Tag: referendum

  • Skotlandia dan Irlandia Utara Ingin Merdeka Dari Inggris

    Pemimpin Sinn Fein, Gerry Adams (kiri) dan Wakil Menteri Pertama Irlandia Utara, Martin Mcguinness (kanan) berbicara pada konferensi pers di luar Kastil Stormot di Belfast, Irlandia Utara, pada 24 Juni 2016 pasca referendum 23 Juni (Foto:AFP)

    BELFAST, SATUHARAPAN.COM – Desakan untuk merdeka dan memisahkan diri dari Inggris mencuat pasca hasil referendum yang dimenangi oleh para pendukung Brexit; Inggris keluar dari Uni Eropa.

    Berbeda dengan keseluruhan rakyat Inggris, di Skotlandia dan Irlandia Utara mayoritas suara justru mendukung untuk tetap di Uni Eropa.

    Ini menyebabkan sejumlah pemimpin di dua wilayah itu menilai Inggris tidak lagi memiliki mandat untuk mewakili mereka. Mereka menyerukan diadakan referendum untuk mendengar suara rakyat di kawasan itu apakah memilih tetap dalam naungan pemerintahan Inggris Raya atau merdeka.

    Wakil Pemimpin Irlandia Utara, Martin McGuinness, pada hari Jumat (24/6) menyerukan diadakannya referendum untuk Irlandia di tengah jatuhnya harga saham di negara itu yang dipicu oleh ketidakpastian ekonomi dan politik pasca Brexit.

    Irlandia memiliki pertumbuhan ekonomi tertinggi di Uni Eropa tetapi juga yang paling banyak dirugikan dengan keluarnya Inggris. Implikasinya diperkirakan akan luas bagi perdagangan, ekonomi, ketahanan pasok energi dan perdamaian di wilayah Irlandia Utara yang dikuasai oleh Inggris.

    Sebanyak 56 persen pemilih di Irlandia Utara memberi suara untuk tetap berada di Uni Eropa pada referendum yang diadakan pada 23 Juni lalu. Sementara secara keseluruhan di Inggris Raya,  52 persen suara memilih keluar dari Uni Eropa.

    Untuk wilayah Skotlandia, penghitungan akhir menyebut 62 persen warga memilih agar Inggris tetap bergabung dengan UE sedangkan 38 persen warga memilih keluar.

    McGuinness wakil ketua Sinn Fein, partai nasionalis terbesar di Irlandia Utara, mengatakan pemerintah Inggris harus melakukan referendum bagi Irlandia untuk menentukan nasibnya pasca Brexit.

    “Pemerintah Inggris sekarang tidak memiliki mandat demokratis untuk mewakili pandangan (Irlandia) Utara dalam negosiasi masa depan dengan Uni Eropa dan saya percaya bahwa ada keharusan demokrasi untuk diadakannya referendum,” kata McGuinness dalam sebuah wawancara televisi, seperti dikutip kembali oleh voanews.com.

    “Implikasi bagi kita semua di kepulauan Irlandia benar-benar besar. Hal ini dapat memiliki implikasi yang sangat besar bagi perekonomian kita (di Irlandia Utara),” kata dia.

    Seruan serupa datang dari mantan pemimpin Skotlandia, Alex Salmond, yang kalah dalam pemilu referendum kemerdekaan dua tahun lalu. Sebagaimana dikutip dari bbc.com, ia mengatakan yang paling masuk akal yang dilakukan Skotlandia adalah tidak meninggalkan Uni Eropa.

    Oleh karena itu, dia mengatakan penggantinya, Nicola Sturgeon, sekarang harus kembali mendesak bagi diadakannya pemungutan suara untuk memisahkan diri dari Inggris.

    Sturgeon mengatakan hal ini memang dapat dipikirkan setelah Inggris memutuskan keluar Uni Eropa.

    “Pilihan referendum kedua harus ditawarkan dan ini memang ada,” kata dia, seperti dikutip kantor berita AFP.

    Dia menambahkan undang-undang bagi pemungutan suara kedua, setelah dilakukannya hal yang sama pada tahun 2014, akan dipersiapkan saat Parlemen Skotlandia menyepakatinya.

    Sementara itu, partai nasionalis terbesar Irlandia, Sinn Fein, mengatakan karena Irlandia Utara memberikan suara untuk tetap di dalam Uni Eropa, maka mereka memiliki alasan yang lebih kuat bagi dilakukannya referendum untuk bergabung dengan Republik Irlandia.

    Namun, seruan  Sinn Fein ditolak oleh Menteri Pertama Irlandia yang pro-Inggris, Arlene Foster dan Perdana Menteri Irlandia Enda Kenny. Menurut mereka, ada  masalah yang jauh lebih serius untuk menangani.

    Kenny mengatakan pertemuan kabinet darurat diadakan segera setelah hasil referendum Brexit diumumkan. Pemerintah Irlandia mengatakan mereka telah menyiapkan sejumlah datar tindakan terkait dengan perdagangan, invetasi,dan hubungan Inggris-Irlandia dan Irlandia Utara.

    Bank sentral Irlandia telah memperingatkan bahwa keluarnya Inggris dari UE akan melukai pertumbuhan ekonomi dan lapangan kerja, serta dampak yang signifikan terhadap sektor keuangan. Laporan pemerintah mengatakan keluarnya Inggris dari UE dapat mengurangi perdagangan Inggris 20 persen.

    Perbankan Irlandia yang memiliki eksposur dengan Inggris sekitar 21 persen dari total aset, menyebabkan keputusan Inggris keluar dari Uni Eropa memangkas delapan persen indeks harga saham di Irlandia. Saham Bank of Ireland turun sebesar 25 persen.

    Saham perusahaan penerbangan terbesar di Eropa, Ryanair, juga anjlok tajam, sama jalnya dengan produsen pengepakan Smurfit Kappa dan perusahaan bahan bangunan Kingspan.

    Editor : Eben E. Siadari Penulis: Eben E. Siadari 17:22 WIB | Sabtu, 25 Juni 2016

  • Ratusan Massa Papua Merdeka Orasi di Tengah Kota Jayapura

    Jayapura, Jubi – Sedikitnya seratusan lebih demonstran pro Papua Merdeka yang menamakan diri Komunitas masyarakat Dok 7,8,9 Tanjung Ria Jayapura melakukan orasi damai di tengah Kota Jayapura, tepatnya di Taman Imbi, Rabu (15/6/2016). Aksi itu dimulai sekira pukul 15:00 WIT.

    Demonstran awalnya berniat melakukan aksi damai di halaman kantor DPR Papua. Namun puluhan polisi yang berjaga sejak pagi menghalangi pendemo masuk ke halaman kantor wakil rakyat Papua itu. Polisi menutup dan menjaga semua pintu masuk. Alasannya, demonstran tak memiliki ijin dari kepolisian setempat. Demonstran yang dikoordinir Asius Ayemi itu tak putus asa.

    Demonstran akhirnya memilih menyampaikan orasi politiknya di Taman Imbi. Dalam orasinya, Asius Ayemi sempat mengkritik polisi yang menghalangi pihaknya memasuki halaman DPR Papua.

    “Ini rumah rakyat, kenapa polisi halangi kami. Biarkan kami masuk ke halaman DPR Papua. Apakah wakil rakyat menerima kami atau tidak itu terserah mereka. Buka ruang demokrasi. Ini rumah rakyat. Ini kantor kami,”

    kata Asius.

    Sementara Filipus Robaha dalam orasinya mengatakan, ini menjadi catatan dan pelajaran politik. Para legislator Papua itu bukan dipilih oleh aparat keamanan, Polri dan TNI, namun rakyat sipil. Rakyat yang punya hak suara memilih.

    “Kita pilih mereka menyuarakan aspirasi kita. Menjadi lidah rakyat, bukan lidah aparat keamanan. Papua Merdeka itu pasti. Papua Merdeka bukan hanya dipikirkan Edison Waromi, Papua Merdeka bukan hanya dipikirkan Buhctar Tabuni dan lainnya, tapi Papua Merdeka menjadi candu orang Papua dari Sorong sampai Samarai,”

    kata Filipus Robaha dalam orasinya.

    Katanya, candu Papua Merdeka bukan karena pemikiran orang-orang Papua tapi pendiri atau peletak GKI di tanah Papua, I.S. Kijne. Kijne mengatakan, “bangsa ini akan bangkit memimpin dirinya sendiri”. Ini yang terus ada dalam benak orang Papua”.

    Setelah berorasi kurang lebih 90 menit, seorang perwakilan demonstran membacakan pernyataan sikap. Beberapa poin pernyataan sikap itu antar lain, menolak kedatangan Meko Polhukam, Luhut Panjaitan ke Papua. Pelaporan HAM di West Papua harus diselesaikan di luar kepentingan politik Indonesia karena aktor pelanggaran HAM di Papua adalah Negara Indonesia. Tak mungkin negara mengadili negara. Sejak Indonesia menganeksasi Papua Barat pada 1963, dan sampai kapan pun tak ada jaminan hidup kepada bangsa Papua. Indonesia hanya butuh kekayaan alam dan sumber daya alam Papua, bukan orang asli Papua.

    “Itu motivasi sesungguhnya Indonesia di Papua. Kami rakyat Papua tak butuh sandiwara politik Jakarta melalui tim terpadu penanganan pelanggaran HAM di Papua dan Papua Barat bentukan Menko Polhukam. Kami menolak tim penanganan pelanggaran HAM di Papua buatan Indonesia yang melibatkan Marinus Yaung. Matius Murib dan Lien Molowali. Mereka ini tak punya kapasitas menyelesaikan pelanggaran HAM di Papua,”

    kata perwakilan demonstran itu.

    Pernyataan sikap lainnya, mendesak penentuan nasib sendiri. Mendesak tim pencari fakta Forum Island Pasifik segera ke Papua. Mendesak aktivis HAM, agama korban dan seluruh rakyat Papua menolak tim bentukan Menkopolhukam. (*)

  • Dosen Uncen Papua: Masalah Papua Bukan Masalah Indonesia Tapi Masalah Internasional

    Jayapura, (KM)—Salah satu Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Univesitas Cendrawasih (FISIP Uncen) Papua, Frans Kapisa, mengatakan, perjuangan masalah Papua adalah bukan masalah indonesia, tetapi masalah dunia Internasional dan Negara-negara Forum Pasifik.

    “dengan adanya masalah ini, dikomitmen bahwa perjuangan Papua dilakukan secara bermartabat. Jangan kita berjuang dengan menggunakan kekerasan diatas tanah ini. Sebab, kebenaran adalah jalan menuju sebuah kemenangan,”kata Frans dalam orasi yang disampaikan di hadapan masa aksi, Rabu, (13/04/16).

    Menurutnya, dengan melihat perjuangan Papua dinilai hampir mengakhir kebebasan atas tindakan kolonial indonesia.

    Lanjutnya, dengan melakukan aksi demo damai yang dimotori dar Komite Nasional Papua Barat (KNPB) guna mendukung ULMWP agar terdaftar sebagai anggota penuh di MSG pada konfrensi 3 Mei mendatang.

    “hal ini sudah menunjukan bahwa kemerderkaan ialah hak segala bangsa dan penjajahan diatas dunia di hapuskan,”katanya, yang juga diakui sebagai Aktivis Papua.

    Ia menilai, konflik yang terjadi di tanah Papua bukan konflik perpanjangan persolan menyangkut Otsus dan kesejahtraan ekonomi di papua. Tetapi, menyangkut status politik, yakni penentuan nasib sendiri.

    “Untuk itu, Papua akan terlihat adanya udara segara ketika Papua termasuk anggota Penuh di MSG,”tegasnya.

    Ia berharap, 3 Mei 2016 mendatang Papua akan terdaftar menjadikan salah satu anggota penuh di MSG itu sudah pasti.

    “maka, perlu ada dinamika aksi atau dukungan dari seluruh rakyat papua untuk regalitasi dalam forum MSG nanti,”harapnya.

    Sementaraitu, salah satu Atlet Bola Kaki,penjaga gawang dari Tim Mutiara Hitam, Jayapura, Eneko Pahabol, mengatakan, “saya juga mewakili teman-teman atlet di Papua juga sangat mendukung ULMWP agar Papua masuk sebagai anggota penuh di MSG.

    Kata dia, satu hal yang menjadi dosa terbesar ialah orang sudah tahu apa yang harus dilakukan. Tapi tidak dilakukan. Itu sudah menjadi dosa terbesar.

    “maka, apa yang dinilai di Papua kalau itu benar, yah harus dilakukan. Jangan tunggu dan menunggu,”tegasnya.

    (Yosafat Mai Muyapa/KM)

    Editor: Alexander Gobai

  • PM Papua Nugini Bertemu Sekjen PBB Bicarakan Referendum

    Penulis: Eben E. Siadari 19:29 WIB | Minggu, 29 Mei 2016

    Jayapura, Jubi – Mantan ketua Umum Komite Nasional Papua Barat (KNPB), Bucthar Tabuni menyeruhkan rakyat Papua bersama KNPB sebagai media perlawanan melakukan gerakan damai di dalam kota-kota di tanah West Papua.

    “Kita percaya, tidak perlu emosi dan anarkis,”ungkap Tabuni dari Inggris melalui sambungan telepon genggam yang dihubungkan ke pengeras suara kepada ribuan massa KNPB yang menghadiri ibadah sekaligus pengumuman deklarasi IPWP di anjungan Expo Waena, Kota Jayapura, Papua, Rabu (11/05/2016)

    Kata dia, dirinya baru saja menhadiri pertemuan International Palementarian for West Papua (IPWP) pada 3 Me lalu. Pertemuan itu dihadiri sejumlah anggota parlemen dari berbagai negara, pemipin pemerintahm, termasuk pemimpin oposisi Inggris, Jeremy Corbyn menyatakan dukungan penentuan nasib sediri bagi rakyat West Papua.

    “Pimpinan Partai Buruh, pemimpin oposisi, Jeremy Corbyn mendukung kita. Langkah selanjutnya kita umumkan dimana-mana melalui gerakan damai,”harapnya.

    Kata, ketika semakin banyak dukungan, pemerintah Indonesia sedang melakukan provokasi terhadap rakyat Papua. Tetapi, ajak dia, Rakyat Papua harus mengambil pelajaran dari provokasi yang dikobarkan pemerintah Indonesia. Rakyat Papua harus semakin dewasa dalam perjuangan menentukan nasib sendiri.

    “Kita harus belajar dari pengalaman. Kita harus semakin maju dari satu tahap ke tahap yang lebih maju dalam perlawanan,”ungkap pria yang masih berstatus Daftar Pencaharian Orang Polda Papua terkait demo 26 November 2013.

    Kata dia, perlawanan damai itu demi menghindari pertumpahan darah. Tabuni tidak mau lagi ada korban dari pihak rakyat Papua. “Kita tidak mau ada gerakan penembakan lagi,”tegasnya.

    Filep Karma yang turut mengahadiri ibadat itu menyuguhkan perjuangan Papua merdeka tidak boleh melalui pertumpahan darah. Pertumbahan darah hanya melahirkan kehidupan bangsa yang buruk bila Papua Merdeka.

    “Kita tidak boleh merdeka dengan darah-darah,”ungkap pria mantan tahanan Politik Papua Merdeka ini orasi pendidikan politiknya di hadapan ribuan masa.

    Ia mencontohkan kehidupan bangsa Indonesia yang pernah menempuh perjuangan berdarah. Indonesia berjuang dengan membunuh penjajah, orang Cina, orang Belanda, orang Jepang berdampak pada kehidupan bangsa tidak menentu.

    “Perjuangan berdarah-darah itu hanya melahirkan kehidupan bangsa yang buruk,”tegasnya.(*)

  • Wawancara Khusus Benny Wenda: Kami akan Bawa Papua ke PBB

    Penulis: Eben E. Siadari 22:16 WIB | Rabu, 25 Mei 2016

    SYDNEY, SATUHARAPAN.COM – Juru Bicara United Liberation Movement for West Papua (ULMWP), Benny Wenda, menilai tidak ada keseriusan pemerintah Indonesia untuk berdialog dengan rakyat Papua. Oleh karena itu, ia mengatakan pihaknya akan memfokuskan perjuangan membawa masalah Papua ke Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB). Tujuan akhir adalah terselenggaranya referendum penentuan nasib sendiri di bawah pengawasan lembaga antarbangsa itu.

    Hal itu ia ungkapkan dalam wawancara dengan satuharapan.com hari ini (25/5) lewat sambungan telepon. Benny Wenda saat ini tengah berada di Sydney, Australia, dan berharap dapat mengikuti Konferensi Tingkat Tinggi pemimpin Melanesian Spearhead Group (MSG) di Port Moresby, Papua Nugini. KTT itu dijadwalkan mulai 30 Mei hingga 3 Juni 2016, namun belum dipastikan.

    Benny Wenda lahir di Lembah Baliem, Papua, 17 Agustus 1974, oleh Indonesia digolongkan sebagai tokoh separatis. Ia kini bermukim di Inggris setelah mendapat suaka pada tahun 2013.

    Benny Wenda mengklaim dirinya sebagai salah seorang keturunan pemimpin suku terbesar di Papua dan kedua orang tuanya beserta sebagian keluarga besarnya, merupakan korban pembunuhan militer Indonesia. Ia selalu menyuarakan perlunya rakyat Papua diberi hak menentukan nasib sendiri karena integrasi Papua ke dalam RI lewat Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) pada 1969 penuh rekayasa.

    Setelah Orde Baru jatuh, gerakan referendum dari rakyat Papua yang menuntut pembebasan dari NKRI kembali bangkit. Benny Wenda, sebagaimana dicatat oleh Wikipedia, melalui organisasi Demmak (Dewan Musyawarah Masyarakat Koteka), membawa suara masyarakat Papua. Mereka menuntut pengakuan dan perlindungan adat istiadat, serta kepercayaan, masyarakat suku Papua. Mereka menolak apapun yang ditawarkan pemerintah Indonesia termasuk otonomi khusus.

    Dia pernah dipenjarakan pada 6 Juni 2002 di Jayapura, dituduh atas berbagai macam kasus, di antaranya melakukan pengerahan massa untuk membakar kantor polisi, hingga harus dihukum 25 tahun penjara.

    Pada 27 Oktober 2002 Benny Wenda berhasil kabur dari penjara dibantu oleh para aktivis, diselundupkan melintasi perbatasan ke Papua Nugini dan kemudian dibantu oleh sekelompok LSM Eropa untuk melakukan perjalanan ke Inggris. Di sana lah ia mendapat suaka politik.

    Ke arah mana pergerakan ULMWP dalam memperjuangkan rakyat Papua, dan sejauh mana kemungkinan adanya titik temu dengan pemerintah RI, berikut ini selengkapnya wawancara dengan Benny Wenda.

    Satuharapan.com: Pada akhir bulan ini akan ada pertemuan MSG di Port Moresby. Apa yang Anda harapkan dari pertemuan tersebut?

    Benny Wenda: Kami harapkan bahwa pertemuan ini sangat penting, special summit, kami harap dalam pertemuan ini akan membahas ULMWP menjadi anggota dengan keanggotaan penuh (full membership). Itu harapan kami.

    Apakah Indonesia akan hadir pada KTT itu?

    Pasti. Karena mereka juga associate member.

    Apakah kemungkinan ada dialog dengan Indonesia di MSG  dalam kaitan dengan yang diperjuangkan ULMWP selama ini?

    Dialog melalui permintaan dari ketua MSG sudah disampaikan kepada pemerintah Indonesia. Tetapi ternyata tidak jadi. Ditolak. Dan kedua, ketua MSG sendiri mengusulkan bertemu dengan presiden RI tetapi tidak ada respon. Dan juga rekomendasi Pacific Islands Forum (PIF) untuk diadakannya fact finding misson ke Papua, tidak ada follow up dari pemerintah Indonesia. Sehingga kami menganggap Indonesia tidak ada niat melakukan dialog. Jadi saya pikir tidak mungkin.

    Jadi ULMWP lebih fokus menjadi anggota penuh MSG?

    Itu kami target.

    Jika sudah menjadi full member, apa langkah selanjutnya?

    Langkah selanjutnya, akan dibicarakan oleh pemimpin ULMWP dalam diskusi internal. Namun agenda kami yang kami targetkan adalah internationally supervised vote for independence seperti yang sudah dideklarasikan oleh International Parliamentarians for West Papua (IPWP) di London pada 3 Mei kemarin. Jadi kami akan fokus ke sana. Pemerintah Indonesia tidak serius dalam dialog dan kami pikir kami sudahi sampai di situ. Kami harus kembali ke United Nations (UN). Membawanya ke UN.

    LIPI sudah memberikan rekomendasi agar ada dialog antara Jakarta dan Papua. Apa pendapat Anda? Format dialog seperti apa yang diinginkan oleh ULMWP?

    Saya pikir, dialog nasional yang dirumuskan LIPI lebih ke arah dialog internal antara orang Papua dan Jakarta. Lebih menekankan sisi pembangunan dan kesejahteraan. Tetapi kami mengharapkan masalah ini akan kembali ke UN, itu yang akan jadi fokus kami. Sebelumnya kami akan fokus dulu ke full membership bagi ULMWP di MSG, setelah itu baru kami membicarakan bagaimana berhadapan dengan Indonesia.

    Apakah Anda akan berangkat ke Port Moresby?

    Pasti, saya akan berusaha pergi. Untuk sementara ini saya tidak bisa masuk, tetapi karena kami (ULMWP) sudah menjadi anggota MSG, pasti saya akan ke sana. (Catatan: Benny Wenda pernah tidak diizinkan masuk ke Papua Nugini, red).

    Anda sudah pergi ke berbagai negara untuk mendapatkan dukungan, termasuk ke Ghana dan beberapa negara Afrika. Apa saja dukungan yang Anda terima?

    Saya pikir negara-negara ini memiliki sentimen yang sama karena mereka juga lepas dari neokolonialisme. Jadi mereka support kami. Mereka memiliki sentimen yang sama. Mereka simpati pada bangsa Papua. Dan bangsa Papua merupakan bagsa yang ditindas dalam hal ini, dan mereka melihat Papua sebagai koloni, sehingga mereka memberikan dukungan.

    Belakangan ini Menkopolhukam Luhut Binsar Pandjaitan menemui Tokoh Gereja Inggris, Lord Harries di London yang selama ini mendukung kemerdekaan Papua. Apa pendapat Anda?

    Saya pikir itu tidak apa-apa. Wajar saja jika demi kepentingan negara Indonesia, ia mewakili bangsa, ia bisa pergi kemana saja.

    Editor : Eben E. Siadari

  • Bougainville dan Papua New Guinea menetapkan target untuk referendum kemerdekaan

    Presiden Bougainville John Momis dan Perdana Menteri Papua Nugini Peter O’Neill telah sepakat untuk bekerja menuju 2019 referendum kemerdekaan, setelah pertemuan di Port Moresby minggu lalu.

    Bougainville merupakan bagian otonom dari PNG dan berjuang perang saudara selama satu dekade dengan pemerintah nasional yang berakhir pada tahun 1999.

    daerah harus memegang referendum kemerdekaan pada tahun 2020 di bawah ketentuan Perjanjian Perdamaian Bougainville, tetapi target baru belum final.

    Presiden Momis mengatakan keputusan itu kickstarted proses perencanaan menjelang pemilihan bersejarah pada tanggal 15 Juni 2019.

    “Dengan tanggal tersebut sekarang setuju, kita dapat merencanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk mengadakan referendum, dan waktu dan dana dan tenaga yang dibutuhkan untuk melaksanakan setiap langkah,” katanya kepada surat kabar Post Courier di PNG.

    Pemerintah PNG juga telah berkomitmen untuk persiapan dana referendum, dan diharapkan keputusan akan menyebabkan pembuangan senjata penuh di Bougainville.

    Beberapa fraksi di Bougainville memegang senjata mereka setelah konflik dalam kasus PNG tidak akan membiarkan referendum untuk melanjutkan, tapi Presiden Momis mengatakan kecurigaan mereka dapat merusak suara.

    “Saya call now untuk pembuangan senjata lengkap … hanya kemudian Bougainville akan dapat menjadi referendum-siap. Perjanjian Perdamaian Bougainville mengharuskan referendum bebas dan adil,” katanya.

    “Seharusnya tidak ada lagi keraguan di antara Bougainville apakah referendum akan diadakan.”

    Sumber: http://mobile.abc.net.au/news/2016-05-23/bougainville-referendum-set-for-2019/7436566

  • Lily Wahid: Situasi Keamanan di Papua Bisa Berujung Referendum

    INTELIJEN.co.id – Situasi keamanan di papua yang terus memanas dikhawatirkan akan memunculkan persoalan lebih krusial dan luas. Masyarakat Papua akan semakin tidak percaya dengan pemerintah pusat, sehingga mencari pola penyeleseian ke organisasi internasional.

    Kondisi tersebut, harus segera mendapat respon dan langkah-langkah penyeleseian. Pemerintah pusat harus segera menyelesaikan persoalan Papua agar masyarakatnya tidak mengajukan referendum yang didukung PBB.

    “Analisa saya, indikasi referendum, warga Papua mendatangi kantor PBB di Jakarta,” kata anggota Komisi I DPR RI Lily Wahid kepada wartawan di gedung DPR, Rabu (26/10).

    Menurut Lily Wahid, dengan masuknya warga Papua ke PBB, pihak internasional menganggap bangsa Indonesia tidak menangani wilayah di Bumi Cenderawasih itu.

    “Ini bisa berujung ke referendum,” paparnya.

    Lily juga meminta pemerintah tidak melakukan pendekatan represif terhadap pergolakan di Papua. Persoalannya juga terkait kebijakan di daerah. Dana otonomi daerah selama ini tidak didukung dengan Peraturan Daerah (Perda).

    “Pemerintah Provinsi Papua harus membuat Perda pelaksanaan otonomi khusus, agar yang di bawah tidak teriak-teriak,” pungkasnya.

    Sumber: indonesiatoday.in

  • Referendum dari Catalunya, Spanyol Sampai Bougainville, PNG

    Jayapura, Jubi- Barcelona adalah klub kebanggaan masyarakat Catelunya, Provinsi Otonom Spanyol. Bahkan ketika Barcelona berlaga Bendera Kebangsaan Catelonya turut berkibar pula meramaikan stadion kebanggaan Barcelona. Saat Spanyol menang Piala Dunia Puyol, Pique dan kawan-kawan melambaikan bendera Catalunya. Anehnya punggawa Barcelona tidak ditangkap oleh aparat keamanan di Negara Kesatuan Spanyol dan tidak pula dikenakan pasal gerakan separatisme.

    Mantan Menteri Luar Negeri Indonesia, Hassan Wirayuda mengakui kalau gerakan kemerdekaan di Indonesia tak selamanya bisa selesai begigtu saja. Pasalnya kata dia negara-negara demokratis tua seperti di Inggris, Spanyol maupun Belgia yang sudah berusia hampir 300 tahun masih saja ada referendum untuk memisahkan diri.

    Kepada Jubi belum lama ini di Denpasar Bali, Hassan Wirajuda mengatakan negara-negara seperti Inggris yang sudah berusia ratusan tahun termasuk Spanyol dan Belgia mempunyai ekonomi dan kesejahteraan yang baik tetapi semangat referendum masih ada di sana.

    “Hal ini tidak menutup kemungkinan bisa saja terjadi di Indonesia.”kata Menlu di era Megawati dan SBY mengingatkan kepada Republik Indonesia yang baru saja berusia 70 tahun kemerdekaan.

    Era 1998 saat Perang Saudara di Yugoslavia, mendiang begawan antropologi Indonesia Koentjarangrat dalam artikelnya berjudul Perang Suku Bangsa di Yugoslavia mengatakan jika membandingkan masalah suku bangsa Indonesia dengan Yugoslavia masalah hubungan antar suku bangsa dan agama. Kata dia Indonesia jauh lebih beruntung, hanya saja Koentaraninggrat mengingatkan tiga hal pokok penting dalam negara kesatuan Republik Indonesia, pertama perlu menghindari upaya memaksakan konsep mengenai nilai-nilai budaya kepada penduduk yang dipandang “terbelakang,” seperti yang masih dilakukan terhadap penduduk di Timor Timur (sekarang sudah jadi Timor Leste) dan Papua (Papua dan Papua Barat). Kedua adalah mendiskriminasikan sesama warga bangsa Indonesia, seperti yang secara sadar atau tidak masih saja dilakukan. Ketiga, menjaga agar kesenjangan antara daerah yang cepat maju dengan yang lambat maju untuk tidak menjadi terlalu besar.

    Jika menyimak pernyataan Koentjaraningrat jelas, diskriminasi maupun kesenjangan masih saja terjadi dan Timor Timur sudah merdeka dan kini jadi Timor Leste. Kemenangan referendum di Timor Leste menjadi jawaban bahwa pembangunan fisik dan kesejahteraan bukan tolok ukur dalam membangun wawasan kebangsaan dan bernegara. Ada nilai-nilai budaya suku bangsa yang terkadang diabaikan dan dianggap sepele.

    Bagaimana dengan warga Catalunya yang bertahun-tahun tidak bisa menjadi warga negara Spanyol. Bahkan ketika klub Barcelona bermain, ada slogan “Catalunya is not Spain.” Ini adalah realita sosial di negara-negara maju di Spanyol, Inggris dengan Scotlandia, Belgia hingga negara tetangga Papua New Guinea dengan semangat referendum di Provinsi Otonomo Bougainville.

    Ratusan ribu pendukung kemerdekaan Catalunya, yang dikutip Jubi dari Kompas terbitan, Jumat (11/9/2015), unjuk kekuatan di kota Barcelona, Spanyol. Mereka melakukan pawai untuk mengampanyekan gerakan Catalunya merdeka atau pemisahan wilayah otonom itu dari Spanyol.

    Ratusan pengendara sepeda, Jumat pagi, berkumpul di alun-alun kota kecil Vic, sekitar 70 kilometer dari Barcelona, ibu kota Catalunya. Mereka bersiap-siap mengendarai sepeda menuju Barcelona guna memeriahkan pawai pro kemerdekaan.

    Pelatih kenamaan asal Catalunya, Pep Guardiola, dan pemain klub sepak bola Barcelona, Gerard Pique, adalah sebagian tokoh asal wilayah itu yang mendukung kemerdekaan Catalunya. “Kami ingin mengelola sumber daya kami sendiri,” ujar Guardiola yang kini melatih Bayern Muenchen, Selasa silam.

    Pawai besar-besaran pro kemerdekaan digelar bertepatan dengan hari nasional Catalunya. Presiden Catalunya Artur Mas mengatakan, hari nasional Catalunya tahun ini spesial karena perayaannya berdekatan dengan pemilihan parlemen regional pada 27 September.

    Unjuk kekuatan gerakan pro kemerdekaan Catalunya yang konon diikuti sekitar 500.000 orang tak ubahnya kampanye menjelang pemilu parlemen Catalunya. Kelompok pendukung kemerdekaan ini berharap kubu mereka merebut setidaknya 68 kursi dari total 135 kursi di parlemen Catlunya atau meraih mayoritas sederhana (50 persen+1).

    Seandainya berhasil merebut mayoritas, kelompok politik pendukung kemerdekaan akan lebih leluasa melakukan langkah-langkah mengantar Catalunya yang berpenduduk 7,5 juta orang berpisah dari Spanyol. Sebaliknya, jika gagal merebut mayoritas pada pemilu parlemen Catalunya, pukulan telak pun dialami kelompok pro kemerdekaan.

    Perdana Menteri Spanyol Mariano Rajoy membantah referendum bisa diadakan seandainya kelompok pro kemerdekaan menjadi mayoritas di parlemen Catalunya. Menurut dia, referendum pemisahan Catalunya tak sesuai dengan konstitusi Spanyol.

    Pusat Riset Sosiologi milik Pemerintah Spanyol menggelar survei yang hasilnya menunjukkan, koalisi partai pendukung kemerdekaan Catalunya, Junts pel Si (Together for Yes), dan partai kiri CUP dapat mengumpulkan 68-69 kursi.

    Gerakan nasionalisme Catalunya mendapat dukungan lebih besar sejak ekonomi Spanyol melemah, beberapa waktu terakhir.

    Bagaimana dengan Papua New Guinea dengan Provinsi Otonom, John Momis Presiden Daerah Otonom Bougainville mengatakan “Kami adalah orang-orang asli tanah air kita Bougainville. Kami sendiri harus memutuskan masa depan kita, takdir kita. Tidak ada orang luar dapat memutuskan untuk kita. ”

    Karena itu tak heran kalau John Momis telah menjadwalkan 2019 sebagai tahun untuk suara referendum yang akan dilakukan, tapi ini belum disepakati oleh Perdana Menteri PNG dan kabinetnya.(Dominggus Mampioper)

  • “Rakyat Papua Pahami Dialog itu Referendum”

    JAYAPURA – Wacana dialog yang disampaikan Pemerintahan Presiden RI Ir. Joko Widodo (Jokowi) ketika berada di Papua, beberapa waktu lalu, ternyata terus dipertanyakan.

    Pasalnya, Kepala Negara tak menjelaskan secara baik dialog macam apa yang diingini  pemerintah pusat dan pemerintah daerah. “Jangan sampai ini membuat bom waktu, padahal  sebetulnya dengan adanya Rancangan UU Otsus Plus bagi Papua itu merupakan salah-satu  jawaban terhadap semua gejolak yang terjadi di Tanah Papua,” tegas Sekda ketika membahas pembangunan Papua bersama Direktur Informasi dan Media Dirjen Informasi dan Diplomasi Publik Kementerian Luar Negeri Siti Sofia Sudarma di Kantor Gubernur Papua, Jayapura, Selasa (17/3).

    “Dialog menjadi isu kontenporer yang cukup signifikan, karena dialog menurut pemahaman  rakyat Papua  focus interes-nya adalah referendum,” jelas Sekda.

    Menurut Sekda, di Papua ini ternyata tak terjadi gesekan-gesekan horizontal atas dasar isu agama, isu suku dan lain-lain. Walaupun memang pihaknya menyadari dan memaklumi    sejumlah rakyat Papua masih bergerilya di gunung dan di hutan memanggul senjata  mengusung idelogi Papua merdeka.

    Namun demikian, ujar Sekda, pemerintah berusaha mengakomodir aspirasi mereka dan berusaha memberikan pemahaman dengan kearifan-kearifan lokal yang ada, sehingga suatu saat nanti mereka kembali ke pangkuan NKRI dan membangun Papua.

    Dikatakan Sekda, ketika pembahasan Rancangan UU Otsus Plus di DPR RI, ternyata Fraksi-Fraksi di DPR RI sebagian menerima dan sebagiannya menolak. Padahal rancangan UU Otsus Plus tersebut telah dipersiapkan setahun lebih. Tapi hal ini tak dipahami pemerintah pusat melainkan menyatakan pembahasan Rancangan UU Otsus Plus di DPR RI menunggu Prolegnas tahu 2016 mendatang.

    Menurut Sekda, kebijakan pemerintah pusat ini membuat pemahaman semua elit di Papua terhadap Jakarta menjadi tak baik.

    Namun demikian, menurut Sekda, ini realita yang mesti diketahui bersama seharusnya  Rancangan UU Otsus Plus sebanyak 365 Pasal adalah jawaban untuk mengatur kewenangan bagi masyarakat Papua di atas semua potensi dan kekayaan Sumber Daya Alam (SDA) yang ada. (mdc/don/l03)

    Source: Kamis, 19 Maret 2015 06:16, BinPa

  • Mahasiswa Dukung Jokowi Hapus Otsus Papua

    Tolak Otsus Mnta Referendum
    Spanduk bertuliskan kegagalan Otsus Papua, yang diusung warga, saat berdemo di Kantor MRP, beberapa waktu lalu.(Ist.)

    Jayapura, Jubi – Wacana Presiden Joko Widodo untuk menghapus Otonomi Khusus (Otsus) mendapat penolakan keras dari Gubernur Papua, Lukas Enembe dan Majelis Rakyat Papua (MRP). Namun, mahasiswa Papua berpendapat lain.

    Mahasiswa justru mendukung wacana Presiden Joko Widodo menghapus UU. No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Papua.

    Leo Himan, ketua Majelis Permusyawaratan Mahasiswa (MPM) Universitas Cenderawasih mengatakan, sangat menyetujui rencana Presiden Jokowi. Karena, selama Otsus ada hingga hari ini, tidak pernah membawa perubahan bagi masyarakat Papua.

    “Saya selaku pimpinan mahasiswa senang sekali dan setuju (Penghapusan Otsus Papua), karena Otsus tidak pernah berpihak pada rakyat. Tetapi jika Jokowi mau hapus Otsus, solusinya harus ada.”

    kata Himan.

    Dan solusi yang tepat untuk orang Papua adalah memberikan ruang kepada orang Papua untuk menentukan nasibnya sendiri. “Solusi yang kami tawarkan adalah merdeka harga mati untuk Papua,” tegas Himan kepada Jubi (28/11).

    Aktivis Gempar, Selphy Yeimo mengutarakan hal yang sama.

    “Jika hendak menghapus Otsus ya dihapus saja. 12 tahun UU No. 21/2001 tidak berjalan sama sekali. Selama ini Otsus itu diaplikasikan dalam bentuk uang saja. Sehingga hasilnya hanya dinikmati oleh kaum elit politik. Sementara, kehidupan masyarakat dibawah tidak pernah merasakan kesejahteraan dari otsus itu,”

    katanya melalui telepon selularnya kepada Jubi (28/11) dari Wamena.

    Lanjut Yeimo, “Jadi kalau pemerintahan baru mau menghapus Otsus untuk Papua. Saya dengan tegas katakan, hapus saja. Karena tidak ada artinya untuk orang Papua dan solusinya berikan kebebasan penuh bagi bangsa Papua Barat,”

    Selain itu, hal senada diungkapkan oleh Frans Takimai, mahasiswa Stikom Muhammadiyah Jayapura. Ia berpendapat, sudah sewajarnya Presiden memikirkan untuk memecahkan kevakuman jalannya Otsus selama 12 tahun terakhir.

    “Sebaiknya Otsus dihapus saja. Karena, Otsus tidak memberikan perubahan pada tataran hidup orang Papua. Karena hasil Otsus itu dinikmati oleh para elit politik Papua,”

    ujarnya di Abepura. (Arnold Belau)

    Sumber: Penulis : Arnold Belau on November 29, 2014 at 18:19:49 WP, TJ

Are you sure want to unlock this post?
Unlock left : 0
Are you sure want to cancel subscription?