Tag: Solomon Islands

  • Keabsahan Keanggotaan RI di MSG Dipersoalkan

    HONIARA, SATUHARAPAN.COM – Wakil Perdana Menteri Solomon Islands, Manasseh Sogavare, mengangkat isu keabsahan keanggotaan Indonesia di Melanesian Spearhead Group (MSG) ketika mendapat kesempatan menjawab pertanyaan seorang anggota parlemen dalam sidang yang berlangsung di Honiara, ibukota Solomon Islands, kemarin (05/03).

    Menurut Sogavare, Perdana Menteri Fiji, Frank Bainimarama, harus meminta maaf kepada negara-negara anggota MSG karena telah meloloskan pengakuan Indonesia sebagai anggota associate MSG.

    Ia mengatakan, PM Fiji, Frank Bainimarama, harus meminta maaf kepada negara anggota MSG karena mengakui Indonesia sebagai anggota associate yang sama sekali tidak prosedural.

    “Tidak ada konsensus dalam penerimaan Indonesia oleh negara-negara anggota,” kata Sogavare, yang pernah menjadi ketua MSG dan pernah pula menjadi PM Solomon Islands.

    Dia mengatakan keputusan menerima RI sebagai anggota associate hanya dilakukan sendirian oleh PM Fiji  dan memaksa negara-negara anggota lainnya untuk mendukungnya.

    Sementara itu, ia melanjutkan, ketika tiba pada permohonan keanggotaan United Liberation Movement for West Papua (ULMWP), PM Fiji berbicara lain. Ia, kata Sogavare, mengedepankan tentang kriteria ketat untuk menjadi anggota.

    Hal itu, lanjut Sogavare, menjadi kesulitan yang berlanjut bagi ULMWP untuk menjadi anggota penuh MSG.

    Padahal, Sogavare mengatakan, aplikasi ULMWP konsisten dengan aplikasi Front Pembebasan Nasionalis Sosialis (FLINKS) Kaledonia Baru saat mereka mengajukan keanggotaan.

    Sogavare mengatakan hal itu menjawab pertanyaan anggota parlemen dari Aoke, Langalamnga Matthew Wale, yang bertanya kepada PM Rick Hou perihal ucapannya di Port Moresby Papua Nugini, beberapa waktu lalu. Ketika itu Rick Hou meminta maaf kepada anggota MSG lainnya, atas hubungan yang kurang harmonis antara Solomon Islands dan negara-negara anggota lainnya sebelum ini.

    Sogavare mengatakan MSG adalah badan politik murni untuk  membebaskan Melanesia dari penjajahan. Tetapi belakangan ini bukan itu yang berlangsung karena kepentingan-kepentingan telah bergeser dari tujuan fundamental pembentukannya.

    Sogavare mengatakan, jika MSG berpegang pada tujuan dan prinsip-prinsip pendirian yang dianut oleh pemimpin MSG yang memulai organisasi, tidak akan ada kesulitan untuk mengakui keanggotaan penuh ULMWP.

    Dia mengatakan ULMWP adalah entitas politik yang mewakili masyarakat adat Papua yang merupakan orang Melanesia, jadi tidak ada masalah untuk mengakui keanggotaan penuh mereka dalam MSG.

    “Hubungan dekat Fiji dengan Indonesia menyabotase kerja MSG dan keanggotaannya di MSG bukanlah kepentingan politik tapi ekonomi,” lanjut dia, seperti diberitakan oleh  media online Solomon Islands, Solomon Star.

    Dia menyimpulkan bahwa Fiji dan Papua Nugini sangat mendukung Indonesia, oleh karena itu hubungan mereka terus menyabotase kerja MSG untuk menegakkan tujuannya.

    Tanda Tanya tentang Sikap Resmi Solomon Islands

    Belum jelas seberapa kuat ungkapan Manasseh Sogavare ini mencerminkan sikap resmi pemerintah Solomon Islands. Saat ini PM Solomon Islands adalah Rick Hou, yang sejauh ini menampilkan sikap lebih lunak dalam soal isu Papua. Seusai dilantik menjadi PM tahun lalu menggantikan Sogavare yang dijatuhkan karena mosi tidak percaya, Rick Hou mengatakan dirinya akan lebih fokus untuk menangani masalah-masakah dalam negeri.

    Selama KTT MSG di Port Moresby, bulan lalu, Rick Hou tampak bersikap moderat dan sama sekali tidak berbicara tentang aplikasi keanggotaan ULMWP. Belum lama ini beredar info bahwa hubungan Rick Hou dengan Sogavare, yang juga adalah menteri keuangan, tidak harmonis. Sudah beberapa bulan mereka tidak saling menyapa dan bercakap-cakap. Tetapi info ini kemudian dibantah oleh keduanya, lewat sebuah siaran pers bersama.

    Di akhir sidang MSG Februari lalu, Rick Hou ketika mendapat kesempatan bicara menyampaikan permohonan maaf karena selama keketuaan Solomon Islands di MSG — di masa pemerintahan Sogavare — negara itu telah membuat hubungan kurang harmonis dengan sesama anggota. Walau tidak dia sebut apa penyebab hubungan harmonis itu, dugaan diarahkan kepada getolnya Sogavare memperjuangkan aplikasi ULMWP untuk diterima di MSG. Pernyataan Rick Hou ditafsirkan sebagai melunaknya sikap Solomon Islands atas isu Papua.

    Indonesia Menganggap Jalan ULMWP Sudah Buntu

    Sementara itu Indonesia berulang kali menegaskan bahwa mustahil ULMWP dapat diterima sebagai anggota tetap di MSG.

    Dikembalikannya aplikasi ULMWP untuk dibahas di sekretariat MSG pada kTT di Port Moresby, Februari lalu, menurut Ketua Delegasi Indonesia ke MSG, Desra Percaya, menunjukkan ketidaklayakan ULMWP bergabung dengan MSG sebagai anggota penuh.

    Dalam siaran persnya, Desra Percaya, yang juga adalah Direktur Jenderal Asia Pasifik dan Afrika Kementerian Luar Negeri, mengatakan sejumlah pemimpin MSG kembali mempermasalahkan keinginan ULMWP untuk menjadi anggota MSG. Para pemimpin MSG, kata dia,  menyepakati guidelines keanggotaan dan mengembalikan aplikasi kelompok ULMWP ke Sekretariat.

    Dengan perkembangan tersebut, kata Desra Percaya, masih perlu dilakukan pembahasan khusus terkait substansi kriteria keanggotaan dengan menerapkan kembali mekanisme semestinya, yaitu melalui forum tingkat pejabat tinggi, menteri dan terakhir diusulkan ke para pemimpin.

    Desra Percaya meyakini keinginan ULMWP tidak akan terwujud. Dengan pengambilan keputusan secara konsensus serta dukungan kuat dari sahabat Indonesia di MSG yang menghormati dan junjung tinggi prinsip-prinsip dan tujuan organisasi, khususnya terkait penghormatan kedaulatan dan integritas wilayah, kata dia,  aplikasi keanggotaan oleh kelompok tersebut akan selalu menghadapi jalan buntu dan tidak mungkin terealisasi.

    “Hasil KTT MSG 2015 jelas menegaskan bahwa kehadiran kelompok separatis tersebut di MSG hanyalah sebagai salah satu peninjau mewakili sekelompok kecil separatis yang berdomisili di luar negeri,” tambah Desra Percaya.

    “Pernyataan kelompok separatis yang mengaku sebagai perwakilan resmi masyarakat Papua di MSG, tentunya sangat tidak adil bagi 3,9 juta penduduk Propinsi Papua dan Papua Barat,” lanjut dia.

    “Lebih dari dua juta warga provinsi Papua dan Papua Barat selama ini telah menjalankan hak demokratisnya dengan bebas dan adil. Aspirasi seluruh rakyat kedua propinsi tersebut terwakili dalam sistem demokrasi terbuka yang ada di  Indonesia.”

    Pengaruh Indonesia di MSG belakangan ini semakin signifikan dengan terungkapnya bantuan RI untuk membiayai operasi sekretariat MSG.

    Dalam beberapa tahun belakangan, tatkala keketuaan MSG dipegang oleh Solomon Islands, kantor sekretariat organisasi ini yang berada di Port Villa, Vanuatu, mengalami kesulitan keuangan. Penyebabnya, sejumlah anggota belum membayar iuran tahunannya.

    Namun, Indonesia yang berstatus associate member, telah membantu roda operasi sekretariat dengan mengucurkan dana dan bantuan lainya. Menurut Sade Bimantara, jurubicara Kedutaan Besar Indonesia di Australia, Indonesia telah mengucurkan dana yang merupakan kontribusi tahunan.

    Selain itu, Indonesia juga membantu pengadaan kendaraan dan barang-barang lainnya yang diperlukan sekretariat.

    “….kami telah memberikan kontribusi tahunan kami, terlebih lagi kami juga membantu sekretariat dalam pengadaan kendaraan dan barang lainnya untuk sekretariat mereka,” kata Sade Bimantara, dikutip dari radionz.co.id.

    “Ya, jadi kami telah membantu mereka secara finansial juga,” kata Sade Bimantara, yang dalam KTT MSG ke-21 di Port Moresby, pekan lalu, menjadi salah satu anggota delegasi Indonesia.

    Indonesia juga gencar menjalin berbagai kerjasama dengan negara-negara anggota MSG, termasuk dengan Solomon Islands yang vokal mengkritisi kebijakan RI atas Papua.

    MSG adalah sebuah kelompok negara-negara Melanesia di Pasifik Selatan yang keanggotaannya terdiri dari Papua Nugini, Fiji, Solomon Islands, Vanuatu dan FLNKS Kaledonia Baru. Indonesia berstatus sebagai anggota associate sedangkan ULMWP berstatus sebagai observer.

    Editor : Eben E. Siadari

  • Pacific nations back West Papuan self-determination

    A coalition of Pacific Island nations has delivered an emphatic call to the African, Caribbean and Pacific group of states to back West Papuan self-determination.

    Demonstrators march in Timika in West Papua.
    Demonstrators march in Timika in West Papua supporting West Papua self-determination. Photo: Supplied

     

    Vanuatu, Solomon Islands, Tonga, Tuvalu, Nauru, Palau and the Marshall Islands delivered a joint statement at the ACP’s Council of Ministers in Brussels.

    It condemned Indonesian human rights violations in Papua, including alleged crimes against humanity and called for an eventual resolution that includes support of the right of West Papuan political self-determination.

    Delivering the statement, a Vanuatu government envoy Johnny Koanapo told the Council that “apartheid-like colonial rule” was “slowly but surely” going to wipe out West Papuans as a people “while… the world stood by.”

    African and Caribbean countries in the the 79-member group of mainly former colonised territories have voiced strong support for West Papuan self-determination at subcommittee and ambassadorial level during the past two months

    Mr Koanapo said that the day’s discussion “now sets up the great likelihood of a resolution on the full range of West Papua issues at the next ACP ministerial council meeting”, scheduled for November.

    It’s the latest in a string of high-level representations by the International Coalition for Papua since last year that have taken the issue of West Papua to a new level of diplomatic activity.

    The seven Pacific nations, who are in coalition with Pacific regional church bodies and civil society networks, raised concern about West Papuan human rights at the UN Human Rights Council in Geneva two months ago, and also at the UN General Assembly last September.

    Indonesia’s government has rejected criticism at the UN level, accusing the Pacific countries of interference and supporting Papuan separatism.

    Jakarta says human rights abuses in Papua are largely historical, and that the incorporation of the western half of new Guinea into Indonesia is final.

    However, support from other governments for resolution of ongoing human rights infringements in Papua is gaining momentum.

    Criticism of the flawed plebiscite by which the former Dutch New Guinea was incorporated into the young state of Indonesia in the 1960s has effected renewed calls for a genuine self-determination process.

    At yesterday’s Brussels meeting Papua New Guinea’s ambassador, whose country shares a 760km-long border with Indonesia at West Papua, was the only delegate to speak against ACP moving forward on a resolution on the matter.

    Joshua Kalinoe said that “no one is denying that the human rights violations are going on” but suggested that a fact-finding mission to West Papua might be necessary for the ACP to get an accurate picture of the situation.

    Guinea-Bissau’s Ambassador Alfredo Lopez Cabral spoke next, comparing the plight of West Papua to East Timor, which Indonesia occupied for 24 years before a mounting legacy of conflict gave way to an independence referendum in 1999.

  • Pacific concern relayed at UN over West Papua abuses

    Vanuatu has addressed a high level United Nations meeting over Pacific regional concerns about human rights abuses in Indonesia’s Papua region, or West Papua.

    The 34th regular session of the UN Human Rights Council in Geneva, Switzerland, was told that Indonesia has not curtailed or halted various widespread violations.

    Vanuatu's Justice Mnister Ronald Warsal addresses the 34th regular session of the UN Human Rights Council regarding the human rights situation in West Papua.
    Vanuatu’s Justice Mnister Ronald Warsal addresses the 34th regular session of the UN Human Rights Council regarding the human rights situation in West Papua. Photo: webtv.un.org

    Vanuatu’s Justice Minister Ronald Warsal was speaking on behalf of his country and six other Pacific nations: Tonga, Nauru, Palau, Tuvalu, the Marshall Islands, and Solomon Islands

    “We note that in the past 15 years, the Indonesian National Commission on Human Rights has collected evidence of gross human rights violations by Indonesian security forces in three principle areas of West Papua: Wasior, Wamena and Paniai.”

    Mr Warsal said the Commission described the sets of cases in the first two places as crimes against humanity, which are punishable under Indonesian and international laws.

    He referenced reports of extrajudicial executions of activists and the arrests, beatings and fatal shootings of peaceful demonstrators, including high school students; as well as persistent violence against Papuan women.

    West Papuan human rights activist Rode Wanimbo address the 7th Pacific Women's Network Against Violence Against Women, while Bernadetha Mahuse looks on.
    West Papuan human rights activist Rode Wanimbo address the 7th Pacific Women’s Network Against Violence Against Women in 2016 Photo: Pacific Women’s Network Against Violence Against Women

    The Vanuatu minister said Indonesia’s government had not been able to deliver justice for the victims.

    “Nor has there been any noticeable action to address these violations by the Indonesian government, which has, of course, immediate responsibility and primary accountability,” he said.

    He also mentioned the marginalisation of West Papuans in the face of steady migration to the region by people from other parts of Indonesia.

    “We want further to highlight another broad aspect of human rights violations – the Indonesian government policy over many decades and continuing until today of the migration of non-indigenous Papuans to West Papua, leading to a dramatic decline in the percentage of the indigenous Papuan population.”

    Denial by Indonesia

    Indonesia’s delegation to the UN mission in Geneva has issued a reply, saying it categorically rejects the allegations voiced by Vanuatu’s Justice Minister.

    It said Mr Warsal’s address does not reflect the real situation on the ground, accusing Vanuatu of “using human rights issues to justify its dubious support for the separatist movement in Papua”.

    We believe that challenges of West Papua must be brought back to the agenda of the United Nations Ronald Warsal

    In a statement, Indonesia said its record on the promotion and protection of human rights spoke for itself.

    “This includes our co-operation with various UN Special Procedures and Mandate Holders, as well as various collaborative endeavours at bilateral, regional and multilateral level including within the Human Rights Council in strengthening human rights mechanisms as well as in the promotion and protection of various basic human rights.”

    “As a matter of fact, this year Indonesia will welcome the visits of two Special Rapporteurs, and present our third UPR report this coming May.”

    Earlier, Mr Warsal referred to a series of recent pronouncements by mandate holders of the UN Council about serious Indonesian violations of the human rights of indigenous Papuans.

    West Papuan demonstrators tightly monitored by Indonesian police.
    West Papuan demonstrators tightly monitored by Indonesian police. Photo: Whens Tebay

    These included representations by UN Special Rapporteurs on the promotion and protection of the right to freedom of opinion and expression; the rights to freedom of peaceful assembly and of association; the rights of indigenous peoples; the Rapporteur on extrajudicial, summary or arbitrary executions; and the Rapporteur on torture and other cruel, inhuman or degrading treatment or punishment.

    Indonesia’s government, however, said it had always endeavoured to address any allegation of human rights violation as well as taking preventative measure and delivering justice.

    ‘Domestic’ issues

    The Indonesian government again sent a message to Vanuatu that it should stay out of what it regards as its own domestic matters.

    Jakarta said that Vanuatu’s government should not divert its focus from addressing its various domestic human rights problem by politicising the issue of Papua for its domestic political purposes.

    “In this regard, the Indonesian Government is prepared to work and co-operate with the Government of Vanuatu in their efforts to address various human rights violation and abuses against the people of Vanuatu” said the statement.

    These abuses, according to Indonesia, included “violence against women, corporal punishment against minors, appalling prison condition, including torture of prisoners, and other challenges”.

    Indonesian presidential candidate Joko Widodo campaigning in Jayapura.
    Indonesia’s President Joko Widodo (check shirt) has made regular visits to Papua region where his government has been spearheading a major economic development drive. Photo: AFP

    However, the seven Pacific nations have called on the UN Human Rights Council to request the High Commissioner for Human Rights to produce a consolidated report on “the actual situation in West Papua”.

    Among other provisions, Mr Warsal said the report should also detail the various rights under the International Bill of Human Rights and the related conventions, including the right to self-determination.

    “We believe that challenges of West Papua must be brought back to the agenda of the United Nations,” said the Vanuatu minister on behalf of the Pacific countries.

  • Pacific nations want UN report on Papua

    News.com.au – Seven Pacific island nations have called for a UN investigation into allegations of human rights abuses in Indonesia’s West Papua and Papua provinces, where a separatist movement has simmered for decades.

    A statement to a session of the UN Human Rights Council in Geneva, read on behalf of the seven states by Vanuatu’s Justice Minister Ronald Warsal, accused Indonesia of serious human rights violations of indigenous Papuans including extrajudicial executions of activists and beatings and fatal shootings of peaceful protesters.

    The statement called on the council to request a comprehensive report from the high commissioner for human rights and Indonesia’s co-operation in providing unfettered access to the two provinces, which independence supporters refer to collectively as West Papua.

    Pacific island leaders angered Indonesia last year when they used their speeches to the UN General Assembly to criticise Indonesia’s rule in West Papua.

    Jakarta accused them of interfering in Indonesia’s sovereignty and supporting groups that carry out armed attacks.

    Warsal, who spoke on behalf of Vanuatu, Tonga, Palau, Tuvalu, the Marshall Islands, Nauru and the Solomon Islands, said they also wanted to highlight the Indonesian policy of encouraging the migration of Javanese and other ethnic groups, which has led to the dramatic outnumbering of indigenous Papuans in their own land.

    The Indonesian government “has not been able to curtail or halt these various and widespread violations,” he said.

    “Neither has that government been able to deliver justice for the victims.”

    The Dutch colonisers of the Indonesian archipelago held onto West Papua when Indonesia became independent after World War II.

    It became part of Indonesia following a UN-supervised referendum in 1969 that involved only a tiny proportion of the population and was criticised as a sham. Independence supporters want a second referendum.

    The indigenous people of the two Papua provinces, which make up the western half of the island of New Guinea, are ethnically Melanesian and culturally distinct from the rest of Indonesia, the world’s most populous Muslim nation.

    West Papua is home to the world’s largest gold mine by reserves, one of the world’s biggest copper mines and vast areas of virgin forest.

    The government insists it is an indivisible part of the Indonesian state and is unlikely to make any concessions to separatists out of fear that could re-energise other dormant independence movements.

  • Isi Pidato Pernyataan Pacific Coalision For West Papua, 1 Maret 2017 di Jenewa Swiss

    Isi Pidato Pernyataan Pacific Coalision For West Papua, 1 Maret 2017 di Jenewa Swiss

    Republik Vanuatu

    Pernyataan disampaikan oleh Hon. Ronald K Warsal (MP)

    Menteri Hukum dan Pengembangan Masyarakat, Republik Vanuatu

    Sesi Ke 34 Dari Dewan Hak Asasi Manusia 
    1 Maret 2017, Jenewa, Swiss

    Bapak Presiden Mulia, Distinguished Delegasi Hadirin sekalian. Republik Vanuatu sangat senang untuk mengatasi pertemuan ini.

    Hari ini, saya berbicara atas nama kedua Vanuatu dan enam negara lain di kawasan kami Pasifik: Tonga, Nauru, Palau, Tuvalu, Kepulauan Marshall, dan Kepulauan Solomon

    Bapak Presiden, kami tujuh negara telah datang bersama-sama hari ini – dan dalam pernyataan tertulis bersama terpisah – untuk menarik perhatian para anggota terhormat dari Dewan HAM PBB untuk situasi makam di Papua Barat.

    Bapak Presiden, khusus, kita fokus perhatian Anda pada sejumlah pernyataan terbaru oleh pemegang mandat dari Dewan ini tentang pelanggaran Indonesia yang serius pada hak asasi manusia orang asli Papua:
    • Surat bersama yang dikeluarkan oleh Pelapor Khusus PBB tentang promosi dan perlindungan hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi;
    • Pelapor Khusus tentang hak atas kebebasan berkumpul secara damai dan berserikat;
    • Pelapor Khusus tentang hak-hak masyarakat adat;
    • Pelapor Khusus tentang luar hukum, atau sewenang-wenang;
    • Dan Pelapor Khusus tentang penyiksaan dan lain yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat atau hukuman.

    Kami juga menarik perhatian ke rekening lain dari kekerasan negara Indonesia di Papua Barat, termasuk:
    • Komunikasi dari Komite PBB tentang Penghapusan Diskriminasi Rasial, mengacu pada pembunuhan dan penangkapan dari Papua;

    • Banyak laporan terdokumentasi dengan baik eksekusi di luar hukum aktivis dan penangkapan, pemukulan dan penembakan fatal demonstran damai, termasuk siswa SMA;
    • Dan laporan kekerasan yang terus-menerus terhadap perempuan Papua.

    Kami mencatat bahwa dalam lima belas tahun terakhir Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Indonesia telah mengumpulkan bukti-bukti pelanggaran HAM berat oleh aparat keamanan Indonesia dalam tiga bidang utama dari Papua Barat: Wasior, Wamena, dan Paniai. Komisi menggambarkan set kasus di dua tempat pertama sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan, yang dihukum di bawah hukum Indonesia dan internasional.

    Kami ingin lebih menyoroti aspek lain yang luas dari pelanggaran hak asasi manusia – kebijakan pemerintah Indonesia selama beberapa dekade dan berlanjut sampai hari ini dari migrasi non-penduduk asli Papua untuk Papua Barat, mengarah ke penurunan dramatis dalam persentase penduduk asli Papua.

    Bapak Presiden, sampai saat ini, pemerintah Indonesia telah, bagaimanapun, tidak bisa membatasi atau menghentikan berbagai pelanggaran luas. Baik memiliki bahwa pemerintah mampu memberikan keadilan bagi para korban. ada juga telah tindakan nyata untuk mengatasi pelanggaran ini oleh pemerintah Indonesia, yang, tentu saja, tanggung jawab langsung dan akuntabilitas utama.

    Selanjutnya, pemerintah Indonesia secara konsisten telah dapat menyampaikan laporan yang diperlukan periodik manusia yang tepat dan ulasan, yang merupakan norma internasional penting dimana sekretariat PBB dan anggota negara memantau hak asasi manusia di seluruh dunia. Penilaian yang ditulis sangat penting untuk mengidentifikasi dan menghapus penyiksaan, diskriminasi rasial dan pelanggaran hak asasi manusia pada umumnya.

    Bapak Presiden, dalam terang pelanggaran ini dan kelambanan pemerintah Indonesia, kita sebut di Dewan Hak Asasi Manusia PBB untuk meminta Komisaris Tinggi Hak Asasi Manusia untuk menghasilkan laporan konsolidasi dari situasi aktual di Papua Barat.

    Laporan Komisaris Tinggi perlu mempertimbangkan informasi dalam Perjanjian yang ada, Prosedur Khusus, dan Universal Periodic Review, serta laporan dari organisasi internasional dan regional lainnya dan organisasi non-pemerintah.

    Laporan ini juga harus rinci berbagai hak di bawah Bill Internasional tentang Hak Asasi Manusia dan konvensi terkait, termasuk hak untuk menentukan nasib sendiri.

    Dan laporan harus membuat rekomendasi untuk tindakan segera untuk menghentikan pola pelanggaran HAM seperti yang dibuktikan oleh banyak Prosedur Khusus dan badan-badan lain disebutkan sebelumnya.

    Akhirnya, kami meminta kerjasama penuh dan dicadangkan dengan Komisaris Tinggi dalam pemenuhan mandat ini, termasuk penyediaan oleh pihak berwenang Indonesia akses lengkap untuk setiap orang di Papua Barat yang dianggap tepat untuk memenuhi dalam penyusunan laporan ini.

    Bapak Presiden, seperti yang saya tutup, kami percaya bahwa tantangan dari Papua Barat harus dibawa kembali ke agenda PBB.

    Terima kasih sekali lagi untuk kesempatan untuk mengekspresikan pandangan saya di forum ini. Panjang Allah Yumi Stanap. Dalam Tuhan kita berdiri. Terima kasih.

    Vanuatu, High-Level Segment - 7th Meeting, 34th Regular Session Human Rights Council
    Vanuatu, High-Level Segment – 7th Meeting, 34th Regular Session Human Rights Council
    Vanuatu, High-Level Segment - 7th Meeting, 34th Regular Session Human Rights Council
    Vanuatu, High-Level Segment – 7th Meeting, 34th Regular Session Human Rights Council
    Vanuatu, High-Level Segment - 7th Meeting, 34th Regular Session Human Rights Council
    Vanuatu, High-Level Segment – 7th Meeting, 34th Regular Session Human Rights Council
    Vanuatu, High-Level Segment - 7th Meeting, 34th Regular Session Human Rights Council
    Vanuatu, High-Level Segment – 7th Meeting, 34th Regular Session Human Rights Council

    Sumber:

  • 7 Negara Pasifik Kembali Angkat Isu Papua di PBB

    Ilustrasi. Sidang Dewan HAM PBB di Jenewa (Foto: UN Human Rights Council Chamber)
    Ilustrasi. Sidang Dewan HAM PBB di Jenewa (Foto: UN Human Rights Council Chamber)

    JENEWA, SATUHARAPAN.COM – Tujuh negara Pasifik kembali mengangkat isu pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Papua pada sesi reguler ke-34 sidang Dewan HAM PBB di Jenewa, hari ini (1/03).

    Tujuh negara tersebut adalah Vanuatu, Tonga, Nauru, Palau, Tuvalu, Marshall Islands dan Solomon Islands.

    Suara tujuh negara itu disampaikan oleh Menteri Kehakiman dan Pembangunan Masyarakat Vanuatu, Ronald K Warsal saat mendapat giliran untuk berpidato pada segmen ke delapan sidang. “Kami, tujuh negara secara bersama-sama hari ini –dan dengan sebuah pernyataan tertulis bersama yang terpisah — ingin meminta perhatian para anggota yang terhormat atas situasi di Papua,” kata dia membuka pidatonya yang dapat juga disaksikan lewat siaran streaming televisi PBB.

    Dalam pidato tersebut,  Warsal antara lain mengingatkan kembali berbagai temuan pelanggaran HAM di Papua yang telah dikemukakan berbagai pihak yang mendapat mandat dari Dewan HAM PBB. Di antaranya adalah  surat bersama yang diterbitkan oleh Pelapor Khusus PBB tentang Perlindungan dan Promosi dan Hak Kebebasan Berekspresi, Berkumpul dan Berserikat secara Damai, Pelapor Khusus PBB untuk Hak Penduduk Asli, Pelapor Khusus PBB tentang Eksekusi Ekstrajudisial dan Pelapor Khusus PBB tentang Penyiksaan dan Kekerasan.

    Lebih jauh ia juga menekankan bahwa Komnas HAM Indonesia telah mengumpulkan bukti-bukti pelanggaran HAM oleh militer Indonesia di tiga area di Papua yaitu Wasior, Wamena dan Paniai. Menurut dia, Komnas HAM telah mengungkapkan kasus pelanggaran HAM di dua tempat sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan dan dapat dihukum berdasarkan hukum Indonesia maupun hukum internasional.

    Ditekankan pula bahwa bahwa pelanggaran HAM masih terus berlangsung hingga saat ini dan pemerintah RI dinilai gagal mencegahnya.

    Tidak hanya itu, Warsal juga mengatakan bahwa pemerintah RI telah secara konsisten gagal memasukkan laporan peirodik tentang situasi HAM di Papua, yang sangat esensial bagi sekretariat PBB dan negara anggota untuk memonitor keadaan HAM di seluruh dunia.

    Oleh karena itu, ketujuh negara tersebut meminta Dewan HAM PBB  menugaskan Komisioner Tinggi HAM PBB membuat laporan konsolidasi tentang situasi aktual di Papua.

    Mereka meminta agar laporan tersebut memuat informasi tentang pelanggaran HAM yang telah ada pada perjanjian-perjanjian, prosedur khusus dan Universal Periodic Review (tinjauan berkala universal) serta laporan dari organisasi internasional, regional maupun LSM.

    Laporan itu, kata dia, juga harus secara detail mencatat berbagai hak bagi rakyat Papua, yang ada dalam hukum HAM internasional, termasuk hak untuk menentukan nasib sendiri.

    “Laporan itu harus membuat relomendasi untuk tindakan segera dalam upaya menghentikan pelanggaran HAM yang sudah disebutkan oleh berbagai Special Procedures dan badan lainnya sebelumnya.”

    Untuk membuat laporan tersebut, tujuh negara Pasifik juga meminta agar pemerintah Indonesia menjamin akses kepada Komisioner PBB untuk menemui siapa pun di Papua dalam rangka membuat laporan tersebut.

    Editor : Eben E. Siadari

  • Diplomasi kecantikan ala Indonesia

    Oleh Made Supriatna

    PUBLIK Indonesia itu sangat sederhana. Saya tidak mau mengatakan tidak canggih. Sederhana saja. Opini publik Indonesia sangat mudah dibentuk. Karena orang Indonesia tidak suka yang muluk-muluk.

    Sodara kenal istilah ‘buzzer’? Ini adalah sekumpulan manusia dengan beberapa ratus atau ribu ‘followers’ di twitter. Sodara bisa membayar mereka untuk men-tweet apa saja yang ingin Sodara populerkan agar bisa menjadi ‘trending topic.’ Itu bisa produk. Bisa juga opini untuk membentuk persepsi publik.

    “Twitter’ adalah garis depan perang media sosial, demikian kata seorang kawan. Saya kira dia benar. Benar pula bahwa twitter memberi penghasilan untuk para buzzer.

    Nah ini berkaitan dengan kesederhaan publik Indonesia. Sodara tidak perlu mengumpani dengan iklan yang canggih. Sederhana saja: orang Indonesia suka dengan yang cantik dan ganteng. Lebih baik lagi kalau sedikit ‘drama’ didalamnya.

    Masih ingat Ninih penjual getuk di daerah Kuningan, Jakarta, itu? Bukankah biasa perempuan menjual getuk? Ini lain, Ninih itu cantik. Disitu dramanya.

    Masih ingat serangan teroris di Thamrin itu? Hanya sebentar publik Indonesia berkobar dengan hastag #KamiTidakTakut. Beberapa jam kemudian perhatian beralih: polisinya ganteng pisan, sepatunya bermerek, celananya apalagi … dan banyak yang napsu melihat perawakannya yang bagus itu.

    Di lain hari, Sodara ketemu Polwan yang cantik; ketemu Kowad anggota Kopassus yang ayu … Itu sebelum Sodara ketemu AA Gatot yang doyan nyabu dan merelakan badannya dimasuki jin sehingga bisa tidur dengan artis-artis yang sedang merosot popularitasnya. Atau, Kanjeng Dimas memperlihatkan betapa tololnya target kebijakan Tax Amnesty. Apa perlunya Tax Amnesty kalau uang bisa digandakan? Itulah drama.

    Nah begitu juga dengan soal di Sidang Umum PBB. Publik Indonesia tidak mau pusing dengan persoalan Papua. Tentara dan polisi boleh menembak sebanyak-banyak orang Papua. Tidak ada yang peduli. Yang penting? Diplomat yang menyuarakan suara Indonesia … cantik! Ya, cantik. Seperti Ninih. Atau seperti Bripda Dewi Hardiyanti Husain, Polwan cantik yang hobi tidur dengan ular. Atau Sersan Eka Patmawati, serdadu Kopassus yang mahir menembak (baca: membunuh).

    Diplomat muda Indonesia ini membela posisi negaranya dengan berapi-api. Ada tujuh negara Pasifik yang meminta PBB untuk menginvestigasi pelanggaran HAM besar-besaran yang dilakukan oleh Indonesia di Papua. Jawaban Indonesia yang dibacakan diplomat junior ini adalah negara-negara Pasifik itu turut campur urusan dalam negeri Indonesia, sebuah negara yang berdaulat. Indonesia juga menuduh negara-negara ini punya kepentingan politik. Pelanggaran HAM tersebut, kata diplomat Indonesia ini, “dirancang untuk mendukung kelompok-kelompok separatis yang mengganggu ketertiban umum dan melakukan serangan teroris.”

    Publik internasional tahu kenyataannya. Salomon Islands, satu dari tujuh negara itu, menjawab enteng saja: Kalau tuduhan kami salah, ijinkan Special Rapporteur PBB masuk dan menyelidik pelanggaran HAM di Papua!

    Indonesia tidak memberikan ijin masuk kepada Special Rapporteur PBB ke Papua. Tahun ini Indonesia juga tidak mengijinkan Fact Finding Mission yang dibentuk negara-negara yang tergabung ke dalam Pacific Islands Forum untuk masuk ke Papua.

    Apa yang ditutup-tutupi Indonesia?

    Publik Indonesia rupanya tidak dengan debat soal HAM. Juga tidak peduli bahwa argumen diplomatnya yang dipuja cantik ini menjadi bahan tertawaan dunia internasional.

    Para politisi di Jakarta yang bikin kebijakan rupanya tahu juga itu. Karena itu, yang dibidik oleh mereka bukan masyarakat internasional. Yang disasar adalah rakyat Indonesia sendiri. Rakyat Indonesia yang harus dibangkitkan nasionalismenya. Karena isunya belepotan maka yang diangkat adalah: diplomatnya yang cantik, yang membela negaranya pantang mundur …

    Sungguh publik Indonesia itu sederhana. Mereka sibuk memuja diplomat cantik yang perjuangannya seperti para pahlawan revolusi itu.

    Siapa peduli Papua? … Itu tidak penting. (*)

    Penulis adalah peneliti independen berkewarganegaraan Indonesia, tinggal di AS

  • Solomon Islands Seeks to Host 2017 Melanesian Youth Parliament

    Monday, 31 October 2016 9:03 AM, Solomon Times

    The National Parliament and the Ministry of Women, Youth, Children and Family Affairs made their intentions known during the recent National Youth Parliament in Honiara.

    Speaker of Parliament, Ajilon Jasper Nasiu, told participants that 20 youth parliamentarians will be selected from the current Youth Parliament to represent Solomon Islands in the 2017 Melanesian Youth Parliament.

    “And from this Youth Parliament, a separate selection panel will select 20 youth parliamentarians, 10 boys and 10 girls to represent the Solomon Islands in next year’s Melanesian Youth Parliament.”

    The Speaker of Parliament appeals to all youth parliamentarians participating in the current youth parliament to perform to their best in order to represent the country in the Melanesian Youth Parliament next year.

    The objective of a Youth Parliament is to teach young people about some of the core principles of democracy, its values and how it functions. It also gives young people an opportunity to raise issues of concern, and in so doing feed into mainstream policy discussions or debates.

  • Australian Activist Speaks Out Against Jakarta Request

    Wednesday, 2 November 2016 8:29 AM, Solomon Times
    Solomon Times Front Page Coverage on West Papua
    Solomon Times Front Page Coverage on West Papua

    Leader of the Australian West Papua Association (Sydney) (AWPA), Joe Collins, has spoken out against reports that Jakarta has requested Australia to pass on a message to the Solomon Islands to refrain from interfering in the internal affairs of Indonesia.

    “This is an outrageous request as it is the duty of all nations to raise concern about human rights abuses not only in West Papua but no matter where they are committed.

    “The Solomon Islands and the other six Pacific leaders who raised concern about the human rights abuses in West Papua (at the 71st Session of the United Nations General Assembly in New York in September) are to be congratulated for their courageous stand on the issue of West Papua,” said Mr Collins.

    He said that it is a pity that Australia does not follow the Pacific leaders in also condemning the ongoing human rights abuses committed by the Indonesian Military.

    “Not only should Australia refuse the request of the Indonesian defence minister but should be supporting the Pacific leaders in calling on Jakarta to allow a PIF facing mission to West Papua.”

    Indonesia’s Defence Minister was quoted by media as having requested Australia to pass on the message to the Solomon Islands, saying that as a major donor, Australia should raise the issue of non-interference with Solomon Islands.

    —————————-

    Joe Collins, along with AWPA’s Secretary Anne Noonan, were awarded the 2012 John Rumbiak Human Rights Defender Award.

    AWPA’s role is to lobby and inform the Australian Government and the International Community and in particular regional organizations such as the Pacific Islands Forum and the Melanesian Spearhead Group to raise concerns about the human rights situation in West Papua.

  • What they don’t talk about when they talk about Papua

    ‘Being a young, female Indonesian myself, I expected myself to celebrate Nara Masista Rakhmatia’s UN General Assembly speech. Instead, I was gravely disappointed.’

    Several weeks ago, a young, female diplomat named Nara Masista Rakhmatia made a speech that dazzled the Indonesian public. In a video that went viral, she denied accusations from 7 Pacific country leaders about human rights abuse in Indonesia’s Papua province at the 71st Session of United Nations General Assembly in New York last September.

    She further shamed their attempt to interfere with Indonesia’s sovereignty. The video gathered over 188 thousand views on Facebook, along with hundreds of comments from Indonesian citizens expressing how proud they are of Nara’s intelligence and bravery to ‘teach those foreign country leaders about how to respect Indonesia’—especially given her young age.

    In their remarks, delegations from Solomon Islands, Vanuatu, Nauru, the Marshall Islands, Tuvalu, and Tonga criticized Indonesia’s human rights records in Papua. Nara in particular argued that these sentiments were largely misplaced, given that the main agenda of the Assembly was Sustainable Development Goals and a global response to climate change.

    Furthermore, she claimed, these countries needed to self-reflect upon their own domestic issues before pointing their fingers to how Indonesia handles the province’s push for self-determination.

    Being a young, female Indonesian myself, I expected myself to celebrate her speech. I should have been inspired and impressed by how sharp she was. Instead, as someone who studied International Relations and currently a Public Policy student, I was gravely disappointed.

    Disappointed

    First of all, Nara based her entire rebuttal on the obsolete definition of the sovereignty principle. While sovereignty is a crucial foundation to the United Nations, since 2005, the international community has extended its definition under the ‘Responsibility to Protect’ commitment, which stipulates that absolute sovereignty does not hold when a government fails to protect its people.

    PROTEST. An arrested Papuan pro-independence demonstrator gestures from a police truck in Jakarta on December 1, 2015, after police fired tear gas at a hundreds-strong crowd hurling rocks during a protest against Indonesian rule over the eastern region of Papua. File photo by AFP
    PROTEST. An arrested Papuan pro-independence demonstrator gestures from a police truck in Jakarta on December 1, 2015, after police fired tear gas at a hundreds-strong crowd hurling rocks during a protest against Indonesian rule over the eastern region of Papua. File photo by AFP

    Although the concept was developed specifically as a framework for humanitarian interventions to prevent atrocity crimes and this situation has arguably not brought us that far, this core principle stands.

    In other words, should these allegations stand, it is justifiable for the international community to express their concerns about the possibility of ongoing crimes against humanity.

    Therefore, it is more urgent to argue about whether Indonesia has indeed violated human rights in Papua.

    The speech failed to address, for example, the progress of President Joko Widodo’s promise to investigate the killing of 4 Papuan high-school students in 2014. No reports have been made available to the public around this and other pressing matters such as killings in Wasior in 2001 and Wamena in 2003. A recent op-ed contended that these were not ordinary crimes but crimes against humanity.

    Nara also did not talk about the 4,587 individuals who were arrested by the police for expressing their political views in regards with the Papua issue in 13 cities, as documented by the Jakarta Legal Aid Institute.

    On top of that, she spent a lot of air time explaining how Indonesia has been a member of the United Nations Human Rights Council for significantly longer periods compared to these 6 countries. She leveraged that membership status as a validation to the country’s ‘human rights commitment’.

    This is a logical fallacy. In reality, Jakarta continues to maintain restrictions for human rights organizations such as Amnesty International and International Committee of the Red Cross from entering Papua. Becoming a member of a certain council hardly proved these allegations wrong. If anything, it should become an additional reason as to why the country needs to feel embarrassed about the hypocrisy at home.

    Wrong focus

    Some of my friends asked me to give Nara a break. After all, she was only representing her country. If anything, such response is far from surprising and rather predictable. Throwing in phrases like ‘territorial integrity’ and ‘sovereignty’ sounds like something that any other country would do in responding to such accusations at an international stage.

    PROTEST HALTED. Papuan pro-independence activists, some in traditional tribal garb, march during a rally in Jayapura. AFP PHOTO
    PROTEST HALTED. Papuan pro-independence activists, some in traditional tribal garb, march during a rally in Jayapura. AFP PHOTO

    However, the issue goes beyond this. Even if we look past the messenger, the problem in Papua still exists, and the fact that the government of Indonesian preferred not to deal with it should alert us.

    Thus what added to my disappointment was how mainstream media in Indonesia covered the issue. Instead of playing its role as the ‘fourth pillar’ that criticizes the government, many news outlets practically made her a heroine by echoing the flattering Facebook comments and further highlightsing how she looks.

    It seems like nationalist sentiments—fueled by an ‘external threat’ from these Pacific countries’—distracted them from addressing the elephant in the room. Except for The Jakarta Post, most news seemed to avoid highlighting these allegations and instead talked about how beautiful and brave Nara was. In effect, social media discussions regarding this event rotated primarily around unproductive debates about her physical qualities.

    Although concerns regarding Papua were expressed by only 7 small Pacific countries now, how will Indonesia—represented by Nara or anyone else—respond in the future, should they come from other geopolitically more powerful countries?

    President Joko Widodo’s administration must know by now that something has to be done in Papua, and it should be done immediately.

    Surely, we could not just continue deflecting every question with a ‘sovereignty’ card. – Rappler.com

     Andhyta Firselly Utami graduated from International Relations program at Universitas Indonesia, and is currently a Master of Public Policy candidate at Harvard Kennedy School.

Are you sure want to unlock this post?
Unlock left : 0
Are you sure want to cancel subscription?