Tag: Sidang Umum PBB

  • SEBUAH RESOLUSI MU-PBB BISA DICABUT DAN HASIL REFERENDUM BISA DIBATALKAN, SERTA MEMBUAT KEPUTUSAN DARURAT

    Berdasarkan Kategori Resolusi Majelis Umum PBB, sebuah Resolusi Majelis umum PBB bisa dicabut, selain itu hasil referendum bisa dibatalkan, dan Majelis Umum PBB dapat membuat sebuah keputusan darurat terhadap suatu masalah yang dipandang dapat mengancam perdamaian dan keamanan regional maupun internasional.

    Resolusi Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa atau United Nations General Assembly resolution adalah sebuah keputusan resmi dari Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa yang diadopsi ke dalam tubuh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Walaupun semua badan PBB dapat mengeluarkan resolusi, namun dalam praktiknya resolusi yang paling sering dikeluarkan adalah resolusi Dewan Keamanan PBB dan resolusi Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa.

    Mengadopsi sebuah Resolusi Majelis Umum PBB biasanya memerlukan suara mayoritas, sederhananya 50% dari semua suara ditambah satu untuk lolos. Namun, jika Majelis Umum menentukan bahwa masalahnya adalah sebuah “pertanyaan penting” dengan suara mayoritas sederhana, maka dua pertiga mayoritas diperlukan; “pertanyaan penting” adalah mereka yang menangani secara signifikan dengan pemeliharaan perdamaian dan keamanan internasional, pengakuan atas anggota baru untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa, penangguhan hak-hak dan hak keanggotaan, pengusiran anggota, pengoperasian sistem perwalian, atau pertanyaan anggaran .

    Meskipun Resolusi Majelis Umum PBB umumnya tidak mengikat terhadap negara-negara anggota, namun resolusi internal dapat mengikat pengoperasian itu sendiri, misalnya terhadap masalah-masalah anggaran dan prosedur, serta masalah teknis (piagam dasar dan kovenan HAM)

    KASUS RESOLUSI YANG DICABUT:
    RESOLUSI 3379 MAJELIS UMUM PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA
    Resolusi 3379 dikeluarkan oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 1975. Resolusi ini menyatakan bahwa Zionisme adalah sebuah bentuk rasisme. Resolusi ini lolos dengan 72 suara yang mendukung, 35 menolak dan 32 abstain. Jumlah 72 suara yang mendukung ini termasuk 20 negara Arab, 12 negara lainnya dengan mayoritas Muslim, termasuk Turki yang mengakui Israel kala itu, 12 negara komunis, 14 negara Afrika non-Muslim dan 14 negara lainnya termasuk Brasil, India, Meksiko, dan Portugal.

    PENCABUTAN
    Pada tahun 1991, situasi dunia internasional menjadi berbeda setelah runtuhnya Uni Soviet, kemenangan pasukan sekutu di Irak yang dipimpin Amerika Serikat dan hegemoni negara adidaya ini di dunia internasional. Maka pada tanggal 16 Desember 1991, Dewan Umum mengeluarkan Resolusi 46/86, yang menarik Resolusi 3379 dengan 111 suara setuju dan 25 suara menolak. Sementara itu ada 13 yang abstain dan 17 delegasi tidak hadir. Sementara itu 13 dari 19 negara Arab, termasuk yang berunding dengan Israel, menolak resolusi ini. Enam lainnya tidak hadir. Tidak ada Negara Arab yang setuju. PLO mengecam keras resolusi ini. Hanya tiga Negara non-Muslim yang menolak resolusi ini: Kuba, Korea Utara dan Vietnam. Hanya satu negara dengan mayoritas penduduk Muslim mendukung resolusi ini, yaitu Albania, lainnya abstain atau tidak hadir. (https://id.wikipedia.org/wiki/Resolusi_3379_Majelis_Umum_Perserikatan_Bangsa-Bangsa?fbclid=IwAR22VBjLqKSVNmNrckxOYa5reZIRULqzUb7f7G28AG6r2E1YnLWSsAmfBCA)

    KASUS PEMBATALAN HASIL REFERENDUM:
    RESOLUSI 68/262 MAJELIS UMUM PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA
    Resolusi majelis umum perserikatan bangsa-bangsa 68/262 adalah resolusi yang ditetapkan pada tanggal 27 maret 2014 oleh sesi ke-68 majelis umum perserikatan bangsa-bangsa sebagai tanggapan terhadap krisis krimea 2014. Resolusi yang berjudul “integritas teritori ukraina” ini didukung oleh 100 negara anggota perserikatan bangsa-bangsa (pbb). Resolusi ini menegaskan komitmen terhadap kedaulatan, kemerdekaan politik, kesatuan, dan integritas teritori ukraina, serta menggarisbawahi ketidakabsahan referendum krimea 2014. Armenia, belarus, bolivia, kuba, korea utara, nikaragua, rusia, sudan, suriah, venezuela, dan zimbabwe menentang resolusi ini. Terdapat 58 negara yang abstain, dan 24 negara lainnya tidak hadir dalam pemungutan suara.
    Resolusi ini diajukan oleh kanada, kosta rika, jerman, lituania, polandia, dan ukraina. Penetapan resolusi ini didahului oleh upaya di dewan keamanan perserikatan bangsa-bangsa yang gagal karena diveto rusia.(https://id.wikipedia.org/wiki/Resolusi_68/262_Majelis_Umum_Perserikatan_Bangsa-Bangsa?fbclid=IwAR0hLNug4iCJerW7HFtUn0oW57HqB2zfSKwcY0iklSpxKW_Cro19HuI7o10)

    KEPUTUSAN DARURAT:
    RESOLUSI ES-10/L.22 MAJELIS UMUM PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA
    Resolusi ES 10/L.22 Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa adalah resolusi rapat darurat yang menyatakan status Yerusalem sebagai ibu kota Israel “tidak berlaku”.[1] Resolusi ini diadopsi dalam rapat pleno ke-37 sidang istimewa darurat ke-10 Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa[2] pada sidang ke-72 Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa tanggal 21 Desember 2017. Draf resolusi ini diajukan oleh Yaman dan Turki.[3] Meski ditolak keras oleh Amerika Serikat, resolusi ini disahkan dengan 128 suara mendukung, 9 menentang, 35 abstain, dan 21 tidak hadir.

    Pada tanggal 6 Desember 2017, Presiden AS Donald Trump mengatakan bahwa ia akan mengakui status Yerusalem sebagai ibu kota berdaulat Israel.[1] Ini bertentangan dengan resolusi-resolusi MU PBB sebelumnya serta norma-norma internasional yang berlaku bahwa tidak satupun negara yang mengakui Yerusalem sebagai ibu kota negara atau membangun kedutaan besar di sana. Tindakan ini diprotes oleh negara-negara dan masyarakat di berbagai belahan dunia.

    Usai gagalnya resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang pembatalan pengakuan Yerusalem sebagai ibu kota negara oleh negara manapun tiga hari sebelumnya karena diveto A.S., Duta Besar Palestina untuk PBB Riyad Mansour mengatakan bahwa Majelis Umum akan mengadakan pemungutan suara untuk draf resolusi penarikan deklarasi Amerika Serikat. Ia menggunakan Resolusi 377 (disebut juga resolusi “Bersatu untuk Perdamaian”) untuk membatalkan veto. Resolusi ini menyatakan bahwa Majelis Umum dapat menyelenggarakan Sidang Istimewa Darurat untuk membahas suatu persoalan “dengan tujuan memberi saran bersama yang layak kepada negara-negara anggota” apabila Dewan Keamanan tidak mampu bertindak. (https://id.wikipedia.org/wiki/Resolusi_ES-10/L.22_Majelis_Umum_Perserikatan_Bangsa-Bangsa?fbclid=IwAR1kIUqDc9kS2HpGJwUBTDi7HzG_hr8SJlOh1dh4u4CKNciDx6L2nE_dWo0)

    Resolusi Majelis Umum PBB sifatnya mengikat semua negara anggota PBB secara kelembagaan (internal), namun tidak mengikat semua negara anggota PBB dalam bentuk kedaulatan negara (eksternal), sehingga sebuah resolusi ekternal yang menjadi keputusan majelis umum PBB terhadap suatu kasus internasional yang dianggap kontroversial atau bertentangan dengan prinsip moral dan keadilan, yang atas usulan, atau advokasi negara-negara anggota PBB, hal itu dapat ditinjau berdasarkan prosedur kelembagaan.

    Dari tiga konteks Resolusi diatas menjelaskan tiga bentuk kategori resolusi Majelis Umum PBB yang sifatnya sbb:
    “Bahwa sebuah resolusi majelis umum PBB dapat dicabut, demikian juga sebuah keputusan dari hasil referendum dapat dibatalkan, berprinsip pada norma dan keadilan, serta dalam keadaan darurat suatu resolusi dapat dibuat”.

    Kekuatan hukum internasional yang tertinggi berada pada keputusan Dewan Keamanan PBB, sehingga sebuah resolusi yang diadopsi (dibuat) oleh Dewan Keamanan PBB, mempunyai kekuatan hukum internasional yang kuat, mengikat serta memaksa para pihak yang menjadi bagian dari subjek hukum internasional dalam suatu sengketa internasional guna kepatuhan penyelesaian melalui jalan damai. Resolusi Dewan Keamanan PBB dibuat atas pertimbangan perdamaian dan keamanan internasional berdasarkan piagam dasar PBB serta Kejahatan Kemanusiaan (pelanggaran HAM Berat dan kejahatan Genosida).

    Kita sering mendengar pernyataan dari berbagai kalangan di Indonesia yang pada umumnya menyatakan, masalah West Papua sudah final, tidak bisa dialakukan referendum ulang, dan resolusi MU-PBB 2504 menjadi dasar legitimasi West Papua di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dari berbagai pernyataan itu penulis mau katakan demikian, bahwa West Papua hingga saat ini bermasalah di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, indikatornya jelas telah terjadi kejahatan terhadap kemanusiaan termasuk dalam kategori genosida terhadap Pribumi Papua, seiring dengan itu Suara Pribumi Papua semakin nyaring dan jelas kedengarannya, menyuarakan tuntutan “Papua Merdeka”.

    Kejahatan Kemanusiaan dan Tuntutan Kemerdekaan West Papua ibarat dua sisi mata uang logam yang tidak bisa dipisahkan dan betolak belakang, sehingga akan menjadi alat tawar (bargaining) dalam politik internasional tentang hak penentuan nasib sendiri bangsa West Papua, karena konflik wilayah West Papua telah menjadi bagian dari subjek hukum internasional. Oleh karena itu kenyaringan suara kemerdekaan West Papua yang diikuti kasus kajahatan kemanusiaan di West Papua, akan mempengaruhi legalitas Wilayah Geogafis West Papua di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, sehingga akan memunculkan pertanyaan yang mendasar tentang “Kepatuhan Pemerintah Republik Indonesia terhadap Norma dan Keadilan” dalam Pelaksanaan PEPERA tahun 1969, wasalam.(Kgr)

    Penulis adalah Aktivis Pemerhati Masalah West Papua.


    Ket. Gambar: Ilustrasi Majelis Umum PBB

    WestPapua #HumanitarianCrisis #HumanRightsAbuses #UnitedNation #FreeWestPapua #Referendum

  • SEBUAH RESOLUSI MU-PBB BISA DICABUT DAN HASIL REFERENDUM BISA DIBATALKAN, SERTA MEMBUAT KEPUTUSAN DARURAT

    By: Krrietian Griapon
    Edisi, 15 Janunari 2022

    Berdasarkan Kategori Resolusi Majelis Umum PBB, sebuah Resolusi Majelis umum PBB bisa dicabut, selain itu hasil referendum bisa dibatalkan, dan Majelis Umum PBB dapat membuat sebuah keputusan darurat terhadap suatu masalah yang dipandang dapat mengancam perdamaian dan keamanan regional maupun internasional.

    Resolusi Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa atau United Nations General Assembly resolution adalah sebuah keputusan resmi dari Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa yang diadopsi ke dalam tubuh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Walaupun semua badan PBB dapat mengeluarkan resolusi, namun dalam praktiknya resolusi yang paling sering dikeluarkan adalah resolusi Dewan Keamanan PBB dan resolusi Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa.

    Mengadopsi sebuah Resolusi Majelis Umum PBB biasanya memerlukan suara mayoritas, sederhananya 50% dari semua suara ditambah satu untuk lolos. Namun, jika Majelis Umum menentukan bahwa masalahnya adalah sebuah “pertanyaan penting” dengan suara mayoritas sederhana, maka dua pertiga mayoritas diperlukan; “pertanyaan penting” adalah mereka yang menangani secara signifikan dengan pemeliharaan perdamaian dan keamanan internasional, pengakuan atas anggota baru untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa, penangguhan hak-hak dan hak keanggotaan, pengusiran anggota, pengoperasian sistem perwalian, atau pertanyaan anggaran .
    Meskipun Resolusi Majelis Umum PBB umumnya tidak mengikat terhadap negara-negara anggota, namun resolusi internal dapat mengikat pengoperasian itu sendiri, misalnya terhadap masalah-masalah anggaran dan prosedur, serta masalah teknis (piagam dasar dan kovenan HAM)

    KASUS RESOLUSI YANG DICABUT:
    RESOLUSI 3379 MAJELIS UMUM PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA
    Resolusi 3379 dikeluarkan oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 1975. Resolusi ini menyatakan bahwa Zionisme adalah sebuah bentuk rasisme. Resolusi ini lolos dengan 72 suara yang mendukung, 35 menolak dan 32 abstain. Jumlah 72 suara yang mendukung ini termasuk 20 negara Arab, 12 negara lainnya dengan mayoritas Muslim, termasuk Turki yang mengakui Israel kala itu, 12 negara komunis, 14 negara Afrika non-Muslim dan 14 negara lainnya termasuk Brasil, India, Meksiko, dan Portugal.

    PENCABUTAN


    Pada tahun 1991, situasi dunia internasional menjadi berbeda setelah runtuhnya Uni Soviet, kemenangan pasukan sekutu di Irak yang dipimpin Amerika Serikat dan hegemoni negara adidaya ini di dunia internasional. Maka pada tanggal 16 Desember 1991, Dewan Umum mengeluarkan Resolusi 46/86, yang menarik Resolusi 3379 dengan 111 suara setuju dan 25 suara menolak. Sementara itu ada 13 yang abstain dan 17 delegasi tidak hadir. Sementara itu 13 dari 19 negara Arab, termasuk yang berunding dengan Israel, menolak resolusi ini. Enam lainnya tidak hadir. Tidak ada Negara Arab yang setuju. PLO mengecam keras resolusi ini. Hanya tiga Negara non-Muslim yang menolak resolusi ini: Kuba, Korea Utara dan Vietnam. Hanya satu negara dengan mayoritas penduduk Muslim mendukung resolusi ini, yaitu Albania, lainnya abstain atau tidak hadir. (https://id.wikipedia.org/wiki/Resolusi_3379_Majelis_Umum_Perserikatan_Bangsa-Bangsa?fbclid=IwAR22VBjLqKSVNmNrckxOYa5reZIRULqzUb7f7G28AG6r2E1YnLWSsAmfBCA)

    KASUS PEMBATALAN HASIL REFERENDUM:
    RESOLUSI 68/262 MAJELIS UMUM PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA
    Resolusi majelis umum perserikatan bangsa-bangsa 68/262 adalah resolusi yang ditetapkan pada tanggal 27 maret 2014 oleh sesi ke-68 majelis umum perserikatan bangsa-bangsa sebagai tanggapan terhadap krisis krimea 2014. Resolusi yang berjudul “integritas teritori ukraina” ini didukung oleh 100 negara anggota perserikatan bangsa-bangsa (pbb). Resolusi ini menegaskan komitmen terhadap kedaulatan, kemerdekaan politik, kesatuan, dan integritas teritori ukraina, serta menggarisbawahi ketidakabsahan referendum krimea 2014. Armenia, belarus, bolivia, kuba, korea utara, nikaragua, rusia, sudan, suriah, venezuela, dan zimbabwe menentang resolusi ini. Terdapat 58 negara yang abstain, dan 24 negara lainnya tidak hadir dalam pemungutan suara.
    Resolusi ini diajukan oleh kanada, kosta rika, jerman, lituania, polandia, dan ukraina. Penetapan resolusi ini didahului oleh upaya di dewan keamanan perserikatan bangsa-bangsa yang gagal karena diveto rusia.(https://id.wikipedia.org/wiki/Resolusi_68/262_Majelis_Umum_Perserikatan_Bangsa-Bangsa?fbclid=IwAR0hLNug4iCJerW7HFtUn0oW57HqB2zfSKwcY0iklSpxKW_Cro19HuI7o10)

    KEPUTUSAN DARURAT:
    RESOLUSI ES-10/L.22 MAJELIS UMUM PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA
    Resolusi ES 10/L.22 Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa adalah resolusi rapat darurat yang menyatakan status Yerusalem sebagai ibu kota Israel “tidak berlaku”.[1] Resolusi ini diadopsi dalam rapat pleno ke-37 sidang istimewa darurat ke-10 Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa[2] pada sidang ke-72 Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa tanggal 21 Desember 2017. Draf resolusi ini diajukan oleh Yaman dan Turki.[3] Meski ditolak keras oleh Amerika Serikat, resolusi ini disahkan dengan 128 suara mendukung, 9 menentang, 35 abstain, dan 21 tidak hadir.

    Pada tanggal 6 Desember 2017, Presiden AS Donald Trump mengatakan bahwa ia akan mengakui status Yerusalem sebagai ibu kota berdaulat Israel.[1] Ini bertentangan dengan resolusi-resolusi MU PBB sebelumnya serta norma-norma internasional yang berlaku bahwa tidak satupun negara yang mengakui Yerusalem sebagai ibu kota negara atau membangun kedutaan besar di sana. Tindakan ini diprotes oleh negara-negara dan masyarakat di berbagai belahan dunia.

    Usai gagalnya resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang pembatalan pengakuan Yerusalem sebagai ibu kota negara oleh negara manapun tiga hari sebelumnya karena diveto A.S., Duta Besar Palestina untuk PBB Riyad Mansour mengatakan bahwa Majelis Umum akan mengadakan pemungutan suara untuk draf resolusi penarikan deklarasi Amerika Serikat. Ia menggunakan Resolusi 377 (disebut juga resolusi “Bersatu untuk Perdamaian”) untuk membatalkan veto. Resolusi ini menyatakan bahwa Majelis Umum dapat menyelenggarakan Sidang Istimewa Darurat untuk membahas suatu persoalan “dengan tujuan memberi saran bersama yang layak kepada negara-negara anggota” apabila Dewan Keamanan tidak mampu bertindak. (https://id.wikipedia.org/wiki/Resolusi_ES-10/L.22_Majelis_Umum_Perserikatan_Bangsa-Bangsa?fbclid=IwAR1kIUqDc9kS2HpGJwUBTDi7HzG_hr8SJlOh1dh4u4CKNciDx6L2nE_dWo0)

    Resolusi Majelis Umum PBB sifatnya mengikat semua negara anggota PBB secara kelembagaan (internal), namun tidak mengikat semua negara anggota PBB dalam bentuk kedaulatan negara (eksternal), sehingga sebuah resolusi ekternal yang menjadi keputusan majelis umum PBB terhadap suatu kasus internasional yang dianggap kontroversial atau bertentangan dengan prinsip moral dan keadilan, yang atas usulan, atau advokasi negara-negara anggota PBB, hal itu dapat ditinjau berdasarkan prosedur kelembagaan.

    Dari tiga konteks Resolusi diatas menjelaskan tiga bentuk kategori resolusi Majelis Umum PBB yang sifatnya sbb:
    “Bahwa sebuah resolusi majelis umum PBB dapat dicabut, demikian juga sebuah keputusan dari hasil referendum dapat dibatalkan, berprinsip pada norma dan keadilan, serta dalam keadaan darurat suatu resolusi dapat dibuat”.

    Kekuatan hukum internasional yang tertinggi berada pada keputusan Dewan Keamanan PBB, sehingga sebuah resolusi yang diadopsi (dibuat) oleh Dewan Keamanan PBB, mempunyai kekuatan hukum internasional yang kuat, mengikat serta memaksa para pihak yang menjadi bagian dari subjek hukum internasional dalam suatu sengketa internasional guna kepatuhan penyelesaian melalui jalan damai. Resolusi Dewan Keamanan PBB dibuat atas pertimbangan perdamaian dan keamanan internasional berdasarkan piagam dasar PBB serta Kejahatan Kemanusiaan (pelanggaran HAM Berat dan kejahatan Genosida).

    Kita sering mendengar pernyataan dari berbagai kalangan di Indonesia yang pada umumnya menyatakan, masalah West Papua sudah final, tidak bisa dialakukan referendum ulang, dan resolusi MU-PBB 2504 menjadi dasar legitimasi West Papua di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dari berbagai pernyataan itu penulis mau katakan demikian, bahwa West Papua hingga saat ini bermasalah di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, indikatornya jelas telah terjadi kejahatan terhadap kemanusiaan termasuk dalam kategori genosida terhadap Pribumi Papua, seiring dengan itu Suara Pribumi Papua semakin nyaring dan jelas kedengarannya, menyuarakan tuntutan “Papua Merdeka”.

    Kejahatan Kemanusiaan dan Tuntutan Kemerdekaan West Papua ibarat dua sisi mata uang logam yang tidak bisa dipisahkan dan betolak belakang, sehingga akan menjadi alat tawar (bargaining) dalam politik internasional tentang hak penentuan nasib sendiri bangsa West Papua, karena konflik wilayah West Papua telah menjadi bagian dari subjek hukum internasional. Oleh karena itu kenyaringan suara kemerdekaan West Papua yang diikuti kasus kajahatan kemanusiaan di West Papua, akan mempengaruhi legalitas Wilayah Geogafis West Papua di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, sehingga akan memunculkan pertanyaan yang mendasar tentang “Kepatuhan Pemerintah Republik Indonesia terhadap Norma dan Keadilan” dalam Pelaksanaan PEPERA tahun 1969, wasalam.(Kgr)

    Penulis adalah Aktivis Pemerhati Masalah West Papua.


    Ket. Gambar: Ilustrasi Majelis Umum PBB

    WestPapua #HumanitarianCrisis #HumanRightsAbuses #UnitedNation #FreeWestPapua #Referendum

  • Presiden Sementara: Pemungutan suara di PBB Indonesia memperlihatkan kemunafikannya atas West Papua

    Statement | 25 Mei 2021

    Pemerintah Indonesia berbicara tentang Myanmar dan Palestina sambil memberikan suara untuk mengabaikan genosida dan pembersihan etnis di PBB. Kami bersyukur para pemimpin Indonesia menunjukkan solidaritasPenderitaan rakyat Palestina dan Myanmar, tetapi Indonesia berusaha mati-matian untuk menutupi kejahatannya sendiri terhadap kemanusiaan di West Papua.

    Pada Sidang Umum PBB minggu lalu, Indonesia menentang mayoritas komunitas internasional dan bergabung dengan Korea Utara, Rusia dan China dalam menolak resolusi tentang ‘pencegahan genosida, kejahatan perang, pembersihan etnis dan kejahatan terhadap kemanusiaan’. Sementara Menteri Luar Negeri Indonesia mengklaim ‘berjuang untuk kemanusiaan’, kenyataannya sebaliknya: mereka melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan di West Papua dan mencoba untuk memastikan impunitas abadi mereka diPBB.

    Para pemimpin Indonesia sering berbicara tentang hak untuk menentukan nasib sendiri dan hak asasi manusia, dan pembukaan konstitusi Indonesia menyerukan ‘segala bentuk pendudukan asing’ ‘harus dihapus dari muka bumi’. Tapi di West Papua, pemerintah Indonesia melakukan pelanggaran yang diklaim ditentangnya. Penolakan mereka untuk menerima resolusi PBB jelas merupakan konsekuensi dari ‘pertanyaan Papua’, seperti yang dikatakan oleh Jakarta Post.

    Bukti sekarang berlimpah bahwa Indonesia telah melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan, kolonialisme, pembersihan etnis dan genosida di West Papua. Pada minggu yang sama dengan pemungutan suara PBB, militer Indonesia – termasuk ‘pasukan Setan’ yang terlibat dalam genosida di Timor Leste – menyerang desa-desa di Papua, membunuh perempuan dan anak-anak yang tidak bersenjata dan menambah lebih dari 50.000 orang terlantar sejak Desember 2018. Tujuan yang disebutkan dari operasinya adalah untuk ‘menghapus’ semua perlawanan terhadap kolonialisme Indonesia. Saat Anda menggusur penduduk desa, mereka kehilangan tempat berburu, rumah, dan milik mereka

    Seluruh cara hidup. Ini adalah pembersihan etnis sistematis, bagian dari strategi jangka panjang pendudukan Jakarta untuk mengambil alih tanah kami dan mengisinya dengan pemukim Indonesia dan perusahaan multi-nasional. Inilah maksudnya, dan kita membutuhkan tindakan sebelum terlambat.

    Setelah mendeklarasikan perlawanan terhadap ‘terorisme’ pendudukan ilegal, Indonesia meluncurkan celah besar-besaranTurun. Victor Yeimo, salah satu pemimpin perlawanan damai kami yang paling populer, telah ditangkap. Frans Wasini, anggota Departemen Politik ULMWP, juga ditangkap pekan lalu. Di kota, mahasiswa Universitas Cenderawasih diseret keluar dari asramanya [Rusunawa Uncen] oleh polisi dan militer dan dijadikan tuna wisma. Siapapun yang berbicara tentang West Papua, pelanggaran hak asasi manusia dan genosida, sekarang berisiko ditangkap, disiksa atau dibunuh. Victor Yeimo, Frans Wasini, dan semua yang ditangkap oleh rezim kolonial Indonesia harus segera dibebaskan.

    Mengirim lebih dari 21.000 tentara, membunuh para pemimpin agama, menduduki sekolah, menembak mati anak-anak – iniAdalah terorisme negara, kejahatan terhadap rakyat West Papua. Pemimpin Indonesia tahu apa yang mereka lakukan. Mereka telah mengirim TNI, polisi, unit ‘kontra-terorisme’, ‘pasukan Setan’, dan dinas intelijen ke West Papua. Unit-unit ini bersaing satu sama lain untuk melihat siapa yang dapat membunuh rakyat saya dengan lebih efisien, siapa yang dapat mencuri tanah kami dengan lebih aktif. Mereka yang paling mampu memusnahkan populasi kita akan mendapat keuntunganDalam peringkat. Orang-orang saya telah diubah menjadi objek permainan kerajaan Jakarta.

    Perkembangan ini menunjukkan dengan lebih jelas perlunya Indonesia berhenti menghalangi kunjungan Komisioner Tinggi Hak Asasi Manusia PBB. Delapan puluh empat negara telah menyerukan kunjungan tersebut. Tidak ada lagi penundaan.

    Pasukan harus ditarik, dan PBB diizinkan masuk sebelum bencana melanda.

    Benny Wenda
    Interim Presiden
    Pemerintahan Sementara ULMWP
    (https://www.ulmwp.org/interim-president-indonesias-un…)

    ULMWP #WestPapua #UNGA #HumanRight #UNHCR #FreeWestPapua #Referendum #FreeVictorYeimo #FreeFransWasini #ReferendumYes

  • PBB Setujui Hak Menentukan Nasib Sendiri Sahara Barat

    Penulis: Eben E. Siadari 14:33 WIB | Selasa, 11 Oktober 2016

    NEW YORK, SATUHARAPAN.COM – Komite Politik dan Dekolonisasi Majelis Umum Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) atau yang lebih dikenal sebagai Komite Keempat, kemarin (10/10) menerima resolusi yang menegaskan kembali hak rakyat Saharawi untuk menentukan nasib sendiri.

    Resolusi, yang diadopsi pada akhir dari beberapa hari debat di PBB tentang dekolonisasi, menegaskan dukungan Majelis Umum PBB terhadap proses perundingan yang diprakarsai oleh Dewan Keamanan PBB untuk solusi politik yang adil, langgeng dan dapat diterima bersama serta memastikan hak rakyat Sahara Barat untuk menentukan nasib sendiri.

    Resolusi yang diajukan oleh 25 negara, termasuk Aljazair, itu menyambut upaya yang dilakukan oleh Sekjen PBB dan utusan pribadinya untuk Sahara Barat, Christopher Ross, untuk mengadakan kembali perundingan yang ditangguhkan pada tahun 2012.

    Sebagaimana dilaporkan oleh Sahara Press Service, resolusi yang diadopsi dengan konsensus itu mengundang pihak-pihak yang terlibat dalam konflik (Front Polisario dan Maroko) dan negara-negara di wilayah itu untuk bekerja sama penuh dengan utusan PBB.

    Resolusi tersebut telah mengambil ide-ide PBB yang jelas dan besar tentang penyelesaian konflik Sahara Barat, yang terdiri dari dukungan terhadap peluncuran kembali perundingan antara Front Polisario dan Maroko, serta upaya mediasi yang dilakukan oleh Christopher Ross.

    Delegasi dari negara-negara yang mengambil bagian dalam debat Komite Keempat tentang dekolonisasi, menyatakan dukungan besar untuk hak orang Saharawi dalam menentukan nasib sendiri. Mereka menyerukan dimulainya kembali perundingan antara pihak-pihak yang terlibat dalam konflik.

    Editor : Eben E. Siadari

  • LIMA: Indonesia Hanya Beretorika Jawab Isu Papua

    JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Direktur Lingkar Madani Indonesia Ray Rangkuti mengatakan perwakilan Indonesia di sidang PBB hanya beretorika dalam pidato balasan terhadap tudingan pelanggaran Hak Azasi Manusia (HAM) yang disampaikan tujuh negara pasifik.

    “Pemerintah Indonesia tidak menjelaskan secara terperinci karena Indonesia hanya menyampaikan bahwa telah terjadi perbaikan aturan dan konvensi HAM secara heroik,” kata dia di Grha Oikoumene, Jakarta pada hari Rabu (5/10).

    Menurut dia, pemerintah Indonesia harusnya menjelaskan sejauh apa kebenaraan atau ungkapan dari tujuh pimpinan negara Pasifik mengenai persoalaan di Papua.

    “Kalau di Papua dikatakan 50 tahun belakangan melakukan pelanggaran HAM maka perwakilan Indonesia harus menjelaskan dengan menjawab pertanyaan dari tujuh negara tersebut artinya data harus dijawab dengan data,” kata dia

    Sebelumnya, Anggota delegasi Indonesia di Perserikatan Bangsa-bangsa, Nara Masista Rakhmatia, mendapat perhatian dan simpati di dalam negeri atas langkahnya memberikan respons terhadap diangkatnya isu Papua oleh enam negara anggota PBB di Sidang Umum ke-71 PBB di New York, pekan lalu.

    Diplomat muda jebolan Sekolah Departemen Luar Negeri dan lulus pada tahun 2008 itu menyampaikan sikap Indonesia yang membantah secara kategoris tuduhan-tuduhan yang dialamatkan oleh enam kepala pemerintahan dari enam negara Pasifik, yaitu Solomon Islands, Vanuatu, Nauru, Marshall Islands, Tuvalu dan Tonga.

    Editor : Eben E. Siadari

  • ULMWP : Jawaban defensif Indonesia itu sudah biasa

    Benny Wenda saat memberikan noken Bintang Kejora kepada perwakilan pemerintah Marshall Islands saat pembentukan Koalisi Pasifik untuk Papua Barat di Honiara, Juli 2016 - Jubi/Victor Mambor
    Benny Wenda saat memberikan noken Bintang Kejora kepada perwakilan pemerintah Marshall Islands saat pembentukan Koalisi Pasifik untuk Papua Barat di Honiara, Juli 2016 – Jubi/Victor Mambor

    Jayapura, Jubi – Juru bicara United Liberation Movement for West Papua (ULMWP), Benny Wenda mengatakan jawaban Indonesia atas dugaan pelanggaran Hak Asasi Manusia yang terjadi di Papua, yang disampaikan oleh beberapa negara Pasifik dalam sidang majelis umum PBB sebagai jawaban khas Indonesia.

    “Jawaban defensif Indonesia itu sudah biasa. Itu khas Jakarta, setiap dukungan internasional pada hak-hak orang Papua dimunculkan di forum internasional,” kata Wenda kepada Jubi, Sabtu (1/10/2016).

    Lanjutnya, di London pun, kalau ada pertemuan tentang Papua yang diselenggarakan di parlemen atau di bagian lain dunia ini, Jakarta selalu memberikan respon yang khas defensif itu.

    “Tapi bagi kami sekarang, waktunya telah datang bagi pemerintah Indonesia untuk membuka akses ke Papua Barat,” katanya.

    Indonesia dalam sidang majelis umum PBB beberapa hari lalu merespon tudingan negara-negara Pasifik dengan mengatakan tudingan tersebut bermotif politik, tidak mengerti persoalan Papua dan mencampuri urusan dalam negeri Indonesia. Kepulauan Solomon, Nauru, Vanuatu, Tuvalu, Tonga dan Kepulauan Marshall menggunakan Sidang Majelis Umum PBB untuk mengalihkan perhatian dunia terhadap masalah sosial dan politik di dalam negerinya.

    Indonesia mengatakan pernyataan enam kepala negara itu didesain untuk mendukung kelompok separatis yang selalu berusaha menciptakan rasa tidak aman dan menyebarkan terror di Papua. Pernyataan ini sangat disesalkan dan berbahaya serta dilakukan oleh negara-negara yang menyalahgunakan posisi PBB, termasuk Sidang Umum Tahunan.

    Namun Komisioner Komisi Nasional HAM (Komnas HAM) Natalius Pigai, terkait persoalan dugaan pelanggaran HAM di Papua mengatakan Presiden Indonesia, Jokowi hanya memberi janji untuk menyelesaikan kasus HAM di Papua tanpa ada kelanjutannya.

    ”Presiden tidak punya grand design dan time frame penyelesaian kasus HAM di Papua, sehingga tidak ada proses yang berjalan,” kata dia.

    Ia pun mengingatkan Indonesia agar tidak meremehkan negara-negara Pasifik yang mengangkat isu HAM Papua di tingkat internasional. (*)

  • Pemuda Indonesia : Respon Indonesia di PBB itu kebohongan yang harus dipertanyakan

    Jakarta, Jubi – Nara Masista Rakhmatia, diplomat muda Indonesia belakangan naik pamor karena respon pernyataanya dianggap ‘menampar’ para pemimpin Pasifik yang sedang mendorong penyelesaian HAM Papua ke tingkat regional dan PBB di Sidang PBB baru lalu.

    Netizen Indonesia di media sosial gempar. Media-media cetak dan online nasional ikut bersuara. Seketika Nara menjadi keributan di dunia maya, yang sebetulnya telat dua hari setelah responnya terhadap pernyataan 7 pemerintah negara-negara Pasifik di sesi debat Sidang Umum PBB usai.

    “Mendengar jawaban Nara di forum PBB itu saya teringat peristiwa tahun 1995 yang ramai diberitakan pers, ketika rombongan aksi solidaritas pro-referendum Timor Leste menyambut kedatangan Diktator Suharto di Dresden, Jerman,” demikian kata Windu Jusuf, dosen muda alumnus HI UGM yang sekarang mengajar di Jurusan Film Universitas Bina Nusantara, kepada Jubi di Jakarta, Jumat (30/9/2016).

    Menurut Windu, menteri luar negeri saat itu, Ali Alatas, mengacungkan jari tengahnya kepada para pemrotes dari balik jendela bis. “Dua-duanya sikap yang pongah, nekat, dan memalukan. Pesan yang sampai ke publik dunia adalah: ‘Kami tahu sejarah tidak berada di sisi kami, tapi setidaknya kami bisa berpura-pura menggigit.”

    Lalu, lanjutnya, empat tahun kemudian (1999) Timor Leste terbebas dari okupasi Indonesia. “Jadi empat tahun lagi, wahai Tuan dan Nyonya turis Jakarta, bersiaplah mengurus visa tiap kali Anda mau menghabiskan akhir pekan di Raja Ampat,” kata Windu dengan nada menyindir kelas menengah Jakarta.

    Karir Nara, diplomat muda ini memang tergolong cepat. Menurut beritagar.id Nara yang jebolan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) UI itu pernah ditempatkan di Direktorat Kerjasama Antar Kawasan pada Direktorat Jenderal Urusan Asia Pasifik dan Afrika. Dia pernah bertugas di Organisasi Kerjasama Ekonomi Asia Pasific (APEC), lalu ditempatkan sebagai sebagai juru bicara Indonesia di Forum PBB dengan jabatan Sekretaris Dua Perwakilan Tetap RI di PBB.

    Sebagai sesama Alumni FISIP UI, Ridho yang juga aktif di pergerakan politif progresif di Jakarta, menyebut apa yang dikatakan Nara di Sidang PBB itu sebagai bentuk arogansi dalam diplomasi.

    “Arogansi ini terjadi dalam dua arah, ke luar dan ke dalam. Arogansi ke luar karena menganggap remeh permintaan bersahabat dari negara-negara Pasifik untuk penyelesaian masalah HAM Papua secara manusiawi dan bermartabat , dan arogansi ke dalam karena mengabaikan fakta keras tentang masifnya pelanggaran HAM yang dilakukan Negara Indonesia terhadap Papua,” ujar Ridho.

    Dengan nada kesal, Ridho menekankan bahwa arogansi tersebut bentuk kekuasaan Indonesia yang menjijikkan. “Dan sayangnya, si diplomat muda menjadi representasi dari bentuk kekuasaan seperti ini,” kata dia.

    Sebagai sesama orang muda, Ridho tidak habis pikir mental generasi muda di dalam kekuasaan negara. “Apakah ini artinya generasi muda kita sudah sebegitu korupnya dengan kekuasaan yang menindas?” kata dia.

    Atas nama kedaulatan

    Berbeda dengan Hikmawan Saefullah, yang bisa memahami posisi dan tindakan yang dilakukan Nara, karena itulah tugasnya sebagai diplomat.

    Namun dosen muda Prodi HI Fakultas FISIP Universitas Padjajaran itu mengatakan pernyataan balasan Nara bahwa “komitmen Indonesia terhadap HAM tak perlu dipertanyakan” di sidang Umum PBB itu sebagai kebohongan yang harus dipertanyakan.

    “Sudah rahasia umum Indonesia punya PR besar dalam menyelesaikan persoalan-persoalan HAM di dalam negeri: pembantaian ratus ribuan hingga jutaan rakyat Indonesia di 1965-66 pasca G30S, ribuan di Aceh pada masa pendudukan militer (1989-98), puluhan pada peristiwa Tanjung Priok (1984), puluhan hingga ratusan di Talangsari (1989), penghilangan aktivis reformasi (1997-98), pembantaian warga keturunan Tiong Hoa (Mei 1998), Maluku (1999), dan Papua dari 1960-an hingga sekarang. Aktivis HAM Munir dibunuh kan karena mengingatkan pemerintah akan PR besar ini,” ujar dosen yang juga kandidat PhD Politik, di Asia Research Centre, Murdoch University, Australia.

    Secara khusus Hikmawan menekankan agar pemerintah Indonesia tidak perlu berlindung di dalam dalih kedaulatan. “Dari perspektif Hubungan Internasional, apa yang dilakukan para diplomat dari negara-negara Pasifik sebenarnya sih sah-sah saja, karena komunitas internasional berhak mempertanyakan negara anggotanya ketika mengetahui rakyat negara bersangkutan mendapatkan perlakuan yang tidak adil,” kata dia.

    Norma ini, lanjutnya, sudah diterima oleh komunitas internasional sejak pasca-Perang Dingin.

    “Dalam istilah Hubungan Internasional dan Hukum Internasional, ada konsep “Responsibility to Protect” (R2P), dimana kedaulatan negara bisa ‘dianulir’ jika negara yang bersangkutan gagal melindungi warga negaranya dari perlakuan tidak adil atau teraniaya (genocide, ethnic cleansing, dan kekerasan lainnya), terutama setelah proses diplomasi dan kerjasama dinilai gagal,” ujar Hikmawan.

    Dalam situasi ini, komunitas internasional menjadi berhak melakukan langkah kolektif berupa intervensi untuk melindungi warga yang teraniaya tersebut atau “intervensi kemanusiaan”, kata Himawan.

    Dengan alasan yang berbeda, Iqra Anugerah, mahasiswa PhD di Departemen Ilmu Politik, Northern Illinois University, mengatakan bahwa klaim kemutlakan kedaulatan negara atas Papua gugur dengan sendirinya ketika terjadi stigma dan pengingkaran atas pelanggaran HAM di Papua.

    “Stigma terhadap upaya-upaya pengorganisasian politik yang sah oleh rakyat Papua untuk menentukan nasibnya, dan keengganan mengakui kekerasan negara yang berkepanjangan di Papua, membuat klaim kedaulatan negara tersebut gugur dengan sendirinya,” katanya melalui pesan singkat kepada Jubi.

    Baik Himawan maupun Indra menganjurkan pemerintah untuk tidak menanggap remeh masalah HAM Papua.

    “Pemerintah Indonesia jangan anggap remeh isu HAM. Sederhananya, jika pemerintah ingin melindungi kedaulatan Indonesia dari intervensi asing, maka bereskan tugas-tugas pelanggaran HAM di dalam negeri supaya nggak ada alasan “direcokin tetangga”, ujar Hikmawan.

    Dia juga menyarankan agar pemerintah justru mengajak dialog rakyat yang tertindas, “bukan justru mengkriminalisasi mereka dengan berlindung dibalik jubah nasionalisme yang justru menjustifikasi kekerasan berlanjut. Mau sampai kapan kita terus menutup mata dan berpura-pura tidak tahu?” katanya.

    Sementara Iqra memandang keributan terkait tanggapan pemerintah Indonesia ini ada segi positifnya. “Setidaknya kericuhan ini bisa memantik perdebatan yang lebih luas mengenai persoalan Papua, bukan hanya di dunia internasional tetapi juga di Indonesia,” ujar alumni HI Ritsumeikan Asia Pasific University Jepang ini.(*)

  • PNG : Masalah HAM Papua harus ditangani oleh PBB atau MSG

    Port Moresby, Jubi – Pemerintah Papua Nugini (PNG) menegaskan kembali sikap mereka terhadap isu Papua yang belakangan ini semakin menguat di forum regional maupun internasional.

    “Setiap masalah Hak Asasi Manusia (HAM) di Papua harus ditangani oleh lembaga-lembaga seperti PBB atau MSG,” kata Menteri Luar Negeri dan Imigrasi PNG Rimbink Pato kepada wartawan di Port Moresby.

    Lanjut Pato, posisi PNG terhadap masalah Papua selalu jelas. PNG tetap menganggap Papua adalah bagian integral dari Indonesia dan mengenai dugaan pelanggaran HAM, ada lembaga yang menanganinya.

    “Papua Nugini selalu jelas pada isu Papua. Apa yang sangat jelas adalah masalah hak asasi manusia. Jika ada dugaan, dan memang ada, itu adalah hal-hal yang dapat dilihat oleh institusi di seluruh dunia. Ada sejumlah lembaga yang berhubungan dengan isu-isu ini seperti MSG dan PBB,” kata Pato.

    Namun soal penentuan nasib sendiri, posisi PNG sangat jelas bahwa Papua tetap merupakan bagian integral dari Indonesia.

    “PNG memiliki hubungan yang kuat dengan Indonesia dan memiliki berbagai macam perjanjian dan kerjasama,” jelas Pato.

    Pada Sidang Umum PBB baru-baru ini di New York, enam negara pulau Pasifik – Kepulauan Solomon, Vanuatu, Nauru, Kepulauan Marshall, Tuvalu dan Tonga – menyatakan keprihatinan atas apa yang terjadi di Papua

    Perdana Menteri Kepulauan Solomon, Manasye Sogavare mengatakan dugaan pelanggaran HAM di Papua ini berkaitan dengan dorongan dan keinginan rakyat Papua memperjuangkan kemerdekaannya. (*)

  • Jika tuduhan Pasifik keliru, Indonesia diminta menerima kunjungan Pelapor Khusus PBB ke Papua

    Jayapura, Jubi – Kepulauan Solomon meminta Indonesia untuk membuktikan tuduhan negara-negara Pasifik yang mengutip pelanggaran hak asasi manusia di Papua Barat dalam debat majelis mum PBB minggu lalu.

    Sebelumnya pemimpin Pasifik telah menyatakan keprihatinan mereka atas pelanggaran Hak Asasi Manusia di Papua Barat dalam sidang Majelis Umum PBB.

    Indonesia merespon dengan menuduh para pemimpin Pasifik campur tangan dalam urusan dalam negeri. Dikatakan para pemimpin Pasifik bermotif politik dan dirancang untuk mendukung kelompok-kelompok separatis yang telah menimbulkan kekacauan publik dan melakukan serangan teroris.

    Utusan Khusus Kepulauan Solomon untuk Papua Barat Rex Horoi mengatakan kepada Majelis Umum PBB bahwa Indonesia harus mengijinkan Pelapor Khusus PBB ke provinsi tersebut jika ingin membuktikan bahwa kekhawatiran Pacific tidak benar.

    Horoi mengatakan masalah ini membutuhkan perhatian bersama.

    “Kami menyadari bahwa baik kita, atau Indonesia tidak bisa menyelesaikan masalah ini sendiri. Kami berada dalam posisi membawa masalah ini menjadi perhatian dari PBB dan perlu dilakukan segera karena ada bank nyawa yang hilang dengan semua impunitas,”

    kata Rex Horoi dalam jawabannya atas resano pemerintah Indonesia. (*)

  • Bertambahnya Satu Negara, Kini Menjadi 7 Negara yang Angkat isu Papua di PBB

    Bertambahnya Satu Negara, kini Menjadi 7 Negara yang Angkat isu Papua di PBB
    Caleb Otto, wakil tetap dari Republik Palau untuk PBB saat penyampaian di sesi debat umum PBB, Senin 26/09/2016. Sumber: http://www.tabloid-wani.com/2016/09/bertambahnya-satu-negara-kini-menjadi-7-negara-yang-angkat-isu-papua-di-pbb.html

    New York, Tabloid-WANI — Diangkatnya isu pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Indonesia di Papua tengah menjadi perhatian dunia Internasional. Beberapa hari yang lalu dalam sidang Mejelis Umun Perserikatan Bangsa-Bangsa yang berlangsung di New York Amerika Serikat pada tanggal 20 s/d 26 September 2016, ada enam negara dari Pasifik yang tergabung dalam Koalisi Pasifik untuk West Papua (PCWP) yaitu: Kepulauan Solomon, Republik Vanuatu, Republik Kepulauan Marshall, Republik Nauru, Tuvalu dan Kerajaan Tonga telah mengangkat isu Pelanggaran HAM yang bertahun-tahun lamanya dilakukan oleh Indonesia di bumi Cenderawasi Papua, dan ditutupi Indonesia sejak Papua dianeksasi ke dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) pada 50 tahun silam.

    Dalam pidato dari enam negara diatas, secara garis mereka minta PBB bersama Indonesia untuk segerah selidiki kasus Pelanggaran HAM di Papua dan hak penentuan nasib sendiri untuk Papua.

    Ketika enam dari koalisi (PCWP) menyoroti isu pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di Papua, satu negara yang juga dari kawasan wilayah Pasifik yang teletak di 200 km sebelah utara wilayah provinsi Papua Barat yakni Republik Palau juga telah mengangkat isu Papua di sidang tahunan PBB ini.

    Republik Palau mengangkat isu Papua pada sesi Debat Umum PBB tanggal (26/09) oleh Caleb Otto. Dalam penyampaian Caleb Otto yang merupakan wakil tetap Republik Palau untuk PBB mengatakan

    “Kami bergabung dengan yang lain untuk mengadvokasi sebuah resolusi terhadap masalah-masalah di West Papua melalui dialog mendalam dan konstruktif” papar Caleb Otto di PBB. Berikut ini video Caleb Otto terkait Papua di sesi debat umum PBB

    Berikut ini video Caleb Otto terkait Papua di sesi debat umum PBB

    Sumber: http://www.tabloid-wani.com/2016/09/bertambahnya-satu-negara-kini-menjadi-7-negara-yang-angkat-isu-papua-di-pbb.html

Are you sure want to unlock this post?
Unlock left : 0
Are you sure want to cancel subscription?