Tag: politik otonomisasi

  • Jimly: Perlakuan Khusus Bagi Papua Diskriminatif Tapi itu Positif

    JAYAPURA- Undang- undang Otonomis kusus (Otsus) Papua yang sejumlah pasalnya memberikan perlakuan khusus terhadap orang asli Papua, sesungguhnya merupakan bagian dari hal yang diskriminatif. Hanya saja, diskriminatif tersebut adalah positif yang dibolehkan. Hal itu dikemukakan anggota Mahkamah Konstitusi (MK) Prof Dr Jimly Asshiddiqie, SH dalam paparannya di depan anggota MRP dan utusan dari berbagai lembaga pada Seminar sehari tentang penerapan UUD 1945 di Tanah Papua serta MRP sebagai mekanisme perlkaukan khusus bagi orang asli Papua.

    “Perlakuan khusus yang diberikan terhadap orang asli Papua sebenarnya diskriminatif bagi daerah lain,” katanya. Hanya saja, diskriminatif itu adalah dalam pengertian dan prinsip – prinsip konstitusional yang disepakati. Sebab diskriminatif itu sendiri terdiri dari dua macam, yakni diskriminatif negatif dan diskriminatif positif.

    Mantan Ketua MK itu menjelaskan, untuk diskriminatif negatif kalau itu menyangkut agama, suku, ras, gender dan sebagainya. “Diskriminatif yang ini tidak boleh terjadi,” katanya. Sedangkan diskriminatif lainnya adalah diskriminatif positif yakni kalau ada kelompok yang tertinggal atau termarginalkan dan masih hidup dalam kemiskinan. Untuk mengejar ketertinggalannya itu, maka diperlukan suatu perlakukan khusus yang disepakati dengan tujuan untuk menolong kelompok yang termarginalkan tersebut.
    “Jadi diskriminitaif positif ini boleh saja, tetapi sifatnya harus sementara (temporal) dan harus diakhiri apabila kelompok yang termarginalkan itu sudah sama dengan kelompok lain yang maju,” terangnya.
    Meski begitu, sesuai dengan Undang Undang, prinsip umumnya diskriminatif dalam segala bentuk sebenarnya tidak boleh, sebab setiap warga negara bersamaan kedudukannya memiliki hak dan kewajiban yang sama, karena sudah ada kontrak konstitusi yang menjadi factor pemersatu yakni Pancasila dan UUD 1945.

    “Jadi prinsip anti diskriminasi itu adalah setiap orang berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang dan setiap orang bebas dari perlakuan yang sifatnya diskriminatif,” katanya.
    Assiddiqie juga mengaku bahwa selama ini pihaknya cukup banyak membatalkan aturan dan undang – undang yang diajukan karena dinilai melanggar prinsip – prinsip diskriminasi.

    Pada kesempatan itu, Assiddiqie dihujani berbagai pertanyaan dari anggota MRP, termasuk dengan berbagai topik actual yang tengah terjadi di Papua, khususnya yang terkait dengan implementasi Otsus, termasuk masalah perlakuan khusus itu.

    Menanggapi pertanyaan Abina Wasanggai terkait dengan indigenous people di Indonesia, Assiddikqie mengatakan bahwa pada saat Deklarasi indigenous people dua bulan lalu, sebagai anggota PBB Indonesia ikut menandatangani deklarasi itu. “Jadi, waktu dideklarasikan kita ikut tanda tangan,” katanya. Hanya saja yang harus dipahami disini adalah indigenous itu adalah masyarakat hukum adat seperti yang dijamin dalam UUD 1945. “Kita tidak terima pengertian di luar itu untuk sesuatu yang diskriminatif, misalnya kita bisa mendiskriminatif pendatang dengan pribumi,” katanya.
    Ia lalu mencontohkan tentang pendatang China (Tionghoa) di Indonesai yang sudah turun temurun dan menjadi warga negara Indonesia. “Kalau dia didiskriminasi tidak ada gunanya bagi kita. Karena dia menguasai ekonomi dan ekonomi Indonesai, ekonomi semua negara yang terintegrasi dengan ekonomi regional dan ekonomi global yang sebenarnya ini menguntungkan kita. Jadi dia itu tidak merugikan kita, yang ada sebenarnya kita sendiri yang rugi kalau mengusir mereka,” katanya.

    Lagi pula, sesuai dengan UU dan konteks indigenous itu maka tidak lagi bisa menggunakan istilah pribumi, sebab semua warga negara punya hak dan kewajiban yang sama baik itu China, Yahudi dan sebagainya. “Jadi indigenous people jangan disalah artikan,” tukasnya serius.
    Menjawab pertanyaan lainnya terkait dengan kasus 9 Agustus lalu di Wamena, Assiddiqie mengatakan sesungguhnya kasus HAM tidak ada kaitannya dengan MK, namun ia mencoba mengingat – ingat dan mengatakan bahwa soal kasus yang terkait dengan bendera Bintang Kejora ia menegaskan bahwa hal itu sudah ada yang mengatur.
    Untuk kasus Wamena 9 Agustus itu dirinya tidak ngerti, tetapi yang penting bendera dan lambang daerah sudah ada Peraturan Pemerintah yang mengatur. Menurut PP itu harus dilaksanakan secara resmi melalui Perda.

    “Di luar itu tidak boleh diperlakukan sebagai lambang daerah sebab lambang daerah sudah ada aturannya. Jadi ikuti saja aturannya, kenapa harus paksakan diri di luar aturan yang ada. Sebab kalau melenceng dari aturan, maka itu akan melanggar hukum. Mana yang sudah diatur oleh negara kita itu yang kita ikuti, kalau kita paksakan diri, jadi repot sendiri jadinya,” katanya.

    Menanggapi pertanyaan anggota lainnya apakah MRP boleh menangani peran legislasi, assiddiqie mengatakan bahwa itu boleh saja. “Saya setuju MRP diberikan peran di bidang legislasi tidak usah banyak – banyak, tapi harus ada fungsi – fungsi yang terjkait,” katanya. Misalnya saja bisa mengajukan usul, atau katakanlah MRP itu diberikan peran seperti DPD terhadap DPR. Sehingga MRP tidka hanya menjadi lembaga cultural yang tidak bias membuat apa-apa.

    Seminar yang menghadirkan nara sumber Gubernur Barnabas Suebu SH dan Kamala Chandra Kirana dari Komnas Perempuan itu berlangsung alot karena diwarnai berbagai pertanyaan yang cukup kritis terhadap peran dan fungsi lembaga MRP serta perlakuakn khusus terhadap Papua.(ta)

  • HELMI TOATUBUN DAN VERDI PAYUNG TAPI KORUPSI DAN

    HELMI TOATUBUN DAN VERDI PAYUNG TAPI KORUPSI DANA TUNJANGAN BIAYA STUDI AKHIR MAHASISWA – MAHASISWI STIE – PORT-NUMBAY

    Dengan melihat perkembangan pada kampus Stie.Port – Numbay telah berlangsung sejak Lembaga intitusi perguruan tinggi itu berdiri di bawah naungan yayasan cinta tanah air,dengan dukungan dan motifasi yang sangat kuat dalam rangka menciptakan kualitas sumber daya manusia papua,agar orang papua ras melanesia hitam keriting ini berdiri diatas kaki sendiri,cita-cita inilah yang selalu di kampanyekan oleh pemerintah neokolonialis indonesia untuk mensejahterakan orang papua,baik itu di bidang pendidikan, kesehatan,infrastruktur, dan dan lain-lainnya yang menyangkut dengan hak hidup orang papua diatas tanahnya sendiri. Namun yang perlu diketahui bersama dalam melihat dari berbagai aspek tadi, ternyata salah satu diantara aspek itu yang belum dapat terwujud adalah aspek pendidikan,mulai dari tingkat sekolah dasar hingga perguruan tinggi tidak bisa dapat dikatakan indonesia sukses menjamin orang papua dari aspek pendidikan tadi,karena fakta membuktikan bahwa disetiap intitusi perguruan tinggi yang ada di papua penuh dengan manipulasi administrasi, korupsi,kolusi, nepotisme, penipuan, pembohongan, dan penghisapan allah akademis.

    Hal ini terjadi pada Lembaga Perguruan
    Tinggi Stie.Port-Numbay,disana para dosen-dosen sedang membangun sebuah proyek pembunuhan kualitas sumber daya manusia lewat berbagai alasan administarsi akademik,memberikan kesempatan/ kemudahan terhadap mahasiswa amber,menyulitkan mahasiswi-mahasiswa papua dalam berbagai urusan akademis di kampus itu.situasi ini berlangsung sejak lama hingga hari barulah terungkap kehadapan publik dengan jelas sekali bahwa dari antara sekian banyak dosen-dosen di kampus tersebut,mulai nampak koruptor-koruptor kakap yang selama kenyang dengan hak mahasiswa-mahasiswi,seperti yang dilakukan oleh kedua orang staf sekaligus dosen yakni Helmi.

    Toatubun dan Verdi Payung Tapi. Kedua orang dosen ini sedang memainkan peran yang cantik dengan manajemen Allah akademik,agar para mahasiswa menganggap bahwa hal yang dilakukan oleh "Helmi Toatubun dan Verdi Payung Tapi adalah benar.

    Akan tetapi jika di lihat saat ini Mahasiswa – mahasiswi papua sedang di tumis dalam koali oleh kedua orang dosen ini,tanpa di sadari proses
    pemanipulasian administrasi akademik sedang berlangsung aman dan damai,apalagi yang sangat memprihatinkan adalah ketidaktahuan mahasiswa-mahasiswi dengan kejelasan dana tunjungan bagi mahasiswa tahap akhir yang di berikan oleh pemerintah propinsi papua lewat Dinas Sosial Propinsi dan di tangani langsung oleh perguruan tinggi tersebut.

    Boleh dikatakan bahwa Lembaga Akademis lebih jahat dari yang kita bayangkan,maka dengan melihat karakter busuk yang dilakukan oleh kedua orang dosen ini perlu ada tinjauan/ di periksa dan di penjarakan bilah terbukti melakukan pelanggaran dalam manajemen administrasi.

    HAELMI TOATUBUN DAN VERDI PAYUNG TAPI KORUPSI BESAR YESSSSSS!!!!!!!!!!!!!

    Mobile post sent by SPMMobile using Utterzreply-count Replies.

  • BEDAH BUKU PAPUA MENGGUGAT: Berikan Hak Demokrasi Rakyat Papua!

    YOGYAKARTA [WPNews] – “Walaupun dalam pengantarnya, Saudara Sem Karoba dan kawan-kawan (Tim Penulis, Red) menyatakan diri bahwa bukan politisi, tapi setelah saya membacanya ternyata buku ini sudah sangat jelas adalah sebuah manifesto politik. Karena hampir semua isi buku ini memuat pertanyaan-pertanyaan politik yang menggugat “proyek otonomisasi NKRI di Papua Barat”. Pernyataan-pertanyaan politik itu senantiasa didahului dengan paparan kasus untuk memperkuat pernyataan yang dikedepankan serta diakhiri dengan sederetan pertanyaan-pertanyaan tajam.”

    Demikian AA. GN. Ari Dwipayana, SIP, MSi, dosen Fisipol UGM, ketika tampil membedah buku “Papua Menggugat II” (Politik Otonomisasi NKRI di Papua Barat) karya Sem Karoba dkk yang digelar di Aula Asrama Mahasiswa Papua “Kamasan I” Yogyakarta, hari Senin (30/8) tadi.

    Buku ini diterbitkan dalam tiga jilid. Bagian Kesatu (Papua Mencatat) berisi catatan seputar politik Otonomisasi NKRI di Papua Barat, reaksi terhadapnya, disertai beberapa contoh kasus politik di dunia dan Asia Pasifik. Bagian Kedua (Papua Berteori) mengkaji arti kata Otonomi
    (Khusus) yang dalam real politiknya disebut pembangunan, disertai arti, wujud, politisasi Otsus dan latarbelakangnya dalam perspektif HAM, Prinsip Demokrasi, Hukum serta Teori Pembangunan di Tiga Dunia dan Dunia Ketiga.

    Sedangkan Bagian Ketiga (Papua Menggugat) dengan berdasarkan catatan retorika, realitas dan kajian teori Otus, serta kebijakannya di lapangan, maka Papua menyampaikan gugatan kepada Indonesia. Gugatan kali ini punya dua dalih utama. Bahwa, Otsus II (2002-2007) ini murni hasil konspirasi Internasional, tindak lanjut dari limbah politik Otsus I (1963-1988). Kemudian disimpulkan dalam ‘Pasal Kosong’, bahwa kebijakan ini tidak saja mengorbankan Bumi Cenderawasih dengan segala habitatnya, tetapi juga tidak menguntungkan NKRI karena nyatanya Indonesia telah lama diperalat habis-habisan.

    Dalam bahasa Sem Karoba, “Politik Otonomisasi di Papua Barat telah memalangkan nasib, menjerumuskan bangsa Papua Barat dan bangsa Indonesia dari krisis yang satu kepada kemalangan yang lain; tanpa perikemanusiaan, tanpa menghargai HAM, dengan melanggar prinsip Demokrasi dan Hukum, untuk kepentingan mesin-mesin kapitalisme-imperialis yang mengutamakan growth, modernism, developmentalism, welferism, socialism, dengan menggadaikan dan melacurkan diri dalam retorika politik yang memalukan.”

    Membaca isi buku-buku yang diterbitkan oleh WatchPapua ini, Ari Dwipayana menarik kesimpulan bahwa pertanyaan dan pernyataan penulis menjadi semacam “alat pemancing” yang cukup berhasil karena dengan pertanyaan tajam yang dibuatnya bisa merangsang naluri keingintahuan untuk terus mengikuti substansi-informasi yang dipaparkan halaman demi halaman dalam buku ini.

    ”Buku ini mengungkapkan yang sebenarnya. Karena paparannya tentang informasi subversi [alternatif] di tengah hegemoni informasi sepihak tentang Papua. Banyak yang tidak ‘sekaya’ Sem Karoba dalam memperoleh data-informasi tentang ‘apa yang sebenarnya terjadi di Papua’. Jadi, buku ini paling tidak menjawab kebutuhan publik dalam mewacanakan kebijakan Otsus itu. Isinya memang penuh analisis kritis yang didukung data kasus-fakta (induktif) dan argumen-pernyataan (deduktif), sehingga mempertajam wacana terhadap Otonomi Khusus itu sendiri,” kata pria asal Bali ini.

    Karena, lanjutnya, Papua seperti juga daerah-daerah lain di luar Jakarta selalu menjadi “anak haram” dan menempati posisi pinggiran dalam lalu lintas informasi yang mendunia. “Informasi selalu penuh versi utama dan didominasi Jakarta,” kata dosen Fisipol UGM ini. Dia mengakui bahwa Sem Karoba dkk berhasil mengungkapkan pesan politik dengan cukup banyak perbendaharaan kata-kata yang cukup provokatif, seperti “Desentralisasi Kejahatan” [hal: 78], “Persundalan” [hal: 151], “Memabukkan dengan paha putih!” [hal: 309], dan seterusnya.

    Lebih menariknya, kata Dwipayana, adanya studi komparasi perbandingan) praktik penerapan Otonomi Khusus di berbagai belahan dunia, baik Otsus untuk kalangan Indegenous People Saami di Skanavia, Otonomi untuk etnik Inuit di Kanada, Romas hingga Otsus untuk orang Gaelic dan Celtic di Irlandia [hal. 207-241] maupun format otonomisasi di Asia Pasifik, termasuk kasus Otsus di Bougainvilea di PNG [hal. 243-265]. “Studi komparasi tentang penerapan otonomi khusus bagi etnik minoritas ini sangat membantu memberikan bingkai yang lebih lengkap mengenai sejarah marginalisasi etnik minoritas dan pada saat bersamaan kita juga akan diajak mengeksplorasi perjuangan yang dilakukan oleh bangsa-bangsa (nations) termarginalkan dalam sebuah nation-state guna membangun sebuah format demokrasi yang menghargai minoritas,” paparnya.

    Untuk Otsus bagi Provinsi Papua, Ari Dwipayana sepakat bahwa desain, konsep dan implementasi politik desentralisasi (otonomi) sangat tidak jelas, cacat substansi, kabur atau sengaja dibuat kabur. Kekaburan ini semakin jelas ketika Indonesia menerapkan dua desain politik yang sama sekali berbeda pada saat bersamaan, yakni UU NO. 45 Tahun 1999 tentang Pemekaran Provinsi Irian Jaya (Barat, Tengah dan Timur) yang kemudian diperkuat oleh Inpres No. 1 Tahun 2003 tentang Percepatan Pemekaran Provinsi Irja, serta produk kedua adalah UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otsus bagi Papua.

    “Inilah akar soal. Kedua produk politik Jakarta itu konsepnya (desain-basis pijakan teoritik dan alasan) berbeda. Jadi, akibat dari itu jelas rakyat Papua adalah korbannya,” ujarnya lagi.

    Pada acara bedah buku peserta tampak antusias mengikutinya. Terutama ketika sesi tanya jawab tiba. Sejumlah ide pemikiran juga sempat disampaikan peserta yang hadir.

    Acara diawali dengan sambutan dari Direktur Galang Press, yang menerbitkan buku ini. Pihaknya mengucapkan terimakasih atas kepercayaan untuk dicetak dan pada dasarnya mendukung setiap penulisan buku-buku Papua. “Ini buku yang kedua, sebelumnya kami terbitkan buku Papua Menggugat I tentang kematian Theys,“ jelasnya. Dan, rupanya pihak Galang Press sedang mempersiapkan sebuah unit usaha penerbitan khusus Papua.

    Efendy Payokwa, Ketua Ikatan Pelajar-Mahasiwa Papua Yogyakarta mengatakan, pihaknya menerima kehadiran buku ini sebagai wujud ekspresi dan cerminan terciptanya iklim ilmiah di kalangan mahasiswa Papua. Sedangkan menurut Ketua AMP Yogyakarta, Jimmy Omy Erelak, “Menulis buku sangat berarti, karena sampai 50-100 tahun pun masih dibaca oleh generasi berikutnya. Jadi, semua pembicaraan kita itu akan berguna bila kita tulis dalam buku,” ujarnya sembari menjelaskan bahwa AMP-DeMMaK sudah menerbitkan 14 buku.

    Sementara pembicara kedua, Yusuf Lakaseng, Ketua Umum KPP-PRD, berhalangan hadir karena sedang berada di Sulawesi. Wakil Ketua I KPP PRD, Ari Haryanto, menyebut, produk kebijakan Indonesia dengan pemberian Otsus itu bukanlah jawaban terhadap kebutuhan rakyat Papua, melainkan justru semakin menambah perihnya luka batin rakyat Papua. Karena, kata dia, kebijakan pemerintah itu tidak murni dan Otsus merupakan bagian dari memperkuat posisinya intuk memenuhi kepentingan ekonomi bagi negara Indonesia.

    Dengan topik “Kepentingan ekonomi kapitalisme dan Neo-liberalisme global terhadap Otonomi Khusus di Papua”, Ari Haryanto mengatakan kebijakan Jakarta itu jelas bukan tanpa tujuan dan target tertentu yang hendak dicapai. Paket Otsus itu mau tidak mau harus dibuat Indonesia ketika sudah berada dalam posisi terjepit diantara aspirasi merde rakyat Papua dan kewajiban Indonesia sebagai bagian dari dunia dalam menjaga integritas, keutuhan dan kesinambungannya.

    Itu sebabnya, Otsus dipaksakan kepada rakyat hanya karena nafsunya hendak menguasai alam Papua yang kaya raya, bukan karena Indonesia mencintai rakyat Papua. “Indonesia pegang Papua karena kekayaan alamnya. Kalau Papua lepas, Indonesia mau dapat sumber devisa negara dari mana lagi? Jadi, bagaimana pun Indonesia tetap ngotot mempertahankan Papua. Itu bukan karena mencintai sodara-sodari Papua, tetapi karena kepentingan ekonomi dunia. Sehingga jalan terakhir itu dikasih Otonomi Khsusus agar Papua tetap di NKRI,” jelas Ari Haryanto.

    Suasana semakin hidup tatkala Demianus Tari Wanembo, Ketua Komite Pusat Aliansi Mahasiswa Papua (KP AMP) tampil membawakan makalah berjudul “Papua dalam Sejarah Kekerasan”. Otonomi Khusus bagi Papua, kata Demianus, adalah salah satu bentuk kekerasan politik yang dilakukan Indonesia. Sebab, pemberlakuan Otsus itu bentuk rekolonialisasi yang dipaksakan dan menghasilkan berbagai bentuk kekerasan. “Setelah Otsus dipaksakan, menyusul kebijakan pemekaran wilayah itu merupakan stereotipe pemerintah Indonesia yang militeristik. Indonesia itu selalu saja: Tulis lain, Bicara lain, dan Kerja juga lain,” ungkapnya.

    Menurutnya, perjuangan rakyat Papua Barat untuk mengembalikan hak kebangsaannya telah berlangsung kurang lebih 40 tahun. “Ironisnya, banyak diantara kaum intelektual, politisi dan birokrat Indonesia saat ini tidak mengetahui secara jelas atau sengaja melupakan apa pokok penyebab serta dasar hukum yang melandasi perjuangan tersebut,” ujar Demianus.

    Ia kemudian membuka lembaran sejarah kekerasan Papua dalam dua bagian yakni kekerasan sejarah politik dan kekerasan struktural. Memang NKRI terbentuk karena sejarah penjajahan Belanda. Ungkapan penderitaan yang muncul akibat penindasan atas rakyat Indonesia telah melahirkan kesadaran bersama diantara semua etnis dari Sabang sampai Maluku untuk memperjuangkan keadilan dan hak-hak mereka.

    “Tetapi melihat aspek sejarah politik, kami mau bilang status politik Papua Barat sebagai sebuah negara dan rakyat yang dianekasasi itu masih memiliki hak menentukan nasib sendiri,” serunya.

    Sejak kehilangan hak kebangsaan melalui PEPERA 1969, berbagai bentuk kekerasan terus dialami rakyat Papua. Sejalan penyerahan status hukum wilayah Papua Barat secara sepihak oleh PBB kepada NKRI pada 1 Mei 1962, saat itulah Papua dengan seluruh keberadaannya memasuki masa-masa suram. Berbagai bentuk kekerasan secara struktural yang dilakukan NKRI itu, diantaranya mencakup kekerasan politik, ekonomi, kekerasan budaya, hukum, sosial serta kekerasan secara kejiwaan.

    Sejak perebutan Papua oleh bangsa kolonialis hingga dekolonialisasi bangsa Indonesia, selama itu pula terjadi berbagai permasalah di Tanah Papua. Dan, itu justru memunculkan beragam pertikaian politik yang tanpa henti-hentinya hingga hari ini. Catatan sejarah Papua telah menyimpan bukti-bukti konspirasi politik atas Bangsa dan Tanah Papua selama ini. Pertikaian politik yang berdampak pada penderitaan berkepanjangan adalah awal dari fenomena sosial, politik, dan ekonomi yang berdampak pada timbulnya konflik yang berkepanjangan pula hingga kini.

    Pemberlakuan Otsus di Papua adalah kepanjangan tangan dari imperialisme kapital global guna menghancurkan sendi-sendi kehidupan rakyat Papua. Terbukti ketika paket Otsus tahap pertama tahun 1969 (PEPERA) untuk menjawab aspirasi rakyat Papua berdaulat sendiri berdampak pada korban harta, nyawa dan hak asasi manusia (HAM) dilecehkan. Skenario yang sama pula dilakukan Indonesia melalui paket Otsus tahun 2001, yang ujung-ujungnya muncul pro-kontra diantara rakyat Papua itu sendiri.

    Kita masih ingat tahun 1998 dalam goresan sejarah Papua yakni gema tuntutan rakyat Papua atas hak-hak Demokrasi yang semula dikebiri, sehingga Indonesia meresponsnya dengan memberikan “gula-gula politik” –sekadar sebagai lips service– yang salah kaprah dan tidak sesuai keinginan rakyat Papua yaitu Paket OtSus yang pada dasarnya justru sangat kontraproduktif dengan dialektika sejarah Papua selama ini.

    Sekalipun Otsus ditolak rakyat Papua tapi tetap mereka paksakan. Ironisnya, aspirasi rakyat Papua selalu dijawab dengan popor senjata, intimidasi dan terror melalui alat negara yaitu aparat Indonesia (militer). Padahal, paket Otsus itu sendiri bila dikaji secara ilmiah, sama sekali
    tidak signifikan sebab dasar pemberlakuan Otsus itu karena rakyat Papua menuntut diberikannya hak demokrasi sebagai solusi penyelesaian konflik yang terus terjadi di Tanah Papua.

    Dasar pijakan implementasi Otsus Papua adalah menjurus pada dua kepentingan belaka yakni kepentingan ekonomi dan politik semata. Rakyat Papua menilai pemerintah Indonesia tidak konsisten dalam pengambilan kebijakan penyelesaian permasalahan. Itu artinya Indonesia sama sekali tidak mau perduli dan hidup bersama rakyat Papua.

    Menurut Demianus Tari Wanembo, untuk mengakhiri berbagai bentuk pelanggaran HAM di Papua, maka hendaknya Indonesia memberikan kesempatan kepada rakyat Papua untuk menentukan nasibnya melalui mekanisme Referendum. Sebab menghadapi tuntutan rakyat dengan menggunakan kekuatan militer dan kekerasan bukanlah jalan terbaik, melainkan justru posisi NKRI dimata dunia internasional semakin terpuruk.

    “Bagi kami rakyat Papua, NKRI boleh saja mengklaim hasil PEPERA 1969 itu sah dan tidak dapat diganggu gugat, tetapi dengan berbagai kekerasan dan pelanggaran HAM oleh Indonesia sejak penyerahan status wilayah hukum Papua itu sudah cukup untuk Papua lepas dari NKRI,” ujar Demianus.
    ***

    Reportase: yamoye@westpapuanews.com

    Last Updated ( Tuesday, 31 August 2004 )
    Written by ambolom, Monday, 30 August 2004
    http://web.archive.org/web/20040831113620/http://papuapost.com/Mambo/index.php?option=content&task=view&id=50

Are you sure want to unlock this post?
Unlock left : 0
Are you sure want to cancel subscription?