Category: Focus Post

You can add some category description here.

  • ‘Kalau ada keadilan di Papua, tak perlu digelar pengadilan rakyat di London’

    ‘Kalau ada keadilan di Papua, tak perlu digelar pengadilan rakyat di London’

    • Heyder Affan – Peranan,Wartawan BBC News Indonesia –

    Pemerintah Indonesia dituduh melakukan kekerasan dan perusakan lingkungan di Papua yang merugikan Orang Asli Papua demi kepentingan investasi asing dan nasional, demikian dakwaan dalam Permanent Peoples’ Tribunal (PPT) yang tengah berlangsung di London, Inggris.

    Namun pemerintah Indonesia melalui Kantor Staf Presiden (KSP) mengatakan itu bukanlah dakwaan hukum, melainkan opini yang belum tentu menggambarkan apa yang terjadi sebenarnya di Papua.

    Secara terpisah, Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di London mengatakan acara itu digelar mendekati hari ‘peringatan West Papua’ pada 1 Juli 2024, sehingga KBRI di London menuduh PPT dilakukan untuk “membangun persepsi publik”.

    Sebaliknya, seorang pegiat HAM mengatakan acara PPT di London yang menyoroti masalah pelanggaran HAM dan kerusakan lingkungan di Papua membuktikan bahwa masih ada “ketidakadilan bagi orang asli Papua”.

    Dan, Amnesty International Indonesia meminta pemerintah Indonesia agar melihat dakwaan PPT itu sebagai kritik agar dapat mengubah kebijakan keamanannya terkait Papua.

    PPT digelar oleh Pusat Kajian Kejahatan Iklim dan Keadilan Iklim di Queen Mary University of London. Acara ini digelar sejak Kamis (27/06) dan berakhir Sabtu (29/06) malam Waktu Indonesia Barat.

    Delapan orang hakim tribunal memimpin persidangan ini. Mereka mendengarkan kesaksian sejumlah korban hingga pegiat LSM terkait dua dakwaan itu.

    Dakwaan dalam PPT diakui oleh penyelenggaranya tidak memiliki konsekuensi hukum apapun. Namun acara ini semata bertujuan menyuarakan persoalan di Papua di dunia internasional.

    Berikut beberapa hal yang perlu Anda ketahui tentang Permanent Peoples’ Tribunal (PPT) dan reaksi pemerintah Indonesia atas acara itu.

    Apa itu Permanent Peoples’ Tribunal (PPT)?

    Seperti diakui sendiri oleh penyelenggaranya, PPT adalah satu ‘pengadilan opini’ internasional.

    Di dalamnya, ada panel-panel hakim. Merekalah yang akan memutuskan seperti apa kejahatan serius yang terjadi di suatu negara, dan sejauh mana itu merugikan masyarakat dan kelompok minoritas.

    Ini didasarkan berbagai keterangan saksi dan bukti-bukti.

    Dalam situs resminya, keberadaan PPT tidak terlepas dari pembentukan Russell Tribunal on Vietnam (1966-1967) dan Russell Tribunal on the dictatorship in Latin America (1973-1976).

    Lembaga ini dibentuk sebagai lembaga permanen dengan tujuan mengungkap kejahatan serius, “yang belum ditanggapi secara memadai oleh komunitas internasional,” kata David Whyte, Direktur Pusat Kajian Kejahatan dan Kajian Iklim di Queen Mary University of London, Inggris.

    Menurut Papang Hidayat, aktivis HAM asal Indonesia, inisiatif acara ini dari masyarakat sipil di tingkat internasional yang dipimpin oleh sebuah perguruan tinggi.

    “Mereka sudah mengembangkan model-model pengadilan rakyat atau pengadilan non-formal, walau metodeloginya persis dengan pengadilan formal,” kata Papang yang pernah aktif di LSM Kontras dan Amnesty International Indonesia.

    Panel hakimnya bisa hakim aktif, atau mantan hakim, atau praktisi hukum, katanya.

    Berita lengkap baca di BBC.com

  • OAP yang ikut PEMILU NKRI adalah Pembunuh OAP itu sendiri

    OAP yang ikut PEMILU NKRI adalah Pembunuh OAP itu sendiri

    Presiden Pemerintah Sementara United Liberation Movement for West Papua Hon. Benny Wenda telah menyatakan “Boycott” atas pesta demokrasi rakyat Indonesia. Sebagai pemegang mandat rakyat bangsa Papua, negara West Papua, Hon. Wenda telah menyerukan untuk rakyat Papua juga memboikot Pemilihan Umum 2024 diselenggarakan oleh penjajah NKRI.

    Arti Pemilu?

    Pemilihan umum artinya secara umum secara keseluruhan rakyat dari sebuah negara-bangsa menentukan pilihan.

    Dalam hal ini pemilihan yang dilakukan ialah terhadap para calon anggota dewan perwakilan rakyat dan pejabat Walikota/Bupati sampai ke pejabat Presiden/ Wakil Presiden. Mereka mencalonkan diri dan nasib mereka ditentukan dalam Pemilu.

    Pemilu adalah satu-satunya ruang yang diberikan oleh manusia modern, dengan nama proyek “Demokrasi”, di mana manusia yang disebut “rakyat” bisa menentukan pilihan. Menang-kalah tidaklah dipersoalkan, yang terpenting masing-masing orang menentukan pilihan. Sehingga yang kalah atau menang semua akhirnya menerima kenyataan hasil, yang mayoritas yang menang, maka yang mayoritas yang berkuasa, maka yang mayoritas yang benar dan dengan demikian yang mayoritas yang harus ditaati.

    Dalam kontes West Papua di dalam NKRI, karena orang Papua telah dianggap menerima NKRI dalam Pepera 1969, maka Pemilu yang terjadi adalah proses lanjutan dari Pepera 1969, di mana OAP memberikan suaranya, secara rutin, tanpa perlawanan, tanpa penolakan, dengan tunduk, dan dengan baik.

    Sayangnya, OAP sendiri tidak sadar, dan jauh dari mengerti, kalau sebenarnya OAP DAPAT MENOLAK PEMILU dan dengan demikian DAPAT MEMENTAHKAN hasil Pepera 1969.

    Arti Pepera 1969 dan Keikutsertaan OAP dalam Pemilu NKRI di West Papua

    Dalam Pemilihan Umum rakyat diberikan kesempatan untuk menentukan pilihan. Dalam Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) 1969 di Irian Barat juga telah terjadi peristiwa pemberian kesempatan kepada orang-orang bangsa Papua, pemilik tanah adat New Guinea bagian barat untuk menentukan nasib.

    Bangsa Indonesia mengkleim bahwa Pepera 1969 telah sah dan di dalamnya bangsa Papua memilih untuk bergabung dengan NKRI.

    Bangsa Papua selama ini menolak kleim Indonesia dan menyatakan bahwa apa yang terjadi di Pepera 1969 adalah tidak demokratis dan melanggar Hak Asasi Manusia.

    Kalau Pepera 1969 itu salah, ditolak oleh orang Papua, maka pertanyaan selanjutnya ialah “Kenapa orang Papua setiap lima tahun ikut Pemilu NKRI dan iut dalam memilih pemimpin di parlemen dan di birokrasi?

    Dalam kacamata demokrasi, keterlibatan Orang Asli Papua (OAP) dalam Pemilu NKRI sejak NKRI masuk ke tanah Papua adalah bukti bahwa OAP telah menerima NKRI dan oleh karena itu menentukan nasibnya di dalam NKRI.

    Dalam kacamata demokrasi, catat moral, cacat hukum dan cacat demokrasi yang terjadi dalam Pepera 1969 diobati dan dibenahi selama sekian puluh tahun lewat keikutsertaan OAP dalam Pemilu NKRI.

    • Kalau menolak NKRI. mengapa ikut Pemilu NKRI? ITU PERTANYAAN ITU DAN SEDERHANA

    Papua Merdeka dari dalam Birokrasi NKRI?

    Ada banyak pejabat NKRI, yang OAP, beranggapan bahwa kita memperjuangkan nasib bangsa Papua di dalam NKRI, oleh karena itu harus memilih mereka, karena mereka-lah yang akan membela hak-hak dasar bangsa Papua.

    Sebelum hak-hak dasar itu, ada hak fundamental, yaitu hak menentukan nasib sendiri yang telah dilanggar dalam Pepera 1969. Oleh karena itu hak-hak dasar yang mana yang mau diperjuangkan dan dibela oleh pejabat NKRI yang OAP di dalam birokrasi NKRI? Dengan mengajak OAP ikut Pemilu saja sudah jelas-jelas membatalkan hak menentukan nasib sendiri, merobek dan merusak dan mematikan hak fundamental dimaksud.

    Banyak gubernur, Ketua DPR dan pejabat tinggi perusahaan OAP yang selama ini diperdaya NKRI seperti ini. Mereka sering disambut dengan panggilan, “Eh, Pak Presiden West Papua, apa kabar?” Ada juga yang dipanggil, “Bapak Kepala Suku Besar Papua, kapan…..?” Ada juga yang dipanggil, “Mr President West Papua, how are you?” Mau bilang suatu penghormatan atau penghinaan?

    Bahkan para Panglima OPM dan TPN PB yang ada di hutan juga turut memberikan mandat kepada beberapa anggota dewan perwakilan dan calon walikota, bupati, gubernur agar rakyat memilih mereka menjadi pejabat, karena mereka akan membantu Papua Merdeka. Salah fatal! Karena mengikut Pemilu NKRI itu sudah dengan otomatis memperkuat Pepera 1969.

    Solusi yang tepat?

    Solusi yang tepat dan demokratis, yang tidak akan menimbulkan pengorbanan nyawa, ialah dengan “MEMBOIKOT PEMILU”

    Pemilu adalah satu-satunya kesempatan yang disediakan “demokrasi” bagi manusia yang disebut sebagai “Rakyat” untuk menentukan nasib sendiri dalam suatu negara-bangsa modern. Oleh karena itu, dengan kedaulatan itu, rakyat berhak “Mengikut Pemilu”, dan sama halnya dengan itu, rakyat berhak “Menolak Pemilu”

    Dalam hal menolak Pemilu tidak akan dikenakan sanksi hukum, tidak akan pernah terkena kasus hukum manapun.

    Ini persoalan hak asasi, bukan soal kewajiban hukum.

    1. Oleh karena itu OAP yang selalu ikut Pemilu NKRI dan berharap orang barat datang selamatkan bangsa dan tanah Papua ialah orang Papua yang paling gagal paham dalam hidupnya.
    2. Oleh karena itu OAP yang berkampanye bahwa selelah dapat kursi di dalam NKRi baru memperjuangkan nasib bangsa Papua ialah DUSTA dan itu DOSA.
    3. Oleh karena itu, OAP yang hanya mempersoalkan Pepera 1969, tetapi selalu ikut Pemilu NKRI ialah OAP yang paling sial hidup sebagai OAP.
    4. Oleh karena itu, maka menolak ikut Pemilu 2024 adalah sebuah kewajiban moral, hak fundamental yang tidak dapat diganggu-gugat oleh siapapun, kapanpun, di manapun.

     

  • Gelar Kongres I, Momentum Penting ULMWP Tentukan Pemimpin

    Gelar Kongres I, Momentum Penting ULMWP Tentukan Pemimpin

    JAYAPURA– Setelah didesak agar segera digelar kongres, akhirnya  ULMWP (United Liberation Movement for West Papua)  menggelar kongres pertama di GOR STT-GIDI  Sentani Senin (20/11).

    Acara didahului sesi opening ceremony yang dilakukan oleh masyarakat adat Wilayah Tabi atau Mamta.

    Kongres dibuka, berlangsung di GOR (Gedung Olahraga) STT-GIDI (Gereja Injili di Indonesia), yang dihadiri oleh ribuan peserta dan delegasi dari tujuh (7) wilayah West Papua yaitu: Wilayah Tabi, Saireri,Domberay, Bomberay, Anim-Ha, Meepago dan Lapago.

    Dalam sambutan pembukaan oleh ketua panitia Kongres I ULMWP, Bazoka Logo mengatakan hari ini adalah hari dimana momentum rakyat West Papua akan menentukan siapa pemimpin mereka yang akan memimpin perjuangan bagi kemerdekaan rakyat West Papua dan serta agenda perjuangan kemerdekaan bangsa Papua.

    “Kepada seluruh peserta (rakyat West Papua) yang ada, ini merupakan momentum penting yang akan sangat menentukan masa depanmu. Untuk itu gunakannya hak kedaulatannmu yang dijamin

    secara Konstitusional ULMWP dalam Undang-Undang Dasar ULMWP dengan baik hingga Kongres selesai nanti” ujar Bazoka (20/11).

    Sejak pagi, ribuan peserta Kongres I ULMWP yang hadir telah melakukan registrasi dengan tertib diberikan id.card oleh panitia sebelum masuk pada pembukaan.

    Dalam Kongres ini, telah hadir ULMWP Rev. Edison Waromi, S.H, Buchtar Tabuni selaku deklarator dan pendiri United Liberation Movement for West Papua (ULMWP), dikuti oleh para pimpinan senat dari tujuh wilayah, serta perwakilan militer West Papua Army dari komando Tentara Pembebasan Nasional Papua  Barat (TPNPB), Tentara Nasional West Papua (TNPB), Tentara Revolusi West Papua (TRWP) dan  Tentara Pembebasan Nasional Organisasi Papua Merdeka (TPN-OPM).

    Kongres ini berlangsung hingga selesai akan ditutup pada hari Kamis (23/11) mendatang.  (wen)

    Dapatkan update berita pilihan setiap hari dari Cenderawasihpos.jawapos.com 

    BACA SELENGKAPNYA DI KORAN DIGITAL CEPOS  https://www.myedisi.com/cenderawasihpos

  • Indonesian Police Arrest Again 33 People of West Papua Solidarity Fundraising for the Vanuatu Natural Disaster

    Indonesian Police Arrest Again 33 People of West Papua Solidarity Fundraising for the Vanuatu Natural Disaster

    This afternoon, at 12.34 West Papua time, Indonesian police arrested a West Papua Solidarity fundraiser for Victims of the Vanuatu Natural Disaster which has been temporarily taking place in Jayapura since this morning, Friday (31/03/2023).

    Sector Police Chief (Kapolsek) Heram who led this arrest said: “West Papuans don’t need to do humanitarian assistance for natural disasters in Vanuatu, because Indonesia has no relationship with Melanesian countries, especially Vanuatu we have nothing to do. So there should be no fundraising for Vanuatu in Indonesia and all those who carry out humanitarian aid fundraising actions will still be arrested,” said the Kapolsek while leading the arrests.

    Kaitanus Ikinia (a staff member from the Ministry of Political Affairs of the ULMWP Provisional Government) and Ones Kobak, the coordinator of the Solidarity Action, along with 31 people, were arrested and transported in two transport trucks from the Indonesian police. They have been taken to the Police station in Jayapura city for questioning.

    The following is a list of names that have been arrested by the Police:
    1. Elinatan Basini
    2. Kaitanus Ikinia
    3. Ones Kobak
    4. Rizcky Nipsan
    5. Tason Wenda
    6. Thio Sobolim
    7. Afriel Wenda
    8. Ledy Kean
    9. Epan Pabu
    10. Eko Wenda
    11. Kitas Lebitale
    12. Abel Pabu
    13. Jenos Dipur
    14. Anius Balyo
    15. Koti Uropmabin
    16. Sem Kulka
    17. Esten Bamu
    18. Ibrahim Mok Kean
    19. Gusten Meku
    20. Eki Balingga
    21. Noseler Logo
    22. Viki Wenda
    23. Oni Towolom
    24. Weki Wenda
    25. Beto Wandom
    26. Helminus Mul
    27. Melki Siep
    28. Terendi Yoman
    29. Saundi Wenda
    30. Buyung Yigibalom
    31. Predi Toto
    32. Marki Kiman
    33. Eis Wenda

    This is the second arrest in a West Papua solidarity fundraising action for Vanuatu after previously 20 people were arrested on Wednesday (29/03), and a number of actions at several other points in Jayapura were forcibly disbanded by the Indonesian Police.

    Please advocacy and media monitoring!
    #Vanuatu 🇻🇺 #SaveVanuatu #WeStandWithVanuatu #VanuatuIsWestPapua #SolidarityForVanuatu #Melanesia #WeAreMelanesia #ClimateChange #ClimateJustice #Pacific

  • Delapan negara mengkritik pelanggaran HAM Indonesia di Sidang UPR

    Berita | Edisi, 18 November 2022

    Delapan negara telah menyerukan penyelidikan segera atas pelanggaran hak asasi manusia di West Papua yang diduduki di PBB, yang merupakan pukulan besar bagi kedudukan internasional Indonesia.

    Putaran keempat Universal Periodic Review (UPR) Indonesia dimulai di Jenewa pada 9 November . Setiap negara harus menjalani proses ini setiap empat atau lima tahun, yang melibatkan negara-negara anggota lainnya untuk meneliti proses hak asasi manusia mereka dan membuat rekomendasi untuk perbaikan.

    Ada sejumlah pelanggaran hak asasi manusia yang menghancurkan di West Papua selama beberapa bulan terakhir, karena pendudukan ilegal Indonesia telah mencapai tingkat kebrutalan yang baru. Empat warga sipil Papua disiksa, dibunuh, dan dimutilasi oleh pasukan khusus Indonesia pada akhir Agustus, sementara aktivis non-kekerasan legendaris Filep Karma – digambarkan oleh Presiden Sementara Benny Wenda sebagai ‘Nelson Mandela’ nya West Papua – ditemukan tewas di Jayapura dalam keadaan misterius. Pemimpin kemerdekaan Buchtar Tabuni ditangkap secara sewenang-wenang setelah pertemuan strategi ULMWP pada bulan Oktober 2022.

    Kedelapan negara yang melontarkan kritik terhadap perilaku Indonesia adalah Vanuatu, Australia, Amerika Serikat, Belanda, Selandia Baru, Kanada, Kepulauan Marshall, dan Slovenia. Dari jumlah tersebut, Australia, AS, Kanada, Slovenia, dan Belanda merekomendasikan penyelidikan internasional segera, dengan Vanuatu dan Republik Kepulauan Marshall secara khusus mengulangi Forum Kepulauan Pasifik (PIF) 2019 dan Organisasi Negara Afrika, Karibia, dan Pasifik (OACPS) menyerukan kunjungan mendesak ke West Papua oleh Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia.

    Intervensi Kepulauan Marshall sangat signifikan, karena mereka juga menyerukan agar West Papua diizinkan untuk menggunakan hak penentuan nasib sendiri. Dalam praktiknya, ini membutuhkan referendum kemerdekaan yang dimediasi secara internasional untuk diadakan di West Papua – permintaan utama dari Presiden Sementara Benny Wenda dan ULMWP.

    West Papua memiliki hak untuk menentukan nasib sendiri dicuri dari mereka pada tahun 1969 dengan penipuan ‘Act of Free Choice’ , yang melihat sekitar 1000 orang Papua terpilih diintimidasi untuk memberikan suara untuk integrasi ke Indonesia.

    Menanggapi investigasi UPR, Indonesia membuat serangkaian klaim tidak berdasar tentang hak asasi manusia di West Papua , termasuk mengatakan bahwa sebagian besar kasus kekerasan di Papua telah diinvestigasi dan pelakunya dihukum. Pada kenyataannya, tentara Indonesia bertindak dengan impunitas total di West Papua, dan kasus-kasus seperti pembunuhan empat warga sipil Papua baru-baru ini hampir tidak pernah diadili.

    UPR akan menambah panggilan vokal oleh lebih dari 80 negara untuk kunjungan PBB ke West Papua, secara signifikan meningkatkan tekanan pada Indonesia untuk akhirnya menyerahkan pendudukan genosida mereka ke pengawasan internasional.

    • Australia🇦🇺: “Menyelesaikan investigasi semua pelanggaran HAM di Indonesia, termasuk di Papua dan memastikan akses termasuk oleh pengamat independen yang kredibel” (6.269)

    • Kanada🇨🇦: “Menyelidiki dugaan pelanggaran HAM di Indonesia Papua dan memprioritaskan perlindungan warga sipil termasuk perempuan dan anak-anak” (6.268)

    • Kepulauan Marshall🇲🇭: “Hormati, promosikan dan lindungi hak asasi manusia semua masyarakat adat di West Papua, dengan memastikan hak mereka untuk menentukan nasib sendiri melalui dialog inklusif” (6.260) dan “Bekerja sama dengan OHCHR untuk memulai kunjungan ke West Papua oleh Komisaris Tinggi menanggapi seruan dari Forum Kepulauan Pasifik dan Organisasi Negara-Negara Afrika, Karibia, dan Pasifik” (6.265)

    • Belanda🇱🇺: “Terus menyelidiki pelanggaran hak asasi manusia, termasuk yang terjadi di provinsi Papua, dan membawa mereka yang bertanggung jawab ke pengadilan secara tepat waktu dan transparan” dan “Menahan diri dari tindakan apa pun yang dapat merupakan pelecehan, penganiayaan, atau campur tangan yang tidak semestinya dalam pekerjaan pengacara dan pembela hak asasi manusia, termasuk tuntutan pidana mereka dengan alasan seperti ekspresi pandangan kritis” (6.99)

    • Selandia Baru🇳🇿: “Menjunjung tinggi, menghormati dan mempromosikan kewajiban hak asasi manusianya di Papua, termasuk kebebasan berkumpul, berbicara, berekspresi, pers, dan hak perempuan dan minoritas”

    • Slovenia🇸🇮: “Memastikan investigasi, akuntabilitas dan pencegahan impunitas atas pelanggaran hak asasi manusia terhadap masyarakat adat di Papua dilakukan oleh anggota pasukan keamanan” (6.262)

    • Amerika Serikat🇺🇲: “Lakukan penyelidikan yang cepat, menyeluruh, dan transparan terhadap semua dugaan pembunuhan di luar hukum dan pelanggaran hak asasi manusia di lima provinsi Papua dan meminta pertanggungjawaban pelaku” (6.263)

    • Vanuatu🇻🇺: “Menerima tanpa penundaan kunjungan Kantor Komisaris Tinggi Hak Asasi Manusia ke Provinsi Papua dan West Papua” (6.264)

    (https://www.ulmwp.org/news-eight-countries-criticise-indonesian-human-rights-abuses-at-upr)

    WelcomeUNHC #WestPapua #HumanitarianCrisis #HumanRightsAbuses #PIF #ACP #UnitedNation #OHRCHR #UNHRC #FreeWestPapua

  • SEBUAH RESOLUSI MU-PBB BISA DICABUT DAN HASIL REFERENDUM BISA DIBATALKAN, SERTA MEMBUAT KEPUTUSAN DARURAT

    Berdasarkan Kategori Resolusi Majelis Umum PBB, sebuah Resolusi Majelis umum PBB bisa dicabut, selain itu hasil referendum bisa dibatalkan, dan Majelis Umum PBB dapat membuat sebuah keputusan darurat terhadap suatu masalah yang dipandang dapat mengancam perdamaian dan keamanan regional maupun internasional.

    Resolusi Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa atau United Nations General Assembly resolution adalah sebuah keputusan resmi dari Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa yang diadopsi ke dalam tubuh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Walaupun semua badan PBB dapat mengeluarkan resolusi, namun dalam praktiknya resolusi yang paling sering dikeluarkan adalah resolusi Dewan Keamanan PBB dan resolusi Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa.

    Mengadopsi sebuah Resolusi Majelis Umum PBB biasanya memerlukan suara mayoritas, sederhananya 50% dari semua suara ditambah satu untuk lolos. Namun, jika Majelis Umum menentukan bahwa masalahnya adalah sebuah “pertanyaan penting” dengan suara mayoritas sederhana, maka dua pertiga mayoritas diperlukan; “pertanyaan penting” adalah mereka yang menangani secara signifikan dengan pemeliharaan perdamaian dan keamanan internasional, pengakuan atas anggota baru untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa, penangguhan hak-hak dan hak keanggotaan, pengusiran anggota, pengoperasian sistem perwalian, atau pertanyaan anggaran .

    Meskipun Resolusi Majelis Umum PBB umumnya tidak mengikat terhadap negara-negara anggota, namun resolusi internal dapat mengikat pengoperasian itu sendiri, misalnya terhadap masalah-masalah anggaran dan prosedur, serta masalah teknis (piagam dasar dan kovenan HAM)

    KASUS RESOLUSI YANG DICABUT:
    RESOLUSI 3379 MAJELIS UMUM PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA
    Resolusi 3379 dikeluarkan oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 1975. Resolusi ini menyatakan bahwa Zionisme adalah sebuah bentuk rasisme. Resolusi ini lolos dengan 72 suara yang mendukung, 35 menolak dan 32 abstain. Jumlah 72 suara yang mendukung ini termasuk 20 negara Arab, 12 negara lainnya dengan mayoritas Muslim, termasuk Turki yang mengakui Israel kala itu, 12 negara komunis, 14 negara Afrika non-Muslim dan 14 negara lainnya termasuk Brasil, India, Meksiko, dan Portugal.

    PENCABUTAN
    Pada tahun 1991, situasi dunia internasional menjadi berbeda setelah runtuhnya Uni Soviet, kemenangan pasukan sekutu di Irak yang dipimpin Amerika Serikat dan hegemoni negara adidaya ini di dunia internasional. Maka pada tanggal 16 Desember 1991, Dewan Umum mengeluarkan Resolusi 46/86, yang menarik Resolusi 3379 dengan 111 suara setuju dan 25 suara menolak. Sementara itu ada 13 yang abstain dan 17 delegasi tidak hadir. Sementara itu 13 dari 19 negara Arab, termasuk yang berunding dengan Israel, menolak resolusi ini. Enam lainnya tidak hadir. Tidak ada Negara Arab yang setuju. PLO mengecam keras resolusi ini. Hanya tiga Negara non-Muslim yang menolak resolusi ini: Kuba, Korea Utara dan Vietnam. Hanya satu negara dengan mayoritas penduduk Muslim mendukung resolusi ini, yaitu Albania, lainnya abstain atau tidak hadir. (https://id.wikipedia.org/wiki/Resolusi_3379_Majelis_Umum_Perserikatan_Bangsa-Bangsa?fbclid=IwAR22VBjLqKSVNmNrckxOYa5reZIRULqzUb7f7G28AG6r2E1YnLWSsAmfBCA)

    KASUS PEMBATALAN HASIL REFERENDUM:
    RESOLUSI 68/262 MAJELIS UMUM PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA
    Resolusi majelis umum perserikatan bangsa-bangsa 68/262 adalah resolusi yang ditetapkan pada tanggal 27 maret 2014 oleh sesi ke-68 majelis umum perserikatan bangsa-bangsa sebagai tanggapan terhadap krisis krimea 2014. Resolusi yang berjudul “integritas teritori ukraina” ini didukung oleh 100 negara anggota perserikatan bangsa-bangsa (pbb). Resolusi ini menegaskan komitmen terhadap kedaulatan, kemerdekaan politik, kesatuan, dan integritas teritori ukraina, serta menggarisbawahi ketidakabsahan referendum krimea 2014. Armenia, belarus, bolivia, kuba, korea utara, nikaragua, rusia, sudan, suriah, venezuela, dan zimbabwe menentang resolusi ini. Terdapat 58 negara yang abstain, dan 24 negara lainnya tidak hadir dalam pemungutan suara.
    Resolusi ini diajukan oleh kanada, kosta rika, jerman, lituania, polandia, dan ukraina. Penetapan resolusi ini didahului oleh upaya di dewan keamanan perserikatan bangsa-bangsa yang gagal karena diveto rusia.(https://id.wikipedia.org/wiki/Resolusi_68/262_Majelis_Umum_Perserikatan_Bangsa-Bangsa?fbclid=IwAR0hLNug4iCJerW7HFtUn0oW57HqB2zfSKwcY0iklSpxKW_Cro19HuI7o10)

    KEPUTUSAN DARURAT:
    RESOLUSI ES-10/L.22 MAJELIS UMUM PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA
    Resolusi ES 10/L.22 Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa adalah resolusi rapat darurat yang menyatakan status Yerusalem sebagai ibu kota Israel “tidak berlaku”.[1] Resolusi ini diadopsi dalam rapat pleno ke-37 sidang istimewa darurat ke-10 Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa[2] pada sidang ke-72 Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa tanggal 21 Desember 2017. Draf resolusi ini diajukan oleh Yaman dan Turki.[3] Meski ditolak keras oleh Amerika Serikat, resolusi ini disahkan dengan 128 suara mendukung, 9 menentang, 35 abstain, dan 21 tidak hadir.

    Pada tanggal 6 Desember 2017, Presiden AS Donald Trump mengatakan bahwa ia akan mengakui status Yerusalem sebagai ibu kota berdaulat Israel.[1] Ini bertentangan dengan resolusi-resolusi MU PBB sebelumnya serta norma-norma internasional yang berlaku bahwa tidak satupun negara yang mengakui Yerusalem sebagai ibu kota negara atau membangun kedutaan besar di sana. Tindakan ini diprotes oleh negara-negara dan masyarakat di berbagai belahan dunia.

    Usai gagalnya resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang pembatalan pengakuan Yerusalem sebagai ibu kota negara oleh negara manapun tiga hari sebelumnya karena diveto A.S., Duta Besar Palestina untuk PBB Riyad Mansour mengatakan bahwa Majelis Umum akan mengadakan pemungutan suara untuk draf resolusi penarikan deklarasi Amerika Serikat. Ia menggunakan Resolusi 377 (disebut juga resolusi “Bersatu untuk Perdamaian”) untuk membatalkan veto. Resolusi ini menyatakan bahwa Majelis Umum dapat menyelenggarakan Sidang Istimewa Darurat untuk membahas suatu persoalan “dengan tujuan memberi saran bersama yang layak kepada negara-negara anggota” apabila Dewan Keamanan tidak mampu bertindak. (https://id.wikipedia.org/wiki/Resolusi_ES-10/L.22_Majelis_Umum_Perserikatan_Bangsa-Bangsa?fbclid=IwAR1kIUqDc9kS2HpGJwUBTDi7HzG_hr8SJlOh1dh4u4CKNciDx6L2nE_dWo0)

    Resolusi Majelis Umum PBB sifatnya mengikat semua negara anggota PBB secara kelembagaan (internal), namun tidak mengikat semua negara anggota PBB dalam bentuk kedaulatan negara (eksternal), sehingga sebuah resolusi ekternal yang menjadi keputusan majelis umum PBB terhadap suatu kasus internasional yang dianggap kontroversial atau bertentangan dengan prinsip moral dan keadilan, yang atas usulan, atau advokasi negara-negara anggota PBB, hal itu dapat ditinjau berdasarkan prosedur kelembagaan.

    Dari tiga konteks Resolusi diatas menjelaskan tiga bentuk kategori resolusi Majelis Umum PBB yang sifatnya sbb:
    “Bahwa sebuah resolusi majelis umum PBB dapat dicabut, demikian juga sebuah keputusan dari hasil referendum dapat dibatalkan, berprinsip pada norma dan keadilan, serta dalam keadaan darurat suatu resolusi dapat dibuat”.

    Kekuatan hukum internasional yang tertinggi berada pada keputusan Dewan Keamanan PBB, sehingga sebuah resolusi yang diadopsi (dibuat) oleh Dewan Keamanan PBB, mempunyai kekuatan hukum internasional yang kuat, mengikat serta memaksa para pihak yang menjadi bagian dari subjek hukum internasional dalam suatu sengketa internasional guna kepatuhan penyelesaian melalui jalan damai. Resolusi Dewan Keamanan PBB dibuat atas pertimbangan perdamaian dan keamanan internasional berdasarkan piagam dasar PBB serta Kejahatan Kemanusiaan (pelanggaran HAM Berat dan kejahatan Genosida).

    Kita sering mendengar pernyataan dari berbagai kalangan di Indonesia yang pada umumnya menyatakan, masalah West Papua sudah final, tidak bisa dialakukan referendum ulang, dan resolusi MU-PBB 2504 menjadi dasar legitimasi West Papua di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dari berbagai pernyataan itu penulis mau katakan demikian, bahwa West Papua hingga saat ini bermasalah di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, indikatornya jelas telah terjadi kejahatan terhadap kemanusiaan termasuk dalam kategori genosida terhadap Pribumi Papua, seiring dengan itu Suara Pribumi Papua semakin nyaring dan jelas kedengarannya, menyuarakan tuntutan “Papua Merdeka”.

    Kejahatan Kemanusiaan dan Tuntutan Kemerdekaan West Papua ibarat dua sisi mata uang logam yang tidak bisa dipisahkan dan betolak belakang, sehingga akan menjadi alat tawar (bargaining) dalam politik internasional tentang hak penentuan nasib sendiri bangsa West Papua, karena konflik wilayah West Papua telah menjadi bagian dari subjek hukum internasional. Oleh karena itu kenyaringan suara kemerdekaan West Papua yang diikuti kasus kajahatan kemanusiaan di West Papua, akan mempengaruhi legalitas Wilayah Geogafis West Papua di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, sehingga akan memunculkan pertanyaan yang mendasar tentang “Kepatuhan Pemerintah Republik Indonesia terhadap Norma dan Keadilan” dalam Pelaksanaan PEPERA tahun 1969, wasalam.(Kgr)

    Penulis adalah Aktivis Pemerhati Masalah West Papua.


    Ket. Gambar: Ilustrasi Majelis Umum PBB

    WestPapua #HumanitarianCrisis #HumanRightsAbuses #UnitedNation #FreeWestPapua #Referendum

  • Australia committed to military cooperation with Indonesia

    Australia committed to military cooperation with Indonesia

    [web_stories_embed url=”https://papuapost.com/web-stories/128737/” title=”Web Story” poster=”” width=”360″ height=”600″ align=”none”]

    Melbourne, Australia – Australia says it will continue to provide military training, conduct joint exercises and export weapons to Indonesia despite increased violence and allegations of human rights abuses in West Papua, in the far east of the archipelago, where conflict has been rumbling for decades.

    The Australian Department of Defence confirmed in a statement to Al Jazeera that Anthony Albanese’s government, which was elected in May, would continue to supply arms to Indonesian forces and provide them with military training.

    “Indonesia is one of Australia’s most important partners. Australia will continue to conduct joint exercises, provide military and policy training, and – consistent with appropriate legislation – export military equipment to Indonesia,” the statement said.

    Despite some rocky patches, Australia has had a longstanding military relationship with Indonesia, including joint training and weapons supply, with Thales Australia selling three Bushmaster troop carriers to Kopassus, Indonesia’s elite forces, in 2014.

    Military units, such as Kopassus, conduct joint training exercises with the Australian SAS, the country’s special forces, while Detachment 88 — also known as Densus 88, a counterterrorism force set up in the wake of the 2002 Bali Bombings — gets funding and training from both Australia and the United States.

    Such initiatives have been credited with reducing the threat from hardline groups, but Indonesian forces remain under scrutiny over allegations of serious human rights abuses in West Papua, where Indigenous people have been fighting for independence for 50 years.

    Indonesia moved into the resource-rich region in the early 1960s, formalising its control through a controversial, United Nations-approved referendum in 1969.

    “Indonesia is one of Australia’s most important partners. Australia will continue to conduct joint exercises, provide military and policy training, and – consistent with appropriate legislation – export military equipment to Indonesia,” the statement said.

    Despite some rocky patches, Australia has had a longstanding military relationship with Indonesia, including joint training and weapons supply, with Thales Australia selling three Bushmaster troop carriers to Kopassus, Indonesia’s elite forces, in 2014.

    Military units, such as Kopassus, conduct joint training exercises with the Australian SAS, the country’s special forces, while Detachment 88 — also known as Densus 88, a counterterrorism force set up in the wake of the 2002 Bali Bombings — gets funding and training from both Australia and the United States.

    Such initiatives have been credited with reducing the threat from hardline groups, but Indonesian forces remain under scrutiny over allegations of serious human rights abuses in West Papua, where Indigenous people have been fighting for independence for 50 years.

    Indonesia moved into the resource-rich region in the early 1960s, formalising its control through a controversial, United Nations-approved referendum in 1969.

    Read Full Story [web_stories title=”false” excerpt=”false” author=”false” date=”false” archive_link=”true” archive_link_label=”” circle_size=”150″ sharp_corners=”false” image_alignment=”left” number_of_columns=”1″ number_of_stories=”5″ order=”DESC” orderby=”post_title” view=”circles” /]

  • BREAKING NEWS! Buchtar Tabuni ditangkap Polisi Indonesia

    Hari ini, Kamis (24/03/2022) pagi sekitar pukul 10:40 waktu West Papua, Ketua Dewan West Papua (West Papua Council), yang juga adalah Ketua Legislatif Pemerintahan Sementara ULMWP Mr. Buchtar Tabuni DITANGKAP oleh Polisi Indonesia dari Polresta Jayapura di kediamannya di Kamwolker, Waena — Jayapura.

    Polisi Indonesia mendatangi kediaman Buchtar Tabuni dengan menggunakan 1 mobil dalmas yang berisikan personil kepolisian, 2 mobil patroli dan 4 mobil Avanza berisikan personil intelijen yang dipimpin oleh Kepala Intelijen Kepolisian Kota Jayapura.

    Belum diketahui pasti alasan penangkapan namun menurut keterangan beberapa saksi mengatakan bahwa dia dikeroyok oleh Polisi Indonesia saat melakukan penangkapan terhadap tokoh Papua Merdeka itu.

    Saat ini, Tuan Buchtar ditangkap dan dibawa keluar dari kediamannya oleh Polisi. Kemungkinan dia dibawa ke Kantor Polisi.

    Mohon advokasi dan pantauan media!

    (https://m.facebook.com/396357444077782/posts/1643990205981160)

    #BuchtarTabuni#WestPapua#Chairman#WestPapuaCouncil#ULMWP#ProvisionalGovernment#FreeWestPapua#Referendum

  • Hati-Hati Dengan Dialog Jakarta – Papua Difasilitasi Komnas HAM Indonesia

    Hati-Hati Dengan Dialog Jakarta – Papua Difasilitasi Komnas HAM Indonesia

    Pada waktu Delegasi MSG desak Indonesia untuk berkunjung ke Papua, Presiden Jokowi terima tim 14 di istana Negara dan Pater Dr. Neles Tebay dan Menkopolhukam Wiranto ditunjuk untuk mengatur dialog tersebut. Tujuannya adalah untuk menghalangi kunjungan Delegasi MSG ke Papua, dan akhirnya dialog itu tidak jalan hingga akhir hidup Dr. Neles Tebay.

    Hari ini pemerintah Indonesia telah mendapat tekanan oleh 79 negara ACP, Uni-Eropa, dan Komisi HAM PBB. Intervensi Special Prosedur PBB dan Komisi HAM PBB dan desakan 79 negara ACP dan Uni-Eropa tersebut menjadi tekanan luar biasa bagi Indonesia. Pemerintah Indonesia tidak ada pilihan lain untuk menghadapi tekanan tersebut, oleh karena itu Presiden Jokowi dan pemerintah Indonesia bersedia untuk dialog dengan Papua. Para pejuang dan rakyat Papua harus hati-hati dengan strategi ini, karena ini cara untuk menghindari atau memotong jalan bangsa Papua.

    Sebuah perundingan bisa terjadi setelah kunjungan Delegasi Pencari Fakta PBB, dan berdasarkan hasil investigasi PBB itu barulah dapat dirundingkan antara pemerintah Indonesia dan Pemerintah Sementara ULMWP yang difasilitasi oleh PBB. Apakah dalam sidang umum PBB atau sesuai dengan mekanisme PBB. Hanya dengan mekanisme PBB dapat dicabut Resolusi 2504 tahun 1969 itu, karena Resolusi inilah Indonesia ada di Papua.

    Dialog di luar dari mekanisme PBB adalah cara Indonesia untuk memotong dukungan internasional atas Papua dan tidak lebih dari itu. Apa lagi KOMNAS HAM Indonesia mau lobi dan fasilitasi dialog itu. Komnas HAM itu hanya sebuah lembaga kecil dan menjadi bagian dari pemerintah Indonesia. Masalah Papua tidak berada di Komnas HAM Indonesia, tetapi ada di PBB. Negara-negara anggota PBB lah yang memasukan Papua di Indonesia, karena itu PBB juga akan cabut Resolusi 2504 dan kembalikan hak kedaulatan bangsa Papua.

    Untuk itu, sekali lagi hati-hati dengan strategi Indonesia yang mengangkat kembali isu Dialog Jakarta-Papua ini.

  • Indonesia: Pakar PBB membunyikan alarm tentang pelanggaran serius di Papua, menyerukan bantuan mendesak

    #UNnews#NewsPBB Edisi, 1 Maret 2

    JENEWA (1 Maret 2022) – Pakar hak asasi manusia PBB* hari ini menyatakan keprihatinan serius tentang memburuknya situasi hak asasi manusia di provinsi Papua dan Papua Barat di Indonesia, mengutip pelanggaran yang mengejutkan terhadap penduduk asli Papua, termasuk pembunuhan anak, penghilangan, penyiksaan dan pemindahan massal orang-orang.

    Para ahli menyerukan akses kemanusiaan yang mendesak ke wilayah tersebut, dan mendesak Pemerintah Indonesia untuk melakukan penyelidikan penuh dan independen terhadap pelanggaran terhadap masyarakat adat.

    “Antara April dan November 2021, kami telah menerima tuduhan yang menunjukkan beberapa contoh pembunuhan di luar proses hukum, termasuk anak-anak kecil, penghilangan paksa, penyiksaan dan perlakuan tidak manusiawi dan pemindahan paksa setidaknya 5.000 orang asli Papua oleh pasukan keamanan [Indonesia],” kata para ahli.

    Mereka mengatakan perkiraan menyebutkan jumlah keseluruhan pengungsi, sejak eskalasi kekerasan pada Desember 2018, antara 60.000 hingga 100.000 orang.

    “Mayoritas pengungsi di West Papua belum kembali ke rumah mereka karena kehadiran pasukan keamanan [Indonesia] yang kuat dan bentrokan bersenjata yang sedang berlangsung di daerah konflik,” kata para ahli. “Beberapa pengungsi tinggal di tempat penampungan sementara atau tinggal bersama kerabat. Ribuan penduduk desa yang mengungsi telah melarikan diri ke hutan di mana mereka terkena iklim yang keras di dataran tinggi tanpa mendapatkan akses ke makanan, perawatan kesehatan, dan fasilitas pendidikan.”

    Selain pengiriman bantuan ad hoc, lembaga bantuan kemanusiaan, termasuk Palang Merah, memiliki akses terbatas atau tidak ada sama sekali kepada para pengungsi, kata mereka. “Kami sangat terganggu oleh laporan bahwa bantuan kemanusiaan untuk pengungsi Papua dihalangi oleh pihak berwenang,” tambah para ahli.

    “Masalah gizi yang parah telah dilaporkan di beberapa daerah dengan kurangnya akses ke makanan dan layanan kesehatan yang memadai dan tepat waktu. Dalam beberapa insiden pekerja gereja telah dicegah oleh pasukan keamanan untuk mengunjungi desa-desa tempat pengungsi mencari perlindungan.

    “Akses kemanusiaan yang tidak terbatas harus segera diberikan ke semua wilayah di mana penduduk asli Papua saat ini berada setelah mengungsi. Solusi yang [bisa dapat] bertahan lama harus dicari.”

    Sejak akhir 2018, para ahli telah menulis surat kepada Pemerintah Indonesia pada selusin kesempatan** tentang berbagai dugaan insiden. “Kasus-kasus ini mungkin merupakan puncak gunung es mengingat akses ke wilayah tersebut sangat dibatasi sehingga sulit untuk memantau kejadian di lapangan,” kata mereka.

    Mereka mengatakan situasi keamanan di dataran tinggi Papua telah memburuk secara dramatis sejak pembunuhan seorang perwira tinggi militer oleh Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPN PB) di Papua Barat pada 26 April 2021. Para ahli menunjuk penembakan dua anak, berusia 2 dan 6, pada tanggal 26 Oktober ketika peluru menembus rumah masing-masing selama baku tembak. Bocah 2 tahun itu kemudian meninggal.

    “Tindakan mendesak diperlukan untuk mengakhiri pelanggaran hak asasi manusia yang sedang berlangsung terhadap penduduk asli Papua,” kata para ahli, menambahkan pemantau independen dan jurnalis harus diizinkan mengakses wilayah tersebut.

    “Langkah-langkahnya harus mencakup memastikan semua dugaan pelanggaran menerima penyelidikan menyeluruh, cepat dan tidak memihak. Investigasi harus ditujukan untuk memastikan mereka yang bertanggung jawab, termasuk perwira atasan jika relevan, dibawa ke pengadilan. Pelajaran penting harus dipelajari untuk mencegah pelanggaran di masa depan.”

    Para ahli kembali menyampaikan keprihatinan mereka kepada Pemerintah dan mereka mengakui Pemerintah telah mengirimkan balasan atas surat tudingan AL IDN 11/2021 tersebut.

    SELESAI

    ___________

    Sumber: (https://www.ohchr.org/…/NewsE…/Pages/DisplayNews.aspx…)

    #WelcomeUNHC🇺🇳#WestPapua#HumanitarianCrisis#HumanRightsAbuses#PIF#ACP#UnitedNation#OHRCHR#UNHRC#FreeWestPapua

Are you sure want to unlock this post?
Unlock left : 0
Are you sure want to cancel subscription?