Jayapura, 15/4 ( Jubi) – Pemekaran, kata Gubernur Papua, bukan solusi untuk menjawab persoalan dasar di Papua, justru sebaliknya akan membawa dampak yang buruk bagi rakyat asli Papua.
Gubernur Provinsi Papua, Lukas Enembe menyatakan keinginannya untuk menjadi warga negara Australia, jika Pemerintah Pusat meloloskan permohonan pemekaran sejumlah daerah otonom baru ( DOB ) di Provinsi Papua. Hal itu diungkapkan Gubernur Papua, ketika melakukan pertemuan terbatas dengan para Bupati/Walikota se- Papua, yang berlangsung di Hotel Aston, tadi malam.
“Kalau sampai terjadi banyak pemekaran di Provinsi Papua, maka saya memutuskan lebih baik menjadi warga negara Australia, karena saya tidak ingin melihat persoalan dan dampak yang terjadi dari pemekaran itu. Saya tidak mau dengar dan ikuti perkembangan Papua nanti. Lebih baik saya tidak tahu,”
ungkap Gubernur Papua.
Gubernur Papua terlihat cukup prihatin dengan banyaknya usulan pemekaran Daerah Otonom Baru yang diperjuangkan oleh orang-orang Papua dari sejumlah daerah di Papua, bahkan dirinya tidak habis pikir, sampai daerah yang sudah tidak layak dimekarkan, masih saja diperjuangkan oleh warga di daerah tersebut untuk tetap dimekarkan.
Karena menurut Gubernur Papua, pemekaran bukan solusi untuk menjawab persoalan dasar di Papua, justru sebaliknya akan membawa dampak yang buruk bagi rakyat asli Papua.
“Orang Papua hanya sedikit orang, jadi kalau kalian mekarkan Kabupaten, itu sama saja membuka ruang bagi orang dari luar untuk datang ke Papua dan menguasai Papua,” tandas Gubernur.
Menurut Gubernur, jika melihat kondisi rakyat Papua saat ini, usulan pemekaran daerah otonom baru di Papua akan mengancam eksistensi orang asli papua di atas tanahnya sendiri.
“Menurut saya pemekaran itu sama dengan kematian. Bapak-Bapak Bupati bisa terjemahkan sendiri bahasa saya ini,” ungkap Gubernur Papua, Lukas Enembe. (Albert/Jubi )
JAYAPURA – Adanya desakan dari Parlemen Uni Eropa, agar Pemerintah Indonesia segera menggelar dialog damai Papua – Jakarta sebagaimana diungkapkan Ketua Umum Badan Pelayanan Persekutuan Gereja-Gereja Baptis Papua (PGGBP) di Tanah Papua, Socratez Sofyan Yoman (Jumat 4/4), mendapat tanggapan dari Pengamat Hukum Internasional FISIP Uncen Jayapura, Marinus Yaung.
Ia mengatakan, keputusan parlamen Uni Eropa tentang penyelesaian persoalan Papua harus dan wajib melalui dialog damai Papua – Jakarta dan juga meminta pembukaan ruang demokrasi serta pembebasan Tapol dan Napol Papua, itu merupakan bentuk peningkatan intervensi internasional terhadap masalah Papua dalam skala yang semakin tinggi dan semakin mengkhawatirkan.
“Bagi saya, sikap Parlamen Uni Eropa tidak jelas dan memiliki tujuan ganda,” tandasnya kepada Bintang Papua, di Kampus FISIP Uncen Waena, Jumat, (5/4).
Ditandaskan demikian, karena pada akhir Januari 2014 lalu, Uni Eropa baru menandatangi Momerandum Of Understanding (MoU) Komprehensif Partnership Atau Perjanjian Kerjasama Komprehensif dengan Pemerintah Indonesia dalam segala bidang.
Komprehensif Partnership ini merupakan jenis pernjanjian tertinggi dalam hubungan internasional yang terjadi karena adanya rasa saling percaya, saling menghormati dan saling menghargai kedaulatan masing-masing negara.
Dirinya mencurigai adanya kepentingan lain yang jauh lebih besar yang dimiliki Uni Eropa dalam menekan Indonesia soal Papua. Bukan soal Uni Eropa peduli dengan masalah Papua, tetapi soal Indonesia menjamin kepentingan ekonomi Uni Eropa di Indonesia demi ekonomi Uni Eropa di Indonesia demi mendukung pemulihan ekonomi negara-negara Uni Eropa yang belum bisa keluar dari krisis ekonomi Tahun 2008 lalu.
Tetapi bukan berarti Pemerintah Indonesia harus mengabaikan permintaan Uni Eropa untuk melakukan dialog damai dengan masyarakat Papua. Terkait dengan masalah Papua, pemerintah sudah harus melihat dialog damai Papua – Jakarta sebagai kunci utama solusi masalah Papua, bukan pendekatan kesejahteraan dalam konsep Otsus Plus.
Baginya, keliru kalau menyimpulkan Otsus Plus kado Istimewa buat Papua. Sejak kapan orang Papua diperlakukan istimewa dalam republik ini? Otsus Papua yang sudah berlaku, dan Otsus Plus yang merupakan bentuk revisinya, bukanlah karena kebaikan hati Jakarta bagi orang Papua. Tetapi karena ribuan nyawa anak Papua telah mati dibunuh selama tahun-tahun integrasi dengan NKRI.
Dengan demikian, jika ada orang Papua yang kampanyekan Otsus Plus itu kado istimewa Presiden SBY buat Papua, dirinya berpikir bahwa orang tersebut berlebihan, tidak tahu pergulatan batin banyak masyarakat Papua dan tidak memiliki rasa kemanusiaan.
“Itulah wajah sesungguhnya dari para pengkhianat bangsa Papua. Tidak pernah Pemerintah di negara ini memandang orang Papua itu istimewa, Otsus plus itu bentuk ketidakpercayaan Presiden SBY terhadap pejabat dan elit politik Papua yang tidak tahu mengelola kekuasaan dengan benar,”
tukasnya.
Baginya, seharusnya pejabat dan elit politik Papua malu dengan ide Otsus plus Presiden SBY. Tetapi karena pejabat dan elit Papua sudah tidak punya rasa malu jadi begitu bangga sekali dengan konsep Otsus Plus. Dan tidak memikirkan dampaknya yang menjadi korban adalah rakyat Papua, sebab Otsus Plus bukan pro rakyat, tetapi pro elit dan pejabat pemerintah. Sehingga wajar kalau semua orang di Papua tidak terlalu mendukung Otsus plus, namun semua mendukung dialog damai Papua – Jakarta untuk menciptakan perdamaian dan keadilan di Tanah Papua.
Dirinya hanya menghimbau dan berharap banyak pemerintah pusat memberikan ruang untuk berdialog dengan Papua. Tinggalkan dulu Otsus Plus, kedepankan dialog Papua sebagai kebijakan utama Presiden SBY sebelum mengakhiri masa jabatannya. Itupun kalau Presiden SBY bertekad penuh menyelesaikan masalah Papua. Lepas dari NKRI dan menjadi negara sendiri, silakan saja lanjutkan kebijakan Otsus Plus. Dunia internasional akan langsung intervensi masalah Papua ketika Otsus Plus diimplementasikan. Intervensinya dalam bentuk apa? Masalah Papua akan langsung masuk agenda PBB dan diputuskan secara unilateral mengikuti skenario kasus kemerdekaan Kosovo Tahun 2008 lalu.(Nls/don/l03)
Marinus YaungJAYAPURA – Pengamat Hukum Internasional dan Sosial Politik Univeritas Cenderawasih, Marinus Yaung, mengatakan, pernyataan Yan Mandenas bahwa Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemerintahan Papua hanya numpang lewat di DPPRP, Itu benar-benar merupakan bukti bahwa di lembaga DPRP dan MRP tidak ubahnya sebuah lembaga yang sangat memalukan. Karena telah ditipu dan dikerjain habis-habisan oleh Pemerintah Pusat melalui Pemerintah Provinsi Papua.
Sangat disayangkan karena katanya anggota DPRP dan MRP adalah orang-orang Papua yang cerdas dan pintar, tetapi mudahnya meloloskan suatu RUU tersebut yang notabenenya RUU dimaksud tidak sesuai proses legislasi dalam sistem hukum tata negara Indonesia.
Mana mungkin suatu RUU yang tidak memiliki draft akademik, tidak memiliki landasan filosofis, landasan historis dan landasan yuridis yang menjadi fondasi dasar suatu RUU yang seharusnya dijelaskan awalnya dalam draft akademik.
“Ini bisa dengan mudahnya dimasukkan dalam sidang Paripurna dewan,” ungkapnya kepada Bintang Papua di Kampung FISIP Uncen Waena, Kamis, (23/1). Menurutnya, seharusnya RUU Pemerintahan Papua yang tidak memiliki draft akademik, harusnya pula dilengkapi dengan Daftar Inventaris Masalah (DIM) tapi ini tidak dilakukan, dan harusnya terlebih dahulu dibahas dalam rapat-rapat komisi, rapat-rapat fraksi atau harusnya DPRP membentuk Panja khusus yang menangani RUU Pemerintahan Papua tersebut.
Tapi sayangnya langsung dibawa kedalam sidang Paripurna dewan tanpa draft akademik dan DIM. Ini benar-benar bukan pembelajaran hukum dan sistem pemerintahan yang baik. Tetapi catatan penting disini buat DPRP bahwa lembaga DPRP dan semua rakyat Papua, bahwa telah ditipu oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Provinsi Papua.
Mengapa demikian? RUU Pemerintahan Papua karena sudah DPRP maka akan sampai ke Jakarta di meja Presiden SBY sudah dalam bentuk RUU Pemerintahan Papua atas inisiatif rakyat Papua. Karena salah satu poin penting dan mendasar dalam proses legislasi adalah suatu RUU ini berasal dari mana atau atas inisiatif siapa? Sehingga benar-benar kita orang Papua dibohongi, karena ketika RUU Pemerintahan Papua sampai di tangan Presiden SBY dan Presiden SBY akan tahu bahwa RUU atau PP adalah merupakan inisiatif atau kemauan rakyat Papua.
“Saya akhirnya jadi teringat kembali kisah perjanjian New York Tahun 1962, suatu perjanjian yang tidak melibatkan orang Papua didalamnya, tapi dianggap telah melibatkan orang asli Papua,” tandasnya.
Suatu perjanjian New York yang sampai dengan hari ini menimbulkan masalah kemanusiaan di Papua yang tak kunjung selesai. Dengan demikian apakah RUU Pemerintahan Papua yang tidak melibatkan masyarakat Papua dalam proses pembahasannya, tetapi dianggap sudah melibatkan masyarakat Papua, dan pastinya akan bernasib sama dengan New York Agreement, sama dalam pengertian akan semakin sama dalam pengertian akan semakin menambah kompleksitas masalah Papua dan menimbulkan konflik kemanusiaan yang lebih besar lagi di Papua tanpa akhir penyelesaiannya?.
“Seharusnya DPRP tidak terburu-buru ikut dalam permainan politik Pemda Provinsi Papua yang mengejar tayang RUU Pemerintahan Pemerintahan Papua ini. Sangat memalukan melihat DPRP dan MRP begitu tidak berdaya menghadapi manuver politik Pemerintah Pusat melalui staf khusus Presiden SBY. Sungguh tragis betul nasib rakyat Papua saat ini,”
Manokwari (SULPA) – Penghargaan Internasional John Humphrey Freedom Award dibidang HAM tahun 2005 dari Canada selaku anak asli Papua Yan Christian Warinussy memprotes dan menolak keras dengan adanya pernyataan dan permintaan Gubernur Papua Lukas Enembe yang mengatakan agar melupakan pelanggaran HAM di Papua dengan alasan ini sudah masuk reformasi di Indonesia.
Menurut Yan Christian Warinussy selaku Direktur Eksekutif LP3BH mengatakan, pernyataan yang dikeluarkan oleh Gubernur Papua adalah keliru. Pelanggaran HAM yang terjadi di Papua merupakan Memoria Pasionis yang dialami hapir merata diseluruh tanah Papua oleh anak-anak Papua secara turun temurun, sejak kekuasaan dialihkan menjadi kekuasaan administrative pemerintah atas tanah ini dari Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) kepada Indonesia yang hingga kini masih menuai perbedaan pemahaman yang sangat tajam.
“Pernyataan Enembe bahwa persoalan pelanggaran HAM sudah bisa diatasi dengan adanya era reformasi dan keberadaan UU Otonomi Khusus Papua adalah pembohongan paling menyakitkan dan memalukan bagi orang Papua. Karena nyata-nyata semenjak reformasi itulah justru pelanggaran HAM yang paling sadis, keji dan busuk terus meningkat dari waktu ke awaktu sejak 1998 hingga hari ini di tanah Papua,”
katanya.
Pelanggaran HAM di tanah Papua sudah masuk dalam kategori pelanggaran HAM berat sebagaimana diatur di dalam Undang Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM dan UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Sehingga secara hukum terdapat cukup alasan kuat bagi rakyat Papua untuk terus mempersoalkannya dan mendesak untuk diselesaikan melalui mekanisme hukum yang berlaku baik dalam konteks nasional di Indoensia maupun dengan menggunakan mekanisme dan instrumen internasional di bidang HAM yang berlaku.
“Saya menilai Enembe buta terhadap kasus pelanggaran HAM paling sadis yang sedang terjadi di depan mata, dimana Markus Haluk, Mama Yosepha Alomang dan sekitar 40-an aktivis perjuangan Papua lainnya yang baru-baru ini ditangkap, dianiaya dan ditahan ketika berlangsungnya kunjungan para Menlu MSG dari Papua New Guinea, Fiji dan Kepulauan Solomon,”
terang Yan Christian Warinussy.
Lebih lanjut dikatakan, pelanggaran HAM yang terjadi ditanah Papua adalah sebuah penderitaan berkepanjangan bagi rakyat Papua, khususnya orang asli Papua yang sudah terjadi secara sistematis dalam bentuk pembunuhan kilat, penghilangan paksa, pemerkosaan, dan kekerasan seksual, penganiayaan, penahanan sewenang-wenang,di luar proses hukum ungkapnya kepada koran.
Manokwari (SULPA) – Pemerintah RI dinilai mengalihkan perhatian dunia soal pelanggaran HAM dengan hanya mempertemukan delegasi MSG (Melanesian Spearhead Group) dengan gubernur Papua, Lukas Enembe, SIP, MH.
‘’Ini disebabkan karena sebagaimana dinyatakan oleh Menteri Luar Marty Natalegawa bahwa persoalan yang mengganggu posisi Indonesia dalam konteks Papua di dunia internasional adalah pelanggaran HAM, terbatasnya akses media asing dan soal lingkungan,’’
kata Direktur Eksekutif LP3BH Manokwari, Yan Christian Warinussy, SH kepada SULUH PAPUA, Rabu (15/1/2014) di Manokwari, Papua Barat.
Jauh sebelumnya dalam Universal Periodic Revieuw (UPR) di Dewan HAM PBB (UN Human Rights Council) di Jenewa, Swiss secara tegas menunjukkan sekitar 176 negara di dunia mengemukakan pandangan dan pernyataan tegasnya yang menyoroti pelanggaran HAM di Tanah Papua yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia, baik yang terjadi secara sistematis maupun struktural.
Disamping itu, laporan dari Komnas HAM Asia (Asian Human Rights Commission) tentang tindakan pemusnahan etnis (genosida) di kawasan Pegunungan Tenga Papua (1977-1978).
Ia menyebutkan, bahwa Universitas Yale, Amerika Serikat pernah mengeluarkan laporan risetnya yang mendalam tentang terjadinya Genosida di Tanah Papua yang dilakukan oleh TNI dan POLRI.
‘’Hal ini sempat terungkap dalam pengakuan dari Mayor Jenderal Purnawirawan Sintong Panjaitan dalam Bukunya,” katanya.
Dalam buku berjudul “Pejalanan Seorang Prajurit Para Komando” yang ditulis oleh Hendro Subroto, disebutkan pengakuan sang jenderal menyangkut tindakan kekerasan yang dilakukan pasukannya, termasuk dalam upaya memenangkan Tindakan Pilihan Bebas (Act of Free Choice) atau Pepera.
Secara factual, jika dilakukan secara benar, maka hasilnya adalah 2:3 untuk untuk kemenangan pihak yang menginginkan Irian Barat (Papua) berdiri sendiri.
Warinussy mengatakan, sorotan terhadap permasalahan Papua juga dikemukakan Prof.Piter J.Drooglever dalam bukunya : “Een Daad Van Vrije Keuze, De Papoea’s van westelijk Nieuw-Guinea en de grenzen van het zelbeschikkingrecht atau Tindakan Pilihan Bebas, Orang Papua dan Penentuan Nasib Sendiri.
Dalam buku yang telah diterbitkan edisi Bahasa Indonesian diungkapkan mengenai terjadinya berbagai bentuk pelanggaran secara sistematis dan struktural yang dilakukan atas peran dan prakarsa Pemerintah Indonesia di bawah pimpinan mantan Presiden Ir.Soekarno waktu itu untuk mengintegrasikan Tanah Papua menjadi bagian dari Republik Indonesia.
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menurut Warinussuy, di dalam hasil penelitian ilmuiahnya yang diberi judul Papua Road Map pada tahun 2009 telah menetapkan adanya 4 (empat) masalah utama di Tanah Papua, yaitu : pertama, marjinalisasi dan efek diskriminatif terhadap Orang Asli Papua. Kedua, kegagalan pembangunan di bidang pendidikan, kesehatan dan pemberdayaan ekonomi rakyat. ketiga, kontradiksi sejarah dan konstruksi identitas politik antara Papua dan Indonesia. Serta keempat, pertanggung-jawaban atas kekerasan negara di masa lalu terhadap Orang Asli Papua.
“Ujungnya LIPI menyarankan penyelesaian soal-soal tersebut diantaranya melalui Dialog Damai yang kini terus didorong bersama melalui Jaringan Damai Papua (JDP) di bawah Pimpinan Pater Neles Tebay,’’ katanya.
Sebagai pembela HAM di Tanah Papua,Warinussy juga menilai kunjungan delegasi Menlu MSG yang hanya diwakili Menlu PNG, Solomon Island, Fiji dan Kelompok Perjuangan Etnis Kanaky di Jayapura itu justru terjadi bersamaan dengan terus terjadinya pelanggaran HAM secara sistematis dan strukrural di Tanah Papua.
Hal itu antara lain dalam bentuk terjadinya penangkapan terhadap sekitar 46 orang aktivis pro Perjuangan Papua yang sedang berorasi dan berdemo damai di halaman Kantor DPR Papua yang langsung ditangkap oleh aparat keamanan dari Polda Papua.
Juga secara struktural menurut Warinussy,terjadi tindakan memangkas agenda pertemuan para Menlu MSG tersebut dengan perwakilan kelompok-kelompok perjuangan politik yang pro-Papua Merdeka diantaranya dengan perwakilan dari West Papua National Coalition for Liberation (WPNCL) di Jayapura.
Kondisi ini jelas telah menciderai semangat para Pemimpin MSG dalam Komunikenya pada Juni 2013 lalu di Noumea yang menyatakan keprihatinan dan kekwatiran mereka terhadap situasi pelanggaran HAM sesama etnis Melanesia di Tanah Papua Barat.
“Berkenaan dengan itu, maka saya ingin mendesak Pemerintah Indonesia untuk secara dewasa, arif dan bijaksana ke depan mau membuka diri untuk menerima kritikan dan memberi ruang demokrasi yang lebih luas bagi Orang Asli Papua untuk menyuarakan aspirasi dan pandangan politiknya yang berbeda berdasarkan hukum dan prinsip-prinsi HAM yang berlaku universal,’’
tandasnya.
Pemerintah juga harus bisa menyelesaikan segenap kasus pelanggaran HAM yang telah terjadi sejak Tahun 1963 hingga hari ini dengan menggelar peradilan HAM yang jujur, terbuka dan fair untuk mengadilin dan menjatuhkan hukuman bagi mereka-mereka yang nyata-nyata terindikasi merupakan pelaku-pelaku lapangan maupun pemegang kendali operasi keamanan yang pernah berlangsung di Tanah Papua dahulu.
“Jika Pemerintah Indonesia tidak segera merubah cara pandangnya atas langkah penyelesaian pelanggaran HAM di Tanah Papua serta usulan penyelesaian melalui Dialog Damai, maka saya sangat yakin bahwa Papua akan keluar karena masalah hak asasi manusia sebagaimana halnya Timor Timur. Jangan lupa bahwa ada seorang penulis orang asli Indonesia sudah memprediksi dalam bukunya terbitan tahun 2011 bahwa jika soal HAM tidak diselesaikan oleh Pemerintah Indonesia, maka Negara ini akan “pecah” pada tahun 2015, atau satu tahun dari sekarang ini,’’
Marinus YaungJAYAPURA – Pengamat Politk dari Universitas Cenderawasih, Marinus Yaung, menegaskan bahwa pelaku penembakan di Mulia, Puncak Jaya, bukanlah kelompok TPN-OPM sebagaimana yang ramai diberitakan saat ini.
“Penembakan warga sipil dan pesawat di Puncak Jaya bukan dari kelompok TPN-OPM pimpinan Goliat Tabuni. Karena pimpinan TPN-OPM di wilayah pegunungan tengah sudah memahami perkembangan masalah Papua di dunia internasional dewasa ini, jadi mereka tidak mungkin melakukan tindakan-tindakan kekerasan yang akan menjadi blunder politik bagi perjuangan diplomasi internasional masalah papua,”
terangnya kepada Bintang Papua, Kamis (9/1).
Ia pun menegaskan bahwa mereka yang melakukan penyerangan terhadap pos polisi dan mengambil 8 pucuk senjata serta menembak warga sipil dan pesawat Susi Air adalah kelompok kriminal pimpinan ‘JP’, seorang tokoh muda garis keras dalam perjuangan Papua merdeka, yang pernah ia jumpai di satu kota di PNG tahun kemarin.
“JP dan seorang temannya yang warga negara asing, merupakan otak dibalik semua kasus kekerasan di Puncak Jaya dalam kurun waktu 1 tahun belakangan ini. Kelompok kriminal JP ini kebanyakan anak-anak muda yang berumur belasan tahun sampai 30-an tahun. Mereka tersebar di beberapa kabupaten di pegunungan tengah dan juga di dalam Kota Jayapura. Dalam jaringan tubuh OPM sendiri, sekarang ini muncul banyak kelompok perlawanan, dimana kelompok ini dapat digolongan dalam 3 kelompok berdasarkan tujuan dan motivasi perlawanan mereka,”
ujarnya.
Dari kelompok itu, lanjutnya, ada yang berjuang untuk ideologi Papua merdeka, dimana jumlah kelompok ini sudah semakin berkurang. Lalu ada kelompok yang berjuang untuk cari makan, uang dan kedudukan dalam lingkaran kekuasaan dengan menjual perjuangan Papua merdeka dan terakhir kelompok kriminal yang muncul karena tidak puas dengan kebijakan-kebijakan pemerintah.
“Kelompok ketiga yang muncul saat ini di papua bagaikan munculnya cendawan atau jamur di musim hujan. Sangat banyak tapi mereka memiliki garis komando yang jelas. Untuk wilyah pegunungan dibawah koordinasi ‘JP’ dan untuk wilayah kota atau pantai di bawah koordinasi sekelompok orang. Ada sejumlah Tokoh-tokoh masyarakat yang menurut saya dapat mendamaikan situasi di sana,tetapi sampai hari ini para tokoh masyarakat ini masih belum di dekati pemerintah dan bahkan mereka sendiripun tidak mau berinisiatif bertemu pemerintah untuk selesaikan konflik Puncak Jaya,”
kata dia.
Ia menambahkan, sebaliknya, kalau ketua DPRP, MRP dan Gubernur Papua mau tampil untuk selesaikan konflik Puncak Jaya, justru mereka ini adalah tokoh-tokoh yang dinilainya tidak disukai oleh TPN-OPM sendiri.
“Lebih baik tokoh-tokoh yang dipercaya oleh OPM sajalah yang mengambil langkah-langkah menyelesaikan masalah Puncak Jaya. Selama tokoh-tokoh masyarakat yang dipercaya OPM tidak mau bicara dengan pemerintah, selain hanya mau bicara lewat forum dialog damai Papua-Jakarta, maka kasus konflik dan kekerasan tak akan pernah bisa diselesaikan,”
“Orang-orang Papua selalu jadi korban, diperkosa, dibunuh di mana-mana. Hak azasi orang Papua dicabut paksa oleh Amerika, Inggris, Australia, dan Indonesia … Kenapa saya ada di areal Freeport? Karena pembantaian demi pembantaian, itu karena emas tembaga. Pemerintah (TNI-Polri) tidak pernah merasa orang Papua bagian dari Indonesia karena lebih mementingkan perusahaan daripada masyarakat yang harusnya dilindungi.”
Jayapura,7/1(Jubi)– Setelah Bupati Puncak Jaya mengatakan 100 anggota Goliat Tabuni menyerah, TPN-OPM menunjukkan eksistensinya. TPN-OPM menyerang dan merampas 8 pucuk senjata dan hari ini menembak mati satu tukang ojek bernama M.Halil di kampung Wuyuneri, Distrik Mulia.
“Mereka memperlihatkan eksistensi ketika Henok ibo mengatakan 100 OPM menyerah,”
tutur Markus Haluk, sekjen Asosiasi Mahasiswa Pegunungan Tegah Papua Se-Indonesi (AMPTPI) kepada tabloidjubi.com di Abepura, Kota Jayapura, Papua Selasa(7/1).
Beberapa waktu lalu bupati Puncak Jaya mengatakan 100 anggoya Goliat Tabuni menyerah. Mereka mengikuti pembinaan anggota Satpol PP. Pernyataan itu tidak terbukti oleh aksi-aksi yang sedang berlangsung.
Menurut Markus, OPM malah marah atas pernyataan itu hingga melahirkan korban jiwa. Karena itu, Henok Ibo harus minta maaf.
“Dia harus minta maaf kepada Goliat Tabuni, dan rakyat Papua,”
tegasnya. Karena pernyataan ini lanjut dia hanya strategi dari Henok Ibo untuk meminta pemekaran Tingginambut.
Wilem Rumasep, PLH Ketua Dewan adat juga mendesak Henok Ibo harus bertanggungjawab atas korban jiwa itu.
“Saya kira pihak yang mengeluarkan pernyataan yang mengecewakan itu harus bertanggungjawab,”
tegasnya.
OPM tidak akan pernah menyerah segampang melontarkan pernyataan. Persoalan Papua Merdeka itu soal perjuangan harga diri bangsa dan bukan makan minum. Kalau pemerintah menempuh jalan kekerasan untuk mengahiri perjuangan OPM tidak akan pernah berhasil.Korban jiwa akan berjatuhan.
Karena itu, menurut Markus, pemerintah Indonesia harus tempuh jalan damai.
“Salah satunya dialog yang harus kita tempuh tetapi kalau pemerintah tidak mau, jalan orang Papua menuju Papua merdeka makin terbuka,”
Dunia dan manusia sekarang punya orang-orang seperti Yesus Kristus, Muhammad, Marthin Lutther King, Nelson Mandela, Noam Chomsky, Ghandi, Desmond Tutu, George Monbiot, dan John Pilger yang suaranya didengar banyak manusia lain dan suara mereka punya pengaruh ke dalam alam bawah sadar manusia, untuk merubah pola pikir, untuk mendorong tindakan-tindakan.
Peradaban modern juga mengenal benar negara dan warga negara dari mana yang memiliki pengaruh terhadap kebijakan negara mereka. Atau dengan kata lain, pemerintah mana yang biasanya mendengarkan opini publik di negaranya. Memang harus diakui tidak semua opini publik diikuti, tetapi opini yang menguntungkan negara yang bersangkutan, maka negara selalu menggunakan alasan “kehendak rakyat” untuk menindak-lanjuti opini dan sikap publik.
Dua aspek yang kita lihat di sini. Ada oknum berpengaruh di dunia ini di satu sisi dan ada sistem pemerintahan dan masyarakat yang memberikan peluang kepada opini dan kehendak pulik untuk mempengaruhi sebuah kebijakan. Oknum yang punya pengaruh telah terbukti dapat mempengaruhi sebuah kebijakan. Penduduk dari beberapa negara yang secara garis besar demokratis, maka opini penduduknya didengarkan oleh pemerintah.
Hampir semua oknum yang berpengaruh di dunia ini telah memberikan opini dan bahkan dukungan kepada perjuangan Papua Merdeka.
Perkembangan dukungan dari Professor Linguistic Noam Chomsky dan kunjungan
English: A portrait of Noam Chomsky that I took in Vancouver Canada. Français : Noam Chomsky à Vancouver au Canada en 2004. (Photo credit: Wikipedia)
seorang pemerhati HAM dari negara Kanada dengan situsnya http://www.pedallingforpapua.com/ ini menyusul dukungan-dukungan dari tokoh berpengaruh lain dan penduduk negara maju lain yang mewarnai pemberitaan tentang perjuangan dan kampanye Papua Merdeka di pentas politik global.
Kedua berita ini menyusul berita tentang pengibaran Sang Bintang Kejora di Kantor Gubernur DKI Port Moresby, Papua New Guinea pada akhir tahun yang barusan lewat.
Dukungan ini diramaikan dengan berbagai pemberitaan secara luas dan terus-menerus dari negeri Kangguru Australia dengan Freedom Flotila dan berita-berita lain yang meramaikan dukungan terhadap perjuangan dan kampanye Papua Merdeka di wilayah Oceania. Tulisan-tulisan dan laporan orang Papua langsung bisa dimuat di berita-berita Online dan Koran di Australia. Sesuatu yang tidak pernah dibayangkan lima tahun lalu.
Papua Merdeka (Photo credit: Roel Wijnants)
Dukungan ini diwarnai juga dengan proses negosiasi alot PM Republik Vanuatu (satu-satunya republik di kawasan Melanesia) dengan pemimpin negara-negara lain di kawasan Melanesia untuk memasukkan West Papua sebagai anggota atau paling tidak peninjau di forum Melanesia Spearhead Group (MSG).
Yang harus menjadi renungan dari setiap insan yang bersuku-bangsa Papua ialah,
“Apa arti dari semua ini untuk masadepan Papua?”
Atau lebih langsung,
“Apakah pendudukan NKRI atas Tanah Papua bersifat kekal-abadi?”
Jawabannya kita harus sampaikan dengan pertama-tama tanyakan kepada NKRI sendiri,
“Apakah Belanda pernah bermimpin Belanda harga mati di wilayah Hindia Belanda?”,
“Bukankah Indonesia juga telah berjuang dan terbukti telah menang walaupun Belanda terus-menerus selama 350 tahun menyatakan Hindia Belanda harga mati?”
Dengan kata lain, penjajah hari ini patut bertanya,
“Apakah sebuah penjahan itu selalu langgeng sampai kiamat?”
Setelah itu, mulai dari Gubernur Provinsi Papua Lukas Enembe bersama Wakil Gubernurnya Klemen Tinal dan Ketua DPRP Deerd Tabuni dan seluruh anggota DPRP, para Bupati dan Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota, Kepala Distrik dan Lurah, sampai kepala Desa, pimpinan PDP, TPN/OPM, Demmak, MRP, Gubernur Bram Atururi dan Ketua DPRPB, semua komponen masyarakat, semua orang Papua haruslah bertanya dan menjawab pertanyaan sendiri:
Apa artinya semua dinamika ini?
Apa yang harus saya lakukan mengantisipasi segala hal yang bakalan terjadi, mengingat tidak ada penjajahan di muka bumi ini yang langgeng kekal-abadi?
Jangan sampai kita bernasib sama dengan Hercules dan Eurico Guiteres. Mereka bersama rekan semarga sekampung mereka kini melarat dan kesasar sampai ke kampung-kampung di Tanah Papua karena ditelantarkan oleh negara dan bangsa yang mereka bela: Indonesia. Mereka malahan ditembak dan dimajebloskan ke Penjara, seolah-olah mereka penghianat NKRI. Mereka tiap hari berpeluh keringant di Camp Pengungsian tanpa pernah diperhatikan. Sekali waktu Sutiyoso, mantan Gubernur DKI Jakarta katakan secara langsung dan terus-terang kepada Eurico Gueteres, “Anda kan dari Timor Leste, solusi terakhir Anda harus pulang ke kampung halaman.” dalam wawancara dengan Kick Andy beberapa tahun lalu.
Satu hal yang pasti, badai globalisasi selalu dan pasti menggilas semua yang menentangnya atau mencoba-coba menahannya. Badai globalisasi benar-benar menghanyutkan bagi yang menentangnya. Tetapi mereka yang mengikuti arusnya tidak bakalan tergilas. Badai globalisasi itu perdagangan bebas, korporasi multinasional, organisasi agama, hubungan perdagangan, dan jagan lupa “dukungan internasional terhadap apa saja di dunia ini”. NKRI selalu ke luar negeri dan bilang, “Amerika dukung Papua di dalam NKRI,” “Australia tetap dukung Papua di dalam Indonesia” dan sejenisnya. Itu artinya dukungan internasional begitu penting bagi pendudukan NKRI atas tanah dan bangsa Papua. Itu mengandung makna dukungan internasional-lah yang memampukan NKRI menganeksasi dan mendudukan negara West Papua dan warga negaranya. Sekarang bagaimana dengan dinamika dukungan masyarakat internasional terhadap Papua Merdeka belakangan ini? Bukankah ini salah satu dari sekian banyak arus globalisasi dimaksud? Apakah NKRI sanggup menahan atau menentangnya?
Apakah kita orang Papua masa bodoh saja terhadap perkembangan terkini seperti ini dan buat seolah-olah tidak ada apa-apa dan sibuk dengan Otsus, UP4B dan Otsus Plus?
Kapan Gubernur dan Wakil Gubernur Papua, Gubernur dan Wakil Gubernur Papua Barat dan Ketua DPR, Bupati dan Walikota mereka memberikan dukungan kepada perjuangan dan kampanye Papua Merdeka? Kalau mereka malas tahu saat ini, apakah Papua Merdeka akan mau tahu mereka? Apakah NKRI akan mau tahu mereka?
Semuanya terserah! Semuanya kembali kepada hatinurani seorang manusia! Insan yang sehat rohani dan jasmani tidak akan keliru dalam mengambil sikap dan langkah berdasarkan naluri hewaninya dalam rangka menyelamatkan dirinya dan kaumnya. Kalau tidak begitu, kita kelompok hewan yang paling bodoh yang pernah ada di planet Bumi ini.
JAYAPURA—Pernyataan Mantan Tokoh OPM, Nicholas Meset yang menyebutkan Papua final dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) berdasarkan Mahkamah Internasional, mulai mengundang kontra, kali ini datang dari rekan-rekan seperjuangnya.
Kepada media ini, Selasa (27/7) malam kemarin, Juru Bicara Political West Papua Saul Bomoy kepada Bintang Papua mengatakan, pernyataan Nicholas Meset merupakan pembohongan terhadap perjuangan rakyat Papua Barat yang dilakukan, karena berada dalam tekanan dan keterpaksaan.
Menurutnya, Pepera 1969 itu belum final dan Mahkamah Internasional maupun badan keamanan dunia (PBB) sejak tahun 1969 hingga saat ini tidak pernah mengeluarkan pernyataan ataupun keputusan yang menyebutkan bahwa Papua merupakan bagian dari NKRI.
“Papua dalam NKRI itu karena hasil rekayasa Pepera 1969, hasil rekayasa bukan murni,” tegasnya mengulang.
Oleh karena itu pihaknya, lanjut Bomoi, menyarankan kepada Nicolas Meset untuk menghentikan manuver politiknya yang selalu menyebutkan bahwa Papua sudah final dalam NKRI , karena hal tersebut adalah pembohongan, sebaiknya Nicholas Meset memilih diam dan tidak banyak berkomentar soal masalah Politik Papua.
“Jangan terus menutupi kebenaran, kau sebaiknya pasimaut, (tutup mulut) dan kau sudah kalah dalam berpolitik bagi Papua Barat, yu tipu dan yu, tutup mulut dan diam-diam di Papua kita berdosa terhadap rakyat Papua Barat,” ungkapnya.
Bomoy yang juga merupakan korban Daerah Operasi Militer (DOM) menegaskan bahwa ferendum rakyat Papua Barat merupakan satu-satunya cara paling demokratis di dunia. “Ini mekanisme demokrasi, hukum dan humanisme (HAM) untuk penentuan nasib sendiri, sesuai dengan declaration of humanisme and united nation,” terangnya.
Dia juga menuding bahwa manuver politik yang dilakukan Nicholas Meset karena yang bersangkutan telah buat kontrak politik dengan Pemerintah Indonesia sehingga hal itu bisa dimaklumi.
“Dialog antara pemerintah RI dengan Rakyat Indonesia juga harus dihentikan karena itu bukan solusi, itu memperumit serta memperpanjang konflik di Papua Barat,” singgungnya.(hen)