Tag: referendum

  • Walau tertunda, pemimpin Guam tetap ingin referendum dekolonisasi

    Gubernur Guam, Eddie Calvo - Office of the Governor of Guam
    Gubernur Guam, Eddie Calvo – Office of the Governor of Guam

    Nabire, Jubi – Gubernur Guam dalam pidato resmi tahunannya Senin (6/3) lalu menyatakan disamping dukungannya untuk memercepat proyek-proyek pembangunan, namun mengaku masih berhutang atas pelaksanaan pemungutan suara dekolonisasi Guam yang tertunda hingga 2018 mendatang.

    Eddie Calvo, Gubernur Guam dua periode memaparkan rencana akhir tahunnya di dalam pernyataan tersebut. Proyek modernisasi rumah sakit wilayah itu senilai US$100 juta dan rencana membangun kembali Hagåtña, distrik ibukota pulau itu.

    Calvo juga menyatakan kembali komitmennya terhadap satu janji utama di masa kekuasaannya, yaitu menyelenggarakan plebisit atas masa depan politik teritori itu.

    Namun, Calvo mengakui penundaan pemungutan suara terjadi karena beberapa hal menyangkut ketidakpastian hukum, seperti persyaratan pendaftaran dan pemungutan suara, dan tantangan dihadapan pengadilan federal.

    Meskipun pelebisit (referendum) tahun lalu gagal, Calvo berusaha menyakinkan keinginannya untuk menyelenggarakan pemungutan suara di akhir masa jabatan gubernurnya.

    Guam, sebuah pulau berbentuk pisang sepanjang 50km, adalah wilayah koloni Amerika Serikat sebagai rampasan perang setelah Perang Spanyol-Amerika 1898 dan, terlepas dari pendudukan brutal Jepang selama Perang Dunia II, Guam masih menjadi bagian Washington sejak saat itu.

    Status resmi Guam adalah ‘wilayah tak-berbadan (hukum)’ bersama dengan wilayah-wilayah seperti Northern Marianas, American Samoa, Puerto Rico dan US Virgin Islands. Walaupun menjadi warga negara Amerika Serikat, rakyatnya tidak boleh memilih Presiden, hal-hak dalam Konstitusi AS tidak berlaku, dan satu-satunya delegasi mereka di Kongres AS tidak punya hak suara.

    Secara teknis Guam dimiliki AS, yang oleh Calvo dalam pidato tahunannya awal 2016 lalu menyebutnya sebagai “sebuah bentuk kolonialisme yang tidak dapat dibiarkan.”

    “Inilah saatnya kita mengonfrontasi fakta bahwa hampir 400 tahun kita berada di bawah kolonial,” tegas Calvo. “Sekarang kepercayaan diri mungkin dapat menjadi pemicu yang mengubah negara kolonial sekali dan selamanya.”

    Pendidikan politik atas tiga skenario masa depan Guam

    Plebisit dekolonisasi Guam yang tertunda kemungkinan akan dilakukan pada 2018 mendatang.

    Kontroversi terkait siapa yang berhak memberikan suara dan kekhawatiran bahwa para pemilih tidak memahami opsi-opsi di hadapan mereka dituding sebagai penyebab penundaan.

    Guam telah disiapkan untuk menyelenggarakan plebisit tidak-mengikat sejak tahun 1980, yang akan mengajukan tiga opsi kepada pemilih atas masa depan pulau Mikronesia mereka itu.

    Opsi-opsi tersebut adalah menjadi negara bagian AS, merdeka, atau menjadi asosiasi bebas bersama AS.

    Guna memberi pendidikan politik pada pemilih terkait masing-masing opsi itu, tiga satuan tugas telah dibentuk sejak tahun 1997.

    Satuan tugas Merdeka dituduh menunda-nunda plebisit tahun ini, namun ketuaa satgas Victoria-Lola Leon Guerrero membantah bahwa hukum Guam lah yang mensyaratkan agar plebisit diselenggarakan bersamaan dengan pemilu gubernur.

    “Jadi apa yang ditawarkan gubernur itu ilegal karena melanggar hukum plebisit Guam sendiri,” ujar Leon Guerrero.

    Menurut dia atas alasan itulah mereka menolaknya, dan mereka juga tidak setuju masyarakat didorong-dorong dengan terburu-buru untuk memilih sesuatu.

    Masyarakat asli Chamorro, Guamanians dan para turunannya yang ‘dinaturalisasi’ oleh UU Organik 1950 mendapatkan hak memilih, namun, saat ini sedang dijegal di pengadilan AS oleh penduduk lama Amerika di Guam yang menganggap Guam tidak dapat masuk dalam daftar dekolonisasi.

    Sebanyak 13,192 rakyat mendaftar hingga pertengahan Desember tahun lalu, sementara 52 ribu orang sudah lebih dulu teregistrasi pada pemilihan umum November.

    Ketua Satgas Asosiasi Bebas Adrian Cruz mengatakan ketiga kelompok satgas sedang bekerja bersama untuk mengedukasi masyarakat akan pentingnya plebisit.

    “Jadi itulah tugas pertama. Hingga sekitar enam atau tujuh bulan sebelum pemilu sebenarnya berlangsung saat itulah kami menyatakan opsi kami masing-masing dengan lebih jelas (termasuk perbedaan-perbedaannya),” ujarnya sambil menambahkan bahwa yang terpenting saat ini adalah masyarakat mengerti alasan kenapa mereka mesti memilih.

    Ketua Satgas Negara Bagian Eloy P. Hara mengatakan menjadi negara (bagian) AS akan memberikan kemungkinan bagi militer AS melindungi perikanan Guam dari pengaruh Cina yang makin besar di kawasan itu.

    “Cina sudah menyatakan akan bergerak untuk ‘ambil alih’ Federated States of Micronesia (FSM). Mereka sudah menggelontorkan uang ke pemerintah FSM,” ujar Hara.

    “Sebagai negara bagian kita bisa meminta militer untuk menjaga zona ekonomi. Sekarang Cina, Korea sedang masuk dan kita tidak bisa melindungi diri.”

    Dengan jumlah personil militer AS di Guam dari 6000 menjadi 11 ribu yang direlokasi dari Jepang, Cruz mengatakan Asosiasi Bebas akan menjadikan Guam bangsa berdaulat dengan hak suara untuk meminta kehadiran militer Amerika.

    Namun ancaman sepihak militer AS saat ini yang merencanakan wilayah Guam jadi tempat pelatihan militer membuat Cruz meragukan pernyataannya sendiri. “Itu menunjukkan lagi bagaimana militer bisa lakukan apapun semau mereka,” katra Cruz.

    Sementara Guam yang merdeka, kata Leon Guerrero, akan memiliki kekuatan lebih besar untuk bernegosiasi dengan posisi-posisi yang lebih setara dengan militer AS, termasuk pengembalian tanah pertanian mereka yang paling subur (yang diduduki militer AS).

    Untuk diketahui Federated States of Micronesia bergabung sebagai Asosiasi Bebas dengan AS, demikian pula Kepulauan Marshall di tahun 1986 dan Palau di tahun 1994.(*)

     

  • Aborigin Pertama Jadi Menteri Australia Minta Referendum

    Ken Wyatt, orang Aborigin pertama yang jadi menteri di Australia (Foto: @getty)
    Ken Wyatt, orang Aborigin pertama yang jadi menteri di Australia (Foto: @getty)

    CANBERRA, SATUHARAPAN.COM – Untuk pertama kalinya seorang warga negara Australia berlatar belakang suku asli, Aborigin, dilantik menjadi menteri pemerintah federal  bulan lalu. Namanya Ken Wyatt. Ia menjadi menteri federal untuk urusan usia lanjut dan kesehatan penduduk pribumi.

    Dia seorang pendukung diadakannya referendum nasional untuk mengakui keberadaan rakyat Aborigin dalam konstitusi Australia,  sebagai bagian dari upaya mengubah salah kelola yang telah menjadi sejarah panjang.

    Para pendukung referendum yang dimotori sejumlah partai politik dan kelompok pribumi, berupaya untuk melenyapkan satu bagian dari pasal yang memperbolehkan negara-negara bagian mendiskriminasi penduduk asli berdasarkan ras. Namun, proses ini berjalan lambat karena adanya perbedaan tentang seberapa luas cakupan perubahan hukum yang akan dilaksanakan. Sebagian kelompok pribumi Australia bahkan mulai mundur dari tuntutan mengamandemen konstitusi dan memilih bentuk perjanjian dengan pemerintah saja.

    Wyatt termasuk tokoh yang tetap menuntut referendum lewat pendekatan konstitusi.

    “Kesepakatan hanyalah perjanjian formal yang bisa dilanggar, dikesampingkan atau dihormati dengan cara yang minimalis,” kata pria berusia 64 tahun ini kepada Financial Times.

    “Saya percaya bahwa  memasukkan pengakuan (akan hak Aborigin) di dalam konstitusi seperti memahat kata-kata ke dalam  pondasi batu. Ini akan membentuk dasar yang dengannya keputusan Pengadilan Tinggi akan dicapai di tengah tantangan hukum di masa depan. ”

    Hanya saja rencana menggelar referendum yang diusulkan dilaksanakan pada bulan Mei — tepat pada ulang tahun ke-50 dari  referendum tahun 1967 yang memberi masyarakat asli hak-hak yang lebih besar tampaknya akan batal.  Wyatt mengatakan pelaksanaan referendum pada tahun 2018 adalah yang paling mungkin saat ini.

    Dia memperingatkan hasil “No” pada referendum akan berisiko merusak yang telah dicapai pada referendum 1967 dan permintaan maaf pemerintah atas generasi yang hilang pada tahun 2008.

    “Itu akan memundurkan kembali hubungan harmonis yang terjalin antara kita semua dan berdampak pada bagaimana Australia dipandang di seluruh dunia,” kata dia.

     

    Siapa Ken Wyatt

    Ken Wyatt, yang ketika dilantik jadi menteri bulan lalu mengenakan jubah Kanguru, lahir di rumah misi di Roelands, bekas rumah untuk anak-anak pribumi yang dipaksa dipisahkan dari orang tua mereka selama era “generasi yang dicuri” di Australia.

    “Ibu saya dan semua saudara-saudaranya  dimasukkan ke dalam rumah misi dan mereka dipisahkan – sehingga kontak mereka dengan kakek dan nenek saya terbatas,” kata  Wyatt.

    “Saya punya file Departemen Kesejahteraan Penduduk Asli nenek saya dan ada suratnya yang dia tulis sendiri yang mengatakan ia ingin bertemu dengan anak-anaknya.”

    Dalam wawancara dengan Financial Times, ia mengatakan bertekad menangani kalangan berkebutuhan khusus dan melawan rasisme institusional yang mempengaruhi masyarakat asli, yang jumlahnya 3 persen dari penduduk Australia yang 24 juta.

    Wyatt berpendapat bahwa pemerintah sebelumnya  tidak bekerja dengan masyarakat Aborigin sebagai mitra sejajar. Rekaman video yang dirilis pada bulan Desember menunjukkan penganiayaan dalam tahanan polisi atas seorang wanita Aborigin berusia 22 tahun, yang kemudian meninggal. Ini, menurut Wyatt,  adalah pengaruh rasisme institusional yang berlangsung di hampir seluruh layanan negara.

    Dia kemudian mendirikan sebuah kelompok kerja untuk melihat determinan sosial dalam kesehatan masyarakat, termasuk rasisme institusional.

    Ketika ditanya mengapa  begitu lama bagi pemerintah federal untuk menunjuk seorang menteri urusan penduduk asli, Wyatt menjawab bahwa “orang-orang non-pribumi selama bertahun-tahun telah meragukan orang pribumi untuk bisa melakukan pekerjaan ini.”

    “Saya pikir adalah fakta bahwa telah terjadi pola pikir bahwa kita [orang Aborigin] memiliki tempat,” katanya. “Saya mendasarkan ini pada seorang guru yang pernah berkata kepada saya: ‘Anda adalah anak Aborigin. Anda harus meninggalkan sekolah dan mendapatkan pekerjaan di sebuah peternakan, karena Anda tidak akan pergi jauh.”

    Editor : Eben E. Siadari

  • Mahasiswa Papua Tuntut Tambang Freeport Ditutup dan Referendum

    KBR, Jakarta– Aliansi Mahasiswa Papua bersama Front Rakyat Indonesia Untuk West Papua mendukung upaya tujuh Negara Pasifik yang bakal membawa berbagai macam masalah Papua ke Dewan HAM PBB. Koordinator aksi, Samsi Mahmud mengatakan, cara itu ialah satu-satunya jalan penyelesesaian berbagai macam masalah di Papua terutama masalah pelanggaran HAM.

    Samsi juga mendesak Pemerintah Presiden Jokowi untuk memberikan hak penentuan nasib sendiri bagi bangsa Papua.

    “Kita juga akan menyampaikan kepada rakyat Indonesia, kepada Pemerintah Indonesia terkait dengan kehendak rakyat Papua yaitu menentukan nasib sendiri adalah solusi demokratik untuk masa depan rakyat dan bangsa kita ini. Dan bagi kami terkait dengan persoalan-persoalan yang ada di Papua, solusinya adalah kehendak menentukan nasibnya sendiri bagi rakyat Papua,” ujarnya saat berorasi di depan Kantor Perwakilan PBB untuk  Indonesia, Jakarta, Jumat (03/03).

    Koordinator aksi, Samsi Mahmud  juga mendesak Pemerintah Presiden Jokowi untuk menarik seluruh kekuatan militer termasuk kepolisian di seluruh wilayah Papua. Kata dia, keberadaan kekuatan militer   justru semakin membuat Papua rentan pelanggaran HAM.

    “Kami meminta dan harus ditindak lanjuti soal penuntasan seluruh kasus pelanggaran hak asasi manusia di tanah Papua. Seluruhnya tanpa terkecuali termasuk yang terbaru soal konflik sengketa Pilkada di Intan Jaya,” ucapnya.

    Dia menambahkan, penutupan PT Freeport juga menjadi harga mati. Pasalnya kata dia, keberadaan Freeport di Papua tidak  memberikan dampak apapun kepada warga Papua di sekitar perusahaan. Kemiskinan dan diskriminasi kata dia tidak mengalami penurunan di sana padahal daerah tersebut sangat kaya akan sumber daya alam.

    “Saat Pemerintah Indonesia menerbitkan izin eksplorasi dan eksploitasi tambang Freeport melalui Kontrak Karya I yang diterbitkan pada 7 April 1967 itu, rakyat dan bangsa west Papua tidak dilibatkan. Padahal status West Papua belum secara resmi diakui Internasional sebagai bagian dari wilayah Indonesia,” tambahnya.

    Editor: Rony Sitanggang

    Bagikan berita ini :

  • Ingin Merdeka dari AS, California Kirim Proposal Pemisahan Diri

    Ingin Merdeka dari AS, California Kirim Proposal Pemisahan Diri
    Kelompok pro-Kemerdekaan California yang ingin memisahkan diri dari Amerika Serikat saat membuka ‘kedutaan’ di Moskow, Rusia. Foto / Ruptly

    CALIFORNIA – Kelompok yang memperjuangkan kemerdekaan California dari Amerika Serikat (AS) mengirim proposal pemisahan diri ke Kantor Sekretaris Negara di Ibu Kota Washington. Jika memenuhi syarat, California bisa menjadi negara yang terpisah dari AS.

    Kelompok di balik pengiriman proposal kemerdekaan California itu adalah “Yes California Independence Campaign”. Pada hari Kamis, “Sekretaris Negara” California Alex Padilla untuk memulai upayanya untuk mengumpulkan sekitar 600 ribu tanda tangan pemilih yang dibutuhkan guna rencana ambisius dalam pemungutan suara kemerdekaan California.

    Ratusan ribu pemilih itu nantinya akan memberikan suara untuk mencabut bagian dari konstitusi AS yang menyatakan “California merupakan bagian tidak terpisahkan dari AS”. Ide kemerdekaan California atau Calexit (California exit) muncul setelah Donald Trump memenangkan pemilu November 2016 lalu.

    Kelompok pendukung kemerdekaan California menyerukan amandemen konstitusi. Usulan mereka yang bertajuk ” California Nationhood”, juga akan meminta pemilih untuk mencabut klausul yang menjelaskan Konstitusi AS sebagai “hukum tertinggi negeri”.

    Jika proposal itu disetujui, maka pemungutan suara untuk menentukan nasib California akan dijadwalkan pada Maret 2019. Pemungutan suara itu untuk meminta warga AS, apakah “California menjadi negara bebas, berdaulat dan independen atau tidak”.

    Kelompok pro-Kemerdekaan California juga bersiap membuat pengajuan ke PBB sebagai negara baru yang mereka sebut sebagai Republik California. “Menjadi negara bagian AS tidak lagi melayani kepentingan terbaik (warga) California,” klaim kelompok pro-Kemerdekaan California.

    ”Tidak hanya  terpaksa mensubsidi anggaran militer besar-besaran ini dengan pajak kita, tapi California dikirim untuk bertempur dalam perang yang sering dibuat lebih banyak untuk melanggengkan terorisme ketimbang meredamnya. Satu-satunya alasan teroris yang mungkin ingin menyerang kita adalah karena kita bagian dari AS.”

    Wakil Presiden kelompok Yes California Independence Campaign, Marcus Evans, mengatakan tanda tangan para pemilih akan divalidasi pada 25 Juli untuk diloloskan dalam pemungutan suara November 2018.

    ”Amerika sudah membenci California, dan Amerika bersuara emosi,” kata Evans kepada Los Angeles Times. ”Saya pikir kami akan memiliki orang hari ini jika kita memegangnya,” imbuh dia, yang dikutip Sabtu (28/1/2017).

    (mas)

  • Seruan Diskusi: Pelanggaran HAM dan Hak Menentukan Nasib Sendiri Bangsa Papua

    Tuntutan Hak penentuan nasib sendiri adalah hak setiap orang dan setiap bangsa manapun. Hal ini telah dijamin oleh hukum internasional dan juga telah tertuang dalam Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 bahwa “Kemerdekaan Itu Ialah Hak Segala Bangsa, Maka Penjajahan Di Atas Dunia Harus Dihapuskan”. Oleh karena itu, tuntutan hak penentuan nasib sendiri (The right of Self-determination) adalah mutlak diperjuangkan.

    Bangsa West Papua harus menjadi penentu masa depan mereka sendiri, bukan penguasa kolonial, juga buka kapitalisme global. Bahwa tawaran paket politik kolonial melalui Otsus, Pemekaran, dan segala bentuk rupa adalah kebahagiaan semu. Sehingga tidak ada jalan lain bagi bangsa West Papua untuk melepaskan diri dari penindasan sistemik yang dilakukan oleh Indonesia kecuali menentukan nasib sendiri dengan jalan Referendum.

    Sebagaimana yang sampaikan oleh Victor Conde (1999) bahwa “Hak untuk menentukan nasib sendiri merupakan suatu prinsip hukum internasional yang dapat ditemukan sebagai norma dalam berbagai perjanjian internasional, seperti Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights) yang memuat tentang Hak Asasi Manusia (HAM) tertentu dan hak ini menyatakan bahwa semua negara (all states) atau bangsa (nation) mempunyai hak untuk membentuk sistem politiknya sendiri dan memiliki aturan internalnya sendiri; secara bebas untuk mengejar pembangunan ekonomi, sosial dan budaya mereka sendiri; dan untuk menggunakan sumber daya alam mereka yang dianggap cocok. Hak untuk menentukan nasib sendiri adalah hak dari suatu masyarakat kolektif tertentu seperti untuk menentukan masa depan politik dan ekonominya sendiri dari suatu bangsa, tunduk pada kewajiban-kewajiban menurut hukum internasional”.

    Persoalan akan penentuan nasib sendiri bagi bangsa West Papua bukan lah hal yang baru, Namun hal ini telah dibuktikan oleh berbagai bangsa di dunia. Mereka telah memilih untuk mengatur segala persoalan bangsanya sendiri dengan jalan penentuan nasib sendiri. Kita dapat menemukan beberapa gerakan kemerdekaan, yang mengejar pemisahan seperti di sudan di wilayah Afrika, Kosovo di Eropa Timur, dan Tibet di kawasan Asia. Di Asia, perjuangan untuk penentuan nasib sendiri bagi bangsa West Papua merupakan tuntutan mutlak yang harus dituntaskan, sebab itu hak dasar yang diakui oleh Dunia Internasional.

    II. Tujuan Kegiatan

    Memberikan suatu perspektik yang benar tentang kasus pelanggaran HAM di Papua serta membangun kesadaran khususnya kepada Rakyat Indonesia terhadap hak penentuan nasib sendiri bagi Bangsa West Papua untuk merdeka.

    III. Tema Kegiatan:

    “Pelanggaran Hak Asasi Manusia dan Penetuan Nasib Sendiri”

    IV. Waktu dan Tempat

    Hari / Tanggal : Kamis 15 Desember 2016
    Waktu : 14.00-18.00 WIB
    Tempat : LBH Jakarta, Jalan Diponegoro No. 74 Menteng Jakarta Pusat
    Thema : “Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) dan Penetuan Nasib Sendiri”

    Seruan Diskusi Di publikasikan kepada seluruh rakyat Indonesia (Prodemokrasi) dan rakyat Papua Barat untuk mendorong Proses Hak Demokratic (Pembebasan Nasional) sebagai bentuk kepedulian Terhadap kemanusian Di Papua Barat. kami ucapkan banyak terimakasi.

  • Massa Pendukung Referendum Papua Ditembak Water Canon

    Massa Pendukung Referendum Papua Ditembak Water Canon
    Unjuk rasa FRI berakhir kericuhan. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)

    Jakarta, CNN Indonesia — Petugas polisi menembakan water canon ke arah sekitar 50 pedemo yang bergabung dalam Front Rakyat Indonesia, Kamis (1/12). Penembakan water canon saat massa FRI sedang berada di Jalan Imam Bonjol, Jakarta Pusat menuju Bunderan Hotel Indonesia untuk berunjuk rasa menuntut referendum bagi Papua.

    Sejak pagi tadi, massa FRI berkumpul di Lembaga Bantuan Hukum Jakarta dan melanjutkan aksi longmarch ke Bunderan HI.

    Berdasarkan pantauan CNNIndonesia.com, ketika massa tiba di lampu merah Imam Bonjol yang berjarak sekitar 50 meter dari Bunderan HI, puluhan polisi perempuan membentuk pagar betis memblokade massa.

    Beberapa menit kemudian, sembari berorasi dan bernyanyi, massa bergerak maju. Pagar betis para polwan kemudian digantikan petugas polisi bertameng.

    Menghadapi polisi bertameng, pedemo kemudian mengeluarkan ikat merah berlambang kejora. Polisi dari atas mobil komando pun memerintahkan petugas untuk menembakan water canon ke arah pedemo.

    Setelah menembakan water canon, petugas menarik ikat kepala dari para pedemo. Terlihat aksi tarik menarik antara petugas dan para pedemo. Polisi juga tampak mengamankan beberapa pedemo.

    Menurut aktivis LBH Jakarta, Veronica Koman, polisi juga mengamankan tiga pedemo, yang terdiri dari dua orang koordinator lapangan dan satu lagi dari Free West Papua.

    “Tiga orang itu kemungkinan dibawa ke Polda. Polanya kalau setahun ini semua orang Papua diangkut supata tidak bisa berekspresi di Indonesia,” kata Veronica.

    FRI merupakan organisasi yang terdiri dari sejumlah kelompok masyarakat Partai Pembebasan Rakyat, Pusat Perjuangan Rakyat Indonesia, PEMBEBASAN, Serikat Kebudayaan Masyarakat Indonesia, Lingkar Studi Sosialis, dan Perkumpulan Solidaritas Net.

    Rencananya, selain mendukung referendum Papua, massa FRI mendukung keanggotaan United Liberation Movement fof West Papua (ULMWP) di Melanesia Spearhead Group, Pacific Island Forum dan memperjuangkan keanggotaan ULMWP di Perserikatan Bangsa-bangsa.

    FRI mendesak militer ditarik dari Papua agar referendum berjalan damai, adil dan tanpa tekanan. Hal ini juga supaya masyarakat Papua mendapatkan kebebasan informasi, ekspresi dan berorganisasi.

    Selain itu, FRI membawa pesan kepada dunia internasional untuk membangun konsilidasi solidaritas perjuangan hak menentukan nasib sendiri bagi Papua Barat.

    “Kami juga memperjuangkan supaya masyarakat dapatkan pendidikan gratis, perluasan sekolah dan universitas, kesehatan gratis dan transportasi murah,” ujarnya.

    Tanggal 1 Desember selama ini dikenal sebagai Hari Ulang Tahun Organisasi Papua Merdeka (OPM) dan dianggap istimewa bagi sebagian kelompok di Papua karena dinilai sebagai hari kemerdekaan. Setiap tahunnya pada tanggal ini petugas keamanan selalu memperketat pengawasan di Papua lantaran kerap ada pengibaran bendera bintang. (yul)

  • Demo pakai atribut OPM, mahasiswa Papua disemprot water cannon

    Demo pakai atribut OPM, mahasiswa Papua disemprot water cannon
    Aksi demo mahasiswa Papua. ©2016 merdeka.com/arie basuki

    Merdeka.com – Sejumlah massa mengatasnamakan Aliansi Mahasiswa Papua bersama Front Rakyat Indonesia Untuk West Papua menggelar aksi unjuk rasa di Jakarta. Mereka menuntut pemerintah Indonesia untuk menggelar referendum di seluruh wilayah Papua.

    Pantauan merdeka.com, Kamis (1/12), aksi tersebut dimulai sekitar pukul 09.30 WIB. Mereka menuntut untuk diberikan kebebasan dan penentuan hak nasib sendiri sebagai solusi demokratis rakyat Papua, serta meminta agar TNI/Polri ditarik dari Papua.

    Aksi ini sedianya digelar di Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta dan dilanjutkan dengan berjalan kaki menuju Istana Negara. Namun, polisi menahan para pendemo di Jalan Imam Bonjol dan hanya boleh menyuarakan aspirasinya di sana.

    Massa yang terdiri dari ratusan orang itu juga membawa atribut Organisasi Papua Merdeka (OPM), berupa ikat kepala bergambar Bintang Kejora. Hal itu memantik perhatian polisi, sehingga beberapa orang yang mengenakan atribut OPM langsung dibekuk.

    Kejadian itu sempat menimbulkan kericuhan, namun tak ada aksi baku pukul antara demonstran dan polisi. Meski begitu, polisi tetap menyemprotkan water cannon ke arah massa.

    Saat ini, situasi sudah kembali kondusif. Massa tetap berorasi di tengah pengawalan ketat kepolisian. Beberapa pendemo yang sempat ditangkap sudah dilepaskan kembali, tapi tanpa mengenakan atribut OPM.

    Reporter : Arie Basuki | Kamis, 1 Desember 2016 11:22
  • Deklarasi Dukung Papua Tentukan Nasib Sendiri Berisi 9 Poin

    Juru Bicara Front Rakyat Indonesia untuk West Papua (FRI-West Papua), Surya Anta, memberikan penjelasan kepada wartawan seusai membacakan deklarasi. (Foto: Eben E. Siadari)
    Juru Bicara Front Rakyat Indonesia untuk West Papua (FRI-West Papua), Surya Anta, memberikan penjelasan kepada wartawan seusai membacakan deklarasi. (Foto: Eben E. Siadari)

    JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Lewat sebuah konferensi pers yang sederhana di kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH), Jakarta, Front Rakyat Indonesia untuk West Papua (FRI-West Papua) hari ini (29/11) mendeklarasikan dukungan bagi hak menentukan nasib sendiri bagi rakyat Papua, yang  mereka sebut sebagai bangsa West Papua.

    Deklarasi itu dibacakan oleh Juru Bicara FRI-West Papua, Surya Anta, di depan sejumlah wartawan dan puluhan aktivis. Deklarasi ini unik, karena disuarakan oleh FRI-West Papua yang nota bene adalah aliansi sejumlah kelompok aktivis yang berlatar belakang bukan Papua. Mereka merasa solider dengan nasib rakyat Papua yang menurut mereka mengalami diskriminasi rasial di tanah Papua maupun di luar Papua selama beberapa dekade.

    Juru Bicara FRI-West Papua, Surya Anta, saat membacakan deklarasi mendukung hak menentukan nasib sendiri bagi West Papua (Foto: Eben E. Siadari)
    Juru Bicara FRI-West Papua, Surya Anta, saat membacakan deklarasi mendukung hak menentukan nasib sendiri bagi West Papua (Foto: Eben E. Siadari)

    Deklarasi itu sendiri cukup panjang, berisi penjelasan tentang apa yang terjadi di Papua, antara lain kecurangan dan penipuan sejarah Papua, diskriminasi sosial, genosida perlahan, penangkapan, penyiksaan dan pemenjaraan rakyat Papua serta perampokan kekayaan alam.

    Lalu disajikan juga penjelasan alasan perlunya hak menentukan nasib sendiri bagi rakyat Papua. Ditekankan bahwa West Papua adalah sebuah bangsa, yang terbentuk berdasarkan kesamaan bahasa, teritori, kehidupan ekonomi dan perubahan psikologi yang termanifestasikan dalam sebuah kebudayaan bersama.

    Deklarasi diakhiri dengan permintaan kepada rakyat Indonesia, pemerintah Indonesia dan dunia internasional, yang menyerukan agar hak menentukan nasib sendiri diberikan kepada rakyat Papua.

    “Adalah kemunafikan apabila kita atau pemerintah Indonesia bisa mendukung pembebasan Palestina tapi diam dan membiarkan penjajahan yang terjadi dalam bingkai teritori Indonesia. Oleh karena itu, tak ada lagi alasan menganggap West Papua sebagai bagian Indonesia baik dalam hukum internasional maupun secara politik,” kata Surya membacakan deklarasi.

    Selengkapnya sembilan permintaan dalam deklarasi tersebut adalah sebagai berikut:

    Pertama,  mendukung bangsa dan rakyat West Papua untuk menentukan nasib sendiri melalui mekanisme referendum. Dan kepesertaan referendum akan ditentukan oleh rakyat West Papua melalui representasi politiknya dalam United Liberation Movement for West Papua (ULMWP).

    Kedua, mendukung keanggotaan ULMWP di Melanesia Spearhead Group (MSG), Pasific Island Forum dan  memperjuangkan keanggotaan ULMWP di PBB.

    Ketiga, sebagai syarat yang tak terpisahkan bahwa militer organik dan non-organik di West Papua harus ditarik agar referendum di West Papua dapat berjalan secara damai, adil, dan tanpa tekanan.

    Keempat, kebebasan informasi, berekspresi, berorganisasi dan berpendapat bagi Bangsa West Papua harus dibuka lebar dan dijamin.

    Kelima, menolak intervensi imperialis dalam proses perjuangan demokratik West Papua.

    Keenam, juga menyerukan kepada dunia internasional untuk membangun konsolidasi solidaritas perjuangan hak menentukan nasib sendiri bagi bangsa West Papua.

    Ketujuh,  menganjurkan kepada rakyat Indonesia yang bermukim di tanah West Papua untuk mendukung perjuangan bangsa Papua dalam menentukan nasibnya sendiri.

    Kedelapan, menolak politik rasial yang dilakukan oleh NKRI dan TNI/POLRI secara sistematis dan masif terhadap bangsa West Papua.

    Kesembilan, pendidikan gratis, perluasan sekolah dan universitas, kesehatan gratis, transportasi murah dan massal, dsb.

    Kelompok yang menamakan diri Front Penyelamat Indonesia (FPI) berunjuk rasa di depan kantor LBH menolak deklarasi (Foto: Eben E. Siadari)
    Kelompok yang menamakan diri Front Penyelamat Indonesia (FPI) berunjuk rasa di depan kantor LBH menolak deklarasi (Foto: Eben E. Siadari)

    Menurut Surya Anta, ada enam elemen gerakan sipil yang tergabung dalam FRI-West Papua. Mereka adalah Partai Pembebasan Rakyat, Pusat Perjuangan Rakyat Indonesia, PEMBEBASAN, Serikat Kebudayaan Masyarakat Indonesia, Lingkar Studi Sosialis, Perkumpulan Solidaritas Net. Sebagian besar anggotanya adalah aktivis-aktivis muda.

    Mereka juga berencana melaksanakan aksi pada 1 Desember di Jakarta dan di beberapa kota di pulau Jawa.

    Sementara itu pada saat yang sama, di depan gedung LBH Jakarta, berlangsung pula aksi unjuk rasa dari puluhan aktivis Front Penyelamat Indonesia (FPI). Mereka mengecam dan menolak deklarasi.

    Editor : Eben E. Siadari

  • Declaration of Indonesia People’s Front for West Papua

    To: Out Friends, Printed and Electronic Media

    DECLARATION OF INDONESIAN PEOPLES SUPPORTING THE RIGHT TO SELF-DETERMINATION OF THE PAPUAN NATION

    Since Indonesia went into West Papua in 1961, the suffering of the Papuan people has been continuing under Indonesia’s colonialism. Manipulation of history was carried out sistematically by the Indonesian government. The root of the prolem in West Papua is the manipulation of history.

    In 1969, an Act of Free Choice, referendum to determine whether West Papua will join Indonesia was carried out with full of lies. Therefore, the outcome of the referendum is unjustifiable.

    Narrow nationalism with a jargon such as “NKRI is a final price” has killed many West Papuan peoples. Thousands has been killed, tortured, kidnapped by the state. Land grabbing has been happening everywhere. Repression against freedom of expression and conscise towards West Papuan peoples has ben on of the worst in this country.

    Therefore, we the Indonesian peoples think that it is already time for West Papua to determine her future by herself on their own land.

    For this purpose, we intend to encourage and invite all our media friends to broadcast our “Declaration of Indonesia People’s Front for West Papua” through this Press Conference that will be held:

    Day and Date: Tuesday, 29 November 2016
    Time: 10:30 – the end
    Place: Flor 1, LBH Building Jakarta
    Jalan Diponegoro No. 74 Menteng, Jakarta Pusat

    For further information, please contact Surya Anta (081574304391). For your attention and cooperation, we thank you.

    Jakarta, 28 November 2016

    Sincerely,

    Front Rakyat Indonesia untuk West Papua
    (FREE-WEST PAPUA)

    • Original text in Malayo – Indos: HERE
    • Translation by: PMNews CEB
  • Kelompok ornop diimbau kawal referendum Kanaky dan Bougainville

     Sekretaris Jenderal Pacific Islands Forum (PIF), Dame Meg Taylor. --pina.com.fj
    Sekretaris Jenderal Pacific Islands Forum (PIF), Dame Meg Taylor. –pina.com.fj

    Suva, Jubi – Kelompok nonpemerintah di Pasifik diimbau untuk mengawal proses referendum yang akan berlangsung di Kaledonia Baru pada tahun 2018 dan di Bougainville pada tahun 2019. Pengawalan itu bertujuan untuk memastikan prinsip-prinsip hak mengusir penjajahan dan menentukan nasib sendiri terlaksana dengan baik.

    Sekretaris Jenderal Pacific Islands Forum (PIF), Dame Meg Taylor mengatakan itu ketika merespon pertanyaan tentang peran PIF dalam menghadapi dua referendum yang akan berlangsung di Pasifik dalam dua tahun mendatang.

    Taylor mengatakan, ia sendiri akan mengunjungi Bougainville tahun depan sebagai bagian dari pengawalan jalannya persiapan referendum. Ia mengimbau kepada seluruh organisasi nonpemerintah dan masyarakat sipil untuk meningkatkan kesadaran warga akan haknya menentukan nasib sendiri.

    “Saya hanya bisa menyarankan Anda untuk berbuat yang terbaik-mengadvokasi dan meningkatkan kesadaran warga di komunitas Anda. Peran Anda adalah memastikan bahwa hasil referendum nanti mengakhiri penderitaan warga akibat penjajahan kolonial,” katanya.

    Pernyataan Taylor ini muncul sehari setelah kelompok prokemerdekaan di Kaledonia Baru (FLNKS) mengumumkan hilangnya nama-nama pemilik hak suara dari kalangan suku asli negara itu dalam daftar referendum. FLNKS memperkirakan jumlahnya antara 20.000-25.000 hak suara yang tidak tercatat dalam daftar pemilih.

    Sementara itu, Theresa Jantong dari Bougainville menyatakan bahwa pemerintah otonom Bougainville dan pemerintah Papua Nugini telah berkonsultasi untuk memastikan jalannya referendum pada tahun 2019. Keduanya terlibat dalam perang sipil selama lebih dari satu dekade dan berakhir pada 1999.

    Di bawah Kesepakatan Damai Bougainville, daerah otonom itu seharusnya menggelar referendum pada tahun 2020. Namun, target itu dipercepat dan telah ditentukan bahwa referendum akan berlangsung pada 15 Juni 2019.

    Papua Barat

    Selain referendum di Kaledonia Baru dan Bougainville, kawasan lainnya di Pasifik yang sedang dipersiapkan untuk menggelar referendum yaitu di Papua Barat. Penasihat politik pemerintahan Kepulauan Solomon, Fei Tevi mengatakan bahwa Papua Barat adalah satu hotspot lainnya di Pasifik selain Kaledonia Baru dan Bougainville.

    “Isu penentuan nasib sendiri bukanlah isu baru. Ini merupakan agenda para pemimpin politik di Pasifik sejak tahun 1980-an. Kelompok masyarakat sipil seharusnya turun ke lapangan mendukung upaya ini agar masyarakat sadar tentang haknya menentukan nasib sendiri,” ujarnya. (*)

Are you sure want to unlock this post?
Unlock left : 0
Are you sure want to cancel subscription?