Tag: penangkapan

  • Demo Damai Tuntut Bebaskan 76 Tapol Papua, Polisi Tangkap 2 Mahasiswa

    Jayapura, MAJALAH SELANGKAH — Kepolisian Resort Kota (Polresta) Jayapura menangkap 2 mahasiswa Papua, Alfares Kapisa (25) dan Yali Wenda (20) dalam sebuah demonstrasi damai yang digelar Solidaritas Mahasiswa Peduli Tapol (Tahanan Politik) Papua di depan Gapura Universitas Cenderawasih (Uncen) Waena, Jayapura, Rabu (02/04/14).

    Demonstrasi digelar mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Jayapura dalam rangka meminta pembebasan 76 Tapol Papua yang mendekam di sejumlah Lembaga Pemasyarakatan di tanah Papua.

    Alfares Kapisa, mahasiswa Kedokteran Uncen dan rekannya Yali Wenda ditangkap dalam pembubaran paksa oleh polisi yang bersenjata lengkap di depan Gapura Uncen sekitar pukul 10:30 waktu setempat.
    Selanjutnya, dua mahasiswa Papua ini dibawa ke Polresta Jayapura untuk diinterogasi.

    “Kami sedang berada di Polresta. Mereka dua (Alfares Kapisa dan Yali Wenda:red) sedang diinterogasi.  Alfares mendapat intimidasi sampai luka-luka di pipi kiri. Kucuran darah membuat jas almamaternya penuh dengan darah. Demikian juga Yali Wenda luka-luka di kepala,”

    kata aktivis HAM Papua, Elias Petege kepada majalahselangkah.com sore tadi melalui telepon selulernya.

    Tidak Ada Akses untuk Bertemu

    Koordinator Komisi Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS) Papua, Olga Helena Hamadi dan Pendeta Dora Balubun telah berada di Polresta sekitar pukul 18:30 waktu setempat atas permintaan rekan-rekan dan orang 2 mahasiswa itu. Tetapi, kedatangan mereka sia-sia. Mereka tidak mendapatkan akses untuk menemui 2 mahasiswa itu.

    Kepada majalahselangkah.com, melalui pesan singkatnya, Olga mengatakan,

    “Katanya Kasat tidak ada di tempat. Lalu, saya telepon Kapolres, tapi katanya mereka lagi periksa jadi belum bisa ketemu. Saya jadi heran juga, padahal mereka dua ini tidak di rutan, ada kemungkinan 2 mahasiswa ini dapat pukul.”

    “Kami tidak dberi akses bertemu, jadi kami pulang. Padahal, kami datang ke sini atas permintaan teman-temannya dan orang tua 2 mahasiswa ini,”

    kata Olga.

    Terkait penangkapan dan pembatasan akses ini, majalahselangkah.commenghubungi  Kepala Bidang Humas Polda Papua, Kombes Pol Drs Sulistyo Pudjo, tetapi telepon tidak aktif. Terpaksa, majalalahselangkah.commengirimkan pesan singkat untuk konfirmasi, tetapi hingga berita ini ditulis belum ada balasan.

    HIngga berita ini ditulis, Alfares Kapisa dan Yali Wenda masih ditahan di Polresta Jayapura. (Yermias Degei/MS)

     Yermias Degei | Rabu, 02 April 2014 23:24,MS

  • Dituduh OPM, Warga Sima, Distrik Yaur Ditangkap

    Simon Petrus Hanebora. Ist.

    Nabire, MAJALAH SELANGKAH — Warga kampung Sima, Distrik Yaur, kabupaten Nabire, Papua, Otis Waropen ditangkap oleh gabungan polisi penjaga perusahaan perkebunan sawit dan anggota Polres Nabire pada Minggu (2/3/14). Otis dituduh menjadi anggota Organisasi Papua Merdeka (OPM).

    Otis Waropen, menurut pengakuan kepala sukunya, Simon Petrus Hanebora, adalah petani di kampung Sima. Punya seorang istri dengan satu anak.

    Hanebora, kepala suku besar suku Yerisiam melaporkan kepadamajalahselangkah.com, Senin (3/3/14), setidaknya satu peleton Brimob penjaga Perkebunan Sawit ditambah anggota polisi dari Polres Nabire bersenjata lengkap dikerahkan ke kampung Sima untuk menahan Otis di rumahnya.

    Kata dia, hingga kini Otis Waropen yang dijadikan tersangka masih ditahan di Polres Nabire.

    Hanebora sebagai ketua adat setempat menginformasikan bahwa Otis adalah benar-benar warganya yang tidak terlibat dalam OPM.

    “Masyarakat saya mayoritas adalah masyarakat yang hidupnya berkebun, jadi pantas masyarakat saya kalau tinggal berhari-hari bahkan berbulan-bulan sampai bertahun-tahun di hutan. Itu hutan milik mereka to?”

    kata SP Hanebora.

    “Dia di hutan karena keseharian mereka selalu di hutan untuk berburu, berkebun dan lain-lain. Bebaskan dia. Dia petani biasa, bukan anggota OPM,”

    tegas Hanebora ketika dihubungi majalahselangkah.com sore ini.

    Hanebora juga minta Kapolda Papua tarik Brimob dari distrik Yaur, karena membuat warga resah.

    “Saya juga meminta kepada Kapolda Papua untuk menarik seluruh Brimob di Distrik Yaur yang jaga keamanan di perusahaan Kelapa Sawit di Wami, karena mereka terus membuat onar dan sering melakukan penganiayaan kepada masyarakat setempat,”

    kata Hanebora. (MS/Topilus B. Tebai)

    Penulis : Topilus B. Tebai | Senin, 03 Maret 2014 17:46,MS

  • Matius Murib: Penangkapan Tinus Telenggen Diragukan

    JAYAPURA — Tokoh HAM Papua Matius Murib menegaskan pihaknya sangat meragukan penangkapan salah seorang yang diduga anggota OPM sebagai pelaku serangkaian aksi penembakan di Puncak Jaya bernama Tinus Telenggen, oleh Tim Khusus Reskrim Polres Puncak Jaya dan Gabungan Brimob Polda Papua menangkap Tinus Telenggen di Kompleks Perumahan Sosial, Kota Baru, Kampung Pagaleme, Distrik Mulia, Kabupaten Puncak Jaya Selasa (28/1) lalu.

    Sebab Tinus Telenggen juga diduga kuat melakukan penyerangan Mapolsek Pirime sejak 27 November 2012 hingga menyebabkan Ipda Rofli Takubessi, Brigpol Jefry Rumkorem dan Briptu Daniel Makuker tewas.

    Matius Murib mengatakan kepada Bintang Papua di Abepura, Senin (10/2), pihaknya memberikan apresiasi khusus kepada Kapolda Papua Irjen (Pol) Drs. M. Tito Karnavian, M.A., PhD, yang telah membuktikan kemampuannya berhasil menangkap seseorang yang diduga pelaku serangkaian aksi penembakan di Puncak Jaya. Tapi di sisi lain pihaknya meragukan yang bersangkutan benar-benar pihak yang paling bertanggungjawab dalam konflik bersenjata selama ini. Sebab, Tinus Telenggen adalah anak sekolah umur belasan tahun.

    Dalam struktur OPM dia sebagai apa. Apa dia paling bertanggungjawab. Jangan sampai salah tangkap. Itu keraguan saya,” ujar Matius Murib.

    Ironisnya lagi, tukas Matius Murib, Kapolda selalu membuat statement, apabila kejadian penembakan terjadi di Puncak Jaya, maka pihak yang paling bertanggungjawab adalah Goliat Tabuni.

    Matius Murib menambahkan, pihaknya menghimbau kepada Kapolda agar tak boleh ada perlakuan diskriminatif terhadap tersangka Tinus Telenggen, antara lain hak-hak dia harus diberikan sebagaimana mestinya seperti makanan, kesehatan serta yang lebih penting yakni hak hukumnya. “Dia harus didampingi Penasehat Hukumnya. Tak boleh diproses tanpa didampingi Penasehat Hukum. Ini tak boleh. Hak hukumnya harus diberikan,” tandas Matius Murib.(Mdc/don/l03)

    Kamis, 13 Februari 2014 07:43, BinPa

  • Demo Sambut Menlu MSG: Markus Haluk, Yosepha Alomang, Yusak Pakage dan Puluhan Lainnya Ditangkap

    llustrasi demontrasi rakyat Papua di DPRP. Foto: Ist

    Jayapura —  Sekretaris Jenderal Asosiasi Mahasiswa Pegunungan Tengah Papua (AMPTPI), Markus Haluk; Direktris Yahamak, Yosepha Alomang; dan Ketua Parlemen Jalanan, Yusak Pakage dan puluhan orang lainnya pagi tadi, Senin, (13/1/14), pukul 0930 waktu Jayapura ditangkap polisi di taman Imbi, depan kantor Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP).

    Pantauan reporter majalahselangkah.com di lapangan, Markus Haluk dan Yosepha ditangkap pukul 09:50 waktu Jayapura. Puluhan lainnya ditangkap menyusul. Hingga berita ini ditulis, mereka yang ditangkap itu diamankan di Polresta Jayapura.

    Demontrasi digelar oleh Panitia Bersama NRPB, WPCL, PNWP, KNPB, dan oraganisasi-organisasi perjuangan serta organisasi pemuda dan mahasiswa Papua  untuk menyambut kedatangan  para Menteri Luar Negeri Negara-Negara Anggota Melanesia atau Melanesia Spearhead Group (MSG) hari ini di Jayapura.

    Demontrasi Panitia Bersama meminta delegasi MSG untuk harus bertemu dengan rakyat Papua dan para tahanan politik yang hingga kini berjumlah 70 orang itu. Dikutip majalahselangkah.com  sebelumnya, delegasi MSG dijadwalkan hanya akan bertemu Gubernur Papua Lukas Enembe dan DPRP Papua.

    Walaupun terjadi penangkapan, aksi demontrasi masih berlangsung dan masa dari berbagai arah masih berdatangan.

    “Kota Jayapura dipadati aparat polisi dan militer dengan senjata lengkap tetapi aksi masih berlanjut dan rencananya akan bermalam di kantor DPRP sampai  delegasi MSG bertemu rakyat Papua,”

    kata sumber majalahselangkah.com dari tempat aksi. (GE/HY/TBR/MS)

    Admin MS | Senin, 13 Januari 2014 13:08,MS

  • Socrates Terancam Dijemput Paksa

    JAYAPURA [PAPOS] – Akibat pernyataan Duma Socrates Nyoman yang tudingan bahwa kejadian di Puncak Jaya selama ini merupakan proyek TNI-Polri, membuat kedua institusi meminta pertangungjawaban. Untuk itu Polda Papua mengambil tindakan dengan memanggil yang bersangkutan terkait pernyataannya terssebut. Hanya saja dari surat undangan pemanggilan pertama yang dilayangkan Direktorat Polda Papua kepada Socrates Nyoman, pihaknya tidak mau memenuhi panggilan tersebut.

    Namun Polda Papua tidak berhenti sampai disitu, tetapi akan melayangkan surat pemanggilan berikutnya sampai tiga kali, maka Polda Papua akan melakukan jemput paksa.

    Kabid Humas Polda Papua, Komisaris Besar Polisi, Wachyono kepada wartawan di ruang kerjanya menegaskan pihaknya akan menindak tegas yang bersangkutan dengan menjemput paksa apabila tidak memenuhi panggilan Polda sebanyak 3 kali. “Kita sudah panggil Socrates terkait pernyataannya dan apabila sampai ketiga kalinya tidak dipenuhi, maka kita akan jemput paksa,” tegasnya, Selasa (10/8) kemarin.

    Kabid Humas menyampaikan bahwa pemanggilan tersebut dilakukan sebagai upaya keseriusan Polda Papua dalam mengungkap kebenaran tudingan terhadap kedua institusi itu.

    “Kita akan menseriusi, artinya bila pernyataan Socrates benar dengan lampiran bukti-bukti, maka kita akan berterimakasih dan akan ditindaklanjuti ke proses hukum, siapa pun yang terlibat,” tegasnya

    Kabid Humas juga menandaskan, terkait penembakan di Puncak Jaya, Polri sudah mengantongi bukti- bukti bahwa kelompok Goliat Tabuni adalah pelaku penyerangan terhadap karyawan PT Modern maupun penyerangan terhadap anggota TNI/Polri serta masyarakat sipil lainnya.

    “Semestinya dalam menganalisa suatu masalah harus berdasarkan fakta-fakta dilapangan yang berhubungan antara satu dan yang lain, karena kalau itu cuma opini, analisa itu tidak akurat,” tuturnya.

    Menyangkut pernyataan ini, lanjutnya, Polda Papua juga akan menempuh langkah hukum, bila pernyataan Socrates tidak benar dan cuma fitnah. “Kita Cuma mau minta diklarifikasi atau dikonfirmasi, apabila tidak mau datang berarti Socrates sudah memberikan pernyataan fitnah,” tandasnya. [loy]

    Ditulis oleh loy/Papos
    Rabu, 11 Agustus 2010 00:00

  • 18 Warga Suku Terasing Ditangkap

    JAYAPURA — Aparat kepolisian Waropen menangkap 18 orang warga suku terasing di Kabupaten Waropen. Mereka ditangkap dengan dugaan terlibat dalam aksi pengrusakan Kantor KPU Waropen pada 2 Juli lalu. Mereka marah lantaran kecewa dengan sikap KPU Waropen yang dinilai tidak memenuhi tuntutan mereka agar mau menjelaskan alasan tidak lolosnya pasangan Drs. Ones J Ramandey dan Drs. Zet Tanati dalam proses verifikasi.

    Komnas HAM Perwakilan Provinsi Papua saat ini turun tangan guna menelisik peyebab kisruh pemilukada Waropen ini, terutama berkaitan dugaan sejumlah tahanan sakit karena menerima perlakuan kasar. "Atas kewenangan yang diberikan undang-undang, maka Komnas HAM Perwakilan Provinsi Papua menindaklanjuti laporan pengaduan atas proses verifikasi calon Bupati dan Wakil Bupati Waropen Tahun 2010 yang dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum Waropen terhadap tujuh bakal calon Bupati dan Wakil Bupati yang diumumkan 1 Juli 2010 lalu," ungkap Wakil Ketua Komnas HAM Perwakilan Provinsi Papua, Matius Murib dalam keterangan persnya di Kantor Komnas HAM Perwakilan Provinsi Papua, kemarin (13/7).

    Dijelaskan Matius, dari informasi yang diperoleh dari warga yang ditangkap, sebenarnya mereka tidak mau melakukan pengrusakan. Tapi karena ketua dan anggota KPU Waropen terkesan menghindar dan tidak mau peduli atas permintaan warga agar KPU Waropen menjelaskan kenapa pasangan yang didukungnya itu tidak lolos dalam verifikasi, sehingga mereka kemudian melakukan pengrusakan.

    Komnas HAM mempertanyakan penangkapan 18 warga suku pedalaman itu. "Mereka kan korban dari politik, bukan para pelaku politik murni. Seharusnya semua tahanan diperlakukan sama. Itu namanya sudah pelanggaran HAM, sebagaimana didalam UU 39 Tahun 199 pasal, 17, 18 dan pasal 43," tegasnya yang didampingi oleh dua anggota Komnas HAM lainnya, yakni Johari dan Adriana Wally.

    Matisu membeberkan kronologis kejadian. Dijelaskan, kasus ini bermula dari pengumuman hasil pleno verifikasi bakal calon bupati dan wakil bupati Waropen Tahun 2010 1 Juli 2010 lalu yang membuat Tim Sukses dan partai pengusung Balon Bupati Drs. Ones J Ramandei dan Wakil Bupati Set Tanati, mengirim surat kepada Polres Waropen untuk melakukan aksi unjuk rasa sebagai tanda protes atas hasil verifikasi yang diumumkan oleh KPU Waropen. Oleh pihak Polres Waropen surat ijin/pemberitahuan tersebut dinilai tidak lengkap sebab tidak mencantumkan jumlah massa dan apa tuntutannya.

    Pengumuman hasil verifikasi itu dikirim lewat surat kepada bakal calon. Atas pengumuman hasil verifikasi tersebut, terjadi aksi orasi secara spontanitas. Atas sikap reaktif kelompok masyarakat maka tanggal 1 Juli 2010, Polres Waropen melakukan evakuasi terhadap 5 orang Anggota KPU untuk diamankan di Kantor Polres Waropen. Kemudian 2 Juli 2010, patut diduga terjadi mobilisasi massa menggunakan kendaraan roda empat dengan membawa alat panah, parang dalam melakukan aksi yang ditujukan ke kantor KPU Kabupaten Waropen.

    Aksi massa yang di tujukan ke Kantor KPU tidak dapat dihalangi oleh pihak Kepolisian. Kemudian massa Atas aksi penyerangan ke Kantor KPU mengakibatkan kerusakan kaca lover pecah dan dinding kantor mengalami kerusakan, dan sejumlah kursi rusak. Atas aksi brutal warga masyarakat sipil yang tidak mendapat keterangan dari KPU Waropen, maka pihak Polres mengeluarkan tembakan peringatan. Sebab ada perkelahian antara kelompok masyarakat sipil.

    Setelah melakukan aksi di kantor KPU, warga masyarakat sempat berkumpul di Kantor Koramil Waropen dan berbincang dengan DANRAMIL Waropen, yang sempat memberikan arahan kepada masyarakat sipil. Namun datang seorang anggota TNI dan mengusir masyarakat keluar dari halaman kantor Koramil. Saat berada di jalan terjadi insiden perkelahian antara Ivan Imbiri dan Ferat Imbiri akibat perselisihan pendapat diantara mereka berdua, dan bukan perkelahian dengan kelompok masyarakat di luar. Saat itu polisi datang dan mengambil langkah pengamanan yang diduga represif kepada masyarakat sipil dalam kelompok aksi demonstrasi tersebut yang mengakibatkan sejumlah orang mengalami luka dan penganiayaan.

    Berikutnya pada 3 Juli 2010, Kapolres melakukan dengar pendapat dengan DPRD, dan Kapolres menyampaikan kronologi kejadian. Dan melakukan koordinasi dengan KPU, Panwas tentang pencabutan nomor urut dan atas permintaan KPU dan Panwas agar pencabutan nomor urut dilakukan di Kantor Polres. Meski Kapolres mengusulkan agar pencabutan dilakukan di DPRD Waropen. Dengan pertimbangan situasi keamanan yang belum normal dan kewenangan diskresi kepolisian, maka dilakukan pencabutan nomor urut pada tanggal 3 Juli 2010, di Kantor Polres Waropen yang diamankan oleh 3 pleton Dalmas.

    Atas insiden tanggal 2 Juli 2010, Polisi mengamankan 18 warga dengan sejumlah barang bukti untuk diproses hukum. Dua orang diantaranya dikembalikan sebab tidak cukup bukti, sedangkan dua orang perempuan yang terlibat dalam aksi tersebut atas pertimbangan khusus maka dilepas, namun yang bersangkutan wajib lapor setiap hari kepada Polisi.

    Diantara mereka yang diamankan memiliki Kartu Tanda Anggota Tentara Pembebasan Nasional Organisasi Papua Merdeka (TPN OPM). Terhadap permasalahan itu, kata Murib, bahwa, pihaknya menemukan sejumlah masalah, diantaranya, pertama, penyelengaraan pemerintahan dan pelayanan publik di Kabupaten Waropen tidak berjalan normal pasca pengumuman hasil verifikasi bakal calon Bupati dan Wakil Bupati oleh KPU Waropen pada 1 Juli 2010 itu.

    Dikatkan juga, berdasarkan pantauan Komnas HAM, pengendalian situasi keamanan belum mengedepankan pola-pola komunikasi yang persuasif demi menghindari terjadinya gesekan antara kelompok yang mengakibatkan keterlibatan pihak kepolisian. Matius berharap, pihak Kepolisian Resort Waropen harus bisa memberikan rasa aman kepada KPU untuk bekerja di Kantor KPU bukan sebaliknya aktivitas, jadwal KPU dilakukan di Kantor Polres Waropen.

    Disebutkan juga, terdapat beberapa tahanan yang mengalami sakit yang diduga akibat tindakan represif aparat kepolisian pada tanggal 2 Juli 2010. Kelima, kantor KPU dalam keadaan rusak dan beberapa kaca jendela, kursi serta ruangan berantakan, dan kini sedang dipasang tanda larangan Polisi, sehingga tidak ada aktivitas KPU.

    Ditambahkannya, berdasarkan Keputusan Ketua Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Waropen, Nomor: 01/Kpts/KPU-KW/2010, tentang Perubahan tahapan program dan jadwal waktu penyelenggaraan pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala daerah Kabupaten Waropen Tahun 2010, patut diduga KPU tidak memberikan kesempatan perbaikan kepada partai pengusung atau calon perseorangan untuk melakukan perbaikan atas hasil verifikasi yang dilakukan oleh KPU.

    Selian itu disebutkan juga, parpol pengusung yang memiliki dua versi kepengurusan tidak dilibatkan dalam melakukan uji keabsahan kepengurusan sebagai mana ketentuan Pasal 7 Peraturan KPU Nomor 68 Tahun 2009 yang menegaskan bahwa yang berhak mengusung pasangan calon adalah kepengurusan partai politik di tingkatan itu. Apakah kepengurusan itu absah/ legitimate? Berdasarkan Pasal 50 ayat 2 Peraturan KPU 68 Tahun 2009 dicek siapa yang berwenang mengesahkan kepengurusan di tingkat kabupaten, kemudian dicek apakah pengurus Provinsi sah atau tidak, dan kemudian mengecek keabsahan pengurus pusat dengan merujuk pada Surat Keputusan Menteri Hukum dan HAM yang terakhir.

    "Komnas HAM Perwakilan Provinsi Papua telah mengeluarkan rekomendasi untuk disampaikan kepada pihak terkait, yang isinya pertama, mendesak KPU Provinsi Papua dan KPU Pusat di Jakarta untuk segera melakukan klarifikasi antara KPU Waropen dan Partai Pengusung PAN yang hak politik untuk mengusung kandidat bakal calon Bupati dan Wakil Bupati Waropen tahun 2010 dihilangkan oleh KPU Waropen," ujarnya.

    Rekomendasi kedua, patut diduga KPU Waropen tidak melaksanakan verifikasi berdasarkan jadwal dan mekanisme yang di tetapkan oleh KPU Waropen sehingga berpotensi terjadi diskriminasi. Dan agar Polres Waropen memberikan jaminan hak-hak para tahanan dalam mendapat pengobatan.

    "Patut diduga Polres Waropen melakukan tindakan intervensi dalam pelaksanaan tahapan pemilukada, pencabutan nomor urut Calon Bupati dan Wakil Bupati tanggal 3 Juli 2010, di Kantor Polres Waropen sehingga diminta kepada Kapolda Papua untuk memberikan arahan kepada Kapolres Waropen," ungkapnya.

    Komnas HAM berharap Bupati dan Muspida Kabupaten Waropen untuk dapat berkoordinasi secara baik, demi tercipta situasi keamanan dan pelayanan publik yang kondusif bagi terpenuhinya hak-hak masyarakat di Kabupaten Waropen. Terhadap para tahanan yang diduga melakukan tindakan kriminal untuk diminta agar ditangani secara hukum dengan cara profesional dengan memperhatikan kondisi sosial budaya masyarakat Waropen. Terutama mereka yang mayoritas berasal dari masyarakat suku terasing (Demisa di Botawa).

    Terakhir, Komnas HAM berharap, jika sengketa Pemilukada seharusnya dibawa saja ke ranah hukum, jangan dengan membuat gerakan massa yang pada akhirnya merugikan masyarakat sendiri. (nls/fud/sam/jpnn)

  • 2 Orang Pendemo Jadi Tersangka Karena Membawa Alat Tajam

    JAYAPURA-Dua orang yang diamankan bersama 30 orang massa Komite Nasional Papua Barat (KNPB) lainnya pada saat melakukan aksi demo Senin (22/3) lalu itu akhirnya ditetapkan sebagai tersangka.

    Dua orang menjadi tersangka itu masing-masing berinisial LP (32) warga belakang Kantor PTUN Waena dan MK warga BTN Sereh Sentani.

    “Kami hanya melakukan penahanan terhadap 2 warga, karena mereka kedapatan membawa senjata tajam,” kata Kapolresta Jayapura AKBP H. Imam Setiawan,SIK didampingi Kasat Reskrim AKP IGG Era Adhinata,SIK saat dikonfirmasi Cenderawasih Pos, Selasa (23/3) kemarin.
    Keduanya dijerat dengan pasal 2 ayat 1 Undang-Undang No 12 Tahun 1951 yakni membawa, memiliki dan menyimpan dan menguasai senjata tajam tanpa izin dengan ancaman hukuman penjara maksimal 10 tahun.

    Kapolresta mengungkapkan, dari dua tersangka itu salah satunya merupakan peserta aksi unjuk rasa, sedangkan seorang diantaranya merupakan warga yang kedapatan membawa sajam saat dilakukan razia.

    Sementara 30 orang lainnya itu sudah dilepaskan kembali pada malam harinya. Namun, sebelum mereka dilepaskan, pihaknya sempat memberikan pengarahan tentang Undang-Undang No 9 Tahun 2008 tentang penyampaian pendapat di muka umum yang disampaikan langsung oleh Kabag Ops Polresta Jayapura, AKP Dominggus Rumaropen, S.Sos, sehingga diharapkan ke depan tidak terjadi lagi unjuk rasa tanpa mengantongi izin dari kepolisian.

    “Kami ingin sampaikan agar prosedur dalam aksi ini dipahami oleh masyarakat yang akan menyampaikan aspirasi, karena dalam aksi itu harus ada pemberitahuan kepada aparat kepolisian, kemudian dikoordinasikan, siapa koordinatornya, berapa jumlah massanya, alat yang digunakan, tempatnya dimana dan lainnya, selanjutnya aparat kepolisian mengeluarkan STTP (Surat Tanda Terima Pemberitahuan),” jelasnya.

    Hal ini juga, ujar Kapolresta, pada prinsipnya untuk mengamankan kegiatan aksi penyampaian pendapat di muka umum tersebut, sehingga kegiatan berjalan dengan lancar. “Kami pada prinsipnya tidak menghalang-halangi masyarakat menyampaikan aspirasi, namun harus sesuai dengan prosedur, karena jika sesuai prosedur tentu kami akan melakukan pengamanan,” jelasnya.
    Kapolresta menegaskan, jika memang tidak sesuai dengan aturan, maka pihaknya tidak segan-segan untuk melakukan tindakan tegas terhadap kelompok warga yang melakukan demo, karena pada dasarnya Undang-undang dibuat untuk ketertiban dan keamanan masyarakat.

    Untuk diketahui, tersangka LP diamankan di Terminal Ekspo Waena, Senin (22/3) pukul 09.00 WIT, karena kedapatan membawa 1 buah pisau stainless US Army dengan gagang warna hitam namun tanpa sarung, kemudian tersangka MK diamankan polisi saat berada di Terminal Ekspo Waena pukul 11.30 WIT, karena kedapatan membawa 1 pisau badik dengan gagang kayu tanpa sarung.
    Sementara itu, Ketua Solidaritas Ham Papua, Usama Usman Yogobi memberikan apresiasi terhadap keputusan Kapolresta Jayapura yang telah membebaskan 30 pendemo yang diamankan dari di berbagai lokasi Senin (22/3).

    Atas kejadian tersebut, Usama meminta agar Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi, DPRP, MRP lebih membuka ruang demokrasi, kebebasan warga sipil untuk menyuarakan pendapatnya “Jangan menilai apa yang mereka lakukan itu selalu dari sisi negatif,” ungkapnya. (bat/cr-158/fud)

  • Polisi Bubarkan Massa KNBP

    Massa pendemo KNPB diamankan pihak kepolisian, tiba di Mapolres sebelum dilakukan pemeriksaan terhadap mereka terkebih dahulu dilakukan pendataan.

    Massa pendemo KNPB diamankan pihak kepolisian, tiba di Mapolres sebelum dilakukan pemeriksaan terhadap mereka terkebih dahulu dilakukan pendataan.
    JAYAPURA [PAPOS]

  • DPO Makar Tertangkap Bersama Wanita di Hotel

    Gambar Viktor Yeimo sebagai DPO
    Gambar Viktor Yeimo sebagai DPO

    SENTANI-Setelah masuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) Polda Papua sejak Mei 2009 lalu (7 bulan), akhirnya Victor F Yeimo, alias Viki tertangkap. Gembong separatis yang paling dicari Jajaran Polda Papua itu, tertangkap Kamis (21/10), dini hari sekitar pukul 00.15 WIT di kamar nomor 03 Hotel Mansapurani Sentani, Jalan Yabaso, Kelurahan Sentani, Distrik Sentani Kota Kabupaten Jayapura.

    Viktor yang dinyatakan buron sejak 5 bulan lalu sempat menghilang. Bahkan diduga Viktor pula yang merupakan aktor dari beberapa kasus bernuansa politis yang terjadi di Kabupaten dan Kota Jayapura.

    Penangkapan Viktor Yeimo berawal saat petugas Polres Jayapura dari gabungan beberapa fungsi satuan melakukan penyisiran penyakit masyarakat dalam sebuah operasi pekat di beberapa sasaran yang dianggap rawan terjadinya praktek-praktek penyakit masyarakat, seperti pesta miras secara berlebihan, judi, narkoba, sex bebas/mesum, serta indikasi praktek kriminal lainnya. Salah satu diantara tempat-tempat tersebut adalah beberapa hotel yang ada di wilayah hukum Polres Jayapura.

    Saat melakukan operasi pekat inilah petugas berhasil menggrebek Viktor bersama seorang wanita bernama MM (22), warga kampung Berap Distrik Nimbokrang Kabupaten Jayapura di sebuah kamar Hotel Mansapurani. Saat dimintai kartu tanda identitas, Viktor yang sudah menduga jika yang mengetuk kamar adalah Polisi langsung membuang kartu identitasnya ke dalam closed (pot wc) untuk menghilangkan jejak.

    Sayangnya niat Viktor untuk mengelabui petugas ini tinggal harapan, karena sudah ada petugas yang terlebih dahulu mengenalinya, yang langsung mengamankannya. Petugas yang selanjutnya menggeledah seluruh isi kamar tersebut tidak menemukanapa-apa, namun saat petugas ke closed ternya kartu identitasnya masih berada disitu, sehingga petugas langsung mengamankannya.

    Kapolres Jayapura Ajun Komisaris Besar Polisi Mathius Fakhiri, Kamis (22/10) Dini hari kepada Bintang Papua, menuturkan Viktor F Yeimo, masuk dalam daftar pencarian orang (DPO) Polda Papua.

    Victor diduga terkait kasus makar dan terlibat dalam beberapa kasus teror di Kota Jayapura beberapa bulan lalu menjelang pemilihan Lagislatif dan pasca pemilu.

  • Waket Komnas HAM Papua Ditangkap Polisi PNG

    Jayapura (PAPOS) – Wakil Ketua Komnas HAM Perwakiln Papua, Matius Murib, beserta istri, dua anak dan tiga kerabatnya yang ditangkap dan ditahan Polisi Papua New Guinea (PNG), Sabtu (30/8) terancam didenda ratusan juta rupiah.

    “Mereka juga terancam menjalani hukuman kurungan badan karena memasuki wilayah PNG tanpa memiliki dokumen resmi lintas batas”, kata Ketua Komnas HAM Papua, Jules Ongge di Jayapura, Senin (31/8) kemarin.
    Ia menjelaskan pihaknya telah menyiapkan dana untuk membantu proses pembebasan yang bersangkutan bersama keluarganya.

    Komnas HAM diminta menyiapkan uang tunai sebesar Rp120 juta hingga Rp125 juta, untuk bayar denda atas tindakan Matius Murip dan keluarganya.Sesuai peraturan di Negara PNG, mereka selain dihukum penjara kemungkinan juga didenda sejumlah uang.

    Menurut Jules, keterangan yang diperoleh pihaknya dari Konsulat RI di Vanimo PNG, terdapat beberapa bentuk hukuman yang dikenakan bagi setiap warga asing yang masuk secara ilegal antara lain denda atau menjalani hukuman kurungan.
    “Denda bagi setiap orang sebesar 5000 Kina atau Rp17 juta. Menurut rencana, sidang pengadilan terhadap mereka akan dilakukan Selasa (1/9),” tuturnya.

    Jules menjelaskan, saat ini pihaknya terus berupaya berkoordinasi dengan instansi terkait seperti Badan Perbatasan dan Kerjasama Luar Negeri Provinsi Papua, Konsulat PNG di Jayapura serta Komnas HAM Pusat serta Departemen Luar Negeri.

    “Saat ini Matius Murib dan keluarga tidak lagi ditahan di Kantor Polisi Vanimo PNG, namun dititipkan di penampungan Konsulat RI . Harapan kita semoga dalam persidangan nanti mereka bisa dibebaskan tanpa denda,” katanya.

    Wakil Ketua Komnas HAM Perwakilan Papua, Matius Murib bersama kerabatanya ditangkap Polisi Papua New Guiniea, Sabtu (29/8) sekitar pukul 10.00 WIT di Wutung, wilayah tapal batas RI-PNG.
    Mereka ditangkap karena melintas batas antarnegara tanpa memiliki dokumen lintas batas yang lengkap.
    Mereka kemudian digiring menuju kota Vanimo PNG untuk menjalani proses penahanan. (lin/ant)

Are you sure want to unlock this post?
Unlock left : 0
Are you sure want to cancel subscription?