Jakarta, (ANTARA News) – Tokoh pendiri Organisasi Papua Merdeka (OPM) Nicholas Jouwe (86), yang sudah beberapa puluh tahun menetap di Belanda, kembali ke Indonesia dan akan menghabiskan sisa hidupnya di tanah air.
“Saya meninggalkan Belanda untuk menetap di tanah air saya, Indonesia, selama-lamanya,” kata Jouwe yang tiba di Jakarta pukul 08.30 WIB dan langsung bertemu Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Agung Laksono di kantor Kementrian Koordinator Kesejahteraan Rakyat.
Jouwe yang siang itu mengenakan setelan jas abu-abu dengan kemeja putih dan dasi merah selama beberapa waktu berbincang dan makan siang dengan Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat yang didampingi Menteri Perhubungan Freddy Numberi dan beberapa pejabat pemerintah.
“Tadi sempat makan. Ada banyak makanan Indonesia tadi, soto juga ada. Kata Pak Nicholas enak,” kata Agung.
Jouwe mengaku senang dengan sambutan pemerintah atas kepulangannya dan keinginan pemerintah untuk bersama-sama membahas masa depan tanah Papua.
“Saya rasa sekarang Papua adalah Indonesia. Yang kita bicarakan adalah program kerja dan itu yang perlu. Kita harus membangun tanah ini,” kata pria berkulit kuning langsat itu.
Dia juga mengatakan tidak menuntut apa-apa dari pemerintah Indonesia atas kepulangannya, kecuali untuk membangun kesejahteraan masyarakat di tanah itu.
Tentang beberapa kerusuhan di Papua yang diduga terkait OPM, Jouwe mengatakan “itu adalah orang Papua yang terdiri atas anak muda yang tidak tahu apa-apa. Itu semua hanya omong kosong. Dia hanya meniru apa yang dilakukan di Indonesia dan tempat yang lain.”
Ia menambahkan, sejak 19 November 1969 wilayah Papua dan penduduk yang mendiaminya telah menjadi bagian integral dari Indonesia.
Freddy Numberi, yang lahir di Yapen Waropen, Papua, mengatakan, sebenarnya akar dari semua masalah di Papua adalah kesejahteraan.
“Di seluruh dunia sama saja, masalah seperti ini ujungnya masalah perut. Kalau semua sudah kenyang dan bisa menikmati pendidikan, dengan sendirinya akan selesai,” katanya.
Oleh karena itu, kata dia, sekarang fokus pemerintah adalah menjalankan berbagai program untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk Papua.
“Perhatian pemerintah selama ini sudah cukup besar. Alokasi anggaran untuk Papua sangat besar Rp22 triliun setahun. Pemerintah juga melakukan percepatan pembangunan di tanah Papua,” demikian Freddy Numberi.(*)
Media NKRI memang jelas tidak memberitakan sedikitpun mengenai kemenangan diplomasi Papua Merdeka. Pada minggu ini, tepatnya 2 Juni 2009, Hermain Wainggai, salah seorang anak Alm. Thom Wainggai mendapat izin tinggal tetap di Australia. Seperti dilaporkan dalam versi Inggris @westpapua.net, Julius Kogoya, Izack Marani dan Richard Rumbiak di samping Marike Tebay, Papuana Motte, William Omabak, dan Stefanus Akanmor belum lama ini mengadakan Kebaktian Syukuran atas izin tinggal menetap.
Status izin tinggal menetap ini sama dengan status yang diperoleh Dr. Ottow Ondawame dan Jacob Prai di Swedia, Benny Wenda di Inggris dan orang Papua lainnya. Itu berarti mereka menjadi penduduk Australia, yang berhak atas jaminan-jaminan dari negara dan berhak mencari pekerjaan dan menikmati kehidupan yang layak sebagai penduduk Australia.
Yang lucunya, “Mengapa penyiaran tentang dua orang Papua yang pulang ke Indonesia karena alasan satu dengan lain hal disiarkan sebagai sebuah kemenangan diplomasi dan kecintaan orang Papua terhadap NKRI serta keberpihakan Australia terhadap NKRI, sementara 40 orang lainnya di Australia yang kini mendapat izin tinggal tetap di sana tidak disinggung sama sekali???”
Silahkan jawab sendiri, kami berbicara Karena dan Untuk KEBENARAN!
BOVEN DIGOEL-Pemerintah Kabupaten Boven Digoel menginginkan rencana repatriasi 300 warga asal Kabupaten Boven Digoel dari Papua New Guinea (PNG) untuk dipulangkan langsung lewat Boven Digoel, bukan melalui provinsi (Jayapura) terlebih dahulu.
Keinginan itu diungkapkan Bupati Boven Digoel Yusak Yaluwo, SH, M.Si, dihadapan masyarakat Distrik Sesnuk, saat Turkam ke daerah tersebut, beberapa waktu lalu.
“Kita harapkan 300 warga kita yang akan dipulangkan pemerintah, langsung lewat Boven Digoel. Kami akan segera berupaya untuk dapat mengkomunikasikan dengan pemerintah provinsi,” kata bupati.
Dari rencana yang disusun oleh pemerintah, sekitar 700 lebih warga asal Papua yang tinggal di PNG seluruhnya akan dipulangkan lewat Jayapura. Setelah berada di Jayapura, kemudian dikembalikan berdasarkan daerah asal masing-masing.
Menurut bupati, dengan rencana tersebut perjalanan yang akan dilewati warga asal Boven Digoel menjadi sangat panjang. Disamping itu, membutuhkan dana yang tidak sedikit. “Tapi kalau langsung lewat Boven Digoel, perjalanannya tidak terlalu jauh dan dana yang digunakan untuk memulangkan mereka bisa ditekan,” ujarnya.
Jumlah warga asal Kabupaten Boven Digoel sendiri di PNG saat ini, ungkap bupati, diperkirakan telah mencapai 25 ribu jiwa. Terbanyak berada di sekitar Kiongga yang berbatasan langsung dengan Distrik Waropko.
Dijelaskan, beberapa waktu lalu dirinya ke PNG dan mengajak warga asal Kabupaten Boven Digoel yang ada di negara tetangga itu untuk kembali ke kampung halaman masing-masing untuk membangun Boven Digoel. “Disana, hidup mereka juga setengah mati,” jelas bupati.
Menanggapi pertanyaan seorang warga terkait keamanan mereka setelah kembali, Bupati Yusak Yaluwo memberi jaminan keamanan. Termasuk dari aparat TNI/Polri, lanjut Bupati telah memberi jaminan keamanan bila mereka telah kembali ke tanah airnya.
Bahkan, lanjutnya, pemerintah dengan tangan terbuka menerima kembali untuk bergabung dengan saudara-saudaranya yang ada di Kabupaten Boven Digoel. Hanya saja, jelas bupati, mereka yang kembali tidak ada perlakuan khusus karena nantinya bisa menimbulkan kecemburuan jika ada perlakuan khusus.
Bupati Yusak Yaluwo sendiri berkeinginan akan kembali ke Kiongga untuk menemui warga asal Boven Digoel yang ada di sana agar kembali ke kampung halamannya.
“Masih banyak masyarakat kita di sana yang berkeinginan pulang, meski ada diantara mereka yang masih pikir-pikir. Nah, mereka ini yang harus terus kita ajak dan diberi pemahaman bahwa situasi dulu sudah sangat berbeda dengan yang ada sekarang ini,” ucap bupati. (ulo)
Jayapura (PAPOS) –Sekitar 5000 warga Papua di PNG berniat pulang ke Distrik Batom di Kabupaten Pengunungan Bintang (Pemkab Pegubin). Niat itu muncul setelah melihat hidup teman-teman yang lebih dulu kembali ke NKRI mendapat perhatian dari pemerintah setempat. Keinginan ribuan warga Papua untuk kembali ke negara asalnya Indonesia ini pertama-tama diutarakan salah seorang warga Indonesia yang berusaha di PNG, Ny. Ria Wegai.
Menurut Ria Wegai, kondisi warga Indonesia yang menetap di Papua memprihatinkan, sebab pemerintah PNG tidak lagi memperhatikan mereka, disamping bantuan NHCR badan dunia yang menengani masalah pengungsi sudah berakhir.
Menanggapi hal itu, Bupati Pengunungan Bintang, Drs Welinton Lod Wenda kepada Papua Pos mengatakan, pihaknya menyambut baik, keinginan warganya di PNG sadar kalau tinggal di negara sendiri lebih enak daripada di negara lain.
Namun bupati meminta kalau keinginan pulang ke kampungnya ini jangan hanya keinginan semata, tetapi harus benar-benar dari kesadaran sendiri, dan harus mau untuk membangun daerahnya demi kehidupan yang lebih baik.
Welinton juga mengatakan bahwa, bukan hanya 5000 orang warganya yang ada di PNG minta pulang, tetapi ada sekitar 17.000 orang lagi. Hanya saja bupati tidak mau meneriman laporan dari pihak ketiga, tetapi dia mau kalau laporan itu datang dari warga sendiri dan kepala distrik yang ada di daerah perbatasan negara.
“ Kita siap menerima warga kita yang ada di PNG, kalau memang benar-benar mereka kembali dan menyadari,” katanya.
Bahkan lebih tegas Bupati Welinton Wenda mengatakan pemerintah siap membangun rumah kepada masyarakat pelintas batas, seperti yang sudah dilakukan tahun 2008 lalu ribuan rumah dibangun pemerintah yang diperuntukkan bagi masyarakat pelintas batas yang telah mengakui dan mau tinggal secara menetap di Indonesia. Untuk itu Bupati minta kalau ada keinginan para warga ini untuk kembali ke Pengunungan Bintang dilaporakan secara resmi tidak perlu harus melalui perantara. Karena pemerintah juga ingin mengetahui sejauh mana keinginan mereka ini benar-benar disadari. (wilpret)
Ditulis oleh Wilpret/Papos Jumat, 20 Maret 2009 07:00
Hujan emas di negeri orang, hujan batu di negeri sendiri. Ungkapan itu, mencerminkan pengalaman warga negara Indonesia asal Provinsi Papua yang melintas batas dan menetap di negara tetangga Papua Nugini (PNG). Pelintas batas itu menyebar di Port Moresby, Wewak, Madang, Lae, Buka, Rabaul, Kingga, Daru, Vanimo, dan Manus. Sebanyak 708 orang dari ribuan pelintas tahun 1984 tersebut ingin kembali ke tanah kelahirannya atas kesadaran sendiri. Mereka melintas batas, karena alasan konflik sosial politik yang mengancam kelangsungan hidup.
Menurut Departemen Luar Negeri, pelintas batas tersebut akan kembali seusai pemilihan umum calon anggota legislatif 9 April 2009.
Sekretaris Daerah Provinsi Papua Tedjo Soeprapto dalam rapat persiapan di Jayapura baru-baru ini mengungkapkan, pemulangan pelintas batas akan menghabiskan dana Rp 30 miliar untuk persiapan sarana dan prasarana, termasuk pembinaan. Dana berasal dari Kantor Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat. Dua kabupaten yang paling banyak menerima kepulangan pelintas batas, yakni Jayapura 119 keluarga (451 jiwa) dan Boven Digoel 22 keluarga (108 jiwa). Selain itu, Kabupaten Merauke, Puncak Jaya, Tolikara, Mimika, Biak Numfor, dan Keerom.
Menurut Neles Tebay, pelintas batas yang pulang itu merupakan kemenangan diplomasi pemerintah. Kemenangan tersebut akan dimanfaatkan dalam diplomasi internasional. Mereka mau pulang karena Papua sudah aman dan diperlakukan mereka dengan baik. “Tetapi, kalau dana Rp 30 miliar digunakan untuk memperbaiki nasib pejuang integrasi Papua ke Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tak akan membuat pemerintah populer di luar negeri. Padahal, keutuhan NKRI disatukan oleh para pejuang,” katanya.
Sementara, pemerintah melupakan pengorbanan pejuang integrasi, yakni Trikora, Gerakan Merah Putih, dan Dewan Musyawarah Pepera. “Pejuang yang masih hidup harus diperhatikan. Secara psikologis, yang diinginkan orang- orang Papua pejuang integrasi supaya dihormati, diingat, jasa-jasa mereka dihargai, dan dikenang. Sekalipun bantuan sosial itu tak seberapa, prinsipnya pemerintah mengakui keberadaannya sebagai pejuang dalam menegakkan keutuhan NKRI,” ujarnya.
Mantan Wakil Ketua Gerakan Merah Putih, Joel Worumi yang dijebloskan Belanda berkali-kali ke penjara mengatakan, pelintas batas kembali ke Papua karena ini tanah kelahirannya.
Joel mengungkapkan pihaknya kecewa atas perlakuan pemerintah yang tak adil itu. Padahal, mereka sudah mengkhianati negara. Sedangkan, pejuang integrasi yang mempertaruhkan nyawa dan darah untuk keutuhan bangsa, kehidupannya memprihatinkan.”Jangan hanya memprioritas pelintas batas yang mengkhianati keutuhan bangsa. Tolong berlaku adil juga untuk pejuang. Kalau pemerintah memperhatikan pengungsi yang kembali ke Papua dari PNG, tolong perhatikan kami juga,” katanya.
Kesejahteraan
Senada dengan Worumi, mantan Komisaris Gerakan Merah Putih, Jantje Numberi menegaskan, pejuang membutuhkan sentuhan kesejahteraan dan dialog kemanusiaan. “Alangkah bahagianya ketika menjelang Pemilu 2009 maupun pemilihan presiden, diharapkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wapres Jusuf Kalla berkesempatan berdialog dengan pejuang integrasi di Tanah Papua,” katanya.
Sementara pejuang lain, Peter Wona mengatakan, mereka telah mempertahankan tetap berkibarnya bendera Merah Putih di Papua. Apakah pemerintah melupakan perjuangan masyarakat Papua? Padahal, mereka sudah memberikan segalanya bagi negara.
“Lalu apa yang kami dapat dari negara. Untuk itu, siapa pun yang menjadi presiden, orang Papua punya hak menjadi menteri atau menduduki berbagai jabatan di pemerintah pusat dalam mengukuhkan semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Tentu yang dipilih harus orang Papua yang berkualitas,” katanya.
Harapan pejuang integrasi dan veteran di Papua dan Papua Barat dapat diwujudkan pemerintah. Menurut Presiden Susilo Bambang Yodhoyono dalam buku Semuanya Untuk Rakyat, pemerintah sangat peduli dengan veteran pejuang Kemerdekaan RI yang telah berjuang mengusir penjajah, membela dan mempertahankan NKRI. Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai pahlawannya, termasuk dalam meneruskan cita-cita dan perjuangannya.
Presiden Yudhoyono dalam buku itu antara lain menyatakan, pemerintah menyadari bahwa veteran lebih mengharapkan penghargaan daripada materi. Namun, pemerintah tetap memberikan tunjangan veteran yang berkisar antara Rp 470.000 sampai Rp 526.000 per bulan.
Selain itu, diberikan jaminan kesehatan bagi veteran beserta keluarga dan pemberian dana kehormatan veteran lain. Apakah ini diberikan juga untuk veteran di Papua? Dengan demikian mereka tak merasa dibiarkan dibandingkan pelintas batas yang kembali dari PNG ke Provinsi Papua dan Papua Barat. [SP/Wolas Krenak/Robert Isidorus]
MERAUKE (PAPOS) – Sebanyak 57 warga PNG yang lahir dan besar di Kampung Olmawata, Daru-PNG meminta untuk bergabung ke pangkuan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Permintaan itu disampaikan oleh warga saat berdialog dengan Asisten III Setda Kabupaten Merauke, Agustina Basik-Basik, S.Sos dan Badan Kesbang Linmas Merauker beberapa hari lalu di Kampung Nasem.
Kasubdit Pengembangan Perbatasan Kesbang Linmas Kabupaten Merauke, Elieser Teorupun yang ditemui Papos di ruang kerjanya, Rabu (4/2) mengatakan, sebanyak 57 warga yang terdiri dari 9 kepala keluarga (KK) beradal dari Kampung Olmawata, PNG telah menyatakan kesediaan untuk bergabung ke pangkuan NKRI.
“Mereka adalah orang yang lahir dan besar di kampung Olmawata tetapi minta kembali ke Indonesia,” katanya.
Dimana keinginan pulang itu datang dari warga sendiri tanpa ada unsur pemaksaan dari siapapun. Hanya saja merasa saat ini tidak nyaman hidup di PNG lantaran kurang diperhatikan hak-hak mereka oleh pemerintah negara PNG
Masih menurut Teorupun, saat ini ke- 57 warga itu tinggal sementara bersama keluarga mereka di Kampung Nasem sejak dua bulan lalu (Desember 2008), bahkan sekarang semuanya tidak mau lagi pulang ke PNG, tetapi mereka mengiginkan kembali ke pangkuan NKRI.
Untuk menindaklanjuti rencana kepulangan mereka ke Kampung Nasem, lanjut Teorupun, akan dilakukan setelah mengurus semua administrasi dan setelah ada petunjuk dari Bupati Merauke, Drs. Johanes Gluba Gebze, karena hal ini terkait dengan hubungan antar dua negara.
“ Agar hubungan kedua negara tetap harmonis sebagaimana biasa, maka semua persyaratan administrasi harus dibereskan, apalagi mereka sudah bisa hidup dengan keluarganya di Kampung Nasem,” katanya.
Ditambahkan, ke 57 warga itu lahir dan besar di PNG dan kehidupan sehari-hari di Kampung Olmawata adalah sebagai petani. Tetapi karena ada sanak saudara dan keluarga di Kampung Nasem, mereka datang untuk Natal sekaligus menjajaki dan atau melihat kondisi di Merauke dan ternyata setelah melihat malah mereka tidak mau lagi kembali ke Olmawata, PNG malah mereka minta untuk menjadi warga NKRI. (cr-44)
[BANDUNG] Departemen Luar Negeri (Deplu) menanti kucuran dana dari Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat untuk memulangkan 708 orang warga negara Indonesia (WNI) dari Papua Nugini (PNG). Mereka tersebar di 10 kabupaten di PNG.
“Sebanyak 708 dari sekitar 25.000 orang Papua di PNG ini sudah menyampaikan niatnya pulang sejak 2008 secara sukarela. Kehidupan ekonomi mereka tidak jauh berbeda dibandingkan saat masih tinggal di Papua,” kata Direktur Keamanan Diplomatik Deplu, Sujatmiko, di Bandung, Jawa Barat, Senin (12/1).
Dikatakan, pemerintah menargetkan memulangkan mereka sebelum April 2009. Penduduk asal Papua yang bermaksud kembali ke tempat kelahirannya itu sudah tinggal antara lima hingga 20 tahun di PNG. Kebanyakan dari mereka, tinggal di daerah hutan dan perbatasan.
Pemerintah sudah pernah memulangkan warga Papua dari negara yang sama pada tahun 2005. Jumlahnya waktu itu 250 orang lewat jalur Merauke. Untuk pemulangan kali ini, setiap warga akan dikumpulkan di Port Moresby dari 10 kabupaten di PNG. Dari sana, mereka akan diterbangkan ke Jayapura dan dipulangkan ke tempat tinggal masing-masing. [153]
BANDUNG, SENIN — Kepulangan 708 warga Papua yang menyeberang ke Papuaniugini dan kini hendak kembali ke daerah asalnya tertunda. Hingga kini keinginan mereka terkendala dana Pemerintah Indonesia untuk membiayai ongkos perjalanan.
Menurut Direktur Keamanan Diplomatik Departemen Luar Negeri Republik Indonesia Sujatmiko di Bandung, Senin (12/1), pengajuan kepulangan mereka sebenarnya sejak tahun lalu. Namun, hingga kini, pihaknya belum menerima persetujuan dan pengucuran dana.
“Mengenai besarannya, saya serahkan pada negara. Namun, dengan keinginan besar warga untuk pulang, kami targetkan pencairan dana turun sebelum Pemilihan Umum 2009,” katanya.
Menurut Sujatmiko, mereka yang ingin pulang adalah bagian dari sekitar 25.000 warga Papua yang berada di sepuluh kabupaten Papuaniugini. Mereka telah tinggal di Papuaniugini antara 5 dan 25 tahun atau bahkan lebih. Mereka meninggalkan Indonesia dengan alasan ketakutan pada organisasi pengacau keamanan (OPM), ketakutan perang adat, konflik dengan pendatang, hingga motif ekonomi.
“Mereka secara tradisional melewati perbatasan, seperti berjalan kaki. Pengawasan pertugas perbatasan tidak maksimal karena dengan batas antarnegara yang membentang 700 kilometer,” katanya.
Akan tetapi, harapan mereka mendapatkan kehidupan lebih baik ternyata tidak tercapai. Sujatmiko mengatakan, mereka malah hidup lebih miskin. Bahkan, tidak jarang banyak warga Papua terpaksa hidup di hutan akibat kesulitan ekonomi. “Di luar semua itu, hal yang paling mendorong mereka untuk kembali adalah keadaan Papua yang saat ini dikatakan lebih aman,” katanya.
Mengenai perkembangan kepulangan warga Papua di Australia, dari sementara target 43 orang, Deplu sudah membantu kepulangan lima warga. Adapun 38 orang lainnya, meski belum pulang, diyakini dalam waktu dekat akan kembali ke Indonesia.
Sementara itu, di Gedung Merdeka Bandung digelar diskusi bertema “Diplomasi Untuk Papua”. Sebagai pembicara adalah Peneliti Senior Pusat Studi Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Muridan Widjojo dan Yoel Rohrohmana, Pejabat Fungsional Direktorat Amerika Utara dan Tengah Deplu, yang berasal dari Papua.
Menurut Muridan, masih banyak hal yang harus dilakukan Indonesia untuk Papua. Pemerintah dituntut menghapuskan marjinalisasi warga Papua, menuntuaskan pembangunan di segala bida ng dasar, persoalan pelanggaran hak asasi manusia (HAM), serta sejarah kepercayaan kemerdekaan Papua.
Penghapusan marjinalisasi, menurut Muridan, bisa dilakukan dengan memaksimalkan otonomi khusus. Di dalamnya bisa dilakukan pelatihan dan pendekatan, baik bagi pejabat pemerintah dari Papua, maupun kalangan swasta Papua.
Pembangunan di segala bidang dasar, seperti pendidikan, kesehatan, dan akses ekonomi juga harus diperhatikan. Minimnya perhatian membuat kesejahteraan masyarakat Papua sangat rendah.
“Untuk permasalahan HAM, pemerintah bisa mendorong Komisi Nasional HAM membuat buku putih pelanggaran. Selain itu perlu dialog intensif agar masyarakat Papua bersatu dalam Republik Indonesia,” katanya.
Sementara itu, Yoel mengatakan, banyak pembangunan di Papua justru tidak menyentuh kebutuhan pokok masyarakat, terutama kesejahteraan sosial, ekonomi, dan keamanan. Hal itu membuat Papua semakin tertinggal. Hal itu sangat disayangkan karena potensi ekonomi dan sosial budaya di Papua sangat tinggi.
TIBA : Yunus Wainggai bersama istrinya Siti Pandera dan anak mereka Anike Wainggai saat berada di VIP room Bandara Sentani Kamis (18/12) kemarin.
SENTANI – Satu per satu para pencari suaka yang bersama dengan Herman Wanggay lari ke Australia, akhir 2006 lalu, mulai sadar dan kembali ke Papua, setelah Hana Gobay dan Yubel Kareni kembali ke Merauke dan Serui September lalu, kini disusul lagi oleh Yunus Wanggay (39), dan anaknya Anike wanggai (6) serta istrinya Sitti Pandera/Wanggay (40). Seperti rencana sebelumnya, ketiganya akhirnya tiba di Bandara Sentani,setelah melakukan penerbangan dari Jakarta, menggunakan penerbangan udara Express Air, dengan nomor seri penerbangan PK-TXD boing 737 seru 200,Kamis (18/12), kemarin sore.
Menjelang kedatangan di Bandara sentani, ternyata mendapat perhatian khusus baik dari keluarga dan para wartawan, ini dibuktikan dengan banyaknya keluarga dan para wartawan baik dari media eletronik dan cetak lokal dan nasional, lengkap dengan perlengkapannya liputan, memadati ruang tersebut. Penjemput dan para pemburu berita ini bahkan mereka sejak pukul 15.00 WIT, sudah rela menunggu di ruang VIP, menantikan pesawat yang mengantar pulang keluarga pencari suaka tersebut. Tepat pukul 17.20 WIT, pesawat yang mengantarkan keluarga Yunus Wanggay dan istri dan anak pun tiba di Bandara Sentani. Yunus menggunakan pet merah serta kaca mata hitam, sementara istri dan anaknya menggunakan pakaian berwarna biru cerah dengan motif bunga-bunga. Saat turun dari tangga pesawat, suasana sedih bercampur haru pun terlihat. Saat keluar dari pintu pesawat, ketiganya langsung disambut oleh keluarga terdekat. Mereka saling peluk-memeluk, bahkan tangisan sempat mewarnai penyembutan para pencari suaka tersebut. Yunus Wanggay dan istri serta anaknya, langsung dijemput oleh mobil milik penerbangan Ekpres Air, menuju ke ruang tunggu VIP. Yang menarik saat itu, sang anak Anike (6) sempat mengeluarkan air mata karena kaget, pasalnya para wartawan menggunakan kamera yang ditujukan kepada dirinya dan bapaknya Yunus wanggay. Anike yang hanya bisa berbahas Inggris sempat mengeluarkan kata-kata kepada ayah dan ibunya.
Setelah berada di ruang VIP Bandara Sentani, Yunus Wanggay dan istri dan anaknya, diberikan kesempatan istirahat 15 menit, selanjutnya didampingi oleh Kepala Seksi Deportasi Direktorat perlindungan warga negara Indonesia dan Badan hukum Indonesia Direktorat Jenderal protokol konsuler Departeman Luar negeri,Kukuh Dedijayadi, serta Sekertaris Badan Perbatasan Provinsi Papua, Philps Marey mewakili pemerintah daerah, serta keluarga lainnya selanjutnya menggelar keterangan pers kepada para wartawan.
Tak mau lama-lama menunggu, Yunus Wanggay dan keluarganya pun diserang dengan berbagai pertayan wartawan, terutama mengenai alasan mencari suaka ke Autralia, serta alasan ingin kembali ke Indonesia (Jayapura), pertanyaan tersebut langsung dijawab spontan oleh Yunus Wanggay.
Menurut Yunus Wanggay alasan dirinya lari bersama dengan anaknya Anike (6) akhir tahun 2006 lalu, karena dirinya saat itu ditipu oleh saudaranya Herman Wanggay yang saat itu mengajaknya lari ke Auralia dengan iming-iming akan mendapat kehidupan yang lebih layak, sehingga saat itu dirinya menyiapkan dana sebesar Rp 24 juta, lalu menyerahkan kepada Herman Wanggay, bersama dengan anaknya Anike (6) serta 40 pencari suaka lainnya, menggunakan kapal motor melakukan pelarian lewat Mareuke ke Autralia, akhir 2006 lalu.
” Saat itu Kami ditipu oleh kakak Herman Wanggay, dirinya juga sempat janji akan mengantikan dana saya, sebesar 10 Ribu dolar Australia, dia juga berjanji akan mengembalikan kami ke Jayapura enam bulan kemudian. Sehingga kami percaya lalu mengikutinya ke Australia,bahkan kami dijanji akan mendapat kehidupan yang lebih sejahtera lagi,”jelasnya.
Ternyata saat sampai di Negeri Kanggoro tersebut, apa yang dijanjikan ternyata tidak juga terjadi, bahkan si Herman Wanggay terkesan membiarkan mereka selama di Australia. Janji akan mengembalikan ke Papua ternyata tidak juga terjadi, bahkan Kata Yunus akibat dirinya lari Australia membuat anaknya yang barus berusia enam tahun, terpaksa harus berpisah dengan istrinya, bahkan memakan waktu yang lama hampir tiga tahun lebih, kehidupan makin tidak menentu, bahkan dirinya mulai rindu kepada tempat kelahirannya di Papua.
“Memang selama di Autrlaia kami mendapat jaminan dari pemerintah Astralia, namun bagi kami kehidupan disana tidak sama seperti di Papua, sehingga kami memilih pulang saja, apalagi kami sudah sangat rindu dengan keluarga,”tukasnya.
Kepada wartawan Yunus mengatakan, dirinya kembali tidak ada unsur paksaan dari pihak manapun, semua itu atas keinginan pribadi, ingin dekat kembali dengan istrinya, sama seperti sedia kala, “Saya rindu terhadap keluarga saya, terpaksa saya menguhubungi KBRI di Mallboune Autralia, untuk membantu kepulangan saya. Akhirnya mereka membantu saya sehingga saya bisa bertemu dengan istri saya,serta keluarga di Jayapura,”papar lelaki yang berprofesi sebagai nelayan ini.
Sementara itu menurut sang istri,Siti Paderu/ Wanggay (40),perpisahan dirinya dari suami dan anaknya, itu bisa terjadi lantaran ditipu oleh Herman wanggay, untunglah berkat pertolongan dari KBRI sehingga dirinya bisa kembali bertemu dengan suami dan anaknya, bahkan dirinya mengaku akibat mencari suami dan anaknya, dirinya juga sempat lari ke PNG.
“Dia (Herman Wanggay) menipu kami sehingga kami berpisah, sesuatu yang sangat menyakitkan, namun kami berysukur dapat kembali bertemu. Saya tidak ingin kejadian ini terulang lagi, kami sudah tidak percaya lagi dengan Herman Wanggay, kami ingin tetap hidup aman di Indonesia,”jelasnya.
Ditanya mengenai teman-temannya yang lain yang masih ada mencari Suaka di Asutralia, ternyata Yunus enggan mengomentari akan hal itu, dirinya lebih memilih diam. ” Saya tidak tahu mereka, yang penting saya sudah kembali ke Papua,”katanya singkat.
Sementara itu menurut Kepala Seksi deportasi Direktorat perlindungan warga negara Indonesia dan Badan hukum Indonesia Direktorat Jenderal protokol konsuler Departeman Luar negeri,Kukuh Dedijayadi, pihaknya haya bersifat menvasilatasi kepulangan keluarga Yunus dan anaknya ke Indonesia, kebetulan yang bersangkutan memiliki niat secara pribadi untuk pulang ke Indonesia, sehingga proses pemulangan tidak begitu memakan waktu yang lama.
“Proses pemulangan tidak memakan waktu yang lama, pasalnya saudara Yunus sendiri yang ingin pulang, dia sampaikan kepada kami (KBRI), sehingga kami mengontak pemerintah Austrlia, akhirnya yang bersangkutan bisa kembali ke Indonesia,”terangnnya.
“Anggap saja apa yang terjadi kepada diri pribadi saudara Yunus wanggay dan kelurganya adalah pengalaman yang buruk, tak parlu ditiru. Kami juga berharap para pencari suaka yang lain juga agar meniru saudara Yunus, kembali ke Indonesia,dan kepada pemerintah daerah, kami harapkan untuk memberlakukan mereka dengan baik, manfaatkanlah mereka sesuai dengan kemampuan dan kelebihan yang ada pada mereka,”katanya.
Sementara itu menurut Sekertaris Badan Perbatasan Provinsi Papua, Philps Marey mewakili pemeritah provinsi Papua mengatakan, pemerintah daerah sangat menyambut baik itikad baik dari para pencari suaka untuk kembali ke Papua, dan pemeritah daerah tetap menerima mereka dengan senang hati, namun tidak ada perlakuaj secara khusus kepada para pencari suaka yang sudah memilih pulang ini.
“Tidak ada perlakuan istimewa, kami tetap akan memberlakukan mereka sama seperti saudara kami yang lain, ini demi mencegah kecemburuan social, haya saja saya mewakili pemerintah daerah beryukur dan berterima kasih atas itikad baik pak Yunus untuk kembali ke Indonesia kami berharap yang lain juga menyusul,”paparnya. Sementara itu menurut pihak keluarga, Eliezer Wanggay mengaku senang dan bangga, pihaknya mengcapkan banyak terima kasih kepada pemerintah Indonesia, sehingga keponakannya dan keluarganya bisa kembali ke Jayapura.
Usai keterangan pers, selanjutnya dilakukan tanda tangan berita acara pemulangan dari pihak Direktorat Perlindungan warga negara Indonesia dan Badan hukum Indonesia Direktorat Jenderal protokol konsuler Departeman luar negeri kepada pihak keluarga, disaksikan oleh perwakilan pemeritah daerah Provinsi Papua, selanjutunya tiga pencari suaka tersebut diantarkan pulang kembali ke keluarganya di Hamadi.(cak/jim)
TIBA : Yunus Wanggai bersama Putrinya Anike Wanggai tiba di bandara Soekarno Hatta – Cengkareng, Sabtu (29/11) lalu
Jakarta (PAPOS)– Tiga aktivis mahasiswa dari Kelompok Cipayung, mengingatkan pemerintah mewaspadai gelombang kepulangan para eks separatis atau orang-orang yang pernah minta suaka politik di luar negeri, karena dikuatirkan jangan sampai kepulangan mereka merupakan bagian dari skenario asing untuk merusak kondisi di tanah air dari dalam.
Ketiga aktivis tersebut, masing-masing mantan Ketua Umum Pengurus Pusat (PP) Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) Kenly Poluan, mantan Sekjen Presidium Pusat Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Donny Lumingas, dan mantan Ketua Umum DPP Presidium Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) Emmanuel Tular. Selain itu juga mereka, mengingatkan para pihak tertentu, agar jangan menjadikan para ‘eks separatis’ Papua sebagai alat untuk naik pangkat atau mendapatkan proyek tertentu.
“Dalam dua bulan terakhir, kami memonitor adanya pengumuman di berbagai media massa mengenai kembalinya warga Papua yang sempat ‘lari’ ke negara tetangga Papua New Guinea (PNG) atau yang sempat minta suaka politik ke Australia,” ujar Kenly Poluan seperti dirilis dari Antara, tadi malam (Jumat 5/12).
Ia dan Donny Lumingas menyorot kritis kegiatan tersebut, karena ada indikasi, atau dugaan kuat, ‘proyek’ ini dulu sempat dijadikan alat untuk cari keuntungan pihak-pihak tertentu yang tidak bertanggung jawab.
“Bagi kelompok tertentu, ini biasa dipakai untuk mendapat kenaikan pangkat, karena dianggap berhasil menjalankan operasi di wilayah perbatasan RI-PNG. Tetapi di pihak yang lain, ini proyek dengan nilai rupiah bahkan dolar menggiurkan. Itu indikasi kuat yang kami nilai,” kata Donny Lumingas.
Sementara itu, Emmanuel Tular juga mengingatkan, agar kepulangan para ‘eks separatis’ atau mereka yang terlanjur minta suaka politik di luar negeri, harus ditangani lebih cermat, jangan sampai hal ini hanya akan dimanfaatkan pihak-pihak tertentu sesuai skenario dan agenda asing.
Ketiganya juga minta pemerintah bersama instansi berkompeten, agar tidak mudah percaya atas berbagai kejadian itu, tetapi tidak pula bersifat kaku untuk menerima kembali warga yang sungguh-sungguh mau bergabung dengan Republik Indonesia.(nas/ant)
Ditulis Oleh: Ant/Papos Sabtu, 06 Desember 2008 http://papuapos.com