Tag: TPN OPM

  • Penyakit Kedua Papua Merdeka: Selalu Mencurigai Sesama Pejuang Papua Merdeka

    Penyakit kedua setelah “egoisme” pribadi dan egoisme kelompok sebagai penghalang utama dan pertama dalam perjuangan Papua Merdeka ialah “mentalitas mencurigai“, dan bukan itu saja, tetapi berlanjut kepada “menggosipkan” sesama pejuang Papua Merdeka.

    Ada dua hal di sini, pertama “mencurigai” dan disusul dengan “menggosipkan” sesama pejuang Papua Merdeka.

    Siapaun bisa bayangkan apa dampaknya kalau penyakit “mencurigai” sesama pejuang ini ada dalam sebuah perjuangan. Masalah egoisme saja berdampak fatal bagi perjuangan ini, ditambah lagi dengan penyakit “mencurigai”.

    PMNews minta kepada para pembaca di mana-pun Anda berada, silahkan saja dengarkan cerita-cerita di mulut para pejuang Papua Merdeka. Pertama anda akan lihat sebelum dan sementara mereka bicara mata mereka akan lari ke kiri, ke kanan, ke atas, ke bawah. Apa artinya ini? Coba cari di google.com, apa artinya gerakan-gerakan ini secara prikologis.

    Dan lucunya lagi, orang Papua yang dari tahun ke tahun selalu ditipu itu masih saja mau ditipu oleh orang Papua yang menamakan dirinya pejuang Papua Merdeka.

    • Apa artinya lihat ke kiri, ke kanan, ke atas, ke bawah?
    • Artinya ada sesuatu yang mereka mau sembunyikan. Tetapi pertanyaan lanjutan ialah, mereka mau sembunyikan dari siapa: dari NKRI, dari Iblis, dari Tuhan, atau dari sesama pejuang Papua Merdeka juga?
    • Apakah anda tahu perilaku tukang gosip? Gerakannya memang betigu.
    • Apa yang digosipkan?

    Cerita tentang sesama pejuang Papua Merdeka, makanya lihat ke kiri dan kekanan ke atas dan ke bawah. Itu pertama manusia tukang gosip. Itu manusia penyebar virus mematikan bagi perjuangan Papua Merdeka.

    Kalau saja perjuangan Papua Merdeka punya “Lembaga Etik dan Perilaku Perjuangan Papua Merdeka”, maka kami yakin 99.99% pejuang Papua Merdeka sudah harus dipecat terhormat dan tidak terhormat karena perbuatan dan perilaku menggosip dan mencurigai sesama pejuang tanpa dasar hukum dan etika yang jelas.

    Tetapi itu jelas hanya mengandai-andai. Kenyataanya saling mencurigai dan menggosip tentang sesama pejuang Papua Merdeka itu bukan penyakit baru, tetapi itu sangat melekat dan bertumbuh bersama penyakit utama dan pertama, yaitu “egoisme” pribadi dan egoisme kelompok.

    Karena ada egoisme, untuk membela egoisme, maka mereka selalu memikirkan alasan untuk menentang, memisahkan diri dan tidak menyatukan diri. Dan alasan yang paling mudah muncul dan dipelihara ialah “kecurigaan” dan “mencurigai” sesama pejuang sebagai oknum dan organisasi yang dipakai oleh lawan politik, entah NKRI ataupun kekuatan barat.

    Kami juga tidak boleh naif, dan menyangkal fakta bahwa kepentingan NKRI, kepentingan Eropa (terutama Inggris), kepentingan Amerika Serikat dan kepentingan Australia turut bermain di Tanah Papua. Oleh karena itu kewaspadaan itu penting. Kita tidak boleh bermain tanpa kewaspadaan. Akan tetapi “mencurigai sesama pejuang” adalah perbuatan tidak etis. Apalagi menggosipkan serta me-label-kan sesama pejuang adalah perbuatan merendahkan martabat diri sendiri dan martabat perjuangan kita menentang penjajahan.

    Pada saat ini ada gosip beredar di Tanah Papua, tentang para tokoh di dalam tubuh ULMWP. Ada yang mengatakan orang ini titipan CIA Amerika Serikat, ada yang bilang itu titipan BIN NKRI, ada yang sebut ini orang gunung, dan itu orang pantai, ini orang Pemka dan itu orang Marvic, ini orang WPNCL dan itu orang PNWP, ini orang NRFPB dan itu orang TRWP.

    Masih ada orang mengaku diri OPM 1 Juli dan OPM asli, lalu menyebut ULMWP itu sudah tidak berjuang untuk Papua Merdeka lagi.

    Ada juga yang mengatakan OPM harus dihidupkan kembali dan alasannya ialah ULMWP tidak mewakili semua organisasi perjuangan Papua Merdeka.

    Ada yang menyebut Okto Motte itu titipan CIA, ada juga yang menyebut Benny Wenda suruhan MI5. Ada juga yang mengatakan Andy Ayamiseba itu sekarang ini bekerjasama dengan BIN Jakarta untuk mematikan perjuangan Papua Merdeka. Ada lagi yang mengatakan TRWP itu musuh TPN/OPM, ada pula yang bilang TPN PB itu bentukan BIN/NKRI.

    Lebih tidak pintar lagi, ada yang mengatakan TRWP itu milik suku tertentu, TPN / OPM itu milik Papua Merdeka. Ada pula yang sebut OPM 1 Juli itu murni, OPM 1 Desember itu palsu.

    Hai orang Papua, hai pejuang Papua Merdeka! Siapa kau? Kalau retorika-mu, kalau tindakan-mu, tidak kelihatan menentang tetapi nyata-nyata menghambat Papua Merdeka, engkau sudah jelas, dan sudah pasti LAWAN dari Papua Merdeka dan musuh dari aspirasi Bangsa Papua. Dan satu hal lagi, engkau lebih jahat daripada NKRI/ BIN, daripada Amerika CIA, daripada Inggris MI6.

     

     

     

     

    s

    ssd

    Dalam nama Tuhan Pencipta dan Pelindung tanah dan bangsa Papua, kami menyerukan kepada semua orang Papua, terutama para pejuang Papua Merdeka, ” Bertobatlah!” dan “Bertobatlah!”

    • Berhentilah mencurigai sesama pejaung Papua Merdeka
    • Akhiri menggosip dan menyalahkan sesama pejuang Papua Merdeka.

    Mari kita bangun saling percaya kepada sesama kita. Mari kita hentikan kata-kata merusak hubungan kita. Mari kita berpikir positif, dan bertindak positif. Mari kita belajar dari kesalahan-kesalahan kita sendiri.

    Buanglah ego pribadi dan ego kelompok. Tinggalkan cara kerja lama. Di Tanun yang baru ini, di tahun 2018 dan ke-depan, dalam kepengurusan ULMWP yang baru ini, mari kita berjuang dengan dasar saling menghargai, saling menerima, saling mengakui, dan saling mendukung sebagai sesama bangsa Papua, sesama pejuang kemerdekaan West Papua, dan terutama dan pertama sebagai sesama umat manusia, umat Tuhan di Tanah Papua.

  • Ego-isme dalam Papua Merdeka mewarnai Retorika TPN/OPM, TRWP, OPM dan ULMWP

    Dalam beberapa artikel sebelumnya, Papua Merdeka News (PMNews_ menyoroti betapa “Ego” dan “kemauan pirbadi” telah menjadi penghalang pertama, penyakit akut, dan perusak utama perjuangan Papua Merdeka. Kita sebut ini penyakit perjuangan. Penyakit yang menyebabkan para tokoh Papua Merdeka saling memusuhi, bahkan saling membunuh. Penyakit yang dampaknya ialah kerusakan dan pembusukan hampir stengah abad lamanya.

    Generasi muda saat ini masuk ke dalam skenario ego-isme pribadi dan kelompok dan termakan oleh ego itu sendiri. Pemuda saa tini tidak sadar, bahwa generasi pertama perjuangan Papua Merdeka telah menyebarkan virus mematikan Papua Merdeka yang begitu sulit disembuhkan.

    Untung sekali pada awal tahu 2000, Senior OPM (Marvic) Andy Ayamiseba bersama Rex Rumakiek dan Senior OPM (Pemka) Alm. Dr. OPM John Otto Ondowame memutuskan untuk secara “deliberate” dan langsung mempersatukan perjuangan Papua Merdeka menjadi satu “OPM”, 1 Juli dan 1 tujuan, yaitu West Papua merdeka dan berdaulat di luar NKRI.

    Mereka lakukan hal pertama, mereka semua pindah dan tinggal di Port Vila. Dan kedua mereka membentuk sebuah wadah bernama WPPRO (West Papuan Peoples’ Organisations Office). Begitu dibentuk, Wakil Perdana Menteri Vanuatu waktu itu Serge Voghor langsung mengakui kehadiran WPPRO dan mengakui perjuangan Papua Merdeka.

    Pada tahun 2004, utusan khusus Panglima Tertinggi TPN/OPM Gen. Mathis Wenda, Captain TPN/OPM Amunggut Tabi bersama Perwira Tinggi lainnya menuju ke Port Vila dan melakukan konsolidasi dan penyamaan persepsi.

    Hasil daripada diskusi dan arahan-arahan waktu itu, akhirnya dibentuklah sebuah badan konsolidasi para panglima perjuangan Papua Merdeka sejak tahun 2004, dan mulai bekerja sejak itu juga. Selama 2 tahun, semua panglima di hutan rimba New Guinea memberikan mandat penuh kepada Jend. TPN/OPM Mathias Wenda untuk memimpin rekonsiliasi komando dan mengumumkan kepada dunia tentang penyatuan komando dan struktur organisasi.

    Pada November 2006, terselenggara sebuah Kongres Militer di Wutung, Papua New Guinea, dan memutuskan Tentara Revolusi West Papua (TRWP) sebagai organisasi sayap militer perjuangan Papua Merdeka. Namun cukup disayangkan, dengan alasan “ego pribadi” para pejuang Papua Merdeka juga, maka ada pemuda Papua Merdeka yang mengatakan “TRWP” tidak sah, dna harus kembali kepada nama TPN/OPM.

    “Ego” itu pula-lah yang menyebabkan dilakukan banyak aksi-aksi tambahan berlanjut. Tujuan penyatuan yang diperjaungkan selama dua tahun, yang juga didukung bersama oleh pasukan, panglima dan para pemuda Papua Merdeka itu dihansurkan oleh “egoisme” mereka sendiri. Hanya oleh “ego” pribad perjuangan ini macet total. Tidak ada urusan dengan NKRI, permainan BIN atau agen lainnya. Ini jelas-jelas “eg6o” dalam operasi melawan Papua Merdeka itu sendiri.

    Sejak tahun 1963 sampai tahun 2014, bangsa Papua mengira perjuangan ini melawan NKRI. Padahal tipu! Itu salah! Faktanya bukan begitu! Sejarah perjuangan kita mengajarkan dengan terang-benderang bahwa kita secara bertahun-tahun lamanya, berturut-turut dan berulang-ulang dihajar babak-belur sampai hancur-berantakan oleh “ego” pribadi dan ego kelompok sendiri. Itu persoalan pertama dan utama dalam perjuangan Papua Merdeka.

    Begitu WPNCL dibentuk dan mengajukan permohonan kepada MSG di Kaledonia Baru, para pemimpin negara-negara MSG menusuk dan mengoperasi persis penyakit akut dan menahun dalam perjuangan Papue Merdeka. Mereka bilang “Satukan semua faksi dulu baru daftar ke MSG”.

    Terpaksa WPNCL harus mundur selangkah, mengundang semua organisasi perjuangan yang belum tergabung untuk menyatukan barisan dan sukses membentuk ULMWP (United Liberation Movement for West Papua).

    Setelah ULMWP dibentuk dan selama kiprahnya tiga tahun terakhir, PMNews mengira “Ego” itu yang sudah dikalahkan. TETAPI rupanya kami salah. Justru “Ego” itu beroperasi liar dan menggila-gila. Di satu sisi kita menganggap sudah bersatu, dalam kenyataannya dan prakteknya persatuan sulit kita temukan.

    Setelah tiga tahun, ULMWP melakukan sidang pergantian pengurus ULMWP. Baru akhir tahun 2017, pengurus ULMWP baru dipilih.

    Pertanyaan sekarang adalah

    • Apakah “ego” pribadi dan ego kelompok itu sudah disalibkan dan mati di atas kayu salib?

    Walaupun sudah ada Kongres Militer (TPN/OPM) November 2006, walaupun sudah ada deklarasi di Port Vila tahun 2000, 2001, 2014 dan sebagainya. Biarpun sudah terbentuk kebersamaan dalam perjuangan ini, kami orang Papua memang memenuhi syarat untuk dijajah sampai kiamat. Alasan pertama, terutama dan mendasar ialah karena

    “Kami orang Papua tidak pernah dan tidak sanggup mengalahkan ego pribadi dan ego kelompok”

    1. Kalau begini kondisinya, apa artinya nasionalisme Papua?
    2. Apa itu perjuangan Papua merdeka? Siapa penyebab pengorbanan terus-menerus dan NKRI tetap ada, menduduki Tanah Papua, menjarah kekayaan alam West Papua dan membunuh manusia Papua?
    3. Apakah para “egois” ini memang benar-benar berjuang untuk Papua Merdeka?
    4. Apakah mereka “titipan” Iblis NKRI untuk membunuh Papua Merdeka?

    Eh, dengar apa tidak?

    Kalau ada orang Papua masih menentang kehadiran ULMWP dan mengaku diri OPM asli, OPM 1 Juli, OPM benar, maka apakah itu utusan malaikat surga untuk Papua Merdeka, atau utusan Iblis untuk menghancurkan perjuangan ini?

  • Nicolaas Jouwe: Cucu, Tete Benci Manusia Papua dengan Ego Besar, tetapi Miskin Pemikirannya untuk Masa Depan Papua

    Selama seminggu penuh, tepat Bulan Mei, tahun 2000, telah berlangsung Kuliah Khusus dengan topik, “Sejarah dan Arah Papua Merdeka” di Den Haag, Negeri Belanda. Ruang kuliahnya ialah ruang tamu dari Rumah mantan gerilyawan TEPENAL Alez Derey, dan dosen yang memberikan kuliah ialah Prof. OPM Nicolaas Jouwe. Mahasiswanya hanya satu orang, bernama Capt. TPN/OPM Amunggut Tabi.

    Setelah kuliah itu berlangsung, maka Capt. TPN/OPM Amunggut Tabi datang ke Tanah Papua, menghadiri Kongres Rakyat Papua II (KRP II) 2000.

    Akan diberitakan dalam PMNews rentetan perkuliahan dimaksud. Akan tetapi terkait dengan arahan umum Gen. Mathias Wenda dari Markas Pusat Pertahanan (MPP) Tentara Revolusi West Papua (TRWP) menyangkut perjuangan Papua Merdeka dan “ego” dari tokoh dan aktivis Papua Merdeka hari ini, maka kita angkat catatan perkuliahan ini dengan judul “Nicolaas Jouwe: Cucu, Tete Benci Manusia Papua dengan Ego Besar, tetapi Miskin Pemikirannya untuk Masa Depan Papua

    Topik ini, “ego pemimpin Papua harus dimatikan”, itu muncul pada Prof. OPM Jouwe berkuliah tentang

    “Apa penyebab utama kegagalan demi kegagalan dialami oleh para tokoh perjuangan Papua Merdeka, padahal Timor Leste yang baru mulai berjuang 10 tahun belakangan malah sudah merdeka waktu itu?”

    Ini pernyataan sebagai pertanyaan dari sang mahasiswa kepada professornya, karena dia baru saja kehilangan banyak teman-temannya dari Timor Leste karena mereka telah pulang dari Eropa, setelah mengakhiri perjuangan mereka. Sang mahasiswa bertanya, mereka berjuang belakangan tetapi masuk ke garis finish duluan, sedangkan orang Papua mengambil start 10 tahun lebih dulu, tetapi belum juga menunjukkan garis-garis final.

    Jawaban pertama dari Nicolaas Jouwe sebagai berikut

    Cucu, Tete kasih tahu bahwasannya para pejuang Papua Merdeka, anak-anak dan cucu-cucu saya semua, sekalian bangsa Papua yang masih berjuang dengan ego-ego pribadi, dengan kepentingan kelompok sendiri dan mengesampingkan kepentingan Bintang Kejora, seperti adik saya Theys Eluay dan lain-lain, mereka semua akan mati sebelum tete mati. Mereka tidak akan melihat Papua Merdeka.

    Mereka akan mati di seberang sungai Yordan. Alasannya karena mereka itu egonya besar, egonya masih hidup. Kepentingan pribadi mereka untuk dapat kursi di DPR RI, di provinsi Irian Jaya, untuk menjadi pejabat itulah sebabnya mereka minta Papua Merdeka. Ini alasan dan cara salah. Ini hanya melayani ego pribadi.

    Sama dengan itu, cucu sudah tahu di hutan itu banyak terjadi cek-cok dan baku bunuh kiri-kanan. Ini anak Derey masih ada, dia ada dengar. Generasi mereka ini tidak baik, mereka harus mati semua dulu baru Indonesia keluar dari Tanah Papua.

    Bahwasannya ego pribadi Alex Derey, Theys Eluay,. Thom Beanal, Mathias Wenda, semua harus mati dulu, itu baru Papua Merdeka.

    Ingat cucu, Fretelin menyatukan semua perjuangan Timor Leste, dan mereka lepas. Orang Papua sidang beribu-ribu kali di Negeri Belanda ini, mereka bilang mau satukan barisan. Tetapi tokoh-tokoh seperti …., …., …., mereka-mereka ini yang tidak mau bersatu. Masing-masing pertahankan ego dan kelompok mereka.

    Cucu harus camkan, dan ingat baik-baik. Bahwasannya sebuah perjuangan kebangsaan untuk mendirikan negara baru seperti kita bangsa Papua, kita butuh orang-orang negarawan, yang sepenuh hidupnya memikirkan kepentingan bangsanya dan berjuang untuk negara West Papua.

    Saya yakin, cucu, saya percaya cucu. Tuhan sudah kasih tahu tete, makanya tete datang ke sini. Generasi kalian ini-lah yang akan membawa Papua menjadi merdeka. Tetapi cucu harus jaga adik-adik semua, siapa saja yang ego-nya besar, suruh mereka mundur dari barisan ini. Kalau tidak kalian akan tunda waktu kemerdekaan bangsa Papua.

    Perkuliahan dilakukan selama 24 jam, 2 minggu, Senin sampai Minggu. Babi yang disembelih waktu itu diantar langsung dari warung yang telah dipesan Tete Jouwe, babi guling ala Bali, dua ekor, dan anggur yang dibawa waktu itu 2 karton, masing-masing karton berisi kira-kira 12-20 botol.

    Tete Jouwe memang senang anggur, sangat menyukainya, dan pipa cerutu selalu di mulutnya sambil berbicara. Tongkat komando adatnya selalu saja disamping. Saat bicara yang penting, bersifat komando atau mandat, beliau selalu memnita cucunya, Capt. TPN/OPM Amunggut Tabi untuk memegang dan mencium tongkatnya itu.

    [Berlanjut ke cerita 2)

  • Politik Papua Merdeka Penuh dengan Kanibalisme: Lahirkan Organisasi Sendiri, lalu Bunuh dan Makan Sendiri

    Selama ini para pejaung Papua Merdeka yang berkeliling di luar negeri selalu mendapatkan pertanyaan seperti ini, “Do you still eat flesh?” Masih makan manusia ya? Dan pertanyaan ini sering membuat orang Papua tersinggung besar dan sering dijawab dengan berbagai macam jawaban yang emosional.

    Kanibalisme dalam perjuangan Papua Merdeka yang justru lebih nyata dan dapat disaksikan pada hari ini daripada kanibalisme seperti yang pada umumnya dipertanyakan masyarakat modern di luar sana. Seharusnya para pejuang Papua Merdeka menjawab,

    “Ya, benar, kami ini, para pejuang Papua Merdeka ini-lah para kanibal itu, karena kami sudah terbiasa, dan menjadi budaya kami, melahirkan organisasi untuk politik Papua Merdeka, lalu kami juga yang biasanya berulang-ulang memakan habis organisasi yang kami lahirkan sendiri.”

    Kita mulai dari Organisasi Pembebasan Papua Merdeka (OPPM) di Mnukwar, PEMKA/TEPENAL dan TPN/OPM, FORERI (Forum Rekonsiliasi Rakyat Irian Jaya), Dewan Adat Papua (DAP), Lembaga Adat Papua (LMA), Dewan Musyawarah Masyarakat Adat Koteka (DeMMAK), Presidium Dewn Papua (PDP), West Papua Liberation Organisation (WPLO), West Papua National Authority (WPNA), Republik Papua Barat, Republik Melanesia Raya, Negara Republik Federal Papua Barat, WPRRO (West Papuan Peoples’ Representative Office), WPNCL (Wet Papua National Coalition for Liberation), WPRA (Wet Papua Revolutionary Army), AMP (Aliansi Mahasiswa Papua), Front PEPERA, TPN – PB, ULMWP (United Liberation Movement for West Papua)

    Silahkan saja Anda sendiri urutkan dari nama-nama organisasi yang Anda ketahui, dan rumuskan sejak kapan organisasi dimaksud didirikan dan sejak kapan organisasi yang sama sudah tidak bergerak lagi. Kita akan kaget mengetahui bahwa semua organisaasi perjuangan Papua Merdeka dengan nama-nama yang di antaranya diserbutkan di sini telah lahir oleh orang Papua dan kemudian telah dimatikan oleh orang Papua juga. Lebih parah lagi, dilahirkan oleh orang Papua pejuang Papua Merdeka dan dibunuh kembali oleh orang Papua pejuang Papua Merdeka.

    Pada saat ini, sejak akhir tahun 2016, dan awal tahun 2017 ini kami emnjadi saksi mata, menyaksikan dan menikmati pada waktu bersamaan, sebuah peristiwa tragis, kanibalisme politik Papua Merdeka terjadi kembali, yaitu dengan kemunculan ULMWP, maka secara otomatis, kata para pendiri dan deklarator ULMWP, maka organisasi lain telah tiada, dan oleh karena itu semua orang West Papua harus tunduk kepada ULMWP.

    Kalau ULMWP bukan lagi organisasi kanibal dalam perjuangan Papua Merdeka, maka pastilah ULMWP akan mengundang semua komponen dan organisasi yang selama ini, yang mendahului memperjuangan Papua Merdeka untuk terlibat di dalam perjuangan ini, baik dalam doa, dalam dana, dalam tenaga ataupun dalam waktu. Kalau tidak, tidak usah heran juga, karena memang orang Papua, terutama pejuang dan organisasi perjaungan Papua Merdeka selama lebih dari setengah abad ini dikenal penuh dengan budaya kanibalisme dalam berpolitik.

  • Laurentz Dloga/ Logo, Korban oleh orang Papua yang tidak Paham arti kata Revolusi dalam Perjuangan Papua Merdeka

    Laurentz Dloga/ Logo adalah seorang terdidik, fasih berbahasa Inggris yang pernah bergabung dalam perjuangan Papua Merdeka, disusul oleh John Ottow Ondawame dan Waker.

    Saat Dloga begabung dengan TPN/OPM, dia mengusulkan dan menggagas sebuah pemisahan Organisasi Papua Merdeka (OPM) dari sayap militer Tentara Pembebasan Nasional dan memberi nama kepada organisasi sayap militer sebagai Tentara Revolusi Papua Barat.

    Pada saat muncul istilah “revolusi” dalam nama organisasi ini, maka mulailah disebarkan isu pembusukan ke dalam wacana para panglima dan pendoa syafaat, bahwa kata “revolusi” artinya komunis, artinya menentang agama, artinya Allah tidak terlibat dalam perjuangan Papua Merdeka. Tentu saja, para perwira dan pendoa syafaat Papua Merdeka waktu itu sangat terpukul dan merasa kecolongan dengan mengorbitkan Laurentx Dloga sebegai kaki-tangan, bahkan tangan-kanan dalam perjuangan Papua Merdeka.

    Rumor-pun tersebar, rencana dan percobaan pembunuhan-pun terjadi. Terhadap anak-nya, Yulius Gombo, Laurentz Dloga pernah berpesan,

    “Anak, om akan dibunuh oleh orang tua sendiri, jadi tidak apa, tetapi ingat, bahwa perjuangan ini tidak akan berhasil sepanjang ada rasa saling mencurigai dan saling menceritakan. Pada waktu semua orang Papua bersatu, itu baru anak akan tahu Papua akan merdeka. Kalau tidak, yakin saja, kita akan sulit merdeka.”

    LLaurentz Dloga/ Logo alah satu korban pembunuhan di dalam tubuh perjuangan Papua Merdeka yang dibunuh karena ia pertama-tama menggunakan kata “Revolusi” dalam Organisasi Papua Merdeka, membentuk West Papua Revolutionary Army. Dia dibunuh oleh pasukan dan pengawalnya sendiri. Sebelum dibunuh Logo katakan, “”Saya berdoa dulu” Lalu beliau diberi kesempatan untuk berdoa. 

    Dalam doanya, Logo mengatakan,

    Laurentz-Laurentz baru akan lahir, banyak orang, dan akan meneruskan perjuangan ini, sampai revolusi Papua Merdeka berakhir! Tuhan berkati semua pasukan saya, mereka tidak tahu apa yang mereka lakukan. Berkatilah semua pejuang, tokoh revolusioner.

    Begitu doa belum sempat selesai, beliau sudah ditembak, menggunakan pistol miliknya sendiri.

    Seperti diceritakan anaknya, Yulius Gombo, pembunuhann Laurentz Dloga bermula dari kesalah-pahaman atas istilah “revolusi” dalam nama organisasi perjuangan Papua Merdeka waktu itu. Pada waktu itu kata revolusi langsung dikaitkan dengan komunis, kafir, anti Tuhan. Dengan demikian  penggunaan kata “revolusi” dalam organisasi perjuangan Papua Merdeka dianggap sebagai sebuah kutuk terhadap pengorbanan bangsa Papua selama itu.

    Yulius Gombo-pun pernah memberikan saran kepada pamannya, Dloga, supaya beliau menghapuskan saja istilah “revolusi” dari dalam organisasi sayap militer Papua Merdeka, akan tetapi Dloga selalu beralasan bahwa perjuangan Papua Merdeka adalah sebuah revolusi, sebuah perombakan, sebuah penggantian pemerntahan dari penjajah kepada pemerintah dan negara West Papua. Dloga selalu mengatakan kepada keponakannya bahwa perjuangan Papua Merdeka ialah sebuah revolusi.

    Pada tahun 1999, ketika Paul Kingsnorth, jurnalis The Guardian Inggris dan penulis datang ke Tanah Papua, dalam rangka merumuskan berbagai perjuangan pembebasan dan kemerdekaan yang terjadi di seluruh dunia, di antara masyarakat adat, beliau menyimpulkan bahwa apa yang terjadi di Bougainville ialah sebuah Revolusi Kelapa (Coconut Revolution) dan apa yang terjadi di West Papua ialah sebuah Revolusi Koteka (Koteka Revolution).

    Kata “revolusi” memang selalu dikaitkan langsung dengan komunis, anti-agama, anti-kristus, padahal revolusi dalam arti leterlek dan arti secara sosio-politik ialah sebuah perubahan dan perombakan total dan menyeluruh, dalam rangka menggantikan pemerintahan atau negara yang ada dengan pemerintahan atau negara yang baru.

    Para perwira yang memfitnah dan memerinthkan pembunuhan Laurentz Dloga tentu saja menyesal atas apa yang mereka lakukan, tetapi semuanya terlambat, Dloga telah tiada. Walaupun begitu, sama seperti doanya, Tuhan menjawab doanya, Laurentz-Laurentz muda Papua masih ada, dan akan terus lahir, mengobarkan api revolusi West Papua Merdeka, sampai pada akhirnya NKRI angkat kaki dari Tanah Papua dan Negara West Papua menjadi merdeka dan berdaulat di luar NKRI.

  • Papua Merdeka News: Educating The World, for A Free and Independent West Papua

    Papua Merdeka News sejak didirikan di Camden Town, London Utara, Inggeris Raya pada tahun 1999 diberi label sebagai The Diary of OPM (Online Papua Mouthpiece). Gagasan nama ini diajukan oleh Richard Reinsford, seorang WN Inggris pendukung murni Papua Merdeka. Utusan Khusus Gen. TPN/OPM Mathias Wenda waktu itu menerima usulan nama ini dan mulai menyiarkan berita-berita Papua Merdeka sejak itu.

    Pada waktu itu hanya ada satu website tentang West Papua, yaitu diupdate atas nama OPMRC (Organisasi Papua Merdeka Revolutionary Council) di bawah komando Moses Weror. Setelah utusan Mathias Wenda berkomunikasi dengan Boyjah (nama waktu itu alamat website mengatakan boyjah.jp), maka Ketua OPMRC dari Madang Papua New Guinea juga memberikan Rekomendasi Resmi kepada utusan Khusus Mathias Wenda untuk menjalankan fungsi-fungsi pemberitaan perjuangan Papua Merdeka.

    Dengan dasar itulah, maka Papua Merdeka News diluncurkan.

    Sampai akhir tahun 2015, PMNews menjadi salah satu bagian dari pemberiatan perjuangan Papua Merdeka. Akan tetapi sejak berdirinya ULMWP, maka kebijakan dari Markas Pusat Pertahanan Tentara Revolusi West Papua memutuskan untuk menjadikan papuapost.com sebagai situs resmi perjuangan politik Papua Merdeka, dengan fokus utama pada 10 tahun pertama (2016 – 2026) sebagai media Pendidikan Politik bagi pejuang Papua Merdeka dan rakyat Papua pada khususnya dan juga bagi negara dan bangsa di dunia dalam rangka membangun solidaritas dan dukugnan mereka.

    Slogan yang pernah ditetapkan tahun 1999, yaitu “Educating The World, for A Free and Independent West Papua” menjadi relevan dengan garis komando yang diturunkan oleh Panglima Tertinggi Komando Revolusi Gen. TRWP Mahias Wenda.

    Setelah itulah, maka sejak tahun 2016, PMNews kini menjadi media pendidikan politik dan media penerangan perjuangan Papua Merdeka.

    Harap bermanfaat bagi kita semua. Segala kritik dan saran kami terima. Semua sumbangan tulisan juga kami siap terima: email kami di koteka@papuapost.com atau papuapost@yahoo.com dan papuapress@yahoo.com

    Papua Merdeka ialah sebuah kepastian!

     

     

    Collective Editorial Board of the Diary of OPM

  • Fokuskan Perjuangan di Kawasan Melanesia, Jangan Kita Terbawa Arus ke-Barat-Barat-an

    Utusan Khusus Jenderal TPN/OPM Mathias Wenda dikirim ke Eropa pada tahun 1998 dan bergerilya di kota-kota di Eropa selama hampir 2 tahun, sebelum akhirnya dipanggil pulang tahun 2000 untuk mengikuti Kongres Rakyat Papua 2000 dan diutus kembali tahun 2001 – 2003.Tahun 2004 – 2006 diberi tugas lagi untuk melakukan gerilya kota-kota Melanesia. Utusan Khusus Mathias Wenda bertemu Senior OPM Andy Ayamiseba dan Senor Dr. OPM John Otto Ondawame di Port Vila, Republik Vanuatu. Para utusan disambut dengan sambutan militer oleh Dr. OPM Otto Ondawame di Lapangan terbang Internasional Port Vila.

    Dalam perjalanan regilya kota-kota ini telah meninggalkan banyak sekali cerita yang tidak mudah dilupakan, terutama bagi para pasukan TPN/OPM di Markas Pusat Pertahanan. Banyak juga peristiwa bersejarah yang pernah terjadi. Salah satu hasil dari perjalanan ini ialah gagasan untuk memisahkan TPN dari OPM, dengan cara TPN memisahkan diri dari OPM dan salah dua hasil adalah memfokuskan perjuangan Papua Merdeka di kawasan Melanesia.

    Peristiwa pemisahan diri TPN dari OPM terjadi pada tahun 2006 dalam Kongres TPN/OPM yang berlangsung di Markas Pusat TPN/OPM, dipimpin langsung oleh Jenderal TPN/OPM Mathias Wenda.

    Dalam sidang itu, TPN memisahkan diri secara resmi dari OPM dan menamakan dirinya sebagai Tentara Revolusi West Papua.

    Sedangkan perjuangan Papua Merdeka mulai tahun 2006 diarahkan ke kawasan Melanesia. Banyak pertemuan dengan para tokoh politik dilakukan berulang-ulang, secara undercover. Istilah TRWP ialah gerilya kota. Lobi-lobi pribadi telah dilakukan sejak tahun 2006 di Papua New Guinea. Sedangkan lobi-lobi di Vanuatu sudah berlangsung sejak 2004. Maksud lobi bukan lobi politik, tetapi lobi pendekatan adat mengingat masyarakat Melanesia sampai hari ini sampai besok-pun masih tetap masyarakat adat.

    Pada tahun 2001, utusan khusus TPN/OPM bertemu dengan Mr. Mortimer, Sekretaris 1 dari Kofi Annan, Sekjen PBB di Geneva Swiss Waktu itu utusan Khusus TPN/OPM melakukan intervensi di Sidang Minority Rights Group, di mana Utusan Khusus TPN/OPM diangkat menjadi Chairman dari salah satu sidang di sana. Dalam pertemuan itu Utusan TPN/OPM bertemu dengan Direktur Utama Palang Merah Internasional untuk menyampaikan Protes atas Peristiwa Berdarah Mapenduma mengakhiri penyanderaan oleh Jenderal TPn/OPM Kelly Kwalik waktu itu.

    Mr. Mortimer mengatakan kalimat-kalimat ini, sebagaimana diceritakan kepada PMNews:

    • Mortimer: Where are you from?
    • TPN/OPM: West Papua?
    • Mortimer: Where is West Papua?
    • TPN/OPM: It is nearby Australia?
    • Mortimer: What region is it? Middle East? Africa?
    • TPN/OPM: No. Oceania, South Pacific, Melanesia.
    • Mortimer:  How many Melanesian countries are there?
    • TPN/OPM: Four already Independent states, and three are still fighting.
    • Mortimer:  Ok. Good. Mr. Annan was the UN Staff during the Act of Free Choice. He knows what had happened when you were still children, he knows the history, he was part of the history of West Papua. You do not need to teach him about West Papua history. What you should do now is Go to your Melanesian states, mobile support from the four already independent states, and let them bring West Papua issue to the UN, not you. OK? I do not want to see your face here, from now, from this place, I do not want to see you anymore. You go to your people, mobile their support, and come back here, not here, but to New York, not yourself, but with your Melanesian leaders, presidents or prime ministers. That is the only way. Then you go to African countries.
      (Setelah mengatakan ini, di amengeluarkan tangannya dan katakan, mari keluarkan tanganmu) Lalu dia katakan
      Do you see the colour? My colour is different from your colour. Here we are just playing Mr. Annan is your colour, Melanesia is your colour, Africa is your colour. Just follow the colour, then you get the real outcome.
    • TPN/OPM: I realy thank you very much, on behalf of my heroes, my elders, my leaders and myself.
    • Mortimer: Off you go. Here is my Card, if anything happen to you, just email me, phone me right away.
    • TPN/OPM: Off, saya keluar dari sidang, angkat barang, dan pulang ke Tanah Papua, Papua New Guinea.

    Semoga dari cerita singkat ini, membawa manfaat bagi kita.

    Kita harus merasa kecil, merasa tidak berarti, merasa tidak ada arti sama sekali dari hari ke hari, maka Dia yang menciptakan kita, pahlawan yang mendahului kita, dan tanah leluhur kita akan mengangkat kita, menjadi pelayan.

  • ULMWP Seharusnya Sudah Melangkah Membentuk Pemerintahan Negara Republik West Papua

    ULMWP Seharusnya Sudah Melangkah Membentuk Pemerintahan – Jangan Jadi Aktivis Papua Merdeka Abadi adalah kalimat yang diucapkan seorang pejuang Papua Merdeka menindak-lanjuti kemenangan-kemenangan beruntun di kawasan Pasifik Selatan selama dua tahun terakhir.

    Orang Papua dikenal dengan “bersenang-senang di arena pertempuran“, dan tidak mau merayakan kemenangan. Kemenagnan tidak dianggap, masalah yang dianggap. Ini salah satu dari banyak ciri khas yang disebut Dr. Benny Giay sebagai bangsa yang “memenuhi syarat untuk dijajah“.

    Ini sebab utama kenapa Timor Leste yang berjuang belakangan sudah merdeka lebih duluan.

    Ciri pertama aktivis yang senang terus menjadi aktivis ialah otak dan pemikirannya selalu mencari kesalahan orang lain, baik kesalahan teman, kesalahan orang Papua, dan kesalahan NKRI. Karena penuh dengan pikiran tentang kesalahan orang lain, akibatnya tidak ada ruang cukup untuk memikirkan solusi. Hasilnya perjuangan Papua Merdeka akan menjadi hiasan dinding hati orang Papua dari generasi ke generasi. Orang tua kita yang memulai perjuangan ini, mati dalam hati yang penuh derita dengan kemarahan besar terhadap NKRI. Anak-anak mereka mewarisi emosi itu, dan terus saja bergulat di dalam emosinya, mengharapkan Australia, Amerika Serikat dan Inggris membawa solusi.

    Kita lebih senang memikul masalah, dan solusinya kita serahkan kepada orang lain, bangsa lain, negara lain.

    Tentu saja ada banyak masalah lain yanng menjadi tantangan dalam perjuanganini, seperti bangunan sosial, budaya, kondisi geografis yang membedakan dan cukup menghambat. Akan tetapi sudah beberapa kali dipetakan dan disebuatkan bahwa bangsa Papua sebagai sebuah entitas identitas tidak dihambat oleh hal-hal fisik. Sebuah tulisan yang katanya ditulis oleh George Aditjondro, padahal bukan dia yang tulis ini, “10 Alasan Orang Papua Sendiri Tidak Jelas dalam Sikapnya, Padahal Banyak Orang Indonesia Mendukung Papua Merdeka”

    Ini hal yang penting untuk dipikirkan dan ditindak-lanjuti oleh PNWP, ULMWP dan NRFPB, WPNA, TRWP, TPN PB, DeMMAK, KNPB dan semua orang perjuangan Papua Merdeka yang selama ini berjuang untuk Papua Merdeka.

    Kalau kita potong semua waktu memikirkan, membahas, memposting, mentweet dan meng-FB langkah-langkah NKRI, tindakan NKRI, perkataan NKRI, dan fokus kepada perjuangan Papua Merdeka, maka seharusnya Papua sudah merdeka jauh sebelum Timor Leste Merdeka. Itu teorinya. Tetapi realitasnya apa?

    Apakah generasi saat ini mau mengulangi kesalahan orang tua mereka?

    ***

     

    Alasan utama kita berjuang seperti ini, karena orang tua kita mewariskan masalah ini, kita dikandung, dan dilahirkan dalam masalah hubungan West Papua – NKRI, dan kita tidak tahu solusinya.

    Alasan kedua karna kita sendiri sudah menjadi mahir dalam menjadi aktivis, sehingga walaupun sudah mendekati membentuk pemerintahan-pun kita masih bersikap, berpakaian, bertutur-kata, sebagai aktivis.

    ULMWP itu bukan lembaga aktivis, itu lembaga politik. Dan lembaga politik itu sudah diakui oleh negara-negara di Pasifik Selatan sebagai negara maupun sebagai organisasi negara-negara di Pasifik Selatan.ULMWP bukan bertujuan hanya untuk memngkampanyekan pelanggaran-pelanggaran HAM, dan kalau NKRi membayar denda pelanggaran HAM dan memperbaiki kondisi di West Papua maka ULMWP harus berhenti di situ.

    ULMWP adalah sebuah wadah yang sudah matang, sudah harus melangkah cepat, sudah harus mensyukuri atas kemenangan yang telah dianugerahkan oleh Tuhan. Bentuk ucapan syukur itu ialah melayakkan perjuangan ini menjadi sebuah perjuangan punya kekuatan tawar-menawar dengan NKRI.

    Pasti, ULMWP sebagai sebuah lembaga perjuangan saja, tidak akan punya kekuatan hukum apa-apa menggugat NKRI. NKRI-pun akan memandang ULMWP hanya sebagai kelompok orang Papua frustrasi dan pemberontak pemerintah, ang pada suatu waktu akan bertobat dan kembali ke Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat, seperit yang sudah dilakukan Nick Messet, Fransalbert Joku dan Nicolaas Jouwe.

  • LIPI Luncurkan Papua Road Map Jilid 2

    JAKARTA, SATUHARAPAN.COM -Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) hari ini (14/10) meluncurkan Papua Road Map (PRM) jilid II, yang merupakan revisi dari PRM yang sudah pernah diluncurkan pada tahun 2008. Peluncuran itu dilangsungkan di Auditorium Gedung Widya Graha,LIPI, Jakarta, melalui sebuah seminar berjudul Proses Perdamaian, Politik Kaum Muda dan Diaspora Papua: Updating Papua Road Map.

    Deputi Ketua LIPI bidang Ilmu Pengetahuan Sosial dan Kemanusian (IPSK-LIPI), Tri Nuke Pudjiastuti, dalam pidato pembukaan mengatakan PRM menawarkan empat agenda penyelesaian persoalan Papua yang saling terkait.

    Pertama, rekognisi yang berorientasi pada pemberdayaan Orang Asli Papua sebagai kompensasi atas marjinalisasi dan diskriminasi yang mereka alami.

    Kedua, pembangunan berparadigma baru dengan orientasi pada pemenuhan hak dasar rakyat Papua di bidang pendidikan, kesehatan, dan pelayanan publik.

    Ketiga, dialog yang dilandasi rasa saling percaya sebagai bagian dari upaya berdamai dengan sejarah masa lalu dan untuk menyamakan persepsi melihat masa depan.

    Keempat, rekonsiliasi yang berorientasi pada pengungkapan kebenaran atas kekerasan dan pelanggaran HAM yang dialami masyarakat Papua dan kesediaan otoritas negara untuk mengakuinya sebagai kekeliruan masa lalu.

    Tri Nuke mengatakan Tim Kajian Papua LIPI telah melaksanakan berbagai kegiatan dan diseminasi untuk mendorong direkomendasikannya hasil kajian PRM, khususnya mengenai dialog sebagai bagian dari penyelesaian damai bagi Papua.

    “Sayangnya rekomendasi hasil penelitian tujuh tahun yang lalu itu tidak diindahkan. Maka kompleksitas persoalan di Papua semakin tinggi,” kata dia.

    Kini, kata dia, dalam rangka membantu merumuskan kembali makna dialog sebagai sebuah ‘strategi baru’, LIPI memutakhirkan data dan analisis lewat PRM ‘jilid’ dua ini.
    Pemutakhiran data, menurut dia, difokuskan pada dua aspek. Pertama, pemetaan aktor dalam konflik Papua, yang dihubungkan dengan perkembangan gerakan politik kaum muda dan diaspora Papua di luar negeri.

    Kedua, dialog sebagai pendekatan damai bagi Papua.

    “Kedua hal ini dirasa paling signifikan mengalami perubahan dan merupakan elemen baru yang belum sempat dibahas pada buku PRM sebelumnya,” kata dia.

    Hadir sebagai pembicara pada acara peluncuran PRM jilid II ini adalah Irjen Pol. Drs. Paulus Waterpauw, Kapolda Papua mewakili Kapolri, Mayjen TNI Yoedhi Swastono, deputi I/Koordinasi Bidang Politik DAlam Negeri Kemenpolhukam, Pater Neles Tebay, Koordinator Jaringan Damai Papua, Yan Christian Warinussy, direktur eksekutif LP3BH Manokwari, Adriana Elisabeth, kepala Pusat Penelitian Politik LIPI yang juga ketua tim penulis buku PRM jilid II. Seminar dipandu oleh moderator Latifah Hanum Siregar dari Aliansi Demokrasi untuk Papua.

    PRM jilid II sampai saat ini masih dalam bentuk ringkasan karena masih memerlukan penyuntingan lebih mendalam. PRM jilid II diberi judul, Proses Perdamaian, Politik Kaum Muda, dan Diaspora Papua: Updating Papua Road Map. Tim penulis terdiri dari Adriana Elisabeth, Aisah Putri Budiatri, Amorisa Wiratri, Cahyo Pamungkas dan Wilson.

    Ada pun PRM jilid I, yang diluncurkan pada 2008, diberi judul Negotiationg the Past, Improving the Present and Securing the Future. Ketua tim penulis buku PRM jilid I adalah Muridan S. Widjojo, yang sudah berpulang, bersama Adriana Elisabeth, Amirudin Al-Rahab, Cahyo Pamungkas dan Rosita Dewi.

    Editor : Eben E. Siadari

  • Tuduhan NKRI terhadap Negara Pasifik Selatan dan Tanggapan Indonesia (4)

    Dalam tuduhannya, Indonesia mengatakan beberapa hal yang patut dicatat

    pernyataan tersebut tidak memiliki itikad baik dan bermotif politik yang bisa ditafsirkan sebagai pendukung kelompok separatis di provinsi-provinsi yang telah terlibat dalam menghasut kekacauan publik dan dalam serangan teroris bersenjata terhadap warga sipil dan personel keamanan. <Indonesia Menuduh Solomon Punya Motif Politik Angkat Isu Papua>

    Pertama, Indonesia menuduh Solomon Islands dan koleganya di Pasifik Selatan “tidak memiliki itikad baik”; kedua “bisa ditafsirkan sebagai pendukung kelompok separatis”;  ketiga “menghasut kekacauan politik”, keempat, “kekerasan publik dan serangan teroris bersenjata terhadap warga sipil dan personel keamanan”.


    Keempat, Indonesia menuduh intervensi enam negara Pasifik Selatan terkait isu pelanggaran HAM dan penentuan nasib sendiri ditanggapi dilakukan oleh kelompok perjuangan Papua Merdeka sebagai “serangan teroris bersenjata”, yang dilakukan “terhadap warga sipli dan personel keamanan”.

    Kita telah lihat berkali-kali, apa yang terjadi di kota Jayapura, waktu Musa Tabuni masih hidup. waktu itu turis asing ditembak mati. Tukang ojek dibunuh. Di Puncak Jaya tukang ojek atau guru honorer dibunuh. DI Nduga dan Lanny Jaya pekerja perusahaan dibunuh. Di Nabire, Dogiyai, Sugapa, penduduk sipil ditembak mati, masih anak-anak sekolah SMA-pun ditembak mati.

    Apalagi di Timika, pembunuhan demi pembunuhan terus terjadi, silih berganti. Ada yang digiring ke arah perang suku, ada pula yang digiring ke TPN/OPM.

    Apakah semua ini terjadi oleh Tentara Revolusi West Papua atau OPM? atau TPN/OPM atau TPN PB?

    Sama sekali tidak. Kalau Komando Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat, Pemka di bawah komando Jend TPN/OPM Mathias Wenda sejak tahu 2006 telah berubah tugas, fungsi dan kegiatannya menjadi sebuah organisasi militer profesional, yang bekerja seratus persen untuk kemerdekaan West Papua, dengan mengedepankan Front Perjuangan Papua Merdeka lewat jalur politik dan diplomasi.

    Nggoliar Tabuni sudah tahu saat ini siapa penyebab banyak masalah di Puncak Jaya dan Puncak Papua dan sekitarnya.

    Semua tertata-rapih, semua dibawah komando, semua mendengarkan perimtah dan komando dari United Liberation Movement for West Papua (ULMWP).

    Semua organ dan organiassi perjuangan bangsa Papua sudah tahu, siapa itu OPM, siapa pembentuk dan pemberi nama OPM? Siapa TPN/OPM, dan siapa berkepentingan TPN/OPM harus ada di Tanah Papua. Orang Papua tahu siapa ibukandung terorisme di Tanah Papua.

    Hari ini, paling tidak sejak tahun 2006, perjuangan Papua Merdeka telah beroperasi secara profesional, tidak ada baku tembak sama sekali., Kalau ada, itu jelas dan pasti disebabkan oleh agen-agen NKRI, untuk kepentingan mereka. Teroris yang ada di Tanah Papua itu TPN/OPM bentukan NKRI, OPM piaraan NKRI, TPB PB eksis karena dibiayai NKRI. Kalau yang murni tidak akan menembak orang sembarang, kami pejuang Papua Merdeka sudah tahu itu sejak penerangan dan pemisahan organisasi politik dari organisasi militer tahun 2006.

    Maka itu kalau masih ada TPN/OPM tembak orang sembarang di Tanah Papua, itu pasti NKRI.

    Yang mau supaya Tanah Papua kacau. Yang mau supaya orang Papua mati. Yang mau supaya TPN/OPM menjadi teroris adalah NKRI, bukan?

    Tetapi jebakan NKRI meleset! NKRI kalah 100 langkah!

    TRWP tidak pernah memberikan perintah kepada siapapun untuk menembak orang sejak tahun 2006. Kalau masih ada itu, maka itu pasti buatan NKRI. Masa maling teriak maling?

    Masa teroris menuduh teroris?

    Siapa yang mengebom Cafe di Bali, Cafe di Jakarta dan di Timur Tengah? Itukan teroris kelahiran Inodnesia, bukan?

    Tanah Papua itu tanah damai, bangsa Papua mencari kedamaian! Kami anti terorisme! Yang suka terorisme, pelaku terorisme, yang melahirkan teroris, yang memelihara dan mempersenjatai teroris adalah NKRI.

    Semua orang di seluruh dunia tahu, Indonesia-pun pura-pura tidak tahu, kalau yang berjuangan di Tanah Papua itu bukan teroris, tetapi para pejuang kemerdekaan West Papua. Gen. Mathias Wenda dan para gerilyawan serta perwira di seluruh Tanah Papua, ULMWP, KNPB, DeMMAK, NRFPB, PNWP, AMP, PDP semuanya memperjuangkan kemerdekaan West Papua SECARA DAMAI, dan yang selama ini menginginkan dan mengupayakan kekerasan ialah NKRI.

    Dunia tidak buta! Semua orang tahu, NKRI ialah teroris, pembunuh, perampok, pencuri, penjarah di Tanah Papua. Oleh karena itu intervensi negara asing atas nama kemanusiaan adalah jalan satu-satunya untuk menghentikan terorisme neara Indonesia atas bangsa Papua.

Are you sure want to unlock this post?
Unlock left : 0
Are you sure want to cancel subscription?