Tag: Opini Papua

Berbagai opini yang dianggap mendukung kampanye dan perjuangan Papua Merdeka

  • IMPLEMENTASI MANIFESTO POLITIK PAPUA BARAT, 1 DESEMBER 1961, ADALAH HAK PENENTUAN NASIB SENDIRI

    By: Kristian Griapon, Desember 2, 2021

    Manifesto Politik Papua Barat yang diumumkan pada tanggal,
    19 Oktober 1961 dan dideklarasi (diresmikan) pada tanggal,
    1 Desember 1961 oleh Gouverneur Nederlands-Nieuw-Guinea Atas nama Seri Baginda I Kerajaan Belanda, adalah pernyataan sejagad yang mempunyai kekuatan hukum internasional berdasarkan piagam dasar PBB pasal 73, pernyataan umum tentang daerah tidak berpemerintahan sendiri (dekolonisasi).

    Dekolonisasi merujuk pada tercapainya kemerdekaan oleh berbagai koloni dan protektorat Barat di Asia, Pasifik, Afrika, Amerika Latin dan Timur Tengah setelah Perang Dunia II. Dan Papua Barat termasuk salah satu daerah koloni tersisa di Pasifik di era globalisasi, setelah perang dunia ke-II.

    MANIFESTASI POLITIK BANGSA PAPUA BARAT
    Kami yang bertanda tangan dibawah ini, penduduk tanah Papua bagian Barat terdiri dari berbagai golongan, suku dan agama merasa terikat dan bersatu padu satu bangsa dan satu tanah air :

    MENYATAKAN :
    Kepada penduduk sebangsa dan setanah air bahwa :
    I.Berdasarkan Pasal 73 Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa bahagian
    a dan b :
    II.Berdasarkan maklumat akan kemerdekaan bagi daerah-daerah yang belum berpemerintahan sendiri, sebagaimana termuat dalam Resolusi yang diterima oleh Sidang Pleno Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam sidang ke 15 dari 20 September 1960 sampai 20 Desember 1960.No.1514(XV).
    III.Berdasarkan hak mutlak dari kita penduduk tanah Papua bahagian Barat atas tanah air kita :
    IV.Berdasarkan hasrat dan Keinginan bangsa kita akan kemerdekaan kita sendiri :
    Maka kami dengan perantaraan Komite Nasional dan badan Perwakilan Rakyat kita Nieuw-Guinea Raad mendorong Gubernemen Nederlands Nieuw-Guinea dan Pemerintah Nederlands supaya mulai dari 1 November 1961 :
    a.Bendera kami dikibarkan disampin bendera Belanda Nederland:
    b.Nyanyian kebangsaan kita (kami) “Hai Tanahku Papua” dinyanyikan disamping Wilhemus:
    c.Nama tanah kami menjadi Papua Barat dan,
    d.Nama bangsa kami Papua.

    Atas dasar-dasar ini kami bangsa Papua menuntut untuk mendapat tempat kami sendiri. Sama seperti bangsa-bangsa merdeka dan diantara bangsa-bangsa itu kami bangsa Papua ingin hidup sentosa dan turut memelihara perdamaian dunia.

    Dengan manifest ini kami mengundang semua penduduk yang mencintai tanah air dan bangsa kita Papua menyetujui Manifest ini dan mempertahankannya. Oleh karena inilah satu-satunya dasar kemerdekaan bagi kita bangsa Papua.

    Hollandia, 19 Oktober 1961…..Tertanda 52 Anggota Komite Nasional Papua.

    Menindak lanjuti manifest ini, Gouverneur Nederlands-Nieuw-Guinea Atas nama Seri Baginda I Kerajaan Belanda menerbitkan tiga surat masing-masing : Surat 1961 No.68, di umumkan, 20 November 1961 (Dasar Surat Keputusan Gouverneur Nederlands-Nieuw-Guinea Tertanggal,18 November 1961 No.362), Surat 1961 No.70, diumumkan,20 November 1961 (Dasar Surat Keputusan Gouverneur Nederlands-Nieuw-Guinea Tertanggal,18 November 1961 No,364), dan Surat No.70 diumumkan,20 November 1961 (Dasar Surat Keputusan Gouverneur Nederlands-Nieuw-Guinea Tertanggal,18 November 1961 No.366).

    Indonesia sebagai negara yang berpijak pada pernyataan sejagadnya yang tertuang dalam konstitusi negara republik Indonesia pembukaan (preambule) UUD’1945, bahwa kemerdekaan adalah hak segala bangsa… telah melanggar manifestasi (perwujudan) Hak Penentuan Nasib Sendiri Bangsa Papua Barat.

    Presiden Pertama Negara Republik Indonesia Ir.Soekarno, mengatasnamakan Rakyat Indonesia memanipulasi manifesto politik bangsa Papua Barat melalui Dekrit Operasi Trikora yang diumumkan dalam pidatonya di Alun-Alun Utara Jogyakarta pada, 19 Desember 1961, yang termuat tiga poin (Trikora) yaitu: 1).Gagalkan Pembentukan Negara Boneka Papua Buatan Belanda. 2).Mobilisasi umum ke Irian Barat dan. 3).Kibarkan Bendera Sang Merah Putih di Irian Barat sebagai Tanah Air Indonesia.

    Trikora adalah bentuk kejahatan Internasional (kejahatan agresi) pada masa perang dingin, dan menjadi pintu masuk kejahatan terhadap kemanusiaan di Papua Barat yang berlangsung hingga saat ini, wasalam.(Kgr)
    Penulis adalah Aktivis Pemerhati Masalah Papua Barat.

  • Keinginan Rakyat West Papua, Hanyalah Bebas dan Merdeka!

    Keinginan Rakyat West Papua, Hanyalah Bebas dan Merdeka!

    Sejak tahun 60-an perjuangan Bangsa Papua melawan Sistem Kolonial Indonesia dan telah mengalami pembungkaman demokrasi, Intimidasi, teror, pemerkosaan, penangkapan, pemenjaraan dan pembunuhan. Hingga banyak nyawa gugur atas nama perjuangan dan terus berlangsung saat ini.

    Selama itu juga, Kolonial Indonesia menggunakan berbagai cara untuk menggagalkan perjuangan suci Bangsa Papua. Dengan cara yang sering dan sampai saat ini mereka gunakan adalah; memecah-belah persatuan serta tatanan hidup orang papua, dalam setiap organisasi² paguyuban maupun organisasi² perjuangan orang papua sampai dengan gereja-gereja yang ada di teritory West Papua. Dan mereka pun, membuat banyak organisasi² tandingan demi melemahkan persatuan orang papua.

    Sudah 60 tahun kita berjuang melawan penjajahan kolonial Indonesia. Sepertinya sebagian para aktivis, pejuang dan pemimpin kemerdekaan West Papua sudah mengerti dan memahami cara-cara yang mereka gunakan adalah merugikan Perjuangan suci Rakyat Bangsa Papua.

    Tetapi, sayangnya sebagian/kelompok pejuang Papua Merdeka telah terjebak dalam cara² dan setingan kolonial Indonesia itu sendiri. Sehingga dalam perjuangan West Papua, mereka tidak berpikir bagaimana cara untuk melawan dan mengusir Kolonial Indonesia serta sistemnya dari atas Tanah Papua. Yang mereka berpikir adalah bersaing atau melakukan tandingan terhadap organisasi² dan lembaga² resmi perjuangan Rakyat Bangsa Papua yang ada dan sedang berjuang saat ini.

    Salah satu yang mereka lakukan adalah: Kongres II PARLEMEN NASIONAL WEST PAPUA baru-baru ini, dimana termuat dalam Media Suara Papua (SP). 24 Juni 2021; https://www.facebook.com/207588392657943/posts/4020236234726454/?app=fbl

    Perbuatan seperti ini, sebenarnya menjalankan misi Penjajah Kolonial Indonesia dalam tubuh perjuangan Bangsa Papua. Karena, yang diinginkan Rakyat adalah West Papua cepat merdeka dan berdaulat penuh. Bukan melakukan tandingan² dalam organ perjuangan yang hanya memperpanjang penderitaan diatas Tanah Papua ini.

    Oleh sebab itu, Rakyat West Papua harus bijaksana melihat dan menilai siapa para pejuang dan perjuangannya.

    Kunci Perjuangan Papua untuk Merdeka adalah Persatuan. Dan akhirnya, persatuan tersebut sudah ada baik SIPIL maupun MILITER yaitu:

    • ULMWP yang telah mengumumkan “Pemerintah Sementara West Papua dan diangkat Hon. Benny Wenda sebagai Presidennya.
    • West Papua Army [WPA] yang telah diumumkan ole; Presiden Pemerintah Sementara West Papua, dalam salah satu Kabinet dari 12 Kabinet, dengan Panglima Tertinggi Chief. Gen. Mathias Wenda serta jajarannya.

    Dengan demikian, siapapun pejuang yang berjuang Papua Merdeka diluar dari Pemerintah Sementara West Papua perlu dan penting untuk dipertanyakan. Kalau hanya karena EGO & AMBISI jangan mempermainkan nyawa Rakyat dan Pejuang West Papua.

    Tanggungjawab Pejuang, membebaskan Rakyat dan Bangsa Papua.

    Selamat berjuang…✊✊✊🔥
    WaSalam…!!

    ProvisionalGovernmentofWestPapua

    WestPapuaArmy

    FreeWestPapua #ULMWP #WPA

  • Papua Merdeka Kandas di “Ego” Pribadi dan Ego Kelompok!

    Perjuangan Papua Merdeka  yang telah dimulai sejak tahun 1963 di Kepala Burung terus mengalami perkembangan, entah langkah maju maupun langkah mundur. Kita harus akui bahwa kemajuan perjuangan kemerdekaan West Papua telah terjadi dengan sangat berarti. Tanpa kemajuan tidak mungkin saat ini kita maish berbicara tentang Papua Merdka.

    Terlepas dari kemajuan-kemajuan itu, masih saja ada satu hal yang menjadi penghambat besar dan penghambat utama perjuangan Papua Merdeka. Penghambat itu bukan NKRI, bukan orang barat, bukan ideologi, bukan juga hal-hal teknis, strategi dan pendekatan perjuangan. Penghambat itu namanya “EGO”, atau dalam  bahasa sederhana disebut “ke-aku-an”. Yaitu Ego pribadi lepas pribadi individu pejuang dan aktivis dan tokoh Papua Merdeka dan Ego dari kelompok-kelompok yang berjuang untuk Papua Merdeka, entah itu kelompok sipil maupun kelompok militer, entah kelompok sosial maupun kelompok politik.

    Ego-lah penyebab utama perpecahan pertama yang terjadi antara Jacob Hendrik Prai dan Seth Jafeth Roemkorem. Ego-lah yang menyebabkan perpecahan dan pembunuhan Obeth (Bill) Tabuni. Ego-lah yang membuat perpecahan di Jayapura, antara E. Bemey, J. Nyaro, P. Yarisetow, L. Dloga, O. Ondawame, dan sampai saat ini tertinggal Gen. TRWP Mathias Wenda seorang diri.

    Bacalah semua perpecahan, semua rintangan perjuangan yang pernah terjadi. Di situ dapat dengan mudah kita temukan bahwa penghambat terbesar sebenarnya BUKAN NKRI hebat berdiplomasi dan mengoperasikan agen rahasianya. Bukan juga merupakah kegagalan taktik dan pendekatan perjuangan Papua Merdeka. Tetapi titik lemah terletak pada “Mental”, paradigma berpikir, dan cara melihat perjuangan Papua Merdeka dikaitkan dengan “pribadi” dan “kelompok” yang terlibat dalam Papua Merdeka.

    Saat ini kita kandas di penyatuan organ politik Papua Merdeka ke dalam satu organisasi bernama United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) dan sekarang ini sedang diusahakan penyatuan organ militer. Akan tetapi penyatuan organi politik maish belum juga tuntas. Apalagi penyatuan organ sayap politik kelihatannya tidak akan menemui jalan mulus.

    Alasan pokok bukan karena perbedaan paham atau ideologi Papua Merdeka. Jelas semua mau Papua Merdeka. Dan jelas semua mau merdeka “SECEPATNYA”. Akan tetapi penghambat utama yang nampak saat ini ialah “Ego” dari pribadi, dan “Ego” dari kelompok yang berjuang di dalam pekerjaan Papua Merdeka.

    Ada banyak pertanyaan “ego”, yang diajukan oleh “Ego” kepada para pejuang/ tokoh Papua Merdeka secara pribadi dan organisasi mereka:

    1.  Apa yang “Saya” dapatkan dalam bentuk uang, dalam bentuk posisi, dan dalam bentuk nama baik dari kegiatan ini?
    2. Apa yang “Kami” dapatkan dari peleburan organisasi, penyatuan komando, kongres luarbiasa, dan sebagainya?
    3. Apa yang “Saya” dan “Kami” dapat dari proses penyatuan ini?
    4. Apakah nama “Saya” hilang dari garis komando? atau garis organisasi?
    5. Apakah nama “kami” atau kelompok kami hilang dalam proses ini>?

    dan seterusnya!

    Jadi pertanyannya bukanlah kepada “Apakah langkah ini menghambat atau memeprcepat Papua Merdeka?” Sama sekali tidak!

    Yang menjadi pertanyaan justru kepentingan pribadi dan kelompok.

    Secara kasar, para pejuang Papua Merdeka sebenarnya “CARI MAKAN” dengan isu ini. Para pejuang dan tokoh Papua Merdeka CARI MAKAN, CARI NAMA, CARI MUKA, tidak mau menyerah kepada kepentingan Papua Merdeka tetapi masih mau bertahan kepada kepentingan pribadi dan kelompok, sesuai perintah “EGO”.

    Kapan Papua Merdeka-nya?: sementara diri sendiri belum merdeka dari “Ego”?

     

  • Legislator: Tak Ada Jalan Lain Bagi Pemerintah RI Untuk Bendung Gerakan OP Pro Papua Merdeka

    Laurenzus Kadepa, Anggota DPRP, Komisi I. (Foto: Dok KM)
    Laurenzus Kadepa, Anggota DPRP, Komisi I. (Foto: Dok KM)

    Jayapura, (KM) – Laurenzus Kadepa, Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Provinsi Papua (DPRP), Komisi I, menegaskan bahwa pergerakan yang selama ini dilakukan orang Papua untuk tanah Papua di sisi politik telah meyakinkan dunai Internasional secara Universal.

    “Tidak ada jalan lain bagi pemerintah Republik Indonesia untuk membendung gerakan orang Papua pro Papua Merdeka yang sudah meyakinkan dunia internasional mendapat dukungannya lewat pintu HAM,”kata Kadepa, kepada kabarmapegaa.com, Senin, (03/10/16) Melalui Via Inbox FB.

    Menurutnya, pemerintah RI harus berani mengizinkan Team internasional (PIF atau PBB) untuk melakukan investigasi dugaan pelanggaran HAM di Papua selama 50 tahun lebih sesuai sorotan dan keprihatinan 7 negara Pasific di sidang umum PBB yang ke 71 di New York.

    “Tidak boleh merasa cukup dengan sikap dan pernyataan diplomat Indonesia di UN yang membantah semua tudingan 7 Negara Pasific tentang persoalan Papua. Semua harus dibuka luas agar selain soal HAM kemajuan Papua di segala bidang bisa dilihat dunia,”tegasnya.

  • LP3BH: Desakan pemimpin Pasifik terkait Papua di PBB punya landasan kuat

    Jayapura, Jubi – Yan Christian Warinussy, Direktur Eksekutif Lembaga Penelitian, Pengkajian dan Pengembangan Bantuan Hukum (LP3BH) Manokwari menegaskan bahwa pernyataan pemimpin negara dari kawasan Pasifik di Majelis Umum PBB terkait Papua bukan pernyataan kosong.

    Yan menegaskan bahwa negara-negara Pasifik seperti Nauru, Solomon, Tonga maupun Vanuatu bisa dengan tegas menekan pemerintah Indonesia terkait dugaan pelanggaran HAM di Papua, atas dasar laporan rutin dari berbagai lembaga HAM lokal di tanah Papua.

    “Kami menyampaikan, bahwa segenap pernyataan para pemimpin dunia dari kawasan Melanesia dan Pasifik tersebut bukan suatu pernyataan kosong, tapi didasari berbagai laporan dari berbagai lembaga HAM lokal di Tanah Papua maupun luar negeri yang telah memenuhi standar hukum dan HAM universal serta dapat dipertanggung-jawabkan,” katanya kepada Jubi, Minggu (25/9/2016).

    Oleh karena itu, lanjutnya, LP3BH sebagai salah satu Lembaga Advokasi HAM di Tanah Papua mendesak pimpinan Majelis Umum dan Sekretaris Jenderal PBB di New York-AS dan Pimpinan Dewan HAM PBB di New York, untuk mempertimbangkan dan menerima segenap usulan dan desakan dari pemimpin negara-negara Pasifik dan Melanesia.

    Warinussy juga menekankan bahwa situasi pelanggaran HAM di Papua semakin mengkhawatirkan. “Situasi pelanggaran HAM di Tanah Papua saat ini sudah sangat mengkhawatirkan bahkan telah mengarah kepada sebuah gerakan genosida secara sistematis dan terstruktur oleh Pemerintah Indonesia,” tuturnya.

    Ditegaskannya PBB maupun Dewan HAM PBB seharusnya mempertimbangkan untuk mengambil sikap tegas mendesak Pemerintah Indonesia segera membuka dan memberi akses seluas-luasnya bagi kedatangan Pelapor Khusus tentang Kebebasan Berekspresi, maupun Pelapor Khusus Anti-Penyiksaan, untuk melakukan investigasi independen atas situasi tersebut.

    Sehari sebelumnya dalam hak jawab di sesi debat Majelis Umum PBB, Sabtu (24/9/2016), delegasi Indonesia berang atas pernyataan keenam negara Pasifik yang meminta PBB mengambil tindakan terhadap dugaan pelanggaran HAM di Papua serta hak penentuan nasib sendiri West Papua. Delegasi Indonesia menganggap Nauru, Kepulauan Marshall, Kepulauan Solomon, Vanuatu, Tuvalu dan Tonga sudah melanggar kedaulatan Indonesia dan integritas teritorial.

    Indonesia juga menganggap keenam negara tersebut berlandaskan ketidakpahaman mereka terhadap sejarah dan situasi Indonesia.

    “Negara-negara itu juga menggunakan informasi yang salah dan mengada-ngada sebagai landasan pernyataan mereka. Sikap negara-negara ini yang meremehkan piagam PBB dan membahayakan kredibilitas Majelis ini,” ujar delegasi tersebut.

    Pihak Indonesia juga menegaskan, “iklim demokrasi Indonesia yang dinamis serta komitmen sangat tinggi terhadap promosi dan perlindungan HAM di semua level hampir-hampir mustahil pelanggaran HAM terjadi tanpa diketahui dan diperiksa.”(*)

  • Aktivis Kritik Jaksa Agung Australia Tak Diberi Akses Penuh di Papua

    MANOKWARI, SATUHARAPAN.COM – Advokat dan Pembela hak asasi manusia (HAM) di Tanah Papua, Yan Cristian Warinussy, memandang kunjungan Jaksa Agung Australia, George Brandis, ke Tanah Papua bersama Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam), Wiranto, dan Menteri Koordinator bidang Kemaritiman, Luhut Binsar Panjaitan, pada hari Kamis (11/8) merupakan kunjungan yang tidak proporsional.

    Menurut Yan, kunjungan Brandis ke perbatasan Indonesia-PNG dan pasar tradisional tidak sesuai dengan proporsi tugas seorang Jaksa Agung Australia dalam konteks dan hakekat penting kunjungannya tersebut.

    “Menjadi pertanyaan saya sebagai sesama abdi hukum di dunia, apa yang sesuai dengan proporsi tugas seorang Jaksa Agung Australia dalam konteks dan hakekat penting dari kunjungannya tersebut?” kata Yan dalam keterangan tertulis yang diterima satuharapan.com, hari Jumat (12/8).

    Yan Cristian Warinussy. (Foto: dok pribadi)
    Yan Cristian Warinussy. (Foto: dok pribadi)

    Direktur Eksekutif Lembaga Penelitian, Pengkajian dan Pengembangan Bantuan Hukum (LP3BH) Manokwari itu, mempertanyakan kenapa seorang Jaksa Agung tidak diberi kesempatan untuk bertemu langsung dengan para abdi hukum di Tanah Papua, misalnya Ketua Pengadilan Negeri Jayapura atau Kepala Kejaksaan Negeri Jayapura.

    “Sehingga dia (Brandis) bisa memperoleh gambaran tentang bagimana situasi penegakan hukum dan juga soal perlindungan hak asasi manusia di Tanah Papua,” kata Yan.

    Peraih penghargaan internasional di bidang HAM “John Humphrey Freedom Award” Tahun 2005 dari Kanada itu menilai dengan bertemu Kepala Kejaksaan Negeri Jayapura dan juga Kepala Kejaksaan Tinggi Papua, Brandis bisa mendapat gambaran lengkap tentang sudah berapa banyak kasus-kasus pidana makar yang “menyeret” puluhan bahkan ratusan orang Papua yang menuntut kemerdekaan Papua Barat sebagai bagian dari hak kebebasan menyampaikan pendapat dan eksepresi hingga dipidana di pengadilan.

    Yan mengatakan seharusnya juga Jaksa Agung Brandis diberi akses yang seluas-luasnya untuk dapat bertemu dengan pimpinan Gereja-gereja di Tanah Papua, seperti Gereja Kristen Injili (GKI) di Tanah Papua, Gereja Kemah Injil dan Gereja Baptis Papua.

    “Sehingga dia (Brandis) dapat memperoleh gambaran utuh mengenali situasi perlindungan HAM di Tanah Papua yang senantiasa bersentuhan langsung dan memberi pengaruh pada aspek penegakan hukum di Bumi Cenderawasih ini senantiasa,” kata Yan.

    “Mengapa juga Jaksa Agung Brandis tidak diberikan akses untuk bertemu dengan para advokat dan pembela HAM di Tanah Papua atau sekurang-kurangnya bertemu Ketua KOMNAS HAM di Jakarta atau Kepala Perwakilan KOMNAS HAM Papua?” tanya dia.

    Menurut Yan, jika akses itu diberikan, Jaksa Agung di Australia bakal mendapatkan informasi yang up to date tentang situasi politik, hukum dan keamanan di Tanah Papua dari pihak lain, di luar Pemerintah Indonesia sebagai mitra kerjanya.

    “Sehingga dia (Brandis) dapat merumuskan laporan yang valid dan kredibel kepada pimpinan negaranya mengenai apa yang sudah dilihatnya sendiri di Tanah Papua dalam kunjungannya yang sangat singkat tersebut,” katanya.

    Yan menyayangkan kedatangan George Brandis dalam kapasitas sebagai Jaksa Agung Australia terjadi atas undangan mantan Menko Polhukam, Luhut Binsar Panjaitan, yang disampaikan dalam kunjungannya ke Benua Kanguru belum lama ini.

    Yan menduga kunjungan Jaksa Agung Australia – sekalipun memang jadwalnya serta agenda selama keberadaannya di Tanah Papua – telah diatur oleh Kemenkopolhukam di Jakarta.

    “Berkenaan dengan itu, memang tidak lucu lagi, kalau seorang pejabat negara sahabat seperti Australia tidak bisa menjalankan tugas utamanya dalam mengamati bagaimana aspek penegakan hukum di Tanah Papua yang terkait erat dengan isu pelanggaran HAM yang sudah membumi di Benua Kanguru selama ini,” kata Yan.

    “Hanya dalam hitungan detik dan menit bahkan jam dan hari “dihapus” dengan kunjungannya yang justru melihat aspek pengelolaan fasiltias perbatasan yang sangat teknis keamanan dan keimigrasian serta soal pasar tradisonal yang tidak jelas proporsionalitasnya dengan tugas-tugas pokok seorang Jaksa Agung dari sebuah Negara Merdeka seperti Australia,” kata Advokat itu.

    Menkopolhukam Wiranto, Menko Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan bersama Jaksa Agung Australia George Brandis dan Duta Besar Australia Paul Grigson untuk Indonesia kunjungi perbatasan Skouw-Wutung, RI-PNG, hari Kamis (11/8). Kunjungan ini sekaligus melihat pembangunan Pos Lintas Batas Negara (PLBN) di Skouw, Kota Jayapura yang berbatasan langsung dengan negara tetangga PNG. (Foto: Antara/Indrayadi)

    Jaksa Agung Australia, George Brandis, pada hari Kamis (11/8) ke Provinsi Papua bersama Menteri Koordinator Kemaritiman Republik Indonesia, Luhut Pandjaitan dan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan yang baru Wiranto.

    Dalam sebuah pernyataan, George Brandis mengatakan ini adalah kunjungan lanjutan setelah kunjungan yang ia nilai sangat berhasil ke Bali, di mana Brandis bertemu dengan para mitra utama Indonesia, dan ambil bagian dalam Pertemuan Internasional Penanggulangan Terorisme untuk membicarakan ancaman global terorisme dengan para pakar dari 20 negara.

    Sebelumnya pada Juni 2016, Brandis menerima kunjungan Menteri Luhut Pandjaitan, yang pada waktu itu menjabat sebagai Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, dan delegasinya di Sydney untuk menghadiri pertemuan kedua Dewan Menteri Hukum dan Keamanan Australia-Indonesia.

    “Kami menyambut baik fokus Indonesia pada peningkatan pembangunan ekonomi di provinsi-provinsi Papua,” kata Brandis.

    Australia tetap berkomitmen untuk bermitra dengan Indonesia guna menghadapi tantangan-tantangan sosial dan ekonomi di provinsi-provinsi Papua.

    Bicarakan HAM Papua

    Sementara itu, Peneliti Human Rights Watch (HRW), Andreas Harsono, mendesak Jaksa Agung Australia, George Brandis, membicarakan pelanggaran HAM di Papua dengan Menko Polhukam, Wiranto, dalam kunjungan mereka ke Papua hari Kamis (11/8).

    Andreas juga mengharapkan Menko Polhukam, Wiranto, bertanya kepada Jaksa Agung Australia, bagaimana negara itu dapat membantu Indonesia menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM di wilayah paling timur Indonesia tersebut.

    “Saya kira mereka pasti membicarakan isu HAM. Australia pasti membicarakan hal itu. Jaksa Agung itu adalah pengacara tertinggi suatu negara. Dia tidak bisa datang ujug-ujug tanpa mendapat izin dari perdana menterinya. Jadi saya yakin dia akan membicarakan hal itu,” kata Andreas kepada satuharapan.com, hari Kamis (11/8).

    Editor : Eben E. Siadari

  • Lukas Enembe: Semua Yang Kerja di Papua Ini OPM

    WENE-PAPUA – Gubernur Papua Lukas Enembe mengingatkan keinginan orang Papua bukan main- main. Keinginan itu seperti bagaimana proteksi orang Papua dan ideologi orang Papua.

    “Orang di Papua ini bukan berjuang karena masalah kemiskinan. Di halamannya saja ada emas kok. Dia berbicara soal ideologi. Ideologi ini ada didalam konsep yang diajukan oleh Pemerintah Provinsi Papua. karena kita yang tau persoalan. Karena semua yang kerja di Papua ini semua OPM. Tau permasalahan maksudnya,”

    kata Gubernur Papua kepada pers di Jayapura beberapa waktu lalu.

    Sebab menurutnya jika persoalan ini tidak kunjung diselesaikan maka masalah Papua tidak pernah akan selesai.

    “Jadi jangan kalau tidak mendengar aspirasi kita tidak usah urus sudah. Kasih tinggal sudah. Bukan makan minum,”selanya.

    Meski sebagai Gubernur mengatakan demikian, namun ini bisa saja hanya sebatas gertakan untuk Jakarta supaya Otsus Plus yang ditawarkan ke Jakarta diterima. Karena saat ditanya mengenai refendum masuk salah satu poin dalam draft Otsus Plus, gubernur mengatakan,“tidak ada itu kita sudah delete semua mengenai pasal yang berbicara kemerdekaan. Semua sudah kita coret. Yang tersisa hanyalah kebijakan anggaran di 28 sektor. Itu semuanya untuk kepentingan Papua,.”tuturnya.

    Penulis : Maria Fabiola / Salam Papua
    Editor : Admin

  • Menteri Luhut Binsar Panjaitan dan Polda Papua Harus Tahu Persoalan Papua Bukan Pelanggaran HAM Saja

    Bandung 08 Juni 2016. Cheko Papua. Biro organisasi AMP (Aliansi Mahasiswa papua ) Komite Kota Bandung Jawa Barat mengatakan negara repubik indonesia harus tau persoalan papua bukan pelangaran ham saja tapi satatus poliktik papua barat , rakyat papua saat ini menuntut hak menentukan nasib sendiri diatas tanah leluhur kami , saya mau sampaikan kepada Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Luhut Binsar Pandjaitan dan juga kepada Kapolda Papua Irjen Paulus Waterpauw bahwa pelangaran Hak orang papua itu bukan dari satu sisi saja tapi ada beberapa sisi yaitu pembunuhan manusia papua ,perampasan tanah adat, perampasan sumberdaya alam dan perampasan hak politik bagi papua barat yang sudah pernah merdeka pada tgl 1 desember kalau mau selesaikan kasus kemanusian di papua hasus semua kasus yang pernah terja mulai dari.

    Tanggal 15 Agustus 1962 samapi sekarang tahun 2016 karena di tahun 1962 adalah dimana hari awal mula terburuk bagi rakyat papua barat atau tahun pertama kalinya terjadi pelanggaran HAM di pulau cendrawasih.

    Negara NKRI harus tau thn 1962 tagal 15 agustus adalah hari yang amat penting dalam sejarah perkembangan politik dan demokrasi, serta hak asasi manusia di Tanah Papua, sebab pada tanggal tersebut telah terjadi penandatanganan sebuah dokumen perjanjian antara Pemerintah Republik Indonesia dengan Pemerintah Kerajaan Belanda, di bawah naungan Pemerintah Amerika Serikat.

    Perjanjian tersebut ditandatangani oleh Pemerintah Indonesia yang kala itu diwakili oleh Dr. Subandrio dan Pemerintah Belanda yang diwakili oleh Mr. J.H.Van Roijen dan Mr.C.Schurmann. Oleh sebab itulah, perjanjian ini kemudian disebut dengan nama Perjanjian New York (New York Agreement).

    Dokumen Perjanjian New York ini, selanjutnya berisi antara lain dan terutama mengenai prosedur dan mekanisme pengalihan kekuasaan administratif pemerintahan atas tanah Papua dari Pemerintah Kerajaan Belanda kepada Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB), yang kala itu diwakili oleh UNTEA (United Nations Temporary Executive Authority) atau Pemerintahan Sementara PBB.

    Dimana proses pengalihan kekuasaan dari UNTEA kepada Republik Indonesia yang ditandai dengan pengibaran Bendera Merah Putih di Tanah Papua pada tanggal 1 Mei 1963, menandai periode dimulainya Pemerintahan Indonesia di Tanah Papua.

    Selain itu, di dalam dokumen perjanjian tersebut juga berisi tentang cara-cara penyelenggaraan tindakan pilihan bebas atau act of free choice yaitu suatu proses untuk mewujudkan hak menentukan nasib sendiri (rights to self determination) dari orang-orang asli Papua ketika itu.

    Sebagaimana diatur di dalam pasal 16, 17 dan 18 dari perjanjian tersebut, diantaranya dinyatakan bahwa tindakan pilihan bebas tersebut dilakukan dengan cara-cara yang memenuhi standar internasional, yaitu satu orang satu suara (one man one vote).

    Kendatipun demikian, di dalam kenyataannya, justru diterapkan model yang oleh Pemerintah Indonesia kala itu (Tahun 1969) disebut sebagai Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) yang menurut data yang diperoleh LP3BH Manokwari, bahwa semua peserta tindakan pilihan bebas sebenarnya sudah di“steril”kan selama lebih kurang 2 bulan sebelum hari H di sejumlah markas TNI yang ada di Merauke, Fakfak, Sorong, Manokwari, Biak, Nabire, Wamena, dan Jayapura.

    Selama masa steril, para peserta tersebut mengaku bahwa mereka diindoktrinasi agar harus memilih bersatu dengan Republik Indonesia agar jiwa mereka selamat.

    Selain itu, upaya pemenangan atas hasil PEPERA tersebut juga sudah dilakukan oleh TNI melalui operasi intelijen dan operasi keamanan, dimana sejumlah pemuda dan mahasiswa orang asli Papua saat itu ditangkap dan dianiaya, bahkan dibunuh dan atau dihilangkan secara keji.

    Contoh kasus, di Manokwari pada tanggal 28 Juli 1969 atau satu hari sebelum tanggal 29 Juli 1969 saat akan diselenggarakannya PEPERA, mengapa TNI melakukan penangkapan dan penganiayaan hingga eksekusi kilat yang menewaskan sekitar 50 orang warga sipil?

    Kenapa mahasiswa atau pemuda yang datang dan menyampaikan aspirasi politiknya ke sekitar area Gedung PEPERA (Kini Kantor Gubernur Papua Barat) saat itu, harus dihadapi dengan bedil, dianiaya hingga babak belur lalu diangkut dengan cara dilempar ke dalam truk-truk polisi dan TNI, kemudian dibawa ke Markas TNI di Arfay, lalu dianiaya lagi bahkan hingga ada yang mati.

    Perjanjian New York adalah sebuah dokumen perjanjian yang senantiasa membuat kita bersama harus ingat bahwa hasil dari New York Agreement itu telah membawa akibat adanya perumusan hingga penandatanganan Kontrak Karya Pertama antara Freeport Indonesia Company dengan Pemerintah Indonesia pada tahun 1967.

    Kemudian, dari New York Agreement itu juga menjadi dasar dimulainya operasi militer oleh TNI dan POLRI di Tanah Papua yang sejak tahun 1962, 1963, 1965 dan 1969 hingga 1970 sampai hari ini terus-menerus terjadi tindakan pelanggaran hak asasi manusia yang berat, yang memenuhi standar menurut pasal 7 dari Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia di Tanah Papua.

    Dengan demikian, menurut pandangan saya bahwa New York Agreement bisa disebut sebagai sebuah sumber malapetaka yang semestinya dikaji dan diperdebatkan kembali keberadaannya secara hukum.

    Sekaligus perlu direkomendasikan kepada PBB untuk dikaji guna ditinjau kembali keberadaan dokumen 15 Agustus 1962 tersebut. Apakah New York Agreement tersebut merupakan sumber kesejahteraan bagi Orang Asli Papua dan tanah airnya, ataukah sebagai awal bencana terjadinya Pelanggaran HAM yang terus terjadi dan bersifat sistematis sejak awal hingga hari ini?

    Dari sisi hukum internasional, saya melihat bahwa sangat dimungkinkan untuk dokumen Perjanjian New York 15 Agustus 1962 ini dapat diuji secara materil baik secara hukum maupun melalui mekanisme dan prosedur internal PBB.

    Maka itu kami para pejuang rakyat papua dan seluruh rakyat papua menuntut semua Hak-Hak Orang papua harus di selesaikan secara bertahap antara beberapa negara yang pernah terlibat dalam status politik papua barat , saat ini Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Luhut Binsar Pandjaitan berkata akan selesaikan HAM papua akhir tahun 2016 ini , menurut saya sangat tidak munking karena kasus papua tidak dapat membalik telapak tangan .

    Luhut juga berkata setip kasus kemanusian kami akan bayar perkepala , saya tegaskan kami rakyat papua bukan meminta uang tapi kami minta pennyelesaian HAM Papua dan hak politik rakyat papua secara hukum Internasional yaitu Hukum PBB .

    Kami mahasiswa papua Yang ada di pulau sejawa dan bali menolak dengan tegas atas kedatangan Tim khusus NKRI dalam pimpinan kementian Luhut atas pennyelesaian kasus-kasus HAM papua ,Dan kami juga sangat mendukung Aksi Rakyat Papua Barat yang nanti akan di mediasi oleh KNPB pada tangal 15 hari rabu besok

    Dengan agenda 1]. Dukung Penuh ULMWP jadi anggota Penuh di Keluarga MSG. 2]. Mendesak tim investigasi pelanggaran HAM dr PIF & Deklarasi 3 mei 2016 di London. Demo damai Nasional akan diselenggarakan pd : Hari Rabu, tgl 15/06/2016, tempat di Kantor DPR Prov. Papua & Papua Barat, DPRD Kota & Kabupaten Setanah Papua. Terima Kasih. [Korlap Umum Bazoka Logo, Jubir Nasional KNPB] di ungkapkan oleh Kordinator Biro Organi Sasi Aliansi Mahasiswa Komite Kota bandung Jawa Barat Tuan Ferry cheko alvandi kogoya .ketika di tannya CHEKO PAPUA

  • Indonesia ada di Papua hanya mau menguras harta dan kekayaan Alam Orang Papua

    Kaonak.com Artikel .Tiga Pernyataan Negara Yang sangat Menyakitkan Bagi Kami Rakyat West Papua.

    Berikut Berita Lengkap Perilaku Busuk Negara indonesia terhadap kami Orang Papua. Bacalah secara seksama!!!!

    Pemerintah Republik Indonesia, melalui Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Luhut Binsar Pandjaitan, mengirimkan sinyal keras kepada Gerakan Pembebasan Papua atau United Liberation Movement for West Papua(ULMWP).

    “Sudah, sana gabung MSG saja. Tidak usah tinggal di Indonesia lagi,” kata Luhut di Jakarta, Jumat (19/2), menanggapi klaim Juru Bicara Gerakan Pembebasan Papua, Benny Wenda, yang menyebut organisasinya mendapat dukungan negara-negara Melanesia yang tergabung dalamMelanesian Spearhead Group (MSG). (baca: Luhut: Pergi Saja Sana ke Melanesia, Jangan Tinggal di Indonesia! // http://nasional.kompas.com/read/2016/02/19/15131401/Luhut.Pergi.Saja.Sana.ke.Melanesia.Jangan.Tinggal.di.Indonesia. )

    Pernyataan pak luhut ini mengingatkan rakyat bangsa Papua pada pernyataan dari ali murtopo:

    “Bahwa Indonesia tidak menginginkan orang Papua, Indonesia hanya menginginkan tanah dan sumber daya alam yang terdapat di dalam pulau Papua. Kalau orang Papua ingin merdeka, silahkan cari pulau lain di Pasifik untuk merdeka. Atau meminta orang Amerika untuk menyediakan tempat di bulan untuk orang-orang Papua menempati di sana,” Pernyataan Ali Murtopo pada tahun 1966. (Baca: Ali Murtopo: Indonesia membutuhan Kekayaan Papua Tidak Termasuk Manusianya /// http://andyogobai.blogspot.co.id/2015/08/ali-murtopo-indonesia-membutuhan.html)

    Farhat membocorkan rahasia negara. dan itu memang pernah, sedang dan akan terjadi di papua.
    _____Dalam akun Facebok Farhat Abbas tersebut menyatakan dalam statusnya ” Sewaktu indonesia merdeka memang papua tidak ikut..belakangan baru direbut indonesia dari belanda..jadi wajar kalau papua ingin berpisah dari indonesia..tapi jangan sampai itu terjadi indonesia akan rugi besar karna papua tanahnya luas penduduknya sedikit.. sebaiknya pemerintah memindahkan separuh pulau jawa yang padat itu ke papua..buat orang asli papua tidak berdaya..ajak dia kawin campur supaya ciri khas papuanya pela-pelan hilang.. ” (17/05/2016).

    Tiga pernyataan pada masa yang berbeda tapi intinya adalah sama, yaitu tidak menginginkan Bangsa Papua untuk menyatakan dan menuntut hak-hak politiknya sebagai sebuah bangsa dan negara merdeka.
    Pernyataan Ali Murtopo saat itu dalam rangka merebut dan menduduki wilayah Papua, sedangkan pernyataan dari Luhut Panjaitan terkait dengan pendirian dan peresmian kantor The United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) di wilayah Lapago, Wamena.

    Bagaimana mungkin bangsa Papua diatas tanahnya sendiri dipaksa dan diusir keluar untuk menyatakan negaranya diluar, ditempat yang bukan wilayahnya. Padahal Papua tidak masuk dalam wilayah asia, papua termasuk dalam lingkup Melanesia. Silahkan lihat dipeta dibawah:
    Pembagian Wilayah Pasifik menjadi tiga wilayah geokultural menurut Jules-Sébastien César Dumont D’Urville. Sumber peta: www.sastrapapua.com

    Dari pernyataan-pernyataan seperti ini, jelas menunjukan wajah indonesia yang sesungguhnya, yaitu hanya untuk menduduki tanah Papua dan menguras Sumber Daya Alam Papua. Latar belakang sejarah dan beberapa aspek lainnya yang menjadi persoalan mendasar antara indonesia dan Papua terus dibungkam, padahal kita berada pada era yang berbeda, dimana semua informasi dan peristiwa tersebar dengan cepat sampai ke pelosok-pelosok negeri. Tuntutan Papua Merdeka bukan sekelompok atau segelintir saja tetapi benar-benar dari pelosok kampung sampai kota, dari dalam Papua sampai luar negeri.

  • Socratez: Diplomasi Rakyat Papua Menangi Hati Dunia

    Penulis: Eben E. Siadari 11:09 WIB | Jumat, 20 Mei 2016, satuharapan.com

    Socratez Sofyan Yoman (Foto: unpo.org)
    Socratez Sofyan Yoman (Foto: unpo.org)

    JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Ketua Umum Badan Pelayan Pusat Persekutuan Gereja-gereja Baptis Papua, Socratez Sofyan Yoman, mengatakan, rakyat Papua sudah memenangi hati komunitas internasional dari berbagai level. Pemerintah Indonesia dalam melaksanakan diplomasi meredam isu Papua bergerak di level G to G. Sedangkan rakyat Papua bergerak dari akar rumput.

    “Indonesia kalah diplomasi bermartabat, jujur, tulus, benar dan berintegritas. Rakyat Papua dipercaya dan dihormati,” kata Socratez lewat pesan pendek kepada satuharapan.com.

    Dalam beberapa pekan terakhir, Socratez diundang oleh anggota parlemen Selandia Baru ke negara itu. Dalam rangkaian perjalanannya di sana, ia menjelaskan perkembangan terbaru tentang konflik Papua kepada berbagai pihak di negara itu.

    Ia mencontohkan kunjungan Menkopolhukam Luhut B. Pandjaitan, Wakil Ketua DPR, Fadli Zon dan Kepala BNPT Tito Karnavian, kepada tokoh politik dan gereja Inggris pendukung Papua merdeka, Richard Douglas Harries, atau yang lebih dikenal sebagai Lord Harries of Pentregarth pada 11 Mei lalu. Kunjungan ini digambarkan sebagai upaya memberikan penjelasan akan kekeliruan pandangan tokoh politik dan gereja Inggris itu tentang Papua.

    “Lord Harries mantan Uskup Oxford pendukung Papua merdeka adalah teman saya sudah 12 tahun sejak 2005. Beliau sudah undang saya tiga kali, dan terakhir tahun 2010. Kalau saya kunjungi UK, kami biasa ada percakapan masa depan bangsa Papua,” kata Sofyan.

    “Supaya Indonesia tidak kehilangan muka, lebih baik dialog damai dengan ULMWP,” tutur Socratez. ULMWP adalah singkatan dari United Liberation Movement for West Papua, organisasi yang mewadahi berbagai kelompok pro-penentuan nasib sendiri di Papua.

    Ia meyakini ULMWP akan diterima sebagai anggota penuh oleh Melanesian Spearhead Group (MSG) tahun ini. “Berarti bangsa-bangsa anggota MSG, Karibia dan Afrika akan bawa masalah West Papua ke Komisi 24 PBB tentang Dekolonisasi,” ujar dia.

    “Dialog damai itu jalannya. Pemerintah RI dan ULMWP harus duduk berunding dijembatani pihak ketiga,” tambah dia.

    Sementara itu pengacara Lembaga Bantuan Hukum (LBH) dan aktivis Papua Itu Kita, Veronica Koram, dalam sebuah artikelnya di The Jakarta Post, mengatakan bahwa sudah selayaknya Jakarta berdialog dengan ULMWP, wadah bagi banyak organisasi di seluruh Papua dan memiliki mandat politik dan budaya yang sah untuk mewakili rakyat Papua.

    Menurut dia, ULMWP memegang status pengamat di MSG sedangkan pemerintah Indonesia berstatus anggota asosiasi di MSG. “Jika pemerintah merongrong dan mengkriminalisasi ULMWP, itu tidak menghormati MSG sebagai forum diplomatik,” kata dia.

    “Namun jika pemerintah serius berkomitmen untuk MSG, harus mengambil tawaran MSG untuk memediasi dialog damai antara pemerintah dan ULMWP,” ia menulis.

    Ia mengutip pernyataan Presiden Jokowi yang mengaku tidak ada masalah di Papua. Namun, kata dia, tindakannya pekan lalu ketika mengirimkan utusan untuk melakukan pendekatan kepada Lord Harries untuk mencoba meredam pembicaraan tentang masalah Papua justru menggambarkan ada masalah.

    Apalagi bulan lalu Luhut juga pergi ke Fiji dan PNG untuk membahas Papua.

    “Mengirim tokoh senior ke luar negeri dalam misi menyelamatkan muka, dan mengirimkan proxy seperti mantan presiden Timor Leste José Ramos-Horta ke Papua hanya menghindar dari akar masalah,” kata Veronica.

    Padahal, menurut Veronica, akar masalahnya adalah pelanggaran HAM di Papua serta pelurusan sejarah dan kebebasan berekspresi yang dilanggar. Untuk itu, menurut dia, pemerintah harus membuka dialog dengan ULMWP.

    Di abad lalu, kata Veronica, mantan menteri luar negeri Ali Alatas menggambarkan Timor Timur sebagai “kerikil dalam sepatu” diplomasi bangsa Indonesia. Papua, kata dia, akan terus menjadi duri dalam daging sampai Indonesia akhirnya mendengarkan secara mendalam dan terlibat dalam dialog tentang aspirasi Papua, termasuk penentuan nasib sendiri.

    Editor : Eben E. Siadari

Are you sure want to unlock this post?
Unlock left : 0
Are you sure want to cancel subscription?