Tag: referendum

  • Tolak Transmigrasi dan DOB, Mahasiswa Minta Referendum

    Ratusan Mahasiswa Papua dari berbagai Universitas di Kota Jayapura, menggelar aksi demo damai di Kantor DPR Papua, Senin (17/11) kemarin.JAYAPURA – Ratusan mahasiswa Papua yang tergabung dari berbagai universitas di Kota Jayapura menduduki halaman Kantor DPR Papua, Senin (17/11) siang, untuk menolak secara tegas program transmigrasi dan pemekaran Daerah Otonomi Baru (DOB) di Papua dan Papua Barat.

    Kedatangan mahasiswa yang dikoordinator Pontius Mogodoman membawa sejumlah spanduk dan pamflet, bertujuan untuk menyampaikan aspirasi kepada anggota DPR Papua terkait penolakan program Jokowi untuk Papua.

    “Saat ini yang dibutuhkan Papua bukan penambahan penduduk dan pejabat baru, tetapi pemerintahan Jokowi harus fokus menyelesaikan masalah dasar persoalan Papua. Jika orang transmigrasi dari Jawa didatangkan ke Papua akan menambah masalah baru. Sebab akan mengkriminalisasi orang Papua di Tanahnya sendiri. Jadi kami tegas menolak transmigrasi,”

    kata Pontius Mogodoman selaku Koordinator aksi demo.

    Dalam aksi demo damai mereka melakukan longmarch dari Ekspo, Waena, Abepura menuju gedung DPRP dengan membawa sejumlah sejumlah pamflet, dan spanduk diantaranya bertuliskan “Transmigrasi Adalah Pelanggaran HAM”. Ada juga tulisan “Orang Papua Tolak Trans” dan “Stop Transmigrasi dan DOB di Papua”.

    Pimpinan fakultas teknik, Arius Yahuli menyatakan, kebijakan diatas kebijakan yang dilakukan pemerintah pusat terhadap orang Papua dalam hal ini otsus plus yang sudah ditolak, maka kebijakan pemerintah pusat mendatangkan transmigrasi ke Papua juga ditolak secara tegas.

    “Apakah Papua merupakan daerah transmigrasi?. Hari ini mahasiswa bersama rakyat Papua datang semua menolak kebijakan pemerintah pusat di Papua. Solusinya kami hanya meminta referendum,”

    katanya disambut meriah para pendukung demo.

    Arius menandaskan, hari ini (kemarin-red) sudah jelas kenapa ditolak otsus plus, tanpa permintaan dari Papua memasukkan transmigrasi di tanah Papua juga ditolak. “Hari ini Papua secara tegas menolak transmigrasi dan solusi lainya hanya referendum,” katanya lagi.

    Untuk itu, mahasiswa Papua datang dihadapan anggota DPR Papua untuk meminta dan memohon kepada anggota dewan yang dipilih rakyat untuk mengeluarkan surat kebijakan program transmigrasi di tanah Papua sehingga orang Papua bebas berkarya di tanah ini bukan dikuasai oleh orang luar Papua.

    “Kami tidak mau ada perang, kami juga minta kepada aparat keamanan sebagai perpanjangan tangan untuk menyampaikan bahwa Pemerintah Pusat menolak Otsus Plus dan kali ini Papua menolak Transmigrasi dan meminta untuk referendum,”

    tukas Arius.

    Arius kembali menegaskan, Gubernur Provinsi Papua secara tegas telah menolak transmigrasi di tanah Papua dan kali meminta penjelasan dan sikap dari anggota DPR Papua. Ditempat yang sama, Presiden Mahasiswa Umel Mandiri Yohanes Magai dalam orasinya mengatakan, pihaknya menolak program transmigrasi karena akan semakin membuat orang asli Papua tersisih sehingga meminta meminta kepada anggota DPR Papua agar dalam sidang paripurna perdana periode 2014-2019 hal pertama yang harus dibahas mengenai kependudukan.

    “Dalam Perdasus nomor satu tahun 2008 disitu dibahas masalah kependudukan tapi itu tidak dijalankan. Yang perlu dibahas dalam sidang pertama ada harus ada Perdasus kependudukan yang membatasi orang dari luar masuk ke Papua,”

    kata Yohanes Magai.

    Yohanes menyatakan, mahasiswa mempertanyakan kinerja DPR Papua selama ini terkait banyaknya transmigrasi di tanah Papua dengan menggunakan jasa Kapal Putih dan Pesawat terbang.

    “Harusnya hal seperti ini diperjuangkan oleh anggota parlemen Papua periode lalu. Perlu ada regulasi. Orang-orang yang dikirim ke Papua bukan orang-orang bodoh. Tapi orang-orang pintar. Kami minta DPR Papua ikut menolak ini. Kalian ini adalah putra/putri asli Papua terbaik. Harapan kami ada di lembaga terhormat ini,”

    harap dia.

    Hal yang sama disampaikan salah satu Koordinator Mahasiwa Umel Mandiri menyatakan, transmirgasi salah membuat virus di Papua. Pemerintah pusat sengaja mendatangkan orang luar Papua hanya membawa virus dan membunuh orang Papua sehingga secara sistematis orang Papua mati secara pelan-pelan di tanah ini.

    “Kami minta kepada DPRP Papua selaku perwakilan rakyat melihat secara jeli terkait program Transmigrasi di tanah Papua. DPRP merupakan lembaga tertinggi. Bagaimana bisa mengamankan daerah ini. Kita akan disingkirkan di tanah ini kalau dibiarkan. Nanti kami yang melayani dan kami yang jadi pesuruh, sehingga kami minta hentikan pembahasan transmigrasi di tanah papua ini,”

    tegasnya disambutnya meriah para pendemo.

    Usai orasi, salah satu dari mahasiswa perempuan membacakan pernyataan aspirasi dihadapan sejumlah anggota DPR Papua yang intinya, pertama, mahasiswa Papua dengan tegas menolak transimigrasi karena orang Papua belum siap.

    Kedua, transmigrasi hanya akan membuat orang Papua terpinggirkan dan meminta pemerintah atau DPR Papua agar menghentikan pemekaran, jangan mengatasnamakan rakyat. Selanjutnya, pernyataan sikap diserahkan ke perwakilan DPR Papua antara lain, Yunus Wonda, Eduard Kaiz, Emus Gwijangge, Yanni, Nason Utti dan Yakoba Lokbere.

    Wakil Ketua sementara DPR Papua, Eduar Kaize di hadapan mahasiswa berjanji akan menindaklanjuti aspirasi itu. “Kami akan sampaikan prosesnya secara resmi sampai dimana nanti proses itu. Saya juga pernah seperti kalian, turun jalan demo,” kata Eduar.

    Eduar juga meminta kepada mahasiswa untuk selalu mengingatkan atas aspirasi ini. “Kami akan perjuangkan terus dan kalau sudah ada hasil kami akan panggil untuk menyampaikan aspirasi ini,” ungkapnya.

    Pada kesempatan itu, juga anggota DPR Papua, Yunus Wonda mengatakan, pergumulan rakyat Papua adalah pergumulan DPR Papua sehingga tahu betul masalah di Papua. “Kebenaran tidak akan pernah ditutupi. Kami juga dengan tegas menolak transmigrasi. Kami akan surati pemerintah pusat agar tidak ada proses transmigrasi dan kami menolak semua kebijakan yang tidak menguntungkan orang Papua,” ungkapnya.

    Selain itu, pihaknya akan memperjuangkan agar tidak ada transmigrasi di atas tanah Papua. “Kami butuh dukungan dari semua rakyat Papua karena kami dipilih untuk mewakili rakyat Papua,” kata tegas Yunus Wonda.

    Yunus menandaskan, aspirasi mahasiswa yang disampaikan pada hari ini pihaknya menangis karena suatu saat Papua hilang di tanah ini.

    “Kami terus perjuangkan dan tidak ada cerita adanya Transmigrasi trans di tanah Papua. Kami akan mempertaruhkan segalanya. Semua sudah tidak ada lagi yang bisa diharapkan diatas tanah ini. Apa yang kami banggakan lagi,”

    katanya. Untuk itu, Yunus menyarankan kepada mahasiswa jika kembali ke daerah agar menjelaskan hal ini kepada masyarakat dan kepada orang tua tentang masalah transmigrasi dan masalah pemekaran supaya di mengerti.

    Sambung Yunus, semua kebijakan untuk Papua harus bisa mensejahterakan orang Papua. Kami sudah miskin jangan lagi kami tampung beban. Masa depan bukan ada di kami tapi di generasi Papua berikutnya. Senada disampaikan Anggota DPR Papua, Yakoba Lokbere menyampaikan, rasa bangga kepada mahasiswa karena perjuangan ini yang dilakukan sama apa yang diperjuangkan pemerintah dan teman-teman di DPR Papua. “Kami akan bawa aspirasi ini kepada Pemerintah RI untuk menjawab apa yang menjadi aspirasi masyarakat,” singkatnya. (Loy/don)

    Selasa, 18 November 2014 03:16, BinPa

  • Marinus: DPRP Harus Berani Usul Referendum ke Pusat

    JAYAPURA – Pengamat Hukum Internasional, Sosial Politik FISIP Uncen Jayapura, Marinus Yaung, mengatakan, DPRP harus mengambil sikap tegas terhadap Pemerintah Pusat tentang UU Otsus Plus.

    Menurutnya, DPRP harus berani menyampaikan kepada Pemerintah Pusat bahwa sudah waktunya digelar Referendum untuk membahas semua persoalan di atas Tanah Papua ini demi mewujudkan Tanah Papua yang damai dan sejahtera.

    Mengenai sikap protes Gubernur Papua dan Ketua DPRP yang akan meletakkan jabatan apabila Pemerintah Pusat tidak mengakomodir pasal-pasal kewenangan yang luas dalam konsep plus atau RUU Pemerintahan Papua tidak terlalu mendapat simpati dan dukungan dari rakyat Papua, karena Otsus Plus sudah dari awal ditolak oleh rakyat Papua.

    Rakyat Papua seluruhnya baik orang asli Papua dan non Papua serta kelompok-kelompok perlawanan terhadap pemerintah, semuanya sudah sepakat untuk menyelesaikan masalah Papua melalui dialog Damai Jakarta-Papua. Bahkan dalam rapat dengar pendapat MRP Juli 2013 lalu, seluruh perwakilan wilayah adat di Tanah Papua telah mengeluarkan keputusan untuk menyelesaikan masalah Papua melalui Dialog Papua yang damai dan bermartabat.

    “Hasil rapat dengan pendapat ini kemudian dipolitisir atau dikhianati oleh Ketua MRP dengan menyampaikan hasil pleno bahwa MRP dan rakyat Papua mendukung UU Otsus plus atau RUU Pemerintahan Papua,”

    ungkapnya kepada Bintang Papua di Kampus FISIP Uncen Jayapura di Waena, Jumat, (22/8).

    Kemudian, MRP dinilai mengkhianati orang Papua, maka kalau Pemerintah Pusat mengkhianati elit politik dan pejabat Papua melalui dicabutnya sebagian besar pasal yang mengatur kewenangan kekuasaan dalam UU Otsus plus, itu bagian dari hukum tabur tuai. Siapa menabur dusta, akan menuai dusta.

    Untuk itu, dirinya menyadarkan elit politik Papua dan Gubernur Papua bahwa sampai kapanpun elit politik di Jakarta tidak akan pernah bisa percaya, mengakui dan menghargai orang Papua, para elit politik dan pejabat Papua akan selalui dicurigai sebagai kaum separatis yang akan diragukan rasa nasionalisme. Pemerintah Pusat tidak akan memberikan kewenangan kekuasaan yang besar buat Papua, kalau ada aturan hukumnya, itu hanyalah hitam diatas putih. Tidak pernah diimplementasikan dengan baik dan komprehensif.

    Kasus UU Otsus Papua Tahun 2001 seharusnya sudah menjadi refleksi dan pembelajaran politik buat elit politik dan pejabat Papua untuk tidak lagi membuat kesalahan yang sama dengan percaya pada political will pemerintah pusat yang ‘Not Action Talk Only’. Sudah waktunya elit politik di Papua mengambil sikap yang tegas untuk berdiri di sisi orang Papua mendukung pilihan politik orang Papua untuk menyelesaikan masalah Papua, bukan berdiri mendukung pemerintah pusat dalam konsep Otsus Plus. Khusus buat DPRP Papua, sudah harus mengeluarkan sikap untuk mendorong dialog Damai-Jakarta-Papua atau menuntut digelarnya referendum di Papua dalam menyelesaikan konflik Papua atau kontroversi UU Otsus Papua.

    “Pilihan Dialog Damai Jakarta-Papua dan referendum sudah harus menjadi senjata politik di DPRP untuk menjadikannya sebagai bargaining politic dengan pemerintah pusat. Kalau ada sikap tegas DPRP seperti ini saya pastikan pemerintah pusat, khususnya Kemendagri dan Kemenkopolhukam akan berpikir ulang dengan kebijakan yang sudah mereka ambil terhadap draff ke-14 RUU Pemerintahan Papua,”

    tukasnya.

    Jika Pemerintah Pusat tidak mengindahkan aspirasi DPRP tentang dua cara penyelesaian masalah Papua ini. Maka jangan salahkan orang Papua kalau kemudian orang Papua menghendaki tuntutan politik yang jauh lebih besar yakni meminta kemerdekaan. Momen ini yang tepat untuk Gubernur Papua, Lukas Enembe dan DPRP menunjukan ketegasan dan ancaman yang serius terhadap pemerintah pusat. Bila sekadar ancaman mengundurkan diri dari jabatan, tidak sama sekali mendapat dukungan rakyat Papua. Kalau mengancam dengan menggelar dialog damai Papua-Jakarta (referendum) barulah Jakarta, akan serius mendengarnya.

    Hal lainnya yang disampaikan dirinya bahwa, harus diingat bahwa sebagaimana diketahui setelah Aceh redah dari kekerasan senjata, maka Papua satu-satunya wilayah Indonesia yang terus dijadikan ‘Killing Field’ untuk kepentingan politik, karena momentum agenda politik nasional tahun ini adalah Indonesia akan betul-betul membangun supremasi sipil pasca Pemilu Presiden 2014 dengan mengeluarkan militer dari kekuasaan sipil ataukah militer masih dibutuhkan dalam lingkaran kekuasaan sipil untuk menjamin stabilitas politik negara dan menjaga integrasi bangsa dari ancaman disintegrasi.

    “Saya membaca bahwa kehadiran pasangan Jokowi-JK, pasangan kombinasi kekuatan sipil sebagai calon kuat pemenangan pemilu presiden dan wakil presiden 2014 ini, merupakan ancaman serius bagi dominasi militer dari kekuasaan politik selama ini. Jadi sudah saatnya DPRP tegas kepada Pemerintah Pusat,”

    ujarnya.

    Baginya, dirinya melihat dirinya ragu bahwa sipil belum bisa dipercaya untuk mengelola kekuasaan politik, atau kekuasaan politik ditangan sipil hanya akan membawa Indonesia pada bencana politik yang jauh lebih besar kedepannya.

    Karena itu, kehadiran militer masih sangat dibutuhkan dalam politik Indonesia di era transisi demokrasi saat ini. Dengan demikian kekerasan senjata dan konflik di Papua akan semakin meningkat tajam karena memiliki tujuan untuk mengamankan kepentingan politik kelompok militer dalam pemerintahan baru ke depan pasca kempemimpinan Presiden SBY.

    Berikutnya, untuk kepentingan keamanan karena ‘Mindsetnya’ Pemerintah Pusat yang melihat Papua sebagai daerah operasi militer (DOM) belum berubah sampai sekarang. Diatas kertas DOM di Papua sudah dihapuskan dan pendekatan yang dikedepankan adalah pendekatan pembangunan dan kesejahteraan. Tetapi ibarat jauh panggang daripada api. Pilihan pendekatan militer masih menjadi kebijakan utama Pemerintah Pusat terhadap Papua.

    Dimana orang Papua masih dilebelkan separatisme/kejahatan sipil dan masih diragukan rasa nasionalismenya. Sehingga hanya senjata atau bedil sajalah yang adalah alat utama komunikasi pemerintah dengan orang Papua dan juga sebagai alat untuk mengendalikan keamanan di Papua.

    Alat yang lain yang ditawarkan yakni dialog Papua-Jakarta dipandang sebagai alat penyelesaian tidak demokratis dan berbahaya bagi NKRI apalagi referendum,” bebernya.

    Dengan demikian, dirinya menyimpulkan bahwa kekerasan senjata dan konflik-konflik yang terjadi di Lanny Jaya dan tempat lainnya di Papua kedepannya hanyalah implikasi dari pertarungan di ruang publik antara pendekatan dialog Papua versus pendekatan militer dan Otsus Plus.

    “Kalau mau ciptakan perdamaian di Papua, segera buka ruang dialog damai Papua-Jakarta. Kalau pemerintah bersikeras hati dan tidak membuka ruang untuk dialog Papua, sama saja pemerintah terus memelihara konflik dan kekerasan di Papua,”

    tandasnya lagi.

    “Elit politik di Papua (pejabat gubernur, Ketua DPRP, Ketua MRP) dan Pemerintah Pusat adalah pihak yang harus disalahkan dari semua konflik dan kekerasan yang menimbulkan banyak korban jiwa di Papua karena kesombongan dan kekerasan hati merekalah dalam mempertahankan pendekatan militer dan Otsus Plus dalam menyelesaikan masalah Papua. Sampai kapan kamu (pejabat gubernur, Ketua DPRP, Ketua MRP) membiarkan darah umat manusia tertumpah terus diatas Tanah Papua?,”

    sambungnya.

    Sementara Ketua Umum Badan Pusat Pelayanan Persekutuan Gereja-Gereja Baptis Papua (BPP PGBP), Socratez Sofyan Yoman, M.A., kembali menegaskan, rakyat Papua harus berpikir untuk membangun diri sendiri dan menjadi diri sendiri. Lebih baik jangan mengharapkan orang lain, yakni Pemerintah Indonesia, karena jelas rakyat Papua dipaksakan menjadi orang Indonesia. Sebab secara etnis, ras dan geografis antara Pulau Jawa dan Papua sudah sangat beda jauh. Saya sendiri tidak memilih saat mencoblos, karena saya tidak mau berikan legitimasi bagi seorang Presiden yang tidak menyelesaikan masalah Papua.

    “Indonesia hanya berhasil mengajarkan Bahasa Indonesia bagi rakyat Papua, sementara pembangunan disisi lain tidak terlalu signifikan. Ini rakyat Papua berterima kasih kepada Pemerintah Indonesia karena sudah mengajarkan Bahasa Indonesia,”

    tukasnya.

    Jika rakyat Papua mengharapkan Jokowi menyelesaikan masalah Papua, atau Jusuf Kalla(JK)? Namun JK orangnya hanya mau menyederhanakan masalah. Karena JK wataknya seorang pembisnis, bukan seorang negarawan. Masalah Papua yang sangat substansi, yakni masalah politik, masalah pelanggaran HAM, masalah kegagalan pembangunan, itu jelas JK akan merangkum semunya dalam satu kata yaitu masalah kesejahteraan, karena JK memandang dari sisi bisnismen.

    Ditegaskannya, orang Papua berpikir untuk membangun diri sendiri, bukan berarti dalam artian bahwa orang Papua mengisolasikan diri, karena pada dasarnya kita semua membutuhkan solidaritas, butuh kawan, butuh teman dan sahabat serta butuh kehidupan sosial.

    Tapi pada pada intinya kita berinteraksi dengan komunitas sosial yang lebih luas, tetapi jangan lupa membangun jati diri diatas kaki sendiri dan jangan terbawa dengan nasionalisme dan budaya orang lain atau sejarah orang lain. Karena sangat berbahaya jika sejarah, budaya, bahasa, identitas kita dan nasionalisme itu hilang, sebab itu nantinya dengan mudah dikendalikan oleh orang lain. Membangun diri kita sendiri, meski kita butuh dukungan solidaritas kepada siapa saja yang punya hati nurani yang tulus (hati kemanusian), karena sejak dulu masalah Papua semakin meningkat. Contoh saja perjuangan-perjuangan Papua adalah perjuangan OPM, namun aparat TNI/Polri menyatakan itu kelompok kriminal, jelas itu sangat merendahkan.(Nls/don)

    Sabtu, 23 Agustus 2014 09:06, BinPa

  • Dilema Referendum Skotlandia

    Logo “Yes” bagi kemerdekaan Skotlandia di Selkirk, Inggris.
    Logo “Yes” bagi kemerdekaan Skotlandia di Selkirk, Inggris.

    EDINBURGH – Pendukung kemerdekaan Skotlandia kesulitan meyakinkan rakyat bahwa negara mereka akan bernasib lebih baik jika lepas dari United Kingdom (UK).

    Skotlandia akan menyelenggarakan referendum tanggal 18 September untuk menentukan kedaulatan negara itu. Warga yang belum memastikan pilihan tengah menimbang pro dan kontra soal lepasnya Skotlandia dari kerja sama jangka panjang dengan Inggris, Wales, dan Irlandia Utara. Salah satunya Calum Carruthers, 36 tahun, ayah dua anak dari Dunblane, kota katedral dekat Edinburgh.

    “Secara emosional, insting saya mengatakan ini adalah hal yang baik,” kata Carruthers, yang bekerja di bank. Namun ia menambahkan ketidakpastian ekonomi adalah kecemasan utamanya, sebuah dilema yang dihadapi banyak warga Skotlandia. “Ada banyak pro, tapi ada satu kontra besar yang menatap langsung ke saya.”

    Jelang referendum, pendukung persatuan dengan UK dan pendukung kemerdekaan telah berdebat soal siapa yang dapat memberi masa depan ekonomi cerah bagi Skotlandia. Jajak pendapat menunjukkan hanya sekitar sepertiga warga Skotlandia—dari total empat juta pemilih—mendukung kemerdekaan. Sementara sekitar setengahnya lebih memilih tetap bersatu bersama UK. Jumlah warga yang belum menentukan pilihan pun masih banyak.

    Alex Salmond, pemimpin pemerintahan semi-otonomi Skotlandia, menilai kemerdekaan penuh akan membawa Skotlandia bergabung bersama klub negara-negara kecil yang bahagia dan kaya seperti Norwegia, Finlandia, dan Swedia. Mereka yang menentang kemerdekaan, termasuk tiga partai politik utama di London, memperingatkan Skotlandia akan rugi besar jika lepas dari Inggris.

    Jajak pendapat mengindikasikan pendukung persatuan menang dalam argumen ekonomi. Survei bulan ini oleh ICM memperlihatkan hanya 34% warga Skotlandia meyakini kemerdekaan akan menguntungkan ekonomi Skotlandia.

    Pendukung kemerdekaan dalam kamp “yes” menilai lepasnya Skotlandia dari Inggris bukan hanya masalah produk domestik bruto (PDB). Kelompok ini sering terlihat mengenakan lencana biru dan putih, warna bendera Skotlandia, dan termasuk selebriti seperti Sean Connery.

    Pendukung kemerdekaan memandang pemerintahan Inggris di London mengasingkan warga Skotlandia dan mengabaikan permintaan pemilih. Bagi mereka, kemerdekaan berarti pajak yang naik di Skotlandia akan dipakai di Skotlandia untuk hal-hal yang kurang didukung pemilih di Inggris. Ini seperti jaringan keamanan sosial yang lebih baik bagi rakyat miskin.

    Menurut Salmond, salah satu prospek ekonomi Skotlandia sebagai negara independen datang dari energi terbarukan. Sektor ini dipandangnya sebagai pengganti mesin pertumbuhan dari cadangan minyak yang hilang di Laut Utara. Industri teknologi tinggi juga akan menyediakan lapangan kerja baru dengan gaji layak. Angka dari pemerintah Skotlandia memperlihatkan bahwa Skotlandia, sebagai negara merdeka, akan memiliki situasi finansial lebih baik ketimbang UK secara keseluruhan. Defisit anggaran Skotlandia untuk 2017 diproyeksi antara 1,6%-2,4% dari PDB, lebih kecil ketimbang prediksi defisit 3,4% untuk UK secara keseluruhan.

    Pendukung persatuan—dan banyak ekonom—mengatakan proyeksi ekonomi Salmond terlalu optimis.

    Departemen Keuangan UK mengatakan setiap warga Skotlandia akan lebih kaya 1.400 poundsterling per tahun jika Skotlandia tetap bergabung. Pemerintah memprediksi pajak minyak dan gas akan turun dengan laju yang lebih cepat dari laju yang dipakai Salmond dalam rencana belanjanya. Ekonom memperingatkan Skotlandia yang independen harus membayar biaya pinjaman lebih besar ketimbang UK secara menyeluruh.

    19. August 2014, 17:04:52 SGT, The Wallstreet Journal

  • Socratez: Referendum itu Suara Rakyat

    Socratez YomanJAYAPURA – Ketua Umum Persekutuan Gereja-Gereja Baptis (PGGB) di Tanah Papua, Socratez Yoman, kali ini membela Gubernur dan MRP. Ia mengatakan, filosofis landasan lahirnya Otonomi Khusus (Otsus) bagi rakyat Papua, itu karena isu Papua Merdeka yang diperjuangkan rakyat Papua.

    Untuk itulah, baginya apa yang disampaikan oleh Gubernur Lukas Enembe, dan Majelis Rakyat Papua (MRP) yang menyatakan jika draf Otsus plus ditolak pemerintah pusat berarti terjadi referendum bagi Papua itu merupakan suara rakyat, bukan suara pribadi Gubernur dan MRP. “Itu suara rakyat yang disampaikan Gubernur Lukas Enembe dan Ketua MRP, Timotius Murib dengan mereka, yang harus disikapi secara bijaksana oleh Pemerintah Indonesia,” ungkapnya kepada Bintang Papua via ponselnya, Jumat, (17/1).

    Sebab itu, jangan mereduksi kepentingan-kepentingan yang tidak membawa manfaat, karena pernyataan jika Otsus Plus ditolak, maka ada referendum, itu bagian dari bargaining politik antara Pemerintah Provinsi Papua dan Pemerintah Pusat, di mana ketika Otsus dinilai gagal, lahirlah UP4B dan berikutnya Otsus Plus tersebut.

    “Jadi jangan persalahkan Gubernur Lukas Enembe dan Ketua MRP Timotius Murib, sebab apa yang disampaikan itu suara rakyat selama ini. Apalagi memang benar mereka (Gubernur dan MRP) adalah kepanjangan tangan dari Pemerintah Pusat,” katanya lagi.

    Disinggung soal kemungkinan ada beberapa point yang akan ditolak oleh Pemerintah Pusat, diantaranya, point tentang pemilihan Gubernur, bupati/walikota melalui DPRP/DPRD? Namun, baginya apa yang disampaikan ke Pemerintah Pusat, yang walaupun draff UU Otsus Plus itu dirinya belum tahu, karena pihaknya belum banyak dilibatkan untuk mendiskusikannya, tetapi setidaknya Pemerintah Indonesia harus mendengar itu, jika Pemerintah Indonesia masih menginginkan Papua di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

    Namun, apabila Pemerintah Indonesia bermain-main, maka rakyat akan terus berbicara dan berjuang lebih keras lagi, karena yang namanya Papua Merdeka itu menyangkut ideologi, yang tidak bisa diselesaikan dengan kebijakan pembangunan dan kesejahteraan, tetapi harus diselesaikan dengan pendekatan ideologi.

    “Jadi saya mau tegaskan lagi, Pemerintah Indonesia dan siapapun jangan salahkan Gubernur Lukas Enembe dan MRP, karena itu suara rakyat. Gubernur Lukas Enembe dipilih oleh rakyat Papua, bukan dipilih oleh Pemerintah Pusat,” tegasnya.

    Dengan demikian, Pemerintah Pusat jangan salah menterjemahkan hal itu dan kemudian memberikan stigma yang jelek bahwa itu separatis. Itu tidak bisa dan tidak benar seperti itu, karena bukan zamannya lagi stigma separatis itu dilontarkan oleh Pemerintah Pusat.

    Lanjutnya, Pemerintah Pusat harus membuka ruang yang lebih luas untuk menyelesaikan persoalan Papua, walaupun rancangan UU Otsus Plus disahkan, dan itu berarti masalah Papua Merdeka sudah selesai. Itu belum, sebab UU Otsus Plus bukan sebuah solusi untuk tuntaskan masalah Papua. Dan di sini Solusi menyelesaikan masalah Papua, hanya melalui dialog yang benar dan jujur yang melibatkan semua komponen masyarakat, yaitu TPN/OPM, pemimpin-pemimpin yang ada di Papua, terutama orang asli Papua yang baik di Tanah Papua maupun di luar negeri.

    “Ini harus duduk bersama dialog, baru masalah Papua bisa selesai. Draff UU Otsus Plus itu bukan solusi, namun apa yang disampaikan Gubernur Lukas Enembe itu harus diseriusi oleh Pemerintah Pusat. Serius dan sungguh-sungguh, jangan bersandiwara dan mempermainkan martabat rakyat Papua,”

    pungkasnya.(nls/don/l03)

    Sabtu, 18 Januari 2014 09:27, BinPa

    Enhanced by Zemanta
  • Jika Otsus Tidak Efektif, Papua Minta Referendum

    ayapura – Salah satu usulan Majelis Rakyat Papua (MRP) dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Otonomi Khusus (Otsus) Pemerintahan di Tanah Papua adalah penyelenggaraan referendum untuk menentukan nasib masyarakat lokal jika nantinya UU ini tidak berjalan efektif.

    “Pasal 299 yang krusial, tapi ini masih draft masih akan ada supervisi,” kata Gubernur Papua Lukas Enembe kepada wartawan di Hotel Sahid Papua, Rabu (15/1) siang.

    Pasal 299 ayat 2 RUU itu mengatakan apabila UU ini tidak dijalankan pemerintah secara konsisten dan tidak berdampak signtifikan bagi peningkatan taraf hidup, dan kesejahteraan orang asli Papua, maka atas prakarsa MRP dapat diselenggarakan referendum yang melibatkan warga lokal di Tanah Papua untuk menentukan nasib mereka.

    Dengan demikian, tatanan hukum di Papua nantinya diatur oleh Peraturan Daerah Istimewa (Perdasi) dan Peraturan Daerah Khusus (Perdasus). Adapun undang-undang RI mengacu pada undang-undang pemerintahan di Tanah Papua. “Mau tidak mau semua pasal dalam draf harus diterima oleh pemerintah pusat,” kata Lukas.

    Lukas mengatakan, RUU yang terdiri dari 50 Bab 315 pasal ini telah dilakukan supervisi sebanyak 15 kali. “Selanjutnya draft hasil supervisi akan diserahkan secara simbolis kepada DPR Papua, pada Kamis (16/1) untuk diparipurnakan,” kata Lukas.

    Setelah itu, lanjut Lukas, bersama seluruh Bupati se-Papua dan Papua Barat, tim asistensi dan tim ahli akan menyerahkan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di Jakarta pada 20 Januari mendatang.

    Menurut Lukas, rombongan dari Papua yang membawa draft ini akan diterima dalam rapat kebinet terbatas. Setelah diserahkan, Presiden akan memanggil Menteri Dalam Negeri untuk selanjutnya dilakukan supervisi.

    “Setelah diserahkan kepada Presiden, tugas selanjutnya kita di Jakarta akan mengurus ini karena melibatkan antar lembaga, kementerian dan DPR RI,” kata Gubernur.

    Gertakan Ulangan

    Sebelumnya Pada 18 Juni 2010, MRP, dan Dewan Adat Papua (DAP) pernah menyampaikan aspirasi referendum bagi masa depan Papua kepada DPRP. Hasil musyawarah mereka menghasilkan 11 rekomendasi yang selanjutnya diserahkan kepada kepada Pemerintah Indonesia termasuk Pemerintah Daerah dan DPRP.

    Musyawarah MRP dan Masyarakat Adat Papua dihadiri tujuh wilayah adat di seluruh Tanah Papua. Dalam keputusan bersama mereka menganggap keberadaan Otsus Papua dianggap gagal memahami situasi politik di Tanah Papua. Atas dasar itu,seluruh peserta Musyawarah dan komponen politik yang hadir menyerukan kepada MRP dan DPRP segera mengembalikan Otsus ke pemerintah pusat.

    Source: Rabu, 15 Januari 2014 | 22:41, BeritaSatu.com

    Enhanced by Zemanta
  • Dialog Jakarta Papua Anti Referendum

    rakyat papua di australia juga tuntut referendum_thumb_medium300_225 JUBI — Atas permintaan beberapa pihak untuk menggelar dialog antara Jakarta dan Papua, Lamadi de Lamato pengamat politik di Papua mengatakan, bisa terjadi jika pihak Papua menghindari adanya isu referendum.

    “Jakarta sepertinya sangat anti dengan referendum,” kata Lamato, Sabtu (14/8).

    Dia menjelaskan Dialog antara Jakarta dan Papua mamang harus ada untuk menghindari permintaan referendum. Lanjutnya, dialog Jakarta Papua yang pastinya, hanya untuk menemukan suatu solusi antara Jakarta dan Papua. Bukan untuk saling membuka aib masing-masing pihak.

    ”Kalau dari awalnya pihak Papua kemukakan dialog untuk minta merdeka pasti akan sulit untuk diterima Jakarta,” ujarnya.

    Dirinya menilai dialog Jakarta Papua memang merupakan solusi sementara pada saat ini untuk bisa mensejahterakan rakyat Papua.

    "Keinginan dialog telah menjadi buah diskusi antara kalangan aklifis, Lembaga Swadaya Masyarakat dan juga pihak gereja di Papua. Namun hingga saat ini masih dalam proses dan wacana karena masih ada saling kontra pendapat," pungkasnya. (Yarid AP)

  • Rereferendum ‘Berakar’ Otsus

    Demo damai berjalan kaki ke DPRP untuk mengembalikan UU Otsus. (Foto/Jubi : Saut Marpaung)

    Otsus ada karena perjuangan bersama orang Asli Papua. Hasilnya hanya untuk segelintir orang. Siapa yang jadi pecundang?

    JUBI — Pagi Rabu 8 Juli 2010. Cuaca Kota Jayapura dan sekitarnya terlihat cerah. Hari itu tidak seperti biasanya, para pekerja  telihat lebih cepat menuju kantor. Sementara, angkutan umum tampak tak terlalu sibuk memburu penumpang. Para sopir taksi   lebih memilih parkir di rumah, sehingga suasana ruas jalan yang hari-hari sebelumnya langganan macet, berubah menjadi lengang menjelang pukul 10.00 wit.

    Pada tempo yang sama, di kawasan Waena, salah satu daerah di Jayapura bagian selatan, terlihat, satu per satu kaum muda menuju kampus baru Universitas Cendrawasi yang terletak di atas bukit. Dalam hitungan menit, kampus Uncen dipadati mahasiswa. Pengeras suara diletakkan dalam sebuah pick up. Berbagai sepanduk dibentangkan. Ada gambar Bendera Bintang Kejora, ada pula Bendera Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

    Beberapa orang  yang tergabung dalam Komite Nasional  Papua Barat (KNPB) rela bertelanjang dan melukiskan gambar Bendera Bintang Kejora pada sekujur tubuh mereka. Terikan  “Otonomi  no, Referendum yes” menggema sepanjang  ruas jalan dari  kampus itu. Mendadak macet total. Angkot yang nekat melayani penumpang terpaksa  berbalik arah.

    Seorang terus orator  menguasai pengeras suara. Warga yang sedang duduk di pinggir jalan pun masuk dalam barisan. Semua berkulit hitam dan berambut keriting. Mereka  membentuk antrian panjang menuju Ekspo Waena.  Di tempat itu, ratusan massa sedang menanti, termasuk massa yang datang dari Kabupaten Jayapura.  Sesaat mereka melakukan orasi, tapi tak berapa lama massa begerak menuju kawasan Abepura menggunakan puluhan truk dan sekitar ratusan kendaraan roda dua.

    Di Abepura, tepatnya di pertigaan ratusan massa menyambut massa dari waena dan Jayapura. Mereka bergabung, sehingga jumlahnya menjadi ribuan. Dari kawasan itu, massa lalu  menuju Kota Jayapura menggunakan puluhan dan ratusan kendaraan roda dua.  Sepanjang perjalan, pendemo meneriakan ‘pamit dari NKRI.’

    Tolak otonomi khusus dan minta referendum. Itulah substansi tuntutan massa ketika itu. Tuntuntan itu sekaligus sebuah jawaban atas rekomendasi musyawara besar rakya Papua bersama Majelis Rakyat Papua (MRP) yang digelar pada  9-10 Juni, yang menghasilkan beberapa keputusan, diantaranya adalah mengembalikan undang-undang otonomi khusus kepada Pemerintah Indonesia, meminta dilakukan referendum, dan mendesak agar tambang emas PT. Freeport ditutup. Aspirasi ini dibawah ke DPRP pada medio 18 juni lalu. 

    Desakan referendum tersebut setidaknya akumulasi dari kegagalan pemerintah provinsi Papua dan Papua Barat mensejaterakan rakyat Papua. Pada sektor pemberdayaan ekonomi kedua provinsi ini tidak mampu memberdayakan sektor ekonomi sirih pinang , sagu, gambir, ubi, ikan asar, keterampilan menganyam, seperti noken yang geluti orang asli Papua. Pemerintah hanya giat membangunan infrastruktur sekitar wilayah perkotaan dan mempromosi kekayaan Papua ke luar negeri dan sibuk memperkaya diri menggunakan uang otsus yang sejatinya uang tersebut adalah kekayaan bersama orang asli Papua.

    Kekayaan pejabat dan kondisi ekonomi masyarakat asli Papua ibarat jarak langit dan bumi. Di ibu kota provinsi dan kabupaten, para pejabat memiliki harta melimpah. Mobil antri di garasi, rumah bak istana, memiliki rekening gendut di bank, anak sekolah di luar negeri, kesehatan terjamin dan kemudahan hidup lainnya. Sedangkan kondisi hidup masyarakat di kampung sangat miris.

    Rumah tetap berlantaikan tanah dan beratapkan daun pohon, bahkan sebagian masih hidup di atas pohon. Tak hanya itu, anak-anak sebagaian besar tidak mengenyam pendidikan, gizi buruk mendera dari kampung ke kampung, makanan gizi masih mengandalkan sagu, layanan kesehatan tersendat, dan sederetan persolan ruwet lainnya.

    Uang otonomi khusus yang diperjuangkan dengan darah dan air mata, dalam  pengalokasiannya lebih besar untuk belanja pegawai aparatur pemerintah ketimbang belanja publik. Sedangkan sebagian menghilang di proyek, seperti proyek fiktif pembangunan jalan raya di Sorong Selatan yang melibatkan pengusaha ‘palsu’ dan diduga melibatkan Achmad Hatari, Kepala Bidang Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah Provinsi Papua, yang hingga kini kasus masih mandek di Polda Papua.

    Selain persolan tersebut, masalah keamanan masih mewarnai kehidupan keseharian di Papua. Kontak senjanta antara aparat Kepolisi dengan kelompok sipil bersenjata masih terjadi. Misalnya di PT. Freeport, selalu ditemukan peluru tanpa tuan. Dari berbagai letupan sejanjata, OPM selalu jadi kambing hitam. Dalam konteks keamanan, Papua ibarat ‘Jalur Gaza’ yang tak pernah berdamai. 

    Peneliti politik dari Lemba Ilmu Pengetahun Indonesi (LIPI), Muridan S. Widjojo, dalam diary of papua, dia menulis; “Para politisi Papua garis keras yang condong ke- NKRI-an masih melihat bahwa konflik Papua semata-mata masalah pencitraan yakni kegagalan Indonesia dalam kampanye dan propaganda keberhasilan pembangunan Indonesia di Papua. Bukan masalah kebijakan dan realitas politik yang diterapkannya di Papua. Pejabat penting di lingkungan Presiden dan wakil presiden, Depdagri, Polhukkam, bahkan di DPRRI masih banyak yang sejalan dengan cara berpikir ini.”

    Menurut Muridan, orientasi berpikir nasionalis banal itu dilengkapi dengan pendekatan simbolis dan militeristik yang diyakini sebagai cara terbaik untuk mempertahankan Papua dan integritas nasional Indonesia. Coba perhatikan bagaimana seriusnya aparat keamanan merepresi demo orang Papua mengibarkan Bendera Bintang Kejora. Juga lihat bagaimana besarnya perhatian Jakarta  tentang pemberian kewarganegaraan RI pada bekas aktivis Papua Merdeka FransAlbert Joku dan Nick Messet, dan terakhir pemberian warga negara RI kepada Nicholas Jouwe, pendiri OPM. Contoh lain juga juga adalah pemerintah pusat menerbitkan PP 77/2007 yang intinya menghalang bendera bintang kejora sebagai lambang kesatuan kultur Orang Papua.  ”Kaum nasionalis banal ini, selain pendekatan simbolis militeristik seperti di atas, percaya bahwa dengan diplomasi dan lobi internasional citra Papua dan Indonesia dapat diperbaiki. Mereka berpuas diri dengan pernyataan dari negara sahabat bahwa negara-negara itu mengakui kedaulatan RI atas Papua. Mereka berpuas diri dengan mengatakan pada dunia bahwa Indonesia sudah demokratis,  sudah punya pengadilan HAM, sudah meratifikasi banyak aturan internasional, sudah ini sudah itu…untuk Papua, mereka selalu dengan bangga membeberkan bahwa pemerintah sudah meberikan otsus untuk Papua,” tulis Muridan dalam diarinya itu.

    Walau demikian, tidak dapat disangkal bahwa diplomasi dan lobi itu penting, tapi apa artinya semua itu jika gagal menyelesaikan pelanggaran HAM, gagal melaksanakan UU Otsus, gagal membuat rekognisi atas hak-hak dasar orang asli Papua, dan gagal membangun relasi politik yang dialogis antara elemen-elemen strategis di Jakarta dan Papua.

    “Sebagian besar kritik terhadap Indonesia atas masalah Papua justru terarah pada empat soal tersebut.” Menurutnya, citra yang otentik dari sebuah negara-bangsa itu dibangun oleh kualitas nyata dan keberhasilan kebijakan politik dan ekonominya bagi warga negaranya. Pengadilan ham dan rekonsiliasi yang berhasil, pelaksanaan Otsus yang optimal untuk kesejahteraan rakyat Papua, rekognisi yang konkrit atas hak-hak dasar orang asli Papua serta dialog-dialog yang bermutu dan substantif antara Jakarta dan Papua itulah yang akan menjadi humas yang otentik bagi Indonesia dan Papua. Kebijakan yang nyata itulah yang akan memperbaiki citra Indonesia tidak hanya di mata dunia internasional, tetapi yang terpenting, kepercayaan rakyat Papua pada pemerintah pusat di Jakarta.

    “Seseorang yang sudah sakit parah tidak bisa ditutupi hanya dengan memberinya bedak dan kosmetik agar dia kelihatan sehat. Dia harus diobati dan kalau perlu dioperasi besar-besaran agar penyakit kronis di dalamnya dapat disembuhkan,” katanya. (JUBI/Lasarus Gon)

Are you sure want to unlock this post?
Unlock left : 0
Are you sure want to cancel subscription?