Tag: opini penjajah

  • Jika 60 persen OAP ingin bersama NKRI, lakukan referendum

    Ilustrasi OAP - Jubi/Arjuna Pademme, TabloijdJubi.com
    Ilustrasi OAP – Jubi/Arjuna Pademme, oleh TabloijdJubi.com

    Jayapura, Jubi Legislator Papua, Laurenzus Kadepa meminta digelarnya referendum di Papua, untuk membuktikan hasil survei Indikator Politik yang menyebut 60 persen orang asli Papua (OAP) menolak berpisah dari NKRI.

    Ia mengatakan, kalau hasil survei itu benar, tentu pihak Jakarta tak perlu khawatir menggelar referendum.

    “Ya, sebaiknya begitu. Gelar referendum untuk membuktikan mayoritas orang asli Papua ingin tetap bersama NKRI. Jika tidak berani menggelar referendum, berarti hasil survei itu dipertanyakan,” kata anggota Komisi I DPR Papua bidang pemerintahan, politik, hukum dan HAM itu ketika menghubungi Jubi, Minggu (7/5/2017).

    Ia menduga, berbagai upaya kini dilakukan Pemerintah Indonesia untuk membentuk opini publik, bahwa Papua baik-baik saja. Termasuk saat delegasi Indonesia yang dipimpin Menteri Luar Negeri, Retno Masudi dalam pemaparan laporan HAM rutin Indonesia dalam Universal Periodic Review (UPR) Dewan HAM PBB (UNHRC), 3 Mei di Jenewa.

    “Delegasi Indonesia menyebut kebebasan berekspresi di Papua tak ada masalah. Inikan sudah bohong,” ujarnya.

    Katanya, justru hal-hal seperti inilah yang akan menjadi sorotan dunia internasional. Negara lain tentu juga punya data terkait Papua. Hal-hal seperti ini, termasuk hasil survei itu, lanjut dia, justru menambah masalah. Memunculkan gejolak baru.

    “Kalau mau selesaikan masalah Papua, jujur saja. Itu akan lebih baik. Kemudian bersama-sama mencari solusinya. Tidak harus berbohong kepada publik, apalagi di forum-forum internasional,” katanya.

    Sebelumnya, dalam pemberitaan satuharapan.com yang melansir pemberitaan The Jakarta Post menyebut, hasil jajak pendapat yang dilakukan lembaga survei Indikator Politik menemukan 60 OAP menolak berpisah dari Indonesia. Hanya 18 persen yang mendukung gagasan merdeka dan 22 persen tidak memiliki pendapat.

    “Sebagian besar mereka setia pada negara (Indonesia),” kata Direktur Riset Indikator Politik, Hendro Prasetyo, Jumat (5/5/2017).

    Menurut Hendro Prasetyo, survei tersebut dilakukan 23 Maret-3 April 2017 di berbagai wilayah di seluruh Papua. Jumlah responden sebanyak 700 orang. Pemilihan sampel dilakukan dengan menggunakan metode multistage random.

    Survei ini juga mengklaim menemukan 77 persen responden puas dengan kinerja Presiden Joko Widodo di Papua. (*)

  • Survei: 60 Persen Rakyat Papua Tolak Berpisah dari RI

    JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Hasil jajak pendapat yang dilakukan lembaga survei Indikator Politik menemukan 60 persen Orang Asli Papua (OAP) menolak berpisah dari Indonesia, sementara hanya 18 persen yang mendukung gagasan merdeka.

    “Sebagian besar mereka setia pada negara (Indonesia), sedangkan 22 persen tidak memiliki pendapat,” kata Direktur Riset Indikator Politik, Hendro Prasetyo, Jumat (05/05) dilansir dari The Jakarta Post.

    Survei tersebut dilaksanakan mulai 23 Maret hingga 3 April 2017 di berbagai wilayah di seluruh Papua. Jumlah responden sebanyak 700 orang dan pemilihan sampel dilakukan dengan menggunakan metode multistage random.

    Lebih jauh, survei ini juga menemukan 77 persen responden puas dengan kinerja Presiden Joko Widodo di Papua. Selain itu, survei ini juga mengungkapakan bahwa kebutuhan dasar seperti air bersih, layanan kesehatan, pendidikan dan infrastruktur merupakan isu yang paling penting bagi rakyat Papua.

    Editor : Eben E. Siadari

  • Gubernur Lukas Enembe: NKRI Harga Mati bagi Rakyat Papua

    JAYAPURA, SATUHARAPAN.COM – Gubernur Papua, Lukas Enembe, menegaskan bahwa NKRI adalah harga mati bagi Papua. Ia mengatakan rakyat Papua tidak berpikir untuk merdeka. Ia sendiri mengatakan fokus untuk mensejahterakan rakyatnya.

    “Sudah berkali-kali saya nyatakan bahwa NKRI harga mati bagi kami di Papua, jadi jangan ada yang mencoba merusak tatanan yang sudah kami bangun dengan baik di tanah ini. Kami tidak berpikir untuk merdeka, tapi saat ini kami hanya fokus pada bagaimana cara mensejahterakan rakyat yang hidup di atas tanah ini. ” kata Lukas Enembe lewat laman resmi pribadinya, www.gubernurlukasenembe.com.

    Pernaytaan itu ia lontarkan dalam kaitan membantah beredarnya meme yang mengesankan dirinya berkata, bahwa bila Ahok tidak boleh jadi gubernur DKI Jakarta, maka Papua lebih baik merdeka saja.

    Lukas Enembe yang menyampaikan penjelasan itu ketika mendampingi Presiden Jokowi dalam kunjungan ke Papua mengatakan, ia bersama dengan rakyat Papua sangat senang dan gembira, Pemerintahan saat ini yang dipimpin oleh Jokowi sangat fokus dalam membangun Papua.

    “Sudah berkali-kali Pak Jokowi berkunjung ke Provinsi Papua dan ini menunjukkan bahwa beliau sangat ingin pembangunan Papua dapat berjalan dengan cepat,” kata Lukas Enembe.

    Editor : Eben E. Siadari

  • Romo Benny:RI Tak Hati-hati, Papua Lepas Seperti Timor Leste

    Penulis: Bob H. Simbolon 18:37 WIB | Rabu, 05 Oktober 2016

    Rohaniawan Romo Benny Susetyo (kiri), Kepala Humas PGI Jeirry Sumampouw (tengah) dan Koordinator LIMA Ray Rangkuti (kanan) menggelar jumpa pers terkait dengan masalah pelanggaran HAM di Papua yang sampai saat ini belum terselesaikan (Foto: Dedy Istanto)
    Rohaniawan Romo Benny Susetyo (kiri), Kepala Humas PGI Jeirry Sumampouw (tengah) dan Koordinator LIMA Ray Rangkuti (kanan) menggelar jumpa pers terkait dengan masalah pelanggaran HAM di Papua yang sampai saat ini belum terselesaikan (Foto: Dedy Istanto)

    JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Rohaniawan Romo Benny Susetyo mengatakan Presiden Joko Widodo harus melakukan pendekatan kebudayaan dalam menyelesaikan permasalahan di Papua.

    “Peristiwa akhir-akhir ini di Papua menyita perhatian masyarakat internasional lantaran pemerintah Indonesia menggunakan pendekatan ultra nasionalis dalam menyelesaikan permasalahan Papua,” kata Benny di Grha Oikoumene, Jakarta pada hari Rabu (5/10)

    Menurut dia, pendekatan kebudayaan era Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) kepada masyarakat Papua akan membuat masyarakat Papua menjadi bangga dan pada saat itu bendera Bintang Kejora kembali berkibar.

    “Maka saat itu Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) ingin menyapa orang Papua bahwa orang Papua merupakan bagian dari NKRI,” kata dia.

    Namun kata dia, pasca Presiden Abdurrahman Wahid, terjadi perubahaan metode pendekatan kepada masyarakat Papua dengan menggunakan metode kekerasan. Jadi kalau tidak hati-hai maka Papua bisa lepas seperti Timor Leste.

    “Pendekatan berubah menjadi pendekatan kekerasan dan kita masuk ke dalam perangkap, akhirnya menciptakan orang Papua memiliki stigma negatif kepada NKRI,” kata dia.

    Editor : Eben E. Siadari

  • Problem Papua dan Rapuhnya Relasi Kebangsaan

    Arie Ruhyanto, CNN Indonesia

    Birmingham, CNN Indonesia — Lima puluh tahun lebih upaya menjadikan Papua sebagai bagian seutuhnya dari bangsa ini terus memperoleh tantangan dari sebagian masyarakat Papua.

    Pemberian status otonomi khusus, transfer triliunan dana pembangunan, pembentukan puluhan daerah otonom baru di berbagai penjuru Papua, hingga perhatian khusus yang ditunjukkan Presiden Jokowi dalam berkali-kali kunjungannya ke provinsi itu, masih belum mampu mengambil hati seluruh masyarakat Papua.

    Sebaliknya, resistensi cenderung menguat, baik di dalam maupun luar negeri.

    Di samping persoalan pembangunan, problem mendasar yang dihadapi adalah semakin rapuhnya relasi kebangsaan yang menjadi landasan bagi legitimasi negara di mata masyarakat Papua. Legitimasi dalam hal ini dimaknai sebagai pengakuan dan penerimaan warga atas kekuasaan negara untuk mengatur warganya.

    Berbeda dengan kedaulatan yang bersifat statis, legitimasi adalah unsur yang dinamis –naik turunnya sangat ditentukan oleh bagaimana relasi di antara institusi negara dengan masyarakat maupun di antara sesama warga masyarakat.

    Rapuhnya Legitimasi

    Cara pandang paling dominan saat ini mengaitkan dinamika legitimasi dengan kinerja negara (state performance). Kuat atau lemahnya legitimasi masyarakat terhadap negara tergantung pada kinerja negara dalam memproduksi dan mendistribusikan political goods seperti keamanan, infrastruktur, dan pelayanan publik dasar semacam pendidikan dan kesehatan (Rotberg, 2004).

    Dengan kata lain, keberhasilan negara menyediakan infrastruktur, mendorong pertumbuhan ekonomi, serta menyediakan layanan publik yang lebih baik, diyakini akan berbanding lurus dengan peningkatan legitimasi masyarakat terhadap pemerintah.

    Namun berbagai fakta lain menunjukkan bahwa kinerja pemerintah dalam penyediaan pelayanan publik  tidak serta-merta memengaruhi legitimasi negara di mata warganya. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya fenomena gerakan separatisme yang tidak hanya terjadi di negara miskin dan berkembang, melainkan juga di negara-negara maju.

    Di beberapa negara maju seperti Inggris, Spanyol, Perancis, dan Kanada, hingga kini sebagian rakyatnya masih terus bermimpi membentuk negara sendiri.

    Pada referendum di Skotlandia tahun 2014 misalnya, 44,7 persen warganya tetap menginginkan hidup terpisah dari Inggris setelah lebih dari tiga abad bersama-sama menikmati kejayaan Inggris sebagai salah satu negara terkuat di dunia.

    Demikian pula dengan masyarakat Basque dan Catalonia di Spanyol, keduanya dari aspek ekonomi merupakan daerah yang relatif lebih maju dan sejahtera dibandingkan daerah lainnya. Namun sejak akhir abad 19 hingga saat ini, masyarakat di kedua daerah tersebut terus menyerukan keinginan untuk memisahkan diri dari Spanyol.

    Kasus-kasus tersebut menegaskan bahwa upaya membingkai imajinasi kolektif kebangsaan dalam satu kesatuan entitas politik sama sekali bukan hal yang mudah, terlebih dalam masyarakat yang multikultur.

    Rekatnya keutuhan negara tidak cukup terjalin hanya dengan menghadirkan dan memastikan bekerjanya perangkat-perangkat negara dalam memenuhi kebutuhan dasar warganya. Lebih dari itu, keutuhan negara ditentukan oleh seberapa kuat sekelompok masyarakat merasa menjadi bagian dari proyek kolektif yang bernama negara bangsa.

    Dalam hal ini, isu identitas, relasi, solidaritas, kesetaraan, dan kohesivitas sosial menjadi mantra utama yang boleh jadi lebih penting ketimbang pembangunan dan pengentasan kemiskinan.

    Dalam konteks Papua, sulit membayangkan masyarakat Papua dapat merasa sebagai bagian dari bangsa Indonesia ketika anak-anak mereka tidak diterima kehadirannya oleh masyarakat di daerah lain.

    Kita juga sulit mengharapkan masyarakat Papua dapat meredam kecewa ketika kebutuhan sehari-hari tak terbeli sementara para pejabat sibuk memikirkan diri sendiri meski mereka adalah orang Papua asli.

    Upaya memulihkan kepercayaan masyarakat Papua juga ibarat menegakkan benang basah ketika hak-hak mereka tak terpenuhi dan janji penegakan hak asasi manusia tak kunjung ditepati.

    Menata Ulang Relasi Kebangsaan

    Dengan menyadari pentingnya ikatan kebangsaan yang dibangun di atas fondasi solidaritas dan kesetaraan sebagai sesama warga bangsa, kita bisa mendudukkan persoalan Papua dalam bingkai yang lebih cair. Dengan demikian, kita dapat melihat bahwa penataan relasi kebangsaan merupakan faktor penting bagi penyelesaian masalah Papua secara lebih humanis.

    Upaya perbaikan relasi mutlak diperlukan, setidaknya pada empat ranah relasi, yakni relasi antara pemerintah pusat dengan daerah, relasi antarpemerintah daerah, relasi antara pemerintah dengan masyarakat, serta relasi antaranggota masyarakat.

    Pertama, relasi antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah se-Papua. Pada ranah ini, relasi yang kuat ditandai dengan konsistensi antara kebijakan pusat dengan kebutuhan daerah yang disertai komitmen, kerja nyata, dan pernyataan-pernyataan konstruktif dari kedua belah pihak. Sayangnya, pada ranah ini, relasi yang ada sekarang tidak bisa dikatakan baik, terutama antara Jakarta-Jayapura.

    Beberapa kali Gubernur Papua mengekspresikan kekecewaannya terhadap kebijakan pemerintah pusat, misalnya terkait penundaan pembahasan revisi UU Otonomi Khusus Papua. Sebaliknya, pejabat pemerintah pusat juga kerap melontarkan pernyataan yang kontroversial terkait Papua, misalnya pernyataan Menkopolhukam terkait upaya sekelompok masyarakat Papua menggalang dukungan dengan kelompok negara Pasifik (Kompas, 19/02/2016).

    Kedua, relasi antara pemerintah daerah lain dengan pemerintah daerah se-Papua. Relasi pada ranah ini terwujud antara lain dari kerja sama antarpemerintah daerah. Salah satu contohnya adalah kerja sama antara Pemerintah Kabupaten Merauke dengan Pemerintah Kota Bandung baru-baru ini terkait pengembangan teknologi, pendidikan, pangan, serta kerja sama budaya.

    Namun, hingga saat ini persinggungan antara pemerintah daerah se-Papua dengan pemerintah daerah lain di Indonesia masih sangat jarang. Hal ini menyebabkan ranah kerja sama antardaerah belum dapat menjadi perekat kebhinekaan.

    Ketiga, relasi antara pemerintah (baik pusat maupun daerah) dengan masyarakat. Relasi antara pemerintah dengan masyarakat di Papua tidak mudah diuraikan sebagaimana tampaknya. Hal ini karena masyarakat seringkali tidak dapat membedakan mana yang menjadi tanggung jawab pemerintah daerah atau pemerintah pusat.

    Meskipun dari sisi aturan terdapat pemilahan otoritas dan tanggung jawab, namun kenyataannya setiap kekurangan cenderung dialamatkan pada pemerintah pusat. Sebaliknya, persepsi yang baik terhadap pemerintah lokal belum tentu berdampak pada persepsi masyarakat terhadap pemerintah nasional karena kuatnya relasi patron-klien.

    Keempat, relasi antar masyarakat. Dinamika relasi pada ranah ini tercermin dalam hubungan keseharian antarwarga yang termanifestasi pada kerukunan, toleransi, solidaritas sosial, serta kepedulian sebagai sesama warga bangsa.

    Ranah keempat itu merupakan arena yang sangat fundamental dan menentukan rasa persatuan dan kesatuan bangsa. Sayangnya, justru pada ranah inilah kerusakan paling parah terjadi. Segregasi sosial di antara penduduk di Papua semakin tajam, baik antara masyarakat asli dengan pendatang, maupun di antara masyarakat Papua pegunungan dengan masyarakat Papua yang tinggal di pesisir.

    Stereotip dan stigma negatif terhadap warga Papua belakangan menguat. Jika terus dibiarkan, kondisi ini akan menghancurkan kohesivitas sosial yang bermuara pada perpecahan.

    Keseluruhan arena relasi di atas merupakan pilar-pilar utama penopang legitimasi negara di mata masyarakat Papua.

    Dengan kata lain, solusi terhadap krisis legitimasi negara bukan hanya ada di tangan pemerintah, melainkan juga menjadi tanggung jawab seluruh warga negara.

    Upaya ini proses panjang yang memerlukan komitmen dan peran berbagai lapisan, karena di samping kehadiran nyata negara melalui pembangunan dan pelayanan, interaksi keseharian seluruh warga bangsa dengan masyarakat Papualah yang menentukan sejauh mana mereka merasa menjadi bagian dari bangsa Indonesia.

    Dalam proses tersebut, media massa dapat memainkan peran sangat krusial sebagai katalis bagi kohesivitas sosial, dan bukan sebaliknya.

  • Pemerintah Diminta Bentuk Organisasi Tandingan MSG

    Jakarta, Tabloid-Wani — Pemerintah Indonesia disarankan membentuk organisasi Melanesia tandingan, untuk melawan organisasi Melanesia di Pasifik Selatan. Menurut Pakar Hubungan Internasional Teuku Rezasyah, dukungan anggota Melanesia kepada Gerakan Pembebasan Papuan Barat (ULMWP) mengganggu kedaulatan Indonesia. Pemerintah, kata dia harus berani mengambil tindakan tegas terkait hal tersebut. Salah satunya, dengan membuka dialog dengan kepala negara Pasifik Selatan soal status ULMWP. “Kita harus berani ngadu. Mereka bikin Melanesia Brotherhood, kita bikin Melanesia Society. Kita gabungkan yang di Papua, Maluku, Halmahera, stoknya Melanesia, dan lebih banyak dibandingkan Pasifik Selatan. Perang organisasi harus dilawan dengan perang organisasi oleh Indonesia,” kata Rezasyah kepada KBR, Kamis (14/7/2016).

    Reza menilai status ULMWP sebagai Observer di MSG memalukan Indonesia. Hal itu merusak kedaulatan. “Yang dikuatirkan sekarang, apa Indonesia sadar, ini kan langkah mendiskreditkan Indonesia. Jadi nanti bukan hanya observer tapi jangan-jangan bisa memberikan input,” tutur Reza. Reza juga mengingatkan pemerintah untuk berhati-hati jika kasus ini dibawa menjadi isu internasional. “Jangan sampai ini jadi isu internasional, karena mempermalukan Indonesia. Sebelum jadi api, kita cegah baranya dulu,” ujarnya.

    Sumber: http://www.tabloid-wani.com/

  • KBRI Australia: ULMWP Merusak Kesatuan MSG

    Penulis: Bob H. Simbolon 15:03 WIB | Senin, 11 Juli 2016

    Sade Bimantara
    Sade Bimantara (Foto: thejakartapost.com)

    CANBERRA, SATUHARAPAN.COM – Juru Bicara Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Australia, Sade Bimantara, menuduh kelompok Gerakan Pembebasan Papua Barat atau dikenal sebagai United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) terus mengganggu dan merusak Melanesian Spearhead Group (MSG). Langkah-langkah ULMWP dinilai berbahaya bagi persatuan dan integritas MSG.

    Hal ini ia katakan dalam sebuah tulisan yang dimuat oleh solomonstarnews.com, dengan judul “Is MSG A Strong or Sick Man of the Pacific?” pada 10 Juli 2016.

    MSG dijadwalkan akan mengadakan Konperensi Tingkat Tinggi (KTT) pada 14 Juli mendatang di Honiara, Kepulauan Solomon. ULMWP sedang dalam proses untuk diakui sebagai anggota penuh MSG namun Indonesia menolak keras.

    Dalam tulisannya, Sade Bimantara menilai Kelompok ULMWP bukan merupakan wakil dari empat juta orang Papua di provinsi Papua di Indonesia.

    “Itu (ULMWP) diciptakan mewakili suara orang Papua di luar negeri, yang mungkin masih memiliki kewarganegaraan Indonesia dan banyak yang sudah meninggalkan kewarga negaraannya,” tulis Bimantara.

    Menurut Sade Bimantara, agenda tunggal ULMWP hanyalah mengambil alih sebagian dari wilayah Indonesia yang berdaulat dan itu merupakan preseden berbahaya.

    Ia mengatakan, selama hampir satu dekade eksistensinya, MSG telah menunjukkan potensinya menjadi ‘Orang Kuat di Pasifik Selatan.’ MSG dalam proses menjadi wilayah yang terintegrasi secara ekonomi sambil memelihara identitas budaya Melanesia.

    Namun, menurut dia, satu isu telah mengancam kepentingan inti dari seluruh proyek MSG. Yang dia maksud adalah kehadiran ULMWP dalam organisasi itu dengan agenda untuk merdeka. Saat ini ULMWP berstatus anggota peninjau.

    “MSG saat ini kemungkinan telah menunjukkan gejala orang sakit. Dengan membiarkan kelompok ULMWP membajak agenda mereka, MSG secara tidak sengaja telah mengirimkan pesan yang salah. Ia seakan berkata bahwa adalah baik bagi organisasi politik lain untuk bergabung dengan MSG dan menuntut sebagian wilayah negara mereka,” kata dia.

    Menurut Sade Bimantara, MSG juga seolah-olah memberikan pesan bahwa tidak apa-apa menghianati prinsip kerja sama MSG yang sudah disepakati, yaitu prinsip untuk saling menghormati kedaulatan masing-masing negara.

    Lebih jauh, lanjut dia, MSG juga seakan memberi pesan bahwa tidak apa-apa bila meninggalkan sebagian terbesar populasi Melanesia di Pasifik.

    Menurut Sade Bimantara, tidak bisa dipungkiri bahwa dalam kenyataan 11 juta orang Melanesia hidup di lima provinsi di Indonesia, seperti Nusa Tengagra Timur, Maluku, Maluku Utara, Papua dan Papua Barat.

    “Sulit untuk mencapai tujuan solidaritas kultural dan suara yang lebih besar bagi orang Melanesia seperti yang dicanangkan oleh MSG jika suara lebih dari setengah populasi Melanesia tidak disambut, seperti ambisi ULMWP,” tulis Bimantara.

    Di bagian lain tulisannya, Bimantara menuduh ULMWP membawa perpecahan di kalangan rakyat Indonesia dan sama sekali tidak memberikan kontribusi bagi pemecahan masalah, sebagaimana umumnya yang diupayakan oleh berbagai lembaga swadaya masyarakat di seluruh dunia.

    Oleh karena itu, Bimantara menyerukan agar KTT MSG kembali ke fokus MSG yang lebih penting yaitu solidaritas kultural dan pembangunan manusia Melanesia.

    Dengan mengambil pendekatan inklusif dengan menyambut lebih dari setengah populasi Melanesia yang hidup di bagian Timur Indonesia, MSG dapat terlibat dalam inisiatif yang memperkuat ikatan solidaritas di kalangan Melanesia.

    Dia juga mengatakan pada bulan lalu, Fiji, Papua Nugini, Kepulauan Solomon dan Vanuatu menyetujui perjanjian perdagangan baru yang lebih komprehensif. Dijuluki sebagai MSGTA3 itu, perjanjian ini mencakup baik komoditas dan perdagangan jasa, mobilitas tenaga kerja dan investasi.

    “Dengan memperluas perjanjian ini mencakup semua negara yang memiliki populasi Melanesia yang signifikan, misalnya, perdagangan dan investasi antara anggota yang menyepakati perjanjian secara signifikan akan tumbuh. Sebagian besar anggota MSG menghasilkan ekspor serupa, yang mengimbangi manfaat dari perjanjian perdagangan bebas. Dengan menjalin perdagangan dengan negara-negara lain yang memproduksi berbagai barang yang berbeda, MSG akan memperoleh keuntungan dari perdagangan yang lebih luas dan investasi,” kata Bimantara.

    Editor : Eben E. Siadari

  • Jelang Putusan ULMWP, Kemenlu: Harus ada Kesepakatan dari Indonesia

    Senin, 11/07/2016 20:50 WIB

    KBR, Jakarta- Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) menekankan, keputusan Melanesian Spearhead Group (MSG) harus mempertimbangkan kesepakatan anggotanya. Ini menanggapi jelang putusan diterima atau tidaknya Gerakan Pembebasan Papua Barat (ULMWP) menjadi anggota MSG pada 13-14 Juli mendatang.

    Juru Bicara Kemenlu Arrmanatha Nasir mengatakan, posisi Indonesia saat ini sebagai associate member atau anggota rekanan MSG.

    “Seperti yang kita ketahui Indonesia sebagai associate member di MSG. Di situlah kehadiran kita di sana. Tentunya semua pembahasan kita berusaha akan terus terlibat di dalam situ. Apapun nanti yang diputuskan di MSG tentunya harus mendapat kesepakatan dari seluruh anggota yang ada di sana,” kata Arrmanatha di Gedung Kemenlu Jakarta, Senin (11/07/2016).

    Sebelumnya, Sekretaris Umum Komite Nasional Papua Barat (KNPB) Ones Suhuniap optimistis ULMWP akan diterima sebagai anggota penuh MSG. Ini lantaran persyaratan menjadi sebagai anggota sudah dipenuhi ULMWP. Di antaranya membentuk wadah persatuan dan menjadi anggota observer organisasi ras Melanesia lintas negara itu selama setahun.

    Apabila diterima sebagai anggota penuh MSG, ULMWP akan memiliki hak untuk menentukan nasib sendiri di luar Indonesia atau referendum. Kata Ones, KNPB akan menggelar aksi damai jelang keputusan 13 Juli mendatang di Papua.

  • Terlibat Dalam MSG, Pemerintah Indonesia Bisa Digugat Ke MK

    Jayapura, Jubi – Sebagai negara pluralis, Indonesia diharapkan tidak terlibat atau masuk dalam kelompok negara yang berbasiskan ras, seperti Kelompok Negara-negara Melanesia (Melanesian Spearhead Group/MSG).

    Hal ini dikemukakan kepada media oleh pengamat intelijen Susaningtyas NH Kertopati di Jakarta, Senin (20/6/2016). Nuning menanggapi kehadiran Direktur Jenderal Asia Pasifik dan Afrika Kementerian Luar Negeri (Kemlu) RI Desra Percaya pada pertemuan tingkat menteri luar negeri MSG yang berlangsung di Lautoka, Fiji, Kamis (16/6/2016).

    Dalam pertemuan tingkat menteri MSG ini, United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) untuk pertama kalinya hadir secara resmi dalam sebuah forum MSG. Kehadiran ini diprotes oleh delegasi Indonesia yang dipimpin oleh Dirjen Asia Pasifik dan Afrika Kementerian Luar Negeri, Desra Percaya.

    Keberatan Indonesia ini, menurut Desra karena Indonesia beranggapan Papua telah diwakili oleh delegasi Indonesia dalam pertemuan di Lautoka ini.

    Melalui saran pers Kementerian Luar Negeri, Jumat (17/6/2016) Indonesia menjelaskan penolakan atas klaim ULMWP yang disebut sebagai gerakan separatis.

    “ULMWP adalah gerakan separatis di negara yang berdaulat. Gerakan ini tidak memiliki legitimasi dan tidak mewakili rakyat Papua Barat,” kata Dirjen Asia Pasifik dan Afrika Kementerian Luar Negeri, Desra Percaya dalam pertemuan Tingkat Menteri Melanesian Spearhead Group (MSG).

    Meski sepakat dengan pernyataan Desra ini, Nuning menyayangkan sikap Pemerintah Indonesia yang ingin hadir dalam pertemuan tersebut.

    “Kehadiran delegasi Indonesia itu bisa dimainkan di tingkat internasional secara sepihak,” ujar Nuning, dikutip beritasatu.com

    Ia mengingatkan, politik luar negeri yang spesifik seperti kasus MSG ini bisa digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK), karena tidak konstitusional. Kalau tidak berhati-hati, pemerintah menurutnya bisa melanggar Pasal 2 Undang-Undang Nomor 37 tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri.

    “Karena melanggar sila ke-3 Pancasila. Pasal itu menyebutkan, hubungan luar negeri dan politik luar negeri didasarkan pada Pancasila, UUD 1945, dan Garis-garis Besar Haluan Negara,”

    jelasnya.

    Indonesia, lanjut Nuning adalah negara pluralis, sehingga tidak bisa masuk ke organisasi yang dibentuk berdasarkan ras.

    “Sebagai bangsa demokratis pluralis terbesar ketiga, jangan sampai kita terjebak dengan politik ras. Kita harus berhati-hati,” tuturnya.

    Indonesia telah melobi intens beberapa negara anggota penuh MSG di wilayah ini untuk melawan upaya ULMWP menjadi anggota penuh di MSG. Namun dukungan akar rumput di negara-negara Melanesia untuk penentuan nasib sendiri Papua Barat dan kegiatan diplomasi internasional atas masalah Papua ini semakin kuat. (*)

  • Parlemen Eropa Dukung Internasionalisasi Aceh dan Papua lewat Isu Keadilan dan Hak Penentuan Nasib Sendiri

    Juni 15, 2016 7:17 pm

    Jakarta, Aktual.com. Kalangan pro kemerdekaan di Aceh dan Papua kekuatan politik dan militernya saat ini sebenarnya sudah tidak terlalu mengkhawatirkan. Namun gerakan dan kiprahnya di fora internasional untuk meng-internasionalisasikan Aceh dan Papua melalui jalur-jalur diplomasi nampaknya perlu dicermati oleh para pemangku kepentingan politik-keamanan di Jakarta.

    Pada 14 Juni 2016 di Brussels-Belgia, Parlemen Eropa telah menggelar sebuah konferensi internasional membahas Hak-Hak Minoritas dan Kerjasama Regional di Asia Tenggara.
    Nampaknya, pagelaran yang diselenggarakan oleh Parlemen Eropa itu disambut oleh beberapa kalangan pro kemerdekaan Aceh sebagai momentum yang bisa dimanfaatkan untuk menghidupkan terus gerakan meng-internasionalisasikan Aceh Merdeka. Ketua Presidium Acheh-Sumatra National Liberation Front (ASNLF), Ariffadhillah masuk dalam jajaran peserta konferensi.

    Menurut keterangan yang berhasil kami himpun, Arif yang bermukim di Jerman itu, tercatat sebagai analis kimia di Eisenach, Jerman. Selain dirinya, dalam delegasi ASNLF yang dipimpinnya juga akan ikut bergabung perwakilan ASNLF dari Swedia dan Belanda. Tak pelak hal ini menggambarkan bahwa jaringan ASNLF setidaknya cukup terorganisasi di Eropa. Melalui kehadiran Arif dan kawan-kawannya di konferensi tersebut, ASNLF membahas dan membeberkan pelanggaran HAM beserta kekebalan hukum militer yang terjadi di Indonesia. Sebagaimana dinyatakan sendiri oleh Arif pada awal Juni lalu.

    Ada satu aspek penting yang perlu jadi catatan dari konferensi internasional tersebut. Fakta bahwa acara tersebut terselenggara berkat kerja sama Organisasi Bangsa dan Rakyat yang tak Terwakili (UNPO), Taiwan Foundation for Democracy (TFD), Haella Foundation dan lobi politikus asal Estonia, Urmas Paet yang juga tercatat sebagai anggota parlemen Uni Eropa.

    Namun yang patut dicermati adalah bahwa melalui penyelenggaraan konferensi internasional itu, Parlemen Eropa nampak jelas sangat memfasilitasi acara tersebut. Konferensi tersebut berlangsung di ruang PHS7C050 gedung parlemen Uni Eropa.
    Bagi kita di Indonesia kiranya sudah sepatutnya membaca tren ini berpotensi untuk tetap menghidupkan terus gerakan separatisme di Aceh.

    Apalagi melalui konferensi ini, akan dijadikan forum untuk mempresentasikan sebuah tinjauan umum mengenai keadaan minoritas di Asia Tenggara. Sehingga dalam kerangka tema besar tersebut, gerakan pro kemerdekaan Aceh akan memasukkan agenda kemerdekaan Aceh dengan menggunakan isu pelanggaran hak-hak asasi manusia di Aceh sebagai alasan pembenaran untuk menghidupkan terus gerakan meng-internasionalisasikan gerakan pro kemerdekaan Aceh di forum internasional. Dan Parlemen Eropa terkesan sangat mendukung sekali gerakan-gerakan separatisme di beberapa negara di Asia Tenggara yang disamarkan melalui tema Hak-Hak Minoritas dan Kerjasama Regional di Asia Tenggara.

    Apalagi ketika Ketua Presidium ASNLF berencana mempresentasikan makalah tentang lemahnya penyelesaian HAM melalui perjanjian MoU Helsinki yang tidak ada hasilnya sama sekali meskipun sudah satu dekade lamanya. Untuk alternatifnya, ketua presidium ASNLF itu akan memberikan solusi dengan menyerukan komunitas internasional untuk menghormati tuntutan rakyat Aceh untuk keadilan dan penentuan nasib sendiri.

    Jika ini benar, berarti gerakan ASNLF meng-internasionalisasikan isu Aceh merdeka memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), adalah dengan menggunakan isu keadilan dan hak penentuan nasib sendiri, atau the right to self determination sebagai pintu masuk.

    Maka itu keputusan Parlemen Eropa untuk membolehkan keikutsertaan pihak ASLNF maupun Organisasi Papua Merdeka(OPM) pada konferensi internasional Parlemen Eropa di Belgia jelas telah mempertunjukkan itikad yang tidak baik terhadap pemerintah Indonesia sebagai pihak yang sepenuhnya berdaulat atas Aceh maupun Papua hingga sekarang.

    Apalagi fakta mempertunjukkan bahwa baik ASLNF maupun OPM adalah organisasi ilegal yang dilarang di Indonesia, sehingga upaya parlemen Eropa mengundang mereka sama dengan upaya merusak hubungan diplomatik dengan Indonesia.

    Bahkan ditinjau dari sudut pandang MoU Helsinki sekalipun, manuver ASNLF tetap dipandang sebagai upaya untuk menggagalkan perdamaian di Aceh. Sebab dengan telah ditandatanganinya Mou Helsinki, permasalahan konflik atau perselisihan antara Indonesia dengan GAM sudah dianggap final atau kedua belah pihak sudah menyatakan islah.

    Manuver ASNLF justru bisa dinilai untuk mementahkan kembali kesepakatan Helsinki.
    Karena itu pemerintah Indonesia, khususnya KBRI di Jerman dan Belgia, secara khusus perlu memonitor secara intensif Organisasi Bangsa dan Rakyat yang tak Terwakili (UNPO), Taiwan Foundation for Democracy (TFD), Haella Foundation dan lobi politikus asal Estonia, Urmas Paet, karena keempat unsur tersebut jelas-jelas mempunyai itikad yang tidak baik kepada Indonesia.
    (Hendrajit)

Are you sure want to unlock this post?
Unlock left : 0
Are you sure want to cancel subscription?