Category: Terorisme

Aksi Teror atau Terorisme oleh Pemerintah NKRI, agen Teroris Internasional dan Miliasi NKRI serta teror-teror politik, ekonomi, terhadap alam semesta dan budaya.

  • Franz Magnis: Peristiwa Pelanggaran HAM 1965-1966 Genosida

    Penulis: Dewasasri M Wardani 09:56 WIB | Sabtu, 23 Juli 2016

    JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Budayawan Franz Magnis Suseno mengatakan peristiwa pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia dalam kurun waktu 1965—1966, dapat digolongkan sebagai genosida.

    Sebab, kata dia, ketika itu berlangsung usaha pemusnahan terhadap golongan tertentu yang berlangsung secara terorganisasi.

    “Peristiwa itu adalah kejahatan terbesar terhadap umat manusia di dunia dalam kurun waktu lima puluh tahun terakhir,” kata pria yang akrab disapa Romo Magnis itu di Jakarta, Jumat (22/7).

    Menurut pria yang lahir di Polandia itu, kejadian pada tahun 1965–1966 yang diduga menelan korban hingga setengah juta jiwa, merupakan sesuatu yang direncanakan dan dimulai dari Jakarta.

    Dari Ibu Kota, pelanggaran HAM kemudian menyebar ke Jawa Tengah, Bali, dan wilayah lain di Indonesia.

    “Saya kira ada unsur balas dendam dalam peristiwa itu,” kata Romo Magnis.

    Tragedi 1965 merupakan salah satu pelanggaran HAM yang dijanjikan Presiden Joko Widodo akan tuntas di masa kepemimpinannya, selain kerusuhan Mei, Trisakti-Semanggi 1 dan 2, Penghilangan Paksa, Talang Sari-Lampung, Tanjung Priok, yang masuk dalam visi-misi dan program aksi berjudul Jalan Perubahan Untuk Indonesia yang Berdaulat, Mandiri dan Berkepribadian, yang berisi penjabaran dari Nawa Cita.

    Sebelumnya, Pengadilan Rakyat Internasional atau International People’s Tribunal (IPT), untuk kasus pelanggaran HAM di Indonesia pada tahun 1965 (IPT 1965) dalam keputusan akhirnya yang dikeluarkan pada Rabu (20/7), juga memvonis Indonesia telah melakukan genosida pada tahun 1965-1966, dengan maksud khusus untuk menghancurkan atau membinasakan kelompok tersebut sebagian atau keseluruhan.

    Genosida, disebut sebagai salah satu dari 10 tindakan kejahatan kemanusiaan yang dilakukan Indonesia pada tahun 1965-1966, terhadap anggota Partai Komunis Indonesia (PKI), terduga PKI, pendukung Presiden Soekarno, anggota radikal Partai Nasional Indonesia (PNI), beserta keluarga mereka.

    Sidang IPT 1965, yang dipimpin oleh Hakim Ketua Zak Yacoob yang pernah menjadi hakim di Mahkamah Konstitusi Afrika Selatan, juga menyatakan pembunuhan terhadap sekitar 400.000 hingga 500.000 orang, melanggar UU KUHP Pasal 138 dan 140 dan UU No 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.

    Selain genosida, Indonesia juga diputuskan telah melakukan hukuman penjara tanpa proses hukum terhadap sekitar 600.000 orang, perbudakan, penyiksaan dalam skala besar, penghilangan secara paksa, kekerasan seksual secara sistemik, pengasingan, propaganda tidak benar, keterlibatan negara lain seperti Amerika Serikat, Inggris, dan Australia.

    Koordinator IPT 1965 Nursyahbani Katjasungkana mengatakan, hasil akhir keputusan tersebut akan diserahkan kepada Presiden Joko Widodo, saat pertemuan dengan korban pelanggaran HAM berat seperti pernah dijanjikan Presiden melalui Juru Bicara Presiden Johan Budi. (Ant)

    Editor : Sotyati

  • Komnas HAM Sebut Sikap Anti-Papua Terjadi 5 Tahun Belakangan di Yogya

    Jumat, 22 Juli 2016 | 21:42 WIB

    JAKARTA, KOMPAS.com – Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Natalius Pigai menyebut bahwa fobia Papua oleh warga Yogyakarta sudah berlangsung lima tahun belakangan.

    Hal itu disampaikan Pigai dalam konfrensi pers terkait hasil penyelidikan Komnas HAM atas peristiwa pengepungan asrama mahasiswa Papua di Yogyakarta yang terjadi beberapa waktu lalu.

    “Sudah 5 tahun anti-Papua sudah berlangsung di Jawa,” kata dia di Jakarta, Jumat (22/7/2016).

    Ia mencontohkan, salah satu sikap anti-Papua itu ditunjukkan ketika mahasiswa asal Papua mencari kos di kota pelajar itu. Pemilik kos biasanya menolak untuk menerima mahasiswa Papua.

    (Baca: Organisasi Papua Barat Merdeka Ditolak Bergabung dengan MSG)

    “Misal ada anak (mahasiswa) Papua cari kos-kosan, misal (saat bertanya) ‘ibu bapak ada kos-koasan kosong?’ ‘ada’, begitu tahu anak Papua langsung ditolak,” kata dia.

    Terkait penggerebekan asrama Mahasiswa Papua dan Pernyataan Sri Sultan Hamengkubuwono X mengenai separatisme tidak boleh ada di Yogyakarta, Natalius menilai bahwa pemerintah harusnya dapat melindungi rakyat.

    Adanya persoalan tersebut membuat kekhawatiran bagi orang-orang Papua, khususnya mahasiswa, yang ada di Yogyakarta.

    (Baca: Komnas Temukan Pelanggaran HAM pada Penggerebekan Asrama Papua)

    “Yang berbahaya adalah masa depan dan keberlangsungan hidup orang-orang papua di Jogja (Yogyakarta), itu tidak pasti,” kata dia.

    Penggerebekan Asrama Mahasiswa Papua Kamasan I, di Jalan Kusumanegara, Kota Yogyakarta pada Jumat (15/07/2016) siang berawal dari rencana aksi damai mahasiswa Papua dan aktivis pro-demokrasi mendukung Persatuan Pergerakan Pembebasan untuk Papua Barat atau United Liberation Movement for West Papua (ULMWP).

    Namun, kegiatan itu batal dilaksanakan lantaran lebih dahulu dibubarkan oleh ratusan personel gabungan dari Polda Daerah Istimewa Yogyakarta, Brigade Mobil, dan organisasi masyarakat.
    Penulis : Fachri Fachrudin
    Editor : Sabrina Asril

  • PM Selandia Baru: Jokowi Janji Selesaikan Masalah HAM Papua

    Penulis: Eben E. Siadari 08:32 WIB | Selasa, 19 Juli 2016

    Presiden Joko Widodo dan Perdana Menteri Selandia Baru, Jhon Key di Istana Negara, Senin 18 Juli (Foto: setkab.go.id)

    JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Dalam pembicarannya dengan Presiden Joko Widodo di Jakarta hari Senin (18/7), Perdana Menteri Selandia Baru mengkonfirmasi bahwa salah satu topik yang mereka bicarakan adalah masalah pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Papua.

    Bahkan dalam pertemuan itu, menurut Key, seperti dilaporkan oleh sebuah media Selandia Baru, newshub.co.nz, Jokowi sendiri yang secara proaktif mengangkat isu tersebut.

    Menurut Key, dibandingkan dengan desakan untuk menghentikan hukuman mati di Indonesia –yang juga menjadi kepedulian Selandia Baru dan dibicarakan dalam pertemuan– Jokowi lebih mudah menerima saran untuk menyelidiki setiap pelanggaran HAM di Papua.

    Masalah pelanggaran HAM di Indonesia telah menjadi sorotoan dunia internasional, termasuk ketika Kepolisian menangkap lebih dari 1.000 orang pada sebuah unjuk rasa menuntut referendum di Papua, belum lama ini.

    Di Selandia Baru, tuntutan agar John Key mengangkat isu pelanggaran HAM Papua dibicarakan dalam pertemuan ini datang dari Partai Hijau.

    Sebelum pertemuan itu, Partai Hijau mendesak Key untuk membahas “memburuknya situasi hak asasi manusia” di Papua.

    Kepada media yang mewawancarainya setelah pertemuan dengan Jokowi, Key mengatakan mantan wali kota Solo itu serius untuk menangani situasi dan isu hak asasi manusia di Papua.

    “Mereka mengangkat secara khusus tentang HAM, dan mengatakan jika ada masalah khusus dengan HAM, maka mereka menangani isu-isu tersebut, mereka menyelidikinya dan memastikan hal itu tidak terulang,” kata dia.

    “Mereka tampaknya cukup tertarik untuk memiliki transparansi yang lebih besar,” ia menambahkan.

    Di bagian lain keterangannya, John Key menekankan bahwa Selandia Baru tidak mempermasalahkan kedaulatan Indonesia di Papua.

    “Kami tidak mempermasalahkan isu kedaulatan di Papua. Saya kira sudah lama Selandia baru memiliki posisi bahwa kami mengakui hak kedaulatan (Indonesia) di wilayah Papua tetapi dalam isu HAM secara luas, kami mengatakan kepada mereka, hal itu akan selalu menjadi kepedulian rakyat Selandia Baru.”

    Menurut John Key, Jokowi dan Menlu Retno Marsudi, “memberikan jaminan kepada kami bahwa mereka menjaga HAM di sana.”

    Ketika ditanya, apakah John Key mempercayai jaminan itu, ia mengatakan bahwa Indonesia telah menciptakan kemajuan nyata dan Indonesia tidak meremehkan keprihatinan Selandia Baru.

    Hukuman Mati

    Sementara itu terkait dengan isu hukuman mati yang dibicarakan pada pertemuan tersebut, John Key mengatakan ia memahami bahwa Indonesia belum dapat menghapus hukuman jenis itu.

    Pada hari yang sama dengan pertemuan, Amnesty International menyerukan agar Key membicarakan masalah hukuman mati dengan Jokowi, yang tahun lalu saja, digunakan setidaknya 14 kali di Indonesia.

    Jaksa Agung mengindikasikan bulan lalu bahwa 16 orang ditetapkan untuk menghadapi regu tembak tahun ini, dan mereka memiliki anggaran untuk mengeksekusi 30 lainnya pada tahun 2017.

    Key mengatakan ia menyampaikan kepada Jokowi bahwa Selandia Baru sangat menentang penggunaan hukuman mati. Tapi dia tidak mengharapkan perubahan dalam waktu dekat.

    “Kami menyampaikan perasaan kami bahwa hukuman mati adalah sesuatu yang kami tidak dapat terima dan dukung, meskipun beratnya kejahatan yang dilakukan oleh orang yang dikenai hukuman mati itu,” kata dia.

    Namun, Key memahami bahwa Indonesia tidak mungkin dalam waktu dekat dapat mengubah hal itu.

    “Indonesia menghadapi masalah narkotika yang besar, mereka menghadapi banyaknya orang Indonesia pecandu dan mencoba untuk mengirim pesan yang kuat, sekarang kita di Selandia Baru percaya bahwa hal itu dapat dikatakan dengan cara yang berbeda. ”

    Isu lain yang dibicarakan pada pertemuan itu adalah masalah hubungan ekonomi. Key secara khusus mengatakan yakin akan dicapai kesepakatan mengenai ekspor daging sapi Selandia Baru ke Indonesia.

    Editor : Eben E. Siadari

  • Polisi Imbau Masyarakat tak Termakan Isu Kekerasan Mahasiswa Papua

    Selasa, 19 Juli 2016, 09:48 WIB, Rep: Rizma Riyandi/ Red: Bilal Ramadhan

    REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN — Usai aksi demo dari sekelompok mahasiswa asal Papua di Asrama Papua Kamasan Yogyakarta pada 14 dan 15 Juli, muncul berbagai pemberitaan yang tidak sesuai dengan fakta di lapangan.

    Kepala Bidang Humas Polda DIY, AKBP Anny Pudjiastuti menuturkan, ada pihak-pihak yang sengaja menebar isu dengan tujuan mempekeruh keadaan atau membiaskan alasan mengapa aksi tersebut tidak mendapat izin.

    “Padahal aksi tersebut sudah sepatutnya dibubarkan guna menghindari konflik dengan masyarakat dan mencegah munculnya korban,” tuturnya, Selasa (19/7).

    Menurutnya, ada beberapa isu yang sengaja disebarluaskan, namun bertentangan dengan fakta di lapangan, di antaranya adanya isu pengepungan dan isolasi terhadap asrama Papua Kamasan hingga berakibat penghuni kelaparan dan sakit.

    “Faktanya upaya petugas agar aksi digelar di dalam asrama guna antisipasi terjadinya keributan di tempat umum. Di dalam asrama banyak terdapat persediaan makanan sehingga tidak ada yang kelaparan,” ujarnya.

    Kemudian ada isu terjadi situasi rusuh dan pemukulan dan perusakan oleh peserta aksi terhadap warga umum yang lewat. “Faktanya situasi kondusif. Ketegangan kecil hanya terjadi saat massa didorong masuk ke dalam asrama,” papar Anny.

    Saat pelaksanaan sweeping di area belakang asrama Kamasan, lanjutnya, ditemukan enam warga Papua bersepada motor yang masih berada di luar dan ada yang membawa panah. Saat hendak diberi pengarahan dan ditanya surat identitas serta SIM, mereka malah lari dan ada yg memukul petugas.

    “Di sisi lain mereka juga tidak bisa tunjukan SIM. Maka itu mereka diamankan,” tegasnya.

  • PM Selandia Baru: Jokowi Janji Selesaikan Masalah HAM Papua

    Penulis: Eben E. Siadari 08:32 WIB | Selasa, 19 Juli 2016

    JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Dalam pembicarannya dengan Presiden Joko Widodo di Jakarta hari Senin (18/7), Perdana Menteri Selandia Baru mengkonfirmasi bahwa salah satu topik yang mereka bicarakan adalah masalah pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Papua.

    Bahkan dalam pertemuan itu, menurut Key, seperti dilaporkan oleh sebuah media Selandia Baru, newshub.co.nz, Jokowi sendiri yang secara proaktif mengangkat isu tersebut.

    Menurut Key, dibandingkan dengan desakan untuk menghentikan hukuman mati di Indonesia –yang juga menjadi kepedulian Selandia Baru dan dibicarakan dalam pertemuan– Jokowi lebih mudah menerima saran untuk menyelidiki setiap pelanggaran HAM di Papua.

    Masalah pelanggaran HAM di Indonesia telah menjadi sorotoan dunia internasional, termasuk ketika Kepolisian menangkap lebih dari 1.000 orang pada sebuah unjuk rasa menuntut referendum di Papua, belum lama ini.

    Di Selandia Baru, tuntutan agar John Key mengangkat isu pelanggaran HAM Papua dibicarakan dalam pertemuan ini datang dari Partai Hijau.

    Sebelum pertemuan itu, Partai Hijau mendesak Key untuk membahas “memburuknya situasi hak asasi manusia” di Papua.

    Kepada media yang mewawancarainya setelah pertemuan dengan Jokowi, Key mengatakan mantan wali kota Solo itu serius untuk menangani situasi dan isu hak asasi manusia di Papua.

    “Mereka mengangkat secara khusus tentang HAM, dan mengatakan jika ada masalah khusus dengan HAM, maka mereka menangani isu-isu tersebut, mereka menyelidikinya dan memastikan hal itu tidak terulang,” kata dia.

    “Mereka tampaknya cukup tertarik untuk memiliki transparansi yang lebih besar,” ia menambahkan.

    Di bagian lain keterangannya, John Key menekankan bahwa Selandia Baru tidak mempermasalahkan kedaulatan Indonesia di Papua.

    “Kami tidak mempermasalahkan isu kedaulatan di Papua. Saya kira sudah lama Selandia baru memiliki posisi bahwa kami mengakui hak kedaulatan (Indonesia) di wilayah Papua tetapi dalam isu HAM secara luas, kami mengatakan kepada mereka, hal itu akan selalu menjadi kepedulian rakyat Selandia Baru.”

    Menurut John Key, Jokowi dan Menlu Retno Marsudi, “memberikan jaminan kepada kami bahwa mereka menjaga HAM di sana.”

    Ketika ditanya, apakah John Key mempercayai jaminan itu, ia mengatakan bahwa Indonesia telah menciptakan kemajuan nyata dan Indonesia tidak meremehkan keprihatinan Selandia Baru.

    Hukuman Mati

    Sementara itu terkait dengan isu hukuman mati yang dibicarakan pada pertemuan tersebut, John Key mengatakan ia memahami bahwa Indonesia belum dapat menghapus hukuman jenis itu.

    Pada hari yang sama dengan pertemuan, Amnesty International menyerukan agar Key membicarakan masalah hukuman mati dengan Jokowi, yang tahun lalu saja, digunakan setidaknya 14 kali di Indonesia.

    Jaksa Agung mengindikasikan bulan lalu bahwa 16 orang ditetapkan untuk menghadapi regu tembak tahun ini, dan mereka memiliki anggaran untuk mengeksekusi 30 lainnya pada tahun 2017.

    Key mengatakan ia menyampaikan kepada Jokowi bahwa Selandia Baru sangat menentang penggunaan hukuman mati. Tapi dia tidak mengharapkan perubahan dalam waktu dekat.

    “Kami menyampaikan perasaan kami bahwa hukuman mati adalah sesuatu yang kami tidak dapat terima dan dukung, meskipun beratnya kejahatan yang dilakukan oleh orang yang dikenai hukuman mati itu,” kata dia.

    Namun, Key memahami bahwa Indonesia tidak mungkin dalam waktu dekat dapat mengubah hal itu.

    “Indonesia menghadapi masalah narkotika yang besar, mereka menghadapi banyaknya orang Indonesia pecandu dan mencoba untuk mengirim pesan yang kuat, sekarang kita di Selandia Baru percaya bahwa hal itu dapat dikatakan dengan cara yang berbeda. ”

    Isu lain yang dibicarakan pada pertemuan itu adalah masalah hubungan ekonomi. Key secara khusus mengatakan yakin akan dicapai kesepakatan mengenai ekspor daging sapi Selandia Baru ke Indonesia.

    Editor : Eben E. Siadari

  • Kapolri Diminta Jelaskan Soal Insiden Mahasiswa Papua di Yogyakarta

    Monday, 18 July 2016, 19:28 WIB, Rep: Qommarria Rostanti/ Red: Bilal Ramadhan

    nggota polisi berjaga saat aksi tolak OPM di depan Asrama Mahasiswa Papua, DI Yogyakarta, Jumat (15/7).
    nggota polisi berjaga saat aksi tolak OPM di depan Asrama Mahasiswa Papua, DI Yogyakarta, Jumat (15/7).

    REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Sejak setahun terakhir, warga negara Indonesia asal Papua dinilai mengalami kekerasan berlanjut. Hal tersebut lantaran pelarangan menyampaikan aspirasi melalui demonstrasi dan kebebasan berekspresi lainnya.

    Kejadian terakhir adalah peristiwa di Yogyakarta pada Jumat (15/7). Direktur Riset Setara Institute Ismail Hasani mengatakan, demonstrasi adalah bentuk kebebasan berekspresi apa pun tema yang disampaikannya.

    Bahkan, aspirasi pembebasan Papua juga sah untuk disampaikan dalam sebuah demonstrasi sebagai bentuk protes atas ketidakadilan yang dialami oleh warga Papua.

    “Selama demonstrasi itu disampaikan secara damai dan tidak adanya tindakan permulaan yang menunjukkan adanya makar maka polisi apalagi ormas tidak boleh membatasi, melarang, dan menghakimi dengan kekerasan,” ujarnya dalam keterangan pers yang diterima Republika.co.id, Jumat (18/7).

    Ismail mengatakan, penggunaan ormas tertentu atau pembiaran ormas dalam menghadapi aspirasi masyarakat yang berbeda adalah modus lama yang ditujukan untuk membersihkan tangan polisi sebagai aparat keamanan.

    Dengan melibatkan atau membiarkan ormas, maka polisi terhindari dari tuduhan melakukan kekerasan. “Padahal, membiarkan seseorang atau ormas melakukan kekerasan adalah tindakan pelanggaran HAM (violation by omission–Red),” kata pengajar hukum tata negara di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta ini.

    Menurut dia, Kapolri Tito Karnavian harus menjelaskan peristiwa di Yogyakarta secara gamblang agar kepercayaan publik tidak segera luntur di masa kepemimpinannya. Ismail menyebut Tito mempunyai pandangan agak konservatif perihal pembatasan HAM, seperti dalam kasus teorisme.

    “Tetapi, membiarkan tindakan kekerasan terus-menerus terhadap warga Papua adalah tindakan pelanggaran HAM dan bertentangan dengan semangat Jokowi yang berkali-kali menegaskan hendak mengatasi persoalan Papua secara holistik,” ujarnya.

    Polri harus bertindak adil dengan menghukum anggota ormas yang melakukan kekerasan. Menurut Ismail, apa pun argumen ormas tersebut, baik rasialisme, ujaran kebencian, dan kekerasan telah secara nyata diperagakan. Tindakan main hakim sendiri (vigilantisme) adalah pelanggaran hukum.

  • West Papua Issue is NOT Just About Being “Pity” with Melanesians in West Papua

    West Papua Issues is NOT Only about Melanesian brothers and sisters across the South Pacific to feel sorry and pity about the human suffering occurring in the Western half of New Guinea Island since the invasion and occupation of the territory by Indonesian nation-state since 1961. General Mathias Wenda the Commander in Chief of the West Papua Revolutionary Army (WPRA) says,

    West Papua issue is not just regarding those of us Melanesians who were born and grown up in West Papua as being suffering from Indonesian invasion and occupation. It is more than that. It is to do with our common goal, shared fate, shared future, the common destiny of “Melanesia” as a human society in the South Pacific Region. The modernisation project has brought about catastrophic consequences on us in our region, but it does not mean we blame anybody or anything. It means, we as human beings, as human society, should stand up, think about, discusses, speak up, and act upon steps towards saving our own future.

    General Wenda continues,

     

    We are not talking about economic development, regional security and stability,nor pleasing Indonesia and the Western interests in the Pacific Rim. We are not talking about what is prosperity and how to achieve it. We are talking about the very survival or our Melaneisan race in our region. We are talking about the future of own children and grand-children. We are talking about hundreds of years to come. Yes, we hsave to be ready to accept that some of the islands in our region will sink. Of course, global warming is a reality that we must not regret but should anticipate from now on. Yes, this is why the Suva Declaration on Climate Change has the rightful Melanesian spirit, as it is directly to do with our own future. When we do sit down ourselves as Melanesians, without western and Asian interests and influences, then we can see we have our wisdom aired and decisions made addressing the “real needs” and “strategic issues” of Melanesian peoples and the South Pacific Region.

    General Wenda also emphasizes that besides MSG as the regional body under the Pacific Island Forum (PIF), involving parties outside Melanesians, Micronesians and Polynesians, our Pacific Islands Development Forum (PIDF) is established on our own interest, to deal with our own issues.  PIDF is the native “Melanesian organisation”, that we needs to raise and nurture for our own sake.

    Unity among Melanesians as a family is the key towards “Good News” for our future generations. We should not be fooled by security issues, regional peace issues, development issues that are being aired by Australia, New Zealand and Indonesia. We need to think first of all about “our own existence” in the coming 100 – 200 years in our small islands before we talk about wealth and prosperity, peace and justice, development and modernisation.

    General Wenda maintains that New Guinea Island is the homeland of all Melanesians,

    This Island is our Island, out future, out home, our fate is based on this Island. We should not allow foreigners occupy and exploit, take over and wipe our our Melanesian race. If this happens, then where will al Melanesians go? Australia? Sorry but our Aboriginal brothers and sisters have been occupied. They have no power to make decisions when anything happens to our small islands.

    Our only hope is the Isle of New Guinea. Anytime, in the future, when anything happens in our small islands, every Melanesian man and woman knows that each of us has our big home-land, that is, the Isle of New Guinea. It is time now, to wisely and strategically prepare for our future generations, by saving West Papua for our own sake. Before we regret, before our children regret, before our grand-children put curse upon us for not acting wisely now, let us be wise, let us make up our minds in the spirit of Melanesia wisdom, in Melanesia way, based on Melanesia beliefs and philosophy.

    Yes, we Melanesians in West Papua are being continuously killed, being systematically, structurally, and extensively being wiped out under the Indonesian project called “Pan-Pacific Rim of Great Indonesia” designed by Soekarno and Ali Murtopo in 1960s. Papua New Guinea is diplomaticall, not politically, fully under Indonesian control right now, by employing Indonesian strategy called “fear-and-terror” and conquer. In not long time to come, Papua New Guinea will be occupied diplomatically by Indonesia.

    That is why, we are now, I am now, General Mathias Wenda, asking not for all Melanesian leaders not to feel pity about us Melanesians in West Papua. Let us take what is happening in West Papua as a “waking-up alarm” for all Melanesian leaders, to strategically think, tactically plan, and wisely act to save our Melanesian fate, politically, socially, culturally, and more importantly environmentally.

  • TNI ganti tiga batalyon pasukan perbatasan RI-PNG

    Jayapura (Antara Papua) – Pimpinan TNI mengganti tiga batalyon pasukan pengamanan perbatasan RI-PNG untuk masa tugas sembilan bulan ke depan.

    Pada rilis yang diterima Antara di Jayapura, Provinsi Papua, disebutkan Batalyon Infanteri (Yonif) Linud 700/R, Yonif 122/Tombak Sakti dan Yonif Mekanis 516/CY telah tiba di Bumi Cenderawasih pada Minggu (10/7) melalui Pelabuhan Jayapura.

    Rencananya ketiga batalyon tersebut akan bertugas di bumi Cenderawasih sebagai Satgas Pamtas di wilayah Keerom menggantikan pasukan terdahulu dari Yonif 411/Raider, Yonif 431/Kostrad dan Yonif 406/CK yang sudah selesai melaksanakan tugas selama sembilan.

    Pasukan Satgas Pamtas RI-PNG yang baru datang kini masih ditampung di Makodam Cenderawasih dan akan menerima pembekalan serta penjelasan tentang wilayah Papua agar memudahkan para prajurit untuk berdaptasi dengan lingkungan dan masyarakat dimana mereka bertugas nantinya.

    Rencananya Satgas Pamtas Yonif 122/TS akan menempati Pos Sektor Japra Keerom, Yonif Mekanis 516/CY akan menempati Sektor Tengah Keerom dan Yonif 700/Raider menempati sektor Bawah Pegunungan Bintang.

    Kepala Penerangan Kodam (Kapendam) XVII/Cenderawasih Kolonel Inf Teguh Pudji Raharjo mengatakan pergantian pasukan itu dimaksudkan agar prajurit yang melaksanakan tugas Satgas Pamtas tetap fresh dan tidak mengalami kejenuhan, sehingga tugas dapat terlaksana dengan baik.

    Sebelum memasuki pos-pos Pamtas, Satgas akan mendapatkan pembekalan terlebih dahulu tentang situasi Papua secara umum maupun secara khusus baik geografi, demografi maupun kondisi sosial.

    “Diharapkan dalam melaksanakan tugas di lapangan nantinya bisa cepat beradaptasi dengan lingkungan di sekitar tempat penugasannya,” ujarnya.

    Pembekalan diberikan oleh Pangdam XVII/Cenderawasih selaku Pangkoops dan Danrem 172/PWY selaku Dankolakops Rem 172/PWY serta dari Pemda Keerom.

    Setelah selesai mendapatkan pembekalan Satgas Pamtas tersebut baru masuk ke pos-pos yang telah ditentukan oleh Komando atas untuk melaksanakan tugas Pamtas RI-PNG di wilayah tugas masing-masing. (*)

    Editor: Anwar Maga

    COPYRIGHT © ANTARA 2016

  • TNI dan Polri di Biak Numfor Patroli Bersama 1 Juli

    Berita , Peristiwa , salampapua.com

    SAPA (BIAK) – Jelang 1 Juli nanti, TNI dan Polri di Kabupaten Biak Numfor akan melakukan patroli bersama pada daerah rawan dalam upaya mengantisipasi gangguan kamtibmas di wilayah itu.

    “Setiap tanggal 1 Juli seringkali dijadikan kelompok separatis sebagai hari bersejarah Papua Barat sehingga perlu diantisipasi dengan berpatroli bersama TNI-Polri,” ungkap Kepala Bagian Operasi Polres Biak Komisaris Polisi Fauzan di Biak, Rabu.

    Ia mengatakan, sasaran patroli bersama pada wilayah distrik Biak Timur, Biak Barat sekitarnya serta wilayah kampung lain yang dianggap rawan gangguan kamtibmas.

    Kabag Ops Komisaris Fauzan berharap, dengan dilakukan patroli bersama akan memberikan rasa nyaman dan aman kepada masyarakat Kabupaten Biak Numfor dalam menjalankan aktivitas rutin keseharian dengan normal.

    Dalam suasana umat muslim menjalankan ibadah puasa Ramadhan yang juga menyambut perayaan hari raya Idul Fitri 1437 H, menurut Kompol Fauzan, warga Biak harus membantu aparat keamanan TNI-Polri untuk senantiasa mewujudkan Biak selalu kondusif.

    “Dengan situasi Biak tetap kondusif maka mendukung semua program pembangunan pemerintah dan setiap aktivitas masyarakat berjalan dengan lancar setiap waktu,” tegasnya.

    Dia mengingatkan, warga Biak ikut serta untuk memberikan informasi kepada aparat penegak hukum jika menemukan aktivitas sekelompok orang yang akan mengganggu kambtimas Biak yang dikenal sangat kondusif.

    Hingga Rabu pagi, aktivitas kamtibmas di Kabupaten Biak Numfor sangat kondusif karena berbagai kegiatan pelayanan publik seperti bandara, pelabuhan laut, angkutan umum, pasar tetap beroperasi normal melayani kebutuhan warga Biak sekitarnya. (ant)

  • Perbatasan Indonesia-Papua Nugini Jadi Tempat Pelarian Buron

    REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Kondisi di daerah perbatasan Republik Indonesia (RI) dan Papua Nugini sering digunakan sebagai tempat pelarian orang-orang yang melakukan pelanggaran hukum. Mereka bertahan di sana lantaran pengaruh politik utamanya yang terlibat dalam gerakan separatis.

    Di sisi lain, sebagian kecil kelompok yang ingin memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) masih sering menunjukkan eksistensinya. Misalnya dengan melakukan aksi kekerasan dan perlawan bersenjata yang sasarannya adalah aparat keamanan baik TNI maupun Polri.

    Pangdam VII Wirabuana Mayjend TNI Agus Surya Bakti mengatakan, penugasan prajurit ke daerah operasi (perbatasan) merupakan wujud nyata pengabdian dan dan kehormatan terhadap bangsa dan negara demi kokohnya persatuan dan kesatuan bangsa.

    “Bagi prajurit yang sudah pernah bertugas ke daerah operasi, ini akan menambah pengalaman dan memungkinkan menemukan hal-hal baru, dan bagi yang pertama kali bertugas menjadi kesempatan berharga dalam kariernya,” ujar Agus, Kamis (30/6).

    Persiapan dan pembekalan yang diterima sebelum menjalankan tugas menjadi pedoman dan modal dasar bagi satuan tugas dalam menghadapi berbagai kemungkinan permasalahan yang ada di lapangan. Dengan begitu, potensi timbulnya konflik dapat diantisipasi secara profesional.

    Selama menjalankan tugas, prajurit TNI diminta merangkul masyarakat setempat dan menghormati adat istiadat masyarakat setempat. Mereka juga harus mengedepankan pendekatan persuasif dari persoalan yang dihadapi.

    Baru-baru ini Satgas Yonif Raider 700/WYC memberangkatkan para prajurit dalam Rangka Operasi Pengamanan Perbatasan Darat RI-Papua Nugini di Wilayah Papua. Selama sembilan bulan mereka akan berada di daerah perbatasan Papua dan Papua Nugini menjalankan operasi pengamanan di perbatasan darat di perbatasan Papua.

    Wali Kota Makassar Mohammad Ramdhan ‘Danny’ Pomanto yang menjadi inspektur upacara pemberangkatan tersebut meminta setiap prajurit menjaga kepercayaan yang diembankan negara. “Kepercayaan ini merupakan kehormatan dan tugas mulia untuk dipertanggungjawabkan serta dilaksanakan dengan sebaik-baiknya,” kata Danny.

    Keberadaan prajurit TNI di daerah perbatasan penting untuk menjaga keamanan wilayah demi mempertahankan tetap tegaknya NKRI. Selama menjalankan tugas mereka diharapkan berperilaku positif agar keberadaan mereka di daerah perbatasan mendapatkan pengakuan dan penerimaan secara baik oleh masyarakat.

Are you sure want to unlock this post?
Unlock left : 0
Are you sure want to cancel subscription?