Tag: penangkapan

  • KNPB: Dalam Lima Hari Polisi telah Menangkap 125 Orang Papua

    JAYAPURA, SUARAPAPUA.com—- Komite Nasional Papua Barat (KNPB) Pusat melaporkan, dalam lima hari terakhir, sejak tanggal 10 Juni lalu hingga hari ini, Rabu (15/6/2016) kepolisian kolonial republik Indonesia telah menangkap 1.236 orang.

    “Kalau hari ini ada sekitar 1.135 orang yag ditangkap. Yaitu 100 orang ditangkap di Wamena. 1.004 orang ditangkap di Sentani dan 31 mahasiswa ditangkap oleh aparat dari Polres Malang, Jawa Timur. Lalu, tanggal 10 Juni lalu aparat dari Polresta Jayapura tangkap 31 orang di Jayapura Kota. Dan tanggal 13 Juni lalu 65 orang ditangkap di Sentani. Di tanggal yang sama, pada 13 lalu, 4 orang ditangkap di Nabire. Jadi semua yang ditangkap dalam lima hari terakhir ada 1.235 orang,”

    ungkap Bazoka Logo, juru bicara Nasional KNPB Pusat kepada suarapapua.com dari Jayapura, Rabu (15/6/2016).

    Dijelaskan, 31 orang ditangkap di Jayapura saat bagika selebaran. 65 orang di Sentani juga ditangkap saat bagikan selebaran di Sentani. 4 orang yang di Nabire, ditangkap saat antar surat pemberitahuan ke Polisi. 31 mahasiswa di Malang ditangkap saat aksi hari ini. 100 orang di Wamena dan 1004 orang di Sentani ditangkap saat mau aksi.

    “Tetapi semua setelah ditangkap, sudah dibebaskan. Dan mereka dibebaskan setelah diinterogasi dan diminitai keterangan di Polisi. Namun yang di Nabire, mereka ditahan selama satu hari di penjara Polres Nabire baru dibebaskan,”

    terang Logo.

    Dikatakan, di Sentani, satu orang sempat ditahan, diinterogasi dan dipukul sehingga sempat hilang kesadaran. Namun saat ini dia sudah sembuh.

    “Setiap kali aparat tangkap, selalu ada penganiayaan terhadap aktivis KNPB seperti yang terjadi di Sentani. Dalam perjalanan menuju ke Polres, banyak yang dipukul di tengah jalan. Ini kebiadaban negara kolonial yang sedang ditunjukkan pada orang Papua,”

    katanya.

    Logo menegaskan, sikap yang Polisi kolonial tunjukkan hari ini sesungguhnya mendukung dan mempercepat perjuangan bagi Papua Barat, dan juga kemudian merusak citra demokrasi Indonesia sendiri.

    “Rakyat Papua semakin jelas dan semakin sulit untuk percaya Indonesia sebagai negara demokrasi, jika Pengamanan aparat kepada rakyat yg ada di Papua dalam menyampaikan pendapat dibuka umum. Polisi seharusnya kedepankan nilai-nilai kemanusiaan. Bukan kedepankan kekerasan dan represif,”

    katanya.

    Aksi demo rakyat Papua menolak tim penyelesaian kasus pelanggaran HAM buatan Jakarta yang dipimpin oleh Luhut Panjaitan, Menko Polhukam berlangsung di beberapa kota yang ada di Papua dan Papua Barat. Antara lain, Nabire, Merauke, Fak-Fak, Paniai, Timika, Manokwari, Sorong, Biak, Sentani, Jayapura.

    Pewarta: Arnold Belau

  • KNPB: Ribuan Rakyat Papua akan Turun ke Jalan dengan Damai

    JAYAPURA, SATUHARAPAN.COM – Ketua Umum Komite Nasional Papua Barat (KNPB), Victor Yeimo, mengatakan ribuan rakyat Papua akan turun ke jalan besok (15/6) dalam unjuk rasa damai menuntut penyelesaian pelanggaran HAM di Papua serta hak menentukan nasib sendiri bagi rakyat Papua.

    Unjuk rasa tersebut juga dimaksudkan untuk menolak Tim Terpadu Penanganan Dugaan Pelanggaran HAM di Provinsi Papua dan Papua Barat yang dibentuk oleh Menkopolhukam Luhut Pandjaitan pada 15 Mei lalu.

    “Seperti biasa, ribuan orang akan turun dengan damai dan bermartabat,” kata Victor Yeimo, kepada satuharapan.com hari ini (14/6), ketika kepadanya ditanyakan tentang rencana turun ke jalan tersebut. Terakhir kali KNPB melakukan unjuk rasa pada 31 Mei lalu, media melaporkan sedikitnya 3.000 rakyat Papua turun ke jalan di berbagai kota di Papua.

    Victor Yeimo mengatakan salah satu pesan unjuk rasa adalah menolak tim bentukan Luhut karena rakyat Papua menilai tim yang dibentuk itu tidak lebih dari ‘salon kecantikan’ yang dibuat oleh Jakarta untuk mempercantik wajah buruk RI di dunia internasional.

    “Jakarta tidak memahami definisi pelanggaran HAM sehingga mereka tidak menyadari mekanisme penyelesaian yang benar. Orang Papua bahkan dunia internasional akan bertanya, ‘bisakah pelaku kejahatan mengadili pelaku kejahatan?” kata Victor.

    KNPB, kata Victor, menilai target satu tahun untuk menyelesaikan pelanggaran HAM di Papua tidak akan dapat terealisasi karena pelanggaran HAM sudah terjadi sejak tahun 1963 saat Papua diintegrasikan ke dalam NKRI.

    “Dengan menyelesaikan beberapa kasus pelanggaran HAM, tidak akan menjamin bahwa tidak akan ada lagi pelanggaran HAM selama Indonesia masih menduduki Papua,” kata Victor.

    Silakan Tangkap

    Ketika kepadanya ditanyakan bagaimana KNPB menyikapi pernyataan Kapolda Papua,Irjen Pol. Paulus Waterpauw, yang akan membubarkan secara paksa aksi unjuk rasa, Victor Yeimo mengatakan pihaknya mempersilakan Kapolda melakukan pelarangan. Bahkan, Victor mengatakan pihaknya mempersilakan menangkap atau memenjarakan pengunjuk rasa.

    “Justru itu akan memperkuat ketidakpercayaan rakyat terhadap motivasi Jakarta. Kalau larang, bubarkan dan tangkap, lalu buat apa Indonesia bicara dan mempromosikan HAM ke luar negeri?” tanya Victor.

    Tidak Ingin Bertemu Luhut

    Victor Yeimo juga menepis kemungkinan akan bertemu dengan Menkopolhukam. Luhut Binsar Padjaitan, yang akan terbang ke Jakarta besok.

    “Saya tidak perlu, dan tidak ada urusan dengan Luhut. KNPB akan bertemu Jakarta di PBB. Maaf saja, persoalan Papua berada di tangan United Liberation Movement for West Papua (ULMWP). Rakyat percaya ULMWP. Kalau mau bicarakan pelanggaran HAM, bicara saja dengan ULMWP. Harap diingat, pelanggaran HAM di Papua adalah anak kandung dari konflik politik yang belum selesai,” kata dia.

    Rohaniawan Melayani Umat di Gereja, Kami di Jalan-jalan

    Victor Yeimo menambahkan pihaknya memiliki saling pengertian dengan tokoh-tokoh rohaniawan, terutama gereja, di Papua. Menurut dia, sikap pimpinan gereja di Papua sudah jelas, mendukung aksi-aksi KNPB dalam konteks kebenaran, keadilan, kemanusiaan dan perdamaian. Namun, ia menekankan bahwa KNPB terbuka bagi semua kelompok agama.

    “Kita masing-masing punya tugas pelayanan. Mereka melayani umat di gereja, kami di jalan-jalan,” kata Victor Yeimo.

    Editor : Eben E. Siadari, 21:08 WIB | Selasa, 14 Juni 2016

  • Hampir 2.000 Orang Ditangkap, LBH : Rakyat Papua Tidak Sendirian

    MAY 3, 2016/ VICTOR MAMBO

    Jayapura, Jubi – Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta mengecam keras penangkapan 1.724 aktivis dalam demonstrasi damai yang dilaksanakan serempak di Jayapura, Sorong, Merauke, Fakfak, Wamena, Semarang dan Makassar. Beberapa hari sebelumnya, 52 orang juga sudah ditangkap menjelang aksi hari ini.

    Aksi hari ini dilakukan dalam rangka mendukung United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) masuk menjadi anggota penuh Melanesian Spearhead Group (MSG), sebuah forum diplomatik di Pasifik Selatan. Selain itu, juga untuk protes memperingati 1 Mei 1963 di mana hari bergabungnya Papua ke Indonesia. Aksi ini juga dilakukan untuk mendukung pertemuan International Parliamentarians for West Papua (IPWP) yang akan dilakukan di London besok, 3 Mei 2016, yang akan membahas tentang referendum untuk Papua.

    “Ada dua orang yang ditangkap di Merauke ketika menyerahkan surat pemberitahuan aksi ke kantor polisi. Ini pasal macam apa yang bisa dipakai untuk menangkap orang yang sedang menyerahkan surat pemberitahuan aksi? 41 orang yang ditangkap di Jayapura hanya karena menyebarkan selebaran ajakan aksi. Jelas ini perbuatan semena-mena yang inkonstitusional,” kecam Veronica Koman, pengacara publik LBH Jakarta.

    Berikut adalah data jumlah orang yang ditangkap hari ini di masing-masing wilayah yang berhasil LBH Jakarta kumpulkan dari narasumber kami di Papua: 1449 orang di Jayapura, 118 orang di Merauke, 45 orang di Semarang, 42 orang di Makassar, 29 orang di Fakfak, 27 orang di Sorong, 14 orang di Wamena. Total yang ditangkap hari ini ada 1.724 orang. Sebagian besar sudah dilepas, namun masih ada belasan yang ditahan di Merauke, Fakfak dan Wamena.

    Sedangkan pada 25 April 2016 ada juga dua orang ditangkap di Merauke, tanggal 30 April 41 orang ditangkap di Jayapura. 1 Mei ada empat orang di Wamena dan 5 orang di Merauke yang ditangkap.

    “Total ada 1.839 orang Papua yang ditangkap sejak April 2016 hingga hari ini. Percuma saja Jokowi sering ke Papua kalau di Papua kerjanya hanya seremonial. Pendekatan pembangunan bukanlah yang dicari oleh rakyat Papua, Jokowi harus lebih jeli mendengarkan tuntutan mereka,” tambah Veronica.

    Perbuatan kepolisian tersebut melanggar konstitusi Indonesia pasal 28 dan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum. “Sekalipun tuntutannya adalah untuk referendum, selama orang Papua masih warga negara Indonesia, hak konstitusional mereka untuk berpendapat harus selalu dijaga. Gelarlah dialog, bukan merepresi aspirasi mereka,” tegas Alghiffari Aqsa, direktur LBH Jakarta.

    Untuk itu, LBH Jakarta menuntut kepada Jokowi untuk menindak Kapolri, Kapolda Papua dan Kapolda Papua Barat yang telah mencoreng hak konstitusional rakyat Papua, serta segera melepaskan mereka yang masih ditahan. .

    “Kami serukan bahwa Rabat Papua tidal Sendirian. Teruskanlah aspirasi kalian!” tutup Alghiffari. (*)

  • DPR: Pelanggaran HAM Pemerintahan Jokowi Capai 700 Orang di Papua

    Penulis: Endang Saputra 13:48 WIB | Rabu, 30 Maret 2016

    JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Anggota Komisi III Dewan Perwakilan Republik Indonesia (DPR-RI), Sufmi Dasco Ahmad, menyatakan keprihatinannya atas pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dalam satu tahun Pemerintahan Presiden Joko Widodo mencapai 700 orang di Papua.

    “Soal dugaan pelanggaran HAM di Papua memang cukup memprihatinkan. Kami menerima info dari Komnas HAM, dalam satu tahun kepemimpinan Presiden Joko Widodo telah terjadi berbagai peristiwa pelanggaran HAM, penangkapan, penganiayaan, penyiksaan, dan pembunuhan terhadap setidaknya 700 orang Papua,”

    kata Dasco saat dihubungi wartawan di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta Pusat, hari Rabu (30/3).

    Menurut politisi Partai Gerindra itu, data tersebut memang cenderung bombastis. Namun, perlu diingat bahwa Komnas HAM adalah institusi negara. Pemerintah harus memverifikasi dan menindaklanjuti temuan Komnas HAM tersebut.

    “Yang perlu dicatat, kondisi Papua saat ini tidak terlepas dari kesalahan treatment yang sudah terjadi sejak lama. Pendekatan keamanan yang diterapkan  selama ini memang memperbesar risiko terjadinya pelanggaran HAM,” kata dia.

    “Kasus-kasus lama yang tidak tuntas diusut menyisakan kekecewaan dan bahkan dendam bagi masyarakat yang menjadi korban. Dalam kondisi seperti ini situasi papua seperti api dalam sekam, setiap saat bisa muncul dan berkobar,”

    dia menambahkan.

    Sebelumnya, Menko Polhukam Luhut Binsar Pandjaitan menegaskan, pemerintah akan segera menuntaskan kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang terjadi di seluruh Indonesia, termasuk Papua.

    “Kami mengapresiasi pernyataan Menkopolhukan yang akan menuntaskan 16 kasus HAM Papua dalam waktu satu tahun, supaya masyarakat tenang memang harus ada tenggat waktu penyelesaian, prinsipnya ada kepastian,”

    kata dia.

    “Yang tak kalah penting, saat ini kami berharap pemerintah mengambil langkah-langkah konkret untuk menciptakan tanah Papua damai dan aman serta melaksanakan pembangunan berbasis HAM,”

    dia menambahkan.

    Editor : Sotyati

  • Bukan OPM, Marsel Diminta Dibebaskan

    JAYAPURA – Marsel Muyapa (25), warga Kalibobo, Jalan Jayanti RT 15/RW 04, Nabire sekaligus seorang sopir angkutan umum jurusan Nabire-Dogiyai-Deiyai dan Paniai yang saat ini ditahan di Polda, diminta dibebaskan.

    Pasalnya, Marsel adalah bukan bagian dari TPN/OPM tetapi hanya seorang sopir yang ikut ditembak dan ditangkap oleh Timsus dan Satgas Brimob Polda Papua, ketika mobil yang dikendarainya disewa Kelompok OPM di Wilayah Paniai Jhon Salmon Yogi dan Yulianus Nawipa pada tanggal 30 April 2015 Pukul 10.45 WIT di Kampung Sanoba Atas Distrik Nabire, Kabupaten Nabire.

    Permintaan ini disampaikan Keluarga korban Marsel Mayupa masing-masing Melianus Gobay dan Kornelia Muyapa didampingi Pembela HAM Matius Murib kepada wartawan di Jayapura, Rabu (20/5).

    Dikatakan, pihaknya mewakili keluarga, masyarakat, gereja, tokoh pemuda, tokoh masyarakat yang berdomisi di 4 Kabupaten masing-masing Nabire-Dogiyai-Deiyai dan Paniai.

    Menurut Melianus Gobay, pihak keluarga Marsel Muyapa menolak perlakuan dari Timsus dan Satgas Polda Papua yang melakukan penembakan dan menyatakan Marsel Muyapa tergolong dalam TPN/OPM.

    Karenanya, pihak keluarga memohon agar polisi membebaskan Marsel Muyapa dengan alasan sebagai berikut. Pertama, Marsel Muyapa bukan salah satu anggota TPN/OPM. Kedua, Marsel Muyapa adalah seorang sopir angkutan umum yang melayani masyarakat jurusan Nabire-Dogiyai-Deiyai dan Paniai.

    Ketiga, semua masyarakat yang ada di 4 Kabupaten mengetahui dia adalah seorang sopir yang setia melayani. Keempat, untuk itu jika terjadi apa-apa terhadap Marsel Muyapa maka pihak keluarga akan menuntut sesuai dengan aturan yang berlaku.

    Kelima, dengan demikian harapan keluarga, masyarakat, gereja, tokoh pemuda, tokoh masyarakat memohon agar pihak yang terkait untuk segera membebaskan Marsel Muyapa.

    Sementara itu, Matius Murib menegaskan, pihaknya merasa prihatin terkait tindakan Polisi setelah menangkap, menembak dan menjadikan korban Marsel Mayupa sebagai tersangka. Lebih ironis lagi, luka tembak di bagian paha kiri korban Marsel Muyapa masih meregang. Tapi dipaksakan diperiksa dan ditahan di Mapolda Papua.

    Menurut pengakuan korban, tambah Matius Murib, ketika ditangkap ia berusaha mengangkat kedua tangannya sembari menyampaikan kepada Timsus dan Satgas Brimob bahwa dirinya hanya seorang sopir yang melayani masyarakat dan tak punya kaitan dengan kegiatan lain. Tapi ternyata ia ditembak juga.

    Karenanya, cetus Matius Murib, pihaknya sangat meragukan profesionalisme Polisi, karena tindakan yang dilakukan di luar prosedur yang seharusnya digunakan. Pasalnya, jika menangkap seseorang seharusnya ada dugaan masalahnya atau seseorang yang dinyatakan DPO.

    “Kalau didalam sebuah mobil ada penumpang yang lain dipisahkan dong yang targetnya saja ditembak, Dalam situasi perang sekalipun jika orang sudah angkat tangan ndak boleh ditembak. Ini bukan situasi perang kenapa ditembak,”tegas Matius Murib.

    Karenanya, tutur Matius Murib, pihaknya menganjurkan koreksi internal Polri dalam melaksanakan operasi apapun harus prosedural sesuai dengan Standar Operasional Prosedur (SPO) yang ada di Polri.

    “Kalau bisa cukup diarahkan kepada target operasi bukan justru warga yang tak tahu-menahu dijadikan korban,”paparnya. (mdc/don/l03)

    Source: Kamis, 21 Mei 2015 03:58, Bukan OPM, Marsel Diminta Dibebaskan

  • Dua Hari, 264 Orang Ditangkap Karena Kebebasan Berekspresi

    Jakarta, Jubi – “Dalam dua hari, 30 April – 1 Mei 2015, 264 orang ditangkap dan ditahan sewenang-wenang di Jayapura, Nabire, Merauke, Manokwari dan Kaimana, Papua. Mayoritas mereka adalah anak muda dan mahasiswa anggota dan simpatisan Komite Nasional Papua Barat (KNPB), dan satu orang wartawan yang sedang melakukan peliputan. Penangkapan dilakukan oleh Brimob dan Tim Khusus Polda Papua dan Papua Barat ketika massa sedang mempersiapkan dan melakukan aksi damai serta menyebarkan selebaran sosialisasi rencana aksi.” kata Zelly Ariane, Kordinator #papuaitukita, kelompok advokasi HAM untuk Papua yang berbasis di Jakarta.

    1 Mei, ujar Zelly, adalah momentum bersejarah bagi masyarakat Papua yang diperingati setiap tahun.

    “Bagi orang Papua 1 Mei 1963 adalah penanda Aneksasi Papua Barat, ketika administrasi Papua (waktu itu masih bernama West New Guinea) diserahkan oleh UNTEA (United Nations Temporary Executive Authority) PBB ke Indonesia. Peringatan 1 Mei secara damai telah dilakukan sejak lama oleh masyarakat Papua, dan respon pemerintah serta aparat keamanan selalu sama: paranoid dan represif,” kata Zelly kepada Jubi, Senin (4/5/2015).

    Penangkapan yang terbesar sejak beberapa tahun terakhir ini dipandang oleh #papuaitukita sebagai pelanggaran serius terhadap hak berkumpul dan menyatakan ekspresi di Papua. Inilah wujud pembungkaman hak menyatakan pendapat dan ketiadaan ruang demokrasi di Papua, apalagi peristiwa semacam ini sudah terjadi terus menerus selama 10 tahun terakhir pasca reformasi.

    Lanjut Zelly, penangkapan dan penyiksaan kali ini terjadi secara sistematik dan meluas. Hal ini ditunjukkan dengan [1] pengerahan sumberdaya kepolisian yang besar, [2] terjadi di lima kota di Papua di dua wilayah Polda yang berbeda, dan [3] dilakukan secara serentak. Karenanya sulit dihindari kesimpulan bahwa tindakan ini melibatkan unsur pengambil kebijakan keamanan tertinggi di tingkat nasional.

    Aktivis HAM asal Aceh ini menegaskan bahwa tidak ada alasan apapun untuk menangkap dan menahan masyarakat yang bermaksud melakukan aksi damai memperingati Hari Penolakan Aneksasi Papua Barat, 1 Mei 2015. Kebebasan berekspresi, berpendapat dan berorganisasi dijamin oleh konstitusi dan undang-undang. Tuduhan makar yang ditujukan pada para aktivis, yang sedang berjuang mendorong pemenuhan HAM, dan masyarakat biasa, di Papua telah dijadikan pola oleh aparat untuk membungkam kritisisme.

    Zelly yang baru-baru ini dinobatkan oleh situs petisi online, change.org sebagai Kartini Modern bersama enam perempuan pembawa perubahan lainnya, menambahkan Presiden RI Joko Widodo harus memberikan perhatian terhadap hal ini. Pemerintah dan aparat penegak hukum, lanjut Zelly, harus menghentikan semua tindakan kriminalisasi kepada para aktivis mahasiswa yang kritis di Papua.

    “Pemerintah juga harus membuka ruang kebebasan berekspresi dan berpendapat secara damai tanpa ancaman di Papua. Perlu diingatkan pula bahwa pemerintah Indonesia masih berjanji untuk Pelapor Khusus PBB tentang Kebebasan Berekspresi dan Beropini dalam Peninjauan Berkala Universal di Jenewa tahun 2012. Publik berhak mendapatkan informasi bebas dan kebenaran atas situasi yang terjadi di Papua,”

    tegas Zelly.

    Berdasarkan informasi yang dikumpulkan #papuaitukita, penangkapan dan penahanan sewenang-wenang kepada ratusan aktivis mahasiswa, khususnya kepada anggota Komite Nasional Papua Barat (KNPB) dan simpatisannya di Jayapura, Nabire, Merauke, Manokwari dan Kaimana terjadi pada tanggal 30 April-1 Mei 2015. Tercatat 264 orang mahasiswa ditangkap secara sewenang-wenang. Secara bertahap mereka telah dibebaskan setelah melalui proses interogasi. Beberapa dari mereka mengalami penganiayaan dalam proses interogasi tersebut. Pada tanggal 2 Mei, 3 orang yang ditangkap bersama 30 orang lainnya di Jayapura, akhirnya dibebaskan.

    “Berdasarkan informasi yang kami terima, pada 27 April 2015 Kapolres Merauke, AKBP Sri Satyatama teah menyatakan bahwa Polri tidak akan memberikan ruang kepada KNPB untuk melakukan berbagai kegiatan termasuk doa bersama pada 1 Mei 2015 mendatang. Ia akan membubarkan kegiatan yang akan dilakukan oleh KNPB.”

    terang Zelly.

    Aktivis Hak Asasi Manusia lainnya, Indria Fernida menambahkan aparat kepolisian juga melakukan tindakan intimidatif kepada para aktivis KNPB. Sebab pada 17 April 2015, aparat kepolisian mendatangi sekretariat KNPB Wilayah Sentani dan mengancam para aktivisnya.

    “Sepanjang April 2015, aparat Polres Merauke telah dua kali menggerebek sekretariat KNPB Wilayah Merauke dan menyita dokumen-dokumen milik KNPB. Selain itu, beredar selebaran gelap di kalangan masyarakat Merauke yang menyatakan bahwa KNPB adalah organisasi terlarang dan ancaman melakukan makar jika masyarakat bergabung di dalamnya,”

    kata Indri, aktivis yang aktif di KontraS Jakarta.

    Pada 30 Mei, lanjut Indria, 12 orang anggota KNPB ditangkap oleh anggota Polres Manokwari saat membagikan selebaran untuk ajakan aksi damai. Pada 1 Mei, sebanyak 30 orang anggota KNPB dan simpatisannya ditangkap dan diamankan oleh aparat kepolisian dari Polres Jayapura tepat di depan gapura Universitas Cendrawasih, Jayapura. Di Manokwari total penangkapan 203 orang, dari dini hari hingga siang hari ketika aksi dilakukan. Di Kaimana, aparat kepolisian membubarkan aksi dan menangkap 2 orang aktivis KNPB. Aparat kepolisian juga melakukan pengrusakan sekretariat KNPB dan PRD Maimana. Di Merauke, penangkapan tersebut terus berlanjut, dimana 15 orang anggota KNPB dan 1 Parlemen Rakyat Daerah (PRD) Papua Barat wilayah Merauke. Siang harinya aparat membangun pos aparat di sekitar sekretariat KNPB wilayah Merauke dan menempatkan ratusan anggota polisi dalam pos tersebut. Aparat juga menggeledah sekretariat dan membawa spanduk, poster, dan dokumen milik KNPB.

    Selain penangkapan aktivis dan simpatisan KNPB, ditambahkan oleh Budi Hernawan, mantan Direktur Sekretariat Keadilan dan Perdamaian (SKP) Jayapura, di Nabire seorang wartawan Majalah Selangkah online, Yohanes Kuayo, ditangkap dan diborgol oleh Satgas Polda Papua dan Tim Khusus Polda Nabire, ketika melakukan peliputan di RSUD Nabire.

    Ia ditangkap hanya karena dicurigai karena mengenakan kaos Free West Papua ketika melakukan peliputan terhadap korban kontak senjata di rumah sakit tersebut,” kata Hernawan yang saat ini mengajar di Universitas Indonesia dan Universitas Paramadina.

    Yohanes, lanjut Hernawan, dibebaskan setelah Pemimpin Redaksi Majalah tersebut datang dan protes atas perlakuan aparat kepolisian.

    “Per-3 Mei 2015, aparat kepolisian telah membebaskan hampir semua tahanan, kecuali satu orang di Manokwari. Di sisi lain, peristiwa ini luput dari pemberitaan sehingga hak atas informasi bagi publik juga terabaikan,”

    ujar Hernawan. (Benny Mawel)

    Source: TabloidJubi.com, Diposkan oleh : Benny Mawel on May 5, 2015 at 09:18:56 WP [Editor : Victor Mambor]

  • Dua Hari, 264 Orang Ditangkap Karena Kebebasan Berekspresi

    Jakarta, Jubi – “Dalam dua hari, 30 April – 1 Mei 2015, 264 orang ditangkap dan ditahan sewenang-wenang di Jayapura, Nabire, Merauke, Manokwari dan Kaimana, Papua. Mayoritas mereka adalah anak muda dan mahasiswa anggota dan simpatisan Komite Nasional Papua Barat (KNPB), dan satu orang wartawan yang sedang melakukan peliputan. Penangkapan dilakukan oleh Brimob dan Tim Khusus Polda Papua dan Papua Barat ketika massa sedang mempersiapkan dan melakukan aksi damai serta menyebarkan selebaran sosialisasi rencana aksi.” kata Zelly Ariane, Kordinator #papuaitukita, kelompok advokasi HAM untuk Papua yang berbasis di Jakarta.

    1 Mei, ujar Zelly, adalah momentum bersejarah bagi masyarakat Papua yang diperingati setiap tahun.

    “Bagi orang Papua 1 Mei 1963 adalah penanda Aneksasi Papua Barat, ketika administrasi Papua (waktu itu masih bernama West New Guinea) diserahkan oleh UNTEA (United Nations Temporary Executive Authority) PBB ke Indonesia. Peringatan 1 Mei secara damai telah dilakukan sejak lama oleh masyarakat Papua, dan respon pemerintah serta aparat keamanan selalu sama: paranoid dan represif,”

    kata Zelly kepada Jubi, Senin (4/5/2015).

    Penangkapan yang terbesar sejak beberapa tahun terakhir ini dipandang oleh #papuaitukita sebagai pelanggaran serius terhadap hak berkumpul dan menyatakan ekspresi di Papua. Inilah wujud pembungkaman hak menyatakan pendapat dan ketiadaan ruang demokrasi di Papua, apalagi peristiwa semacam ini sudah terjadi terus menerus selama 10 tahun terakhir pasca reformasi.

    Lanjut Zelly, penangkapan dan penyiksaan kali ini terjadi secara sistematik dan meluas. Hal ini ditunjukkan dengan [1] pengerahan sumberdaya kepolisian yang besar, [2] terjadi di lima kota di Papua di dua wilayah Polda yang berbeda, dan [3] dilakukan secara serentak. Karenanya sulit dihindari kesimpulan bahwa tindakan ini melibatkan unsur pengambil kebijakan keamanan tertinggi di tingkat nasional.

    Aktivis HAM asal Aceh ini menegaskan bahwa tidak ada alasan apapun untuk menangkap dan menahan masyarakat yang bermaksud melakukan aksi damai memperingati Hari Penolakan Aneksasi Papua Barat, 1 Mei 2015. Kebebasan berekspresi, berpendapat dan berorganisasi dijamin oleh konstitusi dan undang-undang. Tuduhan makar yang ditujukan pada para aktivis, yang sedang berjuang mendorong pemenuhan HAM, dan masyarakat biasa, di Papua telah dijadikan pola oleh aparat untuk membungkam kritisisme.

    Zelly yang baru-baru ini dinobatkan oleh situs petisi online, change.org sebagai Kartini Modern bersama enam perempuan pembawa perubahan lainnya, menambahkan Presiden RI Joko Widodo harus memberikan perhatian terhadap hal ini. Pemerintah dan aparat penegak hukum, lanjut Zelly, harus menghentikan semua tindakan kriminalisasi kepada para aktivis mahasiswa yang kritis di Papua.

    “Pemerintah juga harus membuka ruang kebebasan berekspresi dan berpendapat secara damai tanpa ancaman di Papua. Perlu diingatkan pula bahwa pemerintah Indonesia masih berjanji untuk Pelapor Khusus PBB tentang Kebebasan Berekspresi dan Beropini dalam Peninjauan Berkala Universal di Jenewa tahun 2012. Publik berhak mendapatkan informasi bebas dan kebenaran atas situasi yang terjadi di Papua,”

    tegas Zelly.

    Berdasarkan informasi yang dikumpulkan #papuaitukita, penangkapan dan penahanan sewenang-wenang kepada ratusan aktivis mahasiswa, khususnya kepada anggota Komite Nasional Papua Barat (KNPB) dan simpatisannya di Jayapura, Nabire, Merauke, Manokwari dan Kaimana terjadi pada tanggal 30 April-1 Mei 2015. Tercatat 264 orang mahasiswa ditangkap secara sewenang-wenang. Secara bertahap mereka telah dibebaskan setelah melalui proses interogasi. Beberapa dari mereka mengalami penganiayaan dalam proses interogasi tersebut. Pada tanggal 2 Mei, 3 orang yang ditangkap bersama 30 orang lainnya di Jayapura, akhirnya dibebaskan.

    “Berdasarkan informasi yang kami terima, pada 27 April 2015 Kapolres Merauke, AKBP Sri Satyatama teah menyatakan bahwa Polri tidak akan memberikan ruang kepada KNPB untuk melakukan berbagai kegiatan termasuk doa bersama pada 1 Mei 2015 mendatang. Ia akan membubarkan kegiatan yang akan dilakukan oleh KNPB.”

    terang Zelly.

    Aktivis Hak Asasi Manusia lainnya, Indria Fernida menambahkan aparat kepolisian juga melakukan tindakan intimidatif kepada para aktivis KNPB. Sebab pada 17 April 2015, aparat kepolisian mendatangi sekretariat KNPB Wilayah Sentani dan mengancam para aktivisnya.

    “Sepanjang April 2015, aparat Polres Merauke telah dua kali menggerebek sekretariat KNPB Wilayah Merauke dan menyita dokumen-dokumen milik KNPB. Selain itu, beredar selebaran gelap di kalangan masyarakat Merauke yang menyatakan bahwa KNPB adalah organisasi terlarang dan ancaman melakukan makar jika masyarakat bergabung di dalamnya,”

    kata Indri, aktivis yang aktif di KontraS Jakarta.

    Pada 30 Mei, lanjut Indria, 12 orang anggota KNPB ditangkap oleh anggota Polres Manokwari saat membagikan selebaran untuk ajakan aksi damai. Pada 1 Mei, sebanyak 30 orang anggota KNPB dan simpatisannya ditangkap dan diamankan oleh aparat kepolisian dari Polres Jayapura tepat di depan gapura Universitas Cendrawasih, Jayapura. Di Manokwari total penangkapan 203 orang, dari dini hari hingga siang hari ketika aksi dilakukan. Di Kaimana, aparat kepolisian membubarkan aksi dan menangkap 2 orang aktivis KNPB. Aparat kepolisian juga melakukan pengrusakan sekretariat KNPB dan PRD Maimana. Di Merauke, penangkapan tersebut terus berlanjut, dimana 15 orang anggota KNPB dan 1 Parlemen Rakyat Daerah (PRD) Papua Barat wilayah Merauke. Siang harinya aparat membangun pos aparat di sekitar sekretariat KNPB wilayah Merauke dan menempatkan ratusan anggota polisi dalam pos tersebut. Aparat juga menggeledah sekretariat dan membawa spanduk, poster, dan dokumen milik KNPB.

    Selain penangkapan aktivis dan simpatisan KNPB, ditambahkan oleh Budi Hernawan, mantan Direktur Sekretariat Keadilan dan Perdamaian (SKP) Jayapura, di Nabire seorang wartawan Majalah Selangkah online, Yohanes Kuayo, ditangkap dan diborgol oleh Satgas Polda Papua dan Tim Khusus Polda Nabire, ketika melakukan peliputan di RSUD Nabire.

    Ia ditangkap hanya karena dicurigai karena mengenakan kaos Free West Papua ketika melakukan peliputan terhadap korban kontak senjata di rumah sakit tersebut,” kata Hernawan yang saat ini mengajar di Universitas Indonesia dan Universitas Paramadina.

    Yohanes, lanjut Hernawan, dibebaskan setelah Pemimpin Redaksi Majalah tersebut datang dan protes atas perlakuan aparat kepolisian.

    “Per-3 Mei 2015, aparat kepolisian telah membebaskan hampir semua tahanan, kecuali satu orang di Manokwari. Di sisi lain, peristiwa ini luput dari pemberitaan sehingga hak atas informasi bagi publik juga terabaikan,” ujar Hernawan. (Benny Mawel)

    Source: Diposkan oleh : Dua Hari, 264 Orang Ditangkap Karena Kebebasan Berekspresi on May 5, 2015 at 09:18:56 WP [Editor : Victor Mambor]

  • KNPB Tuntut Polda Tanggung Jawab

    Jubir Badan Pengurus Pusat Komite Nasional Papua Barat (BPP-KNPB) Bazoka Logo didampingi Ketua I BPP KNPB Agus Kosay, ketika memberikan keterangan pers terkait kasus penembakan di Dogiyai di Expo, Waena, Jumat (21/11). JAYAPURA – Komite Nasional Papua Barat (KNPB) menuntut Polda Papua bertanggungjawab atas aksi penembakan terhadap 3 aktivis KNPB, ketika berlangsung ibadah syukur HUT ke-6 KNPB sekaligus mendukung pertemuan ILWP di Belanda di Moanemani, Kabupaten Dogiyai, Provinsi Papua, Kamis (20/11) lalu.

    Tuntutan ini disampaikan Jubir BPP-KNPB Bazoka Logo didampingi Ketua I BPP KNPB Agus Kosay, ketika keterangan pers di Expo, Waena, Kota Jayapura, Jumat (21/11).

    Bazoka Logo mengatakan, ke-3 aktivis KNPB yang tertembak, masing-masing David Pigai kena tembak di betis kaki kiri, peluru masih bersarang di kaki, Arsel Pigai kena tembak di kaki kanan dan Okto Tebay kena tembak di kaki kanan, peluru masih bersarang di kaki.

    Selain itu, kata Bazoka Logo, pihaknya juga minta agar Polda Papua segera membebaskan 25 aktivis KNPB yang ditangkap dan ditahan di Ruang Tahanan Polres Nabire. Masing-masing 13 aktivis KNPB ditangkap, ketika berlangsung ibadah syukur HUT ke-6 KNPB di Kali Bobo Deoan Kampus USWIM, Nabire, Rabu (19/11) pukul 08.30 WIT. Sedangkan di Dogiyai 12 aktivis KNPB ditangkap aparat.

    Menurut Bazoka Logo, tindakan Polda Papua melakukan pembubaran paksa dan menembaki aktivis KNPB merupakan tindakan kriminal, padahal kemerdekaan berserikat dan mengeluarkan pendapat itu berdasarkan UUD 1945.

    Lanjut Bazoka Logo, pihaknya bersedia membuktikan tindakan kriminal yang dilakukan Polda Papua terhadap aktivis KNPB di Pengadilan dimanapun.

    Sementara itu, Agus Kosay menuding Polda Papua telah melakukan pembohongan publik, karena menuding sejumlah aktivis KNPB membawa senjata tajam seperti bom molotov dan menyerang aparat ketika itu. Padahal kata mereka aparat menyerang aktivis KNPB menggunakan senjata.

    “Kami hanya punya Megafon dan spanduk. Itu kekuatan kami. KNPB adalah organiasi sipil yang berjuang tanpa kekerasan. Tra mungkin orang pergi ibadah bawa bom molotov dan menyerang aparat,”

    terang Agus Kosay.

    Dikatakan Agus Kosay, pihaknya juga menyampaikan prihatin atas sikap aparat yang menutup akses bagi keluarganya untuk menjenguk aktivis KNPB yang ditahan di Polres Nabire. (mdc/don/lo1)

    Sabtu, 22 November 2014 03:01, bintangpapua.com

  • 147 Amunisi Pesanan Enden dan Puron Wenda

    Ilustrasi Amunisi oleh BintangPapua.com
    Ilustrasi Amunisi oleh BintangPapua.com

    WAMENA – Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda) Papua, Irjen Pol. Yotje Mende mengatakan, 147 Amunisi Peluru dari beberapa jenis sejata yang berhasil digagalkan oleh petugas keamanan bandara Sentani saat hendak diselundupkan oleh tersangka berinisial TW, Minggu (12/10) lalu itu merupakan pesanan dari Puron Wenda dan Enden Wanimbo, kelompok militan Papua merdeka di wilayah Lanny Jaya yang saat ini masih terus dikejar oleh aparat TNI dan Polri karena beberapa kali melakukan aksi penyerangan terhadap aparat keamanan di wilayah itu.

    “Dari hasil pemeriksaan kesimpulan sementara ratusan amunisi itu akan bawah ke Puron Wenda dan Enden Wanimbo, peluru itu sementara ditunggu-tunggu mereka dan pelaku yang berusaha menyelundupkan peluru itu adalah anak buah mereka (Puron Wenda dan Eden Wanimbo red),”

    ujar Kapolda Papua, Irjen Pol. Yotje Mende kepada Wartawan di Wamena Selasa (14/10).

    Ditegaskan Kapolda, Pelaku penyelundupan ratusan amunisi berinisial TW saat ini sudah ditahan dan dalam proses penyidikan bahkan pelaku TW akan dikenakan hukum seberatnya. Sedangkan Puron Wenda dan Eden Wanimbo akan terus diburu oleh aparat TNI dan Polri hingga ditangkap hidup-hidup ataupun mati. Penegasan Kapolda Papua itu mengingat aksi-aksi kriminal bersenjata yang dilakukan oleh kelompok militan Papua Merdeka itu sudah meresahkan warga di Kabupaten Lanny Jaya maupun mengganggu keamanan dan ketertiban Masyarakat (Kamtibmas) di wilayah itu.

    “Kita akan terus mengejar mereka dan menangkap mereka (Enden Wanimbo dan Puron Wenda) untuk mempertanggung jawabkan perbuatan-perbutan mereka yang sudah dilakukan terlebih dahuu maupun perbuatan-perbuatan mereka sekarang,”

    tegas Kapolda Papua.

    Dikatakan Kapolda Papua, dengan tertangkapnya TW, maka secara jelas pula diketahui oleh publik kalau ratusan amunisi peluru itu adalah pesanan Puron Wenda dan Enden Wanimbo. Selain itu dengan terungkapnya kepemilikan ratusan amunisi peluru itu maka Puron Wenda dan Enden Wanimobo semakin dikejar oleh TNI dan Polri karena dengan amunisi peluru yang dipasok tapi tertangkap itu menandakan bahwa kelompok militan yang bermarkas di sekitar Pirime dan Balingga itu masih terus mau menunjukkan eksistensi mereka berupa penyerangan-penyerangan di sekitar Kabupaten Lanny Jaya. “Saya mengajak masyarakat mari kita cari sama-sama Enden Wanimbo dan Puron Wenda itu baik hidup maupun mati,”ajak Kapolda Papua.

    Adapun perincian amunisi yang coba diselundupkan oleh TW, yakni amunisi kaliber 5,56 mm tajam sebanyak 112 butir, amunisi kaliber 9 mm sebanyak 13 butir, amunisi kaliber 7,62 mm satu butir. Selain itu, amunisi kaliber 5,56 mm hampa sebanyak 20 butir, satu buah magasin M16. (kri/loy/don/l03)

    Jum’at, 17 Oktober 2014 07:35, BinPA

  • 21 Anggota Kelompok Hans Richard Youweny Diringkus

    SENTANI (JAYAPURA) – Sebanyak 60 orang Tim Gabungan yang terdiri dari Polda Papua, Polres Jayapura dan juga pihak TNI, Senin (11/08/2014) kemarin siang berhasil mengamankan 21 orang dari Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) yang diduga dari kelompok Hans Richard Youweny.

    Kabid Humas Polda Papua, Kombes Pol Sulistyo Pudjo H mengatakan bahwa 21 orang itu, turut serta dalam kegiatan pelantikan, pengesahan KODAP dan Rapat Koordinasi (Rakor) Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPN-PB) di Kampung Beraf, Distrik Nimbokrang, Kabupaten Jayapura.

    Selain mengamankan 21 orang anggota KKB ini, kata Kabid Humas Pudjo, tim juga mengamankan puluhan anak panah dengan sejumlah busur, bendera Bintang Kejora (BK) ukuran kecil sekitar 25×10 cm, baju loreng sebanyak 7 buah, jaket Brimob Mabes Polri, daftar nama-nama basis KNPB wilayah Sentani, kotak sumbangan KNPB, sejumlah sepatu PDL, mesin bubut buat laras panjang, tiga pucuk senjata api diantaranya adalah rakitan laras panjang dan roket anti tank.

    Pada saat tanggal 31 Juli 2014 lalu juga berhasil mengamankan seperangkat dokumen perjuangan Papua Merdeka. Sedangkan pada tanggal 8 Agustus 2014 lalu berhasil mengamankan sejumlah barang bukti (BB) di rumah Zeth Demotekay, yakni amunis Angelux 6 butir, moser 4 butir, roket (pelontar) amunisi anti tank, magazine, baju loreng 7 buah, dokumen Zeth Demotekay. Sementara di rumah Zeth Manggu berhasil diamankan serbuk mesiu seberat 3 kg, kabel warna hitam.

    Di rumah Yordan Kapi berupa dokumen-dokumen.Dan, pada tanggal 10 Agustus 2014 di Kampung Warombaim, Distrik Nimbokrang, Kabupaten Jayapura, kata Kabid Pudjo, bahwa pihaknya mengerahkan sebanyak 20 anggotanya untuk meringkus 21 orang delegasi dari berbagai daerah, seperti Nabire, Paniai dan Yalimo.

    “Barang bukti yang kami amankan satu buah mobil truck, spanduk bertulisan pelantikan dan Rakor, tongkat komando, baju loreng dengan pangkat jenderal, satu koper perangkat alat medis, dokumen penuh, senjata tajam (Sajam) dan anak panah serta busur. Dan, dari 4 kali penyergapan kami telah menahan 1 orang atas nama Zeth Demotekay,”

    jelasnya ketika didampingi Irwasda Polda Papua, Kombes Pol Gde Sugianyar dan Kapolres Jayapura AKBP Sondang R. D. Siagian, S.Ik. “60 orang ini adalah rekrutan baru dan telah dibacakan SK pelantikan saat itu langsung oleh pimpinan OPM Terianus Sato.

    Upacara pelantikan juga berlangsung singkat, hanya pembacaan SK, pengibaran Bendera Bintang Kejora dan ditutup dengan doa,” katanya, Senin (11/8/2014) di Rumah Perdamaian Mapolres Jayapura, Doyo, Kabupaten Jayapura.

    Dalam aksi penangkapan itu juga sempat ada penembakan ke mobil Kapolsek Nimbokrang, Ipda Jerry K, yang memimpin penangkapan. Dirinya langsung meminta bantuan dari Polres Jayapura. “Anggota kami mendengar bunyi tembakan, sehingga diperkuat dengan bantuan dari Polres Jayapura, Brimob Polda Papua dan pihak TNI,” ujarnya. Dalam penangkapan itu, sejumlah barang bukti yang diamankan adalah 5 buah sangkur, panah dan 2 busur panah, 30 stel pakaian PDL, 1 tongkat komando.

    Saat ini ke 21 orang tersebut diamankan di Polres Jayapura. Pasca-penangkapan situasi di Nimbokrang kondusif, namun masih ada perkuatan 30-an personel dari Polres Jayapura dan Brimob Polda Papua. [BintangPapua]

    Lebih lanjut tentang berita ini klik: http://www.papua.us/2014/08/21-anggota-kelompok-hans-richard.html
    Copyright © 2013 Papua Untuk Semua

Are you sure want to unlock this post?
Unlock left : 0
Are you sure want to cancel subscription?