Tag: TRWP

  • Kalau Ada Hukum Alam Berlaku, Siapa Lebih Jahat, Pembunuh Ras atau Pembunuh Oknum?

    Salah satu isu kampanye Papua Merdeka, apalagi sejak berdirinya ULMWP (United Liberation Movement for West Papua) adalah masalah pelanggaran HAM (Hak Asasi Manusia). Sekarang orang Papua harus pintar bejalar dari kesahannya sendiri melanggar hukum alam dan hukum adat. Pertama, kalau orang Papua kampanyekan, melakukan studi-studi ilmiah dan menulis buku-buku lalu menuduh “NKRI membnuh orang Papua dalam jumlah banyak, dan oleh karena itu harus bertanggung-jawab”, maka hal itu memang benar secara fundamental, karena hak untuk hidup ialah hak yang melekat kepada setiap insam manusia begitu ia dilahirkan ke dalam dunia ini, tidak ada hubungannya dengan ia anggota TNI, anggota teroris, anggota OPM, separatis, teroris, nasionalis, agamais, tidak perduli, dia berhak untuk hidup.

    Oleh karena itu, siapapun yang mencabut nyawa orang, dengan alasan negara, pemerintah, undang-undang nasional, nasionalsme, agama, ras, adalah kejahatan terhadap kemanusiaan, dan ditolak di seluruh muka bumi.

    Pandangan manusia terhadap HAM adalah atribut paling kentara di mata-kepala secara kasak mata saat kita berbicara tentang masyarakat modern atau peradaban modern. Karena perbandingan langsung dan sederhana antara modern dengan kuno ialah “kehadiran” dan “ketiadaan” HAM dalam wacana dan upaya perlindungannya.

    Sekrang orang Papua juga sudah membaca sejumlah buku dan hasil studi ilmiah yang menyatakan bahwa ras Melanesia sudah berada di ambang kepunahan.

    Jadi, ada dua isu di sini. Isu pertama ialah pelanggaran HAM dengan tindakan pembunuhan orang Papua, karena hak hidup manusia Papua dilanggar oleh orang lain, karena mereka mengakhiri hidup, terutama atas nama negara dan nasionalisme Indonesia. Yang kedua, yang sering orang Papua sendiri lupakan, menganggapnya tidak mengapa, dan malahan ada pemimpin Papua Merdeka yang menunjuk jari kepada NKRI padahal dirinya sendiri adalah pembunuh ras Melanesia, ialah OAP yang beristerikan orang NKRI.

    Perkawinan antara Melayu dengan Melanesia saja sudah merupakah masalah besar, lebih besar daripada perbuatan anggota TNI dan Polri yang membunuh satu dua, ribuan orang. Mengawini orang Melayu adalah secara sadar, dan secara permanen sampai kiamat, “MENGAKHIRI RAS MELANESIA”. Nah, sekarang, pembunuhan ras dan pembunuhan orang per orang, maka berdasarkan hukum alam perbuatan mana yang resikonya paling abadi dan turun-temurun?

    Kalau sebuah ras dibunuh, siapa yang akan melahirkan ras itu kembali? Kzlau seorang manusia dibunuh, kita masih punya rahim Ibu Papua untuk melahirkannya, tetapi kalau sebuah ras dibunuh, kita perlu rahim apa/ siapa untuk me-Melanesia-kan kembali ras Melanesia yang sudah di-Melayu-kan?

    Rasionalitas orang Papua, nurani orang Papua saat ini ditantang dengan pertanyaan-pertanyaan berikut:

    1. Apa artinya Papua Merdeka?
    2. Apa artinya pelanggaran HAM, apakah terbatas kepada pembunuhan oknum? Bagaimana dengan pengakhiran ras?
    3. Apa nasib perjuangan Papua Merdeka kalau bilamana kita bunuh ras Melanesia tetapi di sisi lain kita bicara berkoar-koar memperjuangkan hak asasi manusia Papua? Manusia Papua yang mana?
    4. Apa keputusan kolektif dan keputusan pribadi kita OAP, apakah kita menganggap pembunuhan oknum dan orang Papua sebagai kejahatan atas kemanusiaan tetapi pembunuhan ras Melanesia sebagai sebuah tindakan yang tidak perlu diobok-obok atas nama rasisme?

    Peringatan dari MPP TRWP tentang “pembunuhan ras” dan “pembunuhan oknum orang Papua” perlu kita petakan di dalam pikiran kita, karena ini langkah penting dalam “mendekolonisasi pemikiran kita” (decolonizing the mind). Kalau tidak, kita akan menganggapnya biasa-biasa saja, kita anggap pemusnahan ras sebagai sesuatu yang tidak dapat dielakkan dan pembunuhan satu dua ribuan orang Papua sebagai sesuatu yang bermasalah.

    • Kalau kita mau NKRI menghentikan pembunuhan manusia Papua, maka benar sekali donk, kita suruh orang Papua juga hentikan pembasmian ras Melanesia, bukan?
    • Kalau kita punya bapak mantu dan om-om dari anak-anak yang dilahirkan OAP adalah orang Indonesia, maka bagaimana caranya orang Papua bisa bicara berpisah dari NKRI, padahal di dalam tubuhnya sendiri ia sudah menikah dan bersatu secara biologis dengan NKRI? Menipu diri sendiri, dan menipu bangsa sendiri, bukan?
    • Sampai kapan sandiwara ini akan berakhir?
    • Hanya bangsa yang punya “malu” dan “nurani” yang bisa melakukannya. Contohnya Jepang dan sebagian besar negara Barat. Kalau orang Papua kan dididik sama NKRI, orang Melayu yang tidak punya rasa malu. Apalagi sudah ber-ipar-mantu dengan orang Melayu, urat malu pasti sudah dikebiri. Jadi tulisan dan himbauan seperti ini hanya sekilas info, dalam rangka “decolonising” pikiran kita tentang pelanggaran HAM dan siapa yang sebenarnya melanggar HAM orang Papua.
  • Amunggut Tabi: Kunjungan Jokowi Sekedar Menutup Malu, Tetapi Terimakasih Bisa Sadar Juga Walaupn Sudah Terlambat

    Ada pepatah mengatakan “It is better late than never”, atau lebih baik lambat daripada tidak. Demikian dikatakan Lt. Gen. TRWP Amunggut Tabi menanggapi sekian kali sudah Presiden kolonial NKRI, Joko Widodo datang ke Tanah Papua, katanya, sebagai bukti keseriusannya membangun Tanah Papua.

    Menanggapi itu, Amunggut Tabi dari Markas Pusat Pertahanan Tentara Revolusi West Papua (MPP TRWP) menyampaikan beberapa catatan. Pertama, “terimakasih karena bisa sadar juga saat ini, walaupun itu sudah terlambat”. Menurut Tabi, persoalan hubungan West Papua dengan NKRI sudah lama mengalami kehancuran, dan hubungan itu secara psikologis-nurani, orang Papua sudah tidak menerima NKRI dan orang Indonesia ada di tanah leluhur bangsa Papua, ras Melanesia.

    Sudah berulang-ulang orang Papua, mulai dari orang-orang seperti Freddy Number, yang beberapa kali menjadi menteri dalam negara kolonial NKRI, Lukas Enembe, yang menjadi Gubernur Provinsi Papua saat ini, Abraham Atururi yang menjadi Gubernur NKRI Papua Barat hari ini, dan banyak pejabat kolonial asal Papua lain. Mereka dengan jelas dan degas mengatakan bahwa NKRI gagal meng-Indonesia-kan Papua.

    Artinya orang Papua sampai hari ini, biar diberi jabatan menteri sampai tiga, seratus kali-pun, orang Papua akan tetap merasa non-Indonesia, dan tanah Papua masih akan dianggap sebagai tanah jajahan NKRI.

    Hal kedua, menurut Tabi, apa yang dilakukan Joko Widodo bagus juga, karena NKRI memang harus membayar hutang nyawa orang Papua yang dia bunuh, hutang harga kekayaan yang dia sudah bawa keluar. Memang sangat sedikit yang dia bayar, tetapi paling tidak ada rasa bersalah di pihak Presiden NKRI sehingga berulang-ulang datang ke Tanah Papua untuk menutup rasa malu. Ini tanda-tanda manusia punya hatinurani. Tabi berharap Jokowi tidak kemudian menaruh harapan apa-apa kepada hati orang Papua supaya berbalik mendukung NKRI. Kata Tabi:

    Saya harap Jokowi tetap sadar, jauh di lubuk hati terdalamnya, bahwa bangsa Papua, diberi apapun, diberi berapapun, dikunjungi tiap hari-pun, dibangun istana Presiden-pun, sampai kiamat, tetap akan minta merdeka. Akan hidup bertetangga dengan baik, sama dengan Timor Leste, kalau West Papua merdeka dan berdaulat di luar NKRI. Jokowi tahu, bahwa apa yang telah dilakukan NKRI selama ini salah besar. Oleh karena itu apa yang dia lakukan hanya untuk menutup malu, bukan untuk membuat orang Papua berubah pikiran untuk mendukung NKRI atau membatalkan perjuangan Papua Merdeka.

    Ditanyakan tentang sisi lain dari pandangannya, bahwa justru semakin banyak jalan dibangun, maka semakin banyak proses militerisasi, dan semakin lama kekuatan perjuangan Papua Merdeka akan pudar, Tabi kembali menyatakan:

    Itu cerita dari mana sebuah perjuangan untuk menentukan nasib sendiri pernah dihentikan karena kunjungan presiden kolonial, sejarah dari mana pembangunan dilakukan oleh sang penjajah akhirnya elit dan rakyat yang terjajah pernah membatalkan perjuangan kemerdekaan mereka? Jangan tularkan mimpi lewat mulut orang Papua.

     

  • Laurentz Dloga/ Logo, Korban oleh orang Papua yang tidak Paham arti kata Revolusi dalam Perjuangan Papua Merdeka

    Laurentz Dloga/ Logo adalah seorang terdidik, fasih berbahasa Inggris yang pernah bergabung dalam perjuangan Papua Merdeka, disusul oleh John Ottow Ondawame dan Waker.

    Saat Dloga begabung dengan TPN/OPM, dia mengusulkan dan menggagas sebuah pemisahan Organisasi Papua Merdeka (OPM) dari sayap militer Tentara Pembebasan Nasional dan memberi nama kepada organisasi sayap militer sebagai Tentara Revolusi Papua Barat.

    Pada saat muncul istilah “revolusi” dalam nama organisasi ini, maka mulailah disebarkan isu pembusukan ke dalam wacana para panglima dan pendoa syafaat, bahwa kata “revolusi” artinya komunis, artinya menentang agama, artinya Allah tidak terlibat dalam perjuangan Papua Merdeka. Tentu saja, para perwira dan pendoa syafaat Papua Merdeka waktu itu sangat terpukul dan merasa kecolongan dengan mengorbitkan Laurentx Dloga sebegai kaki-tangan, bahkan tangan-kanan dalam perjuangan Papua Merdeka.

    Rumor-pun tersebar, rencana dan percobaan pembunuhan-pun terjadi. Terhadap anak-nya, Yulius Gombo, Laurentz Dloga pernah berpesan,

    “Anak, om akan dibunuh oleh orang tua sendiri, jadi tidak apa, tetapi ingat, bahwa perjuangan ini tidak akan berhasil sepanjang ada rasa saling mencurigai dan saling menceritakan. Pada waktu semua orang Papua bersatu, itu baru anak akan tahu Papua akan merdeka. Kalau tidak, yakin saja, kita akan sulit merdeka.”

    LLaurentz Dloga/ Logo alah satu korban pembunuhan di dalam tubuh perjuangan Papua Merdeka yang dibunuh karena ia pertama-tama menggunakan kata “Revolusi” dalam Organisasi Papua Merdeka, membentuk West Papua Revolutionary Army. Dia dibunuh oleh pasukan dan pengawalnya sendiri. Sebelum dibunuh Logo katakan, “”Saya berdoa dulu” Lalu beliau diberi kesempatan untuk berdoa. 

    Dalam doanya, Logo mengatakan,

    Laurentz-Laurentz baru akan lahir, banyak orang, dan akan meneruskan perjuangan ini, sampai revolusi Papua Merdeka berakhir! Tuhan berkati semua pasukan saya, mereka tidak tahu apa yang mereka lakukan. Berkatilah semua pejuang, tokoh revolusioner.

    Begitu doa belum sempat selesai, beliau sudah ditembak, menggunakan pistol miliknya sendiri.

    Seperti diceritakan anaknya, Yulius Gombo, pembunuhann Laurentz Dloga bermula dari kesalah-pahaman atas istilah “revolusi” dalam nama organisasi perjuangan Papua Merdeka waktu itu. Pada waktu itu kata revolusi langsung dikaitkan dengan komunis, kafir, anti Tuhan. Dengan demikian  penggunaan kata “revolusi” dalam organisasi perjuangan Papua Merdeka dianggap sebagai sebuah kutuk terhadap pengorbanan bangsa Papua selama itu.

    Yulius Gombo-pun pernah memberikan saran kepada pamannya, Dloga, supaya beliau menghapuskan saja istilah “revolusi” dari dalam organisasi sayap militer Papua Merdeka, akan tetapi Dloga selalu beralasan bahwa perjuangan Papua Merdeka adalah sebuah revolusi, sebuah perombakan, sebuah penggantian pemerntahan dari penjajah kepada pemerintah dan negara West Papua. Dloga selalu mengatakan kepada keponakannya bahwa perjuangan Papua Merdeka ialah sebuah revolusi.

    Pada tahun 1999, ketika Paul Kingsnorth, jurnalis The Guardian Inggris dan penulis datang ke Tanah Papua, dalam rangka merumuskan berbagai perjuangan pembebasan dan kemerdekaan yang terjadi di seluruh dunia, di antara masyarakat adat, beliau menyimpulkan bahwa apa yang terjadi di Bougainville ialah sebuah Revolusi Kelapa (Coconut Revolution) dan apa yang terjadi di West Papua ialah sebuah Revolusi Koteka (Koteka Revolution).

    Kata “revolusi” memang selalu dikaitkan langsung dengan komunis, anti-agama, anti-kristus, padahal revolusi dalam arti leterlek dan arti secara sosio-politik ialah sebuah perubahan dan perombakan total dan menyeluruh, dalam rangka menggantikan pemerintahan atau negara yang ada dengan pemerintahan atau negara yang baru.

    Para perwira yang memfitnah dan memerinthkan pembunuhan Laurentz Dloga tentu saja menyesal atas apa yang mereka lakukan, tetapi semuanya terlambat, Dloga telah tiada. Walaupun begitu, sama seperti doanya, Tuhan menjawab doanya, Laurentz-Laurentz muda Papua masih ada, dan akan terus lahir, mengobarkan api revolusi West Papua Merdeka, sampai pada akhirnya NKRI angkat kaki dari Tanah Papua dan Negara West Papua menjadi merdeka dan berdaulat di luar NKRI.

  • Sudah Waktunya Papua Merdeka Dikelola secara Profesional, Budaya Aktivisme Papua Merdeka Harus Ditinggalkan

    Dari wawancara sebelumnya menyangkut kiblat MSG-New York dan HAM-Geneva disebutkan oleh TRWP sbb:

    Cuman sekarang kan orang Papua masih bertepuk dada dan bicara semangat, sementara permainan bangsa Papua untuk melepaskan diri dari NKRI tidak dijalankan secara profesional, bukan?

    Pernyataan “tidak dijalankan secara profesional” meng undang Papua Merdeka News (PMNews) menyempatkan diri bertanya ulang lagi lewat percakapan singkat kepada Sekretaris-Jenderal TRWP, Lt. Gen. TRWP Amunggut Tabi. Berikut petikan percakapan dimaksud.

    PMNews: Ada tambahan kata tidak profesional lagi, dalam percakapan sebelumnya. Ini sedikit mengganggu pemikiran PMNews. Apa maksudnya?

    TRWP: Tidak profesional maksudnya sudah banyak kali kami sampaikan, diterbitkan di PMNews juga kan?

    Coba baca tulisan dulu-dulu.

    Orang bikin Yayasan di Kampung saja perlu pakai Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD – ART). Orang Wamena dirikan Koperasi Unit Desa pasti akan susun AD – ART. Itu pasti, karena memang wajib. Tetapi kita menjadi heran, kok perjuangan Papua Merdeka tidak punya aturan main.Kalaupun ada, kita sebagai media perjuangan Papua Merdeka juta tidak tahu. Di media-media lain seperti milik ULMWP,  PNWP, KNPB, NRFPB tidak disiarkan sama sekali.

    Dulu geenerasi pendahulu selama beberapa waktu pernah menggunakan semacam AD OPM, tetapi itu bukan aturan main yang lengkap untuk perjuangan kemerdekaan sebuah bangsa untuk mendirikan Negara-Bangsa. Itu mencantumkan garis-besar arah perjuangan. Dalam kenyataannya Papua Merdeka dijalankan TANPA aturan. Faktanya kita berjuang hanya bermodalkan kehendak kolektiv, keingingan bersama, walaupun bergerak masing-maing, dengan gaya dan program-nya masing-masing, asal nanti ketemu di titik tertentu.

    PMNews: Apakah ini terkait dengan pengesahan Undang-Undang Revolusi West Papua?

    TRWP: Itu salah satunya, bukan satu-satunya.

    PMNews: Salah duanya?

    TRWP: Salah duanya, kalau saja ada aturan main yang sudah ditentukan oleh ULMWP, maka mana itu aturannya? Tidak ada orang yang tahu, bukan?

    Tiba-tiba satu orang Papua menjadi Dubes ULMWP untuk Solomon Islands, tiba-tiba ada Jubir ULMWP untuk Australia, tiba-tiba, dan tiba-tiba. Semua jadi perjuangan yang sulit ditebak dan sulit diukur maju sampai ke mana. Orang Jawa akan bilang kita,

    “Ngawur, kalau tidak tahu berjuang untuk merdeka, jangan coba-coba!”

    PMNews: Salah tiganya?

    TRWP: Salah tiganya jawab sendiri. Kami sudah banyak diwawancarai oleh PMNews, dan sudah banyak menjawab banyak hal.

    PMNews: Walaupun banyak sudah dikatakan, kok tidak pernah ada perubahan?

    TRWP: Sekali lagi, kami tidak punya wewenang untuk mencampuri urusan politik. Itu alasan pertama. Yang kedua, itu tidak berarti kami mebiarkan perjuangan ini menjadi liar dan tidak terkendali, karena Komando Perjuangan Papua Merdeka tetap ada di tangan para Panglima Gerilyawan Papua Merdeka, baik atas nama TRWP ataupun nama-nama kelompok gerilyawan lain.

    PMNews: Kelihatannya TRWP membiarkan kesalahan terjadi, lalu mau ambil alih perjuangan ini?

    TRWP: Oh, itu tidak mungkin. Hanya orang gila bisa berpikiran begitu. Itu cara berpikir orang Melayo-Indos, jangan kita ter-kondisi-kan berpikir seperti mereka. Mari kita berpikir dan berbicara sebagai orang Melanesia. Jangan artinya apa yang tidak dinyatakan sebagai arti implisit dan dimasukkan ke dalam pemahanan sendiri yang justru merugikan perjuangan kita seperti itu.

    Maksud TRWP tidak ada terselubung. Semuanya disampaikan seperti itu, berarti maksudnya juga seperti itu, jangan diartikan lagi. Kalau Melayo-Indos yang mengatakan maka kita masih harus mengartikannya.

    PMNews: Minta maaf, kami tarik kembali pengartian tadi.

    TRWP: Ya, kami berharap dan berdoa, semoga semua orang Papua di dalam ULMWP tidak diracuni oleh pemikiran-pemikiran seperti orang Malayo-Indos. Kami berharap para pimpinan politik Papua Merdeka memahami maksud kami, jeli membaca situasi, dan banyak berdoa dan berpuasa, karena hanya dengan begitu kita akan punya hikmat dan bijaksana, mengetahui apa kehendak Tuhan dan apa permainan dari Iblis lewat NKRI.

    PMNews: Terimakasih banyak. Sekali lagi minta maaf atas salah-salah kata kami. Terimakasih.

    TRWP: Sangat biasa, harus begitu. Terus berkarya, sampai Papua Merdeka, karena Papua Merdeka ialah Harga Hidup Bangsa Papua, bukan harga mati.

  • TRWP TETAP pada Posisi Kiblat MSG – New York bukan HAM – Geneva

    Banyak aktivis Papua Merdeka, banyak tokoh dan elit West Papua, baik di dalam OPM, maupun di dalam ULMWP, di luar negeri dan di dalam negeri, ramai-ramai mengkampanyekan Pelanggaran HAM di Tanah Papua sebagai “nilai jual” untuk menggalang dukungan Masyarakat Internasional, akan tetapi Tentara Revolusi West Papua (TRWP), lewat Sekretaris-Jenderal Lt. Gen. TRWP Amunggut Tabi mengakan,

    TRWP TETAP pada Posisi Kiblat MSG – New York bukan HAM – Geneva

    Pernyataan singkat ini disampaikan lewat pesan singkat yang dikirimkan kepada Papua Merdeka News (PMNews). Kemudian, PMNews menelepon dan berikut hasil percakapan singkat.

    PMNews: Selamat sore.

    TRWP: Selamat Sore. Terkait ditengan SMS tadi pagi?

    PMNews: Ya, betul kami minta penjelasan lanjut. Kalau boleh!

    TRWP: Ya, maksud kami kan sudah jelas, TRWP tetap berpandangan bahwa mengeluhkan tentang pelanggaran HAM di West Papua selama pendudukan NKRI menunjukkan kita ini bangsa tukang mengeluh, dan bangsa budak. Makanya TRWP mau mendidik bangsa Papua, tidak bermental budak. Kita harus merdeka dalam cara kita berpikir, memandang masa depan kita tidak dengan melihat masalah yang ditimbulkan NKRI, tetapi dengan melihat hal-hal yang lebih luas daripada itu.

    PMNews: Apa maksudnya “hal-hal yang lebih luas daripada itu?”

    TRWP: Kami tidak boleh bicara di sini. Ini bersifat strategis, jadi tidak harus ditanyakan seperti itu. Tetapi salah satu hal yang lebih luas adalah pemahaman kita tentang sistem kerja dan organisasi dari Perserikatan Bangsa-Bangsa itu sendiri. Kita harus tahu dan paham, belajar sistem kerja PBB, dan harus bertanya kepada diri sendiri,

    “Kalau saya mau melepaskan diri dari NKRI, berarti saya berjuang menentang salah satu negara-bangsa anggota PBB. Oleh karena itu, apa taktik yang harus saya gunakan? Siapa yang harus berbicara tentang ngapa? Kalau saya berbicara tentang isu A, atau B, atau C, apa dampaknya? Kalau saya bicara isu A, atau B, atau C di tempat 1, atau 2, atau 3, maka dampaknya apa?”

    Itu hal pertama, kemudian hal kedua, program kerja. Semua harus dirumuskan, semua harus dipetakan, semua harus dirancang. Berdasarkan rancangan itu, kita bergerak, dan kita harus menempatkan semua pemain dalam perjuangan Papua Merdeka, sama dengan cara main Persipura.

    Jadi ada pemain belakang, ada pemain tengah, ada penjaga gawang dan ada penyerang.

    Dan yang terpenting dari itu, yang ketiga, ialah kita harus tahu: Gawangnya ada di mana? Jangan sampai kita tendang ke gawang sendiri. Itu bukan pemain lagi, tetapi orang gila.

    PMNews: Bukankah negara-negara MSG yang mengangkat isu HAM di Geneva baru-baru ini?

    TRWP: Itu yang sudah disebutkan tadi. Pemainnya harus diatur, dan harus diketahui di mana letak gawangnya. Yang ketahuan sekarang kan semua jadi penjaga gawang, semua jadi pemain tengah, semua jadi striker. Persipura yang lahir dari belakang, Papua Merdeka yang lahir sejak setengah abad lalu belum juga belajar cara bermain.

    Ah, lebih parah, parah sekali lagi ini. Catat baik: Semua jadi menejer dan pemain sekaligus. Jadi orang yang masuk main mereka juga menejernya, dan mereka juga pelatihnya.

    Bayangkan Persipura kalau tampil seperti itu.

    Di tanah Papua sendiri tentu saja banyak orang akan meneetawakan Persipura.

    Ingat kita bermain di pentas politik global, di tengah bangsa-bangsa lain di muka Bumi. Cuman sekarang kan orang Papua masih bertepuk dada dan bicara semangat, sementara permainan bangsa Papua untuk melepaskan diri dari NKRI tidak dijalankan secara profesional, bukan?

    PMNews: Maksud TRWP ialah bahwa semua pejuang Papua Merdeka seharusnya datang ke New York, bukan ke Geneva, begitu?

    TRWP: Sekarang kami mau tanya: Orang Papua maunya apa: mau selesaikan kasus-kasus HAM, lalu ikut jalur Jaringan Damai Papua (JDP) di bawah komando BIN-LIPI-Neles Tebay dan berdamai dengan NKRI, ataukah ikut cara kerja Timor Leste, tidak bicara soal HAM, tidak tunduk kepada program penyelesaian HAM, tetapi jalur yang tegas dan konsisten, di luar jalur HAM, tetap kepada tuntutan kemerdekaan?

    Apa maksudnya orang pejuang Papua Merdeka lantas tiba-tiba digiring ke Geneva untuk bicara HAM? Kalau mau bicara HAM, ya bicara HAM saja, dan katakan kepada bangsa Papua, bahwa ULMWP adalah organisasi perjuangan HAM, jangan bawa-bawa isu Papua Merdeka ke dalamnya, sehingga orang West Papua dibakar semangatnya. Jangan menipu lagi dengan isu “West Papua sudah masuk ke meja PBB,” padahal kita ada di Geneva, bukan di New York.

    Ini pembodohan politik. Ini cara kerja generasi Papua Merdeka lalu, era Jouwe, Messet, Kaisiepo dan Fransalbert Joku. Era sekarang jangan sama, sekali lagi, jangan putar lagu lama, jangan makan nasib basi.

    PMNews: Apakah TRWP punya jaringan ke ULMWP dan organ pendukungnya untuk menyampaikan usulan ini?

    TRWP: TRWP tidak boleh mencampuri urusan diplomasi dan politik. TRWP cukup bicara di media seperti PMNews dan lainnya. Kita tidak boleh terbiasa militer mencampuri urusan politik, sama seperti budaya negara-bangsa Indonesia. Kita harus mulai dengan memisahkan urusan militer dari urusan politik. Kalau-pun kami punya hubungan langsung kepada orang-orang ULMWP, kami tidak punya budaya “mengusulkan / menyarankan”. Budaya kami adalah “memerintahkan/ komando”, jadi dunianya sudah berbeda.

    PMNews: Kalau begitu, kami berdoa, kiranya orang-orang ULMWP akan membaca hasil wawancara ini, dan akan memikirkan untuk strategi ke depan.

    TRWP: Ya, kami hanya berharap dan berdoa. Tuhan bersama kita!

    PMNews: Ya, Tuhan memberkati kita. Selamat sore.

    TRWP: Selamat sore! Selamat berjuang! Papua Merdeka Harga Hidup Bangsa Papua!

  • Gen. TRWP Mathias Wenda: Sang Bintang Fajar Kini Terbit dari Barat!

    Kemerdekaan ialah Hak Segala Bangsa: Papua, Batak, Betawi, Jawa, Sunda, Bugis…

    Dari Markas Pusat Pertahanan Tentara Revolusi Wset Papua (MPP-TRWP), lewat Sekretaris-Jenderal TRWP Lt. Gen. Amunggut Tabi, Gen. TRWP Mathias Wenda dengan ini pertama-tama mengucapkan Salam Jumpa! dan selamat bergabung dalam mebarakan Api Revolusi di seluruh rimba New Guinea dan di antara sekalian bangsa di wilayah Nusantara.

    Sdr. Surya Anta dan teman-teman dari seluruh Indonesia, kami dari MPP TRWP menyatakan sambutan meriah dan menyatakan ini sebagai Hadiah HUT Kebangkitan Bangsa Papua I, dan sekaligus sebagai Bingkusan Natal bagi umat Kristian di Tanah Papua dan di seluruh Indonesia, dan bagi orang Melanesia, karena ini adalah sejarah, sebuah mujizat dan sebuah peristiwa, di mana kini, Bintang Fajar Terbit di Bagian Barat.

    Peristiwa terbitnya Sang Bintang Fajar dari Barat akan menjadi pengetahuan unik, dan terkesan, akan dikenang sepanjang sejarah manusia, sepanjang manusia hidup di dunia ini. Tentu saja bangsa Indonesia selalu mengenang Sukarno sebagai proklamator. Bangsa Papua mengenal tokoh-tokohnya seperti Theys Eluay, Kelly Kwalik, Abdurrahman Wahid, Mako Tabuni, Elias Yikwa, Hans Bomay, Lukas Tabuni, SJ Roemkorem, Jacob Prai.

    Bangsa Papua telah mencatat, dunia telah mencatat, Sdr Surya Anta adalah Surya yang terbit dari Barat, yang tidak dapat dipahami oleh akal sehat politik NKRI.

    Apapun yang terjadi, kita patut bangga, kita patut bersyukur kepada nenek-moyang kita masing-masing, kepada para pendahulu kita, kepada para pahlawan, dan kepada Tuhan Pencipta Alam Semesta dan segala makhluk, karena hanya dengan bantuan ilham dan pengertian itulah kita dapat mendudukkan diri sebagai sesama manusia dan membela sesama kalau ada perbuatan manusia yang tidak manusiawi dan melampaui batas-batas rasa kemanusiaan kita.

    Apa selama ini terjadi di Tanah Papua ialah sebuah musibah kemanusiaan yang memalukan dan merendahkan tingkat pemahaman dan nalar kita sebagai manusia.

    Hanya manusia yang benar-benar manusia, benar-benar terlepas dari apapun yang melekat kepada identitas tubuhnya-lah, yang akan merdeka untuk menyatakan benar kapada yang benar dan salah kepada yang salah, membela kebenaran sampai titik darah penghabisan. Bagi manusia yang terjajah oleh dogma, ideologi dan identitas duniawi yang sementara, ia akan tetap berada dalam kekangan dunia ciptaan yang membawa mimpi buruk bagi dirinya, keluarganya dan bangsanya.

    Kita harus akhiri bersama penjajahan ini, dan setiap bangsa di dalam NKRI harus merdeka dan berdaulat, bersama-sama sebagai sesama umat manusia, bertetangga sebagai bangsa, mengikuti langkah Timor Leste.

     

    Dikeluarkan di: MPP TRWP

    Pada Tanggal: 2 Desember 2016

    an. Panglima,

     

     

    Amunggut Tabi, Lt.Gen TRWP
    BRN: A.DF 018676

     

     

  • TRWP Menolak Tegas Ajakan Dialogue Dipromosikan Oleh Agen Papindo JDP bersama Intelektual BIN di LIPI

    Gen. Mathias Wenda selaku Panglima Tertinggi Komando Revolusi lewat Sekretaris-Jenderal Lt. Gen. TRWP Amunggut Tabi menolak dengan tegas dan mentah-mentah tawaran dialogue yang dimotori oleh agen-agen BIN dalam payung-payung sbb:

    1. Jaringan Damai Papua (JDP) Neles Tebay dkk, yang tidak lain adalah perpanjangan tangan dari jaringan Papindo untuk NKRI Harga Mati!,
    2. Cabang Intelektual Indonsia beranggotakan pihak intelektual BIN yang menamakan dirinya LIPI; dan
    3. LSM bentukan NKRI lainnya.

    yang mempromosikan dialogue nasional dalam kerangka dan bingkai NKRI, yang ditawarkan oleh NKRI lewat agen-agen mereka di Tanah Papua, yaitu terutama Jaringan Damai Papua dan di Jakarta lewat LIPI.

    Lt. Gen. Tabi mengingatkan dengan tegas, bahwa siapapun yang terlibat di dalam dialogue dengan kerangka nasional, framework NKRI, termasuk ULMWP, maka mereka secara otomatis dapat dipastikan sebagai bagian dari NKRI yang berupaya melemahkan dan mematikan perjuangan bangsa Papua untuk melepaskan diri dari NKRI.

    Itu sama persis, dan secara otomatis adalah penghianatan terhadap pengorbanan bangsa Papua selama enam dekade terakhir, sebuah perbuatan memalukan bagi para pahlawan dan anak-cucu bangsa Papua.

    Lt. Gen. Tabi selanjutnya menyatakan

    Kami sudah tahu siapa-siapa di dalam ULMWP yang mewakili bahasa-bahasa JDP-LIPI, yang adalah secara langsung merupakan bibir dan mata, kaki-tangan BIN yang beroperasi dengan topeng kemanusiaan, topeng keagamaan, dan topeng perjuangan HAM di tanah Papua.

    Kami tahu ada anggota BIN yang sadar mereka anggota BIN, ada juga yang tidak tahu kalau sebenarnya mereka sudah beroprasi sebagai anggota BIN. Ada orang di dalam ULMWP adalah para anggota BIN. Oleh karena itu TRWP tidak semudah itu dimanipulasi. Ada juga para panglima dan organisasi yang menamakan diri OPM, TPN dan sebagainya, yang orang-orangnya adalah bermain sesuai skenario BIN.

    Oleh karena itu, dengan ini, Gen. Wenda lewat Sek-Jend menganjurkan kepada segenap organisasi perjuangan Papua Merdeka agar

    Pertama, Fokus dengan program bangsa Papua, jalankan program bangsa Papua, buang jauh-jauh apapun program yang datang dari Jakarta.

    Kedua, agar buang jauh-jauh semua usulan, mimpi dan harapan dialogue dengan NKRI, karena waktu tuntutan itu sudah lewat, sekarang waktunya untuk mendesak MSG dan bekerja di dalam kerangka ke-Melanesia-an, bukan dalam kerangka ke-Melayo-Indo-an lagi.

    Selanjutnya Tabi menyerukan kepada segenap organisasi perjuangan Papua Merdeka

    1. ULMWP
    2. PNWP
    3. KNPB
    4. WPNA
    5. WPNCL
    6. NRFPB
    7. DeMMAK
    8. PDP
    9. DAP
    10. WPIA
    11. OPM
    12. TPN/OPM
    13. TPN PB
    14. TRWP
    15. AMP

    untuk bersatu-padu menolak program intelektual BIN yang ditampilkan dengan wajah dua, (1) JDP dan (2) LIPI

  • Berdosa Terhadap Jatidiri Sendiri kalau Ada Pribadi OAP Berharap Jakarta Bangun Papua

    Dari Markas Pusat Pertahanan Tentara Revolusi West Papua, Lt. Gen. Amunggut Tabi berpesan bahwa orang Papua hari ini sedang bermain-main dengan logika sesat yang disuntikkan oleh NKRI karena begitu lama diberi janji-janji manis, yang tak kunjung datang.

    NKRI sebenarnya punya sikap yang jelas, punya warna yang jelas, punya program yang jelas, punya perbuatan dan kelakuan yang jelas. Tetapi yang tidak jelas ialah orang Papua, dari pikirannya dan dari perbuatanya.

    NKRI punya Komnas HAM, menempatkan Natalius Pigai, yang adalah anak Koteka, memberikan warna seolah-olah apa yang dikatakan Natalius adalah keinginan orang Papua, padahal Nataius berbicara sebagai orang Papindo, orang Papua di kulit, orang Indonesia di hatinya.

    NKRI juga punya ELSAM, Kontras, Walhi, Setara Institute, dan Tim Penyelesaian HAM Papua, yang berperan sebagai pemain drama penyelesaian pelanggaran HAM Papua.

    Di bidang politik dan pemerntahan, Yohana Yembise, Lukas Enembe, Willem Wandik, dan sederetan nama pejabat negara lainnya ditempatkan, mereka berteriak, seolah-olah membela orang Papua. Mereka bertindak, seolah-olah membela pemerintah. Mereka lupa, bahwa mereka adalah pemerintah kolonial NKRI. Orang Papua, apalagi, terbius, dan lupa bahwa orang-orang Papindo ini sebenarnya berbicara atas nama dan untuk NKRI, bukan untuk orang Papua sama sekali.

    Di bidang ekonomi, mereka mempromosikan banyak petani, petender proyek, dan pengusaha-pengusaha dadakan, tanpa punya pengetahuan bisnis atau proyek sedikitpun, muncul ke sana-kemari sebagai pengusaha Papua. Padahal kita tidak tahu, bahwa mereka adalah kaki-tangan langsung dari BIN, dikepalai oleh Lukas Enembe sebagai Kepala BIN se-tanah Papua.

    Selain itu, Unit Percepatan Pembangunan, baik pusat maupun provinsi juga sudah ada. MRP/B sudah ada, dana Otsus sudah bergulir, total keseluruhan pasti ratusan trilyun sampai hari ini.

    Apalagi?

    Ditambah lagi, Presiden Kolonial Indonesia saat ini sangat rajin datang ke Papua. Ia hampir jarang ke Solo, tanah leluhurnya, malahan Papua dijadikan seperti tanah-leluhurnya, dan orang Papua sanak-saudaranya. Kemarin di suruh polisinya bunuh ornag Papua, hari ini dia datang ke Tanah Papua menjanjikan penyelesaikan pelanggaran HAM, padahal sampai kiamat dia tidak akan pernah sanggup menyelesaikannya.

    ***

     

    Di tengah drama-drama yang penuh dengan manipulasi dan muslihat ala iblis ini, ada harapan-harapan yang mulai mekar di Tanah Papua.

    Pertama, kelompok Papua Merdeka kelihatannya melihat perkembangan seperti diceritakan di atas sebagai sebuah angin segar. TPN PB tampil menawarkan gerilyawan di hutan siap berdialogue dengan NKRI. Yang menyebut diri Ketua OPM-pun muncul datang ke Jakarta, minta dialogue dengan Presiden kolonial Indonesia.

    Tidak ketinggalan, para TAPOL/NAPOL juga menuntut Presiden Kolonial Republik Indonesia menyelesaikan kasus-kasus HAM NKRI atas bangsa Papua, termasuk membebaskan TAPOL/NAPOIL.

    Tidak mau kalah, mama-mama Papua juga berkali-kali menuntutpembangunan Pasar Mama-Mama, berdemo di sana-sini, menuntut hamir setiap saat ada kesempatan.

    Tidak mau ketinggalan juga, organisasi-organisasi bentukan pro-M, maupun bentukan BIN NKRI juga melakukan demo-demo, menuntut pemerintah kolonial Jakarta untuk membangun jalan raya, membangun lapangan terbang, memberikan dana Otsus, dan sebagainya.

    ***

     

    Semua aksi orang Papua bermuatan harapan-harapan. Harapan supaya pelanggaran HAM di selesaikan, harapan supaya pasar khusus OAP dibangun, harapan supaya TAPOL/NAPOL dibebsakan, harapan supaya dana Otsus dicairkan, harapan supaya pembangunan infra-struktur dipercepat, harapan, dan harapan, dan harapan….

    Padahal orang Papua dibodohi, orang Papua dipermainkan, orang Papua dikelabui, orang Papua dipermainkan. Akhirnya orang Papua menipu diri sendiri, dengan berharap Jakarta berbuat sesuatu kebaikan terhadap orang Papua.

    Setiap manusia yang punya akal sehat dan naluri di Tanah Papua harus bertanya:

    • “Mengapa atau untuk apa NKRI ada di Tanah Papua? Apa tujuan Anda di sana?”

    NKRI datang ke tangah Papua dengan cara invasi militer, teror dan kekerasan. NKRI bertahan di atas tanah Papua dengan teror, kekerasan dan pembunuhan hampir setiap ada kesempatan. NKRI punya fokus urusan dan kepentingan, yang jelas fokus dan kepentingan itu BUKAN ANDA, BUKAN KITA, BUKAN MANUSIA PAPUA.

    Fokus mereka ialah “sumberdaya alam”, “kekayaan alam”, yang tersedia di Tanah Papua, yang mereka sebut “Bumi Cenderawasih”.

    Mereka datang untuk mengambil, bukan untuk memberi. Mereka datang sebagai pencuri, bukan sebagai tamu. Mereka datang karena lapar, bukan setelah kenyang. Mereka ada karena rakus, bukan karena berbelas-kasihan kepada orang Papua.

    Kalau ada orang Papua punya harapan NKRI datang membangun tanah Papua, sama dengan harapan-harapan orang-orang tersesat, yang berharap Ibilis dapat membela mereka, menyelamatkan mereka dari neraka, berbuat sesuatu kebaikan buat nasib kebinasaan mereka. Orang Papua seperti ini seharusnya tidak usah dilahirkan sebagai orang Papua, karena kahirnya nasib sial ada di depan mereka.

    • Orang Papua yang harus dilahirkan dan ada di Tanah Papua ialah orang Papua yang menghargai dirinya sebagai orang kulit hitam, rambut keriting, bertanah air Sorong – Samarai.
    • Orang Papua yang harus dilahirkan dan ada di Tanah Papua ialah orang papua yang berbicara apa yang ada di dalam hatinya kepada dirinya dan kepada sesamanya, tanpa takut apa yang dianggap dan ditanggapi oleh NKRI.
    • Orang Papua yang harus dilahirkan dan ada di Tanah Papua ialah orang Papua yang tidak menaruh harapan satu titik dan satu detik-pun kepada NKRI untuk berbuat apa-apapun yang baik buat Tanah dan Bangsa Papua.
    • Orang Papua yang harus dilahirkan dan ada di Tanah Papua ialah orang Papua yang menuntut hak asasi nya untuk terlepas dari genggaman penjajah NKRI.

    Kalau tidak begitu, maka orang Papua yang demikian berdosa terhadap jatidirinya sendiri. Sial, Tuhan telah menciptakan dia sebagai seorang manusia dengan jatidirinya yang melekat padanya.

     

  • ULMWP Seharusnya Sudah Melangkah Membentuk Pemerintahan Negara Republik West Papua

    ULMWP Seharusnya Sudah Melangkah Membentuk Pemerintahan – Jangan Jadi Aktivis Papua Merdeka Abadi adalah kalimat yang diucapkan seorang pejuang Papua Merdeka menindak-lanjuti kemenangan-kemenangan beruntun di kawasan Pasifik Selatan selama dua tahun terakhir.

    Orang Papua dikenal dengan “bersenang-senang di arena pertempuran“, dan tidak mau merayakan kemenangan. Kemenagnan tidak dianggap, masalah yang dianggap. Ini salah satu dari banyak ciri khas yang disebut Dr. Benny Giay sebagai bangsa yang “memenuhi syarat untuk dijajah“.

    Ini sebab utama kenapa Timor Leste yang berjuang belakangan sudah merdeka lebih duluan.

    Ciri pertama aktivis yang senang terus menjadi aktivis ialah otak dan pemikirannya selalu mencari kesalahan orang lain, baik kesalahan teman, kesalahan orang Papua, dan kesalahan NKRI. Karena penuh dengan pikiran tentang kesalahan orang lain, akibatnya tidak ada ruang cukup untuk memikirkan solusi. Hasilnya perjuangan Papua Merdeka akan menjadi hiasan dinding hati orang Papua dari generasi ke generasi. Orang tua kita yang memulai perjuangan ini, mati dalam hati yang penuh derita dengan kemarahan besar terhadap NKRI. Anak-anak mereka mewarisi emosi itu, dan terus saja bergulat di dalam emosinya, mengharapkan Australia, Amerika Serikat dan Inggris membawa solusi.

    Kita lebih senang memikul masalah, dan solusinya kita serahkan kepada orang lain, bangsa lain, negara lain.

    Tentu saja ada banyak masalah lain yanng menjadi tantangan dalam perjuanganini, seperti bangunan sosial, budaya, kondisi geografis yang membedakan dan cukup menghambat. Akan tetapi sudah beberapa kali dipetakan dan disebuatkan bahwa bangsa Papua sebagai sebuah entitas identitas tidak dihambat oleh hal-hal fisik. Sebuah tulisan yang katanya ditulis oleh George Aditjondro, padahal bukan dia yang tulis ini, “10 Alasan Orang Papua Sendiri Tidak Jelas dalam Sikapnya, Padahal Banyak Orang Indonesia Mendukung Papua Merdeka”

    Ini hal yang penting untuk dipikirkan dan ditindak-lanjuti oleh PNWP, ULMWP dan NRFPB, WPNA, TRWP, TPN PB, DeMMAK, KNPB dan semua orang perjuangan Papua Merdeka yang selama ini berjuang untuk Papua Merdeka.

    Kalau kita potong semua waktu memikirkan, membahas, memposting, mentweet dan meng-FB langkah-langkah NKRI, tindakan NKRI, perkataan NKRI, dan fokus kepada perjuangan Papua Merdeka, maka seharusnya Papua sudah merdeka jauh sebelum Timor Leste Merdeka. Itu teorinya. Tetapi realitasnya apa?

    Apakah generasi saat ini mau mengulangi kesalahan orang tua mereka?

    ***

     

    Alasan utama kita berjuang seperti ini, karena orang tua kita mewariskan masalah ini, kita dikandung, dan dilahirkan dalam masalah hubungan West Papua – NKRI, dan kita tidak tahu solusinya.

    Alasan kedua karna kita sendiri sudah menjadi mahir dalam menjadi aktivis, sehingga walaupun sudah mendekati membentuk pemerintahan-pun kita masih bersikap, berpakaian, bertutur-kata, sebagai aktivis.

    ULMWP itu bukan lembaga aktivis, itu lembaga politik. Dan lembaga politik itu sudah diakui oleh negara-negara di Pasifik Selatan sebagai negara maupun sebagai organisasi negara-negara di Pasifik Selatan.ULMWP bukan bertujuan hanya untuk memngkampanyekan pelanggaran-pelanggaran HAM, dan kalau NKRi membayar denda pelanggaran HAM dan memperbaiki kondisi di West Papua maka ULMWP harus berhenti di situ.

    ULMWP adalah sebuah wadah yang sudah matang, sudah harus melangkah cepat, sudah harus mensyukuri atas kemenangan yang telah dianugerahkan oleh Tuhan. Bentuk ucapan syukur itu ialah melayakkan perjuangan ini menjadi sebuah perjuangan punya kekuatan tawar-menawar dengan NKRI.

    Pasti, ULMWP sebagai sebuah lembaga perjuangan saja, tidak akan punya kekuatan hukum apa-apa menggugat NKRI. NKRI-pun akan memandang ULMWP hanya sebagai kelompok orang Papua frustrasi dan pemberontak pemerintah, ang pada suatu waktu akan bertobat dan kembali ke Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat, seperit yang sudah dilakukan Nick Messet, Fransalbert Joku dan Nicolaas Jouwe.

  • Indonesia Inomane Mbanogop: Kinendop Yarogo, Yabume Unggwino

    Dalam pesan singkat yang baru saja PMNews terima disambung dengan komunikasi per telepon, Gen. TRWP Mathias Wenda kembali mengulangi anjurannya mengulangi apa yang telah disampaikannya, “Indonesia Inomane Mbanogop: Kinendop Yarogo, Yabume Unggwino”, yang artinya “Jangan balas pantun Indonesia, kerjakan apa yang mau Anda kerjakan”.

    Artinya, dalam budaya Jawa-Melayu dikenal pepatah “Biar anjing menggonggong, kafilah tetap berlalu”, yaitu kerjakanlah terus apa yang mau dikerjalan, jalani terus apa yang mau dijalani, laksanakan apa yang mau dilaksanakan, fokus kepada target, tujuan dan program kegiatan sendiri, jangan terganggu oleh hasutan, pernyataan, perbuatan lawan, perbuatan penjajah jangan ditanggapi, jangan dipikirkan, jangan diseriusi.

    Sisah pekerjaan yang harus diselesaikan bangsa Papua hadi ini ialah

    1. ULMWP menindak-lanjuti amanat UURWP, yang sudah disahkan oleh PNWP
    2. PNWP menyusun berbagai peraturan pemerintah dau Undang-Undang sesuai dengan amanat UURWP yang sudah disahkannya
    3. ULMWP untuk segera membuat Program Kerja, lengkap dengan Anggaran Belanja sehingga orang Papua tahu framework kerja ULMWP untuk mencapai Papua Merdeka.
    4. Rakyat Papua untuk berdoa, berpuasa dan mengumpulkan dana-dana revolusi untuk mendukung rencana-rencana yang akan dikeluar

    Selain itu juga disarankan oleh Gen. Wenda bahwa kendali bola perjuangan Papua Merdeka harus kita ambil, jangan sampai jatuh ke tangan orang lain, apalagi ke tangan penjajah. Saat ini NKRI sudah mulai mencap semua organ perjuangan di dalam negeri sebagai teroris, dan yang jelas ULMWP bukan teroris, oleh karena itu, mari kita pakai hatinurani, pakai pikrian rasional, demi kepentingan bangsa dan tanah air.

    Terakhir dari pernyataanya yang panjang-lebar, Gen. Wenda mengamanatkan, “Kinendop yarino”, berlututlah, tanam kaki dan melangkah, bekerja-lah untuk mencapai cita-cita.

    Ditanyakan apa tanggapannya atas langkah-langkah Jokowi hari ini dan kemarin, Wenda mengatakan,

    “Coba datang seribu kali juga bisa, setiap hari Jokowi tinggal di Papua juga bisa, apakah itu akan menggantikan naywa orang Papua yang sudah mati? Apa arti kunjungan itu? Hanya tutup malu, karena sudah terlanjur malu! Mau salahkan orde baru, mau salahkan orde lama, mau salahkan orde reformasi? Itu langkah tutup malu, jangan lihat dari sisi yang salah.

Are you sure want to unlock this post?
Unlock left : 0
Are you sure want to cancel subscription?