Tag: opini publik

  • Orang Papua Harus Bersatu Baru Bisa Merdeka

    Para pemateri dan moderator dalam diskusi dan seminar Asosiasi Mahasiswa Pegunungan Tengah Papua se Indonesia(AMPTPI) di ruang pertemuan Asrama Mahasiswa Mimika, Waena Jayapura.(Jubi/dam)

    Jayapura, 22/3 (Jubi)-Saat ini orang Papua masih belum bersatu. Masing-masing mau bikin diri jadi presiden. Padahal, untuk mencapai semua itu mestinya orang Papua harus bersatu dan duduk bersama untuk bicara agar bisa merdeka. Semua masih mau jalan sendiri dan orang Papua saling baku tipu di antara mereka sendiri.

    Hal ini diungkapkan pejuang HAM Mama Yosepha Alomang , saat menjadi narasumber dalam Seminar dan Diskusi Publik

    “Memperjuangkan Keberpihakan Demokrasi bagi Rakyat Bangsa Papua Demi Terciptanya Keadilan dan Perdamaian”

    yang dilaksanakan oleh Asosiasi Mahasiswa Pegunungan Tengah Papua se Indonesia(AMPTPI) di Asrama Mahasiswa Mimika, Sabtu(22/3).

    “Konflik yang terjadi di Timika sebenarnya hanya untuk kepentingan orang lain seperti pemerintah RI, bupati, Freeport dan juga TNI dan Polri. Justru masyarakat yang jadi korban: saudara bunuh saudara dan bapak menantu,,”

    kata Mama Yosepha Alomang.

    Dia menambahkan sebagai orang Amungme, mereka juga punya hukum adat yang sama dengan 10 perintah Allah. Jadi, jangan kira mereka tidak memiliki aturan tersebut.

    “Jadi saya pikir tidak mungkin anak-anak mau membunuh dorang punya bapak mantu atau saudara mereka sendiri,”

    kata penerima penghargaan HAM dan penghargaan Lingkungan Hidup Internasional itu.

    Dia menegaskan kepentingan pihak lain menyebabkan  orang Papua saling membunuh atas nama perang atau konflik.

    “Karena itu saya mengingatkan agar mari kitorang bersatu agar Papua bisa bicara bersama untuk Papua bisa Merdeka,”

    katanya

    Markus Haluk, Sekretaris Jenderal AMPTPI, mengatakan bahwa orang Papua saat ini tipu Papua atau ‘Patipa’ (Papua Tipu Papua), Papua Makan Papua (Pamapa), dan Papua Bunuh Papua (Pabupa).

    ”Karena itu, bagi saya dialog bukan tujuan, referendum bukan tujuan dan merdeka juga bukan tujuan,”

    katanya seraya menegaskan kalau itu semua merupakan jalan menuju kota emas dan itu semua harus dipahami.

    Markus mengatakan, jalan menuju kota emas harus dipahami oleh semua orang Papua sehingga tetap bekerja sesuai dengan kemampuan dan keahlian yang dimilikinya.

    Sementara itu salah satu pembicara lain, Ester Haluk, menegaskan di Papua bukan hanya aparat keamanan saja yang menjadi aktor represi terhadap ruang demokrasi saja tetapi elite Papua di birokrasi juga sangat alergi terhadap protes dan kritik dari masyarakat yang kritis.

    “Mereka berkolaborasi dengan pihak keamanan dalam menangani berbagai bentuk terror,ancaman dan intimidasi,”

    katanya.

    Dia menambahkan pemberangusan hak berdemokrasidi Papua sudah memuncak,dengan pameran kekuatan militer secara full saat mengawal semua proses maupun aksi damai yang biasa dilakukan kelompok-kelompok pro demokrasi di Papua.

    “Salah satu bukti nyata adalah pengerahan pasukan dengan perlengkapan lengkap plus panzer dan baracuda untuk mengawal aksi protes mahasiswa. Mereka juga melolakalisir mahasiswa untuk melakukan aksi hanya di lingkungan kampus saja,”

    katanya.

    Bukan hanya itu saja. Menurut Ester Haluk, izin melakukan aksi damai memprotes kebijakan yang merugikan masyarakat Papua sudah mulai sering tidak diberikan oleh Polda Papua dengan alasan mengganggu ketertiban umum. Celakanya lagi, kata Ester, aksi protes mahasiswa dalam mengkritisi kebiajakan juga dilindas dengan kekuatan militer dengan Memori of Understanding (MoU) antara pihak kampus dengan Polda Papua untuk menahan dan menangkap mahasiswa yang dianggap memotori aksi protes yang dilakukan kaum muda Papua yang juga mahasiswa.

    “Kasus terbaru yang saat ini terjadi adalah terror dan intimidasi terhadap Yusak Reba, akademisi Uncen yang menggunakan kapasitasnya sebagai akademisi untuk berbicara,”

    katanya.

    Dia mengatakan kebijakan-kebijakan negara juga telah dipakai dalam merepresi ruang demokrasi.

    “Banyak kebijakan negara yang cenderung mengutamakan negara dan merugikan masyarakat termasuk orang Papua,”

    katanya

    Ditambahkan pertama UU Tentang Organisasi Masyarakat/Ormas yang ditetap dalam UU No:8 Tahun 1985 yang diperbarui dalam UU No.17 Tahun 2013 meski telah menuai banyak protes tetap disahkan oleh DPR RI dan diberlakukan di seluruh Indonesia.

    “Ini artinya kebebasan berorganisasi dan mengeluarkan pendapat menjadi tabu, jika dilakukan oleh organisasi yang tidak terdaftar di Kesbangpol,”

    katanya.

    Kebijakan kedua lanjut dia adalah penetapan UU Anti Terrorisme lewat UU No 15 Tahun 2003 memberi akses penuh kehadiran militer untuk kembali bermain di ranah publik.

    ”Dalam undang-undang ini laporan inteleijen menjadi dasar kuat untuk penangkapan terhadap aktivis demokrasi yang terlebih dahulu diberi label melakukan kegiatan separatis,”

    katanya.

    Dana-dana dari luar negeri kata dia dengan kebijakan sentralistik dana-dana donor dari lembaga-lembaga di luar negeri ke Indonesia harus melalui kebijakan satu pintu dan juga memberikan akses kepada Badan Intelijen Negara(BIN) untuk memata-matai semua masalah finansial dari lembaga non pemerintah yang fokus mengangkat isu-isu Sipil Politik(Sipol) mau pun Ekosob.(Jubi/dominggus a mampioper)

     on March 23, 2014 at 01:30:09 WP,TJ

  • ‘Selesaikan Masalah HAM atau Papua Keluar dari NKRI’

    Manokwari (SULPA) – Pemerintah RI dinilai mengalihkan perhatian dunia soal pelanggaran HAM dengan hanya mempertemukan delegasi MSG (Melanesian Spearhead Group) dengan gubernur Papua, Lukas Enembe, SIP, MH.

    ‘’Ini disebabkan karena sebagaimana dinyatakan oleh Menteri Luar Marty Natalegawa bahwa persoalan yang mengganggu posisi Indonesia dalam konteks Papua di dunia internasional adalah pelanggaran HAM, terbatasnya akses media asing dan soal lingkungan,’’

    kata Direktur Eksekutif LP3BH Manokwari, Yan Christian Warinussy, SH kepada SULUH PAPUA, Rabu (15/1/2014) di Manokwari, Papua Barat.

    Jauh sebelumnya dalam Universal Periodic Revieuw (UPR) di Dewan HAM PBB (UN Human Rights Council) di Jenewa, Swiss secara tegas menunjukkan sekitar 176 negara di dunia mengemukakan pandangan dan pernyataan tegasnya yang menyoroti pelanggaran HAM di Tanah Papua yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia, baik yang terjadi secara sistematis maupun struktural.

    Disamping itu, laporan dari Komnas HAM Asia (Asian Human Rights Commission) tentang tindakan pemusnahan etnis (genosida) di kawasan Pegunungan Tenga Papua (1977-1978).

    Ia menyebutkan, bahwa Universitas Yale, Amerika Serikat pernah mengeluarkan laporan risetnya yang mendalam tentang terjadinya Genosida di Tanah Papua yang dilakukan oleh TNI dan POLRI.

    ‘’Hal ini sempat terungkap dalam pengakuan dari Mayor Jenderal Purnawirawan Sintong Panjaitan dalam Bukunya,” katanya.

    Dalam buku berjudul “Pejalanan Seorang Prajurit Para Komando” yang ditulis oleh Hendro Subroto, disebutkan pengakuan sang jenderal menyangkut tindakan kekerasan yang dilakukan pasukannya, termasuk dalam upaya memenangkan Tindakan Pilihan Bebas (Act of Free Choice) atau Pepera.

    Secara factual, jika dilakukan secara benar, maka hasilnya adalah 2:3 untuk untuk kemenangan pihak yang menginginkan Irian Barat (Papua) berdiri sendiri.

    Warinussy mengatakan, sorotan terhadap permasalahan Papua juga dikemukakan Prof.Piter J.Drooglever dalam bukunya : “Een Daad Van Vrije Keuze, De Papoea’s van westelijk Nieuw-Guinea en de grenzen van het zelbeschikkingrecht atau Tindakan Pilihan Bebas, Orang Papua dan Penentuan Nasib Sendiri.

    Dalam buku yang telah diterbitkan edisi Bahasa Indonesian diungkapkan mengenai terjadinya berbagai bentuk pelanggaran secara sistematis dan struktural yang dilakukan atas peran dan prakarsa Pemerintah Indonesia di bawah pimpinan mantan Presiden Ir.Soekarno waktu itu untuk mengintegrasikan Tanah Papua menjadi bagian dari Republik Indonesia.

    Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menurut Warinussuy, di dalam hasil penelitian ilmuiahnya yang diberi judul Papua Road Map pada tahun 2009 telah menetapkan adanya 4 (empat) masalah utama di Tanah Papua, yaitu : pertama, marjinalisasi dan efek diskriminatif terhadap Orang Asli Papua. Kedua, kegagalan pembangunan di bidang pendidikan, kesehatan dan pemberdayaan ekonomi rakyat. ketiga, kontradiksi sejarah dan konstruksi identitas politik antara Papua dan Indonesia. Serta keempat, pertanggung-jawaban atas kekerasan negara di masa lalu terhadap Orang Asli Papua.

    “Ujungnya LIPI menyarankan penyelesaian soal-soal tersebut diantaranya melalui Dialog Damai yang kini terus didorong bersama melalui Jaringan Damai Papua (JDP) di bawah Pimpinan Pater Neles Tebay,’’ katanya.

    Sebagai pembela HAM di Tanah Papua,Warinussy juga menilai kunjungan delegasi Menlu MSG yang hanya diwakili Menlu PNG, Solomon Island, Fiji dan Kelompok Perjuangan Etnis Kanaky di Jayapura itu justru terjadi bersamaan dengan terus terjadinya pelanggaran HAM secara sistematis dan strukrural di Tanah Papua.

    Hal itu antara lain dalam bentuk terjadinya penangkapan terhadap sekitar 46 orang aktivis pro Perjuangan Papua yang sedang berorasi dan berdemo damai di halaman Kantor DPR Papua yang langsung ditangkap oleh aparat keamanan dari Polda Papua.

    Juga secara struktural menurut Warinussy,terjadi tindakan memangkas agenda pertemuan para Menlu MSG tersebut dengan perwakilan kelompok-kelompok perjuangan politik yang pro-Papua Merdeka diantaranya dengan perwakilan dari West Papua National Coalition for Liberation (WPNCL) di Jayapura.

    Kondisi ini jelas telah menciderai semangat para Pemimpin MSG dalam Komunikenya pada Juni 2013 lalu di Noumea yang menyatakan keprihatinan dan kekwatiran mereka terhadap situasi pelanggaran HAM sesama etnis Melanesia di Tanah Papua Barat.

    “Berkenaan dengan itu, maka saya ingin mendesak Pemerintah Indonesia untuk secara dewasa, arif dan bijaksana ke depan mau membuka diri untuk menerima kritikan dan memberi ruang demokrasi yang lebih luas bagi Orang Asli Papua untuk menyuarakan aspirasi dan pandangan politiknya yang berbeda berdasarkan hukum dan prinsip-prinsi HAM yang berlaku universal,’’

    tandasnya.

    Pemerintah juga harus bisa menyelesaikan segenap kasus pelanggaran HAM yang telah terjadi sejak Tahun 1963 hingga hari ini dengan menggelar peradilan HAM yang jujur, terbuka dan fair untuk mengadilin dan menjatuhkan hukuman bagi mereka-mereka yang nyata-nyata terindikasi merupakan pelaku-pelaku lapangan maupun pemegang kendali operasi keamanan yang pernah berlangsung di Tanah Papua dahulu.

    “Jika Pemerintah Indonesia tidak segera merubah cara pandangnya atas langkah penyelesaian pelanggaran HAM di Tanah Papua serta usulan penyelesaian melalui Dialog Damai, maka saya sangat yakin bahwa Papua akan keluar karena masalah hak asasi manusia sebagaimana halnya Timor Timur. Jangan lupa bahwa ada seorang penulis orang asli Indonesia sudah memprediksi dalam bukunya terbitan tahun 2011 bahwa jika soal HAM tidak diselesaikan oleh Pemerintah Indonesia, maka Negara ini akan “pecah” pada tahun 2015, atau satu tahun dari sekarang ini,’’

    tambahnya.

    (B/IDH/R3) Thursday, 16-01-2014, SupPa

  • Balada Negeri “Baku Tawar”

    Editorial BintangPAPUA.com

    Isu demi isu terus mengemuka di media, masalah demi masalah terus menumpuk di benak masyarakat awam, seakan – akan negeri ini penuh dengan 1001 macam masalah, lantas kita semua dibuat bertanya – Tanya apa yang dilakukan oleh para petinggi dan penguasa di negeri ini ? Mengapa masih seperti ini ? begitu sulitkah menyelesaikan tumpukan masalah yang menyelimuti negeri ini, tidak di pusat tidak di Papua, tidak di tingkat kabupaten.

    Masalahnya kita ketahui, penyebabnya teridentifikasi, tapi yang kurang adalah kesungguhan dan keseriusan para penguasa untuk menuntaskan masalah tersebut dalam tempo yang sesingkat – singkatnya, kebiasaan menunda – nunda pekerjaan dan masalah masih menjadi budaya bangsa kita.
    Kalau bisa lama kenapa harus dipercepat ?? atau kalau bisa di persulit kenapa harus di pergampang, jadi semua berkelakuan aji mumpun dan terkesan tumpukan masalah itu dibiarkan menjadi sebuah bom waktu yang sewaktu – waktu dapat di ledakkan dan menjadi pemicu bagi upaya – upaya pengelabuan terhadap public atas sebuah kepentingan besar yang harus disembunyikan esensi dan substansinya.

    Di tingkat pusat, jejalan masalah mulai dari kompor gas, century, DPR yang malas, sampai dengan iring – iringan rombongan Presiden yang membuat jalanan tambah macet hanya sebatas wacana, tidak ada kesungguhan dari pemerintah untuk menuntaskannya hingga tuntas … tas … tas.

    Di tingkat Provinsi Papua, persoalan Otsus, Referendum, MRP,Freeport, keamanan di Puncak jaya yang tidak pernah usai,  dan sejumlah kebijakan – kebijakan lainnya masih menjadi satu tumpukan persoalan yang tidak pernah habis – habisnya di perdebatkan, karena tidak ada kesungguhan dan keseriusan dari pemerintah menuntaskannya.

    Di tingkat kabupaten, persoalan pemekaran yang tidak memberikan dampak signifikan, aspirasi pemekaran, masalah pemilukada, dan seabreg masalah lainnya termasuk masalah terror kepada wartawan juga menjadi tumpukan masalah yang belum tertangani.

    Itu semua karena kita terjebak pada rutinitas kehidupan dan keseharian kita, kita terbiasa
    berasumsi bahwa masalah – masalah yang muncul adalah dinamika, sehingga tidak perlu terlalu di risaukan, kita melihat apa yang terjadi di semua tingkatan adalah proses pembelajaran yang tidak perlu terlalu di khawatirkan selama tidak mengganggu kepentingan kita.

    Pandangan – pandangabn picik semacam inilah yang membuat Negeri ini menjadi  negeri 1001 masalah, untuk lepas dari masalah ini tidak ada cara lain selain apa yang di tuliskan Pong Harjatmo di atasp Gedung MPR beberapa waktu lalu, JUJUR, ADIL dan TEGAS.

    Kalau ketiga sikap ini tidak ada pada mental dan cara piker pengelola negeri ini, maka selamanya negeri ini akan menjadi negeri 1001 masalah, jadi tidak ada cara lain, dari sekarang kita harus jujur melihat masalah yang ada dengan merujuk pada ketentuan peraturan (hukum) yang ada, jangan lagi hokum kita belokkan demi kepentingan yang mampu membayar.

    Pengelola negeri harus adil terhadap rakyatnya, bukan adil terhadap kroni dan kepentingan kelompoknya saja, karena rakyat tidak menuntut harus sama banyak dengan yang didapatkan oleh para penguasa dan pejabat, rakyat hanya minta standarisasi kesejahteraan yang relative tidak memberatkan, rakyat tidak minta dilayani dan diperlakukan seperti raja, tapi cukup dengan murahkan harga, mudahkan anak – anak sekolah, sediakan dokter dan obat disaat mereka sakit, dan jangan bodohi dan bohongi mereka.

    Satu hal lagi yang hilang dari mental para penguasa negeri ini adalah KETEGASAN, kita sudah tidak berani tegas kepada anak buah yang melanggar, kita tidak berani menindak bawahan yang berlaku curang apalagi bila bawahan kita itu adalah bagian dari tim sukses kita menduduki kursi kekuasaan kita, karena tidak adanya ketegasan itulah semuanya di buat mengambang, dan penguasa berpikir, biarkan rakyat berkicau, kalau mereka capek, pasti akan berhenti dengan sendiri.

    Demokrasi yang kita kembangkan masih demokrasi tuli, karena semua rakyat di berikan kebebasan seluas – luasnya untuk bersuara tapi tidak ada kemauan dari penguasa untuk mendengarkan dan mewujudkannya dalam tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara. (***)

  • Pemimpin Papua Takut!

    Pemimpin Papua takut mati karena itu para pemimpin Papua sama juga dengan bahasa lain di sebut sebagai orang-orang pengecu! PEMIMPIN PAPUA PENGECUT!

    “Kullu nafsin daaiqotul maut”; Artinya :”Semua yang bernyawa pasti akan mengalami kematian” (Al-Qur’an).

    Kematian adalah sesuatu hal yang misterius bagi siapa saja umat manusia. Karena itu pandangan terhadapnya berbeda-beda bagi semua suku bangsa dunia. Suku Dani Lembah Balim Papua memilik pandangan agak berbeda. Beberapa tahun lalu dan kini mungkin masih ada, manusia mati sekali dan selamanya. Tiada ada kehidupan sesudah kematian. Hidup pasti mati dan kematian selamanya tanpa ada lagi kehidupan sesudah kematian, demikian pandangan Suku Dani Lembah Balim Jayawi Jaya Papua. Hal ini mungkin berbeda sebagaimana pandangan baru dari ajaran agama monoteisme yang dibawa datang orang ke Papua dari ajaran semit (Islam, Kristen dan Yahudi).

    Maka sebagai itu, Bagi Suku Dani Lembah Balim Jayawi jaya Papua, potong telingga, potong jari-jari, sebagai tanda perpisahan dan potongan-potongan itu sebagai “kenang-kenangan”, bagi kerabat terkasih yang pergi selamanya. Potongan jari atau telingga dimaksudkan sebagai “kenang-kenangan atau hadiah” untuk dibawa pergi selamanya sebagai rasa cinta kepada kerabat yang berangakat selamanya, mati, tanpa akan ada alam kebangkitan lagi.

    Rasa rindu mendalam dari yang hidup diberikan kepada orang mati, potongan jari atau telingga, sebagai kenangan dan tanda perpisahan dari orang hidup kepada kerabat meninggal di dalam pandangan Suku Dani Balim Jayawi jaya Papua dengan demikian sangat rasional kalau mengikuti tahapan pemikiran berdasarkan teori sosiolog Ibnu Kholdun. Suku Dani di Lembah Balim Jayawi Jaya Papua dan sekitarnya tidak percaya pada kehidupan sesudah kematian, tapi kamatian adalah perpisahan selamanya tanpa ada kepercayaan bangkit kembali.

    Pandangan Suku Dani Papua ini mirip dengan para filosof abad 19 misalnya Albert Camus. “…Beberapa filsuf yang pesimis terhadap kehidupan, seperti Schoppenhauer dan Dorrow, memandang hidup manusia merupakan ‘lelucon yang mengerikan’. Sebab, bukanlah hidup ini hanyalah ‘antri untuk mati’, berupa deretan panjang peristiwa-peristiwa pribadi dan sosial menuju hal yang amat mengerikan, yaitu kematian?!” (Cak-Nur, 2000, h, 191).

    Oleh sebab itu Albert Camus, seorang filosof atheisme, (a=tidak, Theo=Tuhan, Isme=paham, nama pahlawan Papua Theys=percaya Tuhan, atheisme berarti paham tidak percaya Tuhan), berkebangsaan Prancis yang menganut paham nihilisme karena hidup manusia sesungguhnya tanpa makna atau dengan kata lain hidup manusia tidak ada artinya, singkatnya hidup atau mati sama saja, karena akhirnya mati juga. Maka bagi Albert Camus, mati sekarang atau nanti, mati juga, daripada hidup jadi beban lebih baik mati sekarang, dia mati, tembak kepalanya sendiri, (ada yang bilang Albert mati karena kecelakaan lalulintas).

    Itulah Albert Camus, seorang pemikir awal abad 20 yang menganggap bahwa hidup manusia dan harapan masuk sorga-neraka atau berjumpa dalam rumah Tuhan sesungguhnya bohong, nisbi belaka, hanya kata-kata bohong para Haji, Pendeta dan Pastor. Baginya hidup tanpa makna, mati jam ini atau nanti sama saja, mati juga, karena itu ajaran filsafatnya dinamakan nihilisme (nihil=0, kosong atau tidak ada makna, isme=paham/percaya, jadi Albert Camus tidak percaya pada kepercayaan, hidup tidak ada artinya). Karena itu Albert Camus sama sekali tidak percaya pada Tuhan, Yesus, dan lain-lain semua, soal menyangkut kata percaya.

    Dia sama sekali tidak percaya pada keberadaan sorga, neraka, malaikat, iblis, setan, hari kiamat, sepenuhnya dia tidak percaya apa yang dinamakan oleh manusia beragama sebagai TUHAN. Dia malah sangsi, akan eksistensi keberadaan tempat dan bagaimana sesungguhnya kebohongan pengakuan saksi-saksi manusia. Dia malah menganggap pembohong, orang beragama! Dia sangsi atas kesaksian Haji, Ustadz, Muballiqh, Pendeta, Pastor dalam soal Tuhan benar apa tidak, tapi baginya Tuhan memang tidak ada. Dia tidak percaya Tuhan.

    Kembali pada tema soal kematian. Jadi intinya bahwa kematian bagi manusia adalah hukum kepastian. Apakah manusia menginginkannya atau tidak semua yang bernyawa pasti akan mati dan itu dimana-mana dan kapan saja, apakah kita merencanakan atau tidak, kapan kita mau mati, sekarang atau esok, kita menyadari mati atau tidak, kematian selalu pasti kita akan mengalaminya. Dan itu berlaku semua bagi manusia dan makhluk bernyawa lain.

    Tapi kenapa kebanyakan kita manusia selalu menghindari kematian dan menginginkan kehidupan terus-menerus? Padahal manusia semua akan menempuh dan melewati jalan kepastian, yakni kematian? Kapan saja, apakah kita mau atau tidak, yang namanya makhluk hidup, pasti mati. Karenanya kematian suatu hal yang pasti dan senantiasa menunggu kita melewatinya.

    Bukankah hidup juga hanya untuk mati? Berarati kematian hanya masalah waktu, sekali lagi, hanya masalah waktu, mati sekarang atau besok, semua pasti mati. Hidup untuk mati itu hanya soal waktu, kapan saja dan selalu dimana-mana kita semua manusia sedang menunggu hukum kepastian itu, yakni kematian! Kalau begitu kenapa kita manusia takut pada kemantian? Padahal hanya soal waktu mati sekarang atau nanti?!

    Hidup Mulia Atau Mati Nista!

    Silahkan pilih! Jalan mana, hidup tapi mati, atau mati tapi hidup. Kata pertama mengandaikan pada kita, bahwa sekalipun kita hidup tapi sesungguhnya kita mati atau mengalami proses kematian dengan akibat tidak sedikit tanpa kita menyadari akibat buruk dari suatu pilihan kita pada masa lalu. Berbeda dari kalimat kedua, walaupun memang benar kita mati tapi sesungguhnya mengandung implikasi menghidupkan senantiasa (survival).

    Belakangan ini ada istilah genosida atau ecosida yang maksudnya sama arti dengan judul buku Sendius Wonda, yang dilarang Penguasa NKRI, “Tenggelamnya Ras Melanesia”. Jawaban mana yang dipilih para pemimpin Papua kalau dihadapkan pada dua pilihan ini, maka kita sudah tahu jawaban mereka sudah sejak awal.

    Singkatnya kita yakin tidak ada pemimpin Papua berani menjawab dan menjalani perjuangan pada pilihan kedua. Sebab kita semua tahu bahwa umumnya para tokoh dan pemuka sebagai pemimpin Papua sudah pilih jalan pertama yakni hidup tapi mati. Artinya jargon “Papua Zona Damai” sama juga dengan pilihan jalan “hidup tapi mati” bukan pilih jalan “mati tapi hidup atau hidup dalam mati”.

    Kalau ditanyakan pada orang Papua yang mengaku diri sebagai Pejuang Papua Merdeka, maka jawaban yang paling banyak mungkin di jawab atau dimaui mereka (para pemimpin Papua) dan jalan itu sudah lama ditetapkan dan kini kita sedang di ajak menempuh jalan itu yakni pilihan mereka pada “hidup tapi hakekat sesunguhnya kita mati”. Karena tadi itu, Papua Zona Damai tanpa kedamaian malah dalam proses pelenyapan (unnihilasi) oleh penjajah.

    Jika pertanyaannnya dibalik misalnya: “Para pejuang Papua, pilih mana, mati mulia atau hidup hina! Maka jawabannya pasti pada pilihan jawaban yang kedua bukan yang pertama. Mau buktinya? Karena kata kedua semakna dengan “Papua Zona Damai”. Menurut filsafat yang bersibuk diri dengan analisa kata, Papua Zona Damai dan Hidup Hina sama saja, dua kalimat itu namanya tautologies, demikian kata kuncinya sebagai argumentasi apologi keyakinan kita ini yang hakekatnya sudah di ketahui “genosida”.

    Alasan karena “ Papua Zona Damai” maka perjuangan harus ditempuh dengan jalan damai tidak menunjukkan suatu makna yang berarti kecuali kalimat apologetis dari kata tak bermakna atau kata yang maksudnya sama dengan “hidup hina takut mati yang berarti sama maksudnya dengan “Papua Zona Damai” atau lebih baik hidup hina daripada mati yang menakutkan?!”, padahal itu hanyalah kalimat tautologis.

    Mengatakan “Papua Zona Damai” sama dengan “Baik Hidup Hina daripada Mati Menakutkan!” Kalau itu jawaban pemimpin, maka pemimpin yang mengatakan demikian itu adalah para pemimpin takut, pengecut! Bukan pemimpin sejati! Pemimpin Papua harus berani, mati atau hidup! Papua merdeka adalah utama dan segala-galanya, jika ada pemimpin demikian maka itulah pemimpin sejati bangsa Papua! Karena kematian bukan factor utama bagi kemerdekaan bangsa Papua, sama saja Papua Zona Damai bukan kepentingan kemerdekaan bangsa Papua tapi sama sekali bukan kepentingan merdeka tapi melemahkan perjuangan Papua merdeka.

    Karena takut lawan dan tidak mau berani merdeka atau factor X lain, mereka mau jawab keinginan rakyat Papua dengan alamat yang ditunjuk bukan jalan ini tapi jalan lain, jalan jauh sana, bukan disini, tapi jalan dengan kata atau bahasa “Zona Damai”. Apa yang terjadi? Itu sama artinya menghalangi keinginan Rakyat Papua sesungguhnya, mereka dengan kata “Papua Zona Damai, melukakukan tindakan yang akibatnya kesampingkan tujuan utama yang sangat mulia yakni perjuangan Papua merdeka atau kita bangsa dan rakyat umumnya Papua ditakut-takuti, seperti anak kecil dengan setan, awas bahaya ada setan!

    Berarti pemimpin Papua tipe dan model begini ini sebenarnya sudah mati tapi mengaku hidup damai. Umumnya karena itu mentalitas yan tercipta pada pilihan takut hidup tapi mengaku berjuang damai adalah mati hidup alias hidup tanpa kehidupan, taruhannya adalah harga diri, terjajah mengaku perjuangan damai sebagai apologi dibalik argumentasi lain kehidupan dan perjuangan untuk hidup hina ternista.

    Pilihan ini sebagai akibatnya yang terjadi pada level rakyat adalah mentalitas coplex imferiority, rakyat jadinya lama-kelamaan pada stadium penyakit kejiwaan yang akut sulit disembuhkan. Dampak sosial lainnya dari pilihan perjuangan “Papua Zona Damai” adalah hegemoni budaya asing, penjajah, masyarakat dan rakyat terjajah dihilangkan dari masa lalu mereka, rakyat menjadi teralienasi dari hakekat budaya dan diri mereka, mereka jadinya devrivasi dan dislokasi.

    Hidup Atau Mati Sama Saja

    Kita mengira atau mengharap ingin hidup selamanya tapi selalu pasti mati tanpa kita mengharapkannya, cepat atau lambat kapan saja waktunya. Kalau begitu siapa dan mengapa kita takut mati? Padahal hidup sesungguhnya hanya menunggu kematian? Mati sekarang atau esok semua manusia akan melewati jalan itu, yakni jalan kematian. Pasti semua orang akan melaluinya, kalau begitu mengapa kita takut mati? Apalagi hidup dengan nasib tertindas dan terjajah seperti halnya bangsa Papua?

    Bukankah itu berarti itu sesungguhnya kematian sesungguhnya kalau tanpa ada perjuangan untuk hidup, hidup mulia dan harkat dan martabat diri sebagai sebuah bangsa adalah kehidupan abadi sebuah bangsa daripada hidup dibawah penjajahan adalah hidup kematian sesungguhnya? Kalau begitu dimana arti kehidupan sesungguhnya? Kenapa kalau memang kita hidup dan damai lalu ada istilah ketakutan dan teriak-teriak dengan istilah genosida?

    Benarkah kita hidup atau sesungguhnya di balik alasan damai kita mengalami proses pelenyapan (unnihilisasi)? Perhatikan istilah pelenyapan tidak sama dengan kepunahan. Yang terjadi saat ini dibalik istilah zona aman damai para tokoh agama, nasib sesungguhnya terjadi adalah bukan lagi pemusnahan tapi sudah pada usaha pelenyapan (unnihilasi). Orang Papua ditiadakan oleh suatu sistem yan itu tidak disadari oleh siapapun karena dihadapan kita kata-kata manis sudah kita telan padahal kita menelan sebuah kata penyakit yakni kata “Papua Zona Damai”, lebih berbahaya dari pada HIV/AIDS sekalipun.

    Mengapa kata “Papua Zona Damai” lebih berbahaya daripada HIV/AIDS? Karena Zona Damai tanpa menyadari dan kita terima dengan suka dan harapan berbeda dari pilihan penyakit, sudah pasti dari semula dan kita tolak karena tahu alasan bahayanya dari awal, beda dari kata, “Papua Zona Damai”, seakan nyaman, baik, menuduhkan tapi luar biasa akibat buruknya dan kerusakan diakibatkannya lebih parah dari yang dibayangkan.

    Pilahan orang Papua saat ini hanya ada dua saja tanpa ada pilihan lain, misalnya jalan pilihan selain mati dan hidup, tidak ada jalan lain ke tiga atau sintesa dari dua tesis dan anti tesis. Siapa takut hidup, maka sesungguhnya dia mati dan atau mengalami proses kematian. Tapi mengapa orang Papua takut kematian selalu? Padahal mati adalah untuk hidup hakekat sesungguhnya kalau mau dimengerti? “Merdeka atau Mati” itu saja, tidak ada kata bohong, “Papua Zona Damai”.

    Hakekat Papua Merdeka

    a). Merdeka secara substansial

    Bagi penanut ini jarang bagi mereka biasanya lebih mementingkan substansi bukan formalistik dengan segala atribut dan batas teritory lainnya yang umumnya bersifat lambang. Mungkin Gus-Dur penganut idealisme ini, karenanya baginya pengguanaan “hai Tanhku Papua dan Bintang Kejora adalah lambang cultural bagi rakyat Papua dan itu sebagai indentitas yang orang Papua boleh menggunakannya.

    Misalnya Era pemerintahan Gus-Dur, orang silahkan naikkan Bintang Kejora setengah tiang atau apalagi noken gelang buatan mama-mama Paniai dan mama-mama Serui-Biak di emperan tokoh dan pasar Ampera Jayapura tidak ditakutkan sebagaimana ketakutan era pemerintahan SBY-JK sekaran ini. Misal lainnya penggunaan nama Irian Jaya menjadi Papua bagi paham model substansiali adalah biasa sebab nama-hanya semata-mata nama kecuali mengganggu stabilitas kedaulatan NKRI, pengunaan kekerasan sebagai jalan terakhir ditempuh sebagai pertahanan kekuasaan nasional.

    b). Kemerdekaan simbolik

    Dalam era ini pemerintahan yang berkuasa di NKRI –lebih-lebih era Mega-Hamzah –kini dipentingkan. Cara berfikir mereka legal formalistik. Karena itu wajar pemakaian gelang, noken dan atribut kesenian sebagai sebuah kebangaan identitas rakyat Papua sangat di takuti pihak penguasa untuk orang Papua memakainya. Apalagi menyanyikan lau Hai Tanahku Papua pada 1 Desember 2008 ini nanti denan menaikkan bintan kejora bagi cara pikir ini adalah tindakan subversif. Intinya mereka yan dipentingkan adalah hal-hal yang bersifat simbol.

    c). Tujuan  Papua Merdeka

    Secara sederhana tujuan Papua Merdeka dimaksud adalah untuk menciptakan kesejahteraaan dan melaksanakan pemerintahan tanpa tekanan pihak manapun dari campur tangan asing. Berarti apa yang dimaksud Papua merdeka adalah bebas dari tekanan dan campur tangan pihak lain, baik sebagai penjajah ataupun dari mereka yang melaksanakan kekuasaan pemerintahan secara sewenang-wenang.

    Maka maksud tujuan Papua Merdeka adalah mengatur pemerintahan (kekuasaan) dan mewujudkan kesejahteraan hidup agar “Papua Zona Damai”, dengan jalan mengurus keperluan dari oleh untuk diri sendiri, agar hidup mulia dimata bangsa lain. Maka Papua merdeka sama artinya dengan menciptakan “Papua Zona Damai” dalam artinya sesunggunya. Tapi kalau sekarang mengatakan “Papua Zona Damai” berarti sama maksud dan artinya dengan menerima dijajah Penjajah Indonesia/NKRI.

    Hakekat Papua merdeka selama ini belum banyak diketahui. Padahal ini sangat penting agar didukung semua kalangan dan semua pihak. Mengapa hal ini bisa terjadi (kebanyak rakyat “amber” belum mengerti) apa maksud dan tujuan Papua Merdeka?
    Banyak alasan tapi, Papua Merdeka, mendengar kata ini asumsi umum selama ini identik bunuh-membunuh antara TNI/POLRI disatu pihak dan TPN/OPM di pihak lain dalam rakyat Papua. Padahal hakekat sesungguhnya berjuang untuk Papua merdeka
    dan mati karena untuk berjuang tujuan Papua merdeka sesungguhnya adalah mulia mati di mata Tuhan dan dimata manusia.

    Kerja untuk perjuangan Papua Merdeka sebagai jalan menegakkan tujuan mulia dan suci yakni Papua Merdeka oleh TPN/OPM dan PDP misalnya Thaha Al-Hamid dan rakyat Papua umumnya belum banyak dimengerti maksud tujuannya secara baik oleh semua pihak rakyat Papua. Karena stigma negatif dan pencitraan secara besar-besaran oleh pihak penjajah untuk membenarkan tindakan dan kepentingan penjajahan mereka atas bangsa Papua, juga karena selama ini belum pernah ada penjelasan secara baik tentang maksud-tujuan dan hakekat dari Papua merdeka oleh orang Papua sendiri beserta organ perjuangannya sangat minim dirasakan.

    Karena itu inti dan hakekat dari Papua merdeka selama ini belum jelas bagi masyarakat “amber” Papua. Tulisan ini mencoba mencari tahu pengertian kita (tolong bedakan kata kita dan kami, kata pertama melingkup semua, kedua membatasi saya dan hanya teman-teman saya saja tanpa anda). Nah, judul tulisan ini mencoba mau mengerti sejauh mana cakupan dan harapan dari perjuangan Papua merdeka.

    Apa yang dimaksud Papua merdeka dan seterusnya penting diperkenalkan pada semua pihak bahwa tujuan perjuangan Papua merdeka adalah mulia dan suci, sejalan dengan Islam, Al-Qur’an dan juga semua agama lain menyangkut pesan moral. Syekh Yusuf Al-Makassari (seorang ulama sufi) dari Sulawesi Selatan pernah membuktikannya bersama Nelson Mandela di Afrika Selatan. Bangkit Lawan Penjajah Sekarang Juga atau Kau Lenyap!

    (bersambung)

  • Konflik Papua Perlu Solusi

    JAYAPURA (PAPOS) –Kondisi Papua belakangan ini sempat memanas, perang dingin antara pemerintah dan masyarakat Papua terus berlanjut tanpa adanya solusi.

    Rentetan kejadian, pembakaran Rektorat Uncen, penyerangan Polsekta Abepura, pengibaran bintang kejora mewarnai Kamtibmas di tanah Papua.

    Mesikapi itu, Ketua Solidaritas HAM dan Demikrasi Rakyat Sipil Papua (SHDRP) Usama Yugobi mengatakan, perlu segera dicarikan pemecahan masalah yang tepat agar akarnya dapat diatasi

    “Kejadian-kejadian ini mungkin saja akan terus menerus terjadi, maka harus ada solusi,” jelasnya.
    Realita masyarakat umum melihat bila terjadi satu pelanggaran hukum baik itu tindakan kriminal maupun tindakan makar aparat hukum dapat menuntaskan perkara hukum ke meja hijau.
    Namun bila dikaji dengan permasalahan HAM maka, permasalahan ini sampai kapan pun tidak akan terselesaikan, tentunya ini satu contoh kongkrit yang perlu disikapi dengan arif.

    Menurutnya, penegakan keadilan di tanah Papua ini jauh dari harapan, sekalipun bersentuhan hukum dan aparat berlawanan, namun perlawanan masyarakat terus jut.

    Katanya, katanya, pembangunan di era Otsus ini semakin tidak terarah, empat sektor dalam UU No.21 Tahun 2001, sama sekali belum memberi manfaat.

    “Masyarakat jenuh dengan omong kosong pejabat yang nota bene orang asli Papua tentang pembangunan, mereka setelah menduduki jabatan justru mensejahterakan diri, sedangan masyarakat tidak merasakan perubahan Otsus,”ujarnya.(fer)

    Ditulis oleh Feri/Papos

  • Peluncuran Buku: LUKA PAPUA ; HIV, OTSUS DAN PERANG SUKU. (SEBUAH BUKU, KARYA JURNALISTIK JURNALIS MUDA PAPUA)

    Salam

    Melalui serangkain proses yang dilakukan hampir selama 2 tahun, akhirnya kami di Tabloid Jubi bersama VHR Book dan FES bisa menerbitkan sebuah buku karya jurnalis Papua yang memaparkan persoalan HIV/AIDS, Otsus dan Respek dan Perang Suku di Papua.

    Untuk itu, kami mengundang rekan2 sekalian untuk menghadiri acara peluncuran buku Luka Papua : HIV, Otsus dan Perang Suku tersebut pada
    Hari/tanggal : Jumat, 6 Februari 2009
    Tempat : Hotel Matoa, Jayapura
    Waktu : 09.00 – 12.00

    Terimakasih

    Victor Mambor

    LUKA PAPUA ; HIV, OTSUS DAN PERANG SUKU. (SEBUAH BUKU, KARYA JURNALISTIK JURNALIS MUDA PAPUA)

    Written by Administrator

    Friday, 19 December 2008

    Sebuah karya jurnalistik dari jurnalis Papua berjudul : Luka Papua ; HIV, Otonomi Khusus dan Perang Suku.

    Penulis : Angel Maria Flassy, Carol Ayomi, Christian Hamdani, Yunus Paelo, Pitsaw Amafnini, Jerry Omona, Indri Q, Paulus Kafiar, John Pakage, Fx. Cahyono, Markus Makur

    Kata Pengantar : Victor Mambor

    Editor : FX Rudi Gunawan

    Karya jurnalistik dalam bentuk buku ini berbeda dengan buku-buku karya jurnalistik lainya di Papua. Bukan merupakan kumpulan tulisan
    ataupun bunga rampai, tapi sebuah proses liputan yang melalui serangkaian proses selama 2 tahun dan 9 bulan.

    DAPATKAN BUKUNYA DI TOKO-TOKO BUKU DI KOTA ANDA
    ————————-

    Kata Pengantar Buku

    Tong Pu Tanah

    Sebagaimana profesi jurnalis di daerah konflik lainnya, profesi jurnalis di Papua juga menuntut pemahaman terhadap konteks sipil politik (Sipol) serta ekonomi, social dan budaya (Ekosob) yang ada pada masyarakat Papua. Tak jarang, ketidaktahuan terhadap konteks Sipol dan Ekosob ini telah menempatkan orang Papua pada posisi yang tidak menguntungkan bagi pembangunan di Papua. Sehingga sejak masa kolonialisme Belanda hingga era Otonomi Khusus ini satu demi satu luka terus timbul pada diri orang Papua. Luka ini tidak saja diakibatkan oleh kepentingan pihak luar terhadap Sumber Daya Alam Papua, namun juga oleh berbagai pihak yang
    berada di Papua.

    Jika berbicara mengenai opini masyarakat tentang Papua, maka kita tidak bisa menghindar dari keberadaan media massa dan profesi jurnalis di Papua. Sebab faktanya, media dan jurnalis di Papua yang sebenarnya menjadi “penyambung lidah” berbagai kepentingan di Tanah Papua ini selain tradisi bertutur yang ada pada masyarakat Papua. Jika pada jaman dulu, tradisi bertutur menjadi alat dokumentasi sebuah peristiwa dimana peristiwa tersebut menjadi objek utama, maka saat ini tradisi bertutur menjadi alat komunikasi social yang jstru tidak lagi bersumber dari sebuah peristiwa factual tapi bersumber dari sebuah peristiwa yang diceritakan kembali melalui media massa .

    Fakta paling konkrit untuk hal-hal seperti ini adalah frasa “Perang Suku” yang terus menerus didengungkan oleh media massa untuk konflik-konflik horizontal yang beberapa kali terjadi di Papua, khususnya di kabupaten Mimika. Mengapa konflik-konflik horizontal pada masyarakat lainnya di Indonesia bisa dijelaskan oleh media massa sebagai konflik antar masyarakat sedangkan konflik antar masyarakat di Mimika selalu dijelaskan sebagai “Perang Suku”? Frasa “Konflik” dan “Perang” serta “Masyarakat” dan “Suku”, telah mengacaukan logika dan cara pandang terhadap konflik yang terjadi di Mimika tersebut. Penggunaan dua frasa untuk sebuah
    konflik yang sama seperti ini juga mengindikasikan adanya pendiskriminasian terhadap habitus social sebuah komunitas.

    Lebih jauh lagi, frasa “Perang Suku” menuntut penyelesaian konflik secara adat yang membutuhkan sebuah proses perdamaian yang melibatkan banyak pihak, yang justru sebenarnya tidak berada dalam struktur suku (adat), dan pada kenyataannya juga membutuhkan biaya besar. Tentunya, sangat mungkin untuk dipahami sebagai pertarungan kepentingan di sebuah wilayah yang memiliki potensi sebagai kota besar namun terus menerus “ditundukkan” sebagai dusun. Kepentingan siapa? Tidak sulit untuk mencari jawabannya, tapi butuh keberanian besar untuk membunyikan jawaban itu.

    Dengan demikian, tuntutan terhadap pemahaman akar budaya masyarakat setempat adalah hal mutlak untuk dipahami oleh kita -tidak terkecuali jurnalis yang berperan sebagai media penyalur informasi dari pihak-pihak yang berkepentingan- agar tidak mengikuti logika berpikir sempit yang menempatkan orang Papua dalam wacana yang sempit pula. Sebuah habitus social memiliki relasi yang sangat jelas dengan eksistensi sebuah komunitas. Sebagian besar ritual milik komunitas tersebut ada dalam habitus social tersebut. Dengan demikian, sebuah perang suku yang sejati selalu diiringi dengan ritus yang telah berlangsung sepanjang keberadaan komunitas tersebut. Tidak ada perang suku tanpa ritual di Tanah Papua. Menggali lebih jauh nilai ritual orang Papua dalam konteks perang suku, jauh lebih penting daripada mengeksplorasi peristiwa perang suku itu sendiri. Namun bagi sebagian jurnalis, sebuah peristiwa lebih menarik untuk diberitakan daripada sebuah latar belakang habitus social. Terutama untuk konteks Papua yang memiliki beragam latar belakang budaya, memahami ritus dan habitus social, penting bagi pembangunan wacana tentang orang Papua sendiri.

    Persoalan lainnya yang juga membutuhkan cara pandang dan logika berpikir “terbuka” adalah persoalan HIV dan AIDS serta Rencana Strategis Pembangunan Kampung (Respek). Sejak ditemukannya kasus HIV/AIDS di Papua enam belas tahun silam, praktis berbagai kalangan mulai “menekuni” upaya penanggulangan dan pencegahan penulran virus tersebut. Lambat laun, opini yang terbentuk terhadap fenomena virus ini adalah HIV dan AIDS di Tanah Papua membutuhkan penanganan khusus. Berbagai rencana yang ditawarkan dan program yang dijalankan telah mengundang pihak donor mengalirkan dana miliaran rupiah masuk ke Papua untuk penanganan epidemi ini. Kucuran dana miliaran rupiah ini tentunya menyebabkan terjadinya sebuah kompetisi antar lembaga-lembaga yang menjalankan program penanggulangan dan pencegahan HIV/AIDS di Papua dalam mengakses dana tersebut. Kompetisi antara berbagai institusi dan lembaga untuk terlibat dalam penanganan dan pencegahan epidemi ini adalah hal yang positif. Namun beberapa kasus dalam kompetisi ini justru menempatkan Orang Terinfeksi (OT) bagai Pelanduk yang terjepit di antara pertarungan para Gajah. Menyedihkan lagi, dalam beberapa kasus terjadi saling klaim OT sebagai “milik” dalam upaya-upaya pencegahan dan penanggulangan penularan virus HIV ini.

    Uniknya, semakin banyak dana mengalir, angka penderita HIV/AIDS ini justru meningkat. Dari berbagai diskusi, dikemukakan bahwa peningkatan angka ini disebabkan oleh adanya fenomena gunung es pada kasus HIV/AIDS di Papua. Kemungkinan besar, dengan semakin gencarnya upaya pencegahan dan penanggulangan dilakukan, maka angka tersebut akan terus meningkat. Fenomen Gunung Es bias jadi alasan yang masuk akal untuk penjelasan soal angka ini. Namun perdebatan soal angka ini pada akhirnya justru menempatkan Papua dalam posisi “On The Top” dalam kasus HIV/AIDS di Indonesia. Benarkah demikian?

    Penting bagi kita untuk mencermati frasa “Prevalensi” dalam kasus HIV/AIDS di Tanah Papua. Frasa “prevalensi” ini seringkali luput dalam pemberitaan mengenai HIV/AIDS di Tanah Papua. Perbandingan antara jumlah penderita HIV/AIDS di Tanah Papua dengan jumlah penduduk Tanah Papua yang tidak mencapai 5 juta jiwa tentu saja akan menghasilkan jumah yang besar pula. Hal ini akan berbeda jika dilakukan perhitungan yang sama dengan penduduk di provinsi lainnya. Jelas di sini bahwa angka prevelansi yang tinggi bukan berarti menjadi kasus yang tinggi pula. Namun opini yang terlanjur terbentuk sejauh ini adalam Papua merupakan wilayah dengan kasus HIV/AIDS tertinggi di Indonesia .

    Satu hal lagi yang patut dicermati adalah wacana-wacana tentang perilaku (budaya) orang Papua di daerah pegunungan yang memiliki tradisi pasangan sex lebih dari satu merupakan penyebab meningkatnya kasus HIV/AIDS di Tanah Papua. Apakah wacana ini bisa diyakini? Sebab hampir disetiap wilayah juga terdapat kebiasaan berganti pasangan sex. Perbedaannya hanyalah di Papua hal tersebut berlangsung dalam kerangka tradisional sedangkan di tempat lain mungkin saja bisa disebut sebagai yang lebih modern.

    Fenomena Pemburu Gaharu dan Nelayan Thailand di Merauke, Peristiwa Hotel Fujita, Pendulang Emas Tradisional di Timika hingga ide gila memasang microchip di tubuh OT melalui Peraturan Daerah Provinsi (Perdasi) yang memiliki kekuatah hukum dan mengikat ternyata lebih menarik daripada menempatkan Tanah Papua secara adil dalam sebuah logika berpikir dan cara pandang masyarakat terhadap kasus HIV/AIDS di Indonesia. Di sini, peran jurnalis menjadi penting untuk memunculkan opini yang adil daripada sekedar mengutip statement untuk kepentingan pemberitaan.

    Sejak Program Respek diluncurkan oleh Gubernur Papua, Barnabas Suebu, perlahan tapi pasti program ini menjadi popular di kalangan masyarakat kelas menengah ke bawah. Respek seakan menjadi “Dewa Penolong” ditengah-tengah kesulitan yang dihadapi orang Papua. Persoalannya, program ini mengalami penyempitan makna. Dalam setiap perbincangan mengenai Respek hampir pasti menjadi perbincangan tentang 100 juta rupiah, dana block grant yang menjadi satu paket dengan program Respek tersebut. Sementara apa yang disebut sebagai Rencana Strategis Pembangunan Kampung yang kemudian disingkat Respek –yang tidak berbeda jauh dengan proses Musyawarah Rencana Pembangunan Kampung (Musrenbangkam)- ini justru luput dari perbincangan. Skema Respek yang disusun oleh pemerintah Provinsi Papuapun “berubah” menjadi alur dana 100 juta dari pemerintah provinsi ke pemerintah kampung.

    Keinginan mulia untuk memandirikan masyarakat di kampung ternyata beresiko menyebabkan ketergantungan yang baru terhadap praktek dana hibah. Pengalaman panjang orang Papua terhadap praktek-praktek seperti ini justru melemahkan posisi orang Papua dalam pembangunan di Tanah Papua. Apakah yang sebenarnya di butuhkan oleh orang Papua? Program Pembangunan atau Dana Pembangunan? Dalam perspektif pembangunan, sebuah program tidak bisa dijalanan tanpa dana. Demikian juga sebaliknya, dana tidak bisa digunakan jika tidak ada program. Namun aspek perencanaan, pengelolaan dan pengawasan terhadap program dan dana terkadang luput dari skema dana dan program ini, sekalipun ada dalam petunjuk teknis dan petunjuk pelaksanaan sebuah program dan penggunaan dana program.

    Apa yang sebenarnya terjadi di Papua? Apakah orang Papua sedang berada dalam fase Cultural Shock? Inilah yang coba dirunut oleh beberapa jurnalis di Papua dalam buku ini. Melalui serangkaian pelatihan dan diskusi, para jurnalis ini memutuskan tema-tema Perang Suku, Respek dan HIV/AIDS sebagai tema penulisan. Seluruh proses ini berjalan hampir dua tahun. Khusus untuk penulisan berlangsung sekitar sembilan bulan lebih. Ini sebuah proses yang panjang karena menjadi sebuah proses penulisan dan bukan proses mengumpulkan tulisan. Tentunya, buku ini belum bisa menjawab semua harapan jurnalis yang terlibat dalam proyek ini. Sebab seperti yang disebutkan di awal, butuh keberanian besar untuk mengungkapkan persoalan di Tanah Papua ini. Namun setidaknya, upaya ini bisa memunculkan generasi penulis baru di Tanah Papua.

    Selamat dan Sukses untuk generasi baru penulis Papua!

    Victor Mambor

  • OTSUS PAPUA MEMBAWA AZAB

    Oleh: abunawas74@yahoo.com

    Pusat menganggap bahwa dengan opsi Otsus Papua dan Papua Barat, akan memakmurkan rakyat. Demikian harapan kemauan tujuan Otsus Papua, yang paling tahu soal ini pihak sana (Jakarta) atau mungkin untuk menimalisir gelombang pemisahan Papua dari NKRI. Tapi apakah Otsus baik dan bergunakah bagi rakyat Papua sangat penting, harus di kaji ulang. Karena kenyataan penghargaan keberadaan kemanusiaan manusia adalah lebih penting dari pada menyembah Pancasila dan UU 45, dan untuk itu TNI/POLRI banyak mati di NAD dan Timor Leste sebagai alasan kebernegaraan.

    Oleh sebab itu keberadaan dan efektifitas pemberlakuan Otsus Papua kembali diperhatikan agar ada evaluasi secara menyeluruh, apakah memang Papua harus memerdekakan dirinya sebagai sebuah nation sebaiknya atau Indonesia tetap ngotot mengcliem Papua
    bagian dari negaranya adalah lebih adil dan jantan dari pada membiarkan gelombang kematian cukup parah dan pencurian harga diri kemanusiaannya sangat besar bagi rakyat Papua.

    Semula tujuan baik otsus diantaranya adalah pertama, agar orang Papua menjadi tuan di negerinya sendiri. Kedua percepatan pembangunan, ketiga memakmurkan rakyat sesuai SDA yang mereka miliki, menghambat gelombang protes yang bermuara
    pemisahan diri dari NKRI. Namun kenyataan saat ini, itikad baik pusat lebih menunjukkan dan itu perhatian penting dan penuh pada alasan ketiga dari tujuan otsus pada umumnya.

    Jika hanya itu saja dan tidak di evaluasi ulang maka benar alasan perasaan sebahagian besar rakyat Papua termasuk penulis ini bahwa; Papua melainkan Indonesia, pusat mengaku benar, tahu, Indonesia melainkan Papua. Karena itu masuk akal bahwa pusat lebih menaruh perhatian lebih serius Otsus tidak sebagaimana semua harapan diatas, sebaliknya banyak membawa malapetaka bagi rakyat Papua.

    Diantara malapetaka itu yang diamati dalam beberapa tahun terakhir di Papua adalah sebuah ketidaknyamanan hidup orang-orang Papua diatas tanah airnya sendiri, dan akhirnya banyak kenyataan dimana-mana, tanda kematian abadi. Betapa tidak, dari uang-uang triliunan yang dikucurkan pusat tidak satupun yang bermanfaat bagi rakyat yang empunya Papua, sebagaimana tujuan awal Otsus Papua dirumuskan.

    Sebaliknya yang nyata terjadi dalam pengamatan penulis dilapangan menunjukkan bahwa kebijakan keputusan politik Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat hanya membawa musibah abadi bagi rakyat Papua. Fakta saat tulisan ini ditulis yang terjadi di lapangan
    (Papua, Papua Barat) adalah proses genosida daripada memakmurkan rakyat dari uang trilyunan rupiah yang dikucurkan Jakarta. Dampak negatif dari trilyunan uang rupiah yang dikucurkan Jakarta setidaknya membawa hal-hal berikut ini:

    Dengan uang Otsus Indonesia, kini banyak orang Papua membeli miras, main perempuan bukan isteri, korupsi, jalan-jalan ke Jakarta, yang semuanya bermuara pada penyakit dan kematian. Hampir dipastikan bahwa uang Otsus sama sekali tidak bermanfaat bagi orang Papua asli, tapi banyak untung untuk orang pendatang di tanah Papua.

    Dengan kucuran dana Otsus Papua banyak uang yang tidak dipertanggungjawabkan pada siapa sesama orang Papua, kini orang Papua lebih hebat, malah lebih tahu dari orang di Jakarta, dalam hal apa? Dalam hal korupsi. Pejabat maling (korupsi) adalah
    fenomena lain dan baru disetiap instansi pemerintahan boneka buatan Indonesia di Papua Barat (atau bernama Otsus Papua), dan itu dilakukan oleh para pejabat tidak hanya, malah mereka lebih parah orang-orang pejabat bukan asli Papua.

  • Tuntaskan Akar Konflik Pelanggaran HAM

    ORASI : Massa yang menamakan diri AMAK saat melakukan orasi di depan Kantor Pos Abepura dalam rangka memperingati hari HAM

    Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah Papua dalam hal ini diwakili Gubernur Papua Barnabas Suebu, DPR Papua, MRP dituntut segera menyelesaikan akar konflik pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di tanah Papua.

    TUNTUTAN terhadap pemerintah untuk menyelesaikan konflik pelanggaran HAM ini disampaikan oleh puluhan massa yang mengatasnamakan diri sebagai Aliansi Mahasiswa Anti Kekerasan (AMAK) ketika melakukan orasi di depan kantor Pos Abepura, Rabu (10/12) kemarin.

    “Pemerintah Pusat, Gubernur, PDR Papua dan MRP harus duduk satu meja dengan masyarakat adat dan masyarakat Papua untuk menyelesaikan akar konflik dalam suatu komisi kebenaran dan rekonsiliasi dan harus dibentuk sesuai dengan amat UU nomor 21 tahun 2001 tentang semangat rekonsiliasi Nasional antara rakyat Papua dan bangsa Indonesi,” ujar Zakarias Horota, Sekjen Forum Pemuda Pelajat dan Mahasiswa Papua (FPPMP) yang memimpin jalannya orasi saat ditemui wartawan ditengah-tengah aksi orasinya.

    AMAK juga mengharapkan pemerintah segera menyelesaikan seluruh pelanggaran-pelanggaran HAM sejak Papua diintegrasikan ke dalam NKRI tanggal 1 Mei 1963 hingga tahun 2008 yang telah melahirkan banyak kasus pelanggaran HAM ditanah Papua.

    Dalam orasi yang dilakukan semala kurang lebih satu jam mulai pukul 10.15 WIT hingga pukul 11.12 WIT massa yang terdiri dari kaum laki-laki membawa beberapa poster dan satu buah spanduk yang bertuliskan tentang awal terjadinya konflik pelanggaran Ham di tanah Papua.

    Dalam poster-poster yang dibawa massa antara lain bertuliskan ‘Aneksasi sejarah Papua ke Indonesia adalah sejarah pelanggaran HAM berat, Referendum solusi terbaik bagi rakyat Papua, Papua zona darurat orang asli Papua dalam bahaya militerisme, massa juga menuliskan tentang Otsus yang dianggap gagal karena tidak mampu menjawab hak-hak orang Papua.

    “Otsus sama sekali tidak berguna bagi masyarakat Papua karena tidak berhasil menjawab hak-hak kami rakyat Papua, untuk itu kembalikan Otsus kami rakyat Papua tidak membutuhkan Otsus,” kata Yohanes Akwan salah satu anggota AMAK ketika melakukan orasi.

    Massa juga meminta kepada pihak aparat agar segera menangkap elit-elit pilitik Papua karena menurut mereka kaum elit politok Papua seperti Tumbeanal, Thaha Al Hamid dan Forcorus yang merupakan pemimpin bangsa Papua yang telah memainkan elit politik ditanah Papua sendiri.

    “Mereka-mereka ini yang harus ditangkap, karena mereka yang telah memainkan politik itu sendiri dan bukan para mahasiswa yang harus ditangkap seperti Buhtar Tabuni,” lanjut dia.

    Orasi yang dipimpin Zakarias Hororta ini juga ditandai massa dengan membawa dua buah peti mayat dan gambar Theys Aluay dan Arnold AP, dimana kedua peti mati tersebut melambangkan matinya konflik pelanggaran Ham ditanah Papua yang dialami oleh Theys dan Arnold.

    Ditengah-tengah melakukan orasi massa AMAK juga mendapatkan dukungan dari seorang mama-mama yang tiba-tiba datang sembari meneriakan ‘Pemer intah segera tuntaskan kasus pelanggran HAM Papua, hentikan militerisme serta mama-mama Papua tidak ingin melahirkan anak-anak yang pada akhirnya bisa dibunuh begitu saja.

    Orasi yang dilangsungkan di depan kantor Pos Abepura ini meski di depan jalan umum namun tidak membuat arus lalu lintas menjadi macet serta tidak ada pengawalan khusus dari pihak aparat, aksi terus berjalan aman dan damai hingga akhirnya tepat pada pukul 11.12 WIT massa pun membubarkan diri dengan aman dan damai.

    Sementara di Sentani, (lengkapnya baca di halaman 3) ribuan massa memperingati hari Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) International dengan pameran yang berisikan foto-foto tentang berbagai bentuk pelanggaran HAM di Papua sejak tahun 1963 hingga sekarang dilapangan sepak bola tepatnya dibelakang makam Theys.(**)

    Ditulis Oleh: Lina/Papos
    Kamis, 11 Desember 2008
    http://papuapos.com

  • Mati di Atas Lumbung Emas Sendiri

    SP/Roberth Isidorus Vanwi

    Koalisi Masyarakat dan Mahasiswa Peduli Tanah Papua, Kamis (31/7), melakukan aksi turun jalan. Mereka berjalan sejauh 2 kilometer dari Abepura ke Kantor Majelis Rakyat Papua di Kotaraja, Jayapura. Sambil berjalan, mereka bernyanyi dan berorasi meneriakkan yel-yel otonomi khusus telah gagal di Papua.

    Pindah di muka, pindah di muka, pindah di muka Papua mau lewat, Papua mau lewat, Papua mau lewat.

    Syair lagu tersebut begitu menggema dan dinyanyikan berulang-ulang oleh 100 mahasiswa dan masyarakat yang menamakan diri Koalisi Masyarakat dan Mahasiswa Peduli Tanah Papua (KMMPTP), Kamis (31/7) siang, sepanjang jalan yang mereka lalui.

    Mereka berkumpul di Kantor Pos Abepura lalu berjalan sejauh 2 kilometer untuk sampai di Kantor Majelis Rakyat Papua (MRP) Kotaraja, Jayapura, Papua. Sambil berjalan mereka bernyanyi dan berorasi meneriakkan yel-yel otonomi khusus (otsus) telah gagal di Papua.

    Tak hanya itu, spanduk biru berukuran 5 x 8 meter berwana biru bertuliskan “Pemerintah RI Telah Gagalkan Otsus Selama 7 Tahun di Tanah Papua, MRP, DPRP, dan Pemerintah Provinsi Papua Segera Duduk Bersama Membuka Dialog Secara Menyeluruh Melibatkan Seluruh Masyarakat Papua”.

    Ada spanduk merah dengan panjang 3 x 4 meter dengan tulisan berwarna putih “Otonomi, Pemekaran dan 100 Juta Bukan Solusi, Dialog Yes!”.

    Sebelumnya KMMPTP, Senin (28/7), hendak melakukan aksi demo ke MRP, namun dibubarkan oleh anggota Polsekta Abepura. Tak diperbolehkan mereka demo, karena tidak memenuhi prosedur yang diamanatkan Undang-Undang No 9 Tahun 1998 tentang tata cara penyampaian pendapat di muka umum.

    KMMPTP sudah sering melakukan demo turun jalan meneriakkan gagalnya Otsus di Papua. “Kami akan kembali demo meminta agar diadakan dialog publik, terkait Otsus yang selama 7 tahun telah gagal di Papua, bukti lain ratusan saudara kami mati di Dogiyai karena wabah kolera,” kata koordinator demo, Buktar Tabuni.

    Dikatakan, demo harus dilakukan, karena hutan, gunung, dan isi perut bumi kami kaya. Namun, kami mati di atas lumbung emas sendiri,” katanya.

    Pamlet kecil bertuliskan “1 Kata Lawan, Otsus Gagal Dialog Yes, Otsus Pemekaran N’100 Juta Epenk (Emang Pentingkah), Timika Berdarah 2003, Wamena Berdarah 2003, Abepura Berdarah 2005, Tidak Dialog Boikot Pemilu 2009, Otonomi No, Success for From Nation Papua People”.

    Dalam perjalanan, pendemo dikawal aparat dari Kepolisian Sektor (Polsek) Abepura yang dipimpin langsung Kapolseknya AKP Dominggus Rumaropen. “Kami harus mengawal mereka agar terkontrol dan tidak mengganggu lalu lintas, ” ujar Kapolsek saat dibonceng SP untuk melewati barisan pendemo siang itu.

    Korlap Simon Petrus Baru maju. Dia mengangkat tangan kanan ke atas sambil mengatupkan tangannya. Seperti seorang dirijen seketika itu para pendemo mulai diam.

    Otsus Tumpul

    Arkelius Bako dari Aliansi Mahasiswa Papua maju ke depan. Ia berdiri tepat dengan gedung ruang rapat MRP. “Otonomi Khusus Papua tumpul,” teriak dia keras melalui pengeras suara.

    “Otonomi khusus hanya sibuk dengan pemekaran, otonomi khusus telah diobok-obok Jakarta. Evaluasi otsus harus dilakukan. Otsus telah gagal, gagal. Oleh karena itu, kembalikan tujuan pokok perjuangan pokok rakyat Papua, yaitu kemerdekaan,” kata dia dengan tegas.

    Pelanggaran HAM di era otsus pembunuhan dan penculikan Theys Hiyo Eluay dan hilangnya sopirnya Aristoteles, peristiwa Wasior berdarah 13 Juni 2001, Timika berdarah atas Inpres No 1 Tahun 2003, Wamena Berdarah 4 April 2003, Abepura berdarah 10 Mei 2006.

    “Lalu kita dikagetkan kematian ratusan saudara-saudara kita di Dogiyai. Kenyataan ini dirasakan oleh masyarakat di daerah pedesaan dan kampung-kampung terpencil akibat keterbatasan fasilitas kesehatan, obat-obatan, tenaga medis. Di mana otsus, mana, mana otsus, di mana uang triliunan rupiah itu,” kata Simon dengan nada tanya sambil berteriak keras.

    Kekayaan alam Papua yang melimpah dikuras memberi makan kepada sebagian besar negara di dunia sementara manusianya mati bagaikan binatang.

    Koordinator Demo, Buktar Tabuni dalam orasinya menegaskan, rakyat ini pemilik negeri.

    Silakan orang Papua yang lain menonton. “Kami harus bikin kesepakatan hitam di atas putih dengan MRP, baru bisa pulang,” katanya.

    Kepala Humas MRP, Anggenata Wally yang datang saat Buktar berorasi hanya bisa memperhatikan orasi yang sarat keprihatinan dan kepedihan yang disampaikan anak-anak Papua yang hadir siang itu. Angganeta tak mau berjanji, karena ia bukan pengambil kebijakan.

    Seperti aturan-aturan pemerintahan, dia akan menyampaikan aspirasi ini kepada para anggota MRP. Ia berjanji, Senin nanti ada jawaban dari pimpinan MRP, kapan para pendemo akan bertemu pimpinannya.

    Para pendemo tak mau tertipu. Mereka menunggu surat yang dibuat sekertariat MRP agar mereka dapat ketemu Ketua MRP Senin nanti. [SP/Roberth Isidorus Vanwi]

    Last modified: 2/8/08

Are you sure want to unlock this post?
Unlock left : 0
Are you sure want to cancel subscription?