Tag: pelanggaran HAM

  • Jangan Membunuh, Bila Perlu Dilumpuhkan Saja

    Jayapura, Jubi – Wakil Sekretaris Jendral Dewan Pimpinan Pusat, Asosiasi Mahasiswa Pegunungan Tengah se-Indonesia, (DPP AMPTPI), Hendrikus Madai mengatakan, perkembangan situasi pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di tanah Papua yang sangat memprihatinkan akhir-akhir ini.

    Hal ini dikatakan Hendrikus Madai, sebab banyak anak-anak sekolah, mahasiswa dan pemuda yang telah menjadi korban penembakan, pembunuhan, penculikan bahkan penangkapan baik di Papua maupun di luar Papua.

    “Maka, pada kesempatan ini saya selaku Wakil Sekretaris Jenderal Asosiasi Mahasiswa Pegunungan Tengah Papua se-Indonesia (AMPTPI) mengutuk keras setiap kekerasan dan pembunuhan oleh aparat TNI/POLRI yang ditargetkan lebih banyak kepada para siswa dan mahasiswa di Papua, seperti kasus Paniai Berdarah 8 Desember 2014 yang menewaskan empat anak sekolah, penembakan di Tolikara pada 17 Juli 2015 di mana 11 anak muda ditembak, salah satunya tewas. Kasus penembakan yang melibatkan TNI di Mimika pada Agustus 2015 yang menewaskan dua orang dan tiga lainnya mengalami luka tembak, dan penembakan terakhir di Mimika tadi malam, 28 September 2015 yang menjadi korban adalah anak sekolah tingkat SMA di mana salah satunya tewas dan satu lainnya kritis di rumah sakit Timika,” kata Wakil Sekjen DPP AMPTPI, Hedrikus Madai kepada Jubi di Jayapura, Selasa (29/09).

    Selanjutnya, kata dia pihaknya meminta kepada Pangdam XII/Cenderawasih dan Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda) Papua untuk segera memroses hukum seberat-beratnya bagi setiap anggotanya yang menjadi pelaku penembakan dan pembunuhan di Papua.

    “Juga, kami meminta kepada institusi TNI/Polri agar tidak membunuh anak-anak Papua dari waktu ke waktu dengan berbagai alasan, tetapi jika memang terpaksa harus ditembak, bukan dengan tujuan membunuh akan tetapi bisa dengan dilumpuhkan (ditembak di kaki dengan peluru karet, bukan dengan timah panas)”, katanya berharap.

    Menurut Madai, pihaknya menyarankan kepada seluruh pelajar, mahasiswa dan pemuda di Papua lebih khusus Orang Asli Papua (OAP) agar selalu waspada dan berhati-hati dalam setiap aktivitasnya. Sebab, kata dia jika dilihat dari berbagai kasus pembunuhan, penembakan dan penangkapan yang terjadi di Papua yang target pembunuhannya lebih banyak adalah pelajar dan mahasiswa Papua.

    “Itu bukan terjadi di Papua saja, tapi di luar Papua juga. Kami menyarankan agar para pelajar dan mahasiswa agar jangan keluar malam sendirian jika tidak ada agenda yang mendesak,” tuturnya.

    Anggota Komisi 1, Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP), Laurenzus Kadepa mengatakan, setelah Jokowi dilantik menjadi Presiden Republik Indonesia, banyak sekali rentetan-rentetan pelanggaran HAM di Papua.

    “Lalu, yang menjadi sasaran itu adalah anak muda, siswa dan mahasiswa. Ini dirancang oleh negara untuk membasmikan generasi muda, karena Papua ke depan itu ada di tangan anak muda,” tutur Laurenzus Kadepa kepada Jubi di Jayapura melalui sambungan telpon, Selasa (29/09).

    Apalagi sekarang, kata Kadepa, anak muda semakin gigih pertahankan ideologi Papua Merdeka. “Maka, kami minta jangan jadikan anak muda sebagai tempat sasarannya adalah anak muda. Kami bisa benarkan proses genoside itu sedang terjadi seiring dengan waktu yang berjalan ini,” tukasnya.

    Oleh karena itu, pihak aparat harus mengetahui fungsi dari penggunaan senjata itu untuk apa. Sebab, ada tertulis bahwa untuk melindungi dan mengayomi masyarakat. (Abeth You)

  • FI dan 14 LSM Berkolaborasi untuk Melaporkan Kasus Pelanggaran HAM di Papua ke PBB

    JAYAPURA Dengan didukung oleh 14 LSM lokal, nasional dan Internasional Fransiskan Internasional mengajukan banding mendesak kepada PBB mengenai penembakan sewenang-wenang oleh Aparat Kepolisian Republik Indonesia beberapa hari lalu terhadap dua pelajar SMA Kaleb Bagau (18 tahun) tewas di tempat dan Efrando Sobarek (17 tahun) dilarikan ke rumah sakit dan masih dirawat secara intensif. Fransciscans International salah satu LSM yang memilki Status Konsultatif di PBB . Organisasi yang beroperasi di bawah sponsor dari Konferensi Keluarga Fransiskan (CFF) ini bekerjasama dengan 14 LSM lokal di Papua, nasional dan internasional untuk melaporkan pemusnahan yang terjadi di Papua Barat ke PBB.

    Dirilis di situs resmi Fransciscans Internasional, terhitung sejak 2006 hingga September 2015 sudah 9 orang pelajar yang di bunuh oleh Polisi maupun Militer Indonesia. Populasi Orang Papua asli 45% dibandingkan dengan penduduk pendatang, sehingga praktek-praktek secara terang-terangan maupun secara sembunyi dilakukan oleh Polisi dan Militer Indonesia untuk memusnahkan orang Papua dari atas tanahnya sendiri. Karena pelaku penembakan tidak pernah diminta pertanggungjawaban.

    Untuk diketahui bahwa, Fransciscans Internasional adalah sebuah LSM yang memilki status Kosultatif di PBB yang berkolaborasi dengan 14 LSM di tanah Papua, nasional dan internasional untuk melaporkan pelanggaran Hak Asasi Manusia yang terjadi di Papua Barat kepada PBB. (ns) 

    Lihat banding yang di serahkan ke PBB klik Disini

  • Dua Mahasiswa Terkait Aksi “Bebaskan Tapol” Mengaku Disetrum Polisi

    Bekas Setrum Pada Leher Alvares (Jubi/Aprila)

    Jayapura, 4/4 (Jubi) – Alvares Kapissa dan Yali Wenda, dua mahasiswa Universitas Cendrawasih (Uncen) yang ditangkap polisi sejak Rabu (2/4) kemarin karena memimpin demonstrasi pembebasan Tahanan Politik Papua, mengaku luka berat karena disiksa polisi. Bukan hanya itu, keduanya mengaku juga disetrum.

    “Kita di atas truk, ditendang, dipukul dengan rotan, senjata, tameng dipakai untuk tindis-tindis (menindih-red) kita,”

    ungkap Yali Wenda kepada tabloidjubi.com di Waena, Jayapura, Jumat (4/4) petang.

    Masih di atas truk itu juga, ungkapnya lagi, dia bersama Alvares disetrum bergantian sampai tiba di Polresta.

    “Sampai di sana sekitar setengah jam, kami berdua duduk saja dalam keadaan kesakitan,”

    kata mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial (FISIP) Uncen itu.

    Selanjutnya, kata dia, polisi meminta melepas jas almamater yang mereka pakai dan sudah penuh noda darah, lantas menggantinya dengan baju baru yang sudah disediakan.

    Polisi mencuci jas almamater kuning itu dan mengembalikannya pada saat keduanya akan keluar.

    Dia melanjutkan, dia dan rekannya itu berbaring sekitar  satu jam di sel. Tak lama dari situ ada dokter perempuan yang datang membersihkan luka-luka keduanya, termasuk menjahit telinga Yali yang sobek tanpa bius.

    Keesokannya, sekitar pukul 08.00 – 11.00 WIT, keduanya kembali dimintai keterangan. Dan baru pada pukul 12.00 dibebaskan.

    Bekas Setrum Pada Punggung Yali (Jubi/Aprila)

    Bekas Setrum Pada Punggung Yali (Jubi/Aprila)

    Alvares Kapissa, menambahkan, dia diciduk oleh Kabagops Polresta sebelum sempat mengatakan apapun, sebelum akhirnya diangkut ke truk. Dia juga mengaku dipukuli di bagian wajah oleh satu orang anggota polisi berpakaian preman.

    “Waktu akan dipaksa naik dengan didorong, seorang polisi memegang kemaluan saya sambil ditendang. Jari-jari kaki diinjak dengan sepatu. Luka kecil di kaki Yali yang kelihatan, polisi bilang ini luka ka? Langsung mereka tusuk dengan bambu dan putar-putar luka itu. Saya juga disetrum bergantian dengan Yali,”

    ungkap Alvares yang tercatat sebagai mahasiswa fakultas kedokteran Uncen itu.

    Alvares membantah pernyataan polisi yang mengatakan keduanya ditahan setelah terjadi pelemparan kepada polisi. Menurutnya, dia bermaksud kordinasi dengan polisi karena truk yang disediakan pihak universitas untuk mengangkut mahasiswa yang hendak berdemo ada di sekretariat BEM Uncen. Namun belum sempat dia berbicara, polisi langsung membekapnya dan menaikkan mereka di atas truk polisi. Di atas truk itu, kata Alvares, ada sekitar 10 orang polisi yang memukul keduanya.

    ” Setelah saya di atas truk baru ada yang lempar. Kita juga tidak tau siapa yang lempar-lempar itu. Jadi mereka tahan kami dulu baru ada yang lempar. Bukan karena ada yang lempar, akhirnya mereka tangkap kami.”

    kata Alvares.

    Kedua mahasiswa ini dilepaskan dari tahanan polisi karena tidak terbukti melakukan pelemparan kepada polisi. (Jubi/Aprila)

    on April 4, 2014 at 23:49:47 WP,TJ

  • 1 x 24 Jam Ditahan, Aktivis Mahasiswa Disiksa Polisi

    Alfares Kapisa saat memeriksakan lukanya di RS Dian Harapan (Jubi/Aprila)

    Jayapura, 3/4 (Jubi) – Dua mahasiswa yang ditangkap polisi sejak Rabu (2/4) kemarin karena memimpin demonstrasi pembebasan Tahanan Politik Papua luka berat karena disiksa polisi.

    “Kami dipukul tidak seperti manusia. Tubuh kami penuh dengan darah. Tengah malam baru dokter dari kepolisian masuk kasih mandi, membersihkan darah dan luka.”

    kata Alfares Kapisa, salah satu dari dua mahasiswa yang ditangkap polisi kemarin, kepada Jubi, Kamis (3/4) malam saat memeriksakan lukanya di Rumah Sakit Dian Harapan, Waena.

    Alfares bersama Yali Wenda dilepaskan oleh polisi di Polresta Jayapura sekitar pukul 14.00 WP. Keduanya ditahan polisi karena dianggap melanggar kesepakatan dengan polisi dalam melakukan aksi demonstrasi kemarin.

    “Kami tidak keluarkan Surat Tanda Terima Pemberitahuan (STTP) karena saat ini sedang masa kampanye, Kami izinkan mereka lakukan aksi karena sebelumnya minta izin lakukan mimbar damai saja bukan longmarch,”

    kata Kapolres Jayapura Kota, Ajun Komisaris Besar (Pol) Alfred Papare, Rabu (2/4) petang.

    Yali Wenda telinganya harus dijahit 3 jahitan akibat pukulan polisi (IST)

    Yali Wenda telinganya harus dijahit 3 jahitan akibat pukulan polisi (IST)

    Menurut dia, kedua korlap itu ditahan untuk diperiksa karena massa aksi hendak melakukan aksi long march di depan auditorium Universitas Cendrawasih (Uncen), Abepura. Polisi punya waktu memeriksa keduanya selama 1 x 24 jam sejak ditangkap.

    Namun bukannya diperiksa, kedua aktivis mahasiswa ini malah disiksa oleh polisi selama masa penahanan mereka yang cuma 1 x 24 jam itu. Keduanya dipukul dengan popor senjata, rotan dan ditendang menggunakan sepatu.

    Seorang warga yang secara kebetulan berada di Polresta Jayapura, kemarin, mengaku melihat kedua mahasiswa itu diturunkan dari truck polisi yang membawa keduanya sudah dalam keadaan tubuh penuh bekas pukulan.

    “Kasihan, muka mereka sudah hancur, berdarah, waktu diturunkan dari truck polisi. Saya juga sempat lihat seorang polisi di ruang tahanan bertanya kepada rekannya sambil menunjukkan popor senjata yang dipegangnya. Mungkin itu kode mereka untuk bertanya, dipukul pakai senjata atau tidak.”

    kata warga Distrik Jayapura Selatan ini.

    Wajah Alfares, saat dijumpai di RS Dian Harapan terlihat lebam karena bekas pukulan. Bagian bawah matanya bengkak. Di pelipis matanya tampak bekas darah yang sudah mengering.

    “Dokter paksa kami ganti baju untuk hilangkan barang bukti. Kami dipukul dari kaki sampai kepala. Semua badan kami dipukuli. Kepala saya bocor. Saya rasa tulang rusuk saya patah.”

    kata Alfares sambil menunjukkan luka dan bekas darah di kepalanya.

    Markus Haluk, aktivis HAM Papua yang menjenguk Alfares menambahkan telinga Yali Wenda yang ditangkap bersama Alfares harus dijahit sebanyak tiga jahitan.

    “Sekarang mereka setengah mati untuk duduk. Makan juga masih sulit. Tubuh mereka masih gemetaran.”

    tambah Haluk.

    Terkait aksi dan penangkapan Alfares dan Yali ini, Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Uncen, Yoan Wanbipman mengatakan BEM Uncen telah menyurati Kapolda Papua untuk melakukan pertemuan. Pertemuan antara mahasiswa, dosen, dan aparat kepolisian ini rencananya akan dilakukan Jumat (4/4) besok. (Jubi/Victor Mambor)

    on April 3, 2014 at 21:53:27 WP,TJ

  • Demo Damai Tuntut Bebaskan 76 Tapol Papua, Polisi Tangkap 2 Mahasiswa

    Jayapura, MAJALAH SELANGKAH — Kepolisian Resort Kota (Polresta) Jayapura menangkap 2 mahasiswa Papua, Alfares Kapisa (25) dan Yali Wenda (20) dalam sebuah demonstrasi damai yang digelar Solidaritas Mahasiswa Peduli Tapol (Tahanan Politik) Papua di depan Gapura Universitas Cenderawasih (Uncen) Waena, Jayapura, Rabu (02/04/14).

    Demonstrasi digelar mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Jayapura dalam rangka meminta pembebasan 76 Tapol Papua yang mendekam di sejumlah Lembaga Pemasyarakatan di tanah Papua.

    Alfares Kapisa, mahasiswa Kedokteran Uncen dan rekannya Yali Wenda ditangkap dalam pembubaran paksa oleh polisi yang bersenjata lengkap di depan Gapura Uncen sekitar pukul 10:30 waktu setempat.
    Selanjutnya, dua mahasiswa Papua ini dibawa ke Polresta Jayapura untuk diinterogasi.

    “Kami sedang berada di Polresta. Mereka dua (Alfares Kapisa dan Yali Wenda:red) sedang diinterogasi.  Alfares mendapat intimidasi sampai luka-luka di pipi kiri. Kucuran darah membuat jas almamaternya penuh dengan darah. Demikian juga Yali Wenda luka-luka di kepala,”

    kata aktivis HAM Papua, Elias Petege kepada majalahselangkah.com sore tadi melalui telepon selulernya.

    Tidak Ada Akses untuk Bertemu

    Koordinator Komisi Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS) Papua, Olga Helena Hamadi dan Pendeta Dora Balubun telah berada di Polresta sekitar pukul 18:30 waktu setempat atas permintaan rekan-rekan dan orang 2 mahasiswa itu. Tetapi, kedatangan mereka sia-sia. Mereka tidak mendapatkan akses untuk menemui 2 mahasiswa itu.

    Kepada majalahselangkah.com, melalui pesan singkatnya, Olga mengatakan,

    “Katanya Kasat tidak ada di tempat. Lalu, saya telepon Kapolres, tapi katanya mereka lagi periksa jadi belum bisa ketemu. Saya jadi heran juga, padahal mereka dua ini tidak di rutan, ada kemungkinan 2 mahasiswa ini dapat pukul.”

    “Kami tidak dberi akses bertemu, jadi kami pulang. Padahal, kami datang ke sini atas permintaan teman-temannya dan orang tua 2 mahasiswa ini,”

    kata Olga.

    Terkait penangkapan dan pembatasan akses ini, majalahselangkah.commenghubungi  Kepala Bidang Humas Polda Papua, Kombes Pol Drs Sulistyo Pudjo, tetapi telepon tidak aktif. Terpaksa, majalalahselangkah.commengirimkan pesan singkat untuk konfirmasi, tetapi hingga berita ini ditulis belum ada balasan.

    HIngga berita ini ditulis, Alfares Kapisa dan Yali Wenda masih ditahan di Polresta Jayapura. (Yermias Degei/MS)

     Yermias Degei | Rabu, 02 April 2014 23:24,MS

  • Dituduh OPM, Warga Sima, Distrik Yaur Ditangkap

    Simon Petrus Hanebora. Ist.

    Nabire, MAJALAH SELANGKAH — Warga kampung Sima, Distrik Yaur, kabupaten Nabire, Papua, Otis Waropen ditangkap oleh gabungan polisi penjaga perusahaan perkebunan sawit dan anggota Polres Nabire pada Minggu (2/3/14). Otis dituduh menjadi anggota Organisasi Papua Merdeka (OPM).

    Otis Waropen, menurut pengakuan kepala sukunya, Simon Petrus Hanebora, adalah petani di kampung Sima. Punya seorang istri dengan satu anak.

    Hanebora, kepala suku besar suku Yerisiam melaporkan kepadamajalahselangkah.com, Senin (3/3/14), setidaknya satu peleton Brimob penjaga Perkebunan Sawit ditambah anggota polisi dari Polres Nabire bersenjata lengkap dikerahkan ke kampung Sima untuk menahan Otis di rumahnya.

    Kata dia, hingga kini Otis Waropen yang dijadikan tersangka masih ditahan di Polres Nabire.

    Hanebora sebagai ketua adat setempat menginformasikan bahwa Otis adalah benar-benar warganya yang tidak terlibat dalam OPM.

    “Masyarakat saya mayoritas adalah masyarakat yang hidupnya berkebun, jadi pantas masyarakat saya kalau tinggal berhari-hari bahkan berbulan-bulan sampai bertahun-tahun di hutan. Itu hutan milik mereka to?”

    kata SP Hanebora.

    “Dia di hutan karena keseharian mereka selalu di hutan untuk berburu, berkebun dan lain-lain. Bebaskan dia. Dia petani biasa, bukan anggota OPM,”

    tegas Hanebora ketika dihubungi majalahselangkah.com sore ini.

    Hanebora juga minta Kapolda Papua tarik Brimob dari distrik Yaur, karena membuat warga resah.

    “Saya juga meminta kepada Kapolda Papua untuk menarik seluruh Brimob di Distrik Yaur yang jaga keamanan di perusahaan Kelapa Sawit di Wami, karena mereka terus membuat onar dan sering melakukan penganiayaan kepada masyarakat setempat,”

    kata Hanebora. (MS/Topilus B. Tebai)

    Penulis : Topilus B. Tebai | Senin, 03 Maret 2014 17:46,MS

  • Melawan Perintah Otopsi Jenasah Danny Kogoya, Kepala RS Vanimo Ditahan

    Family Support Center di RS Vanimo saat diresmikan 2 tahun lalu (IST)

    Jayapura, 9/1 (Jubi) – Pengadilan Vanimo hari ini, Kamis (9/1) telah memerintahkan Kepolisian Vanimo untuk menangkap Kepala Rumah Sakit Vanimo, Dokter Stela Jimmy. Dokter ini ditangkap karena telah melawan perintah pengadilan dalam penyelidikan kematian Danny Kogoya.

    Bonn Amos, Magistrate Coroner di Pengadilan Vanimo, melalui telepon selulernya membenarkan penangkapan kepala Rumah Sakit Vanimo ini. Amos, pejabat Pengadilan Vanimo yang mengeluarkan laporan kematian Danny Kogoya sebagai kasus pembunuhan ini mengatakan polisi Vanimo menahan Dokter Stella karena dokter ini mengeluarkan surat atas nama rumah sakit yang menunjuk doter lain untuk melakukan otopsi jenazah Danny Kogoya. Ini berlawanan dengan perintah pengadilan Vanimo dan permintaan keluarga.

    “Ya. Pengadilan telah memerintahkan polisi Vanimo untuk menahan kepala Rumah Sakit Vanimo. Ia ditangkap sekitar jam 9.30 tadi dan sudah dibawa ke pengadilan. Dokter ini ditahan karena melawan perintah pengadilan. Pengadilan telah memerintahkan dokter Philip Gopak dari Port Moresby dan seorang dokter dari Srilanka untuk melakukan otopsi, tapi dokter Stella menunjuk dokter lain.”

    kata Bonn Amos kepada Jubi melalui telepon selulernya, Kamis (9/1) pagi.

    Amos juga menegaskan bahwa kasus kematian Danny Kogoya ini berada di wilayah hukum Papua New Guinea (PNG) sehingga dalam hal ini, siapapun harus tunduk pada perintah pengadilan PNG.

    “Danny Kogoya meninggal di PNG. Pengadilan Vanimo sudah memastikan ia meninggal karena dibunuh dan sudah ada perintah pengadilan untuk melakukan penyelidikan dan melakukan otopsi oleh dokter yang ditunjuk pengadilan. Ini wilayah hukum PNG. Siapapun tidak boleh melakukan tindakan apapun terhadap jenazah Danny Kogoya tanpa sepengetahuan pengadilan PNG. Sekalipun itu pihak Rumah Sakit atau Konsulat Indonesia. Jenazah Danny Kogoya milik negara saat ini.”

    kata Bonn Amos.

    Informasi yang dikumpulkan Jubi mengindikasikan adanya konspirasi yang dilakukan oleh pihak Rumah Sakit Vanimo dengan pihak tertentu yang berkepentingan dengan jenazah Danny Kogoya. Pihak Rumah Sakit diketahui telah memaksa keluarga Danny Kogoya untuk melakukan otopsi pada tanggal 7 Januari 2013. Meskipun sebelumnya telah disepakati oleh masing-masing pihak bahwa otopsi harus dilakukan paling lambat tanggal 7 Januari, namun otopsi ini gagal dilakukan pada tangggal tersebut. Dokter yang ditunjuk pengadilan masih berlibur sedangkan dokter yang ditunjuk Rumah Sakit Vanimo tak bisa datang karena anaknya mengalami kecelakaan. Karena dokter yang ditunjuk oleh Rumah Sakit ini tak bisa datang, pihak Rumah Sakit memaksa keluarga Danny Kogoya untuk memastikan dokter Philip Gopak melakukan otopsi pada hari itu juga, tanggal 7 Januari dengan alasan jenazah Danny Kogoya harus dikeluarkan dari Vanimo secepatnya karena membawa virus penyakit berbahaya, sementara otopsi untuk mengetahui penyebab kematian Danny Kogoya belum pernah dilakukan.

    “Karena dokter yang mereka tunjuk tidak bisa datang, pihak Rumah Sakit Vanimo memberi kami waktu dua jam untuk memastikan dokter Philip melakukan otopsi. Mereka bilang, jenazah harus dikeluarkan dari Vanimo karena membawa penyakit berbahaya.”

    kata Jeffrey Pagawak kepada Jubi (9/1).

    Menurut Jeffrey, usai pemeriksaan dokter Stella, Pengadilan Vanimo tetap memerintahkan otopsi dilakukan oleh Dokter Philip Gopak bersama seorang dokter yang independen.

    “Pengadilan telah memerintahkan melanjutkan penyelidikan dan proses otopsi dilakukan oleh dua doter yang diminta keluarga. Pihak Rumah Sakit juga telah diperintahkan untuk tidak melakukan tindakan  apapun terhadap jenazah Danny Kogoya tanpa sepengetahun pengadilan.”

    kata Jeffrey.(Jubi/Victor Mambor)

     January 9, 2014 at 12:30:24 WP,TJ

Are you sure want to unlock this post?
Unlock left : 0
Are you sure want to cancel subscription?