Tag: politik nkri

  • PM Selandia Baru: Jokowi Janji Selesaikan Masalah HAM Papua

    Penulis: Eben E. Siadari 08:32 WIB | Selasa, 19 Juli 2016

    JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Dalam pembicarannya dengan Presiden Joko Widodo di Jakarta hari Senin (18/7), Perdana Menteri Selandia Baru mengkonfirmasi bahwa salah satu topik yang mereka bicarakan adalah masalah pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Papua.

    Bahkan dalam pertemuan itu, menurut Key, seperti dilaporkan oleh sebuah media Selandia Baru, newshub.co.nz, Jokowi sendiri yang secara proaktif mengangkat isu tersebut.

    Menurut Key, dibandingkan dengan desakan untuk menghentikan hukuman mati di Indonesia –yang juga menjadi kepedulian Selandia Baru dan dibicarakan dalam pertemuan– Jokowi lebih mudah menerima saran untuk menyelidiki setiap pelanggaran HAM di Papua.

    Masalah pelanggaran HAM di Indonesia telah menjadi sorotoan dunia internasional, termasuk ketika Kepolisian menangkap lebih dari 1.000 orang pada sebuah unjuk rasa menuntut referendum di Papua, belum lama ini.

    Di Selandia Baru, tuntutan agar John Key mengangkat isu pelanggaran HAM Papua dibicarakan dalam pertemuan ini datang dari Partai Hijau.

    Sebelum pertemuan itu, Partai Hijau mendesak Key untuk membahas “memburuknya situasi hak asasi manusia” di Papua.

    Kepada media yang mewawancarainya setelah pertemuan dengan Jokowi, Key mengatakan mantan wali kota Solo itu serius untuk menangani situasi dan isu hak asasi manusia di Papua.

    “Mereka mengangkat secara khusus tentang HAM, dan mengatakan jika ada masalah khusus dengan HAM, maka mereka menangani isu-isu tersebut, mereka menyelidikinya dan memastikan hal itu tidak terulang,” kata dia.

    “Mereka tampaknya cukup tertarik untuk memiliki transparansi yang lebih besar,” ia menambahkan.

    Di bagian lain keterangannya, John Key menekankan bahwa Selandia Baru tidak mempermasalahkan kedaulatan Indonesia di Papua.

    “Kami tidak mempermasalahkan isu kedaulatan di Papua. Saya kira sudah lama Selandia baru memiliki posisi bahwa kami mengakui hak kedaulatan (Indonesia) di wilayah Papua tetapi dalam isu HAM secara luas, kami mengatakan kepada mereka, hal itu akan selalu menjadi kepedulian rakyat Selandia Baru.”

    Menurut John Key, Jokowi dan Menlu Retno Marsudi, “memberikan jaminan kepada kami bahwa mereka menjaga HAM di sana.”

    Ketika ditanya, apakah John Key mempercayai jaminan itu, ia mengatakan bahwa Indonesia telah menciptakan kemajuan nyata dan Indonesia tidak meremehkan keprihatinan Selandia Baru.

    Hukuman Mati

    Sementara itu terkait dengan isu hukuman mati yang dibicarakan pada pertemuan tersebut, John Key mengatakan ia memahami bahwa Indonesia belum dapat menghapus hukuman jenis itu.

    Pada hari yang sama dengan pertemuan, Amnesty International menyerukan agar Key membicarakan masalah hukuman mati dengan Jokowi, yang tahun lalu saja, digunakan setidaknya 14 kali di Indonesia.

    Jaksa Agung mengindikasikan bulan lalu bahwa 16 orang ditetapkan untuk menghadapi regu tembak tahun ini, dan mereka memiliki anggaran untuk mengeksekusi 30 lainnya pada tahun 2017.

    Key mengatakan ia menyampaikan kepada Jokowi bahwa Selandia Baru sangat menentang penggunaan hukuman mati. Tapi dia tidak mengharapkan perubahan dalam waktu dekat.

    “Kami menyampaikan perasaan kami bahwa hukuman mati adalah sesuatu yang kami tidak dapat terima dan dukung, meskipun beratnya kejahatan yang dilakukan oleh orang yang dikenai hukuman mati itu,” kata dia.

    Namun, Key memahami bahwa Indonesia tidak mungkin dalam waktu dekat dapat mengubah hal itu.

    “Indonesia menghadapi masalah narkotika yang besar, mereka menghadapi banyaknya orang Indonesia pecandu dan mencoba untuk mengirim pesan yang kuat, sekarang kita di Selandia Baru percaya bahwa hal itu dapat dikatakan dengan cara yang berbeda. ”

    Isu lain yang dibicarakan pada pertemuan itu adalah masalah hubungan ekonomi. Key secara khusus mengatakan yakin akan dicapai kesepakatan mengenai ekspor daging sapi Selandia Baru ke Indonesia.

    Editor : Eben E. Siadari

  • MSG Tolak ULMWP, Luhut: Ini Salah Satu Kemenangan Indonesia

    TEMPO.CO, Jakarta – Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Luhut Binsar Pandjaitan mengapresiasi penolakan terhadap United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) menjadi anggota penuh forum Melanesia Spearheaded Group (MSG).

    Menurut Luhut, Indonesia berhasil meyakinkan MSG untuk tak menerima organisasi separatis Papua Barat itu sebagai anggota. “Posisi Indonesia di MSG sangat baik. Itu hasil kerja keras tim yang dilakukan secara holistik,” ujar Luhut di kantornya, Kamis, 14 Juli 2016.

    Luhut mengatakan Indonesia akan mengajukan diri sebagai anggota penuh MSG, yang merupakan organisasi kerja sama sub-kawasan Melanesia. Indonesia belum terikat penuh dengan MSG dan baru menjadi associate member sejak 2015. Sebelumnya, Indonesia hanya terlibat sebagai observer.

    “Ini salah satu kemenangan Indonesia. Indonesia akan mengajukan diri sebagai anggota penuh, segera setelah tim dari Kementerian Luar Negeri kembali ke Tanah Air,” tutur Luhut.

    Tim Kementerian Luar Negeri, yang dipimpin Direktur Jenderal Asia-Pasifik dan Afrika Desra Percaya, baru saja menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) khusus MSG di Honiara, Kepulauan Solomon. Dalam pertemuan tersebut, ULMWP ditolak oleh MSG.

    Menteri Luar Negeri  Retno Marsudi mengatakan keputusan MSG menguatkan posisi Indonesia dalam diplomasi. Menurut dia, sudah banyak hal yang dilakukan Indonesia untuk memakmurkan Papua Barat. “Papua adalah milik Indonesia dan akan menjadi bagian dari kita selamanya,” ujar Retno di depan kantor Luhut, Kamis, 14 Juli 2016.

    Kementerian Luar Negeri sempat mengeluarkan pernyataan tertulis terkait dengan penolakan ULMWP.
    “Tidak ada tempat bagi ULMWP dalam masa depan MSG,” tutur Desra dalam rilis yang dikeluarkan Kemenlu.

    Dia menyebut delegasi Indonesia didukung partisipasi dan lobi intensif dari perwakilan lima provinsi di Indonesia yang bercorak budaya Melanesia, yakni dari Maluku Utara, Maluku, Nusa Tenggara Timur, Papua, dan Papua Barat. Mereka berhasil meyakinkan para pemimpin MSG untuk tidak menerima aplikasi keanggotaan ULMWP.

    YOHANES PASKALIS

  • Menteri Luhut Binsar Panjaitan dan Polda Papua Harus Tahu Persoalan Papua Bukan Pelanggaran HAM Saja

    Bandung 08 Juni 2016. Cheko Papua. Biro organisasi AMP (Aliansi Mahasiswa papua ) Komite Kota Bandung Jawa Barat mengatakan negara repubik indonesia harus tau persoalan papua bukan pelangaran ham saja tapi satatus poliktik papua barat , rakyat papua saat ini menuntut hak menentukan nasib sendiri diatas tanah leluhur kami , saya mau sampaikan kepada Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Luhut Binsar Pandjaitan dan juga kepada Kapolda Papua Irjen Paulus Waterpauw bahwa pelangaran Hak orang papua itu bukan dari satu sisi saja tapi ada beberapa sisi yaitu pembunuhan manusia papua ,perampasan tanah adat, perampasan sumberdaya alam dan perampasan hak politik bagi papua barat yang sudah pernah merdeka pada tgl 1 desember kalau mau selesaikan kasus kemanusian di papua hasus semua kasus yang pernah terja mulai dari.

    Tanggal 15 Agustus 1962 samapi sekarang tahun 2016 karena di tahun 1962 adalah dimana hari awal mula terburuk bagi rakyat papua barat atau tahun pertama kalinya terjadi pelanggaran HAM di pulau cendrawasih.

    Negara NKRI harus tau thn 1962 tagal 15 agustus adalah hari yang amat penting dalam sejarah perkembangan politik dan demokrasi, serta hak asasi manusia di Tanah Papua, sebab pada tanggal tersebut telah terjadi penandatanganan sebuah dokumen perjanjian antara Pemerintah Republik Indonesia dengan Pemerintah Kerajaan Belanda, di bawah naungan Pemerintah Amerika Serikat.

    Perjanjian tersebut ditandatangani oleh Pemerintah Indonesia yang kala itu diwakili oleh Dr. Subandrio dan Pemerintah Belanda yang diwakili oleh Mr. J.H.Van Roijen dan Mr.C.Schurmann. Oleh sebab itulah, perjanjian ini kemudian disebut dengan nama Perjanjian New York (New York Agreement).

    Dokumen Perjanjian New York ini, selanjutnya berisi antara lain dan terutama mengenai prosedur dan mekanisme pengalihan kekuasaan administratif pemerintahan atas tanah Papua dari Pemerintah Kerajaan Belanda kepada Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB), yang kala itu diwakili oleh UNTEA (United Nations Temporary Executive Authority) atau Pemerintahan Sementara PBB.

    Dimana proses pengalihan kekuasaan dari UNTEA kepada Republik Indonesia yang ditandai dengan pengibaran Bendera Merah Putih di Tanah Papua pada tanggal 1 Mei 1963, menandai periode dimulainya Pemerintahan Indonesia di Tanah Papua.

    Selain itu, di dalam dokumen perjanjian tersebut juga berisi tentang cara-cara penyelenggaraan tindakan pilihan bebas atau act of free choice yaitu suatu proses untuk mewujudkan hak menentukan nasib sendiri (rights to self determination) dari orang-orang asli Papua ketika itu.

    Sebagaimana diatur di dalam pasal 16, 17 dan 18 dari perjanjian tersebut, diantaranya dinyatakan bahwa tindakan pilihan bebas tersebut dilakukan dengan cara-cara yang memenuhi standar internasional, yaitu satu orang satu suara (one man one vote).

    Kendatipun demikian, di dalam kenyataannya, justru diterapkan model yang oleh Pemerintah Indonesia kala itu (Tahun 1969) disebut sebagai Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) yang menurut data yang diperoleh LP3BH Manokwari, bahwa semua peserta tindakan pilihan bebas sebenarnya sudah di“steril”kan selama lebih kurang 2 bulan sebelum hari H di sejumlah markas TNI yang ada di Merauke, Fakfak, Sorong, Manokwari, Biak, Nabire, Wamena, dan Jayapura.

    Selama masa steril, para peserta tersebut mengaku bahwa mereka diindoktrinasi agar harus memilih bersatu dengan Republik Indonesia agar jiwa mereka selamat.

    Selain itu, upaya pemenangan atas hasil PEPERA tersebut juga sudah dilakukan oleh TNI melalui operasi intelijen dan operasi keamanan, dimana sejumlah pemuda dan mahasiswa orang asli Papua saat itu ditangkap dan dianiaya, bahkan dibunuh dan atau dihilangkan secara keji.

    Contoh kasus, di Manokwari pada tanggal 28 Juli 1969 atau satu hari sebelum tanggal 29 Juli 1969 saat akan diselenggarakannya PEPERA, mengapa TNI melakukan penangkapan dan penganiayaan hingga eksekusi kilat yang menewaskan sekitar 50 orang warga sipil?

    Kenapa mahasiswa atau pemuda yang datang dan menyampaikan aspirasi politiknya ke sekitar area Gedung PEPERA (Kini Kantor Gubernur Papua Barat) saat itu, harus dihadapi dengan bedil, dianiaya hingga babak belur lalu diangkut dengan cara dilempar ke dalam truk-truk polisi dan TNI, kemudian dibawa ke Markas TNI di Arfay, lalu dianiaya lagi bahkan hingga ada yang mati.

    Perjanjian New York adalah sebuah dokumen perjanjian yang senantiasa membuat kita bersama harus ingat bahwa hasil dari New York Agreement itu telah membawa akibat adanya perumusan hingga penandatanganan Kontrak Karya Pertama antara Freeport Indonesia Company dengan Pemerintah Indonesia pada tahun 1967.

    Kemudian, dari New York Agreement itu juga menjadi dasar dimulainya operasi militer oleh TNI dan POLRI di Tanah Papua yang sejak tahun 1962, 1963, 1965 dan 1969 hingga 1970 sampai hari ini terus-menerus terjadi tindakan pelanggaran hak asasi manusia yang berat, yang memenuhi standar menurut pasal 7 dari Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia di Tanah Papua.

    Dengan demikian, menurut pandangan saya bahwa New York Agreement bisa disebut sebagai sebuah sumber malapetaka yang semestinya dikaji dan diperdebatkan kembali keberadaannya secara hukum.

    Sekaligus perlu direkomendasikan kepada PBB untuk dikaji guna ditinjau kembali keberadaan dokumen 15 Agustus 1962 tersebut. Apakah New York Agreement tersebut merupakan sumber kesejahteraan bagi Orang Asli Papua dan tanah airnya, ataukah sebagai awal bencana terjadinya Pelanggaran HAM yang terus terjadi dan bersifat sistematis sejak awal hingga hari ini?

    Dari sisi hukum internasional, saya melihat bahwa sangat dimungkinkan untuk dokumen Perjanjian New York 15 Agustus 1962 ini dapat diuji secara materil baik secara hukum maupun melalui mekanisme dan prosedur internal PBB.

    Maka itu kami para pejuang rakyat papua dan seluruh rakyat papua menuntut semua Hak-Hak Orang papua harus di selesaikan secara bertahap antara beberapa negara yang pernah terlibat dalam status politik papua barat , saat ini Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Luhut Binsar Pandjaitan berkata akan selesaikan HAM papua akhir tahun 2016 ini , menurut saya sangat tidak munking karena kasus papua tidak dapat membalik telapak tangan .

    Luhut juga berkata setip kasus kemanusian kami akan bayar perkepala , saya tegaskan kami rakyat papua bukan meminta uang tapi kami minta pennyelesaian HAM Papua dan hak politik rakyat papua secara hukum Internasional yaitu Hukum PBB .

    Kami mahasiswa papua Yang ada di pulau sejawa dan bali menolak dengan tegas atas kedatangan Tim khusus NKRI dalam pimpinan kementian Luhut atas pennyelesaian kasus-kasus HAM papua ,Dan kami juga sangat mendukung Aksi Rakyat Papua Barat yang nanti akan di mediasi oleh KNPB pada tangal 15 hari rabu besok

    Dengan agenda 1]. Dukung Penuh ULMWP jadi anggota Penuh di Keluarga MSG. 2]. Mendesak tim investigasi pelanggaran HAM dr PIF & Deklarasi 3 mei 2016 di London. Demo damai Nasional akan diselenggarakan pd : Hari Rabu, tgl 15/06/2016, tempat di Kantor DPR Prov. Papua & Papua Barat, DPRD Kota & Kabupaten Setanah Papua. Terima Kasih. [Korlap Umum Bazoka Logo, Jubir Nasional KNPB] di ungkapkan oleh Kordinator Biro Organi Sasi Aliansi Mahasiswa Komite Kota bandung Jawa Barat Tuan Ferry cheko alvandi kogoya .ketika di tannya CHEKO PAPUA

  • Serangan Cyber Army Indonesia Sudah Terasa, Pejuang Papua Merdeka Aturlah Langkah

    Papua Merdeka News [PMNews] dalam sejarahnya diluncurkan puluhan tahun lalu, dan baru saja NKRI memblokir situs ini dengan alasan yang tidak jelas. Oleh karen aitu PMNews mencari akal menerbitkan pemberitaanya secara otomatis ke blog WordPress sehingga semua berita yang diterbitkan di papuapost.com secara otomatis terterbitkan juga di papuapost.wordPress.com

    Baru mulai tahun 2016 ini, yaitu setelah 20 tahun  PMNews berkiprah di dunia maya, NKRI telah meluncurkan “Cyber Army”. Dampaknya dapat dilihat dengan jelas. Pertama, telah ramai-ramai terjadi penyerangan (hack) terhadap situs-situs yang memberitakan Papua Merdeka. Kedua telah bermunculan situs-situs yang seolah-olah memberitakan Papua, tetapi sebenarnya bertujuan memberitakan kepentingan NKRI.

    Situs NKRI dimaksud antara lain

    1. http://wwwpapuapos.com/
    2. http://wwwharianpagipapua.cm/
    3. http://www.cnhblog.com/
    4. http://www.satuharapan.com/
    5. http://www.bintangapua.com/
    6. http://papua.antaranews.com/
    7. dan masih banyak lagi.

    Pada intinya, yang harus dilakukan oleh orang Papua ialah

    1. mengedepankan kebenaran daripada propaganda penuh tipu, karena kebenaran pasti menang, kebenarang berjalan pelan tetapi pasti
    2. mengedepankan rasio dan nurani daripada sekedar akal dan perasaan benci dan dengki kepada penjajah.
    3. muncul secara gentlemen dengan sama-sama menyebarluaskan berita, karena dunia maya ialah dunia paling demokratis, akhirnya dunia akan menentukan sikap berdasarkan hatinurani dan realitas sesungguhnya.

    Satu prinsip yang perlu kita kedepankan ialah bahwa apa yang kita beritakan haruslah kebenaran, apa yang kita katakan haruslah untuk mendatangkan kebaikan bagi Tanah dan bangsa Papua, bukan semata-mata dalam rangka menjelek-jelekkkan NKRI atau orang Indonesia. Hati kita, mulut kita, blog kita harus menunjukkan kepada dunia bahwa kita manusia beradab, kita manusia bermoral, kita demokratis, kita berwibawa, kita pemberita dan pembela kebenaran, dan karena itu kita pantas keluar dari NKRI, karena semua orang tahu, NKRI ialah simbol daripada Lucifer, napa segala pendusta itu sendiri.

  • Benny Wenda Tolak Bekerja Sama dengan BIN

    Amanda Puspita Sari, CNN Indonesia Minggu, 03/01/2016 19:11 WIB

    Jakarta, CNN Indonesia — Benny Wenda, pemimpin Gerakan Pembebasan Papua Barat yang dituding Kapolri menjadi dalang penyerangan Polsek Sinak, menolak bekerja sama dengan Badan Intelijen Negara Republik Indonesia yang berencana melakukan “pendekatan lunak” terhadapnya, seperti juga yang dilakukan terhadap mantan kombatan Gerakan Aceh Merdeka Din Minimi.

    Benny juga mengkritik perkataan Kepala BIN Sutiyoso yang menyebut jika dia menolak bekerja sama, BIN akan menyiapkan “pendekatan lain” yang hingga kini masih rahasia dan tidak dapat diungkapkan. Benny menganggap ucapan itu sebagai ancaman.

    “Saya tahu bahwa ancaman ini dimaksudkan untuk menakut-nakuti saya, tetapi saya menolak untuk diintimidasi oleh pihak berwenang Indonesia yang menempati negara saya, membunuh warga, dan kemudian mencoba memaksa saya untuk ‘bekerja sama’ dengan skema mereka,” ujar Benny dalam keterangan tertulis yang diterima CNNIndonesia.com, Minggu (3/1).

    Benny menyatakan, dia sekarang tinggal di pengasingan setelah kabur usai ditangkap dan disiksa di Papua Barat karena memimpin aksi kemerdekaan yang damai. Benny tinggal di Inggris setelah diberi suaka politik oleh negara itu pada tahun 2003.

    Kini Benny mempertanyakan metode apa yang akan coba diterapkan kepadanya agar dia mau bekerja sama dengan otoritas Indonesia.

    “Apakah pemerintah Indonesia mengancam dengan melanggar hukum Inggris dan menuntut saya dengan tuduhan palsu sekali lagi? Atau apakah ‘metode lainnya’ itu akan melibatkan pengiriman tentara Indonesia untuk datang dan membunuh saya di Inggris?”

    ujar Benny.

    “Jika BIN ingin saya ‘bekerja sama’, maka mereka harus membiarkan rakyat Papua Barat untuk menggunakan hak dasar kami untuk menentukan nasib sendiri melalui referendum kemerdekaan yang damai seperti dijanjikan kepada kami pada 1962,”

    ujar Benny.

    Benny, pada tahun 2002, ditangkap polisi atas sangkaan terlibat dalam peristiwa penyerangan ke kantor polisi di Abepura, Jayapura, setahun sebelumnya. Ia kemudian melarikan diri dari Lapas Abepura, dan menjadi eksil di Inggris hingga kini.

    Sejak saat itu, Benny terus mengampanyekan referendum bagi masyarakat Papua. Dia meminta pemerintah RI mengizinkan warga Papua untuk memutuskan akan memisahkan diri dari Indonesia atau tetap menjadi bagian dari Indonesia.

    Kepala BIN Sutiyoso berharap Benny Wenda dapat bersikap kooperatif dengan pemerintah RI seperti Din Minimi.

    “(Pendekatan lunak) sudah kebijakan pemerintah, tapi bukan satu-satunya. Kalau dia tidak mau, tentu ada cara lain,” kata mantan Wakil Komandan Jenderal Kopassus itu.

    Singgung Jokowi

    Selain soal BIN, kunjungan Presiden Jokowi pekan ini ke Papua Barat juga disinggung Benny. Ia menuding kunjungan itu sebagai upaya untuk melegitimasi “pendudukan militer” Indonesia di Papua Barat.

    “Baik dia (Jokowi) dan polisi atau militer Indonesia tidak diterima di Papua Barat. Kunjungan itu hanya untuk terus menindas kami dan  mengeksploitasi sumber daya alam kami,” kata Benny, melemparkan tuduhan.

    Benny berpendapat pemerintah Indonesia tengah berupaya mengalihkan isu pelanggaran hak asasi manusia di Papua Barat.

    Dalam kunjungannya ke Papua yang bertepatan dengan pergantian tahun, Jokowi meninjau langsung sejumlah pembangunan infrastruktur di provinsi paling timur Indonesia itu, mulai bandara, jalan, sampai rel kereta.

    Jokowi juga menyambangi Kenyam di Kabupaten Nduga yang masuk kategori zona merah, yakni wilayah dengan keamanan rawan. Di kota itu, Jokowi meninjau pembangunan ruas jalan Kenyam-Batas Batu sepanjang 39,9 kilometer. Jalan itu dibangun untuk mempercepat pembangunan Papua dan untuk menurunkan harga sandang pangan yang mahal.

  • BIN Akan Dekati Tokoh Separatis Papua Benny Wenda

    Abraham Utama, CNN Indonesia Rabu, 30/12/2015 09:02 WIB

    Jakarta, CNN Indonesia — Badan Intelijen Negara akan menerapkan pendekatan lunak (soft approach) kepada seluruh kelompok ekstremis dan separatis yang melawan pemerintah Republik Indonesia. Hal itu juga berlaku bagi Benny Wenda, tokoh Organisasi Papua Merdeka yang menjadi eksil di Inggris dan disebut Polri sebagai dalang penyerangan terhadap Polsek Sinak tiga hari lalu.

    “Itu (pendekatan lunak) sudah kebijakan pemerintah, tapi bukan satu-satunya. Kalau dia tidak mau, tentu ada cara lain,” ujar Kepala BIN Sutiyoso di Jakarta.

    Melalui pendekatan lunak itu, BIN berharap Benny Wenda dapat kooperatif seperti kelompok separatis Aceh pimpinan Nurdin Ismail alias Din Minimi, mantan kombatan Gerakan Aceh Merdeka.

    Jika Benny Wenda menolak untuk bekerja sama, metode lain disiapkan. Metode itu menjadi rahasia BIN dan Sutiyoso tak dapat membeberkannya.

    Mantan Wakil Komandan Jenderal Kopassus yang pensiun dari dunia kemiliteran dengan pangkat letnan jenderal itu hanya berkata, pemerintah RI harus mengambil kebijakan tertentu untuk menjamin keamanan seluruh masyarakat Indonesia.

    Tahun 2002, Kepolisian menangkap Benny dengan sangkaan terlibat dalam peristiwa penyerangan ke kantor polisi di Abepura, Jayapura, setahun sebelumnya.

    Belum sempat mendapatkan putusan hakim, Benny melarikan diri dari Lembaga Pemasyarakatan Abepura menuju Papua Nugini. Ia kemudian terbang ke London, Inggris, dan mendapatkan suaka dari negara itu.

    Sejak saat itu hingga kini, Benny yang masuk daftar pencarian orang alias menjadi buron Kepolisian RI terus mengunjungi sejumlah negara untuk mengampanyekan referendum bagi masyarakat Papua.

    Benny meminta pemerintah RI mengizinkan warga Papua untuk memutuskan akan memisahkan diri dari Indonesia atau tetap menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.

  • Jokowi : Di Papua Sudah Tidak Ada Masalah, Dialog Untuk Apa?

    Jayapura, Jubi – Dialog Jakarta – Papua yang selama ini diupayakan oleh Jaringan Damai Papua, sepertinya akan menemukan jalan buntu. Presiden Indonesia, Joko Widodo (Jokowi) memiliki pandangan berbeda tentang dialog yang ditunggu oleh rakyat Papua.

    Dalam wawancara dengan Jubi usai memberikan grasi kepada lima tahanan politik Papua di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Abepura, Sabtu (9/5/2015), Presiden Jokowi saat ditanya tentang dialog yang diinginkan rakyat Papua, berpandangan masalah di Papua sudah tidak ada lagi.
    “Di Papua sudah tidak ada masalah. Dialog untuk apa? Saya sudah sering ke sini. Sudah berbicara dengan ketua adat, dengan pimpinan agama, bupati, wali kota, semua sudah berbicara. Itu artinya apa? Dialog kan?” kata Presiden Jokowi.

    Ketika disebutkan bahwa dialog yang diinginkan oleh rakyat Papua melalui dialog Jakarta-Papua adalah dialog yang bersifat politik, Presiden Jokowi mengatakan bahwa politik di Papua adalah politik kesejahteraan.
    “Ya politik kita di Papua, politik pembangunan, politik kesejahteraan,” ujar Presiden Jokowi.

    Lantas bagaimana dengan penyelesaian masalah yang terjadi di masa lalu?

    “Tutup. Kita harus membuka lembaran baru. Kita harus menatap ke depan,” ucap Presiden Jokowi.
    Secara terpisah, Anggota Komisi I DPR Papua bidang Politik, Pemerintahan, Hukum dan HAM, Ruben Magay mengatakan, selama ini yang diinginkan masyarakat Papua adalah terlaksananya dialog damai Jakarta – Papua untuk menyelesaikan semua masalah yang ada di provinsi paling Timur Indonesia itu.

    “Ketika Natalan di Papua pada Desember 2014 lalu, Jokowi berjanji akan melakukan dialog. Itu yang kini ditunggu masyarakat Papua, kapan pelaksanaannya,” tanya Magay. (Victor Mambor)

    Source: Jokowi : Di Papua Sudah Tidak Ada Masalah, Dialog Untuk Apa?, Diposkan oleh : Victor Mambor on May 12, 2015 at 01:13:06 WP [Editor : -]

  • Soal Papua, Perlu Dialog Nasional Dalam Kerangka NKRI

    Jayapura – Untuk mengatasi berbagai persoalan Papua yang hingga kini masih belum terurai dengan baik, yang berbuntut belum maksimalnya proses pembangunan yang menyentuh masyarakat secara langsung, dialog nasional dalam kerangka NKRI dianggap menjadi solusi yang paling tepat. Karena, dengan dialog nasional, aspirasi atau keinginan rakyat Papua akan diketahui secara pasti oleh pemerintah. Hal itu terungkap dalam dialog publik anggota DPD RI Pdt Charles Simare-mare dengan masyarakat Papua di Hotel Talent Jayapura, Sabtu 9 Mei.

    ‘’Rakyat Papua menginginkan dialog dengan pemerintah pusat, tentu dalam bingkai NKRI, ini agar aspirasi, kemauan orang Papua yang selama ini menjadi beban pergumulan mereka, betul-betul bisa didengar langsung, dan bukan lagi meraba-raba, menduga-duga atau katanya-katanya, tapi berdasarkan kenyataan riil rakyat Papua akar rumput,’’ujar Simare-mare.

    Dengan dialog, lanjutnya, akan terbangun komunikasi antara masyarakat Papua dengan pemerintah, sehingga pemerintah dalam mengeluarkan kebijakan akan benar-benar tepat sasaran sesuai keinginan dan harapan masyarakat. ‘’Dialog akan membuka suara rakyat Papua yang selama ini tersumbat, ini sangat penting, agar nantinya pemerintah dalam mengambil kebijakan, bisa menjawab secara langsung persoalan Papua,’’tukas Simare-mare.

    Sambung Simare-mare, atas aspirasi dan keinginan kuat masyarakat Papua untuk dialog nasional, dirinya sebagai perwakilan DPD RI dari Papua, akan menyampaikannya kepada pemerintah pusat. ‘’Sebagai wakil Papua di DPD RI, apa yang menjadi keinginan masyarakat Papua selama itu masih dalam bingkai NKRI, akan kami perjuangkan ke pemerintah pusat, agar segala persoalan Papua bisa benar-benar terurai,’’imbuhnya.

    Pengamat politik Papua yang juga akademisi Universitas Cenderawasih Marinus Yaung mengatakan, selama ini suara rakyat Papua tersumbat, sehingga tidak pernah didengar pemerintah pusat. ‘’Jadi dialog nasional dalam kerangka NKRI menjadi solusi yang tepat, sehingga nantinya kebijakan pemerintah betul-betul menyentuh rakyat, dan menjawab persoalan yang ada,’’ujar Marinus yang juga menjadi pembicara dalam dialog publik dengan DPD RI itu.

    Dengan adanya komunikasi yang terbangun melalui dialog, akanmenolong pemerintah pusat dalam menjawab persoalan Papua, sebab, tidak akan ada lagi kebuntuan akibat tiadanya penyerapan aspirasi secara langsung. ‘’Selama ini kan aspirasi selalu datang dari birokrasi, sehingga haislnya tidak pernah maksimal, karena rakyat bilang A, birokrasi sampaikan B lalu pemerintah jawab C, sehingga kebijakan yang dikeluarkan selalu resistensi, lalu buntutnya ya demo dan demo lagi,’’paparnya.

    Ia juga mengapresiasi langkah Anggota DPD RI Pendeta Charles Simare-mare yang langsung melakukan dialog publik dengan rakyat Papua guna menyerap aspirasi. Sebab, hal inilah yang diinginkan rakyat. ‘’Komunikasi adalah solusi yang paling baik dalam menjawab berbagai persoalan, langkah DPD RI perwakilan Papua membangun komunikasi sangat di apresiasi rakyat Papua, karena tidak lagi melalui birokasi yang panjang,’’pungkasnya.

    Hal senada juga ditandaskan Professor Tobing yang juga akademisi Universitas Cenderawasih, bahwa membangun komunikasi melalui dialog, menjadi kunci utama dalam menyelesaikan berbagai persoalan di Papua. “Dialog membuka mata hati rakyat Papua dan pemerintah, sehingga akan terbangun sinergitas, Pemerintah mengeluarkan kebijakan yang tepat sasaran, rakyat Papua merasakannya secara nyata,’’singkatnya.

    Presiden Beri Grasi Napol Papua, DPD RI Apresiasi
    Presiden RI Joko Widodo memberikan grasi/pengampunan kepada 5 Narapidan Politi Papua, Sabtu 9 Mei di Lembaga Pemasarakatan Abepura. Anggota DPD RI Perwakilan Papua Pendeta Charles Simare-mare mengapresiasi dan menyambut baik kebijakan Presiden tersebut.

    ‘’Langkah Presiden kita sangat positif dan perlu disambut baik, karena kebijakan pemberian grasi itu adalah salah satu langkah untuk menyelesaikan berbagai persoalan di Papua, dan ini juga potret nyata dari Presiden ingin membangun Papua dengan tulus, serta menunjukan iklim demokrasi yang baik, ’’ujar Simare-mare Minggu 10 Mei.

    Lanjut Simare-mare, Kebijakan Presiden memberikan grasi juga menunjukan, bahwa Presiden bukan hanya semata-mata berkunjung ke Papua, tapi juga mengambil langkah nyata dan riil yang benar-benar dirasakan rakyat Papua. “Bukan soal frekuensi yang tinggi berkunjung ke Papua, tapi bagaimana memecahkan kasus atau kesulitan yang dirasakan rakyat Papua, dan Presiden telah menujukan komitmen yang tinggi membangun Papua dengan paradigma pendekatan yang baru,”paparnya.

    Persoalan HAM, sambung Simare-mare, menjadi salah satu masalah yang harus dituntaskan pemerintah di Papua. Karena inilah belenggu yang selama ini menciptakan sulitnya membangun saling percaya antara pemerintah dan rakyat Papua. “Mereka para Napol yang ditahan karena kasus makar/politik, sebenarnya adalah kesalahan-kesalahan pemerintahan masa lalu, yang tidak melihat persoalan dengan pendekatan persuasif dan kemanusiaan, sehingga melahirkan rasa tidak saling percaya, namun Presiden Jokowi telah mengubahnya dan membuktikan ingin membangun Papua dengan pendekatan kemanusiaan dan kesejahteraan,’’paparnya.

    Sebenarnya, tambah dia, persoalan Papua bukan semata politik tapi adanya kesenjangan kesejahateraan. “Ibarat anak yang sedang marah, kalau bapaknya tidak membelikan sepatu bagus maka akan keluar dari rumah, nah sebagai orang tua masa kita langsung marah, mengikat, penjarakan mereka, tapi kan kita harus panggil dekati,’’jelasnya.

    DPD RI juga berharap, langkah Presiden juga jangan hanya memberikan grasi kepada 5 Napol itu saja, tapi juga dengan Tapo/Napol lain yang hingga kini masih di penjara serta mereka yang masih bergerilya di hutan. ‘’Kami berharap ini baru hanya langkah awal dari Presiden, kedepan yang lain bahkan yang juuga masih berjuang bisa dirangkul dan diberi pengampunan, agar mereka kembali ke tengah-tengah masyarakat untuk bersama-sama membangun Papua ke arah yang lebih sejahtera, demia kejayaaan Indonesia,’’harapnya. (jir/don/l03)

    Source: Senin, 11 Mei 2015 08:17, Soal Papua, Perlu Dialog Nasional Dalam Kerangka NKRI

  • Masyarakat yang Berbeda Paham Bukan Musuh TNI

    Pangdan XVII/Cenderawasih saat diwawancarai wartawan dalam beberapa waktu yang lalu.JAYAPURA – Sedikitnya tiga strategi utama yang dilakukan prajurit Kodam XVII/Cenderawasih dalam menghadapi masyarakat Papua yang berbeda paham dengan Negara Kesatuan Negara Republik Indonesia (NKRI).

    Ketiga strategi yang dilakukan itu menurut Pangdam XVII/Cenderawasih, Mayjen TNI Drs. Christian Zebua diantaranya, Pertama, prajurit Kodam Cenderawasih harus mampu merebut hati rakyat dan pikiran rakyat lewat berbagai bakti sosial, pengobatan massal, pendampingan bidang pendidikan, peternakan, pertanian dan lain-lainnya.

    “Tentunya, merebut hati dan pikiran rakyat Papua dengan cara melaksanakan fungsi pembinaan teritorial yang memegang teguh sapta marga, sumpah prajurit dan delapan wajib TNI dalam melaksanakan tugasnya,”

    kata Pangdam Zebua dalam tatap muka dengan insan pers di Aula Koridor XVII/Cenderawasih, Jumat (19/9).

    Dikatakannya, tugas prajurit dalam melaksanakan tugasnya harus bisa mengatasi dan membantu kesulitan rakyat melalui kegiatan bhakti sosial. “Prajurit adalah bagian dari masyarakat, dalam mengatasi berbagai macam kesulitan, sehingga itulah cara kita merebut hati rakyat,”  kata dia.

    Kemudian kedua, cara strategis prajurit adalah melumpuhkan dan merebut senjata dari kelompok yang berbeda paham yang selama ini mengganggu keamanan dan ketertiban yang ingin memisahkan diri dari NKRI.

    Kendati demikian, saudara-saudara yang berbeda paham, ia tidak tempatkan mereka sebagai musuh tapi bagaimana merangkul mereka untuk kembali dan bersama-sama membangun Papua ini.

    “Kita boleh berbeda paham tapi kita tidak boleh saling membunuh. Namun yang perlu diingatkan adalah jangan coba-coba mengganggu rakyat apalagi bersenjata saya tumpas walau saya menganggap mereka saudara saya,”

    tandas Pangdam Zebua.

    Pangdam Zebua mengutarakan bahwa, yang paling utama dilakukan prajurit Kodam XVII/Cenderawasih adalah, bagaimana melindungi masyarakat agar dapat menikmati kehidupan yang aman, damai dan sejahtera di Tanah Papua yang kita cintai ini,” katanya.

    Lanjut Pangdam, ketiga, dengan membangun opini yang positif dan konstruktif dengan bertindak yang sesuai aturan yang ada, jangan sekali-kali menyakiti hati rakyat.

    Apa yang dikerjakan TNI dapat dirasakan manfaatnya untuk kepentingan masyarakat dan kita harus mampu memberikan informasi atau kegiatan-kegiatan positif, sehinga rakyat betul-betul mencintai TNI atas karya dan prestasinya di Tanah Papua.

    Ketiga strategi tersebut, saya rasa sangat efektif, dimana setiap langkah prajurit TNI mendapat dukungan dari setiap elemen masyarakat,” katanya.

    Hal ini, kata Christian, terbukti selama semester I tahun 2014, dimana Kodam Cenderawasih telah merebut melalui kontak tembak dan menerima penyerahan 55 pucuk senjata api dan 1.522 amunisi serta beberapa dokumen Organisasi Papua Merdeka (OPM).

    “Dan dua hari lalu di Lanny Jaya, tim gabungan TNI-Polri, berhasil mendapatkan satu pucuk senjata jenis Revolver. Di hari yang sama, di Arso 14, Kabupaten Keerom, Satgas Yonif 623/BWU juga menerima penyerahan dua pucuk senjata api jenis mouser dan pistol baretta,”

    katanya.

    Dengan berbagai prestasi tersebut, lanjut Christian, puluhan prajurit Kodam Cenderawasih mendapatkan penganugerahan kenaikan pangkat luar biasa dari Mabes TNI AD, yakni sebanyak 43 orang terdiri Bintara dan Tamtama 39 orang. (Loy/don)

    Sabtu, 20 September 2014 11:09, BintangPapua.com

Are you sure want to unlock this post?
Unlock left : 0
Are you sure want to cancel subscription?