sasana Krida, Kota Jayapura, Papua, Rabu (17/2/2016).

    Lukas menyebutkan, pihaknya selalu disalahkan pemerintah pusat karena tak optimal dalam pengelolaan dana otonomi khusus (otsus). Akibatnya, banyak pejabat yang dipanggil Komisi Pemberantasan Korupsi.

    “Sebenarnya, dana otsus yang diberikan pemerintah pusat hanya bernilai kecil. Di wilayah pegunungan, uang sebesar Rp 100 miliar hanya dapat membuat dua jembatan,” kata Lukas.

    Mantan Bupati Puncak Jaya itu mengatakan akan menggelar rapat kerja bersama semua kepala daerah di 23 kabupaten kota di Papua untuk mengevaluasi manfaat dana otsus pada bulan Maret.

    “Dalam rapat ini, kami akan mengambil keputusan apakah tetap menggunakan dana otsus atau mengembalikannya ke pusat,” ujar Lukas.

    Menurut Lukas, sesungguhnya Papua dapat maju apabila diberi kesempatan mengelola sumber daya alamnya secara mandiri karena berlimpah.

    “Tanpa dana otsus pun, kami masih merasakan manfaat dari kekayaan alam di Papua,” katanya.

    Sementara itu, Bupati Merauke Frederikus Gebze mengatakan bahwa rencana pembahasan dana otsus dalam rapat kerja bersama semua kepala daerah merupakan ide bagus.

    “Dengan adanya pembahasan dan evaluasi, kami dapat mengambil kesimpulan sejauh mana implementasi dana otsus dapat mengakomodasi segala permasalahan di setiap daerah di Papua,” kata Frederikus.

    Tahun ini, dana otsus yang diterima Pemprov Papua sekitar Rp 5 triliun. Sebesar 80 persen dari dana tersebut dialokasikan untuk 23 kabupaten dan kota di Papua.
    Penulis    : Fabio Maria Lopes Costa
    Editor     : Laksono Hari Wiwoho

  • Pengelolaan Dana Otsus Papua Bermasalah

    Selasa, 18 Desember 2012 | 22:05 WIB

    JAKARTA, KOMPAS.com Ketua Tim Kajian Papua Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Adriana Elisabeth menjelaskan, pengelolaan dana Otonomi khusus (Otsus) bermasalah.

    Pasalnya, pembangunan di Papua dinilainya tidak sebanding dengan alokasi anggaran. SeLISepanjang 2002 sampai 2012, provinsi Papua menerima Rp 28,445 Triliun dana otsus.

    “Dana Otsus tidak bermasalah, tapi pengelolaannya bermasalah. Kalau Otsus dimulai di 2001, harus ada evaluasi komprehensif pemerintah menyikapi Otsus,” kata Elisabeth dalam peluncuran buku “Otonomi Khusus Papua Telah Gagal dan Saya Bukan Bangsa Budak” di Kantor Komnas HAM, Jakarta, Selasa (18/12/2012).

    Adriana mengatakan, kegagalan pembangunan di Papua disebabkan kinerja pemda. Pemda, terangnya, berperan dalam implementasi Otsus.

    Salah satu implementasi yang gagal terjadi pada sektor kesehatan. Kesehatan masyarakat di Papua, lanjutnya, tidak mengalami perbaikan.

    Padahal, dana otsus juga dialokasikan bagi anggaran untuk kesehatan. “Orang Papua sakit, tapi tidak dapat ditolong meskipun mereka punya uang untuk berobat. Kegagalan ini harus dievaluasi lagi,” tandasnya.

    Selain implementasi di sektor kesehatan, pendidikan wajib dicermati. Sebab, impelementasi pemda dalam sektor pendidikan, terangnya, tidak kalah mengkhawatirkan dari kesehatan.

    Hal itu, tambahnya, dapat dilihat dari partisipasi masyarakat Papua pada pendidikan yang rendah. Hal itu, diperparah oleh ketersediaan fasilitas pendidikan yang jauh dari harapan.

    “Pemda melakukan apa di sana (Papua), banyak anak tidak bersekolah. Apa yang dilakukan pemda saat diberikan dana otsus begitu besar?” tanyanya.

    Ia mencermati, pemda Papua tidak menjalankan tugasnya. Sehingga, implementasi dana otsus dalam sektor pendidikan dan kesehatan tidak berjalan sebagaimana mestinya.

    Kegagalan Pemda di masa kini itu, lanjutnya, harus menjadi bahan pelajaran pemerintah dalam membangun Papua ke depan. Menurutnya, pembangunan Papua harus memprioritaskan target implementasi dalam skala tertentu.

    Ukuran tersebut, tambahnya, harus memperhatikan kondisi internal Papua. “Kalau pembangunan Papua disamakan oleh pemerintah dengan kondisi daerah lain itu tidak tepat. Papua memiliki ciri khasnya sendiri yang membedakannya dengan daerah lain,” pungkasnya.

    Penulis: Aditya Revianur
    Editor: Benny N Joewono
  • Kecewa dengan Gubernur dan DPRP

    JAYAPURA – Menyusul adanya Surat Menteri Dalam Negeri RI No “161.97.2104/SJ tertanggal 27 April 2015 perihal penetapan Perdasus No 6 Tahun 2014 yang ditujukan kepada Gubernur Papua, dengan memerintahkan kepada Gubernur Papua sebagai wakil Pemerintah Pusat untuk mempertimbangkan kembali substansi materi Perdasus No 6 Tahun 2014 tentang keanggota DPRP melalui pengangkatan periode 2014-2019, ditanggapi Ketua Barisan Merah Putih (BMP) RI wilayah Provinsi Papua, Ramses Ohee.

    Ia mengharapkan semua komponen masyarakat Papua untuk bersatu mendesak Pemerintah Provinsi Papua dan DPRP untuk segera merealisasikan kursi adat di DPRP yang sudah diberikan negara kepada rakyat Papua, sesuai Keputusan MK No 116/PUU-VII/2009.

    Dirinya selaku orang tua kesal, karena hak orang asli Papua yang diakui oleh negara tidak diseriusi Pemerintah Provinsi Papua dan DPRP, karena seolah-olah hak 14 kursi yang diberikan negara, bukan untuk orang asli Papua.

    Terutama Gubernur Papua, Lukas Enembe, selaku wakil Pemerintah Pusat menjelaskan keputusan negara ini kepada rakyat Papua, dan duduk bersama DPRP dan MRP untuk membahas aturannya dengan baik yang melibatkan semua komponen masyarakat, setelah itu baru disahkan menjadi Perdasus.

    Sebagaimana 9 kursi adat yang sudah dinikmati oleh rakyat Papua Barat. Itu dikarenakan gubernurnya, DPRPnya dan MRP nya serius menyelesaikan hak adat rakyat Papua itu.

    “Selama ini terkesan kita rakyat Papua, terutama Pemerintah Provinsi Papua dan DPRP mempermainkan keputusan negara tersebut. Harusnya, Gubernur Lukas Eneme dan DPRP bertanggungjawab penuh atas keputusan MK ini, malah meninggalkannya dan memperjuangkan hal lain. 14 kursi ini tidak belum jadi, karena Gubernur, DPRP dan MRP tidak pernah duduk sama-sama dan sejalan bahas 14 kursi ini, dan berikan penjelasan yang baik kepada rakyat Papua bahwa kenapa 14 kursi ini belum direalisasikan,”

    ungkapnya dalam keterangan persnya kepada wartawan di kediamannya, Jumat, (22/5).

    Baginya, jika gubernur dan DPRP tidak punya itikad baik, maka dalam waktu dekat ini pihaknya tetap mendesak Presiden Jokowi untuk mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) atau Inspres, demi kebaikan rakyat Papua, dan sebagai wujud nyata pertahanan nasional, serta bahwa Papua benar-benar bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sesuai persetujuan PBB tertanggal 19 November 1969 bahwa Papua didalam NKRI. Itu harga mati.

    Terkait dengan pernyataan banyak pihak, diantaranya pakar hukum Ferry Kareth dan mantan anggota DPRP mengenai 14 kursi itu, dirinya menegaskan, Ferry Kareth tidak boleh mengeluarkan pernyataan di media lagi, karena Ferry Kareth adalah sosok yang pernah menyusahkan rakyat Papua dengan tidak memproses keputusan MK dimaksud.

    Termasuk pernyataan DPRP juga salah dalam melihat makna putusan MK itu. Pasalnya disini 14 kursi harus memiliki fraksi sendiri di DPRP yang khusus membicarakan hak-hak adat orang asli Papua, bukan berbicara melalui kursi Parpol atau gabungan fraksi yang dicampurkan antara utusan Parpol dan adat.

    “Dengan segala kerendahan hati, kami berjuang untuk anak asli Papua duduk di kursi adat DPRP, supaya memperjuangkan hak-hak orang asli Papua, sebab selama ini apa yang kami bicarakan di DPRP lewat kursi Partai Politik (Parpol) tidak didengar, mereka berjalan dengan maunya sendiri-sendiri dan maunya Parpol,”

    tukasnya.

    Ditegaskannya, dirinya sudah menyurati Presiden Jokowi yang isinya meminta Jokowi segera menerbitkan PP untuk mengeksekusi hak adat di parlemen bagi rakyat Papua, namun jika tidak ada PP, maka Papua bukan bagian dari NKRI.

    Ditempat yang sama, Ketua BMP Perwakilan Papua wilayah DKI Jakarta, Willem Frans Ansanay, SH., M.Si, menandaskan, mensikapi polemik 14 kursi yang akibat dari tarik ulur antara kepentingan-kepentingan yang ada di Papua.

    Melihat hal itu, dirinya meminta kepada semua pemangku kepentingan untuk memahami Papua secara komprehensif, yakni Tanah Papua seperti apa, manusia yang mendiaminya seperti apa, dan apa persoalan yang sangat fundamental di Papua, sehingga Papua memiliki karakteristik khusus yang di back up oleh UU Otsus Papua.

    “Membangun Papua, tidak bisa dipahami secara parsial, karena ada kepentingan-kepentingan sesat, pemahaman yang sempit tentang tata kelola pemerintahan dan kurang memahami sosial kultural yang ada di Papua,”

    terangnya.

    Papua dipahami dalam NKRI, sebagai bagian yang utuh bahwa Papua adalah bagian yang utuh dari wilayah NKRI, yang dilegitimasi oleh hukum dunia Internasional, yang kemudian Indonesia berkewajiban membangun Papua. Tahapan Indonesia membangun Papua, kita semua tahu di era pemerintahan orde baru, Papua mengalami degradasi pembangunan yang selanjutnya hal yang sama dialami daerah lain, yang akibatnya terjadi reformasi yang melahirkan tuntutan ekstrim, yang sebagiannya sudah mencapai hasil, seperti Provinsi Timur-Timor yang sekarang menjadi suatu negara didalam kedaulatannya sendiri.

    Sementara itu, Papua, dan Aceh termasuk dalam permintaan ekstrim kepada NKRI supaya memiliki kedaulatan sendiri. Termasuk Borneo dan Riau.

    Untuk itu, apa yang menjadi persoalan bangsa ini harus dilihat secara utuh, karena dampaknya Papua juga terkena imbasnya, yang pada giliran diterbitkannya UU Otonomi Daerah (Otda) 1969 dan Tahun 2001 UU Otsus diterbitkan pada masa Pemerintahan Mega Wati Soekarno Putri, sebagai alat (UU) kelengkapan negara dalam membangun Papua kedepannya. Namun, apa yang terjadi UU Otsus dalam implementasinya mengalami hambatan, khusus menyangkut 14 kursi itu yang saat ini menjadi polemik.(Nls/don/l03)

    Source: Sabtu, 23 Mei 2015 02:05, Kecewa dengan Gubernur dan DPRP

Are you sure want to unlock this post?
Unlock left : 0
Are you sure want to cancel subscription?