Tag: OPM

  • Let. Gen. Amunggut Tabi: Penghalang Utama dan Pertama Papua Merdeka ialah Ego Aktivis Papua Merdeka

    Dari Markas Pusat Pertahanan (MPP) Tentara Revolusi West Papua (TRWP). Lieutenant-General Amunggut Tabi menjawab pertanyaan Papua Merdeka News (PMNews) terkait pesan singkat yang disampaikan ke redaksi PMNews beberapa waktu lalu terkait ULMWP, pejuang Papua Merrdeka, dan tokoh ULMWP.

    PMNews menanyakan “Mengapa Gen. Wenda fokus kepada ego dan mematikan ego dalam kaitannya dengan Papua Merdeka daam beberapa pesan singkat baru-baru ini?”. General Tabi menjawab,

    “Stop bicara Papua Merdeka kalau ego Anda masih hidup! Bilang saja saya berjuang untuk ego saya sebagai orang Papua, bukan untuk kepentingan bersama! Ego itu racun! Ego masalah utama dan pertama dalam perjuangan Papua Merdeka!”

    Berikut petikan wawancara

    PMNews: Selamat pagi!

    TRWP: Selamat pagi, salam kompak, salam hormat.

    PMNews: Kami mau informasi tambahan, kalau ada, terkait dengan minimal dua artikel terakhir tentang “mengalahkan ego” dalam kaitannya dengna perjuangan Papua Merdeka.

    TRWP: Kami sudah jelas dalam bahasa Indonesia sederhana sudah katakan, “ego” atau dalam bahasa Lani disebut “an-an” adalah masalah pertama yang harus kita “salibkan” dan “kalahkan” kalau kita benar-benar mau Papua Merdeka.

    Soalnya proyek Papua Merdeka ini sudah menjadi judul yang bagus bagi banyak pihak untuk mendatangkan keuntungan ekonomi bagi mereka.

    Ingat, orang Papua, orang Melanesia, orang Bule, orang Melay banyak yang dapat keuntungan ekonomi dari proyek Papua Merdeka.Bagi beebrapa pihak ini proyek yang mendatangkan banyak uang.

    Makanya TRWP sudah keluarkan ultimatum yang jelas.

    PMNews: Minta maaf, ultimatum apa?

    TRWP: Ultimatum supaya pejuang Papua Merdeka “membunuh, dan mematikan ego” pribadi para aktivis Papua Merdeka, terutama anggota ULMWP.

    PMNews: Kami terus langsung, maksudnya ego dari Oktovianus Motte, Benny Wenda, Tanggahma, Yeimo dan lainnya?

    Dari Markas Pusat Pertahanan (MPP) Tentara Revolusi West Papua (TRWP). Lieutenant-General Amunggut Tabi menjawab pertanyaan Papua Merdeka News (PMNews) terkait pesan singkat yang disampaikan ke redaksi PMNews beberapa waktu lalu terkait ULMWP, pejuang Papua Merrdeka, dan tokoh ULMWP.

    PMNews menanyakan “Mengapa Gen. Wenda fokus kepada ego dan mematikan ego dalam kaitannya dengan Papua Merdeka”. General Tabi menjawab,

    “Stop bicara Papua Merdeka kalau ego Anda masih besar! Ego itu racun! Ego masalah utama dan pertama dalam perjuangan Papua Merdeka!”

    Berikut petikan wawancara

    PMNews: Selamat pagi!

    TRWP: Selamat pagi, salam kompak, salam hormat.

    PMNews: Kami mau informasi tambahan, kalau ada, terkait dengan minimal dua artikel terakhir tentang “mengalahkan ego” dalam kaitannya dengna perjuangan Papua Merdeka.

    TRWP: Kami sudah jelas dalam bahasa Indonesia sederhana sudah katakan, “ego” atau dalam bahasa Lani disebut “an-an” adalah masalah pertama yang harus kita “salibkan” dan “kalahkan” kalau kita benar-benar mau Papua Merdeka.

    Soalnya proyek Papua Merdeka ini sudah menjadi judul yang bagus bagi banyak pihak untuk mendatangkan keuntungan ekonomi bagi mereka.

    Ingat, orang Papua, orang Melanesia, orang Bule, orang Melayu banyak yang dapat keuntungan ekonomi dari proyek Papua Merdeka. Mengapa? Karena kita orang Papua sendiri bukannya bergumul dengan isu Papua Merdeka, tetapi sibuk dengan melayani ego dan pentingan pribadi sehingga orang lain dengan mudahnya memanfaatkan itu untuk kepentingan pribadi mereka.

    Semua, semua, semua. Termasuk Anda dan saya, termasuk semua. Tetapi khusus untuk tahun 2015 – 2020 ini pertama-tama adalah ego dari Oktovianus Motte harus disalibkan, dan kedua ego dari Benny Wenda juga harus disalibkan. Kalau dua ego ini dimatikan, maka ULMWP pasti akan menjadi alat untuk isu bersama, isu Papua Merdeka, bukan sebagai media menunjukkan “ego” masing-masing oknum.

    Sampai hari ini tanggal 18 September 2017, ego dua orang ini belum mati, masih hidup, dan masih aktiv. Kalau begini, cara terbaik untuk bangsa Papua ialah “Mereka mundur dari ULMWP”P, karena ULMWP tidak hadir untuk “ego” tetapi hadir untuk isu dan case Papua Merdeka.

    PMNews. Mohon jelaskan lagi.

    TRWP: Jelaskan apa lagi? Sudah jelas, kalau masih punya ego tinggi, mundur! Kepentinga bangsa Papua lebih penting daripada ego pribadi. Ego pribadi tidak ada gunantnya. Sejarah perjuangan bangsa Papua mengajar kita dengan pasti, semua pemimpin orang Papua yang punya ego lah yang matikan perjuangan, merusak perjuangani ini. Ego pribadi siapapun, sayapun, Anda-pun, Ego Individu Harus dimatikan. Kita harus menyerah kepada kepentingan “Papua Merdeka”, bukan saya, bukan aku, bukan saya punya suku, bukan saya punya kelompok. Ini harus dihapus. Sekarang bicara HANYA atas nama ULMWP, bukan kelompok lain, bukan nama lain. Itu maksudnya.

    PMNews: Apakah pembentukan ULMWP itu sendiri sebuah tanda bahwa ego para pemimpin sudah dimatikan?

    TRWP: Bukan. Itu bukan tanda ego pribadi dimatikan. Itu hanya tana ego kelompok dikonsolidasikan. Dan perlu dicatat, perjuangan Papua Merdeka ini masalahnya bukan di organisasi, bukan di militer, bukan di tua-tua adat. Kesalahan terbesar dan terutama ada di para diplomat dan politisi Papua Merdeka.

    PMNews: TRWP sudah sepanjang tahun 2017 bicara banyak mengkritik ULMWP tetapi selama ini tidak pernah ada prebaikan dilakukan oleh ULMWP. Apa tujuan terus-menerus melakukan ini, padahal terlihat tidak sukses?

    TRWP: Ingat, Anda PMNews itu media pemberita “Kebenaran”, bukan kebenaran saya, kami, bukan kebenaran mereka, atau Anda, tetapi “Kebenaran” itu sendiri dari dirinya sendiri. Artinya apa? Siapa saja yang salah, itu adik, kakak, tante, om, sesama kampung harus ditegur, harus dimarahi. Agama Kristen punya kita Amsal Solaiman mengatakan apa? Lebih baik teguran yang terbuka daripada kita mengasihi tetapi secara tersembunyi,

    “Lebih baik teguran yang nyata-nyata dari pada kasih yang tersembunyi.”

    https://www.bible.com/id/bible/306/PRO.27.5.tb

    Jadi kami harus mengatakan kebearan itu tanpa kompromi. TRWP ada untuk Papua Merdeka, bukan untuk memelihara dan membesarkan ego-ego individu orang Papua. Kita punya aspirasi bersama, cita-cita bersama, perjuangan berasma, oleh karena itu ego pribadi wajib dan harus dimatikan.

    Kami tidak akan berhenti-hentinya berbicara untuk kepentingan bersama bangsa Papua. Individu siapapun yang menjadi penghalang perjuangan ini, tanah leluhur, moyang, darah para pejuang yang sudah gugur di medan pertempuran, di rimba raya, dan keringat air mata pejuang di hutan dan semua orang Papua di manapun kita berada telah menjadi berkat di satu sisi dan menjadi kutuk di sisi lain. Mereka yang memelihara ego pribadinya, akan merugikan perjuangan ini, dan mereka sendiri tidak akan mencapai cita-cita perjuangan ini. Mereka akan mati bersama ego mereka.

    Ingat ini bukan bahasa manusia, ini bahasa “monggar”, artinya bahasa dari makhluk non-manusia, yang juga punya hak asasi yang sama untuk hidup di Tanah Papua, dan juga berjuang untuk kemerdekaan West Papua dari pendudukan dan penjajahan NKRI.

    PMnews: Sudah banyak nasehat dan teguran disampaikan. Apakah para tokoh politik dan diplomat Papua Merdeka akan mendengar atau tidak, kami berdoa semoga mereka mendengarkan dan menuruti permintaan-permintaan ini.

    Terimkasih untuk sekarang cukup sekian dulu.

    TRWP: Kami juga sampaikan terimakasih. Banyak media di Tanah Papua sudah dimasukki oleh agen-agen Cyber Crime NKRI, jauh sebelum itu juga mereka sudah aktif, jadi dengan kehadiran PMNews ini sejak tahu 1998, kami harap terus berkarja sampai Papua Merdeka dan berdaulat di luar NKRI.

  • Gen. TRWP Mathias Wenda: Berduka Cita atas Meninggalnya Penggagas Bendera Bintang Kejora Nicolaas Jouwe

    Dari Markas Pusat Pertahanan (MPP) Tenrtara Revolusi West Papua (TRWP), General TRWP Mathias Wenda dengan ini menyatakan

    BERDUKA CITA SEDALAM-DALAMNYA

    atas wafatnya tokoh penggagas Bendera Bintang Kejora dan penggagas Negara Republik West Papua, Nicolaas Jouwe pada tanggal 16 September 2017

    Segenap perwira, pasukan dan rakyat bangsa Papua, yang berjuang untuk kemerdekaan West Papua di seluruh Tanah Papua, dari Sorong sampai Samarai, dari kepulauan Misol sampai ke kepulauan Fiji menyampaikan

    Salam Hormat dan Salut

     

     

     

     

     

    atas semua yang telah dilakukan Alm. Nicolaas Jouwe selama ini.

    Dengan menundukkan kepala, dengan mengangkat hati sampai ke Tuhan Pencipta Kita, kami segenap pejuang Papua Merdeka berdoa kepada Tuhan, agar perjuangan ini mecapai cita-cita terakhir, sebagaimana yang telah almarhum sampaikan kepada Lt. Gen. Amunggut Tabi pada tanggal 1-10 Mei 2000, menjelang Kongres Rakyat Papua 2000.

    Gen. TRWP Mathias Wenda dengan ini menghimbau kepada semua pejuang Papua Merdeka, mari kita jauhkan diri dari sikap dan mentalitas pecah-belah, saling melapor, saling mencurigai, saling menceritakan.

    Biarkan para mantan pejuang Papua Merdeka seperti Fransalbert Joku, Nick Messet, dan lain-lain berada di Indonesia, karena mereka telah menyelesaikan tugas perjuangan Papua Merdeka. Jangan benci mereka, jangan jauhi mereka, jangan memaki-maki atau menolak mereka.

    Biarkan orang-orang pro NKRI seperti Lukas Enembe, Pater Neles Tebay, Ramses Ohee dan lain-lain untuk hidup di tanah leluhur mereka dengan tenang. Jangan membenci mereka, jangan memusuhi mereka.

    Di dalam setiap hati mereka, mereka menangis, di kamar pribadi mereka, mereka berdoa kepada Tuhan, di dalam lubuk hati mereka, mereka tahu mereka bukan orang Indonesia.

     

  • Nicholas Jouwe, Tokoh Fenomenal Papua Tutup Usia

    Jakarta, PAPUANEWS.ID – Nicholas Jouwe, seorang tokoh Papua yang sempat menjadi sorotan meninggal dunia pada Sabtu (16/9) sekitar Pkl. 03.15 WIB di rumah Duka Jl. Kedondong 16 Komp. Kalibata, Jakarta Selatan.

    Sebagian besar pihak keluarga Nikholas Jouwe menginginkan jenazah dimakamkan di Jayapura (tempat kelahirannya).

    Mantan tokoh pro-kemerdekaan papua ini meninggal di usia 94 tahun. Nicholas Jouwe lahir pada 24 November 1923 di Jayapura.

    Nama Nicholas Jouwe tidak bisa dilepaskan dari sejarah pergerakan papua merdeka. Ia adalah tokoh pendiri Organisasi Papua Merdeka (OPM). Nicholas Jouwe oleh Belanda pernah diperintahkan untuk membuat Bendera Kebangsaan Bintang Kejora.

    Sejak tahun 1960 -2008, ia tinggal di Belanda dan selama itu dimanfaatkan oleh elemen Separatis di luar negeri untuk minta Kemerdekaan Papua ke PBB. Nicholas Jouwe dibawa oleh penjajah Belanda dan dijanjikan akan diberikan Kemerdekaan namun tak kunjung terealisasi.

    Setelah beberapa puluh tahun menetap di Belanda, Nicholas Jouwe merasa hanya menjadi kambing hitam dan memutuskan untuk kembali ke Indonesia serta menghabiskan sisa hidupnya di tanah air.

    Baca juga :   Pemprov Akan Pecat ASN yang Kedapatan Mabuk

    Sekilas Perjalanan Hidup Nicholas Jouwe

    Nicolaas Jouwe adalah pemimpin Papua yang terpilih sebagai wakil presiden dari Dewan Nugini yang mengatur koloni Belanda, Nugini Belanda. Sementara itu yang bertindak sebagai presiden dari Dewan Nugini adalah seorang pegawai negeri Belanda, Frits Sollewijn Gelpke.

    Jouwe adalah politisi Papua yang mendapat jabatan tertinggi di koloni tersebut. Setelah koloni tersebut diserahkan ke UNTEA pada Oktober 1962 dan enam bulan kemudian diserahkan ke Indonesia, Jouwe meninggalkan Papua dan pergi ke Belanda, disana ia menetap di kota Delft. Dia bersumpah tidak akan pernah kembali ke tanah kelahirannya jika masih diduduki oleh Indonesia, namun pada tahun 2010 ia kembali ke Papua Barat dan kembali menjadi WNI. Pada saat itu Jouwe berubah dari seorang yang pro-kemerdekaan Papua menjadi pro-Indonesia.

    Alasannya kepulangan Jouwe ke Indonesia secara lengkap terdapat dalam sebuah buku karya Nicolaas Jouwe bertajuk: Kembali ke Indonesia: Langkah, Pemikiran dan Keinginan.

    Melalui penuturan Jouwe lewat buku ini, terungkap serangkaian fakta-fakta yang membuktikan adanya konspirasi internasional di balik gagasan menginternasionalisasikan Papua sebagai langkah awal menuju Papua Merdeka, lepas dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

    Buku ini memulai dengan satu pernyataan menarik dari Jouwe, sebagai bentuk rasa bersalah sekaligus pertobatan atas langkah yang diambilnya kala itu.

    “Saya pribadi menilai pelarian saya ke Belanda merupakan pilihan yang patut disesali. Namun kini, saya menyadari bahwa Papua merupakan bagian dari NKRI,” begitu tukas Jouwe.

    Pada bulan Oktober 2008, sebuah film dokumenter ditayangkan di televisi Belanda berisi tentang kehidupan Jouwe. Dalam film dokumenter itu, Jouwe menegaskan sikapnya untuk tidak kembali ke Papua Barat yang diduduki Indonesia. Namun pada bulan Januari 2009, ia diundang oleh pemerintah Indonesia untuk mengunjungi tanah leluhurnya. Jouwe merespon positif, dan ia akhirnya mengunjungi Papua dan Indonesia pada Maret 2009. Tentang kunjungannya itu, sebuah film dokumenter lanjutan dibuat oleh sutradara yang sama. (dw)

  • Sandiwara Papua Merdeka: Di Kamar Tamu Bicara Papua Merdeka, Di Kamar Tidur Bicara I Love You Indonesia

    Banyak tokoh Papua Merdeka yang sepanjang sejarah perjuangan kemerdekaan West Papua menunjukkan pelajaran hidup bagi kita generasi yang masih hidup dan berjuang untuk kedaulatan negara West Papua. Ada pelajaran hidup yang membantu kita untuk terus berjuang, ada pula contoh yang patut kita hindari. Dua hal yang perlu kita jadikan pelajaran hidup. Yang pertama, pelajaran yang baik kita ambil pertama dari pejuang Senior Andy Ayamiseba dan Rex Rumakiek, dua tokoh OPM (Organisasi Papua Merdeka) yang sejak muda sampai dengan hari ini, konsisten memperjuangkan Papua Merdeka, dan bukan itu saja, menolak segala macam tawaran NKRI yang bertujuan melemahkan perjuangan bangsa Papua.

    Sebagai pemimpin Black Brothers, pengaruh grup musik legendaris ini sangat besar dan luas, begitu dahsyat dalam memperjuangan aspirasi kemerdekaan West Papua. Sampai hari ini, Black Brothers masih diterima secara terbuka, di semua tingkatan di seluruh Melanesia. Coba lihat di Facebook.com dan di Youtube.com dan ketik Black Brothers, Anda akan temukan para pendukung dan yang meng-upload lagu-lagu Black Borthers ialah orang-orang Indonesia, bukan orang Papua, bukan orang Melanesia.

    Artinya Black Brothers masih punya peluang besar untuk diterima oleh rakyat Indonesia, melupakan apa yang pernah dilakukannya selama ini.

    Rex Rumakiek ialah seorang pejuang Papua Merdeka yang sepanjang hidupnya keluar-masuk, memperjuangkan Papua Merdeka. Ia menetap di Suva, Fiji, di mana pengaruh Indonesia sangat kental dan sangat kuat. Godaan untuk beristerikan perempuan Asia ataupun perempuan Indonesia di Fiji sangat besar. Ia juga sudah pernah ditawari menggunakan “politik Jawa”, lewat perempuan dan rayuan gombal. Tetapi Rex Rumakiek adalah pemain kelas dunia dlaam politik.

    Baik Andy Ayamiseba maupun Rex Rumakiek tidak pernah mengelaurkan pernyataan-pertanyaan keapda dunia, tidak pernah menayampaikan tuduhan kepada Indonesia, atau apapun. Yang mereka lakukan ialah membangun jaringan, persahabatan, dan persaudaraan, memperkenalkan diri dan menyampaikan keluhan dan perjuangan bangsa Papua. Mereka bukan propagandists, tetapi mereka lobbyist ulung bangsa Papua.

    Rex Rumakiek berbasis di Suva dan Ayamiseba di Port Vila, keduanya sebagai Senir OPM, merendahkan diri dan mendorong adik-adik mereka memperjuangan Papua Merdeka dengan jernih dan tulus. Tidak bersandirawa, tidak bermain-main, tidak bersilat kata, tidak dengan niat lain di dalam diri pribadi. tidak mendorong egoisme pribadi dan kelompok dan suku, tetapi memperjuangan Papua Merdeka secara murni.

    Contoh yang lain ialah Gen. TRWP Mathias Wenda, yang sejak kecil sampai dengan usia tua, masih tetap konsisten berjuang untuk Papua Merdeka. Banyak tawaran NKRI telah ia tolak, banyak sumbangan NKRI dalam bentuk beras, supermie, kopi, uang, ataupun sumbangan senjata ial tolak. Banyak agen-agen NKRI orang Papua yang datang kepadanya ia tolak.

    Gen. Wenda menolak dialgoue, menolag Jaringan Damai Papua, menolak PDP yang bersilat kata, menolak para panglima-nya sendiri yang berkomunikasi dengan pihak NKRI. Gen. Wenda konsisten sejak masih muda sampai dengan hari ini. Beliau selalu berkata dalam kata sambutannya,

    Rumus awet muda dan umur panjang yang pertama ialah jangan punya niat jahat dan jangan tipu-tipu. Karena upah menipu mati. Orang tua kalau punya niat jahat biasanya niat itu tidak disimpan dua malam, dalam sehari saja harus dikeluarkan: dilakukan atau harus mengaku. Kalau tidak, nyawamu sendiri terancam.

    Mudah-mudahan dari tiga contoh ini, generasi muda Papua berpolitik yang benar, berjuang yang benar, berdasarkan prinsip dan nilai-nilai hidup dan perjuangan bangsa Papua, bukan dengan meng-copy-paste ide dan nilai hidup bangsa lain, bukan dengan mengikuti ideologi bangsa lain. Kematian sebuah bangsa terjadi pertama-tama karena meng-copy ide-ide dan cara kerja orang lain yang tidak punya akar kuat di dalam diri, jiwa dan tanah leluhur kita sendiri.

  • Politik Papua Merdeka Penuh dengan Kanibalisme: Lahirkan Organisasi Sendiri, lalu Bunuh dan Makan Sendiri

    Selama ini para pejaung Papua Merdeka yang berkeliling di luar negeri selalu mendapatkan pertanyaan seperti ini, “Do you still eat flesh?” Masih makan manusia ya? Dan pertanyaan ini sering membuat orang Papua tersinggung besar dan sering dijawab dengan berbagai macam jawaban yang emosional.

    Kanibalisme dalam perjuangan Papua Merdeka yang justru lebih nyata dan dapat disaksikan pada hari ini daripada kanibalisme seperti yang pada umumnya dipertanyakan masyarakat modern di luar sana. Seharusnya para pejuang Papua Merdeka menjawab,

    “Ya, benar, kami ini, para pejuang Papua Merdeka ini-lah para kanibal itu, karena kami sudah terbiasa, dan menjadi budaya kami, melahirkan organisasi untuk politik Papua Merdeka, lalu kami juga yang biasanya berulang-ulang memakan habis organisasi yang kami lahirkan sendiri.”

    Kita mulai dari Organisasi Pembebasan Papua Merdeka (OPPM) di Mnukwar, PEMKA/TEPENAL dan TPN/OPM, FORERI (Forum Rekonsiliasi Rakyat Irian Jaya), Dewan Adat Papua (DAP), Lembaga Adat Papua (LMA), Dewan Musyawarah Masyarakat Adat Koteka (DeMMAK), Presidium Dewn Papua (PDP), West Papua Liberation Organisation (WPLO), West Papua National Authority (WPNA), Republik Papua Barat, Republik Melanesia Raya, Negara Republik Federal Papua Barat, WPRRO (West Papuan Peoples’ Representative Office), WPNCL (Wet Papua National Coalition for Liberation), WPRA (Wet Papua Revolutionary Army), AMP (Aliansi Mahasiswa Papua), Front PEPERA, TPN – PB, ULMWP (United Liberation Movement for West Papua)

    Silahkan saja Anda sendiri urutkan dari nama-nama organisasi yang Anda ketahui, dan rumuskan sejak kapan organisasi dimaksud didirikan dan sejak kapan organisasi yang sama sudah tidak bergerak lagi. Kita akan kaget mengetahui bahwa semua organisaasi perjuangan Papua Merdeka dengan nama-nama yang di antaranya diserbutkan di sini telah lahir oleh orang Papua dan kemudian telah dimatikan oleh orang Papua juga. Lebih parah lagi, dilahirkan oleh orang Papua pejuang Papua Merdeka dan dibunuh kembali oleh orang Papua pejuang Papua Merdeka.

    Pada saat ini, sejak akhir tahun 2016, dan awal tahun 2017 ini kami emnjadi saksi mata, menyaksikan dan menikmati pada waktu bersamaan, sebuah peristiwa tragis, kanibalisme politik Papua Merdeka terjadi kembali, yaitu dengan kemunculan ULMWP, maka secara otomatis, kata para pendiri dan deklarator ULMWP, maka organisasi lain telah tiada, dan oleh karena itu semua orang West Papua harus tunduk kepada ULMWP.

    Kalau ULMWP bukan lagi organisasi kanibal dalam perjuangan Papua Merdeka, maka pastilah ULMWP akan mengundang semua komponen dan organisasi yang selama ini, yang mendahului memperjuangan Papua Merdeka untuk terlibat di dalam perjuangan ini, baik dalam doa, dalam dana, dalam tenaga ataupun dalam waktu. Kalau tidak, tidak usah heran juga, karena memang orang Papua, terutama pejuang dan organisasi perjaungan Papua Merdeka selama lebih dari setengah abad ini dikenal penuh dengan budaya kanibalisme dalam berpolitik.

  • OPM NKRI dan OPM yang sudah Menjadi ULMWP

    Ada begitu banyak bukti tentang OPM buatan dan piaraan NKRI dibandingkan dengan OPM yang asli, tetapi PMNews hendak menyebutkan tiga dari antara mereka, dalam rangka memperjelas pemahaman kita terhadap berita-berita buatan NKRI lewat Pasukan Cyber Army NKRI dan berita berdasarkan kebenaran mutlak.

    Pertama, OPM selalu disebutkan sebagai Organisasi Bersenjata, bukan organisasi politik. Namanya saja “organisasi”, “Papua”, “merdeka”, tetapi sebuah organiasi selalu saja dianggap dan disebut sebagai sebuah organisasi bersenjata yang bergerilya di hutan-hutan di New Guinea.

    Aneh tapi nyata. Hal-hal aneh tapi nyata menjadi hal yang biasa di Indonesia. Mobil Presiden dibawa lari sama mantan Presiden kan hal biasa. Ketua DPR RI menyebut nama Presiden dalam percakapan dengan perusahaan asing juga sudah dianggap wajar. Bantuan tanpa uang makan dan uang rokok di seluruh Indonesia dianggap “berdosa”. Itukah fakta kehidupan NKRI? Aneh tapi nyata.

    OPM tidak mungkin punya senjata, jangankan bergerilya di hutan. OPM sudah ada di Jayapura kota, sudah ada di Port Moresby kota, ada di Port Vila Kota, ada di London, ada di New York, ada di Honiara, ada di Jakarta. OPM ada duduk di atas kursi, di hadapan meja, bukan memangkul senjata, bukan di hutan dan di kampung-kampung. OPM bukan organisasi saja, tetapi telah menjelma menjadi “nafas” dan “jiwa” dari perjuangan Papua Merdeka.

    Walaupun begitu, apa yang dilakukan NKRI? Masih menyiarkan berita-berita seperti ini:

    1. 154 OPM menyerah….
    2. OPM serahkan senjata
    3. OPM menyatakan perang melawan NKRI
    4. OPM ini dan OPM itu….

    Jadi, kalau ada OPM yang memangkul senjata, maka itu OPM buatan NKRI. Itu rumus baku, itu rumus pasti. Mari kita camkan dan yakini.

    Kedua, Siaran Pers OPM yang menyatakan perang, menyerah dan meminta dialogue pertama-tama disiarkan oleh berita-berita NKRI seperti Kompas, Suara Pembaruan, BeritaSatu, TVOne, MetroTv, Tempo dan Detik.com

    Bagaimana mungkin OPM yang sudah punya media Online jauh sebelum NKRI Cyber Army seperti www.papuapost.com, www.infopapua.org, www.freewestpapua.org, www.ulmwp.org, www.ipwp.org, www.ilwp.org dan sebagainya, dan seterusnya, kok harus menggunakan media NKRI untuk menyatakan perang, untuk menyatakan dukungan kepada ULMWP, untuk menyatakan menyerah kepada NKRI?

    Hanya orang Papua “bermental budak” yang akan menerima pemberitaan seperti ini sebagai kebenaran.

    Ketiga, OPM NKRI akan bebas berkeliaran di kota-kota di seluruh Indonesia, dan melakukan jumpa pers secara bebas di cafe-cafe di mana saja. Mereka akan berbicara keras menentang NKRI, tetapi dengan menggunakan tempat-tempat makan-minum, dan media NKRI. Mereka akan menggugat NKRI, mereka akan menantang NKRI, mereka akan marah kepada NKRI, tetapi lewat media NKRI.

    • Lalu bagaimana dengan OPM yang asli?

    OPM yang asli kini sudah menjadi ULMWP, oleh karena itu, kalau ada OPM masih bergerilya, itu pasti OPM NKRI. ULMWP sebagai inkarnasi dari OPM saat ini menjadi anggota MSG dan meminta NKRI untuk berdialogue secara demokratis dan bermartabat lewat mediasi MSG, tetapi kalau masih ada OPM yang menyatakan perang, masih ada OPM yang menyerah, maka itu OPM-OPM buatan NKRI, yang tabiatnya mengikuti tabiat NKRI yang penuh dengan kekerasan dan teror di semua tingkatan dan lapisan, seperti setiap hari disiarkan dalam televisi-televisi kolonial Malayo-Endos sendiri.

    Pertanyaan sekarang,

    • apakah OPM NKRI dan OPM West Papua sama?
    • Apakah OPM NKRI sebagian adalah OPM asli?
    • Siapa OPM NKRI dan siapa OPM Asli?
  • Sudah Waktunya Papua Merdeka Dikelola secara Profesional, Budaya Aktivisme Papua Merdeka Harus Ditinggalkan

    Dari wawancara sebelumnya menyangkut kiblat MSG-New York dan HAM-Geneva disebutkan oleh TRWP sbb:

    Cuman sekarang kan orang Papua masih bertepuk dada dan bicara semangat, sementara permainan bangsa Papua untuk melepaskan diri dari NKRI tidak dijalankan secara profesional, bukan?

    Pernyataan “tidak dijalankan secara profesional” meng undang Papua Merdeka News (PMNews) menyempatkan diri bertanya ulang lagi lewat percakapan singkat kepada Sekretaris-Jenderal TRWP, Lt. Gen. TRWP Amunggut Tabi. Berikut petikan percakapan dimaksud.

    PMNews: Ada tambahan kata tidak profesional lagi, dalam percakapan sebelumnya. Ini sedikit mengganggu pemikiran PMNews. Apa maksudnya?

    TRWP: Tidak profesional maksudnya sudah banyak kali kami sampaikan, diterbitkan di PMNews juga kan?

    Coba baca tulisan dulu-dulu.

    Orang bikin Yayasan di Kampung saja perlu pakai Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD – ART). Orang Wamena dirikan Koperasi Unit Desa pasti akan susun AD – ART. Itu pasti, karena memang wajib. Tetapi kita menjadi heran, kok perjuangan Papua Merdeka tidak punya aturan main.Kalaupun ada, kita sebagai media perjuangan Papua Merdeka juta tidak tahu. Di media-media lain seperti milik ULMWP,  PNWP, KNPB, NRFPB tidak disiarkan sama sekali.

    Dulu geenerasi pendahulu selama beberapa waktu pernah menggunakan semacam AD OPM, tetapi itu bukan aturan main yang lengkap untuk perjuangan kemerdekaan sebuah bangsa untuk mendirikan Negara-Bangsa. Itu mencantumkan garis-besar arah perjuangan. Dalam kenyataannya Papua Merdeka dijalankan TANPA aturan. Faktanya kita berjuang hanya bermodalkan kehendak kolektiv, keingingan bersama, walaupun bergerak masing-maing, dengan gaya dan program-nya masing-masing, asal nanti ketemu di titik tertentu.

    PMNews: Apakah ini terkait dengan pengesahan Undang-Undang Revolusi West Papua?

    TRWP: Itu salah satunya, bukan satu-satunya.

    PMNews: Salah duanya?

    TRWP: Salah duanya, kalau saja ada aturan main yang sudah ditentukan oleh ULMWP, maka mana itu aturannya? Tidak ada orang yang tahu, bukan?

    Tiba-tiba satu orang Papua menjadi Dubes ULMWP untuk Solomon Islands, tiba-tiba ada Jubir ULMWP untuk Australia, tiba-tiba, dan tiba-tiba. Semua jadi perjuangan yang sulit ditebak dan sulit diukur maju sampai ke mana. Orang Jawa akan bilang kita,

    “Ngawur, kalau tidak tahu berjuang untuk merdeka, jangan coba-coba!”

    PMNews: Salah tiganya?

    TRWP: Salah tiganya jawab sendiri. Kami sudah banyak diwawancarai oleh PMNews, dan sudah banyak menjawab banyak hal.

    PMNews: Walaupun banyak sudah dikatakan, kok tidak pernah ada perubahan?

    TRWP: Sekali lagi, kami tidak punya wewenang untuk mencampuri urusan politik. Itu alasan pertama. Yang kedua, itu tidak berarti kami mebiarkan perjuangan ini menjadi liar dan tidak terkendali, karena Komando Perjuangan Papua Merdeka tetap ada di tangan para Panglima Gerilyawan Papua Merdeka, baik atas nama TRWP ataupun nama-nama kelompok gerilyawan lain.

    PMNews: Kelihatannya TRWP membiarkan kesalahan terjadi, lalu mau ambil alih perjuangan ini?

    TRWP: Oh, itu tidak mungkin. Hanya orang gila bisa berpikiran begitu. Itu cara berpikir orang Melayo-Indos, jangan kita ter-kondisi-kan berpikir seperti mereka. Mari kita berpikir dan berbicara sebagai orang Melanesia. Jangan artinya apa yang tidak dinyatakan sebagai arti implisit dan dimasukkan ke dalam pemahanan sendiri yang justru merugikan perjuangan kita seperti itu.

    Maksud TRWP tidak ada terselubung. Semuanya disampaikan seperti itu, berarti maksudnya juga seperti itu, jangan diartikan lagi. Kalau Melayo-Indos yang mengatakan maka kita masih harus mengartikannya.

    PMNews: Minta maaf, kami tarik kembali pengartian tadi.

    TRWP: Ya, kami berharap dan berdoa, semoga semua orang Papua di dalam ULMWP tidak diracuni oleh pemikiran-pemikiran seperti orang Malayo-Indos. Kami berharap para pimpinan politik Papua Merdeka memahami maksud kami, jeli membaca situasi, dan banyak berdoa dan berpuasa, karena hanya dengan begitu kita akan punya hikmat dan bijaksana, mengetahui apa kehendak Tuhan dan apa permainan dari Iblis lewat NKRI.

    PMNews: Terimakasih banyak. Sekali lagi minta maaf atas salah-salah kata kami. Terimakasih.

    TRWP: Sangat biasa, harus begitu. Terus berkarya, sampai Papua Merdeka, karena Papua Merdeka ialah Harga Hidup Bangsa Papua, bukan harga mati.

  • TRWP TETAP pada Posisi Kiblat MSG – New York bukan HAM – Geneva

    Banyak aktivis Papua Merdeka, banyak tokoh dan elit West Papua, baik di dalam OPM, maupun di dalam ULMWP, di luar negeri dan di dalam negeri, ramai-ramai mengkampanyekan Pelanggaran HAM di Tanah Papua sebagai “nilai jual” untuk menggalang dukungan Masyarakat Internasional, akan tetapi Tentara Revolusi West Papua (TRWP), lewat Sekretaris-Jenderal Lt. Gen. TRWP Amunggut Tabi mengakan,

    TRWP TETAP pada Posisi Kiblat MSG – New York bukan HAM – Geneva

    Pernyataan singkat ini disampaikan lewat pesan singkat yang dikirimkan kepada Papua Merdeka News (PMNews). Kemudian, PMNews menelepon dan berikut hasil percakapan singkat.

    PMNews: Selamat sore.

    TRWP: Selamat Sore. Terkait ditengan SMS tadi pagi?

    PMNews: Ya, betul kami minta penjelasan lanjut. Kalau boleh!

    TRWP: Ya, maksud kami kan sudah jelas, TRWP tetap berpandangan bahwa mengeluhkan tentang pelanggaran HAM di West Papua selama pendudukan NKRI menunjukkan kita ini bangsa tukang mengeluh, dan bangsa budak. Makanya TRWP mau mendidik bangsa Papua, tidak bermental budak. Kita harus merdeka dalam cara kita berpikir, memandang masa depan kita tidak dengan melihat masalah yang ditimbulkan NKRI, tetapi dengan melihat hal-hal yang lebih luas daripada itu.

    PMNews: Apa maksudnya “hal-hal yang lebih luas daripada itu?”

    TRWP: Kami tidak boleh bicara di sini. Ini bersifat strategis, jadi tidak harus ditanyakan seperti itu. Tetapi salah satu hal yang lebih luas adalah pemahaman kita tentang sistem kerja dan organisasi dari Perserikatan Bangsa-Bangsa itu sendiri. Kita harus tahu dan paham, belajar sistem kerja PBB, dan harus bertanya kepada diri sendiri,

    “Kalau saya mau melepaskan diri dari NKRI, berarti saya berjuang menentang salah satu negara-bangsa anggota PBB. Oleh karena itu, apa taktik yang harus saya gunakan? Siapa yang harus berbicara tentang ngapa? Kalau saya berbicara tentang isu A, atau B, atau C, apa dampaknya? Kalau saya bicara isu A, atau B, atau C di tempat 1, atau 2, atau 3, maka dampaknya apa?”

    Itu hal pertama, kemudian hal kedua, program kerja. Semua harus dirumuskan, semua harus dipetakan, semua harus dirancang. Berdasarkan rancangan itu, kita bergerak, dan kita harus menempatkan semua pemain dalam perjuangan Papua Merdeka, sama dengan cara main Persipura.

    Jadi ada pemain belakang, ada pemain tengah, ada penjaga gawang dan ada penyerang.

    Dan yang terpenting dari itu, yang ketiga, ialah kita harus tahu: Gawangnya ada di mana? Jangan sampai kita tendang ke gawang sendiri. Itu bukan pemain lagi, tetapi orang gila.

    PMNews: Bukankah negara-negara MSG yang mengangkat isu HAM di Geneva baru-baru ini?

    TRWP: Itu yang sudah disebutkan tadi. Pemainnya harus diatur, dan harus diketahui di mana letak gawangnya. Yang ketahuan sekarang kan semua jadi penjaga gawang, semua jadi pemain tengah, semua jadi striker. Persipura yang lahir dari belakang, Papua Merdeka yang lahir sejak setengah abad lalu belum juga belajar cara bermain.

    Ah, lebih parah, parah sekali lagi ini. Catat baik: Semua jadi menejer dan pemain sekaligus. Jadi orang yang masuk main mereka juga menejernya, dan mereka juga pelatihnya.

    Bayangkan Persipura kalau tampil seperti itu.

    Di tanah Papua sendiri tentu saja banyak orang akan meneetawakan Persipura.

    Ingat kita bermain di pentas politik global, di tengah bangsa-bangsa lain di muka Bumi. Cuman sekarang kan orang Papua masih bertepuk dada dan bicara semangat, sementara permainan bangsa Papua untuk melepaskan diri dari NKRI tidak dijalankan secara profesional, bukan?

    PMNews: Maksud TRWP ialah bahwa semua pejuang Papua Merdeka seharusnya datang ke New York, bukan ke Geneva, begitu?

    TRWP: Sekarang kami mau tanya: Orang Papua maunya apa: mau selesaikan kasus-kasus HAM, lalu ikut jalur Jaringan Damai Papua (JDP) di bawah komando BIN-LIPI-Neles Tebay dan berdamai dengan NKRI, ataukah ikut cara kerja Timor Leste, tidak bicara soal HAM, tidak tunduk kepada program penyelesaian HAM, tetapi jalur yang tegas dan konsisten, di luar jalur HAM, tetap kepada tuntutan kemerdekaan?

    Apa maksudnya orang pejuang Papua Merdeka lantas tiba-tiba digiring ke Geneva untuk bicara HAM? Kalau mau bicara HAM, ya bicara HAM saja, dan katakan kepada bangsa Papua, bahwa ULMWP adalah organisasi perjuangan HAM, jangan bawa-bawa isu Papua Merdeka ke dalamnya, sehingga orang West Papua dibakar semangatnya. Jangan menipu lagi dengan isu “West Papua sudah masuk ke meja PBB,” padahal kita ada di Geneva, bukan di New York.

    Ini pembodohan politik. Ini cara kerja generasi Papua Merdeka lalu, era Jouwe, Messet, Kaisiepo dan Fransalbert Joku. Era sekarang jangan sama, sekali lagi, jangan putar lagu lama, jangan makan nasib basi.

    PMNews: Apakah TRWP punya jaringan ke ULMWP dan organ pendukungnya untuk menyampaikan usulan ini?

    TRWP: TRWP tidak boleh mencampuri urusan diplomasi dan politik. TRWP cukup bicara di media seperti PMNews dan lainnya. Kita tidak boleh terbiasa militer mencampuri urusan politik, sama seperti budaya negara-bangsa Indonesia. Kita harus mulai dengan memisahkan urusan militer dari urusan politik. Kalau-pun kami punya hubungan langsung kepada orang-orang ULMWP, kami tidak punya budaya “mengusulkan / menyarankan”. Budaya kami adalah “memerintahkan/ komando”, jadi dunianya sudah berbeda.

    PMNews: Kalau begitu, kami berdoa, kiranya orang-orang ULMWP akan membaca hasil wawancara ini, dan akan memikirkan untuk strategi ke depan.

    TRWP: Ya, kami hanya berharap dan berdoa. Tuhan bersama kita!

    PMNews: Ya, Tuhan memberkati kita. Selamat sore.

    TRWP: Selamat sore! Selamat berjuang! Papua Merdeka Harga Hidup Bangsa Papua!

  • Bapak Angkat Saya Anggota Organisasi Papua Merdeka

    Sore itu, hari ke lima saya tinggal seorang diri di rumah guru, dan hari kedua penyakit malaria menyerang tubuh. Sebelumnya saya sudah memelihara plasmodium vivax penyebab penyakit malaria tertiana sejak 2008. Di Papua, plasmodium yang bersemayam dalam tubuh bertambah, kali ini plasmodium falciparum yang membawa penyakit malaria bernama malaria tropicana.

    Demam menyerang, kedinginan, tubuh menggigil. Saya menyelimuti seluruh tubuh. Tak berapa lama kondisi berubah. Panas terasa di sekujur tubuh, keringat kian deras bercucuran. Perut yang mual sebabkan saya memuntahkan isi perut berkali-kali. Segala yang masuk ke tubuh melalui mulut, kembali keluar dari mulut. Untuk sekadar air putih pun begitu. Betapa tersiksanya saya saat itu. Kalian yang merasa penderitaannya sudah sampai puncak hingga pada tahap mengenaskan karena status jomblo dan tak kunjung mendapat pasangan, hingga kemudian remuk redam dihantam kenangan, sebaiknya cobalah merasakan betapa menderitanya diserang malaria. Niscaya kalian akan sadar, bahwa penderitaan kalian belum ada seupil-upilnya penderitaan karena malaria.

    Obat malaria yang saya bawa dari Jakarta sama sekali tak berguna. Demam terus berlanjut, kadang dingin kemudian panas. Muntah-muntah tak kunjung usai hingga cairan kuning yang terasa asam di lidah dimuntahkan lambung menuju tenggorokan dan berceceran di lantai usai dikeluarkan mulut. Biadab.

    Saat akhirnya semua itu sedikit mereda jelang hari gelap, pintu rumah diketuk. Saya berjalan tertatih, memaksa diri untuk membukakan pintu. Bagaimanapun juga, sebagai manusia yang menjunjung adab ketimuran, saya harus menghormati tamu. Membukakan pintu untuknya dan menyilakan tamu saya masuk.

    Pintu saya buka, dua orang tamu yang datang mengejutkan saya. Bertubuh gempal dengan otot menyembul di lengan, dada, paha dan kaki. Wajah mereka dipenuhi jenggot yang lebat. Berkoteka dan membawa noken yang mereka bebankan di kepalanya, sementara tangan kiri mereka menjinjing anak panah dan busurnya. Sekilas saya melihat tak ada perbedaan mencolok di antara keduanya. Saya merasa mereka adalah dua orang yang kembar.

    “Selamat sore, Bapak. Mari masuk.” Ujar saya sesaat setelah keterkejutan saya reda. Tanpa berkata-kata, mereka berdua segera masuk. Tanpa dipersilakan duduk, mereka berdua juga segera duduk, mencari lokasi yang nyaman bagi masing-masing di antara mereka.

    “Bapak mau minum apa? Tapi ambil dan buat sendiri ya, saya sedang tidak enak badan.” Sembari menunjuk dapur saya melanjutkan, “Di situ dapurnya, Bapak.”

    “Ah, tidak usah. torang sebentar saja ke sini. Mau tanya-tanya sedikit.” Ujar salah seorang di antara mereka.

    Melihat penampilan mereka, saya yakin mereka bukan penduduk asli dan bukan berasal dari suku yang sama dengan suku tempat saya tinggal. Karena Suku Asmat tidak mengenakan koteka. Orang-orang Asmat juga tidak terbiasa memanjangkan jenggot mereka. Kedua orang ini baru turun gunung. Mereka berasal dari suku yang ada di pegunungan, entah Nduga, atau Dani atau yang lainnya.

    “Kamu dari mana? Bikin apa kamu di sini?” Pertanyaan ini ditujukan kepada saya. Rasa takut kembali menjalar di sekujur tubuh. Bulu roma saya terasa berdiri, mungkin karena demam, tapi saya rasa lebih karena rasa takut yang kian menjadi.

    Mata saya terus mengawasi anah panah dan busur yang mereka bawa. Dalam keadaan takut, lemah, dan menahan rasa sakit sekaligus kantuk, saya menjawab pertanyaan mereka. Memberikan penjelasan dengan rinci tentang asal usul saya dan alasan keberadaan saya di rumah itu. Mereka mendengarkan dengan seksama.

    “Baik sudah, kami jalan dulu. Ko jangan macam-macam ya di sini. Jangan bikin macam-macam, jangan ajar anak-anak macam-macam. Dan, jangan sekali-kali kasih naik itu merah putih.” Sembari mengatakan ini, salah seorang di antara mereka mengeluarkan benda seukuran telapak tangan bergambar bendera Bintang Kejora.

    “Baik, bapak. Saya hanya ajar baca, tulis, hitung saja di sini. Tidak aneh-aneh.” Saya kembali membukakan pintu karena kedua orang tamu saya hendak pulang. “Silakan besok bapak datang ke sekolah. Lihat langsung kami belajar apa saja di sekolah.” ucap saya sesaat setelah mereka berdua berada di ambang pintu.

    Keesokan harinya, saat saya dan murid-murid belajar di sekolah, kedua orang itu benar-benar memenuhi undangan saya. Mereka berdua memperhatikan kegiatan kami dari dekat namun tidak mengganggu kegiatan belajar kami. Salah seorang murid mengenal mereka berdua. Ia menyapa kemudian berbincang menggunakan bahasa ibu mereka. Tak seorang pun di antara murid yang mengerti perbincangan mereka, apalagi saya. Murid yang berbincang dengan kedua orang itu memang pendatang, ia berasal dari daerah bernama Kenyam, Ibukota Kabupaten Nduga yang dihuni mayoritas suku Nduga.

    Usai percakapan dengan salah seorang murid, kedua orang itu masih tinggal di sekolah. Mereka menunggu hingga kegiatan belajar selesai dan kami membubarkan diri. Sesaat setelah murid-murid bubar, mereka berdua bergegas mendatangi saya dengan senyum merekah di wajah mereka. Menyalami saya, memeluk saya, kemudian berkata, “Mulai sekarang Pak Guru jadi anak kami. Kamu orang kami angkat jadi anak sudah.” Lalu mereka pamit. Saya bingung, bertanya kepada diri sendiri, “Ada apa ini sebenarnya?”

    Setelah kejadian tersebut, tiap kali mereka turun gunung, atau teman atau saudara mereka turun gunung, mereka selalu menyempatkan diri singgah di rumah tempat saya tinggal. Membawakan bermacam sayur-mayur, ubi, ketela, petatas, buah-buahan, dan bermacam bahan makanan lainnya. Kadang mereka singgah untuk waktu yang cukup lama, namun lebih sering sekadar singgah untuk mengantarkan bahan makanan kemudian bergegas pergi.

    Mendapat perlakuan semacam ini, tentu saja saya senang. Bahan makanan jelas bertambah, setidaknya menambah variasi supaya tidak melulu nasi putih dengan ikan asin, atau sagu dengan ikan asin. Sumber vitamin dan mineral dari sayur-mayur juga terpenuhi.

    Perihal diangkat menjadi anak oleh dua orang yang jelas-jelas pejuang kemerdekaan Papua, saya merasa ini adalah pengalaman menarik dan berharga. Diangkat sebagai anak oleh mereka yang berjuang demi hak-hak dan kebenaran yang mereka yakini, berjuang demi kebebasan dan kemerdekaan yang mereka percaya akan mengubah hidup mereka menjadi lebih baik, adalah kesempatan yang berharga lagi langka. Lebih dari itu, saya bangga. Ya, bangga.

    Terlepas dari pro-kontra isu kemerdekaan Papua, jargon-jargon NKRI harga mati, atau perpecahan yang terjadi di antara mereka yang menuntut kemerdekaan Papua, sejujurnya, saya harus menghormati mereka, bapak-bapak angkat saya dan semua orang yang berjuang menyuarakan kemerdekaan Papua, keadilan yang seharusnya diterima.

    Bukankah lumrah mereka menuntut hak-haknya dipenuhi, menuntut untuk bisa menentukan nasib mereka sendiri setelah puluhan tahun pelanggaran HAM mereka alami, sumber daya alam mereka dirampas bahkan untuk sekadar ampas tak bisa benar-benar mereka dapat.

    Jika terus menerus seperti ini, siapapun manusianya, apapun agama yang dianutnya, dari manapun mereka berasal, sudah semestinya muak akan ketidakadilan yang terjadi di Papua, dan memaklumi tuntutan kemerdekaan yang disuarakan. Benar begitu kan, Kakak? Ah, Itu sudah!

  • Seluruh Pendemo Referendum Papua Ditangkap

    Kamis, 01/12/2016 13:08, Reporter: Raja Eben Lumbanrau, CNN Indonesia
    Seluruh Pendemo Referendum Papua Ditangkap
    Seluruh peserta demo dari Aliansi Mahasiswa Papua dan Front Rakyat Indonesia Untuk West Papua ditangkap dan diproses di Polda Metro Jaya. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)

    Jakarta, CNN Indonesia — Seluruh peserta demo yang berasal dari Aliansi Mahasiswa Papua dan Front Rakyat Indonesia Untuk West Papua ditangkap oleh polisi.

    Tim kuasa hukum Aliansi Mahasiswa Papua dan Free West Papua, Veronika Koman mengatakan, pedemo sekarang berada di Polda Metro Jaya.

    “Semua massa peserta demo, sekitar 150 orang ditangkap. Diangkut ke Metro,” kata aktivis Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta itu saat dihubungi CNNIndonesia.com, Kamis (1/12).

    Veronika menambahkan saat ini pedemo sedang menjalani pemeriksaan, berupa pendataan, mungkin dibuat berita acara pemeriksaan (BAP).

    Penangkapan itu, menurut Veronika, merupakan bentuk pembungkaman terhadap kebebasan berekspresi.

    “Kami sedang mendampingi, kami akan berusaha semaksimal mungkin dilepas semua,” katanya.

    Sejak pagi tadi, massa FRI berkumpul di Lembaga Bantuan Hukum Jakarta dan melanjutkan aksi longmarch ke Bunderan HI. Ketika massa tiba di lampu merah Imam Bonjol yang berjarak sekitar 50 meter dari Bunderan HI terjadi gesekan.

    FRI merupakan organisasi yang terdiri dari sejumlah kelompok masyarakat Partai Pembebasan Rakyat, Pusat Perjuangan Rakyat Indonesia, PEMBEBASAN, Serikat Kebudayaan Masyarakat Indonesia, Lingkar Studi Sosialis, dan Perkumpulan Solidaritas Net.

    Rencananya, selain mendukung referendum Papua, massa FRI mendukung keanggotaan United Liberation Movement fof West Papua (ULMWP) di Melanesia Spearhead Group, Pacific Island Forum dan memperjuangkan keanggotaan ULMWP di Perserikatan Bangsa-bangsa.

    FRI juga mendesak militer ditarik dari Papua agar referendum berjalan damai, adil dan tanpa tekanan. Hal ini juga supaya masyarakat Papua mendapatkan kebebasan informasi, ekspresi dan berorganisasi.

    Tanggal 1 Desember selama ini dikenal sebagai Hari Ulang Tahun Organisasi Papua Merdeka (OPM) dan dianggap istimewa bagi sebagian kelompok di Papua karena dinilai sebagai hari kemerdekaan. Setiap tahunnya pada tanggal ini petugas keamanan selalu memperketat pengawasan di Papua lantaran kerap ada pengibaran bendera bintang

Are you sure want to unlock this post?
Unlock left : 0
Are you sure want to cancel subscription?