Category: Focus Post

You can add some category description here.

  • Bishop visit to West Papua welcomed cautiously

    RedioNZ – The United Liberation Movement for West Papua has cautiously welcomed news that Australia’s Foreign Minister is to visit Indonesian-ruled Papua region this year.

    Julie Bishop gave an undertaking to visit later this year, during talks in Jakarta this week with Indonesia’s government which has been touting a policy of openness about Papua.

    This comes amid ongoing calls by Pacific Island governments for the United Nations to probe reports of widespread human rights abuses against West Papuans.

    The matter is highly sensitive to Jakarta which opposes any outside interference in what it considers domestic affairs.

    Last month, Australia’s prime minister Malcom Turnbull reassured Indonesia’s President Joko Widodo of Canberra’s support for Indonesian sovereignty over Papua.

    While Ms Bishop’s visit is not being described as a human rights fact-finding mission, the Liberation Movement says it is important that other governments find out more about the situation in Papua.

    The secretary-general of the United Liberation Movement for West Papua, Octo Mote (centre) talks to New Zealand MPs, including Steffan Browning (right).
    The secretary-general of the United Liberation Movement for West Papua, Octo Mote (centre) talks to New Zealand MPs, including Steffan Browning (right). Photo: RNZI / Johnny Blades

    The Movement, which has observer status in the Melanesian Spearhead Group, urges Indonesia’s government to allow Julie Bishop unfettered access to West Papuan community groups.

    According to a spokesman for the Movement, a short and restricted visit to Papua by MSG Foreign Ministers in 2014 was evidence that Jakarta had so far failed to allow foreign governments open access to the region.

    Indonesia is accused by the Movement of waging slow-motion genocide in Papua.

    The West Papuan representative group cites evidence of simmering armed conflict, unrest, extra-judicial killings and jailings of Papuans, and marginalisation of their culture.

  • PIANGO: “Indonesia tak bisa lagi pura-pura polos di Panggung PBB”

    Nabire, Jubi – Asosiasi NGO Kepulauan Pasifik menuding respon Indonesia terhadap pidato Vanuatu di Sidang Dewan HAM PBB (UNHRC) ke-34 sebagai upaya pengalihan perhatian komunitas internasional terhadap pelanggaran HAM yang terus terjadi di West Papua.

    Emele Duituturaga, direktur eksekutif PIANGO sampai pada kesimpulan itu  setelah Indonesia menuding Vanuatu “memolitisasi isu West Papua untuk tujuan politik domestiknya” dalam respon hak jawabnya di UNHRC di Jenewa (1/3).

    “Reaksi Indonesia ini sangat kekanak-kanakan, dan sebetulnya hanya menelanjangi ketiadaan kemanuannya untuk menghormati dan menegakkan nilai-nilai yang menjadi milik komunitas internasional bangsa-bangsa , yaitu PBB,” ujar Duituturaga seperti dikutip Pacific Islands News Association, Minggu (5/3/2017).

    Respon Indonesia, menurut dia adalah ciri khas politik ‘pecah belah dan menangkan’ dengan menjatuhkan Vanuatu namun kemudian menawarkan bantuan untuk isu-isu dugaan pelanggaran HAM-nya, “Itu sebetulnya (kepanikan) untuk merespon permintaan Koalisi Pasifik memperlakukan anggota keluarga Pasifik, yakni West Papua, dengan hormat dan bermartabat,” kata dia.

    Menurut Duituturaga, Koalisi Kepulauan Pasifik untuk West Papua (PICWP) tidak akan meminta PBB mengirimkan Pelapor Khususnya ke West Papua jika mereka tidak memegang banyak bukti atas apa yang dialami rakyat West Papua.

    Berdasarkan laporan HAM terkait West Papua, jumlah korban dan kasus-kasus pembunuhan diluar peradilan dan penyiksaan tidak berkurang signifikan dari 2012 sampai 2016.

     “Penahanan politis meningkat tiga tahun terakhir, dan semua korban penyiksaan dan pembunuhan dari data mitra kami adalah orang asli Papua. Sementara orang asli Papua hanya sekitar 40% dari penduduk Papua namun mereka lah 100% dari korban. Ini jelas wujud elemen kekerasan rasial oleh praktik aparat keamanan.”

    Sejak tahun 2007 Indonesia juga tidak mengijinkan prosedur khusus apapun mengunjungi West Papua, dan wilayah itu, lajut Duitutraga sebagian besar tetap tertutup bagi para pengamat HAM internasional. “Jurnalis asing pun tidak bisa dengan bebas melakukan liputan karena ditemani intel, sehingga sulit membuat laporan independen,” tudingnya.

    “Ketika bukti-bukti sudah sangat banyak tunjukkan ribuan orang West Papua yang merupakan penduduk Kepulauan Pasifik kehilangan nyawanya, dan mereka berjuang memberikan pandangan alternatif untuk mengelola sumber daya mereka sendiri hingga memotivasi negeri Pasifik membangun koalisi, maka sekarang Indonesia harus menyadari tak bisa lagi pura-pura polos di panggung PBB,”

    ungkap Duituturaga.

    Sementara itu, terpisah pada Jum’at lalu, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri RI Arrmanatha Nasir, seperti dilansir CNN Indonesia mengklaim bahwa PBB tidak akan menyelidiki isu pelanggaran HAM tersebut, karena menurut dia pernyataan Vanuatu hanya sebatas kekhawatiran politis dan bukan berdasarkan penyelidikan.

    “Kalau [pelanggaran HAM] itu ada, pasti akan menjadi sorotan dari publik dan mekanisme yang berlaku di Indonesia,” kata Arrmanatha di Gedung Kemlu RI.

    Menurut Nasir, pernyataan Vanuatu itu bukan pernyataan berdasar investigasi, melainkan hanya bersifat politis sehingga tidak bisa langsung ditindaklanjuti.(*)

    Reporter :Zely Ariane
    zely.ariane@tabloidjubi.com
  • Kemenlu: PBB tak akan Selidiki HAM Papua

    REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — ‎Kementerian Luar Negeri memastikan Perserikatan Bangsa bangsa (PBB) tidak akan melakukan penyelidikan terkait persoalan hak asasi manusia (HAM) yang ada di Papua.  Hal ini karena permintaan tujuh negara Pasifik saat sidang Dewan HAM di Jenewa dianggap tidak memiliki cukup bukti.

    Menteri Luar Negeri Retno Marsudi mengatakan, ‎pada saat sidang Dewan HAM di Jenewa, Pemerintah Indonesia telah mengirimkan Right of Reply (Hak Jawab) terkait dengan pernyataan untuk penyelidikan HAM di Papua.

    “Kita sebutkan posisi Indonesia. Ada di Right of Reply,” kata Retno ditemui di kantornya, Jumat (3/3).

    ‎Menurutnya pernyataan dari pernyataan dari Menteri Kehakiman Vanuatu Ronald Warsal ‎ yang mengatasnamakan tujuh negara bersama Tonga, Nauru, Palau, Tuvalu, Kepulauan Marshall dan Kepulauan Solomon‎, kurang tepat dengan kondisi saat ini di Indonesia. Untuk itu, hak jawab dianggap telah cukup memperjelas posisi Indonesia atas Papua.‎

    Juru Bicara Kemenlu Arrmanatha Nasir menjelaskan, penjelasan Ronald Warsar dianggap oleh Pemerintah Indonesia tidak akurat sepenuhnya, tidak tepat, dan tak merefleksikan kenyataan di lapangan (Papua) saat ini.

    Indonesia menekankan bahwa dalam dua tahun terakhir, pemerintah telah memberikan perhatian tinggi bagi masyarakat Papua. Pemerintah telah banyak melakukan pembangunan infrastruktur, perbaikan sumber daya manusia (SDM).

    Kondisi perpolitikan dan demokrasi di Indonesia juga terbilang sangat dinamis. Pers memiliki kebebasan untuk memberitakan banyak hal. Termasuk dengan permasalah di daerah, seperti di Papua.

    ‎Dengan kondisi ini, Arrmanatha justru mempertanyakan kepada perwakilan dari negara yang ingin menyudutkan Indonesia, apakah keinginan mereka untuk melakukan penyelidikan terkait dengan persoalam HAM, atau hal lain yakni kemerdekaan Papua.

    “Ini masalah HAM, atau justru (7 negara) ingin menunjukan dukungan terhadap upaya separatis yang ada di Papua?,” ujar Arrmanatha.

  • Tujuh negara Pasifik tuntut PBB tangani keseluruhan situasi West Papua

    H.E. Hon Ronald Kay Warsal, Menteri Kehakiman dan Pemabangunan Masyarakat Vanuatu, mewakili 7 Negara Pasifik meminta perhatian PBB atas situasi keseluruhan West Papua di hadapan Sidang Dewan HAM PBB ke-34 - IST
    H.E. Hon Ronald Kay Warsal, Menteri Kehakiman dan Pemabangunan Masyarakat Vanuatu, mewakili 7 Negara Pasifik meminta perhatian PBB atas situasi keseluruhan West Papua di hadapan Sidang Dewan HAM PBB ke-34 – IST

    Jayapura, Jubi Lambatnya tindakan nyata pemerintah Indonesia terhadap berbagai rekomendasi PBB dan laporan HAM terkait West Papua, membuat tujuh negara-negara Pasifik desak PBB tangani situasi West Papua secara menyeluruh melalui laporan terpadu terkait situasi sebenarnya di West Papua.

    Tujuh negara yang tergabung dalam Koalisi Kepulauan Pasifik untuk West Papua (PCWP) itu, diwakili Vanuatu, kali ini menegaskan desakannya kepada Presiden Dewan HAM dihadapan Sidang ke-34 Dewan HAM PBB, Rabu (1/3/2017) di Jenewa, Swiss.

    Mewakili Tonga, Nauru, Palau, Tuvalu, Kepulauan Marshall, dan Kepulauan Solomon,Hon Ronald Kay Warsal, Menteri Kehakiman dan Pembangunan Komunitas Vanuatu, meminta Dewan HAM PBB memerintahkan Komisioner Tinggi HAM PBB agar membuat laporan terkonsolidasi terkait situasi sebenarnya West Papua.

    “Tuan Presiden, mencermati berbagai pelanggaran (HAM) dan lambatnya tindakan pemerintah Indonesia, kami serukan kepada Dewan HAM PBB untuk meminta Komisioner Tinggi HAM membuat laporan terpadu atas situasi aktual di West Papua,” ujar Warsal.

    Pasalnya, lanjut Warsal, beberapa pernyataan baru-baru ini dari pemegang mandat Dewan HAM PBB terkait pelanggaran HAM serius yang dilakukan Indonesia terhadap masyarakat asli Papua, tidak kunjung mendapat respon tindak lanjut dari Pemerintah Indonesia.

    Pemegang mandat yang dimaksud adalah Pelapor Khusus PBB untuk promosi dan perlindungan hak kebebasan berpendapat dan berekspresi; Pelapor Khusus PBB untuk kebebasan berkumpul dan berorganisasi; Pelapor Khusus PBB untuk hak-hak masyarakat adat; Pelapor Khusus PBB untuk eksekusi sewenang-wenang dan diluar hukum; serta Pelapor Khusus PBB untuk penyiksaan dan berbagai tindakan tidak manusiawi lainnya.

    “Kami juga meminta PBB menaruh perhatian pada pelanggaran HAM negara Indonesia lainnya di West Papua, termasuk komunikasi dari Komite PBB untuk Penghapusan Diskriminasi Rasial (CERD), yang merujuk pada pembunuhan dan penangkapan orang-orang Papua,” ujar Warsal.

    PCWP juga menuntut perhatian Dewan HAM PBB terhadap sejumlah laporan lengkap terkait eksekusi aktivis dan penangkapan di luar hukum, pemukulan dan penembakan mematikan terhadap aksi-aksi damai, termasuk pelajar.

    Situasi kekerasan terhadap perempuan Papua juga menjadi bagian yang dituntut PCWP untuk diperhatikan PBB.

    Tahun lalu 7 negara Pasifik yang tergabung dalam PCWP ini juga angkat bicara terkait isu West Papua di Sidang Tahunan Majelis Umum PBB.

    Sesalkan pemerintah Indonesia

    Warsal secara khusus memberikan catatan negative terhadap kinerja pemerintah Indonesia dalam penyelesaian kasus-kasus dugaan pelanggaran HAM di West Papua. Secara khusus mereka menekankan pelanggaran HAM berat oleh aparat keamanan Indonesia di tiga wilayah West Papua: Wasior, Wamena dan Paniai yang sudah mendapat rekomendasi jelas dari KOMNAS HAM.

    “Seharusnya sudah bisa dihukum menurut hukum Indonesia dan internasional,” tegas Warsal.

    Pernyataan yang ditunggu-tunggu cukup banyak pendukung kemerdekaan Papua pengguna media sosial ini juga menggarisbawahi aspek pelanggaran HAM lainnya oleh pemerintah Indonesia yang menurut mereka telah terjadi puluhan tahun namun dibiarkan sampai saat ini, yaitu migrasi.

    “Migrasi dari orang-orang non Papua ke West Papua telah mengarah pada penurunan dramatis prosentase populasi masyarakat asli Papua.”

    Pemerintah Indonesia, menurut PCWP, hingga saat ini tidak dapat mengurangi atau menghentikan pelanggaran HAM yang beragam dan meluas tersebut. “Tidak ada tindakan segera yang dilakukan pemerintah untuk memberi keadilan pada korban, apalagi yang bertanggung jawba dan transparan.”

    Mereka juga mengingatkan bahwa pemerintah Indonesia sampai saat ini tidak mengumpulkan laporan periodic HAM yang menjadi norma internasional bagi seluruh anggota PBB.

    Desakan terpadu

    Kali ini PCWP meminta perhatian Dewan HAM PBB lebih menyeluruh, terpadu atau tidak parsial terhadap situasi pelanggaran HAM di Papua dengan memperhatikan seluruh prosedur dan perjanjian internasional yang relevan.

    “Laporan Komisioner Tinggi harus memperhatikan informasi dari Perjanjian yang ada, Prosedur Khusus, dan Universal Periodic Review, termasuk laporan dari organisasi-organisasi regional dan internasional serta organisasi non-pemerintah, termasuk semua peraturan Internasional menyangkut HAM, konvensi-konvensi terkait, serta hak penentuan nasib sendiri,” tegas Warsal.

    Mereka berharap laporan itu juga akan membuat rekomendasi tindakan untuk menghentikan pelanggaran HAM di Papua, serta akses penuh semua orang di West Papua yang diperlukan untuk pembuatan laporan terpadu tersebut.

    “Tuan Presiden, sebagai penutup saya percaya bahwa tantangan-tantangan terkait West Papua harus dikembalikan menjadi agenda Perserikatan Bangsa Bangsa,” tegas Warsal di penghujung pidatonya.

    Respon Koalisi Internasional untuk Papua

    Sebelumnya, Koalisi Internasional untuk Papua (ICP) telah meminta Indonesia untuk membuka akses ke Papua Barat bagi wartawan internasional, pengamat independen, organisasi hak asasi manusia dan Palang Merah Internasional (ICRC).

    ICP yang didukung Dewan Gereja Dunia (WCC)pada 22 Februari lalu di Pusat Ekumenis di Jenewa mendesak agar Indonesia mengakhiri kekerasan dan impunitas yang berlangsung di Papua.

    Peter Prove, direktur Komisi Urusan Internasional WCC dari Gereja Urusan Internasional (UCLA) mengutip kata-kata Sekjen WCC, Rev. Dr Olav Fykse Tveit, yang mengunjungi Papua Barat pada tahun 2012, mengatakan bahwa ia sepenuhnya mendukung pernyataanRev. Dr Olav Fykse Tveit setelah kunjungan.

    “Kami mendukung perjuangan hak asasi manusia rakyat Papua. Kami mendesak diakhirinya kekerasan yang sedang berlangsung dan impunitas. Selain itu, kami mendukung penegakkan keadilan sosial dan ekonomi melalui dialog serius dan proses politik yang konkrit yang berupaya mengatasi akar penyebab masalah ini,” kata Tveit, yang dikutip Peter Prove.

    Dalam kesempatan yang sama, Rev. Francois Pihaate, sekretaris jenderal Konferensi Gereja-gereja Pasifik yang berbasis di Fiji, mengatakan gereja-gereja di wilayah tersebut sangat prihatin tentang kekerasan di Papua.

    “Bagaimana kita sebagai gereja bisa tahu tentang apa yang terjadi di luar dunia kita sendiri? Itulah mengapa sebagai gereja, kita juga harus peduli terhadap apa yang terjadi di Papua Barat. Papua Barat itu bagian dari masyarakat Pasifik, sehingga komunitas Pasifik seharusnya menunjukkan solidaritas dan aksi,” kata Pihaate.

    Denny Abdi, anggota misi Indonesia untuk PBB di Jenewa membantah data-data yang dipaparkan oleh ICP, yang menyebutkan hampir lima ribu orang ditangkap pada tahun 2016.

    Namun dijelaskan oleh Veronica Koman, aktivis Papua Itu Kita dan pengacara publik, bahwa data-data itu berdasarkan fakta yang terjadi di lapangan. Penangkapan bukan hanya terjadi di Jayapura saja, tapi juga di Sentani, Merauke, Manokwari, Sorong, Kaimana, Menado, Timika dan Jawa.

    “Di Jayapura saja, lebih dari 1000 orang ditangkap pada bulan Mei 2016,” kata Koman.(*)

  • West Papuan demographics update highlights disparity

    New statistics show indigenous Melanesians are not yet the minority they were thought to be in West Papua.

    Indonesia’s Statistics Office has produced an ethnic breakdown of Papua region, based on the last census in 2010 which established an overall population of 3.6 million.

    While the proportion of Papuan people as a percentage of the population continues to decline, this process varies widey between different regencies.

    The percentage of Papuans has fallen catastrophically in some regions, particularly in urban centres, but Papuans still make up the vast majority in the Highlands.

    Using the new data, Jim Elmslie of Sydney University’s West Papua Project has produced a new paper updating his previous work on Papua’s demographic transition.

    He talks to Johnny Blades.

    Ni-Vanuatu march in support of West Papuan self-determination aspirations.

    Ni-Vanuatu march in support of West Papuan self-determination aspirations. Photo: Vanuatu government

  • Jakarta urges Pacific to recognise Palestine

    Indonesia has called on Pacific island countries to immediately recognise Palestine.

    The Antara news agency was reporting comments by the country’s foreign minister Retno Marsudi on Thursday.

    Ms Marsudi said Indonesia always discussed Palestine’s independence in its bilateral talks with Pacific island countries and with those yet to recognise Palestine as a state.

    Vanuatu recognised Palestine in 1989 soon after its Declaration of Independence in 1988.

    Papua New Guinea followed in 1995.

    The two countries are the only Pacific island countries listed among 137 states at the UN which recognise the State of Palestine.

    Antara reports Retno Marsudi earlier said Indonesia would not backtrack on its stance of supporting Palestine.

    She stressed Indonesia would continue to mobilise international pressure to achieve a two state solution to the decades-old conflict between Israelis and Palestinians.

    The Jakarta Post reported last week Palestinian leader Mahmoud Abbas had asked Indonesia to rally backing for Palestine among Pacific island countries, most of which are usually supporters of Israel.

    The Marshall Islands, Palau, Nauru and Micronesia were among nine countries which voted against admitting Palestine as an observer at the UN in 2012.

    The Solomon Islands and Tuvalu voted in favour, while Fiji, Samoa and Tonga abstained from voting.

    Source: http://www.radionz.co.nz/

  • West Papuans not yet a minority in homeland

    New statistics on the ethnic composition of Indonesia’s Papua region indicate that the indigenous West Papuans are not yet the minority there.

    This is despite research following the 2010 national census which extrapolated that Papuans made up around 48 percent of the entire population as the growth of the non-Papuan population soared.

    The Indonesian Statistics Office has recently produced an ethnic breakdown of the 40 regencies which make up the provinces of Papua and West Papua, based on the 2010 census.

    The stats show that of Papua region’s total population of 3.6 million, around 66 percent is made up of Papuans.

    But the percentage of Papuans as a proportion of the population has fallen catastrophically in some regions, particularly around urban centres.

    The convenor of the West Papua project at the Department of Peace and Conflict Studies at Sydney University, Jim Elmslie, said this pattern hadn’t really happened in the Highlands where Papuans still make up the vast majority.

    “Even though there’s huge developments all across the country that will threaten them, and bring in more settlers and bring in development. And all of those things are drivers of conflict, both between the state – in the form of the police and the military – and Papuan nationalists; and also within areas where there are populations (of Papuans and non-Papuans) who are in effect competing for land.”

    Dr Elmslie said it could be considered a positive for the indigenous Melanesians of this vast region that in the Highlands especially, they are “not on the verge of disappearing under the weight of inward migration”.

    “Some people seem to feel that the general conflict in West Papua would disappear over time as the Papuan population became a minority. Well that’s obviously not going to happen. That is happening in the lowlands, but it’s not going to happen anytime soon in the Highlands.”

    The regencies where the non-Papuan population is concentrated tend to be the centres of power and the richest areas where access to health and education services is best.

    Furthermore, the population growth rate of non-Papuans in Papua region is significantly higher than that of Papuans, and based on this trend, the minoritisation of the Papuan population will continue.

    Dr Elmslie’s new paper confirms that the proportion of Papuan people as a percentage of the entire population continues to decline, which his previous research since 2006 already found.

    Source: http://www.radionz.co.nz/

  • Two West Papuans charged with treason for demonstrating

    AWPA SydneyOver 500 people were reportedly arrested from West Papua demonstrations in Indonesia.  Photo: Supplied

    The Jayapura demonstration was one of more than 14 rallies in Indonesian cities, calling for West Papuan rights to self-determination to be respected.
    More than 500 people were reported to have been arrested for participating in the rallies.
    While the vast majority were released later in the day, two arrested in the Papua provincial capital have been charged.
    Demonstrators march in Timika in West Papua. Photo: Supplied
    Demonstrators march in Timika in West Papua. Photo: Supplied
    Hosea Yemo and Ismael Alua are reportedly members of the West Papua National Committee, (KNPB), the pro-independence representative group which organised some of the rallies.
    Papua provincial police said the two were arrested after allegedly inciting sedition or treason against the state, and provoking other participants of the rally to commit treason.
    A treason charge could lead to a jail term of up to 15 years in Indonesia.
    Demonstrators in Timika, West Papua.  Photo: Supplied
    Police said that from the Jayapura demo, they also found 1kg of hashish at the KNPB’s premises, and confiscated a number of weapons from the crowd.
    Law and order has been maintained in the cities and the situation was back to normal, according to police who said they avoided using excessive force in handling the demonstrations.
    However, Jakarta-based human rights monitoring groups have condemned intimidation and violence by police officers in the Jayapura rally.
    West Papuan photographic journalist Whens Tebay Photo: Tabloid Jubi
    The Institute for Policy Research and Advocacy, and its local partner in Papua, Elsham Papua, said it condemned intimidation and violence by police officers against photographic journalist Whens Tebay during the rally.
    Mr Tebay said police arrested, interrogated and hit him, later confiscated his camera and forced him to erase all photos taken during the rally.
    —————————–
  • Berikut 5 kecelakaan pesawat yg terjadi di Tanah Papua tahun 2016

    Kunume Wone Papua memiliki keadaan alam yg berbukit-bukit dan memiliki puluhan gunung dengan puncak tertinggi Jayawijaya juga berada di kawasan ini. Hal tersebut mengakibatkan Papua menjadi lokasi yg sulit dijangkau, baik transportasi darat, maupun udara.

    Sering tersiar kabar jatuhnya pesawat di tanah Papua. Dalam tahun ini saja, sejumlah kecelakaan pesawat terjadi di daerah itu. Puluhan korban berjatuhan karena musibah kecelakaan pesawat ini.

    Berikut 5 kecelakaan pesawat yg terjadi di tahun 2016, dimulai dari kecelakaan pesawat di Wamena hari ini, Minggu (18/12/2016).

    1. Hercules TNI Jatuh di Wamena

    Pesawat Hercules TNI AU yg dipiloti Mayor Pnb Marlon A. Kawer, ditemukan jatuh di Kampung Minimo, Distrik Minimo, Kabupaten Jayawijaya, setelah dinyatakan hilang kontak dengan Bandara Wamena.

    Wakil KSAU Marsdya Hadiyan Sumintaatmadja mengatakan, pesawat terbang dari Timika ke Wamena, dalam misi peningkatan kemampuan penerbang.

    “Dari co-pilot ke pilot. Ini salah sesuatu tes uji coba,” kata Hadiyan dalam konferensi pers di Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta, Minggu (18/12/2016).

    Hardiyan menjelaskan kronologi jatuhnya pesawat Hercules TNI AU tersebut. Pada pukul 05.35 WIT, pesawat berangkat dari Timika dengan rencana datang 06.13 WIT di Wamena.

    Namun, pada pukul 06.09 WIT, pesawat dikabarkan hilang kontak dengan bandara Wamena. “Misi di Papua adalah salah sesuatu tes, uji coba, latihan, yg nantinya para penerbang bisa mengoperasikan pesawat di mana pun berada. di maana pun pangkalan yg ada,” beber dia.

    2. Angkut Bahan Bangunan, Pesawat Caribou Hilang Kontak di Papua

    Empat orang dinyatakan hilang bersama dengan pesawat macam Caribou PK-SWW punya Pemerintah Kabupaten Puncak Jaya, Papua.

    Pesawat yg hilang kontak tersebut sedang disewa oleh Pemerintah Kabupaten Mimika dan sedang membawa bahan bangunan macam plat besi gorong-gorong dengan tujuan Timika-Ilaga.

    Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Papua, Kombes Pol Rudolf Patrige menyebutkan pesawat yg take off dari bandara Moses Kilangin Timika pukul 07.57 WIT, seharusnya datang di Ilaga, Kabupaten Puncak sekitar pukul 08.30 WIT.

    “Ada empat orang dalam pesawat tersebut yakni pilot bernama Parhat, Co Pilot Fendi, Mekanis atas nama Steven dan FOO atas nama Endri Baringin,” kata Patrige, Senin (31/10/2016).

    Dalam penerbangan tersebut, pesawat membawa barang seberat 3130 kilogram. Pesawat ini sedang disewa oleh Pemkab Mimika akan 25 Oktober hingga 1 November 2016. Selain pilot dan co pilot juga terdapat mekanik Steven dan FOO Endri Baringin di pesawat itu.

    “Pesawat diperkirakan lost contact pada koordinat 04°09’27”S dan 137°32’99”E atau pada koordinat 04 10’92”S dan 137 32’76”E. Kami masih sediki penyebab hilang kontak. Tim SAR dan gabungan sedang mencari pesawat tersebut,” jelasnya.

    Sebanyak sesuatu peleton anggota Brimob Polda Papua ketika ini disiapkan buat menolong operasi SAR dalam proses evakuasi pesawat tersebut. Anggota Brimob disiapkan bagi menolong bila dibutuhkan ketika mengevakuasi korban pesawat nahas.

    3. Pesawat Tergelincir di Papua, Tidak Ada Korban Jiwa

    Pesawat punya PT Asian One, macam Grand Caravan PK-LTV tergelincir di Bandara Ilaga, Kabupaten Puncak, Papua. Pesawat tergelincir pada tadi 06.25 WIT.

    Kementerian Perhubungan kemudian mengeluarkan Notice to Airmen (Notam) Nomor C6339/16 yg menyatakan Bandara Ilaga ditutup akan 13 Oktober 2016 pukul 07.49 WIT sampai dengan estimasi 14 Oktober 2016 pukul 09.00 WIT karena pesawat tersebut menutup runway.

    “Tidak ada korban dalam insiden tersebut. Namun pesawat yg memuat bahan sembako tersebut mengalami dua kerusakan merupakan propilor bengkok dan refblack rem kiri tak aktif,” kata Direktur Jenderal Perhubungan Udara Suprasetyo dalam keterangannya, Kamis (13/10/2016).

    Suprasetyo menyatakan, kemungkinan pesawat tersebut tergelincir karena cuaca berkabut dan keadaan runway yg licin. Karena itu, Kementerian Perhubungan mengimbau semua pilot agar tak melakukan pendaratan di Bandara Ilaga apabila cuaca tak mendukung.

    4. Pesawat AMA Jatuh di Yahukimo Baru Terbang 53 Jam

    Maskapai Assosiation Mission Aviation (AMA) mengklaim pesawat yang jatuh di daerah Lolat, Kabupaten Yahukimo, Papua, pagi tadi adalah pesawat baru yg dibuat pada 2014.

    Pesawat itu baru diterima AMA pada Maret 2016 di Sentani, Kabupaten Jayapura. Jam terbang burung besi itu pun tercatat masih 53 jam.

    Direktur AMA Jayapura Djarot Soetanto menuturkan, pesawat macam Cesna 208 B Grand Caravan EE itu terbang dari Wamena pukul 07.39 WIT dan hendak mendarat di Lolat, Kabupaten Tolikara, pada pukul 07.58 WIT.

    Di perjalanan, pesawat jatuh dan menabrak tiga rumah tradisional honai serta sesuatu bangunan distrik berdinding papan dan beratapkan seng.

    “Bangunan itu terletak di samping bandara. Tiga warga, beberapa penumpang dan sesuatu pilot terluka,” kata Djarot di Jayapura, Papua, Selasa (14/6/2016).

    Kedua penumpang tersebut bernama Arifin (20) dan Tarau (50), sedangkan tiga warga setempat terdiri dari Niko Suhun (19), Yus Silak (20) dan Eret Kobak (15).

    Djarot mengatakan, Eret Kobak mengalami luka di kepala dan dievakuasi ke Rumah Sakit Dian Harapan Jayapura. Begitu juga sang pilot juga dirawat jalan di rumah sakit itu. Sementara, empat orang lainnya masih dirawat di RSUD Wamena.

    Djarot menuturkan, pesawat itu terbang dengan tujuan Lolat membawa bahan bangunan seberat 1.190 kg dari batas maksimal angkutan 1.350 kg. “Saat landing, cuaca juga cerah, terbuka, dan ada matahari. Kami tidak mampu menerka penyebab jatuhnya pesawat ini. Nanti tim KNKT mulai menyampaikannya,” ucap Djarot.

    Pagi tadi, kecelakaan pesawat Caravan AMA PK – RKC terjadi di Lolat, Kabupaten Yahukimo. Pesawat diterbangkan pilot berkebangsaan Amerika Serikat, Brian Forest Pottinger (48).

    5. Pesawat Enggang Air Terperosok di Sentani

    Pesawat Enggang Air jenis Caravan terperosok di Bandara Sentani, Jayapura, Papua sekitar pukul 07.00 WIT. Kecelakaan itu terjadi ketika pesawat mulai take off menuju Mulia.

    Pesawat itu diawaki pilot Tomi, co pilot Mike Brun, dan teknisi Syahrul. Tidak ada korban jiwa dalam insiden tersebut.

    “Pesawat dengan nomor penerbangan PK-RSD terjadi ketika keluar dari taxy way berbelok menuju runway persiapan take off dengan membawa muatan sekitar 1.015 kg,” kata Kabid Humas Polda Papua Kombes Patrige, dilansir Antara, Senin (9/5/2016).

    Patrige menyampaikan ketika mulai take off, pesawat itu tak mampu berbelok, bahkan pilot tak dapat mengerem sehingga pesawat terperosok. Evakuasi baru mampu dikerjakan hingga pukul 08.25 WIT. Aktivitas di Bandara Sentani kini berlangsung normal.

    “Belum dipastikan apa penyebab hingga terjadinya insiden tersebut,” ujar Patrige.

  • Indonesia’s Jokowi still owes resolution of past rights abuses

    A nun observes photographs of victims of past human rights abuses in front of the State Palace in Jakarta during a weekly rally that is locally known as Kamisan. This rally was the 417th since 2007 and it demanded demanding the government resolve the cases. (Seto Wardhana )
    A nun observes photographs of victims of past human rights abuses in front of the State Palace in Jakarta during a weekly rally that is locally known as Kamisan. This rally was the 417th since 2007 and it demanded demanding the government resolve the cases. (Seto Wardhana )

    After two years of running the country, President Joko “Jokowi” Widodo has still not fulfilled his campaign promise to address long-unresolved human rights abuse cases in Indonesia, a promise that is thought to have sealed his victory against his former contender Prabowo Subianto, who is implicated in the forced disappearances of pro-democracy activists in 1998.

    “The government must fulfill its obligation to solve all cases of gross human rights violations that occurred in the past,” prominent human rights lawyer Todung Mulya Lubis said at a discussion yesterday.

    “The President will forever owe us that promise unless he keeps his word.”

    The unresolved cases that Jokowi promised to address consist of the 1989 Talangsari massacre, the forced disappearance of anti-Soeharto activists in 1997 and 1998, the Trisakti University shootings, the Semanggi I and Semanggi II student shootings in 1998 and 1999, the mysterious killing of alleged criminals in the 1980s, the anticommunist massacres of 1965 and various abuses that took place in Wasior and Wamena in Papua in 2001 and 2003, respectively.

    Activist Al Araf from the Jakarta-based human rights watchdog Imparsial cited a lack of political will to prioritise human rights among Jokowi’s administration as a core reason behind the lagging attempts to address the issues during Jokowi’s two-year presidency.

    As the world will commemorate International Human Rights Day today, Al Araf called for Jokowi and his subordinates to make the resolution of human rights abuse cases one of the government’s priority programs.

    “Otherwise Jokowi’s regime will be no different to his predecessors,” he said.

Are you sure want to unlock this post?
Unlock left : 0
Are you sure want to cancel subscription?