Tag: OPM

  • Enden Wanimbo: Tidak Satupun Pasukan Saya Terluka

    Terkait pemberitaan media NKRI bahwa pasukan gabungan TPN/Polri menembak mati 5 anggota OPM kemarin (1 Agustus 2014) PMNews melakukan hubungan langsung dengan Komandan pasukan Tentara Revolusi West Papua yang melakukan penyerangan yang menewaskan pasukan Polri pada 28 Juli 2014. Ditanya kenapa situasi yang aman di Lanny Jaya menjadi tidak aman lagi gara-gara penembakan yang dilakukan di bawah komando-nya Enden Wanimbo,

    “Kami tidak jual, polisi yang jual, kami hanya beli. Polisi kolonial Indonesia selama di Tanah Papua tidak diperintahkan untuk menjaga keamanan tetapi menciptakan ketidak-nyamanan dan kekacauan, jadi kami tegur supaya mereka berhenti buat ulah di Tanah Papua,”

    kata Wanimbo.

    Ketikan PMNews tanyakan lagi tentang korban jatuh sebagaimana diberitakan media NKRI pada hari ini sebanyak 5 orang, Wanimbo kembali menyatakan,

    “Yang Indonesia bunuh itu masyarakat tidak berdosa di kampung. Tidak ada perintah pasukan saya untuk tinggal dikampung dan bergabung dengan masyarakat. Itu bukan cara kerja gerilya. Kita setelah menyerang sudah ambil posisi aman. Jadi kalau yang mereka tembah itu benar, itu pasti masyarakat sipil, karena semua pasukan saya sudah aman dan tinggal di posisi seperti diperintahkan.

    Masih menurut Enden lagi,

    Kalau orang Papua mati, pasti ada acara duka, ada keluarga yang tahu mereka meninggal, jadi coba cek saja ke orang Papua. Pasti kalau itu NKRI tembah, itu masyarakat sipil. Itu pasti, itu pasti! kasih tahu semua rakyat Papua bahwa kami tidak berperang sebodoh itu.

    Komandan yang satu ini memang tidak seperti komandan lainnya yang selama ini berkomunikasi dengan PMNews, karena Komandan Wanimbo selama menerima telepon selalu mengeluarkan suara-suara semangan dan kata-kata membakar semangat. Ia katakan misalnya,

    Barang sudah “go international”, jadi coba Bupati, Gubernur, semua orang Papua yang ada di bagaian Barat New Guinea ini dukung perjuangan kami. Orang Papua di sebelah Timur, mulai rakyat biasa sampai Gubernur DKI Port Moresby dan Perdana Menteri saja sudah mendukung. Jadi siapa saja yang tidak mendukung akan menyesal dan hidup kesasar di pulau-pulau terpencil di wilayah NKRI nanti sama dengan nasib teman-teman Melanesia dari Timor Leste yang terdampar sana-sini sampai ke Tanah Papua. Kita harus pintar baca situasi lokal dan internasional.

    Sekali lagi kami tanyakan apakah benar 5 orang anggotanya telah ditembak mati oleh pasukan NKRI, Ende Wanimbo menyatakan, “Maaf saya lahir satu kali, mati satu kali, jadi yang saya bilang itu sudah, jangan tambah-tambah , jangan kurangi.”

    Demikian PMNews sampaikan kepada semua pihak di seluruh dunia, berita KEBENARAN, fakta dari lapangan Tanah Papua, dari Rimba Raya New Guinea, untuk diketahui seluruh rakyat West Papua dan seluruh masyarakat Melanesia di manapun Anda berada.

  • Baku Tembak dengan TNI di Lanny Jaya, 3 Orang Kelompok Bersenjata Tewas

    K. Yudha Wirakusuma – 01 Agustus 2014 15:20 wib

    Metrotvnews.com, Jakarta: Saat melakukan patroli di Lanny Jaya, Papua anggota personil Tentara nasional Indonesia (TNI), terlibat baku tembak dengan sejumlah kelompok bersenjata. Dalam peristiwa tersebut tiga orang kelompok bersenjata tewas.

    “Memang ada tiga orang kelompok bersenjata yang tewas,” kata Kapuspen TNI Mayjen Fuad Basya, saat berbincang dengan Metrotvnews.com, Jumat (1/8/2014).

    Selain itu ada anggota TNi yang terluka, akibat baku tembak tersebut.”Anggota kita satu terluka,” terangnya.

    Patroli yang dilakukan oleh TNI, lanjutnya, adalah permintaan dari pihak Polri.”Kita melakukan patroli untuk mencari penembak personil polisi kemarin,” tukasnya.

    Sebelumnya diketahui terjadi insiden penembakan di Kabupaten Lanny Jaya pada Senin 28 Juli lalu. Insiden tersebut menewaskan dua anggota kepolisian yakni Bripda Zulkifli dan Bripda Prayoga serta melukai dua anggota kepolisian, yakni Bripda Alex Numbery dan Briptu Helsky Bonyadone.

  • Delapan polisi tertembak kelompok bersenjata di Papua

    Senin, 28 Juli 2014 23:03 WIB , Pewarta: Yuni Arisandy

    Jakarta (ANTARA News) – Delapan anggota Polres Lanny Jaya ditembak oleh kelompok bersenjata dalam baku tembak yang terjadi di Kabupaten Lanny Jaya, Papua, kata Kepala Divisi Humas Polri Irjen Pol Ronny F Sompie.

    “Pada 28 Juli 2014 sekitar pukul 12.10 WIB telah terjadi penembakan di daerah Indawa Kabupaten Lanny Jaya terhadap delapan anggota Polres Lanny Jaya yang sedang berpatroli,” kata Ronny dalam keterangan pers yang diterima di Jakarta, Senin.

    Menurut dia, para petugas dari Polres Lanny Jaya itu sedang melakukan kegiatan sambang desa untuk membangun sistem keamanan masyarakat di wilayah perdesaan.

    Delapan anggota Polres Lanny Jaya tersebut mendapatkan serangan dari kelompok kriminal bersenjata pimpinan Enden Wanimbo,” ujarnya.

    Ronny menyampaikan, kejadian penembakan tersebut menyebabkan dua anggota Polres Lanny Jaya, yaitu Bripda Zulkifli D Putra dan Bripda Yoga AJ Ginuny, meninggal dunia akibat luka tembak di kepala.

    Sementara itu, kata dia, anggota Polres Lanny Jaya lainnya yang terlibat dalam aksi baku tembak itu juga mengalami luka tembak, antara lain Briptu Helsky Bonyadone dengan luka tembak di perut dan Bripda Alex Numbery dengan luka tembak di pelipis.

    Para petugas yang menjadi korban tembak ini telah dievakuasi ke RSU (Rumah Sakit Umum) Wamena,” kata Ronny.

    Kadivhumas Polri itu menyebutkan bahwa tempat kejadian perkara (TKP) hanya berjarak satu setengah jam perjalanan dari Polres Lanny Jaya atau dua jam perjalanan dari Wamena.

    “Sampai denga pukul 16.00 sore tadi dilaporkan bahwa masih terjadi kontak tembak dengan 20 personel Timsus Polda dan dua SST (Satuan Setingkat Peleton) BKO Brimobda Polres Lanny Jaya,”

    ungkapnya.

    Menurut Ronny, rencananya pada Selasa, 29 Juli, Wakapolda, Direktur Intelkam, dan Kasat Brimob Polda Papua berangkat menuju Kabupaten Lanny Jaya melalui Wamena dengan pesawat terbang, untuk memperkuat pasukan dan membuat giat operasional di Polres tersebut.

    Editor: Aditia Maruli

  • Papua Bakal Resmi Menjadi Anggota MSG, Bulan Depan

    JAYAPURA – Pengamat Hukum Internasional, Sosial dan Politik FISIP Uncen Jayapura, Marinus Yaung, mengatakan, jika pertemuan rekonsiliasi masyarakat Papua di Vanuatu pada bulan Agustus 2014 (bulan depan) berhasil dilaksanakan dan disepakti oleh faksi-faksi Papua Merdeka untuk hanya mengajukan satu proposal saja ke MSG, maka dipastikan proposal tersebut disepakati hanyalah Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang mengajukan ke MSG.

    Pasalnya, sebagaimana hasil keputusan terhadap Proposal Papua pada pertemuan MSG di Port Moresby Juni 2014 lalu tidak menolak, tetapi meminta Papua untuk mengajukan kembali Proposal keinginannya untuk menjadi anggota MSG. Karena alasannya banyak faksi dalam masyarakat Papua, yakni ada WPNCL, KNPB, NRFPB, dan NRPB serta lainnya.

    Jadi kalau OPM saja yang mengajukan Proposal ke MSG agar diakomodir sebagai anggota MSG, jelas itu akan diterima,” ungkapnya kepada Bintang Papua di Kampus Uncen Waena, Kamis, (17/7).

    Dengan demikian, Papua diterima menjadi anggota MSG, ini jelas menjadi sebuah pukulan politik yang keras bagi Pemerintah Indonesia. Karena yang pastinya, meski MSG adalah wadah yang bertujuan mempercepat petumbuhan ekonomi, pembangunan dan perdagangan diantara negara-negara rumpun melanesia, tapi bisa saja itu juga sebagai alat/kendaraan politik bagi organisasi-organisasi Papua Merdeka untuk mendapatkan dukungan untuk memerdekakan rakyat Papua terlepas dari NKRI.

    Karena dalam politik internasional lazim terjadi bahwa kepentingan ekonomi selalu ‘berselingkuh’ dengan kepentingan politik. Maksudnya bahwa sekalipun MSG itu forum untuk kerjasama ekonomi dan pembangunan, tetapi tidak menutup kemungkinan MSG akan mendukung isu Papua Merdeka dalam forum sidang PBB Tahun 2014 ini.

    ‘Perselingkuhan’ politik internasional inilah yang kemungkinan dibaca Pemerintahan SBY sehingga negara-negara kunci di MSG yakni Fiji, dan PNG dirangkul untuk masuk dalam orbit dan pengaruh Indonesia. Namun, jelas bahwa pengaruh politik Indonesia dipastikan tidak terlalu signifikan bagi negara-negara anggota MSG.

    MSG juga kan selama ini turut menfasilitasi pertemuan rekonsiliasi antara seluruh faksi-faksi OPM di Port Moresby, Villa, Vanuatu pada Agustus 2014,” tegasnya. (Nls/don/l03)

    Sumber:BinPa, Jum’at, 18 Juli 2014 01:53

  • The Human Tragedy of West Papua

    The Diplomat.com – By Gemima Harvey, January 15, 2014

    The people of West Papua have been calling for self-determination for half a century – a struggle for liberation from an Indonesian military occupation that has seen as many as 500,000 Papuans killed. A recent development in this long campaign is the suspicious death of a commander of the rebel Free Papua Movement (OPM), Danny Kogoya, on December 15. The cause of death, as described in the medical report, was liver failure, bought on by the presence of “unusual chemicals in his body,” raising concern that he was poisoned.

    At the time of his death, Kogoya was at Vanimo hospital, in Papua New Guinea (PNG), receiving treatment for his leg. His leg was amputated in 2012 – without his consent – at a police hospital in Jayapura, West Papua, after Indonesian security forces shot him during an arrest. According to the Asian Human Rights Commission (AHRC), a doctor at Vanimo hospital alleged that the chemicals were administered while Kogoya was at the police hospital in Jayapura and that he had been slowly poisoned to death by the Indonesian state authorities.

    When Kogoya’s family submitted a request, with the medical report attached, to Vanimo Court House, asking for his body to be buried in West Papua, the Court decided to treat the death as a murder and called for an autopsy. AHRC reports that when the autopsy was scheduled, four individuals – two of them identified as Indonesian consulate staff – met with hospital management and prevented the autopsy from taking place.
    Enjoying this article? Click here to subscribe for full access. Just $5 a month.

    A series of subsequent negotiations between family members, Indonesian consulate officials and PNG local authorities resulted in the autopsy being agreed to. But latest reports indicate the autopsy is yet to happen.

    Whether foul play is proven in the death of Kogoya or not, the incident is another in a long line in the liberation movement in West Papua, which has seen civilians with suspected links to separatists tortured, political activists murdered and perpetrators act with impunity.

    Geographically, West Papua sits beside PNG, forming the western half of the resource-rich island of New Guinea, about 300 km from the northern tip of Australia. The West Papua region is split into two provinces: West Papua and Papua. Its indigenous people have Melanesian roots, making them culturally and ethnically similar to their counterparts in PNG, but the formers’ turbulent colonial history and ongoing struggle for self-determination sets them starkly apart from their neighbors.

    After WWII, the Dutch, who colonized West Papua, began making preparations for its liberation, while Indonesia continued to lay claim to the territory. In 1961, Papuans raised their flag – The Morning Star – sang their national anthem and declared their independence. Soon after, Indonesia invaded, supported and armed by the Soviet Union. Fearing the spread of communism and with mining interests in West Papua, the U.S. intervened, and along with the UN, brokered the New York Agreement, giving interim control of West Papua (under UN supervision) to Indonesia in 1963, until a referendum could take place granting West Papuans a vote for either integration into Indonesia or self-determination.

    Over the next several years, before the vote, it’s estimated that 30,000 West Papuans were killed by Indonesian military, in a brutal silencing of dissent and suppression of liberationist ideals. In 1969, the vote – ironically called “The Act Of Free Choice” was fraudulent, the outcome controlled. Just one percent of the population was selected to vote, and those chosen were intimidated by security forces, resulting in a unanimous vote for West Papua to be ruled by Indonesia. A man claiming to be part of the one percent who voted describes the scenario in a documentary, his face obscured, saying that a gun was held to his head, as he was given the ultimatum – vote for Indonesia or be killed.

    Since then, mass atrocities have been carried out by Indonesian security forces and human rights abuses continue to this day. West Papua is the most heavily militarized region of Indonesia, with an estimated 45,000 troops presently deployed, and an extra 650 soldiers to patrol near the PNG border from February.

    Paul Barber, coordinator of TAPOL, which works to promote human rights, peace and democracy in Indonesia, told The Diplomat that members of the military have committed horrific human rights violations in West Papua over the last fifty years, and have enjoyed complete impunity. A recent example occurred in June 2012, when security forces stationed in Wamena (in the Central Highlands), ran amok, bayoneting civilians and burning houses and vehicles.

    ‘’Violations often occur in remote areas, including the border area, and many go unreported. Troops tend to be unwelcome and underpaid, and their arrival usually precedes military business rackets, illegal logging, and human rights violations, including sexual violence against women and girls.’’

    Barber said that political activists and human rights defenders are frequently branded as separatists and traitors and that the Indonesian Government continues to “isolate, silence and stigmatize its critics” as a means of denying the political nature of the problem.

    The Security Approach: Silencing Voices of Dissent

    The liberation movement comprises both violent and non-violent groups.

    Militant group OPM, (which Kogoya was involved in), leads a low-level insurgency, and have attacked military, police and occasionally civilian targets over the years. A 2002 Amnesty International report found that counterinsurgency operations by Indonesian security forces have resulted in: “gross human rights violations, including extrajudicial executions, enforced disappearances, torture and arbitrary detentions.”

    Given the omnipresent suspicion that all West Papuans are separatists, or support separatist movements, the response of Indonesian troops has often been the same whether groups use peaceful tools, like demonstrations, or guerilla tactics. In other words, West Papuans need not be armed fighters to be persecuted, arrested, tortured or executed.

    The shocking prevalence of torture by Indonesian security forces was revealed by a recent study, which found on average, one incident of torture has taken place every six weeks for the past half century. Of the 431 documented cases reviewed, just 0.05 percent of those tortured were proven to be members of militias – the vast majority of victims were civilians, most commonly farmers and students.

    The PhD thesis of Dr. Budi Hernawan concludes “that torture has been deployed strategically by the Indonesian state in Papua as a mode of governance…with almost complete impunity.”

    Some are tortured after being arbitrarily detained – TAPOL documented 28 political arrests involving torture in 2012 – while other cases have taken place near villages.

    Take the example of Yawan Wayeni, a tribal leader and former political prisoner, whose killing in 2009 was filmed and leaked online the following year. AHRC reports that Indonesian Police (Brimob) shot Wayeni in the leg, before plunging a bayonet into his belly, spilling out his bowels. He utters the word “independence,” while slowly dying in the jungle, to which a police officer responds, ‘‘You Papuans are so stupid, you are savages.’’ In an interview with Aljazeera the police chief dealing with the case, Imam Setiawan, said that his men did not violate Wayeni’s human rights and had to stop him from talking about independence and tell him, ‘’You will never get your independence. We are the unified state of Indonesia. Don’t ever dream of your freedom.’’

    This is not the only torture video to be leaked.

    In October 2010, a video of Indonesian military personnel torturing two West Papuan men, who human rights group describe as simple farmers, surfaced online. They are accused of having information about weapons caches. One man, Tunaliwor Kiwo, is kicked in the face and chest, his genitals seared with a burning stick. The other, Telangga Gire, is threatened with a knife, the blade pushed against his throat and dragged across his face. Kiwo later recounts in a recorded testimony, that he escaped on the third day of the ordeal, and describes how he was also suffocated with plastic bags, had his toes crushed with pliers, and chillies smeared in his burns and cuts.

    In January 2011, three soldiers involved in the abuse were sentenced to terms of eight to 10 months for “not following orders.” Despite Indonesia ratifying the UN Convention Against Torture in 1999, the military criminal code does not recognize torture as a punishable crime. In a speech to military and police forces just days before the sentences were handed out, President Susilo Bambang Yudhoyono dismissed the case as a “minor incident” and claimed that “no gross violations” of human rights have happened since he took office in 2004.

    It’s true, he was not in power when the Biak Massacre took place in 1998, in which scores of peaceful demonstrators allegedly shot at, tortured, raped and mutilated, survivors loaded onto navy ships and dumped at sea to drown, their bodies later washing up on shore. Crimes against humanity, for which, according to the findings of a citizens’ tribunal held in Sydney last month, none of the perpetrators have been held accountable.

    And it’s correct that Yudhoyono was not leader in 2003 when, Amnesty International reports, nine civilians were killed, 38 tortured and 15 arbitrarily arrested during a series of police raids in Wamena, which displaced thousands of villagers, dozens later dying from hunger and exhaustion.

    But he was certainly in power in October 2011, when security forces were filmed opening fire at an independence rally, reportedly killing six protestors.

    And in June 2012, when political leader, Mako Tabuni “was gunned down by police in broad daylight” in a killing that allegedly involved Densus 88 (aka Detachment 88) – a counter-terrorism unit funded and trained by Australia and the U.S. following the Bali bombings. Tabuni was deputy chairperson of the National Committee for West Papua (KNPB), a non-violent organization, campaigning for a referendum.

    A TAPOL report notes that of 20 people charged under the treason law (Article 106) in 2012, their alleged activities ranged from carrying documents associated with KNPB, or guerrilla group OPM, to organizing a celebration of the UN Day of the World’s Indigenous Peoples, to raising the Morning Star flag, to suspected involvement in the National Liberation Army (TPN).

    Paul Barber, Coordinator of TAPOL, commented that, ‘’The security approach is still in full swing.’’

    “Protests should be welcomed as a sign of a flourishing if noisy democracy, but security forces feel threatened and crack down. This approach is trapping Papua in a futile cycle of repression and fear.”

    According to figures by Papuans Behind Bars, the number of political arrests in November last year rose by 165 percent from the same period in 2012. A November report puts the total number of arrests in 2013 (up to that time) at 537 and the number of political prisoners at 71. Filep Karma is one of these prisoners of conscience, serving a 15-year sentence for raising the Morning Star flag.

    Former head of Densus 88, Tito Karnavian, was appointed as Papua Chief of Police in late 2012 – a move that corresponded with a sharp increase in the number of political arrests and a spike in reports of abuse and torture among detainees.

    Barber explains that activists and peaceful protestors are routinely subjected to surveillance, threats, harassment and beatings, and are sometimes killed or disappeared. “Speaking out against injustice in Papua is extremely risky. At best you may lose your dignity, at worst you will lose your liberty, your mind or even your life.”

    Foreign journalists and international non-government organizations are barred from accessing West Papua. In recent years, the International Committee of the Red Cross has been expelled and Peace Brigades International forced to close its offices, when restrictions made carrying out work impossible. Human Rights Watch and Amnesty International are also routinely denied visas. Fortunately, the spread of mobile phones is making it harder for human rights abuses to go unnoticed.

    Economic “Development”: Entrenching Poverty

    WikiLeaks released cables in 2010, revealing that U.S. diplomats blame the Indonesian Government for “chronic underdevelopment” in West Papua, and believe that human rights abuses and rampant corruption are fuelling unrest. Still, military ties between the two countries were renewed.

    The cables also confirmed that U.S.-based mining company Freeport-McMoRan, which owns the word’s largest gold-copper mining venture – called Grasberg – in Papua province, has paid millions of dollars to members of the Indonesian security forces to help “protect” its operations.

    Concessions for this company were granted by Indonesia in 1967, two years before the dubious independence vote. Declassified U.S. policy documents divulge its support for Indonesian rule – this arrangement meant the U.S. could carry out its plans to carve up Papua’s rich natural resources. The then-national security adviser, Henry Kissinger wrote to President Richard Nixon just prior to the vote, that a referendum on independence “would be meaningless among the Stone Age cultures of New Guinea.” Kissinger later became a board member of Freeport. He is described in a 1997 CorpWatch article as being the “company’s main lobbyist for dealings with Indonesia.”

    Freeport is Indonesia’s biggest taxpayer, reportedly channeling $9.3 billion to Jakarta between 1992 and 2009. And yet, Papua, where Freeport’s Grasberg mine is located, is the poorest province in Indonesia, with one of the “most alarming food insecurity and malnutrition rates.” About 30 percent of the population lives in poverty, compared to 13 percent in East Java and the infant mortality rate in West Papua is at least twice the national average.

    Survival International’s Asia Campaigner Sophie Grig told The Diplomat: ‘’The mine has caused environmental devastation by discharging waste directly into the local river, on which the local Kamoro tribe depends for drinking water, fishing and washing, and Indonesia employs soldiers to protect the area resulting in reports of grave human rights violations such as torture, rape and killings of Papuans.’’

    She notes that the HIV/AIDS rate in Papua province is up to 20 times higher than the rest of the country.

    Years of Indonesia’s transmigration policies have resulted in non-ethnic Papuans forming 50 percent of West Papua’s population. With development and urban influences comes a change to the traditional way of life, the influx of workers and security personnel, for example, resulting in the emergence of karaoke bars and prostitution. In 2011, the Papua AIDS Prevention Commission revealed that the area with the highest increase of cases and overall infection rate was Mimika district, which is home to the Grasberg mine.

    The latest “development” project, the Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE), is already showing signs of entrenching poverty in the region.

    August 2010 marked the launch of the mega MIFEE project, which Yudhoyono announced would “Feed Indonesia, then feed the World.” The venture earmarks 1.28 million hectares in southern Papua for crops such as: timber, palm oil, rice, corn, soya bean and sugar cane. Indonesia produces roughly half of global supply of palm oil and plantation expansions in other parts of the archipelago have been linked to rapid rates of deforestation and land conflicts. A report by the Asian Human Right’s Commission exposes MIFEE as being part of a “global land-grabbing phenomenon,” which strings together powerful state and private actors in a dubious chain of collusion. The report notes that specific to MIFEE is “the military-business-political framework and the climate of political intimidation and oppression present in West Papua.” The report highlights that key players in MIFEE are all politically connected, raising serious questions about the blurring of political, security and corporate interests. The Comexindo Group, for example, is owned by Hashim Djojohadikusumo, the brother of Prabowo Subianto, the ex-special forces general and son-in-law of former President Suharto.

    Customary land tenures are being wiped out without the free, prior and informed consent of local villagers. Compensation given to communities that are duped into handing over their land is beyond inadequate; lured by empty promises of greater prosperity or intimidated by a company’s security personnel – indigenous people are left hungry and with deep regret. According to Awas MIFEE, a network of activists monitoring the mega project, the average rate of compensation to an affected community is about $30 per hectare, a “pitiful” amount considering the many generations a forest can sustain.

    MIFEE is touted as a source of jobs for impoverished Papuans but numerous accounts contest this. Indigenous Papuans lack the knowledge and experience to gain meaningful employment in these plantations and are given menial jobs that pay below a living wage, while lucrative positions go to migrants. A massive influx of workers is expected. Government predictions, reported by The Jakarta Globe, suggest the population of Merauke could rise from about 175,000 to 800,000 as a result of the project, making Papuans the ethnic minority in their ancestral lands.

    Papuans are traditionally hunter-gatherers, living on staples of sago starch and wild meat, foraging for tropical fruit, and cultivating plots of sweet potato and other plants in small gardens. Since chunks of forest in Zanegi were cleared to make way for acacia and eucalyptus plantations, the resulting timber destined for power stations in Korea, the villagers are having a harder time finding food. A local nurse, interviewed in the documentary Our Land is Gone, points to the rise in cases of infants suffering chronic malnutrition — from one a year in the past up to a dozen since the forest was destroyed. In the first half of 2013, five infants reportedly died of malnutrition. Pollution from fertilizers and wood-chipping has also caused a surge in cases of bronchitis and asthma. A man interviewed in the documentary laments that the company, a subsidiary of Medco Group, broke its promise to leave a buffer of 1500 meters around sacred sites and cleared sago groves and destroyed birds of paradise habitat. Another villager said, ‘’We thought they had come here to develop our village but in reality they are crushing us, to put it bluntly, they are stomping on us.’’

    Two UN experts have warned that moves to convert 1-2 million hectares of rainforest and small-scale farming plots to export-led crop and agro-fuel plantations in Merauke could affect the food security of 50,000 people.

    Survival International’s Grig said, ‘‘It is ironic that a project designed to ensure food security is robbing self-sufficient tribal people of their land and livelihoods – which have sustained them for many generations. The same human rights problems that have plagued the communities around the Grasberg mine are now beginning to emerge in the MIFEE area too. It is an emerging humanitarian and environmental crisis.’’

    The struggle continues

    The West Papuan struggle for self-determination is unwavering despite half a century of Indonesian security forces brutally muzzling independence sentiments.

    ETAN, a group which advocated for the independence of East Timor from Indonesian rule, astutely wrote that by branding all Papuans as enemies of the state every time they try to exercise their right to freedom of expression, and by continuing to commit gross human rights abuses, the resolve of the Papuan people to be liberated will grow stronger – Indonesia’s fears will become a self-fulfilling prophecy.

    This month, the Free West Papua Campaign (FWPC) opened an office in Port Moresby, Papua New Guinea, where the Mayor raised the Morning Star Flag alongside the PNG national flag in a show of solidarity. FWPC wrote on social media: ‘‘Indonesia can draw as many lines on the map as it likes, but it can never separate the spirit of the people of New Guinea. We are one people, one soul, one Kumul [bird of paradise] Island.’’

    Gemima Harvey (@Gemima_Harvey) is a freelance journalist and photographer.

  • JE Habibie: RMS dan OPM Sudah Habis

    Jakarta, RMOL. Duta Besar Indonesia Untuk Kerajaan Belanda, Junus Effendi Habibie mengatakan, hubungan bilateral dengan pemerintah Belanda berjalan cukup baik.

    Ada tiga bidang yang menjadi tolok ukur, yaitu bidang politik, ekonomi, dan sosial budaya. Dalam hal hubungan bilateral Indonesia-Belanda, di bidang politik bisa dikatakan berjalan lancar, karena Belanda selalu mendukung Indonesia di berbagai forum.

    “Di forum-forum internasional kita deal saling bantu. Kita lobby diplomat Belanda untuk saling membantu. You bantu kita, kita Bantu you. Timbal baliklah Misalnya untuk kerjasama internasional mengenai human rights dan lain-lainnya, Belanda selalu berada di pihak kita,” kata Dubes Junus Effendi Habibie dalam Kuliah Umum “Generasi Muda Merespons Perkembangan Politik Luar Negeri Republik Indonesia” di depan mahasiswa Universitas Esa Unggul Jakarta, Rabu siang (28/7).

    Menurut Fanny Habibie, demikian panggilan akrab adik kandung mantan Presiden BJ Habibie ini, Belanda memang bersahabat, senantiasa berada di pihak Indonesia. Hubungan kedua negara semakin mesra setelah Menlu Belanda Bernard Rudolf Bot mengakui kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 sesuai dengan proklamasi kemerdekaan Indonesia.

    Selama hampir 65 tahun Belanda tidak bersedia mengakui kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Belanda menganggap kemerdekaan Indonesia baru terjadi pada 27 Desember 1949. Nah, pada 17 Agustus 2005 yang lalu Bot menghadiri Upacara Kenegaraan Peringatan Hari Ulang Tahun ke-60 Kemerdekaan RI di Istana Negara, Jakarta .

    Diplomat kelahiran Pare-pare, Sulawesi Selatan, itu mengakui masalah bidang politik adalah masalah RMS (Republik Maluku Selatan) dan OPM (Organisasi Papua Merdeka). Dari 15.000 populasi orang Maluku yang ada di Belanda kini sudah mencapai sekitar 40 ribu orang, tetapi tidak semua orang Maluku itu adalah RMS.

    “Sekarang kita telah berhasil menetralisir mereka. Ketika saya masuk (menjabat Dubes Indonesia untuk Belanda), saya membawa tim kesenian Indonesia dari Universitas Pattimura, dan ternyata bisa menetralisir mereka. Sejak saya di sana , demonstrasi setiap ulang tahun RMS itu sudah tidak ada lagi,” katanya yang disambut tepuk tangan mahasiswa.

    Menurut Dubes Belanda, gerakan mereka kini terpecah menjadi tiga kelompok, yakni kelompok yang pro Indonesia , netral dan menentang. Kelompok yang pro kita pertahankan, sementara kelompok yang netral, sebagian kita tarik menjadi pro Indonesia .

    “Sehingga untuk pertama kalinya seorang Dubes Indonesia diundang dalam perayaan Natal oleh RMS. Ketika saya datang, saya lihat mereka memasang bendera RMS, kemudian saya minta mereka untuk menurunkan bendera tersebut, dan mereka bersedia menurunkannya. Sewaktu diminta untuk memberikan sambutan, saya ngomong bak pendeta yang khotbah tentang Yesus Kristus. Inilah hikmahnya saya pernah sekolah (SMP) Kristen dulu. Sudah barang tentu saya uraikan tentang Pancasila dan segala macam tentang NKRI, sehingga mereka mengerti,” kata pria yang fasih berbahasa Belanda ini.

    Dikatakan, ruang gerak RMS maupun OPM praktis sudah habis. Apalagi mereka tidak memperoleh dukungan parlemen Belanda. Presiden RMS dalam pengasingan mengakui cita-cita RMS itu sudah pupus dan menginginkan untuk berunding dengan Indonesia .

    “Saya katakan kepadanya, anda siapa? Kalau dalam kapasitas sebagai pemimpin RMS, sejak tahun 1950 RMS itu sudah habis, jadi sudah tidak ada. Kalau mau melakukan kerjasama dan sebagainya boleh saja, anda boleh datang ke KBRI tetapi sebagai orang Indonesia. Jadi dalam hal RMS dan OPM ini kita harus tegas, dimana saya melakukan diplomasi budaya. Karena mereka berbicara tentang culture, kampung halaman, orang tua dan sebagainya, dan kebetulan saya fasih berbahasa Maluku jadi mereka merasa bahwa Dubes Indonesia ini adalah orang mereka hahaha,” kata Fanny Habibie tergelak.

    Lebih lanjut soal OPM, lanjut Fanny Habibie yang tampak masih enerjik itu, upaya pimpinan OPM selama ini tidak berhasil. Mereka menyadarinya itu sehingga pemimpinnya yang sudah sepuh (tua) meminta berbicara dengan Dubes RI .

    “Ya saya undang mereka dan kita hormati sebagai orang tua, dan mereka mengatakan bahwa dirinya sebagai orang Papua, seorang nasionalis dan beragama Nasrani yang memperjuangkan kemerdekaan Papua. Dan saya katakan bahwa saya Dubes RI, seorang nasionalis dan seorang Muslim, dan saya ingin Papua itu sebagai salah satu keluarga saya, dalam satu rumah yang kita angkat sama-sama, NKRI,” katanya.

    Dalam pembicaraan saat itu Fanny Habibie menggunakan diplomasi pantun, dan disampaikan bahwa keadaan Papua sekarang ini banyak kemajuan dibandingkan setengah abad lalu. Setelah dia melihat sendiri, kemudian dengan yakin dia, yang notabene adalah sebagai founding father OPM, menyerahkan paspornya dan meminta menjadi Warga Negara Indonesia .

    Menurut Dubes Belanda, melalui pendekatan secara emosional, cultural, dan bahkan diplomasi pantun, kita telah berhasil membawa dia kembali ke Indonesia , ini secara politik. Demikian juga dengan RMS, dia mendatangkan tim kesenian dari Unpati (Universitas Patimura, Ambon ) dan juga para pejabat asal Maluku, sehingga mereka kaget bahwa bangsanya juga ada yang menjadi pejabat.

    “Kita tahu bahwa ekspor Indonesia ke Belanda dibanding dengan impor kita dari Belanda, kita surplus sekitar 2,7 miliar dolar AS. Komoditi ekspor kita contohnya adalah minyak kelapa sawit, dimana sebagian besar minyak kelapa sawit yang ada di Rotterdam itu berasal dari Indonesia . Kemudian coklat, furnitur dan garmen,” katanya. [ald]

  • Pendiri: OPM Sebenarnya Kata Mati

    VIVAnews – Organisasi Papua Merdeka (OPM) selama ini mendapat label separatis. Kelompok ini juga dituding di balik beberapa aksi kekerasan di Papua.

    Salah satu pendiri OPM, Nicholas Jouwe mengatakan saat ini apa yang diperjuangkan OPM saat ini bukanlah aspirasi rakyat Papua. Jouwe sendiri menilai OPM tidak memiliki arti apa-apa di Papua dan hanya dibesarkan pihak tertentu.

    Hal ini dikatakan Jouwe usai menemui Wakil Presiden Boediono di Istana Wapres, Jakarta 25 Januari 2010. “Kata OPM sebenarnya kata mati yang tidak punya arti apa-apa. Tapi itu selalu digembar-gemborkan,” kata dia.

    Kebanyakan masyarakat Papua pendukung OPM, kata Jouwe, juga tidak mengerti maksud perjuangannya. Ini dikarenakan minimnya pendidikan dan kurangnya pengetahuan mereka.

    “Orang Papua sama sekali tidak tahu apa-apa,” ucap Jouwe yang juga menggagas bendera Bintang Kejora.

    Selain minimnya pendidikan, Jouwe bahkan menganggap masyarakat Papua menjadi mudah terprovokasi OPM karena sogokan uang.

    “Ini karena kebodohan, tidak tahu artinya diucapkan. Apalagi disogok dengan uang sedikit, Rp 100 ribu, dia berkoar di sana sini tentang OPM,” ujar Jouwe yang 47 tahun menetap di Belanda untuk memperjuangkan Papua Merdeka.

    Jouwe menemui Wapres Boediono untuk meminta percepatan proses pengajuan dirinya sebagai Warga Negara Indonesia. Boediono, menurut Jouwe, juga berjanji akan mempercepat dan memprioritaskan permintaan Jouwe.

    Jouwe mengaku terkesan atas suasana yang menyenangkan saat bertemu Wapres Boediono. Selanjutnya, Jouwe berjanji akan mengabdikan dirinya untuk membangun Papua.

    “Saya sudah lama tunggu itu. Saya mau bantu bangsa saya di Papua, mendatangkan masa depan yang baik, yang penuh damai dan cinta kasih,” tuturnya.

  • Pesan dari Panglima Tertinggi TRPB: OPM tetap Ada dan Berkarya!

    Mendengar banyak orang Papua mengisyukan OPM sudah tidak ada dan tidak bergigi lagi, maka Panglima TRPB, Gen. TRPB Mathias Wenda menyerukan kepada setiap insan orang Papua yang berhatinurani untuk merdeka dan berdaulat di Luar NKRI agar berbenah diri dan terus siap-siaga, karena Tentara Revolusi Papua Barat sekarang ini tidak bekerja secara sporadis dan tidak profesional seperti sediakala.

    Angkatan bersenjata untuk Papua Merdeka kini telah memantapkan diri dan bekerja sesuai petunjuk dan garis kerja bersama Organisasi Papua Merdeka. Oleh karena itu, untuk sepuluh tahun terakhir TRPB tidak melakukan kegiatan apa-apa berdasarkan kesepakatan dan arahan bersama.

    Kalau seandainya saja terjadi apa-apa, maka jangan pernah orang Papua-Indonesia menganggap bahwa OPM sudah mati. OPM tidak akan pernah mati sampai satu orang Papua-pun masih hidup.

    MERDEKA HARGA MATI!

    Per “SMS” ke SPMNews

  • Drama “Penyerahan diri Anggota OPM” oleh NKRI: Tanggapan Resmi dari Mabes Pudat Pertahanan TRPB

    Secara resmi, Tentara Revolusi Papua Barat (TRPB) bermarkas Pusat di Rimba Papua menanggapi berbagai kisah dan drama dengan babak-babak yang kelihatannya menurut Leut Gen TRPB Amunggut Tabi sebagai sesuatu yang patut dalam rangka mengikuti petunjuk dan kebijakan baru TRPB dan OPM dalam membangun strategi perjuangan Papua Merdeka.

    Surat berdujul: TRPB Memahami dan Memang Perlu karena  Kekuatan Perjuangan Papua Merdeka sudah sejak dua tahun lalu Merubah Strategi bertanda-tangan Leut Gen TRPB Amunggut Tabi: TRPB menyatakan “Memahami dan Memang Perlu agar Kekuatan Perjuangan Papua Merdeka Merubah Strategi.” Selanjutnya dinyatakan,

    “Bergabung ke dalam Masyarakat dan Membangun Kekuatan dari Dalam Kampung-Kampung, Bukan di Hutan Rimba Lagi. Ini sebuah gerabrakan yang perlu diikuti agar tidak semua orang dengan sembarang mengakui diri sebagai anggota OPM, dan akibatnya tanggapan TNI/Polri yang brutal dan barbarian, yang menyebabkan penderitaan rakyat. Mereka tidak bergabung ke dalam NKRI, tetapi bergabung ke sanak-keluarga dan, mereka tidak pergi ke Bumi Ibu Pertiwi, tetapi tetap di Bumi Cenderawasih.”

    Surat dimaksud selanjutnya menyarankan agar tidak melebih-lebihkan atau merasa kuatir tentang masa depan perjuangan Papua Merdeka mendengar pemberitaan Cenderawasih Pos milik TNI itu tentang anggota OPM menggabungkan diri ke dalam NKRI. Yang terjadi justru lebih baik supaya masyarakat dan membangun kekuatan dari dalam diri, jiwa dan raga bangsa Papua dengan cara memberikan contoh teladan dalam membantu dan membangun masyarakatnya sendiri.

    “Dengan demikian pasukan TRPB dan politisi OPM semakin profesional dalam kiprahnya.” Yang jelas, secara resmi, organ perjuangan Papua Merdeka sayap militer adalah TRPB sementara sayap politik adalah OPM, sehingga barangsiapa masih menggunakan nama OPM seolah-olah itu kekuatan bersenjata, maka pihak-pihak itu KELIRU BESAR, tidak ada dalam gerak langkah sejarah yang ada di Tanah Papua.

    Demikian sambungan surat tadi.

    Dalam surat dimaksud juga disebutkan banyak cerita tentang riwayat para orang Papua yang menyerahkan senjata berburu yang menjadi alat berburu biasa di PNG, yang diserahkan ke Aburizal Bakrie.

    Perlu dicermati juga, menurut surat ini, bahwa elit politik seperti Bupati dan Ketua DPRD juga memainkan perannya dalam rangka menyuguhi NKRI dengan hidangan-hidangan lezat, apalagi saat berkunjung ke pedalaman Papua Barat. Walaupun tidak mau teralu ke dalam, surat ini berkata, “Biar NKRI juga sejak dulu menipu bangsa Papua, jadi sekal-kali orang Papua tipu Indonesia juga tidak masalah, malahan wajar.” Apalagi, katanya, “selama ini Indonesia menipu rakyat Papua, tetapi orang Papua bisa main sandiwara dengan Menteri dan Presiden NKRI, itu berarti kan orang bisa tahu ‘Siapa pemain sinetron yang lebih handal?’

    Kemudian, menyangkut judul Film Sinetron NKRI itu, surat ini berkata, “Judul Sinetronnya dan pemain sandiwara itu orang-orangnya sama dari sebelum kami lahir sampai kini sudah berusia senja. Apa NKRI tidak punya pemain sinetron dan sutradara lain? Miskin kali?” Tetapi, katanya, “Sering juga lagu lama kalau diputar juga menjadi lagu nostalgia yang indah, barangkali itu yang sedang dinikmati NKRI.”

    Dalam surat ini juga diserukan kepada seluruh pejuang dan masyarakat Papua di Tanah Papua dan di perantauan agar terus berjuang, berjuang dan berjuang, sampai titik darah penghabisan, sampai NKRI kehabisan uang Otsus, sampai Otsus mendanai Papua Merdeka benar-benar terbukti.

    Merdeka Harga Mati!!!

  • 3 Bendera OPM Dikibarkan Demonstran di Manokwari

    JAYAPURA – Sejumlah mahasiswa dan pemuda menggelar aksi demonstrasi serempak di dua lokasi yakni Jayapura, Provinsi Papua dan Manokwari, Provinsi Papua Barat, Senin (3/3/2008).

    Kedua aksi demo di dua lokasi terpisah menuntut dicabutnya UU No 21 Tahun 2001, perihal pemberian otonomi khusus (otsus) bagi Papua serta menuntut digelarnya referendum bagi Papua.

    Dalam aksi demo itu, aparat Polres Jayapura menahan dua pendemo yang menggelar aksi unjuk rasa di depan Kampus Universitas Cenderawasih. Sedangkan di Manokwari, polisi menangkap seorang pendemo beserta menyita tiga bendera Bintang Kejora, yang merupakan lambang Organisasi Papua Merdeka (OPM).

    Puluhan mahasiswa dan pemuda Papua yang menggelar unjuk rasa tersebut mengatasnamakan Front Nasional Mahasiswa dan Pemuda Papua.

    Namun, saat para pendemo melintas di depan Jalan Abepura, persis di depan Kantor Pos Jayapura, sejumlah polisi telah bersiaga guna menghadang dan membubarkan aksi longmarch para pendemo tersebut.

    Akhirnya, para pengunjuk rasa balik ke arah kampus Uncen. Dan di depan pintu masuk kampus, para pendemo menggelar aksi unjuk rasa seraya membentangkan spanduk. Aparat Polres Jayapura segera membubarkan kerumuman massa yang mengakibatkan ruas jalan di Padang Bulan, Abepura, mengalami kemacetan.

    Sementara itu, aksi unjuk rasa serupa digelar di Kota Manokwari, Provinsi Papua Barat, puluhan orang menggelar aksi demo. Dalam aksi demo itu, para pengunjuk rasa membawa spanduk dan berteriak menuntut kemerdekaan bagi Papua.

    Sejak Senin pagi, aparat Polres Manokwari yang bersiaga penuh. Saat berlangsung orasi seraya membentangkan bendera, aparat kepolisian segera membubarkan kerumuman massa. Petugas pun berhasil menahan seorang pendemo dan berhasil menyita tiga bendera Bintang Kejora.

    “Kami masih meminta keterangan dari pendemo yang berhasil kami tangkap,” tegas Kapolres Manokwari AKBP Yakobus Marzuki.

    Yakobus menegaskan, sebelumnya, Polres Manokwari tidak memberikan izin berdemontrasi yang diminta oleh sekelompok massa mengatasnamakan kelompok West Papua Nation Outority (WPNA) tersebut.

    “Para pendemo terpaksa diambil langkah tegas karena tidak menaati aturan hukum yang berlaku, yakni melanggar aturan hukum UU No 9 Tahun 1998 tentang penyampaian pendapat di depan umum,” tegasnya.

    Secara terpisah, Kapolres Jayapura AKBP Robert Djoenso kepada wartawan, Senin sore, di ruang kerjanya, menegaskan hingga saat ini pihaknya telah menahan dua pendemo yang menggelar aksi unjuk rasa di depan kampus Uncen.

    “Kedua pendemo ini kami tangkap karena membentangkan spanduk yang di dalamnya terdapat gambar bendera Bintang Kejora. Mereka hingga saat ini masih dimintai keterangan oleh aparat di Mapolres Jayapura,” tegas Robert. (FM Toruan/Sindo/jri)

Are you sure want to unlock this post?
Unlock left : 0
Are you sure want to cancel subscription?