Tag: Wasior Berdarah

  • Kenang 20 tahun ‘Wasior Berdarah’, dua mahasiswa Papua aksi bisu di Bandung

    Kenang 20 tahun ‘Wasior Berdarah’, dua mahasiswa Papua aksi bisu di Bandung

     Dua mahasiwa Papua di Bandung sedang melakukan aksi bisu kenang Wasior Berdarah .- Franz Mapiha untuk Jubi

    Jayapura, Jubi  Mengenang kembali 20 tahun Wasior Berdarah, 13 Juni 2001, dua orang mahasiwa Papua di Bandung, Jawa Barat, menggelar aksi bisu. Keduanya adalah mahasiwa aktif di Universitas Pendidikan Indonesia dan Universitas Ahmad Yani. Aksi tersebut berlangsung di depan Gedung Sate Bandung atau Kantor Gubernur Jawa Barat, dimulai dari pukul 11.00 WIB hingga 13.40 WIB.

    Emanuel Iyai, salah satu mahasiswa yang menggelar aksi tersebut, mengatakan ia bersama temannya melakukan aksi bisu sebagai bentuk sikap melawan lupa atas tragedi yang memilukan itu.

    Ia menceritakan, peristiwa tersebut dipicu oleh dugaan serangan dari kelompok bersenjata kepada lima anggota Brimob di Base Camp CV Vatika Papuana Perkasa (VPP) di Desa Wondiboi, Distrik Wasior dan diduga kelompok tersebut membawa lari enam pucuk senjata milik Brimob.

    “Nah, lalu merespons kejadian tersebut Kapolda Papua saat itu memerintahkan pengejaran kepada kelompok yang diduga telah mencuri senjata tersebut,” katanya kepada Jubi melalui telepon selulernya.

    Dalam pengejaran tersebut, kata dia, Brimob dari Biak, Jayapura dan Sorong dikirim secara massal. Lokasi pengejarannya meliputi Wasior, Serui hingga ke Nabire.

    “Lalu kita tahu semua bahwa akibat dari itu, Brimob dan milter Indonesia melakukan operasi militer besar-besaran yang berdampak pada kematian empat orang Papua, 39 korban penyiksaan, satu orang korban pemerkosaan dan lima orang dihilangkan secara paksa,” ungkapnya.

    Selain itu, aksi bisu tersebut juga guna memberikan kesadaran ke khalayak (masyarakat) luas atas operasi militer di sejumlah kabupaten di Papua terutama Nduga, Intan Jaya, Mimika dan Puncak.

    Rekan lainnya Luis Kris mengatakan, aksi bisu itu sebagai upaya dari budaya melawan lupa yang harus dirawat dan dijaga, agar rakyat Papua sadar bahwa mereka sisa-sisa dari operasi-operasi militer, pembunuhan, penghilangan, pemerkosaan dan ekploitasi sumber daya alam.

    “Sekarang memasuki 20 tahun tanpa ada penyelesaian dari negara dan otoritas yang bertanggug jawab. Kasus Wasior Berdarah ini terjadi bukti bahwa negara masih melakukan pendekatan militeristik dan tidak pernah menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM di seluruh Tanah Papua,” kata Luiz.

    Menurutnya Wasior Berdarah adalah salah satu peristiwa berdarah dari banyak peristiwa seperti kasus Wamena Berdarah, Abepura Berdarah, Paniai Berdarah dan berbagai kasus pelaggaran HAM lainnya. Negara juga, kata dia, tidak mau bertanggung jawab, bisa dilihat dari beberapa kejadian contohya pengembalian berkas penyidikan dan penyelidikan dari Komnas HAM oleh Kejaksaan Agung.

    “Ini adalah salah satu bukti negara tidak mau adil dan bertanggung jawab atas perbuatannya sediri,” katanya. (*)

    Editor: Kristianto Galuwo

  • Aktivis HAM: Penuntasan kasus HAM Papua, jalan penyelesaian Papua yang lebih besar

    Jayapura, Jubi – Penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu di Papua adalah kewajiban mendesak pemerintah RI, sebagai salah satu cara penyelesaian masalah Papua yang lebih besar.

    Hal tersebut ditekankan Papang Hidayat, peneliti Amnesty Internasional, kepada Jubi Kamis (13/10/2016), menanggapi tawaran kemungkinan penyelesaian HAM nonyudisial oleh Menkopolhukam Wiranto terkait kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu, termasuk di Papua.

    “Soal inisiatif membentuk suatu mekanisme nonyudisial untuk pelanggaran HAM berat masa lalu, kami mengganggap tidak cukup memadai jika investigasi HAM-nya menunjukan bukti-bukti yang cukup terkait kejahatan di bawah hukum international (crimes under international law) seperti extrajudicial execution (pembunuhan di luar hukum), torture (penyiksaan), dan enforced disappearance (penghilangan paksa),” ujarnya.

    Opsi penyelesaian nonyudisial juga ditolak aktvis perempuan dan pengacara HAM, Nursyahbani Katjasungkana, kepada Jubi di Jakarta, beberapa waktu lalu.

    “Rancangan itu tidak berdasar dan bertentangan dengan Nawacita dan RJPMN yang sudah ditetapkan secara hukum dengan membentuk Komite Kepresidenan untuk Pengungkapan Kebenaran dan Pemulihan Korban,” ujarnya. “Lagian masalah penyelesaian kasus HAM masa lalu bukan semata keputusan Menkopolhukam,” tambah perempuan yang menjadi motor advokasi kasus pelanggaran HAM berat 1965 melalui International Pepople Tribunal (IPT) 65 tersebut.

    Penyelesaian kasus pelanggaran HAM, menurut dia, harus memenuhi empat unsur agar memutus rantai impunitas (kekebalan hukum), yaitu pengungkapan kebenaran (truth), keadilan bagi korban melalui peradilan (justice), pemulihan hak korban (reparation) dan pengakuan untuk mencegah keberulangan (recognition dan memorialalisation).

    Sementara Imdadun Rahmat, Ketua Komisioner KOMNAS HAM, dalam pembicaraan dengan Jubi minggu lalu, justru meragukan pemberitaan media terkait penyelesaian nonyudisial yang ditawarkan Menkopolkam.

    “Kalau yang saya baca dari berita-berita itu kan konflik horizontal yang melibatkan masyarakat vs. masayarakat, itu yang beliau maksud diselesaikan dengan non yudisal, itu penangkapan saya, bisa benar bisa salah,” ujarnya.

    Masalah pembuktian

    Terkait klaim sulitnya mendapat bukti atas pelanggaran HAM masa lalu, Nursyahbani mengatakan tanggung jawab tersebut ada di penyidik Jaksa Agung.

    “Nah disini letak persoalannya dalam memahami pernyataan Wiranto yang katanya tak ada bukti, padahal yang harus cari bukti adalah penyidik Jaksa Agung dan ini belum pernah dilakukan Jagung, sementara Komnas HAM kan hanya berfungsi penyelidikan yakni menemukan bahwa peristiwa pelanggaran HAM telah terjadi,” ujar Nursyahbani.

    Imdadun Rahmat, terkait pelanggaran HAM berat Papua seperti kasus Wasior-Wamena dan Paniai, mengatakan akan tetap melalui proses hukum, dan sudah disetujui Menkopohukam.

    “Jadi saya agak bingung kalau ada pemahaman bahwa semua persoalan HAM itu akan diselesaikan dengan nonyudisial, itu tidak begitu. Sebelas kasus yang disepakati diselesaikan pemerintah terkait, yang 9 kasus itu kan penegakan hukum, dan dalam rapat-rapat hingga rapat koordinasi dengan pemerintah dan KOMNAS HAM di kantor Polhukam itu masih tetap pendekatan yudisial,” tegas Imdadun.

    Terkait kasus Wamena-Wasior, menurut Imdadun, KOMNAS HAM dan Kejagung sudah melakukan gelar perkara untuk mengidentifikasi mana bukti-bukti yang diperlukan untuk melengkapinya.

    “Ini (Wamena-Wasior) masih turun lapangan lagi, karena pelanggaran HAM berat itu tidak sederhana. (Penyelidikan) yang kami lakukan sebelumnya belum mencukupi, harus dilengkapi lagi. Dan itu tidak apa-apa, karena sekarang Kejakgung kooperatif dengan KOMNAS HAM, kalau dulu kan tidak kooperatif,”

    ujar Imdadun yang juga menyatakan keterbukaan Kejagung saat ini disebabkan oleh keputusan bersama di bawah Menkopolhukam untuk melakukan proses penegakan hukum.(*)

Are you sure want to unlock this post?
Unlock left : 0
Are you sure want to cancel subscription?