Tag: WPNA

  • Berkompromi dengan Sesama Pejuang Pertanda Kematangan Jiwa

    Berkompromi, dalam politik Papua Merdeka artinya saling mengakui dan saling menerima sesama pejuang sebagaimana adanya, dengan segala kekurangan, dengan segala kelebihan, dengan semua kesalahan, dengan sekalian kebenaran, seutuhnya dan semuanya, dan menjadikannya sebagai modal bersama untuk melangkah ke depan.

    Demikian dikatakan Gen. WPRA Amunggut Tabi menanggapi perkembangan terakhir antara pro-kontra dan membenarkan-menyalahkan diri antara sesama pejuang Papua Merdeka di hadapan para penonton dunia yang begitu berminat dan menghabiskan banyak waktu untuk menikmatinya.

    Salah dua wujud dari kompromi itu ialah terbentuknya United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) dan West Papua Army (WPA). Kedua lembaga ini menyatukan keseluruhan pejuang dan perjuangan kemerdekaan bangsa Papua dari Sorong sampai Maroke, bahkan dari Raja Ampat sampai Samarai.

    Kedua hasil kompromi ini telah memberikan signal kepada Negara Kolonial Republik Indonesia (NKRI) dan para sponsornya bahwa bangsa Papua saat ini lebih siap daripada sebelumnya untuk mengambil-alih kepemerintahan dari tanah penjajah ke tangan pemimpin bangsa Papua dan pemerintah Negara Republik West Papua sendiri.

    Kedua hasil kompromi ini menunjukkan bahwa “politik” dan “berpolitik” itu ada dan beroperasi di dalam hidup bangsa Papua, khususnya di antara para pejuang kemerdekaan Negara Republik West Papua. Memang kompromi itu sudah lumrah di kalangan orang Papua atau Orang Asli Papua (OAP) yang sekarang berpolitik di dalam NKRI. Mereka berkompromi setelah kalah dalam Pilkada dan Pilpres. Mereka terbiasa menerima kekalahan dan mengkleim kemenangan. Kemudian, mereka lakukan kompromi untuk menjalankan kehidupan perpolitikan mereka di dalam negeri di bawah kekuasaan NKRI.

    Kompromi seperti itu belum dikenal di kalanngan OAP Papua Merdeka. Baru pertama kali kita alami setelah WPNCL gagal mendaftarkan diri ke Melanesian Spearhead Group (MSG), yang kemudian memaksa pemerintah Negara Republik Vanuatu untuk menngeluarkan dana yang begitu besar dan mendesak para pemimpin WPNCL dan NRFPB bersatu dan menghasilkan Saralana Declaration dan hasilnya terbentuklah ULMWP.

    Berkompromi bukan berarti menyerah

    Berkompromi di sini kita maksudkan untuk sikap dan perilaku politik kita di antara OAP sendiri, bukan dengan lawan politik NKRI. Terhadap kehadiran dan pendudukan NKRI, semua bangsa Papua harus melawan terus sampai titik darah penghabisan. Tidak ada kompromi dalam hal ini.

    Akan tetapi, untuk mencapai itu, supaya mencapai itu, untuk mempercepat dan untuk memperlancar pencapaian cita-cita itu, “berkompromi” di antara OAP atas nama bangsa Papua, atas nama senasib-sepenanggungan, melupakan masa lalu, dan menatap ke masa depan yang gemilang, West Papua di luar NKRI ialha cita-cita yang akan secara otomatis memaksa kita untuk harus “membuang ego” pribadi dan ego kelompok, dan mengakui serta menerima sesama pejuang bangsa Papua, sesama organisasi perjuangan bangsa Papua sebagai “One People – One Soul”, satu kaum, satu hati.

    Bersikeras artinya Kita Belum Dewasa

    Mempertahankan prinsip revolusi dan tujuan kemerdekaan itu merupakan sesuatu yang tidak boleh di-kompromi-kan dengan alasan apapun. Akan tetapi bersikeras mempertahankan kepentingan dan kehadiran diri dan kelompok sendiri menentang diri dan kelompok orang sesama OAP yang sama-sama berjuang untuk Papua Merdeka atas nama apa-pun menunjukkan kita benar-benar belum dewasa berpolitik, dan kita benar-benar belum dewasa berpikir.

    Apakah dengan bersikeras dan tidak berkompromi antar sesama kita bermaksud mempercepat proses kemerdekaan West Papua?

  • Why West Papua Army and NOT TPNPB OPM or TPN/OPM ?

    Gen. WPRA Amunggut Tabi (WPRA) from the Centreal Defence Headquarters of West Papua Revolutionary Army (WPRA) explains simple version of the resion “Why West Papua Army and NOT the West Papua National Liberation Army (TPN PB) of Organisasi Papua Merdeka (OPM) hereby called TPNPB – OPM?

    Papua Merdeka News (PMNews)  asked Gen. Tabi regarding the dispute between the United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) with West Papua Army (WPA) and TPNPB-OPM under the leadership of Jefry Bomanak Pagaawak (OPM) and Sebby Sambom (TPNPB)l.

    TPN/OPM, TPN.PB, TPN-PB, TPNPB-OPM, TNPB and OPM

    General WPRA Tabi says, the first problem is to do with the name TPNPB. There have been so far three groups using the same name, TPNPB with three variations of TPN.PB-OPM (Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat – Organisasi Papua Merdeka), TPN-PB (Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat), and DM-TPNPB (Dewan Militer Tentara Pembebasan Nasional).

    The first TPN-PB – OPM was set up by Komite Nasional Papua Barat (KNPB) in Biak in 2012. This TPNPB then formed affiliation with Jefry Bomanak Pagawak who has been based in Scotiau, Vanimo, Port Moresby, Kiunga and Mount Hagen.

    Another TPNPB is also called TNPB, short name for “Tentara Nasional Papua Barat“. This TNPB has been called TPN as well under the command of H. R. Joweni until the formation of WPNCL on 20 December 2005 when Joweni was elected as the Chair of the WPNCL.

    The Military Council of the West Papua National Liberation Army (DM-TPNPB) is chaired by Nikolas Ipo Hau and Gen. TPN Abumbakarak Omawi Wenda as the Supreme Commander.

    Among these, there is West Papua Revolutionary Army (WPRA), which is called Tentara Revolusi West Papua (TRWP) with Gen. WPRA Mathias Wenda as the Commander in Chief. The WPRA was formed as a result of TPN/OPM Summit that was held after being endorsed by all military commanders in the jungles in 2005-2006 and held in Vanimo, in which WPRA was officially separated from the political organisation called OPM (Organisasi Papua Merdeka).

    WPRA anticipated that a political grouping will be happening in the near future, most probably OPM with new leadership and organisation.

    WPRA separated itself from OPM in order to help OPM as a political organisation to function properly as modern political organisation for West Papua Independence. It took very long time to separate between military wing and political organisation of Free West Papua Movement. Indonesia has been using this unclear naming and concept to brand the movement as separatist, trouble makers, and finally terrorists.

    The name TPN/OPM (TPN slash OPM) has been very commonly used among West Papua independence fighters, making it complicated for Papuans ourselves to see who we are: “politicians” or “military fighters”. The rhetoric, the way of thinking, the concepts of the independence movement, as well as the naming of all have been mixed and misrepresented and misunderstood both by Papuans ourselves and more by the international community.

    WPRA separation from OPM gave path to all other groups within West Papua independence movement to call themselves NOT TPN/OPM anymore, but it became DM-TPNPB, TPNPB and TPN-PB, or TPN.PB.

    WPNA, NRFPB, TPN/OPM, WPRA, TPNPB, WPNCL

    The story of TPN/OPM, TPNPB and WPRA is one side of the coin. The other side is the story of West Papua National Authority (WPNA), West Papua National Coalition for Liberation (WPNCL) and the NRFPB (Negara Republik Federal Papua Barat – The Federal Republic of West Papua) under the leadership of Waromi – Yaboisembut.

    OPM and TPNPB belongs to the TPN/OPM group, commonly called the One-Star Group (Kelompok Bintang Satu). The other party is called the 14-Stars Group (Kelompok Bintang Empatbelas), who totally have nothing to do with the OPM, but have some things to do with TPN under the leadership of H.R. Joweni, who then became the chair of WPNCL.

    We all know when WPNCL applied for MSG membership, the MSG leaders asked West Papuan independence fighters to re-apply with all-inclusive organisations, primarily because the NRFPB was not inside the WPNCL.

    Why WPNCL was not regarded as fully representing West Papuans or West Papua?

    Only one possible answer: One-Star Group only applying for membership, the 14-Stars Group was not included.

    Now, why West Papua Army, and NOT TPNPB?

    West Papua Army (WPA) is the name as a result of political lobbies and calculations. It was formed as step to get out from the “One Star – Fourthen Star Groups Stigmatization“. We all want to be free from Indonesian colonialism, therefore we need to unite politicaly and militarily.

    Therefore, ULMWP is not undermining or forgeting the OPM, and WPA is not getting rid of the TPNPB, but we are progressing from one chapter to the next one, from one page to the next one, towards our goal: Free and Independent Republic of West Papua.

    So, all TPN/OPM, TPNPB, TPNPB-OPM, DM-TPNPB, WPRA, WPNCL, we are all from the “One -Star Group”. We are now joining with the “Fourteen Star Group”, called NRFPB and TNPB (Tentara Nasional Papua Barat – Wet Papua National Army).

    [to be continued…]

  • Publikasi Dokumen Rahasia A.S. dan Langkah Perjuangan Kemerdekaan West Papua

    Publikasi dokumen rahasia Amerika Serikat oleh tiga lembaga resmi negara Paman Sam beberapa hari lalu mendapatkan berbagai macam tanggapan dari sejumlah pihak, baik di Tanah Papua maupun di Indonesia. Tanggapan curiga, tidak ada apa-apa, dan tanggapan menentang muncul dari Indonesia. Dari Tanah Papua, ada kesan seolah-olah kita dapat memanfaatkan dokumen rahasia dimaksud untuk mengkampanyekan Papua Merdeka. Semua fakta dan data yang tersedia bermanfaat, tergantung siapa, kapan dan di mana fakta dan data tersebut dimanfaatkan.

    Bagi bangsa Papua, telah terbuka diketahui dunia sekarang bahwa memang ada rekayasa, ada campur-tangan asing, ada kepentingan di luar aspirasi bangsa Papua yang mendorong dan melindungi, membela dan megizinkan invasi militer, operasi militer, pendudukan dan penjajahan NKRI di atas wilayah kedaulatan Negara Republik West Papua yang berhasil disiapkan tanggal 1 Desember 1961 dan diproklamirkan 10 tahun kemudian: 1 Juli 1971.

    Dalam kondisi bangsa Papua berada di tengah dukungan politik kawasan paling sukses dan dukungan politik internasional yang sudah memasuki tahap awal, maka kita semua harus menyadari bahwa kita tidak larut dalam sejarah masa-lalu, berlama-lama dalam menyesali, memarahi, merenungkan dan mengungkit-ungkit masa lalu yang jelas-jelas sudah berlalu. Kita harus belajar untuk menengok ke belakang dalam waktu sekejap dan dengan dasar itu merancang dan menatap masa depan secara bijak.

    Masa depan perjuangan Papua Merdeka sudah memasuki tahapan yang sangat menentukan, di mana lembaga eksekutif dan legislatif dalam perjuangan Papua Merdeka sudah mengerucut. Kini Tanah Papua memiliki lembaga perjuangan seperti Presidium Deawn Papua (PDP), West Papua National Authoriry (WPNA), West Papua National Coalition for Liberation (WPNCL), Dewan Musyawarah Masyarakat Adat Koteka (DeMMAK), Dewan Adat Papua (DAP) dan organisasi pemuda serta angkatan bersenjata yang menyebar di seluruh Tanah Papua.

    Di saat yang sama, kita telah memiliki United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) sebagai calon lembaga pemerintahan, eksekutif yang menjalankan fungsi pemerintahan Negara West Papua. Sejajar dengan itu, kita punya Pemerintahan Negara Federal Republik Papua Barat (NRFPB) dengan Presiden Forkorus Jaboisembut. Kita juga sudah punya PNWP dan Dewan Parlemen Nasional yang berfungsi sebagai legislatif dalam organisasi pemerintahan berdasarkan prinsip Trias Politica.

    Kita akan memiliki pilar Judicative, kepolisian dan tentara nasional di waktu tidak lama lagi.

    Yang terjadi di kawasan Pasifik Selatan begitu menarik. Negara-Negara Pasifik Selatan telah siap dan matang untuk menerima negara dan pemerintahan baru dari Tanah Paupa, bernama Negara Republik West Papua, dengan pemerintahan West Papua, berdasarkan Undang-Undang Negara West Papua.

    Dipimpin oleh pemerintahan Republik Vanuatu dan Solomon Islands telah terbangun solidaritas tidak hanya di dalam kawasan Melanesia, tetapi telah menyebar ke seluruh Pasifik Selatan dan sudah merintis kerjasama dukungan di kawasan Melanesia – Afrika dan Melanesia – Eropa.

    Para pemimpin negara-negara kepulauan Pasifik Selatan telah dengan nyata dan terbuka menyampaikan dukungan mereka atas kemerdekaan West Papua di Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

    Kalau kita masuk kelas-kelas Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah, membaca syarat pendirian sebuah negara, maka kita harus terus-terang, sebagian besar syarat pendirian sebuah negara sudah didapatkan, sudah diraih, sudah ada di tangah.

    Yang belum diwujudkan saat ini ada dua: Negara West Papua tidak memiliki pemerintahan, dan kedua, untuk menjalankan pemerintahan itu, Negara West Papua belum memiliki Undang-Undang yang menunjukkan bangunan negara West Papua sebagai cara masyarakat modern mengorganisir diri dalam lembaga bernama “negara-bangsa”.

    Oleh karena itu, apa yang harus kita katakan bilamana ada oknum, ada lembaga, ada kelompok, ada pihak yang beranggapan, berusaha menghalang-halangi, dan menunda-nunda proses pembuatan Undang-Undang Negara West Papua dan pembentukan pemerintahan Pemerintahan Semantara Republik West Papua?

    Bukankah mereka itu mush aspirasi bangsa Papua?

    Bukankah mereka menjalankan tugas, fungsi dan misi NKRI?

    Ingat, Papua Merdeka tidak harus berarti marga Papua, kulit hitam, rambut keriting! Dia lebih dari itu! Karena politik Papua Merdeka, nasionalisme Papua BUKAN etno-nasionalisme, tetapi sebuah nasionalisme berdasarkan filsafat, teori dan prinsip demokrasi modern yang menyelamatkan planet Bumi dari kepunahan.

  • Amunggut Tabi: Yang Mau Panglima Gerilyawan Bersatu ialah BIN/NKRI

    Menanggapi analisis Papua Merdeka News (PMNews) dalam artikel sebelumya, yang diusulkan sebelumnya kepada Tentara Revolusi West Papua (TRWP) beberapa hari lalu, ini tanggapan dari TRWP kepada PMNews.

    Dalam artikel Anda ditulis:

    Agenda mempersatukan komando dan panglima perjuangan Papua Merdeka ialah sebuah agenda NKRI yang telah diluncurkan sejak tahun 1998, yang sampai hari ini belum berhasil. Yang paling terakhir, mereka berusaha membujuk Gen. Kelly Kwalik, tetapi beliau menolak, maka beliau dibunuh secara tidak terhormat, atas pancingan dari anak keponakannya sendiri.

    Saat ini, lewat ULMWP , agen BIN/NKRI mendesak kepada pucuk pimpinan ULMWP, supaya semua komandan dan panglima gerilyawan di Rimba New Guinea harus dipersatukan, karena NKRI sudah punya setelan dan akses langsung kepada sejumlah panglima di Tanah Papua, sehingga pada saat disatukan, mereka dapat mengendalikan komando dari dalam negeri, demi mempertahankan NKRI di atas Tanah Papua.

    Analisis ini sangat benar. Yang NKRI mau ialah Panglima Perang di hutan menjadi satu dalam komando, supaya mereka bisa main bayar, mereka bisa main sogok, mereka juga bisa main bunuh, dan dengan demikian masalah perjuangan ini berhenti total.

    Mereka kan sudah lama kejar Bapak Gen. TRWP Mathias Wenda, sudah lama kejar Bapak Gen. Bernardus Mawen, Bapak Gen. Kelly Kwalik, akhirnya mereka sudah bunuh yang lain dengan sukes. Mereka gagal total mendekati para panglima yang berdiri sungguh-sungguh di atas kebenaran.

    NKRI/BIN tahu bahwa mereka tidak akan sanggup mempersatukan para gerilyawan dalam satu komando, oleh karena itu mereka masuk ke dalam ULMWP lewat anak mantu mereka, informan mereka, so-called pejuang Papua Merdeka yang ignorant dan memanfaatkan mereka sebagai pemberi informasi.

    ULMWP harus tahu, siapa saja, dari hutan, dari kota, dari dalam negeri dari luar negeri, siapa saja yang bicaranya seperti memaksa, bicara seperti mendesak dan sampai mengancam ULMWP atau tokoh Papua Merdeka atas nama gerilyawan atau atas nama Papua Merdeka atau atas nama OPM, maka dipastikan bahwa mereka itulah kaki-tangan lawan politik Papua Merdeka.

    Kami dari TRWP sangat heran membaca laporan dari Republik Vanuatu, di mana salah satu hasil rapat mengatakan bahwa ULMWP menginginkan para panglima di hutan New Guinea supaya bersatu dalam satu komando.

    Pertanyaan kami,

    “ULMWP itu statusnya apa sehingga bisa memerintahkan para panglima gerilyawan yang sudah puluhan tahun berada di hutan mempertaruhkan nyawa untuk Papua Merdeka?”

    ULMWP harus menunjukkan kepemimpinannya, harus menunjukkan diri sebagai organisasi modern dan profesional, yang dapat dipercaya oleh dunia internasional untuk mewakili Negara West Papua sebagai sebuah “government-in-waiting”, baru bisa bicara tentang organisasi yang sudah melahirkan ULMWP itu sendiri.

    Ini anak baru lahir, sudah berani suruh induknya ganti celana? Tidak tahu malu. Sangat tidak sopan.

    Kalau belum “behave” dan “show up” sebagai sebuah lembaga persiapan pemerintahan negara, maka jangan cepat-cepat memerintahkan organisasi yang sudah lebih dari setengah abad berjuang untuk Papua Merdeka.

    Yang harus dipersatukan ialah organisasi politik dan representasi sosial-budaya West Papua, yaitu:

    1. PDP (Presidium Dewan Papua)
    2. DAP (Dewan Adat Papua)
    3. DeMMAK (Dewan Musyawarah Masyarakat Adat Koteka)
    4. WPIA (West Papua Indigenous Association)
    5. WPNA (West Papua National Authority
    6. WPNCL (West Papua National Coalition for West Papua)
    7. NRFPB (Negara Republik Federal West Papua)

    Kemudian semua lembaga ini harus menerima PNWP (Parlemen Nasional West Papua) sebagai lembaga parlemen West Papua dan ULWMP (United Liberation Movement for West Papua) sebagai lembaga pemerintahan untuk Negara Republik West Papua.

  • ULMWP Stop Sibuk yang Lain: Harus Mempersatukan Program dan Langkah-Langkah

    Ada sejumlah hal berkembang di kalangan aktivis Papua Merdeka, menyebarkan berita dan email secara terbuka dan tertutup, berisi berbagai isu dan hasil diskusi yang dilakukan ULMWP selama ini. Dari PIS (Papua Intelligence Service) didapati pesan-pesan bahwa BIN/ NKRI sudah aktiv bekerja, dan kini bergerilya dengan bebas di dalam ULMWP.

    Berikut beberapa indikatornya:

    Indikator pertama ialah memerintahkan ULMWP untuk segera mempersatukan para panglima dan komandan gerilyawan di rimba New Guinea.

    Agenda mempersatukan komando dan panglima perjuangan Papua Merdeka ialah sebuah agenda NKRI yang telah diluncurkan sejak tahun 1998, yang sampai hari ini belum berhasil. Yang paling terakhir, mereka berusaha membujuk Gen. Kelly Kwalik, tetapi beliau menolak, maka beliau dibunuh secara tidak terhormat, atas pancingan dari anak keponakannya sendiri.

    Saat ini, lewat ULMWP , agen BIN/NKRI mendesak kepada pucuk pimpinan ULMWP, supaya semua komandan dan panglima gerilyawan di Rimba New Guinea harus dipersatukan, karena NKRI sudah punya setelan dan akses langsung kepada sejumlah panglima di Tanah Papua, sehingga pada saat disatukan, mereka dapat mengendalikan komando dari dalam negeri, demi mempertahankan NKRI di atas Tanah Papua.

    Apakah Oktovianus Motte dan Benny Wenda tahu hal ini? Tentu saja tidak. Dari segala hal yang mereka lakukan belakangan ini menunjukkan, mereka justru melangkah ke arah skenario NKRI.

    Indikator kedua, para pejabat ULMWP lebih sibuk bicara tentang siapa SekJend, Siapa Jubir, siapa Dubes, siapa Kepala Kantor dan sebagainya. Tidak ada satu-pun dari personnel inti ULMWP yang menyampaikan visi/ misi dan program yang jelas dan gamplang, profesional dan tertulis jelas kepada bangsa Papua dan kepada para negara Melanesia yang mendukung Papua Merdeka.

    Kita menjadikan perjungan Papua Merdeka sama dengan nuansa “kedatangan Yesus untuk kedua kalinya”, semuanya serba rahasia, semuanya serba tidak pasti, semuanya serba raba-raba. Semua orang tahu Yesus akan datang, semua orang tahu dunia akan kiamat, tetapi siapa tahu kapan itu akan terjadi? Semua orang West Papua diberitahu, semua orang Melanesia diberitahu West Papua mau merdeka, tetapi kapan, bagaimana? Tidak jelas.

    Masing-masing pimpinan ULMWP merasa curiga, merasa tidak percaya, merasa tidak bisa kerjasama. Belum dilakukan usaha-usaha kerjasama, ktai sudah punya kesimpulan bahwa kita tidak bisa kerjasama. Dan oleh karena itu kita beranggapan pemimpin yan gada harus diganti.

    • Wahai bangsa Papua, ini namanya Politik devite et impera, politik adu-domba ajaran Belanda yang digunakan NKRi saat ini.
    • Wahai pimpinan ULMWP, siapapun yang mengajak engkau untuk mengatur pergantian pengurus, hendak-lah kau hardik dan katakan, “Enyahlan engkau wahai iblis, karena saya pemimpin bangsa Papua, tunduk kepada aturan kebersamaan dengan prinsip “Ap Panggok“. (Ap panggok adalah filosofi perjuangan Koteka, yang artinya perjuangan saya sukses karena perjuangan-mu, bukan karena perjuanganku semata).

    Indikator ketiga, ULMWP masih bermental budak, tidak sama dengan para pemimpin perjuangan kemerdekaan Timor Leste. Indikator utama mental budak ULMWP ialah “lebih percaya kepada kulit putih dan negara-negara barat daripada percaya kepada diri sendiri dan ras dan bangsa sendiri!’

    Kalau orang barat bilang, “Kita ke Geneva, bicara HAM, maka ULMWP ke sana, ramai-ramai ke sana.” Kalau dunia barat perintahkan, “Jangan pakai kata revolusi dalam organisasi atau undang-undang West Papua“, maka mereka berikan komentar seolah-olah mereka paham atas apa yang dimaksudkan sang majukannya.

    Mental budak yang lain ialah selalu melihat NKRI dan sekutunya ialah penentu kemerdekaan West Papua, penghambat kemerdekaan West Papua, penyebab penderitaan bangsa Papua. Budak tidak punya kemerdekaan, ia bertugas bekerja untuk majikannya. Ia tidak punya pilihan. Sama saja. ULMWP menjadi tak punya kemerdekaan pada dirinya sendiri. Ia berdiri untuk menyalahkan NKRI dan sekutunya.

     

    ULMWP Harus Medeka Dulu untuk Memerdekakan Bangsa Papua

    Untuk merombak nasib ULMWP seperti ini, sudah saatnya pertama-tama, ULMWP tampil sebagai sebuah organisasi yang profesional. Ciri-ciri organisasi modern, atau profesional ialah

    Pertama, ULMWP harus punya aturan main yang jelas. Dalam hal ini ULMWP tidak tepat memiliki Anggaran Dasar/ Anggaran Rumah Tangga (AD/ART), karena ULMWP adalah sebuah lembaga perwakilan dari sebuah bangsa dan negara dalam penantian, bukan sebuah LSM. Oleh karena itu, ULWMP harus memiliki sebuah Undang-Undang Republik West Papua, entah itu mau dikatakan “Sementara” karena takut menggunakan “Revolusi” atau nama apa saja tidak menjadi masalah.

    Yang penting ULMWP harus memiliki Undang-Undang, bukan AD/ART.

    Dalam Undang-Undang inilah ditentukan semua hal tentang kenegaraan dan pemerintahan West Papua, termasuk masa jabatan, syarat-syarat pejabat dan pemimpin, pejabat negara, dan semua hal tentang kenegaraan dan pemerintahan Republik West Papua.

    Dengan demikian ULMWP tidak perlu kita bermentalitas Melayo-Indos yang tiap bari berpikir dan bergerak untuk merebut jabatan, tetapi tidak pernah berpikir murni untu membangun NKRI. Waktu dan tenaga kita akan habis untuk memperebutkan jabatan, bukan untuk memperjuangkan Papua Merdeka.

    Kedua, ULMWP harus membuka pendaftaran bagi atau mengundang untuk bergabung kepada organisasi orang Papua lain di mana-pun mereka berada untuk mendaftarkan diri. Pertama-tama, ULMWP harus mengundang Presidium Dewan Papua (PDP) dan memberikan posisi yang layak. Kedua ULMWP harus memberikan undangan dan status yang jelas kepada Dewan Adat Papua (DAP), dan Dewan Musyawarah Masyarakat Adat Koteka (DeMMAK). ULMWP juga harus memberikan status yang jelas terhadap West Papua Indigneous Peoples Association (WPIA) dan West Papua National Authority (WPNA).

    Selama ini kita berjuang sangat memboroskan tenaga. Kita sendiri bangun sebuah organiasi perjuangan baru, lalu besoknya kita sendiri bunuh mati organisasi kita. West Papua bukan hanya terkenal dengan panggilan “tukang makan orang”, tetapi kita juga seharusnya dikenal dunia sebagai “tukang makan organisasi sendiri”. Kita kanibal politik (political cannibalist) murni sedunia.

    Ketiga, ULMWP harus menulis sebuah “Scientific Paper”, karya ilmiah tentang perjuangan kemerdekaan West Papua.  Di dalam karya ilmiah ini, tercantum garis besar kebijakan, wajah negara West Papua, pemerintahan Negara West Papua, Kantor Pusat Koordinasi perjuangan Papua Merdeka, Profile dan Kontak Resmi Sekretariat ULMWP.

    Alm. Dr. OPM John Otto Ondowame dan Prof. Glen Ottow Rumaseuw, MWS serta tulisan Alm. Sem Karoba telah memberikan gambaran ilmiah sebagai pijakan untuk dipakai dalam membangun “Negara West Papua”, yang dikemas dan dipresentasikan oleh ULMWP sebagai “pemerintahan bayangan dari “Negara Republik West Papua”.

  • ULMWP Seharusnya Sudah Melangkah Membentuk Pemerintahan Negara Republik West Papua

    ULMWP Seharusnya Sudah Melangkah Membentuk Pemerintahan – Jangan Jadi Aktivis Papua Merdeka Abadi adalah kalimat yang diucapkan seorang pejuang Papua Merdeka menindak-lanjuti kemenangan-kemenangan beruntun di kawasan Pasifik Selatan selama dua tahun terakhir.

    Orang Papua dikenal dengan “bersenang-senang di arena pertempuran“, dan tidak mau merayakan kemenangan. Kemenagnan tidak dianggap, masalah yang dianggap. Ini salah satu dari banyak ciri khas yang disebut Dr. Benny Giay sebagai bangsa yang “memenuhi syarat untuk dijajah“.

    Ini sebab utama kenapa Timor Leste yang berjuang belakangan sudah merdeka lebih duluan.

    Ciri pertama aktivis yang senang terus menjadi aktivis ialah otak dan pemikirannya selalu mencari kesalahan orang lain, baik kesalahan teman, kesalahan orang Papua, dan kesalahan NKRI. Karena penuh dengan pikiran tentang kesalahan orang lain, akibatnya tidak ada ruang cukup untuk memikirkan solusi. Hasilnya perjuangan Papua Merdeka akan menjadi hiasan dinding hati orang Papua dari generasi ke generasi. Orang tua kita yang memulai perjuangan ini, mati dalam hati yang penuh derita dengan kemarahan besar terhadap NKRI. Anak-anak mereka mewarisi emosi itu, dan terus saja bergulat di dalam emosinya, mengharapkan Australia, Amerika Serikat dan Inggris membawa solusi.

    Kita lebih senang memikul masalah, dan solusinya kita serahkan kepada orang lain, bangsa lain, negara lain.

    Tentu saja ada banyak masalah lain yanng menjadi tantangan dalam perjuanganini, seperti bangunan sosial, budaya, kondisi geografis yang membedakan dan cukup menghambat. Akan tetapi sudah beberapa kali dipetakan dan disebuatkan bahwa bangsa Papua sebagai sebuah entitas identitas tidak dihambat oleh hal-hal fisik. Sebuah tulisan yang katanya ditulis oleh George Aditjondro, padahal bukan dia yang tulis ini, “10 Alasan Orang Papua Sendiri Tidak Jelas dalam Sikapnya, Padahal Banyak Orang Indonesia Mendukung Papua Merdeka”

    Ini hal yang penting untuk dipikirkan dan ditindak-lanjuti oleh PNWP, ULMWP dan NRFPB, WPNA, TRWP, TPN PB, DeMMAK, KNPB dan semua orang perjuangan Papua Merdeka yang selama ini berjuang untuk Papua Merdeka.

    Kalau kita potong semua waktu memikirkan, membahas, memposting, mentweet dan meng-FB langkah-langkah NKRI, tindakan NKRI, perkataan NKRI, dan fokus kepada perjuangan Papua Merdeka, maka seharusnya Papua sudah merdeka jauh sebelum Timor Leste Merdeka. Itu teorinya. Tetapi realitasnya apa?

    Apakah generasi saat ini mau mengulangi kesalahan orang tua mereka?

    ***

     

    Alasan utama kita berjuang seperti ini, karena orang tua kita mewariskan masalah ini, kita dikandung, dan dilahirkan dalam masalah hubungan West Papua – NKRI, dan kita tidak tahu solusinya.

    Alasan kedua karna kita sendiri sudah menjadi mahir dalam menjadi aktivis, sehingga walaupun sudah mendekati membentuk pemerintahan-pun kita masih bersikap, berpakaian, bertutur-kata, sebagai aktivis.

    ULMWP itu bukan lembaga aktivis, itu lembaga politik. Dan lembaga politik itu sudah diakui oleh negara-negara di Pasifik Selatan sebagai negara maupun sebagai organisasi negara-negara di Pasifik Selatan.ULMWP bukan bertujuan hanya untuk memngkampanyekan pelanggaran-pelanggaran HAM, dan kalau NKRi membayar denda pelanggaran HAM dan memperbaiki kondisi di West Papua maka ULMWP harus berhenti di situ.

    ULMWP adalah sebuah wadah yang sudah matang, sudah harus melangkah cepat, sudah harus mensyukuri atas kemenangan yang telah dianugerahkan oleh Tuhan. Bentuk ucapan syukur itu ialah melayakkan perjuangan ini menjadi sebuah perjuangan punya kekuatan tawar-menawar dengan NKRI.

    Pasti, ULMWP sebagai sebuah lembaga perjuangan saja, tidak akan punya kekuatan hukum apa-apa menggugat NKRI. NKRI-pun akan memandang ULMWP hanya sebagai kelompok orang Papua frustrasi dan pemberontak pemerintah, ang pada suatu waktu akan bertobat dan kembali ke Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat, seperit yang sudah dilakukan Nick Messet, Fransalbert Joku dan Nicolaas Jouwe.

  • Konflik Manokwari : Polisi keluarkan tembakan, aktivis WPNA tewas

    Masyarakat yang melakukan pemalangan jalan di Kota Manokwari pasca penikaman terhadap Vigal dan penembakan yang menewaskan Onesimus Rumayom - Jubi/Niko MB
    Masyarakat yang melakukan pemalangan jalan di Kota Manokwari pasca penikaman terhadap Vigal dan penembakan yang menewaskan Onesimus Rumayom – Jubi/Niko MB

    Manokwari,Jubi – Kota Manokwari mendadak tegang sejak Rabu (26/10/2016) pukul 21:45 WP. Ketegangan ini terjadi setelah penikaman terhadap seorang anak Papua bernama “Vigal Pauspaus” asal Fakfak yang dilakukan oleh seorang warga asal Makassar.

    Dari kronologis yang dikumpulkan Jubi, insiden ini bermula ketika Vigal makan di sebuah warung makan di sekitar kantor Golkar Sanggeng Manokwari. Namun setelah makan Vigal tidak bisa membayar makanan yang dipesannya karena uangnya kurang. Ia lalu menelpon orang tuanya untuk datang membayar makanan tersebut.

    Abdul Pauspaus ayah korban, mengaku bahwa anaknya Vigal Pauspaus menelpon dia sekitar pukul 22:00 WP. Ia kemudian datang ke warung makan yang terletak di Jalan Yos Sudarso, Manokwari.

    “Saya menyampaikan pada pemilik warung bersabar karena saya juga muslim dan saya balik kerumah untuk ambil uang untuk bayar. Saat saya kembali sudah terjadi penikaman terhadap anak saya,” kata Abdul.

    Mendengar terjadinya penikaman ini, masyarakat Papua di Sanggeng langsung melakukan perlawanan dengan memalang jalan-jalan. Aksi pemalangan oleh masyarakat ini berujung bentrok dengan aparat kepolisian di Manokwari ketika aparat kepolisi berusaha untuk membuka palang. Sebelumnya terjadi tarik-menarik palang sehingga aparat kepolisian mengeluarkan tembakan yang berakibat tewasnya salah satu masyarakat yang juga anggota pengurus West Papua National Authorithy (WPNA) wilayah Manokwari, Onesimus Rumayom dan beberapa masyarakat sipil lainnya yang luka parah dan kini sedang dirawat di RS Angkat Laut Manokwari.

    “Onesimus sedang keluar dari rumah untuk membeli makan malam di warung namun selang 5 menit ia ditembak aparat kepolisian yang melakukan penyisiran di jalan Yos Sudarso dan jalan Sepatu sanggeng,” kata Edison Baransano, kerabat korban.

    Jenasah Onesimus, saat ini berada di rumah sakit AL Manokwari. Selain korban tewas, korban penembakan lainnya adalah Erik Inggabouw (18) ditembak di leher dan Tinus Urbinas (38) di tembak di tangan.

    Kapolda Papua Barat, Brigjen Pol Royke Lumowa secara terpisah menegaskan alasan dua warga di tembak di kaki karena massa dinilai semakin anarkis dengan membakar 6 unit sepeda motor dan membacok Danramil Manokwari Kota. Dua orang yang tertembak di kaki ini, menurut Kapolda bernama Onesimus Rumayon (35) dan Abel (43).

    “Mereka sudah kami larikan ke RS Angkatan Laut untuk mendapat perawatan,” ujar Kapolda Royke Lumowa Kamis, (27/10/2016).

    Tapi menurut informasi dari warga sipil di kawasan Sanggeng yang dihubungi Jubi, aparat polisi melakukan tindakan menembak secara membabi-buta, hingga mengakibatkan jatuh korban di pihak warga sipil Sanggeng.

    Hal ini dibenarkan oleh Yan Warinussy, Direktur Lembaga Penelitian, Pengkajian dan Pengembangan Bantuan Hukum (LP3BH Manokwari).

    “Diinformasikan terdapat tujuh korban luka tembak senjata api, dimana satu orang atas nama Ones Rumayom (45) tewas dan sisanya ada yang kritis diantaranya Erik Inggabouw (18) tahun dan 5 (lima) orang lain yang masih diidentifikasi identitasnya. Mereka berenam yang korban saat ini masih dirawat di Rumah Sakit Angkatan Laut (RSAL) Dr.Ashari – Biryosi, Manokwari-Papua Barat,” kata Yan.

    Ia menambahkan, sejak malam pukul 20:30 WP hingga tadi pagi jam 06:25 WP masih terdengar bunyi letusan senjata api di kawasan Sanggeng hingga ke Swafen dekat Kantor Pengadilan Negeri Manokwari dan Mapolda Papua Barat.

    Terkait insiden penikaman hingga penembakan ini, Komisioner Komnas HAM RI, Natalius Pigay meminta proses hukum terhadap pelaku harus dilakukan secara transparan dan obyektif. Ia menilai Pemerintah Indonesia tidak menaruh perhatian serius terhadap kondisi hukum dan HAM di Papua yang mengakibatkan korban Orang Asli Papua.

    “Salah satu faktor utama pelanggaran HAM terus menerus terjadi di Papua adalah karena hingga hari ini, Presiden Jokowi tidak pernah mengeluarkan satu patah katapun tentang kondisi HAM Papua,” kata Pigay.

  • Kami Siap Berperang Dengan Indonesia Kapan Saja

    Aksi lilin untuk Papua. ©2012 Merdeka.com/imam buhori

    Merdeka.com – Kalau dihitung sejak Penentuan Pendapat Rakyat 1969, Papua sudah 45 tahun bergabung dengan Indonesia. Sejak itu pula konflik berdarah terus membekap Bumi Cendrawasih.

    Tokoh Papua sekaligus Menteri Luar Negeri Federasi Papua barat Jacob Rumbiak menegaskan kesabaran rakyat Papua ada batasnya.

    “Kami terlalu yakin dalam waktu tidak lama akan ada perlawanan bersenjata besar-besaran oleh rakyat Papua,”

    katanya saat dihubunginya melalui telepon selulernya kemarin sore.

    Berikut penuturan Jacob Rumbiak kepada Faisal Assegaf dari merdeka.com.

    Tadi Anda bilang OPM bisa melawan kalau darurat militer ditetapkan. Siapa melaih dan memasok senjata bagi OPM?

    Yang jelas bukan saja OPM tapi juga rakyat Papua sudah siap melawan. Rakyat sudah siap bertindak. Kekuatan OPM tidak seberapa, tapi rakyat dan mahasiswa sudah berada di garis depan bukan di hutan lagi. Sekarang mahasiswa asal Papua di Jakarta, Yogya, Bandung, Surabaya, dan kota-kota lain sudah menuntut kemerdekaan.

    Jadi kapan OPM bakal menyatakan perang terhadap Indonesia?

    Saya tidak tahu itu kapan, tapi saya terlalu yakin perlawanan dalam skala besar pasti datang, ditambah lagi pendekatan militer dilakukan Indonesia bertambah besar.

    Perlawanan rakyat waktunya tidak bisa saya tentukan, tapi kekuatan diplomatik, politik, intelijen dan militer sudah terbangun rapih. Kami berpikir penyelesaian secara damai itu penyelesaian sangat bermartabat.

    Menggunakan cara militer merupakan cara terakhir. Kami terlalu yakin dalam waktu tidak lama akan ada perlawanan bersenjata besar-besaran oleh rakyat Papua.

    Tapi Anda setuju kalau tidak ada perlawanan bersenjata besar-besaran tidak bakal dapat perhatian masyarakat internasional?

    Ini kan masih melihat situasi. Rakyat sipil Papua sangat besar jumlahnya, ini butuh pertimbangan. Jadi jangan ada pengorbanan besar dari mereka. Itu juga jadi perhitungan pribadi buat rakyat Papua merdeka untuk tidak melakukan kejahatan dalam melakukan revolusi.

    Tapi Anda sudah melihat pemerintah berencana melakukan pendekatan militer. Kenapa OPM masih berdiam diri?

    Sabar dan terus menggunakan cara-cara damai sedang kami dorong. Kami melihat isu global sangat alergi dengan perang. Kami harus hati-hati karena teroris hampir mirip dengan isu global. Kami harus hati-hati menghadapi pendekatan militer. Kami tidak mau dicap teroris.

    Artinya OPM belum siap berperang dengan Indonesia?

    Kami melihat ada batas kesabaran juga sehingga kita berusaha melakukan pendekatan lagi. Saya berharap awal tahun depan ada komite khusus diatur dari luar ke dalam. Kami sudah melakukan pendekatan secara khusus, mendesak pihak luar menjadi pendengar sebelum kami bertindak.

    Kapan batas waktunya diberikan karena korban sipil terus berjatuhan?

    Yakinlah, sabar adalah subur dan sehat. Masih ada waktu buat kami terus melakukan pendekatan bermartabat dan waktu kami terbatas.

    Jadi OPM belum siap berperang dengan Indonesia?

    Sebenarnya sudah siap, tapi kami tidak tahu waktunya, mungkin tahun depan. Yang jelas pihak Papua sudah siap sekali. Kami masih terus melakukan pendekatan sangat bermartabat, kami coba dulu.

    Seberapa siap? Atau ini cuma sesumbar doang buat menjaga semangat untuk merdeka?

    Kami sudah sangat siap dari sisi militer. Persiapan kami sudah cukup bisa hadapi militer Indonesia, tapi kami lihat itu bukan sebuah solusi cepat. Saya harap pihak Indonesia sudah bisa melihat kaki Papua suah siap kapan saja.

    Bisa jelaskan kesiapannya dengan persenjataan lengkap militer?

    Kami sedang dalam semangat dan momentum tepat. Kami ini mengalami kebijakan salah. Sekarang masyarakat internasional merasa bersalah memasukkan Papua ke tempat salah.

    Jadi momentum perlawanan bersenjata besar-besaran perlu menunggu hingga 2019, bertepatan dengan setengah abad Papua bergabung dengan Indonesia sejak pepera 1969?

    Saya pikir itu terlalu lama,

    Kapan perlawanannya jika itu terlalu lama?

    Kekuatan lain itu (militer) siap tapi tidak mungkin saya katakan soal itu. Kami melakukan persiapan bersenjata. Kami telah memutuskan harus menyeselaikan konflik politik di Jakarta dengan internasional secara damai.

    Keputusan penyelesaian Papua ada di tangan para pemimpin. Saya tidak bisa mendahului keputusan para pemimpin tinggi buat menyelesaikan konflik Papua secara damai. Walau menderita, ada kucuran darah dan air mata, penderitaan terlalu hebat, kami ahrus menunjukkan kami tetap berkomitmen menyelesaikan permasalahan ini dengan cara damai.

    Kalau nanti dengan cara cara damai tidak bisa nanti, baru kami menggunakan cara militer. Sekarang kami masih mencoba untuk beberapa tahun ke depan.

    Jadi tenggat penyelesaian damai hingga 2019?

    Bisa terlalu lama, mungkin juga bisa terlalu cepat. Harusnya lebih cepat lebih baik, bisa saja tahun depan atau 2019. Kami belum bisa pastikan. Tapi kami ingin kalau merdeka nanti kami tidak ingin rakyat Papua mencap Indonesia sebagai negara penjajah.

    [fas],Jumat, 12 Desember 2014 11:39,merdeka.com

  • Mantan Tapol Tuding WPNA Lakukan Pembohongan Publik

    Oleh : Media Papua

    Manokwari, Media Papua – Mantan tahanan politik dan narapidana politik (Tapol/Napol) Papua Merdeka Eliezer Awom menuding kelompok West Papua National Authority (WPNA) selama ini telah melakukan pembohongan terhadap orang -orang Papua. Tudingan tersebut disampaikan Eliezer saat menggelar jumpa pers di kantor Dewan Adat Papua (DAP) wilayah Kepala Burung yang difasilitasi Direktur LP3BH Manokwari, Yan Christian Warinussy, SH.

    Eliezer mengaku sengaja menggelar jumpa pers untuk meluruskan konsensus yang saat ini sedang dibangun oleh WPNA. Sebab, jika tidak diluruskan masyarakat akan terus menjadi korban. Menurutnya, konsensus-konsensus sudah dibangun sejak tahun 2002 lalu. Sehingga saat ini tidak perlu lagi membangun konsensus baru untuk mencari dukungan, karena senantiasa akan membingungkan masyarakat.

    Mantan Tapol/Napol ini juga mengaku sudah menyarankan kepada tim konsensus untuk mencari jalan terbaik untuk perjungan Papua Merdeka. Tapi lanjut Eliezer saat pertemuan di Jayapura beberapa waktu lalu, tim konsensus tetap ngotot untuk membentuk konsensus baru. “Kelompok yang melakukan kebohongan ada selama ini dan terjadi dimana-mana, sehingga ada yang masuk penjara,” tuturnya seraya menyebut kelompok WPNA yang melakukan kebohongan tersebut.

    Menurutnya, keolompok tersebut telah merugikan masyarakat dengan membentuk kegiatan-kegiatan. Bahkan, mereka juga sudah berani mengedarkan selebaran kepada masyarakat. Bukan hanya itu, tapi akibat kegiatan-kegiatan seperti demo telah membawa beberapa orang Papua untuk ditahan dengan tuduhan melakukan tindak pidana makar. Dirinya mengku sudah banyak bukti-bukti berupa video dan selebaran yang menyatakan Edison Waromi akan membawa persoalan Papua ke PBB. Eliezer dengan tegas mengatakan hal itu tidak benar.

    Lanjut Eliezer, yang berhak membawa persoalan Papua ke PBB adalah negara-negara anggota PBB yang mendukung kemerdekaan bangsa Papua. “Tidak ada seorangpun yang bisa membawa persoalan Papua ke PBB. Tetapi yang bisa hanyalah negara anggota PBB yang mendukung bangsa Papua untuk berdaulat sendiri. Jadi stop kebohongan, rakyat juga mulai ambil sikap karena kelompok tersebut merugikan perjuangan,” tuturnya lagi.

    Ketika ditanya soal keinginan warga Papua untuk berdialog dengan pemerintah, Eliezer mengku bagi dirinya selaku pilar Tapol/ Napol Papua Merdeka tidak mau lagi untuk berdialog. Apalagi ia melihat pemerintah Indonesia sendiri yang tidak menginginkan dialog tersebut. Dengan terang-terangan ia menginginkan perundingan dengan melibatkan pihak ketiga.

    Aktivis Papua Merdeka, Melkianus Bleskadit pada kesempatan itu juga meminta pemimpin-pemimpin perjuangan Papua Merdeka untuk bersikap dewasa dalam melihat dan menyelesaikan persoalan. Jangan sampai target perjuangan yang sudah dicapai terganggu dengan sikap yang tidak dewasa tersebut. “Saya cuma menginginkan pemimpin-pemimpin organisasi Papua Merdeka untuk bersikap lebih dewasa,” tuturnya. (es)

Are you sure want to unlock this post?
Unlock left : 0
Are you sure want to cancel subscription?