Tag: politik otonomisasi

  • Pemerintahan Baru Ingin Mekarkan Provinsi di Papua

    Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo KumoloJakarta – Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo mengatakan pihaknya akan mengutamakan pembentukan daerah otonom baru berupa dua provinsi baru di Papua.

    “Ke depan, akan ada skala prioritas pemekaran daerah. Kami (Kemendagri) ingin memekarkan provinsi di Papua. Kami berkonsultasi dengan semua pihak untuk menambah minimal satu sampai dua provinsi di Papua,”

    kata Tjahjo usai serah terima Jabatan di halaman Gedung Kemendagri Jakarta, Jumat.

    Prioritas pembentukan DOB di Papua tersebut diharapkan dapat memeratakan pembangunan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat di wilayah tersebut.

    Mendagri menilai Papua menjadi wilayah yang penting, sehingga perlu dipercepat proses pembangunan dan kesejahteraan masyarakat di wilayah paling timur Indonesia itu.

    “Papua itu wilayah yang besar, ada intervensi asing di sana yang tidak hanya menyangkut pendayagunaan sumber daya alam tetapi juga mulai merambat ke sektor-sektor lain,”

    kata Tjahjo.

    Sementara itu, Direktur Jenderal Otonomi Daerah Djohermansyah Djohan menjelaskan dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah telah diperbaharui peraturan mengenai mekanisme pembentukan daerah otonom baru (DOB).

    “Nasib calon daerah otonom baru, termasuk yang kemarin ada 87 usulan yang di-pending DPR, harus mengusulkan ke Pemerintah melalui Kemendagri kalau mereka menghendaki pemekaran karena pintunya sekarang hanya satu, yakni di Pemerintah Pusat,”

    kata Djohermansyah ditemui secara terpisah.

    Selain itu, Djo mengatakan, dalam UU Pemda yang baru tersebut juga diatur hal baru mengenai usulan pembentukan daerah otonom baru tidak hanya mempertimbangkan usulan dari daerah induk, melainkan Pusat pun bisa mengusulkan pemekaran daerah.

    “Mekanisme baru yang diatur dalam UU Nomor 23 Tahun 2014 itu yakni usulan pemekaran daerah tidak hanya muncul secara ‘bottom-up’, tetapi bisa juga ‘top-down’ yaitu dibentuk dari Pusat dengan alasan kepentingan strategis nasional,”

    kata Guru Besar Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) itu.

    Djo mencontohkan usulan Pusat tersebut adalah pembentukan DOB di daerah perbatasan yang mendesak, sehingga jika menunggu usulan dari daerah induk setempat akan menimbulkan gejolak politik lokal.

    “Kalau usulan DOB di daerah perbatasan itu mengikuti prosedur usulan dari daerah, yang akan ada permainan politik lokal di bawah, maka tidak akan jadi itu DOB. Padahal segera memerlukan otonomi untuk mengurus rumah tangga di daerahnya,”

    ujarnya. (ant/don)

    Sabtu, 01 November 2014 00:52, BinPa

  • Masih Kontroversi, Raperdasus Kursi Otsus Akan Disahkan

    Deerd TabuniJAYAPURA – Meski menuai kontroversi akibat tidak adanya payung hukum yang kuat, namun rencananya, Rancangan Peraturan Daerah Khusus tentang proses pembentukan panitia seleksi dan rekrutmen 14 kursi Otonomi khusus di Parlemen Papua, akan dibahas dan disahkan di dalam sidang Paripurna pembahasan Anggaran Belanja Tambahan Provinsi Papua tahun 2014, yang akan berlangsung 19-21 Agustus. Hal itu diungkapkan Ketua DPR Papua Deerd Tabuni.

    “Dalam sidang Paripurna ABT tahun ini, ada empat Raperdasus non APBD yang akan dibahas dan disahkan, salah satunya tentang proses seleksi dan rekrutmen 14 kursi Otsus untuk parlemen Papua,”ujar Deerd Tabuni kepada wartawan, Selasa 19 Agustus di ruang kerjanya.

    Pembasahan dan pengesahan 14 kursi otsus melalui sidang paripurna akan segera dilaksanakan, kata dia, karena proses harmonisasi oleh Badan Legislasi DPRP, dianggap sudah cukup. “Penggodokan 14 kursi otsus oleh Baleg DPRP, sudah sampai pada tahap penyempurnaan, sehingga sudah bisa dibawa ke paripurna untuk di bahas dan disahkan,”ujarnya.

    Raperdasus 14 kursi Otsus, lanjutnya, lebih mengatur pada pembentukan tim seleksi adan rekrutmen. “Tim seleksi akan ada ditingkat kabupaten dan provinsi, mereka nantinya akan melakukan penjaringan siapa yang berhak duduk di 14 kursi tersebut,”pungkasnya.

    Menurut Deerd, dari hasil pemetaan dan kajian yang sudah dilaksanakan Badan Legislasi, ada 7 wilayah adat di Papua yakni I.Mamta : PapuaTimur Laut, II.Saereri : Papua Utara/Teluk Cenderawaih, III.Domberai : Papua Barat Laut, IV.Bomberai : Papua Barat, V.Anim Ha : Papua Selatan, VI.La Pago : Papua Tengah dan VII.Meepago : Papua Tengah Barat. “Setiap wilayah adat akan diangkat 2 wakilnya untuk duduk di parlemen,”ucapnya.

    Kata Deerd, yang pasti yang duduk di 14 kursi otsus adalah orang asli Papua. “Ini hanya bagi orang Papua yang diakui secara adat,” singkatnya.”

    Namun, kata dia, dalam proses seleksi dan perekrutan 14 kursi otsus nanti, akan lebih mempertimbangkan mengangkat suku di Papua yang belum pernah duduk di Parlemen. “Prioritas kursi ini ditujukan kepada suku yang belum pernah mengecap kursi parlemen,”terangnya.

    Setelah proses seleksi dan rekrutmen, makan selanjutnya adalah pengangkatan dan pelantikan 14 kursi otsus tersebut. “Sebelum diangkat atau dilantik, memang akan lebih dulu di konsolidasikan ke Majelis Rakyat Papua. Mudah-mudahan proses ini bisa berlangsung bersamaan dengan pengangkatan 55 kursi yang berasal dari Partai Poitik pada oktober mendatang,”harapnya.

    Ditanya landasan hukum setelah 14 kursi itu diangkat menjadi anggota Parlemen, Deerd Tabuni menyatakan, nantinya akan dilebur ke frkasi-fraksi yang ada di parlemen. “Karena tidak ada landasan hukum untuk menjadi sebuah fraksi, mereka akan dilebur ke fraksi-fraksi yang ada. Tapi, tentu semua itu nanti kembali pada pandangan akhir fraksi pada sidang sebelum pengesahan,”tegasnya.

    Selain Raperdasus tentang seleksi dan rekrutmen 14 kursi otsus dalam sidang paripurna ABT juga akan ada pembahasan dan pengesahan Raperdasus Program Strategi Pembangunan Ekonomi dan Kelembagaan Kampung, Raperdasus Komunitas Daerah Terpencil, dan Raperdasus Pemberian Pertimbangan Gubernur Mengenai Perjanjian Internasional.

    Fraksi Pikiran Rakyat Tegas Tolak

    Sementara itu rencana pengesahan Raperdasus seleksi dan rekrutmen14 kursi Otsus di Parlemen Papua menjadi Perdasus melalui sidang paripurna Anggaran Belanja Tambahan yang rencananya digelar 19-21 Agustus, ditentang keras oleh Fraksi Pikiran Rakyat DPRP.

    “Fraksi Pikiran rakyat menolak keras pembahasan Raperdasus tentang seleksi dan rekrutmen 14 kuris otsus di sidang Paripurna, karena rancangannya belum memenuhi persyaratan serta memiliki cantolan hukum yang kuat,”

    ujar Ketua Fraksi Pikiran Rakyat DPRP, Yan Permenas Mandenas kepada wartawan, Selasa 19 Agustus di ruang kerjanya.

    Kata Yan Mandenas, selain belum memiliki landasan hukum yang kuat, Raperdasus itu juga terkesan terburu-buru untuk di bahas ditingkat Paripurna, karena mekanisme internal DPRP guna menggodoknya menjadi sebuah regulasi juga tidak berjalan.

    “Mekanisme pembahasan secara internal dewan saja tidak jalan, kok tiba-tiba sudah di dorong ke Paripurna, ini ada apa, jangan-jangan hanya untuk kepentingan segelintir elit, tapi tidak bermanfaat bagi rakyat Papua,”

    terangnya.

    Menurut Yan, Raperdasus 14 kursi Otsus belum layak di dorong untuk dibahas di Paripurna, karena payung hukum yang mengacu pada UU RI belum sinkron. “Raperdasus otsus ini kan belum sinkron dengan Permendagri, UU Pemilu, UU Susduk, jadi belum bisa dibahas apalagi disahkan di paripurna dewan yang terhormat,”tegasnya.

    Dalam UU otsus Nomor 21 tahun 2001 juga tidak ada yang mengatur secara jelas tentang 25 persen kursi bagi orang Papua di Parlemen Papua.

    “Arti Kata Angkat dalam bahasa Indonesia adalah ketika dipilih tapi belum di tetapkan, maka tidak termasuk dalam kategori pengangkatan tetapi ketika dilantik maka secara resmi diangkat jadi harus dimasukan dalam pengertian UU 21 Tahun 2001 Pasal 6 Poin 2 yang berbunyi, DPRP Terdiri atas anggota yang dipilih dan diangkat berdasarkan peraturan perundang – undangan,”

    jelasnya.

    Dalam proses seleksi dan rekrutmen jika memang Raperdasus ingin disahkan juga tidak jelas independensinya.

    “Kalau 14 kursi itu mewakil masyarakat adat, adat yang mana dulu, sekarang kan ada LMA tapi juga ada DAP, sehingga proses seleksi dan rekrutmen disangsingkan berlangsung jujur,”

    imbuhnya.

    Yan Mandenas melanjutkan, jika pembahasan dan pengesahan Raperdasu 14 kursi tetap dipaksakan, tetap dipaksakan, bisa menimbulkan polemik atau bahkan konflik di tengah-tengah masyarakat Papua.

    “Kalau belum ada regulasi yang kuat dan kemudian dipaksakan, bisa-bisa menimbulkan konflik, karena orang Papua akan saling klaim mengklaim sebagai anak adat dan berhak duduk disana,”

    bebernya.

    Kekhawatirannya bukan tanpa alasan, melihat situasi terkini, dimana banyak organisasi adat yang muncul, sedangkan 14 kursi harus diduduki Orang Asli Papua dari 7 wilayah adat yang ada. “Banyak organisasi adat yang muncul, itu jelas atau abal-abal kan harus diverifikasi lagi,” sebutnya.

    Selanjutnya yang akan menjadi masalah, setelah 14 kursi dipilih, susunan dan kedudukan mereka di Parlemen tidak ada regulasi yang mengatur.

    “Apakah mereka membentuk fraksi, jelas dalam UU Susduk yang berhak membentuk fraksi adalah wakil dari Parpol buka diangkat. Kalau nanti dilebur dengan Parpol, apakah diterima, karena anggota parlemen dari Parpol merasa mereka yang sudah berdarah-darah untuk duduk kok ini tinggal diangkat,”

    pungkasnya.

    Melihat fenomena itu, Pemaksaan pengesahan Raperdasus 14 kursi Otsus, hanya akal-akalan segelintir elit. “Ini hanya akal-akalan, mungkin mereka kira belum aman di parlemen, jika UU tentang pengalihan, bahwa pemilihan kepala daerah dikembalikan ke parlemen,” tukasnya. (jir/loy/don)

    Rabu, 20 Agustus 2014 07:20, BinPa.com

  • MRP Kecewa Pusat Hapus Pasal Sakral di Otsus Plus

    Ketua MRP Matias MuribJAYAPURA — Ketua MRP Matias Murib mengaku kecewa atas hasil harmonisasi yang dilakukan oleh Kementerian dan Lembaga terhadap Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemerintahan Otonomi Khusus di Tanah Papua (Otsus) Plus, karena menurutnya pusat telah menghapus pasal yang sangat sakral dalam rancangan peraturan tersebut.

    “Kemudian setelah kita pelajari, sangat mengecewakan, kenapa sangat mengecewakan karena hasil-hasil yang telah kita berikan pembobotan dari Undang-undang nomor 21 tahun 2001 ternyata dari pemerintah pusat menganggap sebagai pasal-pasal krusial,”

    ucapnya kepada wartawan di Kantor Gubernur Papua pada Senin (18/08) siang.

    Menurutnya, disitu ada 21 pasal yang mana, ia anggap sangat sakral bagi orang Papua terutama bagi orang asli Papua. “Orang asli Papua secara fisik sudah sangat jelas yakni hitam dan keriting, kemudian MRP harus satu karena ini merupakan lembaga kultur,” tuturnya.

    Hal-hal yang sakral seperti itu jika harus dirubah atau justru ditiadakan, ucap Murib, sebagai rakyat Papua ia merasa dilecehkan, oleh karena itu, pada tanggal 13 Agustus 2014 Gubernur bersama Ketua DPR Papua mengembalikan kembali draft itu.

    Karena tidak sesuai aspirasi masyarakat Papua yakni disampaikan oleh masyarakat Papua sebanyak 383 oleh masyarakat dari Papua dan Papua Barat, sebagaimana implementasi Otsus selama 12 tahun,” imbuhnya.

    “Oleh karena itu, saya merasa pemerintah pusat sangat melecehkan kami. Pelecehan itu terbukti pada 299 pasal yang tidak mengakomodir pasal-pasal tentang perekonomian, kesehatan, pendidikan dan kesehatan semua ditiadakan,”

    sambungnya.

    Kalau baca lengkap sebagaiaman hasil harmonisasi, ungkap Murib, justru Otsus Plus Jadi minus dari undang-undang 21 tahun 2001 dan itu sebagai pelecehan dan itu kurang ajar. “Tidak boleh begitu, kesejahteraan masyarakat Papua merupakan juga kebanggaan Indonesia,” cetusnya.

    Oleh karena itu, ditegaskan Murib, permintaan itu harus diterima pusat. Tetapi karena hasil 299 pasal yang telah dikembalikan itu, pihaknya merasa sangat kecewa dan itu juga reaksi yang ditunjukkan Gubernur. “Kami tidak rakus dengan jabatan seperti ketua MRP, DPRP maupun Gubernur sehingga kami kembalikan,” tuturnya.

    Oleh karena itu, Murib berharap draft undang-undang Otsus yang ke-14 ini sebagaimana yang telah diserahkan dapat diakomodir dengan baik supaya kalau masyarakat Papua sejahtera, menjadi kebanggaan negara ini.

    Kemudian jika kita dilecehkan seperti, kapan kami disejahterahkan. Dimana rakyat Papua, hal ini membuat kita minta merdeka seperti ini, kami berharap pemerintah Pusat memahami keinginan rakyat Papua.

    Ditegaskan Murib, dari 236 pasal yang telah diajukan, Papua bukan minta uang, karena menurutnya uang sudah cukup banyak, dan dari rancangan yang diajukan pihaknya minta kewenangan. “Kalau kewenangan itu sudah diberikan kepada kami, undang-undang nomor 21 tahun 2001 atau UU Otsus Plus menjadi Panglima di Tanah Papua,” imbuh Murib.

    Sebelumnya pada Tanggal 13 Agustus 2014, tim asistensi dari Papua dan Papua Barat, termasuk Gubernur Papua, Ketua MRP dan Ketua DPRP Papua menerima hasil harmonisasi Dari Kementerian dalam Negeri. (ds/don/l03)

    Selasa, 19 Agustus 2014 15:22, BinPa

  • Marinus: Perdasus 14 Kursi Suatu Kebohongan yang Menipu Orang Papua

    JAYAPURA – Pengamat Hukum Internasional, Sosial Politik dan HAM FISIP Uncen Jayapura, Marinus Yaung, mengatakan, Perdasus 14 kursi Otsus di DPRP adalah suatu produk hukum daerah yang hanya menipu dan membohongi orang Papua.

    Perdasus ini tidak memiliki kekuatan hukum yang kuat karena sangat bertentangan dengan Undang-Undang Pemilu Anggota Legislatif No 8 Tahun 2012 di Indonesia. Sebab, dalam sistem perundang-undangan Indonesia, tidak mungkin aturan hukum yang dibawah bertentangan dengan aturan hukum yang diatasnya.

    Kalau Perdasus 14 kursi ini merupakan breakdown dari pasal 6 ayat 2 UU No 21 Tahun 2011 tentang Otsus Papua yang berbunyi DPRP terdiri atas anggota yang dipilih dan diangkat berdasarkan peraturan perundang-undangan, maka perlu menjadi perhatian orang Papua bahwa kalimat ‘berdasarkan peraturan perundang-undangan’ yang dituliskan ini, merujuk pada Undang-Undang Pemilu Legislatif No 8 Tahun 2012.

    “Dalam No 8 Tahun 2012 ini, sudah tidak ada kalimat ‘anggota DPR dipilih dan diangkat’ yang ada cuma kalimat anggota DPR dipilih oleh partai politik peserta pemilu,” ungkapnya kepada Bintang Papua di Kampus FISIP Uncen Jayapura di Waena, Senin, (18/8).

    Dengan dasar inilah, yang menjadi salah satu alasan perlu dilakukannya rekonstruksi UU No 21 Tahun 2001 karena banyak materi hukumnnya sudah kadaluwarsa atau sudah bertentangan dengan produk-produk perundang-undangan RI yang baru.

    Dengan dasar ini, dirinya memastikan bahwa nasib 14 kursi ini hanyalah pekerjaan sia-sia anggota DPRP di masa akhir tugas mereka. Produk hukum daerah yang buang-buang uang rakyat karena sudah tentunya akan dimentahkan di Kementrian Dalam Negeri (Kemendagri). Bahkan lebih menyakitkan lagi, dalam UU Otsus Plus atau UU Pemerintahan Papua sudah tidak ada kalimat ‘DPRP dipilih dan diangkat’ yang hanyalah kalimat ‘anggota DPRP Papua dipilih oleh partai politik peserta pemilu.

    Dengan demikian, Perdasus14 kursi ini satu-satunya produk yang tidak akan laku dijual di pasar karena tidak tahu gunanya untuk apa. Satu-satunya cara yang menurut hematnya adalah harus segera ditempuh oleh DPRP dan MRP ialah kembali lagi melakukan judicial review terhadap pasal 6 ayat 2 UU Otsus Papua tersebut ke Mahkamah Konstitusi (MK) untuk mendapatkan Juriprudensi hukum baru selama UU Otsus Papua masih berlaku.

    “Kalau sampai UU Otsus Papua diganti dengan UU Otsus Plus, maka sudah tidak ada ruang lagi untuk hak istimewa 14 kursi Otsus orang asli Papua di DPRP. Jadi sekali lagi selama UU Otsus Papua masih berlaku, segera lakukan Judicial Review ke MK, kalau tidak maka Perdasus 14 kursi yang sudah dibuat DPRP yang diserahkan ke MRP hanyalah produk hukum yang sudah layu yaitu mati sebelum berkembang,” tandasnya. (Nls/don/l03)

    Selasa, 19 Agustus 2014 15:10, Binpa

  • SEKLDA: Dana Otsus Tidak Sebesar yang Diperkirakan Banyak Orang

    Jayapura, 9/5 (Jubi) – Sekretaris Daerah (Sekda) Papua Hery Dosinaen mengytakan,jumlah dana Operasinal Khusus (Otsus) yang dikucurkan pemerintah pusat untuk Papua tidaklah sebesar seperti yany selama ini diperkirakan banyak orang.

    “Salah ketika orang mengatakan dana Otsus besar. Dana Otsus itu kecil sekali. Saya mau kasih gambaran untuk semua. Kalau pernah lihat media massa, itu ada intervensi politik tertentu. Dana Otsus mulai 2003 dikucurkan berdasarkan Undang-Undang 21 tahun 2001, tetapi finansialnya baru dikeluarkan tahun 2003. Dana Otsus itu menjadi kewenangan pemerintah provinsi ketika itu turun satu tahun sekitar Rp2,5 triliun pertama sampai dengan 2014 ini Rp4 trilliun 700 milliar di 2013,”

    ujarnya.

    Dari 2003 sampai dengan 2013 fresh money dari dana otsus yang dikucurkan ke kabupaten/kota. Satu kabupaten/ kota rata-rata bergerak dari 10-16 milliar setiap tahun. Artinya dari 2003 sampai 2013 sisanya dalam bentuk program yang telah diprogramkan oleh Pemrov dan di dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan ada di tangan Provinsi 10-15 milliar dalam bentuk fresh money diserahkan ke kabupaten/kota.

    “Kabupaten-kabupaten di perdalaman membangun satu jembatan menghabiskan dana bisa sampai 30-50 milliar. Pertanyaanya adalah, apakah Rp15 milliar satu tahun dana Otsus bisa mengakomodasi semua aspek dalam penyelenggaraan pemerintahan pembangunan? Banyak hal-hal lain ketika orang mengatakan, dana otsus itu besar itu hanya wacana politik yang disampaikan oleh elite-elite pusat termasuk elit lokal yang mempunyai kepentingan tertentu karena realitanya memang begitu,”

    tukasnya.

    Ditambahkannya, ketika orang mengatakan otonomi kusus gagal kita harus melihat dana alokasi umum untuk satu kabupaten rata-rata bergerak 300-400 milliar. Sementara dana otsus hanya bergerak dari Rp10 sampai 15 milliar satu kabupaten dan dana alokasi umum lebih pada aparatur sekitar 50 persen.

    “Perlu diingat, pemekaran daerah otonomi baru di Papua lebih didominasi oleh pertimbangan politis ketimbang pertimbangan dari jumlah penduduk, sumber daya manusia, dan pendapatan asli daerah. Sangatlah tidak mungkin merupakan indikator untuk menjadi satu kesatuan, inilah akan jadi daerah otonom baru, inilah sangat tidak mungkin tapi ketika kita mengedepankan pertimbangan politis maka di Papua banyak daerah otonom baru itulah menjadi catatan kita semua,”

    katanya.

    Sementara itu, soal masa kepemimpinan Gubernur dan Wakil Gubernur Lukas Enembe dan Klemen Tinal, Sekda mengklaim bahwa semua program pembangunan di Papua bermuara pada kesejahteraan masyarakat.

    “Pendidikan, kesehatan, ekonomi, dan infrastruktur semua menjadi fokus Pemprov Papua. Visi-misi Gubernur adalah Papua bangkit mandiri dan sejahtera. Untuk itu, semua penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan harus bermuara pada kesejahteraan masyarakat,”

    kata Sekda Papua, Hery Dosinaen kepada wartawan, di Jayapura, Papua, Jumat (9/5).

    Sebelumnya, Gubernur Papua Lukas Enembe mengatakan, untuk mengubah Tanah Papua yang bangkit, mandiri dan sejahtera tak cukup dilakukan hanya dalam waktu setahun atau 100 hari. Perubahan menurutnya tidak mungkin dilakukan secara instan, namun harus melalui proses panjang yang butuh keseriusan semua pemangku kepentingan.

    “Satu tahun kepemimpinan saya ini bukan merupakan suatu keberhasilan, karena Papua tidak bisa diubah hanya dengan waktu satu tahun atau 100 hari. Karena itu saya berterima kasih kepada masyarakat Papua dan seluruh pemangku kepentingan yang bersama-sama dengan kami memikirkan tanah Papua untuk menuju kesejahteraan,”

    kata Lukas Enembe.

    Untuk itu, Gubernur mengajak seluruh masyarakat Papua yang ada di atas tanah ini agar memberikan dukungan kepada pemerintah untuk mewujudkan kemajuan pembangunan Papua yang bermuara pada kesejahteraan masyarakat.

    Ada berbagai kebijakan pemerintah yang tentu saat ini sementara dilaksanakan, dan itu jelas harus mendapat dukungan dari semua pihak,” ujar Gubernur. (Jubi/Alex)

  • Jika DOP Papua Diteruskan, Gubernur Pilih jadi Warga Negara Australia

    Jayapura, 15/4 ( Jubi) – Pemekaran, kata Gubernur Papua, bukan solusi untuk menjawab persoalan dasar di Papua, justru sebaliknya akan membawa dampak yang buruk bagi rakyat asli Papua.

    Gubernur Provinsi Papua, Lukas Enembe menyatakan keinginannya untuk menjadi warga negara Australia, jika Pemerintah Pusat meloloskan permohonan pemekaran sejumlah daerah otonom baru ( DOB ) di Provinsi Papua. Hal itu diungkapkan Gubernur Papua, ketika melakukan pertemuan terbatas dengan para Bupati/Walikota se- Papua, yang berlangsung di Hotel Aston, tadi malam.

    “Kalau sampai terjadi banyak pemekaran di Provinsi Papua, maka saya memutuskan lebih baik menjadi warga negara Australia, karena saya tidak ingin melihat persoalan dan dampak yang terjadi dari pemekaran itu. Saya tidak mau dengar dan ikuti perkembangan Papua nanti. Lebih baik saya tidak tahu,”

    ungkap Gubernur Papua.

    Gubernur Papua terlihat cukup prihatin dengan banyaknya usulan pemekaran Daerah Otonom Baru yang diperjuangkan oleh orang-orang Papua dari sejumlah daerah di Papua, bahkan dirinya tidak habis pikir, sampai daerah yang sudah tidak layak dimekarkan, masih saja diperjuangkan oleh warga di daerah tersebut untuk tetap dimekarkan.

    Karena menurut Gubernur Papua, pemekaran bukan solusi untuk menjawab persoalan dasar di Papua, justru sebaliknya akan membawa dampak yang buruk bagi rakyat asli Papua.

    Orang Papua hanya sedikit orang, jadi kalau kalian mekarkan Kabupaten, itu sama saja membuka ruang bagi orang dari luar untuk datang ke Papua dan menguasai Papua,” tandas Gubernur.

    Menurut Gubernur, jika melihat kondisi rakyat Papua saat ini, usulan pemekaran daerah otonom baru di Papua akan mengancam eksistensi orang asli papua di atas tanahnya sendiri.

    Menurut saya pemekaran itu sama dengan kematian. Bapak-Bapak Bupati bisa terjemahkan sendiri bahasa saya ini,” ungkap Gubernur Papua, Lukas Enembe. (Albert/Jubi )

  • Papua-Papua Barat Teken Nota Kesepahaman

    Pendandatanganan MOU DPRP dan DPRPB di Kantor DPRP Port Numbay
    Pendandatanganan MOU DPRP dan DPRPB di Kantor DPRP Port Numbay (TabloidJubi.com)

    Gubernur Papua Lukas Enembe dan Ketua DPRP, Deerd Tabuni dan perwakilan Pemerintah Provinsi Papua Barat, MRP Serta MRPPB saat menandatangani Draft Otsus plus di Aula Sidang paripurna, Senin (20/1) kemarin.JAYAPURA – Gubernur Provinsi Papua, Lukas Enembe S.I.P., bersama Ketua DPRD Papua Deerd Tabuni secara resmi menandatangi nota kesepahaman persetujuan draf Otonomi Khusus Plus dengan Pemerintah Provinsi Papua Barat yang diwakili Asisten I Drs Haji Musa Kamudi pada Senin (20/1) kemarin dalam rapat penutupan sidang paripurna DPR Papua.

    Draf Otsus Plus menurut rencana akan dibawa Gubernur Lukas Enembe beserta Bupati dan Walikota se-Provinsi Papua, Ketua Majelis Rakyat Papua Timotius Murib, Ketua Majelis Papua Barat Vitalis Yumte hari ini Selasa (21/1) ke Jakarta.

    Dimana dalam draf Otsus plus yang akan dibawakan telah dijadwalkan oleh delegasi untuk melakukan pertemuan dengan Presiden Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono.

    Sebelumnya juga, tiga agenda nota kesepahaman ditandatangani oleh Gubernur Lukas Enembe dan Ketua DPR Papua, Deerd Tabuni didampingi Wakil Ketua I, Yunus Wonda dan Wakil Ketua II, Yop Kogoya dan disaksikan seluruh anggota DPR Papua dan Pimpinan SKPD dilingkungan Pemerintah Provinsi Papua.

    Ketiga agenda utama nota kesepahaman tersebut diantaranya, pertama mengenai raperda tentang anggaran pendapatan daerah dan belanja daerah provinsi papua tahun 2014. Kedua, nota kesepakatan untuk pembangunan jalan, jembatan yang dilakukan dalam bentuk tahun jamak tahun 2014 – 2016.

    Kemudian, ketiga persetujuan antara pemerintah Provinsi dengan DPR Papua terhadap raperda tentang penggabungan hukum, badan hukum Perusahaan Daerah Irian Bakti ke dalam perusahaan induk PT. Irian bhakti mandiri.

    Dalam pidatonya, Gubernur Provinsi Papua, Lukas Enembe mengungkapkan, dengan penetapan APBD Provinsi Papua tahun anggaran 2014, maka langkah selanjutnya eksekutif dan legislatif bersama-sama akan melakukan konsultasi dan evaluasi ke Pemerintah Pusat, dengan harapan dapat dilakukan konsultasi diharapkan pihak eksekutif harus bekerja dengan sebaik-baiknya untuk mewujudkan target yang telah ditetapkan dalam APBD

    Selanjutnya, kata Gubernur Enembe, bahwa persetujuan usulan draft Rancangan RUU pemerintah Otsus di tanah Papua pada sidang Dewan yang terhormat ini perlu disampaikan bahwa keberadaan UU Nomor 21 tahun 2001 tentang Otsus bagi Provinsi Papua sudah seharusnya di rekonstruksi karena tidak sesuai dengan dinamika dan kebutuhan masyarakat Papua.

    “Perubahan tersebut juga merupakan respon atas komitmen presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono dalam penyelesaian masalah Papua, secara konstruktif dan komprehensif melalui percepatan pembangunan secara berkeadilan dengan memperhatikan aspirasi dan kebutuhan masyarakat Papua,”

    katanya.

    Lanjut dia, penyusuan rancangan RUU Pemerintah Otsus di tanah Papua telah melalui suatu proses yang panjang, mulai dari pembentukan tim asistensi penyusunan draft rancangan UU yang melibatkan berbagai stakeholder, konsultasi publik termasuk pembahasan dan persetujuan DPRR Papua dan Papua Barat,” ujarnya (Loy/don/l03)

    Selasa, 21 Januari 2014 02:41, BinPa

  • OTSUS PAPUA MEMBAWA AZAB

    Oleh: abunawas74@yahoo.com

    Pusat menganggap bahwa dengan opsi Otsus Papua dan Papua Barat, akan memakmurkan rakyat. Demikian harapan kemauan tujuan Otsus Papua, yang paling tahu soal ini pihak sana (Jakarta) atau mungkin untuk menimalisir gelombang pemisahan Papua dari NKRI. Tapi apakah Otsus baik dan bergunakah bagi rakyat Papua sangat penting, harus di kaji ulang. Karena kenyataan penghargaan keberadaan kemanusiaan manusia adalah lebih penting dari pada menyembah Pancasila dan UU 45, dan untuk itu TNI/POLRI banyak mati di NAD dan Timor Leste sebagai alasan kebernegaraan.

    Oleh sebab itu keberadaan dan efektifitas pemberlakuan Otsus Papua kembali diperhatikan agar ada evaluasi secara menyeluruh, apakah memang Papua harus memerdekakan dirinya sebagai sebuah nation sebaiknya atau Indonesia tetap ngotot mengcliem Papua
    bagian dari negaranya adalah lebih adil dan jantan dari pada membiarkan gelombang kematian cukup parah dan pencurian harga diri kemanusiaannya sangat besar bagi rakyat Papua.

    Semula tujuan baik otsus diantaranya adalah pertama, agar orang Papua menjadi tuan di negerinya sendiri. Kedua percepatan pembangunan, ketiga memakmurkan rakyat sesuai SDA yang mereka miliki, menghambat gelombang protes yang bermuara
    pemisahan diri dari NKRI. Namun kenyataan saat ini, itikad baik pusat lebih menunjukkan dan itu perhatian penting dan penuh pada alasan ketiga dari tujuan otsus pada umumnya.

    Jika hanya itu saja dan tidak di evaluasi ulang maka benar alasan perasaan sebahagian besar rakyat Papua termasuk penulis ini bahwa; Papua melainkan Indonesia, pusat mengaku benar, tahu, Indonesia melainkan Papua. Karena itu masuk akal bahwa pusat lebih menaruh perhatian lebih serius Otsus tidak sebagaimana semua harapan diatas, sebaliknya banyak membawa malapetaka bagi rakyat Papua.

    Diantara malapetaka itu yang diamati dalam beberapa tahun terakhir di Papua adalah sebuah ketidaknyamanan hidup orang-orang Papua diatas tanah airnya sendiri, dan akhirnya banyak kenyataan dimana-mana, tanda kematian abadi. Betapa tidak, dari uang-uang triliunan yang dikucurkan pusat tidak satupun yang bermanfaat bagi rakyat yang empunya Papua, sebagaimana tujuan awal Otsus Papua dirumuskan.

    Sebaliknya yang nyata terjadi dalam pengamatan penulis dilapangan menunjukkan bahwa kebijakan keputusan politik Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat hanya membawa musibah abadi bagi rakyat Papua. Fakta saat tulisan ini ditulis yang terjadi di lapangan
    (Papua, Papua Barat) adalah proses genosida daripada memakmurkan rakyat dari uang trilyunan rupiah yang dikucurkan Jakarta. Dampak negatif dari trilyunan uang rupiah yang dikucurkan Jakarta setidaknya membawa hal-hal berikut ini:

    Dengan uang Otsus Indonesia, kini banyak orang Papua membeli miras, main perempuan bukan isteri, korupsi, jalan-jalan ke Jakarta, yang semuanya bermuara pada penyakit dan kematian. Hampir dipastikan bahwa uang Otsus sama sekali tidak bermanfaat bagi orang Papua asli, tapi banyak untung untuk orang pendatang di tanah Papua.

    Dengan kucuran dana Otsus Papua banyak uang yang tidak dipertanggungjawabkan pada siapa sesama orang Papua, kini orang Papua lebih hebat, malah lebih tahu dari orang di Jakarta, dalam hal apa? Dalam hal korupsi. Pejabat maling (korupsi) adalah
    fenomena lain dan baru disetiap instansi pemerintahan boneka buatan Indonesia di Papua Barat (atau bernama Otsus Papua), dan itu dilakukan oleh para pejabat tidak hanya, malah mereka lebih parah orang-orang pejabat bukan asli Papua.

  • Australia Dukung Otsus Papua

    SYDNEY (PAPOS) -Pemerintah Australia percaya otonomi lebih luas (Otsus) yang telah diberikan pemerintah RI kepada Provinsi Papua dan Papua Barat sudah benar dan tepat. Pernyataan itu disampaikan Menteri Luar Negeri Australia Stephen Smith dalam penjelasan persnya menanggapi pertanyaan media tentang apakah ia sudah menerima surat dari Organisasi Papua Barat Australia berkaitan dengan apa yang disebut penahanan 11 warga Papua Barat dalam kasus pengibaran bendera Bintang Kejora saat demo.

    Dalam pernyataan persnya yang diperoleh Koran ini tadi malam dari Antara, Menlu Smith mengatakan, dia belum menerima surat tersebut, namun tidak benar pemerintah Australia dan Indonesia tidak menyinggung isu-isu Papua maupun Papua Barat.

    Ia mengatakan, dia dan Menlu Hassan Wirajuda menyinggung masalah-masalah Papua dalam pertemuan pribadi maupun konferensi pers di Jakarta tahun lalu. Dalam masalah Papua, pemerintah Australia memandang penting kondisi di kedua provinsi paling timur Indonesia itu.

    “Kami percaya pada pemerintah RI terkait dengan pandangannya tentang otonomi lebih luas bagi kedua provinsi ini sebagai sesuatu yang benar dan tepat,” katanya.

    Masalah Papua merupakan salah isu paling sensitif dalam hubungan bilateral Australia-Indonesia. Setelah diganggu masalah Timor Timur tahun 1999, hubungan kedua negara kembali meradang pada 2006 setelah Canberra memberi visa proteksi sementara kepada 43 orang pencari suaka asal Papua Barat.

    Pemerintah RI sempat menarik sementara Duta Besar RI untuk Australia dan Vanuatu, TM Hamzah Thayeb. Namun kasus yang telah menimbulkan insiden diplomatik serius dan memperdalam ketidakpercayaan sebagian publik Indonesia pada Australia itu pula yang mendorong pemerintah kedua negara duduk bersama untuk merumuskan perjanjian keamanan yang kemudian dikenal dengan Perjanjian Lombok tahun 2006.

    Perjanjian yang ditandatangani di Lombok oleh menteri luar negeri kedua negara pada 13 November 2006 dan resmi berlaku sejak 7 Februari 2008 itu menegaskan komitmen Indonesia dan Australia untuk saling menghormati kedaulatan dan keutuhan wilayah masing-masing negara.

    Konsisten dengan kewajiban internasional dan hukum nasional masing-masing, kedua negara sepakat untuk tidak memberi dukungan apapun atau juga berpartisipasi dalam kegiatan perorangan maupun entitas yang dapat mengancam stabilitas, kedaulatan atau keutuhan wilayah pihak lain, termasuk mereka yang berupaya memakai wilayah salah satu negara untuk mendorong atau melakukan kegiatan-kegiatan separatisme.(nas/ant)

    Ditulis Oleh: Ant/Papos
    Jumat, 16 Januari 2009

  • Frans Alberth Yoku : Otsus Solusi Bijak

    JAYAPURA (PAPOS) –Mantan Peminta Suaka Franz Alberth Yoku mengajak, masyarakat Papua berpikir realistis di era globalisasi. Sebab itu, olehnya Otsus dinilai keputusan bijak, yang diberikan pemerintah pusat kepada Provinsi Papua. Otsus menurutnya, memberi ruang dan kesempatan kepada masyarakat Papua seluar-luasnya untuk mengembangkan diri, tidak hanya melulu berpikir bagaimana meraih kemerdekaan, karena hal itu hanyalah sia-sia saja.

    Perjuangan merdeka itu lanjut dia, hanyalah simbolis saja bagi kelompok tertentu yang memanfaatkan kepentingan dan mengatasnamakan masyarakat Papua. “Mari kita sama-sama mengisi kemerdekaan bagi diri kita dengan mempersiapkan pendidikan yang baik untuk meraih tingkat kesejahteraan yang setara dengan masyarakat lain. Sehingga masyarakat Papua tidak larut dalam ketertinggalan,” ujarnya kepada Papua Pos melalui ponsel, Minggu (30/11) kemarin.

    Kesejahteraan bagi masyarakat Papua di era Otsus ini belum mengalami peningkatan, tetapi kata dia, peningkatkan kesejahteraan masyarakat Papua tidaklah semudah membalik telapak tangan.

    Namun semua itu membutuhkan proses secara bertahap, maka diminta semua lapisan masyarakat maupun pemerintah harus bergandengan tangan untuk melakukan peningkatan di berbagai bidang.

    “ Bukan perayaan yang penting, mau 1 Desember kah, 2 Desember kah atau hari lain yang dianggap hari penting, bukanlah yang utama. Yang utama tingkatkan pendidikan dan wawasan masyarakat Papua untuk mampu berkompetisi di era globalisasi dan untuk menghadapi hari depan demi kesejahteraan semua,” jelasnya.

    Perlu disadari, Papua memiliki Sumber Daya Alam (SDA) yang kaya, maka masyarakat harus menyiapkan segala sesuatu untuk mengelolahnya, bukan hanya memikirkan perjuangan atau kemerdekaan yang simbolis tidak ada habis-habisnya.

    “ Akan lebih baik, putra-putri Papua mengisi ilmu pengetahuan, sehingga bisa digunakan untuk pengelolahan SDA yang cukup kaya itu,”katanya.(feri)

    Ditulis Oleh: Feri/Papos
    Senin, 01 Desember 2008

Are you sure want to unlock this post?
Unlock left : 0
Are you sure want to cancel subscription?