Tag: PIANGO

  • PIANGO: “Indonesia tak bisa lagi pura-pura polos di Panggung PBB”

    Nabire, Jubi – Asosiasi NGO Kepulauan Pasifik menuding respon Indonesia terhadap pidato Vanuatu di Sidang Dewan HAM PBB (UNHRC) ke-34 sebagai upaya pengalihan perhatian komunitas internasional terhadap pelanggaran HAM yang terus terjadi di West Papua.

    Emele Duituturaga, direktur eksekutif PIANGO sampai pada kesimpulan itu  setelah Indonesia menuding Vanuatu “memolitisasi isu West Papua untuk tujuan politik domestiknya” dalam respon hak jawabnya di UNHRC di Jenewa (1/3).

    “Reaksi Indonesia ini sangat kekanak-kanakan, dan sebetulnya hanya menelanjangi ketiadaan kemanuannya untuk menghormati dan menegakkan nilai-nilai yang menjadi milik komunitas internasional bangsa-bangsa , yaitu PBB,” ujar Duituturaga seperti dikutip Pacific Islands News Association, Minggu (5/3/2017).

    Respon Indonesia, menurut dia adalah ciri khas politik ‘pecah belah dan menangkan’ dengan menjatuhkan Vanuatu namun kemudian menawarkan bantuan untuk isu-isu dugaan pelanggaran HAM-nya, “Itu sebetulnya (kepanikan) untuk merespon permintaan Koalisi Pasifik memperlakukan anggota keluarga Pasifik, yakni West Papua, dengan hormat dan bermartabat,” kata dia.

    Menurut Duituturaga, Koalisi Kepulauan Pasifik untuk West Papua (PICWP) tidak akan meminta PBB mengirimkan Pelapor Khususnya ke West Papua jika mereka tidak memegang banyak bukti atas apa yang dialami rakyat West Papua.

    Berdasarkan laporan HAM terkait West Papua, jumlah korban dan kasus-kasus pembunuhan diluar peradilan dan penyiksaan tidak berkurang signifikan dari 2012 sampai 2016.

     “Penahanan politis meningkat tiga tahun terakhir, dan semua korban penyiksaan dan pembunuhan dari data mitra kami adalah orang asli Papua. Sementara orang asli Papua hanya sekitar 40% dari penduduk Papua namun mereka lah 100% dari korban. Ini jelas wujud elemen kekerasan rasial oleh praktik aparat keamanan.”

    Sejak tahun 2007 Indonesia juga tidak mengijinkan prosedur khusus apapun mengunjungi West Papua, dan wilayah itu, lajut Duitutraga sebagian besar tetap tertutup bagi para pengamat HAM internasional. “Jurnalis asing pun tidak bisa dengan bebas melakukan liputan karena ditemani intel, sehingga sulit membuat laporan independen,” tudingnya.

    “Ketika bukti-bukti sudah sangat banyak tunjukkan ribuan orang West Papua yang merupakan penduduk Kepulauan Pasifik kehilangan nyawanya, dan mereka berjuang memberikan pandangan alternatif untuk mengelola sumber daya mereka sendiri hingga memotivasi negeri Pasifik membangun koalisi, maka sekarang Indonesia harus menyadari tak bisa lagi pura-pura polos di panggung PBB,”

    ungkap Duituturaga.

    Sementara itu, terpisah pada Jum’at lalu, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri RI Arrmanatha Nasir, seperti dilansir CNN Indonesia mengklaim bahwa PBB tidak akan menyelidiki isu pelanggaran HAM tersebut, karena menurut dia pernyataan Vanuatu hanya sebatas kekhawatiran politis dan bukan berdasarkan penyelidikan.

    “Kalau [pelanggaran HAM] itu ada, pasti akan menjadi sorotan dari publik dan mekanisme yang berlaku di Indonesia,” kata Arrmanatha di Gedung Kemlu RI.

    Menurut Nasir, pernyataan Vanuatu itu bukan pernyataan berdasar investigasi, melainkan hanya bersifat politis sehingga tidak bisa langsung ditindaklanjuti.(*)

    Reporter :Zely Ariane
    zely.ariane@tabloidjubi.com
  • Masyarakat dan Gereja Pasifik puji aksi FRI West Papua

    Jayapura, Jubi – Komunitas masyarakat sipil Pasifik memberikan apresiasi dan pujian pada aksi FRI West Papua 1 Desember lalu. Kalangan gereja Pasifik pun menunjukan penghargaan mereka untuk FRI West Papua.

    “Selama persekutuan PIANGO (Asosiasi LSM Pasifik) dan PCC (Konferensi Gereja Pasifik) di Suva kemarin (1/11/2016), kami membahas aksi FRI West Papua pada 1 Desember lalu. Kami sampaikan penghargaan kami pada mereka,” kata ekumenis animator PCC, Sirino Rakabi kepada Jubi, Sabtu (3/11/2016).

    Kata Rakabi, pada 1 Desember PCC dan PIANGO melakukan persekutuan doa untuk mendoakan perempuan Papua Barat dan anak-anak, pemuda dan pemimpin gereja karena mereka terus mendorong penentuan nasib sendiri. Mereka berkumpul di kantor PIANGO sekaligus mengikuti aksi kampanye global pengibaran bendera Bintang Kejora.

    “Saya pikir penting untuk kita berdiri di celah penindasan pemerintah Indonesia pada rakyat bangsa Papua sehingga cahaya dan damai sejahtera Allah bergerak kepada mereka dari rasa takut untuk kebebasan dan cinta. Itu juga fokus persekutuan kami,” lanjut Rakabi.

    Sebagai anggota gerakan solidaritas untuk Papua Barat, PCC lanjut Rakabi, PCC juga merenungkan segala tantangan yang telah diatasi selama mendedikasikan waktu dan hidup mereka pada isu Papua Barat dan Indonesia.

    Dalam kesempatan yang sama, Sushil Patel dari Sekretariat PIANGO mengatakan para pemimpin Pasifik siap mendorong perhatian dunia pada masalah Papua Barat.

    “Kami juga berterima kasih kepada Tuhan karena menguatkan kami untuk mendukung para pemimpin kita yang berdiri di garis depan pengambilan keputusan platform internasional dan regional mendorong perhatian dunia dan tindakan pada Papua Barat,” kata Patel.

    Persekutuan doa selama dua jam ini berakhir setelah upacara pengibaran bendera Papua Barat, Bintang Kejora. (*)

  • CSO Pasifik tetap berkomitmen mendukung dekolonisasi Papua

    Jayapura, Jubi – Pertemuan Dewan ke delapan Asosiasi Organisasi Non-Pemerintah Kepulauan Pasifik (PIANGO) pekan lalu dilakukan untuk menyusun Rencana Strategis organisasi 2016-2020.

    Dengan tema ‘Membentuk kembali Pasifik untuk generasi masa depan kita’, rencana strategis yang baru ini difokuskan pada lima bidang utama yaitu, penguatan platform Organisasi Masyarakat Sipil (CSO) di Pasifik; efektivitas pembangunan; advokasi kebijakan berbasis bukti; mengembangkan kepemimpinan Pasifik dan penguatan kapasitas CSO. Ketua Dewan PIANGO yang digantikan, Siotame Drew Havea mengatakan dalam rencana mereka berikutnya untuk 2016-2020, PIANGO telah mempertimbangkan bahwa visi, misi dan fokus wilayah masih relevan.

    “Tapi kita masih perlu mengedepankan penguatan kapasitas CSO; akuntabilitas OMS dan pengembangan Pedoman Standar Minimum, program kepemimpinan generasi selanjutnya dan menanggapi kebutuhan untuk bantuan kemanusiaan, “katanya.

    Ia juga menekankan pentingnya advokasi dekolonisasi.

    “Kami juga telah menjadi lebih vokal tentang advokasi untuk dekolonisasi dan penentuan nasib sendiri, khususnya dalam mendukung Papua Barat,” kata Havea.

    Tanggung jawab PIANGO, lanjutnya adalah untuk melihat PIANGO relevan di Pasifik selama 25 tahun ke depan. PIANGO dapat melakukan ini dengan dukungan yang inklusif dari anggotanya, dan menetapkan agenda efektivitas pembangunan; terlibat dengan SAMOA Pathway, Deklarasi Suva yang didukung oleh para pemimpin Pasifik dan memperjuangkan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan dan Agenda 2030 di semua tingkatan.

    Ketua dewan PIANGO yang baru, Sarah Thomas Nededog yang berasal dari Guam mengatakan apa yang disampaikan oleh Havea masih relevan untuk PIANGO.

    “Advokasi kolonisasi perlu untuk terus dilakukan. Pasifik harus bebas dari kolonisasi. Kami tetap mendukung proses dekolonisasi di Pasifik, termasuk West Papua,” kata Nedegog kepada Jubi, Sabtu (26/11/2016).

    Anggota dewan PIANGO yang baru, lanjut Nedegog berasal dari CSO Kepulauan Cook, Fiji, Nauru, Republik Kepulauan Marshall, Samoa dan Kepulauan Solomon.

    “PIANGO telah memasuki era baru dan tidak ada yang mungkin terjadi tanpa dukungan dari semua anggota PIANGO ini, Dewan Direksi, sekretariat dan Direktur Eksekutif,” lanjutnya.

    Pertemuan Dewan PIANGO ke delapan ini dihadiri oleh Liaison Unit Nasional (NLUs) dari Aotearoa, Australia , Kepulauan Cook, Kepulauan Mariana Utara, Negara Federasi Mikronesia, Fiji, Guam, Kanaky, Kiribati, Nauru, Samoa, Tonga, Tuvalu, Papua Nugini, Kepulauan Solomon dan Vanuatu serta perwakilan dari Papua, Bougainville, CIVICUS dan organisasi regional dan internasional. (*)

  • PIANGO: Hak penentuan nasib sendiri harus didukung mayoritas rakyat

    Dame Meg Taylor (tengah) Sekretaris Jenderal Pacific Islands Forum - IST
    Dame Meg Taylor (tengah) Sekretaris Jenderal Pacific Islands Forum – IST

    Jayapura, Jubi – Sekretaris Jenderal Pacific Islands Association of Non-Governmental Organisations (PIANGO), menegaskan bahwa perjuangan West Papua untuk keanggotaan di badan-badan regional dan kemerdekaan dari Indonesia adalah wujud ‘penghormatan atas aspirasi otonomi lebih luas oleh orang-orang yang dikoloni’.

    Hal itu dikemukakan Dame Meg Taylor  dalam pidatonya di konferensi PIANGO ke-8 di Suva, Fiji, minggu lalu.

    “Aspirasi untuk kemerdekaan harus didukung oleh setidaknya mayoritas penduduk… dan tidak memicu konflik sosial,” kata Sekretaris Jenderal Forum Kepulauan Pasifik (PIF) tersebut.

    Saat ini, enam negara anggota PIF, Solomon Islands, Vanuatu, Nauru, Marshall Islands, Tuvalu dan Tonga, telah angkat bicara di Sidang Umum PBB untuk mengadvokasi hak rakyat West Papua.

    Dan menurut Dame Meg, dalam 45 tahun sejarah konsolidasi PIF, para anggotanya memang menggunakan kekuatan jumlah mereka untuk mengadvokasi, sebagai sebuah kawasan, sesama tetangganya yang tidak memiliki akses ke platform internasional karena kurangnya status internasional mereka.

    “Penentuan nasib sendiri adalah prinsip fundamental dalam hukum internasional seperti ditegaskan oleh Pasal 1 Piagam PBB,” ujarnya.

    Hal ini mengemuka dalam pernyataan pertama Sekjend PIF bahwa keputusan menerima French Polynesia dan Kaladonia Baru sebagai ‘keputusan yang tidak pasti dalam banyak hal.’

    “Di dalam Sekretariat kami terus bekerja keras untuk mengklarifikasi dampak praktis dan hukum dari keputusan Forum Pimpinan menerima keanggotaan tersebut,” ujar Meg.

    “Lebih luasnya, ada persoalan lain yang harus kita pertimbangkan, khususnya dalam konteks Forum Kepulauan Pasifik, yang punya kriteria keanggotaan tradisional itu meliputi kedaulatan penuh dan pemerintahan sendiri-sepenuhnya,” demikian ungkap Meg.

    Seperti diketahui, French Polynesia dan Kaledonia Baru masih termasuk di dalam daftar dekolonisasi PBB, masing-masing dari Perancis.(*)

  • Countdown on for Indonesia’s response

    By Len Garae Oct 21, 2016 0, DailyPost.vu

    PIANGO duoThe Chairman of Vanuatu Free West Papua Association, Pastor Allan Nafuki says all civil society organisations in country are united with the Chief Executive Officer (CEO) of Pacific Islands Association

    of Non-Government Organisation (PIANGO), Emele Duituturaga, to support the request made by the UN Committee on the Elimination of Racial Discrimination (CERD) to Indonesia, to formally respond to allegations of racial violence and discrimination against Papuans by November 14.

    It is a sign that the attitude of the UN to West Papua’s case is beginning to change.

    The PIANGO CEO expressed these sentiments following UN CERD chair, Anastasia Crickley’s notification to Indonesia’s UN Permanent Representative, Triyono Wibowo that the committee’s recent session had considered allegations of killings and violence of indigenous Papuans in West Papua.

    “I write to inform you that in the course of its 90th session, the Committee on the Elimination of Racial Discrimination has considered, under its early warning and urgent action procedure, allegations of excessive use of force, arrests, killings and torture of persons belonging to the Papuan indigenous people in West Papua, Indonesia, and allegations of discrimination against this people, that have been brought to its attention by a non-government organization”, Miss Crickley stated in the October 3rd dated correspondence.

    “Reportedly, between April 2013 and December 2014, security forces killed 22 persons during demonstrations and a number of persons have also been killed or injured since January 2016. It is alleged that in May 2014, more than 470 persons belonging to the Papuan indigenous people were arrested in cities of West Papua during demonstrations against extraction and plantation activities”.

    The letter continues, “… Such arrests have reportedly increased since the beginning of 2016 amounting to 4000 between April and June 2016 and have included human rights activists and journalists. Such acts have reportedly never been investigated and those responsible have gone unpunished.

    “The submission claims that repression of persons belonging to the Papuan indigenous people is the result of a misinterpretation and lack of a correct implementation of the Special Autonomy Law by local and national authorities of Indonesia. The submission also claims that actions by security forces constitute violations of the rights of freedom of assembly and association”.

    Duituturaga said the committee’s requests for information indicates how seriously it is treating the allegations made by civil societies to the UN about the treatment of indigenous West Papuans by the Indonesian government.

    “CERD has given Indonesia until Novembers 14 to provide information on its response to the allegations, the status of implementations of the Special Autonomy Law in West Papua, measures taken to ensure the effective protection of indigenous people in West Papua from arbitrary arrests and detentions as well as deprivation of life”, she said.

    Indonesia has also been requested to report on measures taken to ensure that indigenous people from West Papua effectively enjoy their rights to freedom of assembly and association including persons with dissenting opinions, measures taken to investigate allegations of excessive use of force by security forces including killings and steps taken to improve access to education of Papuan children in West Papua in particular those living in very remove areas of the UN CERD.

    “Indonesia is not only the third largest democracy in the world, they are an emerging economic powerhouse but their inability to apply democratic principles in West Papua threatens their credibility with the international community.

    “The ball is in their court now and Pacific civil societies are eagerly awaiting November 14 alongside UN CERD to read their response,” Duituturaga said

  • Yeimo: PIF Leaders Dorong West Papua ke PBB

    JAYAPURA, SUARAPAPUA.com — “Para pemimpin mengakui sensitivitas isu Papua dan setuju bahwa tuduhan pelanggaran HAM di Papua tetap menjadi agenda mereka. Para pemimpin juga menyepakati pentingnya dialog yang terbuka dan konstruktif dengan Indonesia terkait dengan isu ini.”

    Ini bunyi poin 18 dari komunike bersama para pemimpin Pasifik yang tergabung dalam Pacific Islands Forum (PIF) pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ke-47 yang berlangsung di Pohnpei, ibukota negara federal Mikronesia, 7 hingga 11 September 2016.

    Hal ini senada dengan pernyataan Sekretaris Jenderal PIF, Dame Meg Taylor yang berbicara sebelum KTT ini berlangsung. Menurutnya, isu Papua dianggap sensitif oleh beberapa pemerintah di Pasifik walaupun isu tersebut tetap masuk dalam agenda untuk dibahas.

    Victor F. Yeimo, tim kerja ULMWP yang juga ketua umum Komite Nasional Papua Barat (KNPB), mengatakan, perjuangan bangsa Papua makin menggema di tingkat internasional dengan dukungan dari negara-negara Pasifik.

    “Satu langkah kita, negara-negara Pasifik sudah membulatkan tekad untuk dorong masalah hak penentuan nasib sendiri dan persoalan pelanggaran hak asasi manusia ke PBB,” demikian Yeimo kepada suarapapua.com melalui keterangan tertulis, malam ini.

    Tentang komunike PIF ke-47 tahun 2016, sedikitnya 46 poin terbagi dalam 19 bagian yang dihasilkan di akhir KTT kali ini.

    Ia menyebutkan tiga poin penting bagi Papua Barat dari komunike bersama para pemimpin negara-negara Pasifik.

    Pertama, negara-negara Pasifik mengakui sensitifitas masalah politik West Papua.

    Kedua, PIF menyetujui agar tetap menempatkan masalah HAM dalam agenda.

    Ketiga, menjaga untuk melakukan dialog konstruktif dengan Indonesia.

    KTT dihadiri pemimpin negara dan pemerintahan Australia, Cook Islands, Federated States of Micronesia, Republik Nauru, Selandia Baru, Papua Nugini, Republic of Marshall Islands, Samoa, Tonga, Tuvalu dan Vanuatu.

    Solomon Islands diwakili Deputi Perdana Menteri, sedangkan Fiji, Niue dan Republik Papau diwakili menteri luar negeri. Kiribati diwakili utusan khusus.

    Selain anggota, KTT kali ini dihadiri pula anggota associate, yaitu French Polynesia, Kaledonia Baru dan Tokelau yang diperkenankan turut dalam sesi-sesi resmi.

    Peninjau di KTT PIF adalah The Commonwealth of the Northern Marianas Islands, Timor Leste, Wallis dan Futuna, Bank Pembangunan Asia, the Commonweath Secretariat, PBB, the Western and Central Pacific Pacific Fisheries Agency (PIFFA), Pacific Power Association (PPA), Secretariat of Pacific Community (SPC), Secretariat of the Pacific Regional Environment Programme (SPREP) dan the University of the South Pacific (USP).

    Sesuai keputusan, KTT PIF tahun depan akan diselenggarakan di Samoa, sedangkan KTT PIF 2018 di Nauru dan 2019 di Tuvalu.

    Salah satu keputusan penting dari KTT PIF ke-47, diterimanya French Polynesia dan Kaledonia Baru sebagai anggota penuh. Di mata sementara kalangan ini sebuah keputusan berani karena French Polynesia dan Kaledonia Baru adalah wilayah kekuasaan Prancis, yang pada KTT ini diwakili dua organisasi yang berjuang untuk menggelar penentuan nasib sendiri.

    Pewarta: Mary Monireng

  • PIF Didorong Gunakan Mekanisme PBB Untuk Kasus Papua

    Pohnpei, Jubi – Perwakilan Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) Pasifik telah mendorong para pemimpin Pasifik untuk mendukung keterlibatan PBB dalam kasus rakyat dan bangas Papua Barat.

    Ini adalah salah satu poin kunci dari perwakilan OMS yang diajukan selama pertemuan dengan Forum Troika Pacific Islands Forum (PIF). Troika forum adalah forum yang melibatkan Ketua PIF sebelumnya, Ketua PIF saat ini dan Ketua PIF mandatang. Ketua saat ini, Perdana Menteri PNG, Peter O’Neill tidal hair dalam pertemuan tersebut karena belum tiba di Ponhpei, Negara Federasi Micronesia. Ia diwakili oleh Menteri Luar Negerinya, Rimbink Pato.

    Kepada Jubi, usai pertemuan dengan forum Troika, Ketua Pacific Islands Association of NGO (PIANGO), Emele Duituturaga mengatakan ia bersama rekan-rekan NGO se Pasifik menyampaikan kepada pemimpin PIF tentang proses-proses di PBB yang tersedia untuk mengadvokasi kasus Papua Barat.

    “Kami melihat proses-proses di PBB mungkin bisa menjadi salah satu jalur untuk menyelesaikan kasus Papua Barat,” kata Emele.

    Ia menambahkan hingga saat ini publik di Pasifik dan Melanesia hanya berpikir kasus Papua Barat adalah isu di Melanesia saja. Inilah yang membedakan advokasi sebelumnya dan saat ini untuk Papua Barat yang dilakukan beberapa negara dan NGO di Pasifik.

    “Dalam rekomendasi kami, kami juga mencoba membantu para pemimpin kami untuk mengidentifikasi beberapa hubungan bilateral antara negara-negara di Pasifik dengan Indonesia. Terutama bantuan bilateral yang bisa menghalangi kepentingan dan pilihan kita di Pasifik yang perdu menjadi kepedulian kita,” lanjutnya.

    Sebagai salah satu dari enam perwakilan OMS Pasifik yang ditunjuk untuk bertemu forum Troika, Emele juga mendorong pemimpin PIF untuk mensponsori Papua Barat masuk dalam daftar dekolonisasi dan berbicara pada Sekretaris Jenderal PBB untuk menunjuk utusan khusus dalam menangani kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia di Papua Barat.

    Dalam kesempatan yang sama, Perdana Menteri Samoa, Tuilaepa Lupesoliai Neioti mengkonfirmasi perwakilan OMS mengangkat isu Papua Barat dalam pertemuan dengan Forum Troika. Namun ia mencatat, isu Papua Barat terdiri dari dua isu.

    “Pertama adalah soal Hak Asasi Manusia. Isu ini bisa kita angkat dalam situasi seperti saat ini. Tapi soal penentuan nasib sendiri, ada proses yang harus kita ikuti,” kata Neoti.

    Ia mencontohkan kasus negaranya sendiri yang menurutnya sangat mirip dengan kasus Papua Barat saat ini.

    “Apa yang muncul di Papua Barat sangat mirip dengan situasi negara saya sendiri ketika kami ingin menjadi negara merdeka. Tentu saja kemudian PBB datang dan membimbing kami sepanjang jalan menuju kemerdekaan akhir tahun 1962. Jadi ada proses yang harus dilewati dan itu adalah langkah formal yang harus dilakukan,” lanjutnya.

    Namun kekhawatiran atas isu Papua Barat dalam pertemuan puncak para pemimpin PIF pada Sabtu (10/9/2016) sempat muncul di kalangan NGO Pasifik ini. Hal ini disebabkan kemungkinan ketidakhadiran Perdana Menteri Kepulauan Solomon, Manasye Sogavare dalam pertemuan retreat tersebut, karena dilakukan pada hari Sabath. Sogavare adalah penganut Advent. Sogavare, sebagai Ketua Melanesia Spearhead Group (MSG) adalah salah satu kunci utama dalam advokasi kasus Papua Barat

    Terkait hal ini Direktur Jenderal Kantor Perdana Menteri Vanuatu, Johnson Naviti menegaskan posisi Koalisi Pasifik untuk Papua Barat sangat jelas dalam pertemuan PIF kali ini. Menurutnya, Perdana Menteri Vanuatu, Charlot Salwai akan membawa isu Papua Barat dalam retreat nanti.

    “Ketika saya berbicara atas nama pemerintah Vanuatu, ketika koalisi terbentuk di Honiara tahun lalu, saya telah menjelaskan kepada Perdana Menteri Kepulauan Solomon, posisi kami jelas; Dukungan yang kami nyatakan bukan hanya dari pemerintah atau satu kelompok politik, namun dari seluruh populasi Vanuatu,” kata Naviti.

    Koalisi Pasifik untuk Papua Barat di Pasifik di bentuk di Honiara pada bulan Juli lalu atas inisiatif Sogavare setelah pertemuan khusus MSG. Anggota awal koalisi ini adalah Kepulauan Solomon, Vanuatu, Kepulauan Marshall, Tonga, Front Pembebasan Kanak (FLNKS), United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) dan Pacific Islands Association of NGO (Piango). Saat ini dua negara, Tuvalu dan Nauru telah bergabung dalam koalisi ini. (*)

  • Geopolitik Pengaruhi Hasil PIF-47, PICWP Konsisten Hingga ke PBB

    Jayapura, Jubi – PIANGO memandang Australia dan Selandia Baru berperan besar secara geopolitik hingga membuat hasil komunike Forum Kepulauan Pasifik Selatan (PIF) ke-47 tentang West Papua belum maksimal.

    Pertemuan para pimpinan PIF sejak Rabu (7/9) berakhir pada retreat Minggu (11/9/2016). Isu pelanggaran HAM Papua tetap menjadi agenda dan perhatian para pemimpin negeri Pasifik.

    Namun, menurut Direktur Eksekutif Asosiasi NGO Kepulauan Pasifik (PIANGO), Emele Duituturaga, kepada Jubi Selasa (13/9/2016), hasil komunike PIF-47 kali ini belum mencerminkan desakan masyarakat sipil, khususnya terhadap hak penentuan nasib sendiri West Papua.

    “Tampak jelas bahwa geopolitik bermain dalam isu ini. Kami menduga para pemimpin kami tidak cukup berani dan tegas di hadapan negara-negara tetangga besar seperti Australia dan Selandia Baru,” ujar Duituturaga yang menyesalkan desakan masyarakat sipil, agar PIF medorong isu penentuan nasib sendiri West Papua ke PBB, belum tercermin dalam hasil Komunike PIF-47.

    Namun demikian, lanjutnya, isu pelanggaran HAM Papua, yang tidak bisa digeser dari agenda PIF, adalah capaian penting.

    “Kami tahu beberapa negara anggota PIF bahkan berharap isu West Papua dihapuskan sama sekali dari agenda PIF,” kata dia sambil memahami bahwa hasil komunike tersebut adalah pertarungan politik dan pengaruh.

    Hasil komunike terkait isu West Papua di dalam poin 18 menyatakan, bahwa para pemimpin mengakui sensitivitas politik isu West Papua (Papua) dan bersepakat isu dugaan pelanggaran HAM di West Papua (Papua) harus tetap ada dalam agenda. Para pemimpin juga bersepakat pentingnya sebuah dialog terbuka dan konstruktif dengan Indonesia terkait masalah itu.

    Menanggapi hasil Komunike PIF ke 47 yang belum memenuhi harapan perjuangan politik West Papua, Octovianus Mote, Sekretaris ULMWP kepada Jubi mengatakan dirinya tidak menganggap hal tersebut sebagai kekalahan.

    “Kita menang dalam hal dukungan. Tahun ini hampir semua negeri mendukung Papua Barat. Tahun lalu masih sangat sedikit karena masih banyak yang belum tahu dan tidak bersuara,” ujarnya.

    Dia mengaku justru lebih lebih optimis saat ini. “Saya lebih optimistik karena pemimpin kunci bersuara sama.”

    PICWP Lanjutkan ke PBB

    Terlepas dari hasil PIF-47 tersebut, Emele Duituturaga menegaskan bahwa PICWP, yang terdiri dari Kepulauan Solomon, Vanuatu, Republik Kepulauan Marshall, Nauru, Tuvalu dan PIANGO, adalah platform yang semakin bisa diandalkan untuk terus mendorong West Papua menjadi agenda di badan PBB.

    “Kami sangat berbesar hati dan semakin positif karena anggota-anggota negara PICWP sudah secara terbuka tunjukkan komitmen mereka untuk mendorong isu West Papua ini.”

    Pihaknya kedepan akan bekerja secara individual dengan negeri-negeri tersebut agar PBB mengintervensi isu pelanggaran HAM West Papua, sekaligus mendorong agenda penentuan nasib sendiri West Papua ke Majelis Umum PBB, Dewan HAM PBB, serta Sekretaris Jenderal PBB.

    Selain itu, Perdana Menteri Samoa yang merupakan ketua PIF selanjutnya, menurut Duituturaga, sudah menunjukkan sinyal bahwa pihaknya akan menggelar pertemuan 16 anggota CSO dengan keseluruhan pimpinan PIF pada pertemuan PIF tahun depan di Samoa.

    “Tidak terlalu banyak nilainya bertemu segelintir pimpinan PIF di Troika,” ujar Emele yang memandang usulan Perdana Menteri Samoa sebagai terobosan yang bagus untuk memberi tekanan lebih besar pada isu politik West Papua.

    Victor Yeimo, Ketua Umum KNPB dalam pernyataan tertulisnya kepada Jubi Senin (12/9) mengakui beratnya pertarungan pengaruh di PIF terkait isu politik West Papua, khususnya karena hubungan ekonomi politik negara-negara besar seperti Australia dan Selandia Baru dengan Indonesia.

    “Ada dua level perjuangan yang akan terus kami lakukan untuk perluasan dukungan terhadap hak penentuan nasib sendiri West Papua hingga ke PBB. Level pertama adalah dukungan gerakan sosial dan politik di Pasifik, dan level kedua adalah dukungan pemerintah negaranya. Keduanya bisa berjalan seiring, bisa juga tidak. Tetapi level pertama, yaitu dukungan gerakan sosial dan politik, adalah penentu,”

    ujar Yeimo.

    Dia juga menjelaskan bahwa solidaritas gerakan sosial dan politik di Australia, Selandia Baru dan Indonesia sendiri saat ini sedang bertumbuh.

    “Pemerintah Australia, Selandia Baru dan Indonesia boleh jadi masih kepala batu untuk mengakui persoalan politik Papua, tetapi mereka tidak akan bisa membendung perluasan dukungan dari rakyatnya sendiri pada kami,” ujar Yeimo.(*)

  • Kepulauan Solomon akan Pimpin Advokasi Isu-isu Papua Barat

    Jayapura, Jubi – Kepulauan Solomon akan memimpin advokasi terkait isu-isu pelanggaran HAM di Papua Barat oleh mandat pertemuan Forum Menteri-Menteri Luar Negeri di Suva, Fiji, minggu lalu.

    Tak saja berhasil menjadi salah satu dari enam inisiatif yang terdaftar untuk menjadi pertimbangan bagi para pemimpin di forum Menteri Luar Negeri Pasifik, kini isu-isu Papua Barat akan dipimpin langsung advokasinya oleh pemerintah Kepulauan Solomon.

    Hal itu ditegaskan Joseph Ma’ahanua, Sekretaris Permanen untuk Urusan Luar Negeri dan Perdagangan Internasional Kepulauan Solomon, yang mengatakan pada SIBC news Kamis lalu (18/8/2016), bahwa negaranya merasa senang dan terhormat karena mandat sebagai peran kunci tersebut akan memelihara ruang bagi isu-isu Papua Barat menjadi lebih luas dan bermomentum panjang.

    “Kami merasa senang karena faktanya isu-isu Papua Barat akan terus berlanjut dan dikelola dalam agenda-agenda yang dihasilkan dari laporan-laporan komite resmi Forum Menteri-Menteri tersebut dan akan dipresentasikan kepada para pemimpin,” ujarnya.

    Hal ini akan membuat Kepulauan Solomon berada di posisi memimpin untuk memastikan isu-isu Papua Barat terus diadvokasi secara aktif di kalangan para pemimpin forum.

    Sebelumnya, Emele Duituturaga, Direktur Pacific Islands Association of NGOs (PIANGO), juga menyatakan optimismenya terkait tekanan masyarakat sipil di Pasifik yang terus meningkat dalam mengadvokasi isu-isu terkait HAM dan dekolonisasi Papua Barat.

    “Jadi ini membesarkan hati kami setelah melihat Papua Barat berada dalam daftar inisiatif untuk pertimbangan para pemimpin dalam ringkasan rekomendasi yang disusun oleh Forum Spesialis Sub-Komite Regonal,” kata Duituturaga.(*)

  • Change of mood on West Papua issue

    AVINESH GOPAL, Fiji Times Online, Wednesday, August 17, 2016

    Update: 12:23PM PACIFIC Islands Association of NGOs executive director Emele Duituturaga says the groundswell of support for West Papua across the region is the ideal build up to the upcoming Forum Leaders meeting in Federated States of Micronesia.

    Ms Duituturaga made the comments after presenting the issue of West Papua to the Regional Civil Society Forum in Suva last week.

    “There is definitely a change of mood across the Pacific on this issue as they begin to understand the severity of the human rights abuses and violence faced by West Papuans and the colonial history,” she said in a statement today.

    “Our CSO forum heard of issues raised in national consultations and what other CSO partners had echoed and we were pleased to hear that there is widespread support from CSO partners across the region for this as a priority regional issue.

    “So it is heartening to see West Papua under the list of initiatives for leaders consideration in the summary of recommendations compiled by the Forum Specialist Sub-Committee on Regionalism.”

Are you sure want to unlock this post?
Unlock left : 0
Are you sure want to cancel subscription?