Tag: referendum

  • Dari MPP TRWP, Amunggut Tabi Serukan Dukung Filep Karma tur keliling Jawa

    Filep Jacob Semuel Karma, TAPOL/NAPOL Papua Merdeka, kini berada di pulau Jawa, berkeliling memobilisasi dukungan dari masyarakat Indonesia untuk penentuan nasib sendiri bangsa Papua. Membaca pemberitaan yang disampaikan TabloidJubi.com maka kami dengan bangga mendukung langkah-langkah yang dilakukan Filep Karma saat ini.

    Sekretariat-Jenderal TRWP menyerukan agar mahasiswa Papua yang berada di perantauan, terutama di Pulau Jawa dan Bali, dan Sulawesi agar mendukung dengan berbagai cara, lewat doa, tenaga, dana dan airmata, atas apa yang dilakukan salah satu tokoh Papua Merdeka hari ini.

    Sepeningganan Theys Eluay, Willy Mandowen, Thom Beanal (peinsiun), Nicolaas Jowe (peinsiun), Nick Messet (peinsiun), Fransalbert Joku (peinsiun), Alex Derey (peinsiun), Jams Nyaro (alm.), Jacob Prai (peinsiun), Otto Ondawame (alm)., Andy Ayamiseba (peinsiun), dan banyak tokoh lainnya, maka kita punya tokoh Papua Merdeka yang sudah tampil ke depan, mengorbankan semua-muanya, berjuang murni untuk Papua Merdeka, antara lain

    • Benny Wenda,
    • Filep Karma
    • Buktar Tabuni
    • Oktovianus Mottee
    • Jacob Rumbiak
    • Markus Haluk
    • Forkorus Yaboisembut
    • Edison Waromi

    dan banyak lagi yang tidak dapat kami sebutkan, yang sudah nyata tidak dapat diragukan lagi, lewat organisasi seperti

    • ULMWP
    • PNWP
    • KNPB
    • WPNA
    • NRFPB
    • DAP
    • PDP
    • DeMMAK
    • IPWP
    • FWPC
    • WPNCL
    • WPPRO
    • ILWP

    dan banyak lainnya yang tujuan pendiriannya ialah memperjuangkan kemerdekaan West Papua harus bergabung bersama, dan mendayung dalam satu irama.

    Mari kita bersatu dalam kata dan langkah.

    Untuk saat ini, kami mengundang mari kita dukung kegiatan Filep Jacob Semuel Karma di pulau Jawa saat ini. Mari kita bangun kebersamaan, samakan irama dan nada, karena kita sudah punya lagu perjuangan yang sama.

  • Tokoh Inggris Raih Gandhi Award 2016 Serukan Referendum Papua

    Tokoh HAM Inggris, Peter Tatchell saat menerima Gandhi International Peace Award dari pengacara HAM Inggris yang terkemuka, Helena Kennedy QC, disaksikan oleh Omar Hayat dari Gandhi Foundation (Foto:scoop.co.nz
    Tokoh HAM Inggris, Peter Tatchell saat menerima Gandhi International Peace Award dari pengacara HAM Inggris yang terkemuka, Helena Kennedy QC, disaksikan oleh Omar Hayat dari Gandhi Foundation (Foto:scoop.co.nz

    LONDON, SATUHARAPAN.COM – Isu pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Papua tampaknya tak terbendung lagi untuk menjadi perhatian dunia. Semakin banyak tokoh mancanegara yang memberi perhatian pada masalah ini. Indonesia tampaknya harus semakin bekerja keras untuk mengupayakan dialog untuk meredamnya.

    Sebuah amunisi baru bagi mereka yang mengangkat masalah pelanggaran HAM di kancah internasional, baru saja datang dari terpilihnya tokoh Inggris dan aktivis HAM negara itu, Peter Tatchell. Ia terpilih sebagai penerima Gandhi International Peace Award, penghargaan bagi tokoh yang berjuang memperjuangkan perdamaian secara nonkekerasan. Ia diganjar penghargaan itu atas pengabdiannya bagi kerja-kerja pembelaan HAM selama 50 tahun di Inggris dan di seluruh dunia.

    Yang menarik, Tatchell mendedikasikan kemenangannya ini untuk pembebasan Papua. Ketika menerima penghargaan itu di London pada 31 Oktober, ia memanfaatkan separuh dari pidatonya berbicara tentang pelanggaran HAM di Papua. Kritik pedas terhadap Jakarta mendominasi pidatonya tentang Papua.

    Tatchell menerima penghargaan tersebut dalam sebuah upacara di House of Parliement di London, Inggris. Yang menyerahkan kepadanya adalah pengacara HAM Inggris yang terkemuka, Helena Kennedy QC, yang juga merupakan anggota parlemen Inggris.

    “Menerima penghargaan ini adalah kehormatan besar. apresiasi yang mendalam saya kepada Gandhi Foundation,” kata Tatchell, dikutip dari scoop.co.nz.

    “Saya mendedikasikan penerimaan saya atas penghargaan ini kepada orang-orang heroik di Papua (Barat) dan perjuangan pembebasan mereka melawan penjajahan dan dan pendudukan militer. Sejak aneksasi oleh Jakarta pada tahun 1969, setidaknya 100.000, dan mungkin 400.000, orang Papua telah meninggal,” kata Tatchell, dalam pidato penerimaan penghargaan itu.

    Berjuang 50 Tahun

    Gandhi Foundation, lembaga yang memberikan penghargaan itu, mengatakan Peter Tatchell secara konsisten selama beberapa dekade memperjuangkan dan  mempromosikan HAM dan hak LGBT. Tatchell, yang merupakan pendiri Peter Tatchell Foundation, dinilai telah membantu untuk membangkitkan pemahaman yang lebih besar dalam pikiran publik akan isu-isu penting dan menciptakan kondisi untuk memungkinkan hukum dilaksanakan dalam melindungi kelompok minoritas.

    “Dia secara konsisten berada di garis depan gerakan progresif, dari anti-apartheid hingga hak-hak Palestina, perlucutan senjata nuklir, reformasi demokrasi di Timur Tengah dan kampanye melawan undang-undang anti-teror kejam di Inggris,” demikian pernyataan Gandhi Foundation.

    “Dia telah mencapai ini melalui keyakinannya atas protes non-kekerasan, yang merupakan prinsip-prinsip yang dianut oleh Mahatma Gandhi,” lanjut pernyataan itu.

    “Dewan Pengawas Gandhi Foundation juga memperhitungkan keberanian pribadinya dalam menghadapi prasangka dan menempatkan dirinya kadang-kadang di jalan serangan kekerasan tetapi tidak pernah membalas dengan kekerasan. Dia telah berulang kali mempertaruhkan dirinya dalam penangkapan dan penahanan untuk mengekspos ketidakadilan, dan telah dipandang sebagai panutan oleh banyak aktivis hak asasi manusia,” demikian pernyataan Gandhi Foundation.

    Berjuang Sejak Usia 15 Tahun dengan Prinsip Kasih

    Tatchell mengatakan penghargaan yang diterimanya dia pandang sebagai pengakuan atas setengah abad bekerja untuk HAM, dimulai pada tahun 1967 ketika ia berusia 15 tahun.

    “Tapi, tentu saja, perubahan apapun yang telah membantu membawa saya, ia tidak pernah dicapai oleh saya sendiri. Saya adalah bagian dari, upaya kolektif bersama Gay Liberation Front, Anti-Apartheid Movement, Campaign for Nuclear Disarmament, OutRage! dan belasan kelompok kampanye lain yang telah saya dukung selama beberapa dekade,” kata dia.

    “Terima kasih saya kepada semua orang-orang untuk kebaikan mereka, kemurahan hati dan dukungan selama beberapa dekade. Hal ini jauh lebih dihargai – dan berharga,” kata dia.

    Menurut dia, perjuangan  non-kekerasan Gandhi yang sukses terhadap kekuasaan kolonial Inggris di India telah menjadi inspirasi abadi sepanjang 50 tahun kampanye HAM yang dia lakukan.

    “Memaksa Inggris keluar dari India – pada saat Inggris adalah negara adidaya militer terbesar dalam sejarah dan bertekad untuk melanjutkan kekuasaan kekaisaran – itu luar biasa. Tapi itu semua lebih luar biasa lagi karena metode Gandhi mencapai pemerintahan sendiri dan kebebasan tanpa mengganggu bahkan satu helai rambut di kepala tentara Inggris. Gandhi menunjukkan potensi yang besar dari kekuatan damai rakyat,” tutur dia.

    Ia menggaris bawahi bahwa kasih merupakan energi yang tak tergoyahkan.

    “Mengikuti jejak Gandhi, motif usaha hak asasi manusia saya adalah kasih. Saya mengasihi orang lain. Saya suka kebebasan, kesetaraan dan keadilan. Satu-satunya perjuangan pembebasan yang layak diperjuangkan adalah perjuangan yang terinspirasi oleh kasih. Kasih adalah awal, tengah dan akhir pembebasan. Tanpa kasih, tidak ada pembebasan layak disebut,” kata dia.

    Prinsip-prinsip nonkekerasan, menurut Tatchell, telah ia aplikasikan dalam berbagai aksi yang ia lakukan. Berbagai aksi yang sudah ia alakukan, termasuk aksi protes memperjuangkan hak LGBT di Jerman Timur (1973), melawan upaya penangkapannya atas perintah Presiden Mugabe dari Zimbabwe (1999 and 2001), seruan agar pasukan Inggris menolak penggunaan nuklir (1985), kritik terhadap  10 uskup Anglikan atas kolusi munafik mereka terhadap homofobia gereja (1994), protes terhadap Tony Blair atas perang Irak (2003), protes terhadap pelarangan pawai gay di Moskow (2007) dan upaya memblokade limousine diktator militer Pakistan, Pervez Musharraf (2008).

    Dipersembahkan untuk Papua

    Dalam pidatonya kemenangan itu, Tatchell cukup panjang lebar berbicara tentang Papua, dengan kritik yang sangat pedas terhadap Jakarta.

    Ia antara lain menuduh program transmigrasi ke Papua  “sengaja dirancang untuk membuat orang Papua menjadi minoritas di tanah mereka sendiri.”

    Menurut dia, pelanggaran HAM di Papua meluas termasuk penangkapan massal. Ia mengeritik hukum di Indonesia, yang dengan mengibarkan bendera bintang kejora saja,  orang bisa dihukum 10 sampai 15 tahun.

    Di bagian akhir pidatonya, ia mengatakan dirinya berbagi solidaritas dengan rakyat Papua dan hak untuk menentukan nasib sendiri.

    “Indonesia harus setuju referendum yang diawasi oleh PBB bagi masyarakat asli Papua, untuk membiarkan mereka memutuskan apakah mereka ingin tetap menjadi bagian dari Indonesia atau merdeka.”

    ia menyerukan agar penjualan senjata oleh Barat ke Indonesia dihentikan. Demikian juga dengan eksploitasi ekonomi asing yang luas atas sumber daya emas, tembaga, minyak, gas dan kayu. Menurut dia, eksploitasi itu berlangsung tanpa persetujuan dari rakyat Papua.

    Pada kesempatan itu, ia juga memperkenalkan  Maria dan Koteka Wenda yang mewakili gerakan pembebasan Papua. “Mereka adalah pengungsi, pejuang dan keluarga dari pemimpin kemerdekaan Papua, Benny Wenda. Selamat datang kepada Maria dan Koteka, “kata  Tatchell.

    Sebagai catatan, Benny Wenda, juru bicara United Liberation Movement for West Papua (ULMWP), yang memperjuangkan hak menentukan sendiri bagi Papua, sampai saat ini tinggal di Inggris. Sejumlah tokoh Inggris telah menyatakan dukungan bagi hak penentuan nasib sendiri bagi Papua. Di antaranya, tokoh gereja Inggris, Richard Douglas Harries, atau yang lebih dikenal sebagai Lord Harries of Pentregarth, dan Ketua Partai Buruh, Jeremy Corbyn.

    Tentang Gandhi Foundation

    Gandhi Foundation adalah sebuah lembaga amal terdaftar di Inggris yang bertujuan untuk menyebarkan pengetahuan dan pemahaman tentang hidup dan karya Mahatma Gandhi.

    Tujuan utama lembaga ini adalah menjelaskan dan menunjukkan relevansi dari aksi dan pandangan Gandhi dewasa ini.

    Hal itu dilakukan dengan mempromosikan nonkekerasan ketimbang perang dan agresi; ekonomi egaliter yang menekankan kepada ketahanan sendiri, kerjasama dan kepercayaan.

    Lembaga amal ini juga mempromosikan gaya hidup sederhana, menghindari pencarian tak berkesudahan terhadap kepemilikan harta dan pengalaman semu. Cara ini dipandang sebagai langkah mendasar untuk melindungi sumber daya bumi
    dan ekologi.

    Gandhi Foundation telah memberikan penghargaan Gandhi International Peace Award sejak tahun 1998.

    Editor : Eben E. Siadari

  • Berdoa Jutaan Kali, NKRI Tidak Akan Pernah Menebus Dosa-Dosanya atas Bangsa Papua

    Menanggapi berbagai pemberitaan di media-media kolonial Indonesia dan berbagai jaringan aktifis Papua Merdeka, yang menuntut Presiden Kolonial NKRI Joko Widodo menyelesaikan berbagai kasus pelanggaran HAM Papua dan membandingkan peliputan media Indonesia terhadap pembunuhan terhada Wayang Mirna Solihin yang dilakukan oleh Jessica Kulama Wongso, jugra kritikan dan harapan-harapan dari organisasi LSM Indonesia Indonesia seperti Setara, Kontras, LBH dan lembaga milik kolonial Inodnesia seperti Komnas HAM, maka dari Kantor Sekretariat-Jenderal Tentara Revolusi West Papua, Lt. Gen. Amunggut Tabi mengatakan,

    Orang Papua harus belajar kembali, doa orang Papua tidak dijawab Tuhan karena dua alasan: pertama karena salah berdoa, dan kedua karena jawaban ditunda, belum waktunya. Dan dalam hubungan NKRI – West Papua, jawaban salah berdoa lebih tepat. Biar berdoa jutaan kali, NKRI tidak akan pernah menebus dosa-dosanya atas bangsa Papua.

    Mendengar pernyataan itu, PMNews kembali menggali lagi, supaya bila mungkin disebutkan sumber-sumber berita atau para pribadi yang mengharapkan kebaikan atau perbaikan datang dari NKRI, tetapi Gen. Tabi menolak, dan mengatakan, “Kalian semua kan bisa memonitor sendiri media semua terbuka sekarang, tidak sama seperti era orde baru kolonial Indonesia.”

    Kemudian PMNews menyebutkan beberapa ungkapan atau ucapan oleh para tokoh Papua, dan lalu Gen. Tabi menggapinya sebagai berikut.

    Ada orang Papua katakan bahwa biar pun 1000 kali presiden kolonial NKRI Joko Widodo mengunjuni Papua, tidak akan merubah nasib orang Papua? Apa tanggapannya?

    Sangat benar! Itu pasti Orang Asli Papua yang bicara.

    Ada orang Papua juga yang bilang, tidak ada orang Papua yang minta Papua Merdeka?

    Oh, itu maksudnya yang dibilang oleh Lukas Enembe, gubernur kolonial NKRI, bukan? Ya, dia juga takut dong. Semua orang Papua, biar anggota TNI/ Polri, biar anggota BIN, biar menteri atau gubernur, siapapun, di dalam MKRI, pasti, ya, pasti di dalam nurani terdalam punya pertanyaan ini, “Kapan saya dibunuh NKRI?” itu ada, jadi semua yang dikatakan pejabat kolonial NKRI, oleh orang Papua, itu semua dalam rangka jaga-jaga diri dan nyawa.

    Itu bukan karena disogok atau dibayar Indonesia. Itu karena rasa takut. Ya, masuk akal. Siapa orang Papua yang rela dibunuh karena alasan kita dilahirkan sebagai orang Papua, karena kita yang dilahirkan sebagia orang Papua menjabat sebagai pejabat kolonial sudah lama dijadikan dasar untuk berbagai macam hal-hal mematikan di tanah ini. Kita sudah belajar banyak, tidak perlu diragukan dan dipertanyakan.

    Ada lagi orang Papua yang bilang, kok berita tentang peracunan dan pembunuhan yang dilakukan Jessica Kulama Wongso terhadap Wayang Myrna Solihin kok disiarkan siang-malam, sebanyak lebih dari 20 kali diliput, tetapi kok media kolonial Indonesia tidak sekalipun meliput berbagai pelanggaran HAM oleh NKRI di Tanah Papua?

    Oh, itu yang dibilang Phillip Karma. Kami mengundang Phillip Karma untuk berdoa seribu kali, satu juta kali, supaya NKRi bertobat. Pasti tidak dijawab. Karena apa? Karena itu salah berdoa. Kenapa salah berdoa? Masa mengharapkan media kolonial menyiarkan korban dari bangsa jajahan di wilayah jajahan. Salah besar kalau Pak Karma msih punya harapan KRI akhirnya akan selesaikan masalah Papua. Itu kesalahan fatal. Seharusnya semua pejuang Papua Merdeka menaruh harapan kepada saudara-saudara sebangsa di Papua New Guinea, satu ras di Melanesia, daripada mengharapkan matahari terbit dari barat dan terbenam di timur.

    Ada juga orang Papua yang menuntut Joko Widodo, presiden kolonial NKRI untuk tidak melulu kunjungi Papua tetapi selesaikan kasus-kasus HAM di Tanah Papua.

    Itu harapan dari ELSAM, Lembaga HAM di Manokwari, Ketua-Ketua Sinode Kingmi, GIDI dan Baptis, GKI, dan lembaga-lembaga HAM di Tanah Papua. Harapan kosong! Salah berharap! Sama dengan salah berdoa tadi. Pertama orang Papua harus jawab dulu alasan NKRI menginvasi secara militer per 19 Desember 1961 dan menduduki tanah Papua sejak 1963 lewat UNTEA dan disahkan 1969 oleh PBB.

    Alasannya bukan karena mereka mau bangun Papua. Mereka tergiur oleh kekayaan alam, Tanah Papua, bukan bangsa Papua.

    Jokowi sebagai presiden Kolonial NKRi datang ke Papua tidak ada hubungan dengan orang Papua, apalagi HAM Papua. Hubungannya adalah kekayaan alam Papua. Dia sedang pulang-pergi memberikan arahan langsung dari muka ke muka kepada agen-agen ring satu di Tanah Papua membicarakan bagaimana mempercepat proses pengerukan hasil Bumi Tanah Papua, sehingga beberapa tahun ke depan saat mereka keluar dari Tanah Papua maka kekayaan yang tertinggal sudah ampas-ampas saja, semua yang mereka mau ambil sebagian besar sudah terjarah.

    Sekarang kami mau tanya hal yang penting, terkait perjuangan Papua Merdeka. Kebanyakan lembaga Orang Asli Papua menuntut referendum, atau dialgoue kepada Jakarta, bagaimana ini?

    Prinsipnya masih sama. Sama saja. Seharusnya tidak usah tanya, karena sudah jelas tadi.

    Tujuan NKRI menginvasi secara militer, dan menduduki secara militer, ialah menguras dan menjarah kekayaan alam Papua. Titik di situ. Jadi tidak ada tujuan lain. Apa hubungan tujuan mereka ada di Tanah Papua dengan tuntutan orang Papua? Tidak ada, malahan merugikan kolonial, bukan?

    Jaringan Damai Papua (JDP) bersama Dr. Neles Tebay yang minta dialogue dan tuntutan Pak Karma, tokoh Papua yang mina referendum, kedua-duanya tidak akan dipenuhi NKRI, karena bertabrakan langsung dengan tujuan kehadiran dan keberadaan NKRI sebagai penguasa kolonial di atas Tanah Papua.

    Sekali lagi, harapan itu yang salah. Kita harapkan, kita berdoa agar NKRI berdialog, supaya NKRI memberikan kesempatan referendum kepada bangsa Papua itu yang salah.

    Sekarang pemikiran kami semakin tersudut: tuntut penuntasan kasus-kasus HAM sulit; tuntut referendum susah, tuntut dialogue juga salah. Semua pemikiran-pemikiran cemerlang dari tokoh Papua sudah tersudut. Apa kira-kira arahan dari MPP TRWP?

    Paradigma kita harus kita rombak. Cara kita berpikir dalam hungungan West Papua – NKRI harus kita rombak habis. Pertama, kita harus yakin dan petakan bahwa West Papua ialah wilayah jajahan NKRI, dan Indonesia ialah penjajah, bukan pemerintah, tetapi penguasa.

    Siapa saja menyebut NKRI dengan istilah pemerintah Indonesia, berarti dari awal paradigma berpikir dalam hubungan NKRI – West Papua sudah salah.

    Kalau sudah salah, pasti tuntutan juga salah.

    Yang kedua, berdasarkan terms of reference atas dasar paradigma berpikir kita tadi, maka kita harus menuntut hal-hal apa saja yang bisa dikerjaka oleh NKRI. Sekali lagi, kita minta apa yang bisa dilakukan NKRI. Kalau meminta hal-hal yang di luar kemampuan NKRI, maka pasti mereka tidak akan menanggapinya.

    Yang ketiga, kalau kita menuntut, kita juga dari hatinurani yang terdalam, harus punya jawaban bahwa tuntutan kita akan diberikan. Kalau masih ada ‘keraguan’ dalam hatinurani, maka kita harus sesuaikan diri dan tuntutan kita dengan kata-kata hatinurani.Kalau kita dari awal salah menuntut, jangan kecewa kalau tidak dijawab atau tidak terpenuhi.

    Dari tiga saran ini semakin membuat kita menjadi sulit melihat jalan keluar?

    Tidak usah terlalu rumit. Kita orang Melanesia, kita bukan hadir ke Bumi sebagai orang Melanesia tunggal. Kita harus percaya diri, bangga kepada diri sendiri, percaya kepada diri sendiri, dan sandarkan kepada kemampuan sendiri. Itu modal pemberian Tuhan, sejak penciptaan, bukan buatan NKRI, bukan frame Amerika Serikat bukan atas persetujuan Australia. Realitas kodrat kita orang Melanesia.

    Nah, dunia kita di situ. Identitas kita di situ. Realitas kodrat kita itu. Jadi, kita bangun segala-sesuatu dari situ. Untuk mengkleim sebuah identitas, kita harus punya dasar pemikiran, paradigma yang benar, lalu dari situ kita mengejar apa yang kita anggap salah. Dasar pemikiran harus benar dan tepat. Kita harus punya pemikiran yang murni didaasrkan atas jatidiri kita sebagai orang Melanesia. Jangan membangun sebuah perjuangan, jangan merancang hal-hal berdasarkan kebencian kepada Indonesia, kedongkolan kepada NKRI, tetapi atas dasar realitas mutlak, ciptaan Tuhan semesta alam.

    Apa masih bingung?

    Mulai ada titik terang. Jadi, titik awalnya ialah “berdiri sebagia orang Melansia”, dan kemduian “bekerja dengan orang-orang Melanesia”. Tetapi kita bicara soal hubungan Melanesia dengan Indonesia?

    Itu yang kami maksudkan.

    Kapan? Berapa kali? Siapa pejuang Papua Merdeka atau tokoh Papua yang meminta dan menuntut Perdana Menteri PNG, Perdana Menteri Vanuatu, Perdana Menteri Solomon Islands, untuk datang membantu West Papua?

    Kalau sudah pernah ada, siapa dan kapan itu pernah ada?

    Kalau sudah salah alamat, jangan berharap surat Permohonn Anda akan dibalas, ya, namanya salah alamaat kok.

     

  • Filep Karma: Papua Tidak Minta Merdeka, Papua Minta Referendum

    JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Filep Jacob Semuel Karma, mantan tahanan politik karena memperjuangkan kemerdekaan Papua dan dibebaskan oleh Presiden Joko Widodo tahun lalu, mengatakan rakyat Papua tidak menuntut merdeka dari Indonesia melainkan menuntut referendum. Jika hasil referendum itu mengatakan rakyat Papua bergabung dengan Indonesia, rakyat Papua harus konsekuen menerimanya.

    Demikian pula sebaliknya.

    Hal itu ia katakan dalam konferensi pers di kantor Setara Institute, Jakarta, hari ini (25/10). Ia mengatakan hal itu menjawab wartawan yang menanyakan apakah tuntutan merdeka merupakan keinginan seluruh rakyat Papua atau hanya segelintir saja.

    “Untuk mengetahui apakah itu merupakan tuntutan segelintir rakyat atau seluruh rakyat, maka adakanlah referendum,” kata Filep Karma sambil tersenyum. Di dadanya, tersemat sebuah bendera mini Bintang Kejora seukuran kartu nama.

    “Kalau mayoritas rakyat Papua memilih bersama NKRI, berarti kami akan berhenti berjuang. Sebab selama ini juga kami berjuang untuk rakyat Papua. Jika mereka mengatakan bergabung dengan NKRI berarti marilah kita membangun bersama. Jadi pembuktian segelintir atau tidak, mari adakan referendum,”

    kata dia.

    Filep Karma ditangkap dan kemudian dijebloskan ke dalam penjara karena pada 1 Desember 2004, ia ikut mengibarkan bendera Bintang Kejora dalam sebuah upacara di Jayapura. Karena tindakannya itu, ia dituduh melakukan pengkhianatan kepada negara dan dihukum penjara selama 15 tahun. Amnesty International dan Human Rights Watch melayangkan protes atas penahanannya dan Amnesty International menetapkan Filep Karma sebagai tahanan keyakinan.

    Pada 19 Oktober 2015, Presiden Joko Widodo membebaskannya setelah menjalani hukuman 11 tahun.

    Filep Karma sendiri menolak pembebasannya itu sebagai grasi. Ia mengatakan tidak pernah meminta grasi kepada Jokowi.

    Pada jumpa pers itu, Filep Karma kembali menegaskan alasan mengapa dirinya memperjuangkan penentuan nasib sendiri Papua. Menurut dia, Papua dan Indonesia memiliki sejarah politik yang berbeda.

    “Belanda masuk ke Indonesia karena perdagangan. Belanda masuk ke Papua untuk mengabarkan Injil. Jadi Papua mulai mengenal peradaban modern diawali oleh Injil,”

    tutur dia.

    Dia menambahkan, di masa pendudukan Belanda, ekonomi Papua lebih baik dibanding Indonesia. Bahkan mata uang Papua lebih tinggi nilainya.

    Belanda dalam memerintah di Papua, kata dia, beradaptasi dengan kebudayaan dan cara hidup setempat. Sebaliknya, ketika Indonesia masuk ke Papua, ia mengklaim militer melakukan penjarahan aset-aset yang ditinggalkan Belanda.

    “Selama Belanda menduduki Papua, hanya seorang Papua yang mati dibunuh, itu pun karena dia menembak Kepala Pemerintah Setempat (KPS). Setelah RI masuk ke Papua, secara kasar saya perkirakan ada 100 ribu orang Papua yang tewas,”

    kata dia.

    Ia juga menjelaskan sejarah versi dirinya yang didasarkan pada sejumlah buku sejarah. Menurut dia, sebelum Indonesia merdeka, tokoh Papua sudah mengangkat senjata melawan Jepang.

    “Pada tahun 1944 rakyat Papua sudah melihat bahwa mereka bisa merdeka. Ketika itu tentara Sekutu sudah masuk ke Papua. Rakyat Papua melihat orang-orang kulit hitam dari AS dapat menyetir mobil, menerbangkan pesawat. Dan rakyat Papua waktu itu sudah berkata suatu hari nanti saya akan begitu,”

    ia menambahkan.

    Selanjutnya, kata dia, pada tahun 1960-1961, rakyat Papua telah membentuk parlemen untuk Papua. Pada saat itu lahir Komite Nasional Papua, yang menetapkan bendera dan lagu kebangsaan Papua.

    “Jadi, kalau rakyat Papua menuntut referendum bukan karena kesejahteraan tetapi karena sejarah yang berbeda,” kata dia.

    Kendati demikian ia menegaskan kembali kalau hasil dari referendum mengatakan bahwa rakyat Papua ingin bersama Indonesia, maka dirinya akan menerimanya.

    Editor : Eben E. Siadari, 19:50 WIB | Selasa, 25 Oktober 2016

  • Papuan pro-independence leader calls for referendum

    Radio NZ – Papuan pro-independence leader Filep Karma has called on the Indonesian government to hold a referendum on independence.

    West Papuan independence campaigner Filep Karma.

    West Papuan independence campaigner Filep Karma. Photo: RNZI / Koroi Hawkins

    Mr Karma is a former political prisoner who was released last year after being jailed for 11 years for raising the banned Morning Star flag.

    He told the Jakarta Post that the long-demanded referendum was a win-win solution for both the government and the Papuan people, who still suffered from mistreatment and abuse despite the region being granted special autonomy status.

    Mr Karma said the referendum would provide a fair mechanism for Papuans to decide for themselves whether they wanted to remain as part of the unitary state of Republic of Indonesia or independence.

    He said should the referendum result show that Papuans wanted to remain Indonesian citizens, the rebels would stop demand separation.

    He said however that the government should also promise Papuans a peaceful transfer to independence if the referendum showed otherwise.

    Indonesia annexed the former Dutch colony after a 1969 UN-backed vote which is widely seen as a farce.

  • Momentum dekolonisasi Pasifik dorong Gutterres bersikap?

    Aksi pengucapan syukur KNPB kepada tujuh negara Pasifik yang membawa masalah Papua ke Majelis Umum PBB (19/9/2016) - Jubi/Zely Ariane
    Aksi pengucapan syukur KNPB kepada tujuh negara Pasifik yang membawa masalah Papua ke Majelis Umum PBB (19/9/2016) – Jubi/Zely Ariane

    Jayapura, Jubi – Atmosfer dekolonisasi di Pasifik dan dorongan pemerintah serta masyarakat sipil Kepulauan Pasifik terhadap status politik Papua menjadi momentum penting yang berkemungkinan mendorong Sekretaris Jenderal PBB yang baru, Antonio Gutterres untuk bersikap.

    Dr. Cammi Webb-Gannon, pemerhati West Papua dari Universitas Sydney, mengatakan tingkat pendiskusian terkait penentuan nasib sendiri dan hak azasi manusia West Papua di Sidang PBB bulan lalu merefleksikan momentum baru menuju dekolonisasi Pasifik.

    Peran Perdana Menteri Manasseh Sogavare sebagai ketua MSG dan perdana Menteri Kepulauan Solomon patut dicatat sebagai faktor pendorong penting dalam proses itu, demikian menurut Dr Webb-Gannon seperti dilansir RNZI, Selasa (18/10/2016).

    “TIdak saja Sogavare sudah mendorong bertambahnya negara Pasifik berbicara terkait West Papua di Majelis Umum PBB, tetapi dia juga berusaha agar isu tersebut dibawa hingga ke komite dekolonisasi PBB,” ujarnya.

    Inilah kali pertama setelah puluhan tahun, lanjutnya, rakyat West Papua berhasil membawa persoalan mereka sampai ke radar internasional, “dan hal itu dimungkinkan karena kerja luar biasa yang dilakukan oleh negeri-negeri Pasifik,” ungkap Webb.

    Sementara wakil United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) di Pasifik, Akouboo Amatus Douw, menanggapi terpilihnya Antonio Gutterres sebagai Sekretaris Jenderal PBB yang baru, berharap Gutterres dapat membantu rakyat Papua memfasilitasi ajakan tujuh negara Pasifik di sidang umum PBB lalu untuk menginvestigasi dugaan pelanggaran HAM di Papua.

    Terkait jasa Gutterres, mantan PM Portugal terhadap kemerdekaan Timor Leste, Douw menilai hal itu memang menguntungkan Timor Leste, namun menurut dia, Belanda tidak memenuhi kewajiban moralnya terhadap rakyat Papua seperti yang dilakukan Portugal.

    Douw mencatat peran Gutterres selagi dia masih memimpin UNHCR. Menurut Douw UNHCR telah memberikan bantuan hukum dan kemanusiaan kepada lebih dari 10,000 pengungsi West Papua di PNG.

    “Estimasi kasar saya sekitar 30,000 pengungsi politik Papua diseluruh dunia saat ini, termasuk saya,” kata Douw.

    Alasan utama orang-orang Papua meninggalkan Papua, lanjutnya, akibat penyangkalan hak atas penentuan nasib sendiri di negerinya.

    “Saya punya pikiran positif terkait prioritas Gutterres untuk ikut mengatasi masalah kami,” tegasnya.(*)

  • KNPB : Permintaan rakyat Papua adalah referendum

    Jayapura, Jubi – Komite Nasional Papua Barat (KNPB) menegaskan kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) bahwa pihaknya bersama rakyat di tanah Papua tidak membutuhkan pembangunan dan kesejahteraan, yang diminta rakyat Papua selama ini adalah referendum bagi Papua.

    Hal itu dikatakan Sekretaris KNBP Pusat, Ones Suhuniap. Ia meminta agar rakyat Papua jangan pernah berharap kepada Pemerintah Indonesia untuk sebuah perubahan di negeri Cenderwasih ini.

    “Presiden kolonial Joko Widodo datang ke Papua hanya untuk memuluskan praktek kolonialisme di tanah Papua. Rakyat Papua tidak minta uang dan tidak butuh pembangunan,” kata Ones Suhuniap kepada Jubi di Jayapura, Senin, (17/10/2016).

    Dikatakan Ones, Presiden Jokowi tidak akan pernah mensejahterakan rakyat Papua. Kedatangannya di Papua beberapa kali hanya sebagai bentuk pencitraan nama baik Indonesia di mata internasional.

    Lanjutnya, Jokowi sesungguhnya merupakan pembunuh berdarah dingin sama seperti dengan pendahulunya. Oleh karena itu, diminta agar segera hentikan semua janji palsu terhadap rakyat Papua.

    “Permintaan rakyat Papua adalah pengakuan hak politik dan memberikan ruang bagi rakyat Papua menentukan nasibnya sendiri Self Determination (Referendum ) yang demokratis. Masa depan bangsa Papua adil makmur dengan kebebasan abadi itu ada di dalam Papua yang merdeka,” jelasnya.

    Berkaitan dengan persoalan di Papua, Mantan Presiden Timor Leste Jose Ramos Horta mengingatkan Pemerintah Indonesia untuk hati-hati dalam menggunakan cara-cara kekerasan di Papua karena bisa meningkatkan aksi separatisme dan memperluas perlawanan bersenjata.

    Dia mengatakan hal yang perlu dilakukan pemerintah Indonesia adalah mendengarkan dan mengerti kenapa terjadi perlawanan di sana.

    “Semua sudah tahu perlawanan itu sudah ada sejak lama, Indonesia harus memahami kenapa pulau sebesar itu ingin memisahkan diri, kenapa orang-orang tidak senang. Mereka inginkan kedamaian, kebebasan, penghargaan serta pembangunan. Selama ini mereka tidak merasakan pemerataan dari pembangunan yang ada,” kata Horta baru-baru ini.

    Untuk mengentaskan masalah di Papua, kata Jose, bukan perkara mudah dan sederhana. Menurutnya, butuh usaha, komitmen, serta kepemimpinan yang kuat untuk membangun Papua.

    Untuk itu, lanjutnya, harus ada kebijakan yang berkesinambungan yang dapat menguntungkan masyarakat lokal. Selain itu, pembangunan Papua juga tidak boleh merusak lingkungan dan budaya.. (*)

  • Papua Dipaksakan ke Dalam Indonesia

    Aksi-aksi perjuangan pemisahan diri tidak pernah habis di bumi Cendrawasih,  sejak PEPERA (Penentuan Pendapat Rakyat) pada tahun 1969 silam. PEPERA yang merupakan sebuah referendum rakyat Papua dengan pilihan bergabung dengan Indonesia atau berdiri sendiri sebagai sebuah negara berakhir dengan kemenangan pemilih Indonesia. Tidak semua rakyat Papua terlibat referendum tersebut.

    Berikut ini sekilas tentang PEPERA  yang dikutip dari “PEPERA 1969 (ACT OF FREE CHOICE) DAN KONSEKUENSI POLITIK BAGI NKRI SAAT INI oleh: Raimondus Arwalembun, S.S”,  (klik disiniuntuk membaca full)

    Pada saat itu, penduduk Irian diperkirakan berjumlah 800.000 jiwa, maka setiap 750 jiwa memiliki 1 wakil dalam Dewan Musyawarah Pepera tersebut. Berikut jumlah anggota Dewan Musyawarah Pepera dari tiap-tiap Kabupaten:

    • Kabupaten Jayapura: Jumlah penduduk 81.246 jiwa – jumlah wakil 110;
    • Kabupaten Teluk Cenderawasih: Jumlah penduduk 93.230 – jumlah wakil 130;
    • Kabupaten Manokwari: Jumlah penduduk 53.290 – jumlah wakil 75;
    • Kabupaten Sorong: Jumlah penduduk 86.840 – jumlah wakil 110;
    • Kabupaten Fakfak: Jumlah penduduk 38.917 – jumlah wakil 75;
    • Kabupaten merauke: Jumlah penduduk 141.373 – jumlah wakil 175;
    • Kabupaten Paniai: Jumlah penduduk 156.000 – jumlah wakil 175;
    • Kabupaten Jayawijaya: Jumlah penduduk 165.000 – jumlah wakil 175.

    Dari perwakilan di atas maka didapatlah 1025 orang Anggota Dewan Musyawarah Pepera yang akan ikut menentukan nasib Irian Barat dalam Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera). Setelah DMP dibentuk, maka DMP kemudian mengadakan musyawarah untuk menentukan pilihan, apakah akan bergabung bersama indonesia atau ingin memisahkan diri dari Indonesia.

    Hasilnya Pepera yang dilangsungkan di 8 (delapan) Kabupaten tersebut, semuanya memilih dan menetapkan dengan suara bulat bahwa Irian Barat merupakan bagian mutlak dari Republik Indonesia. Hasil tersebut disepakati dan disetujui dengan membubuhkan tanda tangan semua yang hadir dalam rapat Pepera tersebut. Hasil Pepera ini diumumkan pada tanggal 2 Agustus 1969 dan selanjutnya pada tanggal 8 Agustus 1969 Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Amir Machmud selaku Ketua Pelaksana Pepera melaporkan kepada Presiden. Lalu pada tanggal 16 Agustus 1969, Presiden menyampaikan sebagai laporan pertanggungjawaban tahunan di depan sidang MPR.

    Melihat tata cara pelaksanaannya saja sudah menjadi pertanyaan di kepala kita semua, apakah layak sebuah referendum penentuan nasib sebuah bangsa dilakukan dengan diwakili oleh segelintir orang. Banyak pihak yang tidak dilibatkan kala itu, bahkan banyak kepala suku pun tidak mengetahui akan hal itu.

    Masyarakat Papua mulai kaget dari tidurnya setelah melihat banjir penduduk dari pulau Jawa yang datang dengan menerapkan suatu pemerintahan yang sama sekali tidak dipahami mereka.

    Dengan proses berjalannya waktu, masyarakat Papua mulai sadar akan apa yang sedang terjadi. Dari kesadaran itu lahirlah gerakan-gerakan pemisahan diri yang sampai sekarang ini beranggotakan sebagian besar orang-orang Papua.

    Paksaan menjadi Indonesia. Paksaan adalah virus yang tidak akan terobati. Gerakan Papua merdeka tidak akan hilang dari jiwa orang Papua karena bergabung Indonesia bukanlah pilihan mereka, bukan juga pilihan kakek nenek mereka.

    Apa yang seharusnya dilakukan Indonesia agar gerakan pemisahan diri dapat terhapus dari bumi Papua adalah membuat bergabungnya Papua ke Indonesia sebagai pilihan orang Papua sendiri. Indonesia tidak boleh merekayasa pilihan orang Papua dengan media dan sejarah palsu. Satu-satunya solusi adalah mengubah system politik militer di Papua dan referendum ulang dengan melibatkan seluruh orang Papua sebagai pemilih-pemilih yang sah.

    Jika semua orang Papua bahagia dan memilih bergabung dengan Indonesia, maka masa depan Indonesia akan lebih cerah dan tentunya takkan ada lagi gerakan-gerakan PEMISAHAN DIRI di bumi Papua. Jika sebaliknya, Indonesia harus merelahkan Papua seperti NKRI merelahkan Timor Leste berdiri sendiri sebagai sebuah negara.

    Jangan dipaksa!

  • Pepera 1969 di West Irian Sudah Final Karena Disahkan oleh PBB?

    Retorika NKRI bahwa Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) di West Irian Tahun 1969 adalah Final, terbantahkan secara otomatis dan tegas setelah fenomena internasional, terutama di wilayah kerajaan Inggris muncul isu-isu referendum dari politisi Scottish Natioanl Party di Skotlandia dan Irish Republican Party di Irlandia Utara, yang para politisinya mengatakan akan menyelenggarakan referendum untuk meminta pendapat rakyat di wilayah mereka, apakah keluar dari Inggris Raya ataukah tetap tinggal dengan Inggris Raya yang telah keluar dari Uni Eropa.

    Selain keluarnya Inggris (Britain Exit – disingkat BREXIT) yang jelas-jelas merupakan referendum separatis dari Uni Eropa juga menunjukkan dengan gamplang dan tidak harus dijelaskan kepada siapapun bahwa referendum ialah sebuah proses demokratis di negara demokrasi untuk menentukan pendapat rakyat.

    Referendum bukan barang haram, referendum adalah wajah dari demokrasi. Semua negara yang mengaku demokratis harus menyelenggarakan referendum untuk menentukan nasib masing-masing bangsa.

    Politisi NKRI di Tanah Papua, Gubernur, para Bupati, DPRP dan para DPRD di Tanah Papua seharusnya sudah sejak awal-awal ini, menyambung gelombang referendum-referendum ini, mempersiapkan agenda-agenda seperti referendum untuk menentukan sikap rakyat Papua, secara khusus Orang Asli Papua terkait dengan berbagai isu, misalnya

    1. Sikap dukungan atau penolakan Orang Asli Papua terhadap UU Otsus Plus yang diajukan oleh Gubernur Lukas Enembe, Ketua DPRP dan Ketua MRP;
    2. Keberhasilan Otonomi Khusus di Tanah Papua sejak tahun 2001 hingga tahun 2016;
    3. Menerima/ Menolak Pendudukan NKRI di Tanah Papua.

    Negara demokrasi, yang mengaku menjunjung tinggi HAM, yang mengaku menuju proses demokratisasi, secara otomatis, dan secara naluri pasti sadar bahwa referendum ialah bagian tak terpisahkan dari proses demokrasi dalam menentukan pilihan rakyat.

    Referendum bukan barang haram, referendum bukan agenda separatis, referendum ialah agenda demokrasi, agenda modernisasi, agenda peradaban, cara bermartabat dan beradab untuk mementukan nasib, bukan dengan saling membunuh, bukan dengan saling meneror dan mengintimidasi, tetapi dengan saling mempengaruhi opini rakyat sehingga rakyat menentukan nasib mereka sendiri.

    Inggris telah disahkan oleh Uni Eropa sebagai Anggotanya, diakui oleh PBB sebagai anggota Uni Eropa. Skotlandia diakui sebagai anggota Kerajaan Inggris oleh PBB. PBB juga mengakui Irlandia Utara sebagai bagian dari Kerajaan Inggris. Tetapi pengakuan PBB, pengakuan Uni Eropa itu bukanlah “Suara Tuhan”.

    “Suara Rakyat, Suara Tuhan”, dalam minggu lalu Suara Tuhan katakan Inggris keluar dari Uni Eropa, maka itu telah terjadi. Minggu lalu Suara Tuhan memunculkan wacana Irlandia Utara dan Skotlandia akan menyelenggarakan referendum untuk menentukan nasib sendiri, yaitu merdeka dari Kerajaan Britania Raya atau bergabung ke Uni Eropa, yang artinya memisahkan diri dari negara Induk Inggris.

    Tuntutan referendum di Tanah Papua tidak dapat ditolak dengan alasan pengakuan PBB dan salah fatal kalau dikatakan separatis. Malahan sikap semacam itu menunjukkan dengan terang-benderak betapa ketidak-tahuan, dan kalau boleh lebih jelas, kebodohan kita, tentang hakikat demokrasi. Kkalau kita katakan “Pepera Sudah Final”, maka kita membodohi makna demokrasi bagi diri kita sendiri. Pepera tidak Final dengan alasan demokratis yang jelas bahwa rakyat West Papua tidak pernah menentukan nasibnya sendiri. Dan kalaupun sudah pernah, tidak harus berarti bahwa NKRI harga mati, karena setiap bangsa, setiap pulau, setiap rumpun yang ada di dalam NKRI berhak penuh untuk menentukan nasibnya sendiri. Pengakuan PBB tidak memaksa, tidak mengikat, tidak mematikan konsep Jawa NKRI sebagai sesuatu kodrat dari Tuhan yang diwahyukan yang harus ditaati mati-matian oleh semua wilayah jajahan NKRI.

  • BREXIT Secara Otomatis dan Pasti Membatalkan Argumen NKRI Harga Mati dan Pepera Sudah Final

    BREXIT menjadi tolak ukur secara global, di zaman ini, menunjukkan martabat dan identitas demokrasi sejati, yaitu “Suara Rakyat, Suara Tuhan” dan referendum untuk West Papua ialah pasti dan harus.

    Betapapun pahitnya, betapapun negara tidak menerima, bepapapun mati harganya, betapapun sudah final, tetap, “Suara Rakyat, Suara Tuhan”, Suara Rakyat Dapat dan telah terbukti berulang-ulang menggugat realitas yang ada.

    Lt. Gen. TRWP Amunggut Tabi dari Markas Pusat Pertahanan Tentara Revolusi West Papua menyerukan kepada seluruh masyarakat Indonesia, masyarakat Tanah Papua dari Sorong sampai Samarai, masyarakat Melanesia, bahwa slogan Partai Politik Penguasa Kolonial, Parta Demokrasi Indonesia “Suara Rakyat, Suara Tuhan” telah terbukti minggu ini, di mana Rakyat Inggris, yaitu “Suara Tuhan” telah memilih untuk Negara Kerajaan Inggris Raya Bersatu KELUAR dari kerajaan Eropa bernama Uni Eropa, atau Komisi Eropa.

    Dampak dari “Suara Rakyat, Suara Tuhan” yang telah memenangkan BREXIT ialah usulan penyelenggaraan Referendum di Irlandia Utara dan Skotlan, salah dua dari paling tidak lima wilayah yang kini bersatu dan Inggris Raya Bersatu.

    Dari peristiwa bersejarah dalam kehidupan manusia dan demokrasi sedunia ini menunjukkan pelajaran yang jelas.

    Pelajaran yang pertama ialah bahwa benar terbukti, slogan Partai kolonial Indonesia PDI-P “Suara Rakyat, Suara Tuhan” memang benar-benar harus kita kawal dan kita lindungi dan kita tunduk kepadanya.

    Kalau rakyat Papua menuntut referendum, ya itu hak mutlak “Suara Tuhan”, maka haruslah diberikan kepada bangsa Papua. PDI-P haris konsisten terhadap slogannya

    Kedua, pernah tersebar isu buatan NKRI, bahwa sejak tahun 2000, pintu untuk negara baru merdeka telah tertutup dan Papua tidak akan berpeluang untuk merdeka, secara mentah-mentah dan di depan mata terbukti terbalik, Kemerdekaan ialah hak segala bangsa, dan oleh karena itu penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, kapan-pun, di manapun, oleh siapapun.

    Kalau NKRI benar-benar berbicara di pentas politik global bahwa dia telah mendemokratisasi negaranya, maka referendum dan hak berpendapat dari Orang Asli Papua ialah bagian tak terpisahkan dari demokrasi itu sendir, dan hasil daripada referendum itu harus diterima oleh baik kolonial maupun oleh bangsa Papua.

    Ketiga, para pemuda Papua, semua organisasi masa dan penggerak didalam negeri teruskan perjuanganmu, suarakan referendum untuk Tanah Papua, dan desak NKRI tunduk kepada slogan partai penguasa hari ini “Suara Rakyat, Suara Tuhan”.

    Pesan per email dikirim dari MPP TRWP, Vanimo, Papua New Guinea, Tanah Papua Sorong – Samarai

Are you sure want to unlock this post?
Unlock left : 0
Are you sure want to cancel subscription?