Tag: Timor Leste

  • Wansolwara student journos report on West Papua human rights struggle

    Wansolwara student journos report on West Papua human rights struggle

    By Vilimaina Naqelevuki in Suva

    Media access to West Papua, where more than half a million of its indigenous people have reportedly been killed over five decades, remains restricted.

    Full support … West Papuan Independence leader Benny Wenda (in red shirt) holds the banned West Papuan Morning Star flag with key supporter Solomon Islands Prime Minister Manasseh Sogavare during his visit last year. Image: bennywenda.org
    Full support … West Papuan Independence leader Benny Wenda (in red shirt) holds the banned West Papuan Morning Star flag with key supporter Solomon Islands Prime Minister Manasseh Sogavare during his visit last year. Image: bennywenda.org

    News coverage of the alleged genocide is extremely difficult because of the restrictions on local and foreign media.

    Some West Papuan journalists have also died in their effort to tell the truth about the deaths that largely occur in remote rural areas.

    This makes news coverage of the alleged atrocities in the Indonesia-occupied land extremely difficult.

    West Papuan independence leader Benny Wenda, in an online interview, told Wansolwara the restrictions allowed for the atrocities to remain “silenced”.

    And even if access was granted after the labyrinthine effort, “journalists cannot go freely to report on politics in West Papua,” he said.

    “They will get followed and questioned by Indonesian intelligence and West Papuans will suffer intimidation and threats if they speak to journalists.”

     

    Recent prominence

    Papua New Guinea Media Council president Alexander Rheeney said West Papua’s struggle of more than 50 years had only been given prominence in the region’s mainstream media in recent years.

    Papua New Guinean journalist Alexander Rheeney, who is also president of the PNG Media Council. Image: PNG Media Council
    Papua New Guinean journalist Alexander Rheeney, who is also president of the PNG Media Council. Image: PNG Media Council

    Less than 10 years ago, the mainstream news media – in neighbouring countries like Fiji, Australia and New Zealand, ignored the situation in West Papua. It was effectively a media “black hole”.

    Rheeney said it was more challenging for Pacific journalists whose governments recognised the sovereignty Indonesia had over West Papua.

    “The media in PNG have reported on West Papua and all the human rights abuses but not as much as we would want it to despite the fact that PNG and West Papua share a land order,” he said.

    The increasing coverage by Pacific news media should be commended, said journalism educator Professor David Robie.

    Professor David Robie speaking at the Free Media in West Papua seminar in Jakarta, Indonesia, last month. Image: Alves Fonataba/PMC
    Professor David Robie speaking at the Free Media in West Papua seminar in Jakarta, Indonesia, last month. Image: Alves Fonataba/PMC

    Dr Robie, director of the Auckland-based Pacific Media Centre, who has regularly written and published news on West Papua’s struggle for more than three decades, said it was a huge relief that the Pacific was “finally waking up to the issue of West Papua”.

    “This an issue of Melanesian solidarity, Pacific solidarity – an issue of self-determination, and the Pacific countries that got independence on a plate ought to be telling this story,”

    he said.

     

    Jakarta media freedom conference

    Dr Robie was one of the keynote speakers invited last month to the Free Media in West Papua forum at the UNESCO World Press Freedom Day 2017 conference in the Indonesian capital of Jakarta.

    He spoke along with Indonesian and Papuan human rights activists and Tabloid Jubi editor Victor Mambor of Jayapura.

    Pacific Freedom Forum editor Jason Brown said it was an utter disgrace that some in mainstream media published or broadcast stories on wars from other regions and “not in our own backyard”.

    “In recent years, RNZI has done a much better job of covering West Papua. The recent closure of shortwave services by Radio Australia, however, means that the region has lost reliable access to news on West Papua from that source,” said Brown.

    Rheeney warned that the region could not afford to fail fellow Pacific Islanders of West Papua.

    He said to do so would be to doom the Pacific region to more instability.

    “If a prosperous Pacific region is to be ensured, the issue of West Papua must be addressed,” he said.

     

    Timor-Leste lessons

    “As journalists we can no longer continue to turn a blind eye on all the human rights abuses that is happening.

    “The PNG government can no longer turn a blind eye on what is happening on the other side of the border.”

    Dr Robie said that informed political decisions could not be reached if the news media were not allowed to report freely on West Papua.

    He said this lesson could easily be drawn from East-Timor’s road to independence.

    East Timor, which was also occupied by Indonesia in 1975, secured its independence after a handful of journalists exposed the human rights violations through video smuggled out of the Indonesian-ruled territory, especially after the Santa Cruz massacre in the capital Dili in 1991.

    Indonesia’s control rapidly fell apart after international pressure.

    “In-depth and timely media coverage will save lives as West Papua lurches towards independence — which will come eventually — no matter how hard Jakarta tries to block this,” said Dr Robie.

    Rheeney is also optimistic. He said Pacific journalists should continue to report on the issue, to keep the struggle in the news so that lasting solutions were found sooner and more bloodshed is prevented.

    Vilimaina Naqelevuki is a final year journalism student with the USP Journalism Programme. Naqelevuki is pursuing a double major in journalism and politics, and is pictures editor of Wansolwara, the student news publication produced by the Journalism Programme.

  • Tokoh Pro Referendum Papua Raih Penghargaan dari Timor Leste

    Mantan Perdana Menteri Vanuatu, Barak Sope (Foto: Ist)
    Mantan Perdana Menteri Vanuatu, Barak Sope (Foto: Ist)

    DILLI, SATUHARAPAN.COM – Mantan Perdana Menteri Vanuatu, Barak Sope, yang dikenal sangat vokal menyuarakan penentuan nasib sendiri (referendum) Papua, mendapat penghargaan “Order of Timor Leste” atas kontribusinya terhadap perjuangan kemerdekaan negara itu.

    Order of Timor-Leste (Bahasa Portugis: Ordem de Timor-Leste) adalah penghargaan tertinggi yang diberikan oleh pemerintah Timor Leste kepada tokoh domestik maupun asing.

    Penghargaan ini mulai diberikan pada 2009, yang pada awalnya diperuntukkan bagi mereka yang berjasa bagi perjuangan kemerdekaan Timor Leste. Namun belakangan ini penghargaan itu diberikan kepada tokoh-tokoh yang memiliki jasa lebih luas dari hanya untuk kemerdekaan Timor Leste. Dewasa ini penghargaan ini diberikan kepada tokoh dalam negeri maupun asing  yang memberikan kontribusi signifikan bagi Timor Leste, bagi rakyat Timor Leste dan bagi kemanusiaan secara umum.

    Berbicara setelah menerima penghargaan itu, sebagaimana dilaporkan oleh radionz.co.nz, Sope mengatakan ia percaya suatu saat Papua akan merdeka dari Indonesia.

    Akhir tahun lalu, ia mendorong Vanuatu untuk menjadi anggota Komite Khusus PBB untuk Dekolonisas (yang disebut Komite 24), untuk menghadapi pengaruh Indonesia yang juga berada dalam komite tersebut.

    Ada 24 teritori yang termasuk dalam daftar Dekolonisasi PBB, namun Papua tidak termasuk di dalamnya. Enam teritori Pasifik yang masuk dalam komite itu adalah French Polynesia, New Caledonia, American Samoa, Guam, Tokelau and Pitcairn.

    Sope juga mengeritik Papua Nugini dan Fiji sebagai negara yang menurut dia, menyebabkan Melanesian Spearhead Group (MSG) tidak efektif memperjuangkan nasib Papua.

    Ketokohan Barak Sope tidak lepas dari kontroversi. Tokoh bernama lengkap Barak Tame Sope Mautamata ini, pernah menjadi PM Vanuati dari 1999 sampai 2001, namun dimakzulkan oleh parlemen.

    Seusai dimakzulkan, ia didakwa atas tuduhan korupsi dan divonis tiga tahun penjara pada tahun 2002. Namun ia mendapat pengampunan pada tahun 2003, yang kemudian menuai protes dari Australia dan Selandia Baru.

    Ia pernah menjadi menteri luar negeri pada 2004 tetapi hanya beberapa bulan. Ia mundur setelah dengan sangat vokal menentang pemulihan hubungan Vanuatu dengan Taiwan.

    Pada bulan Desember 2004 ia diangkat menjadi menteri pertanian dan kelautan.

    Pada tahun 2008 ia memenangi sebuah kursi di parlemen, namun pada 2014 ia kalah dalam pemilihan presiden. Ia dikalahkan oleh presiden saat ini, Baldwin Lonsdale.

    Editor : Eben E. Siadari

  • 300 Warga Eks Timtim di Sulawesi Barat Ingin Pulang ke Timor Leste

    KUPANG, KOMPAS.com – Sebanyak 300 warga eks Timor Timur (Timtim) yang tinggal di Desa Sejati, Kecamatan Tobadak, Kabupaten Mamuju Tengah, Sulawesi Barat, berniat ingin kembali ke kampung halaman mereka (repatriasi) ke Timor Leste.

    Koordinator warga eks Timtim di Mamuju Tengah, Hanafi Martins mengatakan, keinginan kuat ratusan warga itu lantaran hingga saat ini, semua aset mereka berupa tanah di Timor Leste masih utuh dan oleh keluarganya menginginkan mereka kembali ke Timor Leste.

    Selain itu, kata Martins, alasan lain yang membuat 300 warga itu ingin pulang ke tempat asal mereka di Same, Distrik Manufahi, Timor Leste, karena mereka terus mengalami gagal panen akibat banjir yang terus melanda wilayah mereka.

    “Di tempat tranmigrasi kami di Kecamatan Tobadak ini, kami bekerja sebagai petani yang menanam sawit dan cokelat. Namun akhir-akhir ini kami kesulitan, karena banjir yang menerjang dan merusak perkebunan kami, sehingga kami pun tak berdaya dan kami ingin segera pulang ke Timor Leste,” kata Martins kepada Kompas.com melalui sambungan telepon, Jumat (7/4/2017) sore.

    Bukan hanya itu, lanjut Martins, sebagian besar warga eks Timtim di wilayahnya sudah menjual tanah perkebunan mereka, sehingga mereka tidak lagi bisa menanam sawit dan cokelat.

    Martins mengaku, ia bersama ratusan warga eks Timtim sudah mendiami tempat transmigrasi itu sejak tahun 2000 silam atau selama 17 tahun. Saat itu, pasca-referendum, ia bersama ratusan warga lainnya keluar dari Timtim pada 21 November 1999 dan langsung berlayar menuju Makasar, Sulawesi Selatan, dengan menggunakan kapal laut.

    Mereka sempat berada di Makasar selama empat bulan, dan akhirnya diarahkan oleh pemerintah untuk tinggal di daerah transmigrasi di Kabupaten Mamuju Tengah, Sulawesi Barat, hingga kini.

    Keinginan kuat ratusan warga eks Timtim untuk pulang ke Timor Leste mengalami kendala karena saat ini mereka tidak memiliki akses.

    “Kami sudah sepakat dan semuanya ingin pulang, tapi tidak ada yang bisa memfasilitasi. Kami minta supaya pemerintah mengizinkan dan memfasilitasi agar kami bisa pulang ke Timor Leste,” harapnya.

  • Walking against impunity

    AN activist group on their mission known as ‘The Walk Against Impunity,’ has been in Vanuatu this week, raising awareness about the struggle for justice and freedom in Maluku and West Papua.

    The team has been to Port Vila, Luganville and Pentecost spreading the word on Maluku and West Papua’s freedom. The team was led by Dutch activist Francis Janssen and his team.

    The team members said this was his second walk against impunity because Mr Janssen was inspired by the words of late Father Walter Hadye Lini: “Vanuatu is not free until all of Melanesia is free.”

    Francis Janssen, accompanied by Marcel Tomasowa and Isaac Pattikawa, arrived in Port Vila on February 11, where they were welcomed by Peter Ranbel and Alul Ravue Fanbir.

    In preparation for the walk, the team spent their first days in Port Vila meeting with very special people – Andy Ayamiseba, David Thomas, Chiefs Nakamal, Barak Sope, Yoan Simon, and Pastor Alan Nafuki and members of the Lini family.

    Mr Janssen had an intensive conversation with Hilda Lini.

    “This very inspiring lady made a deep impression, and the walking team marks her words: ‘If Maluku and West Papua will become independent, the first 10 years will be very tough, but that should not withhold you from continuing the struggle’, Ms Lini told us,” he said.

    Mr Janssen’s first walk against Impunity took place in Timor-Leste in 2015 in commemoration of the sad anniversary of the killing of five foreign journalists in the village of Balibo. The journalists murdered by Indonesian military in the wake of the Indonesian invasion.

    Mr Janssen dedicated his first walk to the brave people of Timor-Leste who persisted in their struggle for freedom.

    “The atrocities that occurred in Timor-Leste during the Indonesian occupation are still happening in West Papua and Maluku today.

    “No freedom of press, no freedom of expression, no freedom.

    “However, the people still deal with occupation, oppression and violence.”

    This gives the reason for Mr Janssen to continue walking against impunity because, he says, impunity is a green light for perpetrators to continue and repeat the atrocities, over and over again.

    Those taking part said they hope this Walk against Impunity will be an inspiration to young Ni-Vanuatu, international activists and to all those who care about human dignity, freedom and self-determination.

    They said they are in good spirits and no storm can stop them from walking against impunity.

    Follow Francis and his team at: www.facebook.com/walkagainstimpunity2blog

  • Ketua MPR Janji Fasilitasi Eurico Guterres untuk Bertemu Jokowi

    KUPANG, KOMPAS.com – Ketua MPR Zulkifli Hasan berjanji akan memfasilitasi pertemuan antara Ketua Umum Uni Timor Aswain (Untas) Eurico Guterres dengan Presiden Joko Widodo.

    Penegasan itu disampaikan Zulkifli saat menyampaikan sambutannya dalam kegiatan Pelantikan pengurus pusat Untas di Hotel Ima Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT), SElasa (31/1/2017) petang.

    Menurut Zulkifli, pertemuan itu dimaksudkan agar Eurico bisa menyampaikan sejumlah persoalan yang menyangkut warga eks Timor Timur yang hingga kini belum diselesaikan hingga tuntas.

    Untas merupakan organisasi yang beranggotakan ribuan warga eks Timor Timur (Timtim) yang berada di Indonesia khususnya NTT.

    “Persoalan Untas ini harus diselesaikan. Nanti pertengahan Februari 2017 ini, saya akan jumpa dengan Presiden Jokowi dan saya akan sampaikan keinginan Eurico untuk berjumpa dengan Presiden Jokowi,” kata Zulkifli.

    Dia menilai, jika persoalan yang menyangkut warga eks Timtim tidak tuntas, tentu akan menjadi beban sejarah. “Ini tentu tidak bagus buat negara ini. Saya dan teman-teman anggota DPR akan berjuang agar pemerintah bisa menyelesaikan dan negeri ini harus bisa menyelesaikan persoalan persoalan sampai tuntas,”ucapnya.

    Sejumlah masalah yang saat ini masih dihadapi oleh warga eks Timtim yakni terkait dengan upaya memberikan perlindungan, status kewarganegaraan dan hak-hak masyarakat yang tetap setia kepada NKRI, termasuk penyelesaian aset-aset negara dan hak perdata perseorangan, seperti yang termuat dalam Tap MPR Nomor V.

  • Potret Luka Perempuan Timor Leste dalam ‘Memoria’

    Jakarta, CNN Indonesia — Timor Leste resmi memisahkan diri dari Indonesia 14 tahun silam. Meski sudah meraih kemerdekaannya, masih terdapat luka kenangan yang membekas bagi sebagian masyarakatnya.

    Luka itu dialami para wanita yang selama masa penjajahan di negaranya harus melayani nafsu seksual para tentara. Atas dasar kisah itu, sutradara Kamila Andini pun tergerak untuk mengangkat kisah itu dalam film yang digarapnya, bertajuk Memoria.

    “Dalam film ini saya ingin bicara tentang luka. Tentang bagaimana luka itu didapat, bagaimana ia bertahan, bagaimana ia berusaha keluar dari diri seseorang dan menjadi kenangan, memori,” kata Kamila menjelaskan, di Galeri Indonesia Kaya, pada Jumat (16/12).

    Bagi banyak perempuan di luar sana, ia menambahkan, luka dan kenangan merupakan sumber kekuatan atas kehidupan itu sendiri.

    Mengambil latar belakang tempat di sebuah kota kecil di Timor Leste bernama Ermera, Memoria menceritakan tentang seorang ibu yang mencoba melupakan ingatannya menjadi korban selama perang di Timor Leste. Ada pula seorang anak yang mencoba melindungi diri melalui pernikahan. Mereka berdua sedang mencoba menemukan arti kebebasan yang sesungguhnya.

    Maria adalah salah satu perempuan korban kekerasan seksual di Timor Leste pada tahun-tahun gelap masa perang itu. Meskipun Timor Leste sekarang sudah merdeka, Maria merasa ia tetap menjadi seorang yang terjajah. Ia melihat kemungkinan ini bisa terjadi kepada anaknya, Flora, yang menghadapi masa-masa persiapan pernikahan, hanya karena mahar.

     

    Tentang Perempuan dan Menjadi Merdeka

    Di samping keinginan Kamila yang ingin bicara soal luka, film itu pun dibuat dengan melihat adanya kebutuhan mengampanyekan isu kekerasan terhadap perempuan di Timor Leste.

    Hal tersebut disampaikan oleh Theresia lswarini, Project Manager dari Survivor Project Timor Leste. “Harapannya perhatian penuh diberikan kepada para penyintas, khususnya penyintas kekerasan seksual masa perang karena mereka masih hidup dalam kemiskinan.”

    Menurut Kamila sendiri, Timor Leste memang telah merdeka. Seperti Maria, dirinya, juga semua masyarakat, hidup di negara merdeka.

    “Tapi kemerdekaan perempuan masih terus dipertanyakan. Ini tidak lagi kemerdekaan menjadi persoalan politik, ini persoalan kemanusiaan,” ujarnya.

    Diungkapkan Kamila, Memoria dibuat oleh delapan orang kru di lapangan. Total kru film hanya 11 orang, termasuk yang tidak turun ke lapangan. Selain dari Jakarta, Memoria turut mendapat bantuan kerjasama dari teman-teman organisasi lokal di Timor Leste.

    “Semua pemain dalam film ini adalah bakat-bakat atau aktor non-profesional, yang ditemukan dengan sistem casting di Dili dan semua pemain ibu dalam film ini adalah penyintas,” kata Kamila.

    Di awal film yang berdurasi kurang lebih 45 menit itu, penonton diajak menyusuri ruang yang menjadi kenangan buruk bagi hidup Maria. Maria bercerita bagaimana ia dipaksa melayani tentara di Hotel Flamboyan tanpa mengenal waktu.

    Bayang-bayang kelam akan masa lalu itu terkadang membuatnya sakit dan tak kuat menahan tangis, juga rasa takut. Meski demikian, Maria beruntung masih bertemu kawan seperjuangannya yang pernah mengalami hal serupa.

    Dia dikuatkan oleh temannya, Alsina. Tak ayal tingkah Alsina pun menjadi satu karakter menarik yang menampilkan sisi ketangguhan wanita dalam menjalani rumitnya hidup.

    Di satu sisi, kala Maria tak lagi bersama teman-temannya, dia harus menghadapi konflik batin. Maria yang memiliki putri bernama Flora. Ketakutan akan hal yang pernah dialaminya mungkin terjadi pada putrinya.

    Belum lagi ia harus berhadapan dengan stigma buruk dalam rumah tangganya, lagi-lagi karena beban kejadian masa lalu.

    Tak hanya mengajak untuk ikut merasakan luka yang masih membekas dalam diri Maria, penonton juga dihadapkan dengan realita masa kini. Soal kehidupan masyarakat, tekanan, dan rasa kemanusiaan.

    Sang produser Gita Fara menyampaikan, tim produksi melakukan riset dengan mewawancarai banyak penyintas dari masa perang kemerdekaan Timor Leste dari Indonesia.

    “Beberapa ‘kisah’ mereka kami masukkan dalam opening film. Dari wawancara ini kami memilih beberapa di antara mereka untuk bermain dalam film ini,” ujar Gita.

    Selain beradaptasi dengan lingkungan sosial budaya Timor Leste, Kamila mengungkapkan, saat menggarap film tersebut ia tengah mengandung dan janinnya berusia tujuh bulan. Tak ayal Kamila pun mengatakan bahwa bagi dirinya sendiri film tersebut begitu emosional.

    “Selama riset, selama menulis, harus mendengar banyak kisah tentang kehidupan para penyintas saat saya sendiri sedang mengandung sangatlah tidak mudah,” ujarnya.

    Dia menambahkan, “Tapi saya berpikir apabila mereka sepanjang hidupnya sanggup melewati banyak hal, perang, menjadi ibu, dan masih mengalami kekerasan. Maka tidak ada alasan bagi saya untuk tidak menceritakan kisah mereka dalam kondisi apa pun,” katanya.

    kemerdekaan perempuan masih terus dipertanyakan. Ini tidak lagi kemerdekaan menjadi persoalan politik, ini persoalan kemanusiaan.Kamila Andini

     

    Memoria Kibarkan Sayap Ke Luar Negeri

    Film Memoria pertama kali diputar secara perdana pada gelaran acara Busan International Film Festival 2016. Film itu juga berkompetisi dengan film-film pendek lain dalam Wide Angle Asian Shorts Film Competition.

    Di Indonesia sendiri, film yang digarap mulai Februari lalu itu masuk menjadi salah satu nominasi Film Pendek Terbaik dalam Festival Film Indonesia 2016. Lalu pada awal Desember ini, Memoria telah memenangi dua penghargaan dalam Jogja-netpac Asian Film Festival, yaitu Blencong Awards untuk film pendek terbaik dan Student Choice Awards dari para mahasiswa film.

    Menurut salah satu juri asal Singapura di Jogja Asian Film Festival, Kan Lume penghargaan untuk Memoria diberikan karena dianggap mampu menabrak batas-batas sinema.

    “Bahkan menjadi suara yang kuat atas keberpihakan terhadap orang-orang yang selama ini menjadi korban. Film ini menawarkan sudut pandang spesifik yang mengakomodasi sejumlah isu yang kompleks dalam masyarakat secara utuh,” katanya yang juga seorang sutradara.

    Dia menambahkan, “Film ini menjadi jembatan menyentuh pengetahuan mengenai keadilan.”

    Garapan Terbaru, Film Hingga Buku

    Saat ini, Kamila yang juga istri sutradara Ifa Isfansyah itu sedang menyelesaikan film panjangnya bertajuk Seen and Unseen. Ditemui usai acara, Kamila mengatakan bahwa film itu bercerita tentang hubungan dua anak kembar yang mengambil latar belakang budaya Bali.

    Berdasarkan pengakuannya, film itu telah mendapat dukungan dari dunia internasional, di antaranya Hubert Bals Fund dari International Film Festival Rotterdam (Belanda), Asia Pacific Screen Awards’s Children Film Fund (Australia), Wouter Barendrechts Awards dari Hongkong Asia Film Financing Forum.

    Kamila juga menyebut telah mempresentasikan proyek itu ini di beberapa pasar internasional, di antaranya Venice Gap Financing Market dari Venice International Film Festival (Italia) pada September lalu.

    Selain proyek di bidang film, Kamila pun baru merilis buku catatan produksi dari film pertamanya The Mirror Never Lies, sebuah film yang berlatarbelakang budaya suku laut-Suku Bajo, Wakatobi.

    Buku itu diberinya judul Laut Bercermin Sebuah Catatan dan Tafsir Film.

    “Buku ini bukan cuma catatan produksi, tapi juga berisi rangkaian tafsir film yang ditulis oleh akademisi, praktisi dan kritikus film, juga catatan dari media, baik dari dalam dan luar negeri,” katanya.

    Buku tersebut telah dirilis di Jogja Netpac Asian Film Festival pada 30 November lalu. (rsa)

  • Gen. TRWP Mathias Wenda: Sang Bintang Fajar Kini Terbit dari Barat!

    Kemerdekaan ialah Hak Segala Bangsa: Papua, Batak, Betawi, Jawa, Sunda, Bugis…

    Dari Markas Pusat Pertahanan Tentara Revolusi Wset Papua (MPP-TRWP), lewat Sekretaris-Jenderal TRWP Lt. Gen. Amunggut Tabi, Gen. TRWP Mathias Wenda dengan ini pertama-tama mengucapkan Salam Jumpa! dan selamat bergabung dalam mebarakan Api Revolusi di seluruh rimba New Guinea dan di antara sekalian bangsa di wilayah Nusantara.

    Sdr. Surya Anta dan teman-teman dari seluruh Indonesia, kami dari MPP TRWP menyatakan sambutan meriah dan menyatakan ini sebagai Hadiah HUT Kebangkitan Bangsa Papua I, dan sekaligus sebagai Bingkusan Natal bagi umat Kristian di Tanah Papua dan di seluruh Indonesia, dan bagi orang Melanesia, karena ini adalah sejarah, sebuah mujizat dan sebuah peristiwa, di mana kini, Bintang Fajar Terbit di Bagian Barat.

    Peristiwa terbitnya Sang Bintang Fajar dari Barat akan menjadi pengetahuan unik, dan terkesan, akan dikenang sepanjang sejarah manusia, sepanjang manusia hidup di dunia ini. Tentu saja bangsa Indonesia selalu mengenang Sukarno sebagai proklamator. Bangsa Papua mengenal tokoh-tokohnya seperti Theys Eluay, Kelly Kwalik, Abdurrahman Wahid, Mako Tabuni, Elias Yikwa, Hans Bomay, Lukas Tabuni, SJ Roemkorem, Jacob Prai.

    Bangsa Papua telah mencatat, dunia telah mencatat, Sdr Surya Anta adalah Surya yang terbit dari Barat, yang tidak dapat dipahami oleh akal sehat politik NKRI.

    Apapun yang terjadi, kita patut bangga, kita patut bersyukur kepada nenek-moyang kita masing-masing, kepada para pendahulu kita, kepada para pahlawan, dan kepada Tuhan Pencipta Alam Semesta dan segala makhluk, karena hanya dengan bantuan ilham dan pengertian itulah kita dapat mendudukkan diri sebagai sesama manusia dan membela sesama kalau ada perbuatan manusia yang tidak manusiawi dan melampaui batas-batas rasa kemanusiaan kita.

    Apa selama ini terjadi di Tanah Papua ialah sebuah musibah kemanusiaan yang memalukan dan merendahkan tingkat pemahaman dan nalar kita sebagai manusia.

    Hanya manusia yang benar-benar manusia, benar-benar terlepas dari apapun yang melekat kepada identitas tubuhnya-lah, yang akan merdeka untuk menyatakan benar kapada yang benar dan salah kepada yang salah, membela kebenaran sampai titik darah penghabisan. Bagi manusia yang terjajah oleh dogma, ideologi dan identitas duniawi yang sementara, ia akan tetap berada dalam kekangan dunia ciptaan yang membawa mimpi buruk bagi dirinya, keluarganya dan bangsanya.

    Kita harus akhiri bersama penjajahan ini, dan setiap bangsa di dalam NKRI harus merdeka dan berdaulat, bersama-sama sebagai sesama umat manusia, bertetangga sebagai bangsa, mengikuti langkah Timor Leste.

     

    Dikeluarkan di: MPP TRWP

    Pada Tanggal: 2 Desember 2016

    an. Panglima,

     

     

    Amunggut Tabi, Lt.Gen TRWP
    BRN: A.DF 018676

     

     

  • Ramos Horta says Indonesia must settle Papua abuses

    The former president of Timor-Leste has encouraged Indonesia to settle cases of human rights abuses in Papua.

    Jose Ramos-Horta visited the region earlier this month and says Indonesia must not view the Papuan people as enemies, but work with them.

    During his visit he met with officials as well as former separatist rebels.

    The Jakarta Post reports Mr Ramos-Horta said Indonesia should avoid using violence that often ends up wounding innocent civilians.

    He said Papuans are hopeful for peace and further development, but it is up to the Indonesian authorities to promote more dialogue.

    East Timor's former president Jose Ramos Horta.
    East Timor’s former president Jose Ramos Horta. Photo:

     

  • ​Hon. Powes Parkop, the Governor of NCDC Port Moresby, the capital city of Papua New Guinea supports a Free West Papua

    ​Hon. Powes Parkop, the Governor of NCDC Port Moresby, the capital city of Papua New Guinea supports a Free West Papua

    In a statement, Parkop said Papua New Guinea should be adopting a more moral and humanistic policy on West Papua instead of sticking to the immoral position of continuing to recognize Indonesia Sovereignty over the territory without question or conditions.

    Parkop said he will be making submission to this effective to the NEC and will impress on NEC to change our policy.

    “Otherwise I will be pushing for such changes in the next Government after 2017 General Election.

    “I will be proposing that PNG adopt a position where while we acknowledge Indonesia control over the territory of West Papua, we must question the legality of the integration and call on Indonesia to correct this historical error so as to bring lasting peace and harmony to our region.

    “We all know that so called Act of Free Choice in 1969 did not comply with the law as it exist in 1969 or since. We all know Indonesia invaded West Papua in 1962 and had military, political and administrative control of the territory in 1969 when the Vote on Integration was taken.

    “We all know Indonesia only allowed 1000 people out of 1.2 million Papuans to vote in 1969. We all know that these 1000 people were selected and subject to undue pressure by the Indonesia.Indonesia is obliged to correct this historical mistake that continues to retard the progress of the Papua People and hinder their freedom.”

    Parkop added that although the Government has made progress in addressing the Papuan issue on a bilateral and multilateral basis but our policy has not changed. Our policy to just recognize Indonesia Sovereignty over West Papua without reservation is immoral, outdate and inhuman. It is also against our conscience. It is also against the stand or position of all Pacific Countries including Polynesians and Micronesians.”

    Indonesia invaded Timor Leste in 1975 and eventually allowed them to decide their future by a referendum 2000.We all applaud them for correcting that historical mistake. They should do the same with West Papua. Indonesia will be doing a service to humanity and to itself by making this honorable decision rather than to lie.

    Parkop further added that as friends of Indonesia, we should not be afraid to speak our mind about the nature of our friendship including pointing out any impediment to a robust friendship.He said the future between PNG and Indonesia will be more robust and enhance if Indonesia relents and agree to allow Papuans to morally and legally decide their future by a properly supervised referendum under the United Nations.
    “This is the policy PNG Government should adopt as it is moral, humanistic, legal and honest policy.”

  • LP3BH: Antonio Guterres, “Angin Segar” Bagi HAM Papua

    JAYAPURA, SUARAPAPUA.com — Terpilihnya Antonio Guterres sebagai Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-bangsa (Sekjen PBB) dalam sidang Majelis Umum PBB di New York, Amerika Serikat, Kamis (13/10/2016) lalu, disambut baik Lembaga Penelitian, Pengkajian dan Pengembangan Bantuan Hukum (LP3BH) Manokwari yang berharap ada perubahan bagi persoalan hak asasi manusia (HAM) di Tanah Papua.

    Selain menyampaikan selamat dan sukses kepada Antonio Guterres, Yan Christian Warinussy, direktur eksekutif LP3BH, mengatakan, mantan perdana menteri Portugal yang dipilih secara aklamasi oleh 193 negara anggota PBB itu diharapkan sebagai “angin segar” bagi rakyat Papua, terutama perlindungan HAM.

    “LP3BH sebagai organisasi masyarakat sipil (OMS) dan advokasi hak asasi manusia di Tanah Papua, menyambut terpilihnya Antonio Guterres dengan harapan dapat merespon secara positif situasi hak asasi manusia yang sangat buruk sepanjang lebih dari 50 tahun di Tanah Papua,” ungkap Warinussy, dalam press release yang diterima media ini, Senin (17/10/2016).

    Menaruh harapan besar baginya karena hal itu sebagaimana telah digambarkan dan disampaikan dalam pidato dari tujuh pemimpin dan utusan khusus negara-negara Pasifik seperti Vanuatu, Nauru, Kepulauan Solomon, Kepulauan Marshall, Tonga, Tuvalu, dan Palau.

    Advokat dan Pembela HAM di Tanah Papua ini lebih lanjut menjelaskan, dalam pidato dari tujuh pemimpin dan utusan negara-negara Pasifik intinya meminta agar PBB melalui Majelis Umum dan Sekjen PBB melakukan investigasi atas dugaan pelanggaran HAM dan mengirimkan Pelapor Khusus soal anti penyiksaan dan kebebasan berekspresi masuk ke Papua Barat.

    Menurut pandangan Warinussy, Sekjen PBB yang baru terpilih itu tentu berada pada posisi yang strategis dan sangat menentukan dalam konteks perlindungan hak asasi manusia dari kurang lebih 2 juta orang asli Papua yang kini sedang terancam secara fisik dan psikis di atas tanah airnya sendiri, akibat model pendekatan keamanan (security approach) yang terus ditingkatkan dari waktu ke waktu oleh Pemerintah Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo.

    “Tidak adanya respon yang jelas dan jujur dari Pemerintah Indonesia dalam menyikapi upaya penyelesaian masalah pelanggaran HAM di Tanah Papua sepanjang lebih dari 50 tahun berdasar hukum, telah cukup menjadi argumen yang mendasar dan utama bagi LP3BH Manokwari untuk meminta perhatian Sekjen PBB terhadap situasi pelanggaran HAM di Tanah Papua yang terus berlangsung hingga hari ini,” jelas peraih penghargaan Internasional di Bidang HAM “John Humphrey Freedom Award”

    Tahun 2005 di Montreal-Canada ini.

    “Sangat tepat jika Sekjen PBB Antonio Guterres dapat mendukung dan mendorong lahirnya Resolusi Majelis Umum PBB untuk mengirimkan misi pencari fakta dan pelapor khusus, demi kepentingan investigasi kemanusiaan yang netral, transparan, imparsial dan adil terhadap situasi pelanggaran HAM di Tanah Papua sebelum akhir tahun 2016 ini,”

    tandasnya.

    Siapa Antonio Guterres?

    Ia dikenal sebagai advokat yang konsisten terhadap demokrasi dan perdamaian.

    Sebelumnya, selepas Perdana Menteri Portugal dari tahun 1995-2002, ia menjabat sebagai Komisioner Tinggi PBB untuk Pengungsi (UNHCR) pada 2005-2015.

    Antonio Guterres juga disebut-sebut punya jasa besar bagi Timor Timur. Ia sosok penting bagi perjuangan kemerdekaan Timor Timur.

    Ban ki-Moon menjabat Sekjen PBB dua periode atau sepuluh tahun, akan mengakhiri masa jabatannya pada akhir tahun ini. Selanjutnya per 1 Januari 2017, Antonio Guterres secara resmi memulai menjalankan tugasnya.

    Pewarta: Mary Monireng

Are you sure want to unlock this post?
Unlock left : 0
Are you sure want to cancel subscription?