Tag: NKRI Harga Mati

  • Indonesia Sebentar Lagi Akan Punah Menurut Penulis Penerima Penghargaan Tertinggi Pulitzer Ini

    bagi.me – Di bawah ini adalah tulisan Jarred Diamond, penulis yang memperoleh penghargaan Pulitzer. Dalam sebuah pidatonya Jarred pernah mengatakan bahwa negara seperti: Indonesia, Columbia dan Philipina, merupakan beberapa peradaban yang sebentar lagi akan punah.

    Ketika bangsa Cina ingin hidup tenang, mereka membangun tembok Cina yang sangat besar.

    Mereka berkeyakinan tidak akan ada orang yang sanggup menerobosnya karena tinggi sekali.

    Akan tetapi 100 tahun pertama setelah tembok selesai dibangun, Cina terlibat tiga kali perperangan besar.

    Pada setiap kali perperangan itu, pasukan musuh tidak menghancurkan tembok atau memanjatnya, tapi cukup dengan menyogok penjaga pintu gerbang.

    Cina di zaman itu terlalu sibuk dengan pembangunan tembok, tapi mereka lupa membangun manusia.

    Membangun manusia seharusnya dilakukan sebelum membangun apapun. Dan itulah yang dibutuhkan oleh semua bangsa.

    Ada sebuah pendapat yang mengatakan bahwa apabila ingin menghancurkan peradaban sebuah bangsa, ada tiga cara untuk melakukannya, yaitu:

    1. Hancurkan tatanan keluarga
    2. Hancurkan pendidikan
    3. Hancurkan keteladanan dari para tokoh dan rohaniawan (ulama, ustadz, habaib)

    Untuk menghancurkan keluarga caranya dengan mengikis peranan ibu-ibu agar sibuk dengan dunia luar, menyerahkan urusan rumah tangga kepada pembantu.

    Para ibu akan lebih bangga menjadi wanita karir ketimbang ibu rumah tangga dengan dalih hak asasi dan emansipasi.

    Kedua, pendidikan bisa dihancurkan dengan cara mengabaikan peran guru. Kurangi penghargaan terhadap mereka, alihkan perhatian mereka sebagai pendidik dengan berbagai macam kewajiban administratif, dengan tujuan materi semata, hingga mereka abai terhadap fungsi utama sebagai pendidik, sehingga semua siswa meremehkannya.

    Ketiga, untuk menghancurkan keteladanan para tokoh masyarakat dan ulama adalah dengan cara melibatkan mereka kedalam politik praktis yang berorientasi materi dan jabatan semata, hingga tidak ada lagi orang pintar yang patut dipercayai. Tidak ada orang yang mendengarkan perkataannya, apalagi meneladani perbuatannya.

    Apabila ibu rumah tangga sudah hilang, para guru yang ikhlas lenyap dan para rohaniawan dan tokoh panutan sudah sirna, maka siapa lagi yang akan mendidik generasi dengan nilai-nilai luhur?

    Itulah awal kehancuran yang sesungguhnya. Saat itulah kehancuran bangsa akan terjadi, sekalipun tubuhnya dibungkus oleh pakaian mewah, bangunan fisik yang megah, dan dibawa dengan kendaraan yang mewah.

    Semuanya tak akan berarti apa apa, rapuh dan lemah tanpa jiwa yang tangguh.

    © 2016 Bagi.me. All New Rights Reserved.

  • Gubernur Lukas Enembe: NKRI Harga Mati bagi Rakyat Papua

    JAYAPURA, SATUHARAPAN.COM – Gubernur Papua, Lukas Enembe, menegaskan bahwa NKRI adalah harga mati bagi Papua. Ia mengatakan rakyat Papua tidak berpikir untuk merdeka. Ia sendiri mengatakan fokus untuk mensejahterakan rakyatnya.

    “Sudah berkali-kali saya nyatakan bahwa NKRI harga mati bagi kami di Papua, jadi jangan ada yang mencoba merusak tatanan yang sudah kami bangun dengan baik di tanah ini. Kami tidak berpikir untuk merdeka, tapi saat ini kami hanya fokus pada bagaimana cara mensejahterakan rakyat yang hidup di atas tanah ini. ” kata Lukas Enembe lewat laman resmi pribadinya, www.gubernurlukasenembe.com.

    Pernaytaan itu ia lontarkan dalam kaitan membantah beredarnya meme yang mengesankan dirinya berkata, bahwa bila Ahok tidak boleh jadi gubernur DKI Jakarta, maka Papua lebih baik merdeka saja.

    Lukas Enembe yang menyampaikan penjelasan itu ketika mendampingi Presiden Jokowi dalam kunjungan ke Papua mengatakan, ia bersama dengan rakyat Papua sangat senang dan gembira, Pemerintahan saat ini yang dipimpin oleh Jokowi sangat fokus dalam membangun Papua.

    “Sudah berkali-kali Pak Jokowi berkunjung ke Provinsi Papua dan ini menunjukkan bahwa beliau sangat ingin pembangunan Papua dapat berjalan dengan cepat,” kata Lukas Enembe.

    Editor : Eben E. Siadari

  • Tuduhan NKRI terhadap Negara Pasifik Selatan dan Tanggapan Indonesia (2)

    Dalam tuduhannya, Indonesia mengatakan beberapa hal yang patut dicatat

    pernyataan tersebut tidak memiliki itikad baik dan bermotif politik yang bisa ditafsirkan sebagai pendukung kelompok separatis di provinsi-provinsi yang telah terlibat dalam menghasut kekacauan publik dan dalam serangan teroris bersenjata terhadap warga sipil dan personel keamanan. <Indonesia Menuduh Solomon Punya Motif Politik Angkat Isu Papua>

    Pertama, Indonesia menuduh Solomon Islands dan koleganya di Pasifik Selatan “tidak memiliki itikad baik”; kedua “bisa ditafsirkan sebagai pendukung kelompok separatis”;  ketiga “menghasut kekacauan politik”, keempat, “kekerasan publik dan serangan teroris bersenjata terhadap warga sipil dan personel keamanan”.


    Kedua, intervensi oleh Enam Negara Pasifik Selatan dalam Sidang Umum PBB tahun 2016 ini dianggap oleh Indonesia “bisa ditafsirkan sebagai kelompok pendukung separatis”.  Indonesia lupa, bahwa NKRI adalah sebuah kesatuan politik separatis, Sukarno, Moh. Hatta, Sudirman, semua pejuang NKRI merdeka dan Indonesia sebagai sebuah negara yang diwakili di Sidang Umum PBB saat berbicara, adalah sebuah “Negara Separatis”, karena ia telah memberontak terhadap negara kolonialnya, Belanda.

    Pemberontakan terhadap penjajah ialah tujuan dari pembentukan PBB. Penegakkan HAM ialah alasan mengapa PBB didirikan. Piagam PBB dengan jelas-jelas mengatakan HAM sebagai dasar pendirian dan keberadaan PBB. Hak Asasi Manusia yang fundamental ialah hak hidup, dan hak hidup sebagai orang Papua terancam oleh kehadiran NKRI. Oleh karena itu, NKRI harus keluar dari Tanah Papua untuk keberlangsungan hidup sebuah ras Melanesia dan sebuah bangsa Papua.

    Ini bukan tindakan separtis, tetapi sebuah perbuatan luhur untuk “menghapuskan penjajahan di seluruh dunia”, karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan sebagaimana NKRI sendiri nyatakan dalam mukadimah UUD 1945. Bukan bangsa Indonesia saja berhak merdeka dan berdaulat, bangsa Papua juga berhak untuk merdeka dan berdaulat. Apa yang dilakukan orang Papua bukan separatis, ini merupakan perjuangan mempertahankan jatidiri, membela sebagai “basic human nature” dalam mempertahankan eksistensinya di Bumi.

    Apa yang dikatakan keenam negara Pasifik Selatan ini, bukan “bisa ditafsirkan”, tetapi sudah jelas harus ditafsirkan sebagai dukungan mereka terhadap perjuangan kemerdekaan West Papua. NKRI berhak membela diri, tetapi keenam negara Pasifik Selatan juga berhak menyatakan kebenaran sesungguhnya tentang situasi terakhir di Tanah Papua.

    Situsai terakhir di Tanah Papua sangat jelas. Orang Papua dibunuh hampir setiap hari. Setiap detik hidup orang Papua tidak menentu, orang Papua selalu punya pertanyaan, “Kapan saya akan dibunuh?” Bahkan Gubernur, Kapolda Papua saat ini, semuanya pasti punya pertanyaan ini di dalam hati nuraninya. Dan dalam setiap orang Papua tersimpan pertanyaan sampai mati-pun membawa pertanyaan tersebut, “Kapan Indonesia bunuh saya?”

    Ini situasi kemanusiaan yang sangat fatal. Dan itu bukan dapat ditafsirkan seabagai dukungan terhadap separatisme.

    Pemimpin Pasifik Selatan jelas-jelas menyatakan soal pelanggaran HAM dan penentuan nasib sendiri tidak dapat dipisahkan satu sama lain karena justru perjuangan kemerdekaan West Papua itulah yang mengakibatkan banyak pelanggaran HAM

    Di atas kepentingan negara, kepentingan nasionalisme, kepentingan politik, kepentingan ekonomi, kepentingan kekayaan, kepentingan kedamaian, kestabilan, kepentingan persahabatan, itikad baik atau buruk apapun itu, yang pertama dan terutama ialah hak fundamental orang untuk hidup. Dan hak itu terancam di Tanah Papua oleh kehadiran NKRI.

    Itulah sebabnya, apa yang dikatakan Vanuatu, Solomon Islands, Nauru, Tuvalu, Marshal Islands dan Tonga adalah sesuatu yang tidak bisa dinegasikan, dibatasi atau disangkal aas nama nasionalisme, NKRI harga mati, integritas wilayah negara, dan sebagainya.

    Negara manapun itu buatan Indonesia. Nasionalisme manaun itu aspirasi manusia. Kepentingan politik, ekonomi dan pembangunan itu proyek manusia. Tetapi menyangkut nyawa dan hak asasi manusia, itu terkait langsung dengan Sang Pencipta, karena Dialah Pencipta dan Dialah pula berhak mencabut nyawa orang. Selain daripada itu, atas nama apapun, adalah kejahatan. Dan pembalasan ialah hak Tuhan, Dia pasti akan membalaskannya, entah dalam bentuk apapun, kapan-pun, entah bagaimana-pun, pembalasan itu pasti dan amin!

  • BREXIT Secara Otomatis dan Pasti Membatalkan Argumen NKRI Harga Mati dan Pepera Sudah Final

    BREXIT menjadi tolak ukur secara global, di zaman ini, menunjukkan martabat dan identitas demokrasi sejati, yaitu “Suara Rakyat, Suara Tuhan” dan referendum untuk West Papua ialah pasti dan harus.

    Betapapun pahitnya, betapapun negara tidak menerima, bepapapun mati harganya, betapapun sudah final, tetap, “Suara Rakyat, Suara Tuhan”, Suara Rakyat Dapat dan telah terbukti berulang-ulang menggugat realitas yang ada.

    Lt. Gen. TRWP Amunggut Tabi dari Markas Pusat Pertahanan Tentara Revolusi West Papua menyerukan kepada seluruh masyarakat Indonesia, masyarakat Tanah Papua dari Sorong sampai Samarai, masyarakat Melanesia, bahwa slogan Partai Politik Penguasa Kolonial, Parta Demokrasi Indonesia “Suara Rakyat, Suara Tuhan” telah terbukti minggu ini, di mana Rakyat Inggris, yaitu “Suara Tuhan” telah memilih untuk Negara Kerajaan Inggris Raya Bersatu KELUAR dari kerajaan Eropa bernama Uni Eropa, atau Komisi Eropa.

    Dampak dari “Suara Rakyat, Suara Tuhan” yang telah memenangkan BREXIT ialah usulan penyelenggaraan Referendum di Irlandia Utara dan Skotlan, salah dua dari paling tidak lima wilayah yang kini bersatu dan Inggris Raya Bersatu.

    Dari peristiwa bersejarah dalam kehidupan manusia dan demokrasi sedunia ini menunjukkan pelajaran yang jelas.

    Pelajaran yang pertama ialah bahwa benar terbukti, slogan Partai kolonial Indonesia PDI-P “Suara Rakyat, Suara Tuhan” memang benar-benar harus kita kawal dan kita lindungi dan kita tunduk kepadanya.

    Kalau rakyat Papua menuntut referendum, ya itu hak mutlak “Suara Tuhan”, maka haruslah diberikan kepada bangsa Papua. PDI-P haris konsisten terhadap slogannya

    Kedua, pernah tersebar isu buatan NKRI, bahwa sejak tahun 2000, pintu untuk negara baru merdeka telah tertutup dan Papua tidak akan berpeluang untuk merdeka, secara mentah-mentah dan di depan mata terbukti terbalik, Kemerdekaan ialah hak segala bangsa, dan oleh karena itu penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, kapan-pun, di manapun, oleh siapapun.

    Kalau NKRI benar-benar berbicara di pentas politik global bahwa dia telah mendemokratisasi negaranya, maka referendum dan hak berpendapat dari Orang Asli Papua ialah bagian tak terpisahkan dari demokrasi itu sendir, dan hasil daripada referendum itu harus diterima oleh baik kolonial maupun oleh bangsa Papua.

    Ketiga, para pemuda Papua, semua organisasi masa dan penggerak didalam negeri teruskan perjuanganmu, suarakan referendum untuk Tanah Papua, dan desak NKRI tunduk kepada slogan partai penguasa hari ini “Suara Rakyat, Suara Tuhan”.

    Pesan per email dikirim dari MPP TRWP, Vanimo, Papua New Guinea, Tanah Papua Sorong – Samarai

  • Luhut Panjaitan itu Wajah Militer NKRI, Jangan Ikut Irama NKRI

    Menanggapi berbagai langkah yang diambil oleh NKRI secara khusus lewat Menteri Koordinator Politik, Hukum dan HAM, Luhut Binsar Panjaitan, yang adalah mantan perwira tinggi militer NKRI, Panglima Tertinggi Komando Revolusi Tentara Revolusi West Papua (TRWP) menghimbau, “Luhut Panjaitan itu Wajah Militer NKRI, Jangan Ikut Irama NKRI!”

    Berikut petikan surat yang disusun berdasarkan satu kali pengiriman email bolak-balik antara PMnews dengan TRWP.

    Papua Merdeka News (PMNews): Selamat berjuang dan salam sukses atas kemendangan-kemenangan yang telah diraih oleh bangsa Papua pada tahun 2015 dan 2016 ini. Kami dari PMNews punya dua pertanyaan kali ini untuk mintakan pendapat dari Tentara Revolusi West Papua (TRWP).

    Pertama, Apa saran dari TRWP kepada pejuang dan organisasi perjuangan Papua Merdeka menanggapi perkembangan terakhir yang dilakukna oleh Menteri Indonesia bernama Luhut Binsar Panjaitan?

    Kedua, Apa tanggapan TRWP terhadap pasukan Cyber Army yang diluncurkan oleh NKRI?

    Demikian pertanyaan kami, dan terimakasih atas tanggapannya.

    Hormat kami, Colletive Editorial Board of the Diary of OPM (Online Papua Mouthpiece)

    Jawanan dari TRWP:

    Markas Pusat Pertahanan Tentara Revolusi West Papua – Secretariat-General

    Dengan hormat, kami ucapkan terimakasih atas dua pertanyaan yang telah kami terima lewat email. Surat yang ditujukan kepada Panligma tertinggi Komando Revolusi diserahkan kepada kantor sekretariat untuk menanggapinya. Gen. TRWP Mathias Wenda dengan ini memberikan tanggapan sebagai berikut.

    Pertama, menyangkut propaganda politik yang dilakukan oleh Luhut Binsar Panjaitan. Ada dua tanggapan. Pertama, Luhut sebagai orang Kristen, dia tahu persis, apa yang dia lakukan sungguh-sungguh bertentangan dengan ajaran agama Kristen. Sumpah-janji kepada NKRI sebagai warga negara ialah sebuah status semetnara, untuk ditinggalkan membusuk di kuburan di dalam tanah, sementara status dan kemerdekaan di dalam Yesus Kristus yang lewat Roh Kudus berbicara di dalam hatinya ialah kekal, tidak akan mati.

    Status dan kewarga-negaraan surgwwi yang bersifat kekal ini dianggap oleh Binsar sebagai sesuatu yang tidak ada artinya dan menggunakan jabatan dan kekuasaannya untuk memanipulasi fakta dan realitas di lapangan, sama seperti banyak orang Batak, orang Maluku dan orang Toraja yang telah mengatas-namakan Kristen untuk membunuh orang Papua di Tanah leluhur bangsa Papua, maka mereka pasti dituntut di pengadilan AKhir, sama-sama sebagai anak-anak Tuhan akan dihakimi. Kami kembalikan ini semua kepada Tuhan Yesus Kristus sebagai Panglima Mahatinggi Komando Revolusi West Papua dan Hakim Agung Semesta Alam.

    Yang kedua, sebenarnya NKRI memainkan kartu yang keliru. Mengesampingkan dan menganggap remeh seorang Meneri Luar Negeri, Luhur Binsar berkeliling dunia mengambil-alih tugas dan taunggungjawab Menlu dan ditambah, ia menunjukkan wajah militerisme di Tanah Papua ialah sesuatu yang memalukan bagi kami tetapi tentu saja merugikan bagi NKRI.

    Gen. TRWP Mathias Wenda yang hanya mengenyam pendidikan modern Sekolah Dasar saja tahu, sampai batas mana dapat berbicara dan sampai batas mana politikus berbicara. Itu terlihat jelas tidak dipahami oleh NKRI. Biarkan mereka menunjukkan kepada dunia bahwa militer masih berkuasa di Indonesia dan militer yang sedang mengkampanyekan dukungan internasional untuk West Papua tetap di dalam NKRI.

    Sekarang jawaban untuk pertanyaan kedua menyangkut Cyber Army, kami tidak dapat berkata banyak. NKRI terlambat 10 tahun. Cyber Army TRWP telah berdiri tahun 2000 di Norfolkshire, London Utara dengan nama The Diary of OPM (Online Papua Mouthpiece) sebagai sanggahan bahwa nama OPM itu sama dengan Online Papua Mouthpiece, bukan nama OPM buatan NKRI yang selama ini digunakan di seluruh dunia.

    Yang jelas, Timor Leste, orang Melanesia yang jumlahnya lebih sedikit, wilayahnya lebih kecil bisa menang atas NKRI yang wilayahnya masih berbatasan dengan NKRI, mengapa Papua tidak sanggup? Timor Leste yang mulai berjuang untuk merdeka 10 tahun setelah Papua Merdeka dimulai, kenapa bisa merdeka duluan?

    TRWP sudah punya jawaban atas dua pertanyaan ini, dan kami telah memerintahkan kepada organ politik untuk mengambil langkah-langkah strategis dan taktis dalam rangka melepaskan diri dari pendudukan dan penjajahan NKRI.

    Yang harus dilakukan orang Papua saat ini adalah

    1. Lupakan dan anggap tidak pernah ada atas apa saja yang dilakukan oleh Luhut Binsar Panjaitan,
    2. Fokus kepada program dan target perjuangan Papua Merdeka;
    3. Jaga dan rawat persatuan dan kesatuan dalam ULMWP, siapapun yang menyuarakan kelaur dari ULMWP atau tidak mengakui ULMWP, entah dia itu mengaku diri Panglima atau Tokoh Politik, atau apa saja, tetapi menyangkal ULMWP, maka dia dan organisasinya jelas pro NKRI, pro Merah-Putih, dan ia diangkat oleh NKRI, digaji oleh NKRI. Itu sesuatu yang jelas dan pasti.
    4. Kangan menghina dan memaki orang Papua, entah itu Fransalbert Joku, Nick Messet, Nico Jakarimilena, Matius Murib, siaapun yang saat ini mewakili NKRI berbicara di tingkat mana saja. Mereka adalah aset bangsa Papua. Jangan terpancing dengan politik “devide et impera” penjajah. Hargai mereka adalah secara otomatis hargai diri sendir, karena mereka adalah anda, dan anda ada di dalam mereka sebagai orang Papua. Kebenciran dan saling curiga di antara kita telah merusak perjuangan kita, telah menghambat perjuangan ini dalam satu generasi. Oleh karena itu generasi saat ini jangan ikut jejak saling dengki, saling memaki, saling mengancam diantara orang Papua. Anak kami Prai di Australia dan anak-anak lain di negeri dan di Indonesia, yang melakukan demo, yang mengeluarkan pernyataan, jangan didasari atas kebencian, karena kita sudah berada di pihak pemenang. K
    5. Kebenaran telah memang! Kita saat ini berada pada waktu-waktu untuk merayakan kemenangan-kemenangan ini:
      1. Semua organ perjuangan kemerdekaan West Papua telah bersatu menjadi satu dalam payung ULMWP; beryukurlah, berpestalah, rayakanlah!
      2. ULMWP telah diterima menjadi anggota MSG, Pujilah Tuhan! Agungkan dan muliakan nama-Nya! rayakanlah!
      3. Isu West Papua telah masuk ke meja PIF (Pacific Islands Forum) lewat ULMWP, ; beryukurlah, berpestalah, rayakanlah!
      4. Westminster Declaration telah diluncurkan, untuk mengkampayekan kemerdekaan West Papua. ; beryukurlah, berpestalah, rayakanlah!
  • Kapolda: Tangkap Pelakunya, Hidup Atau Mati

    JAYAPURA – Kepolisian Daerah Papua menyiapkan sebanyak 70 personil Brimob untuk melakukan pengejaran terhadap kelompok sipil bersenjata (KSB), Yambi pimpinan Tengahmati Telenggen yang diduga keras sebagai pelaku penembakan terhadap 6 warga sipil di kampung Usir, Distrik Mulia, Puncak Jaya, Selasa (26/5/2015) malam.

    Kepala Kepolisian Daerah Papua, Inspektur Jenderal Polisi mengatakan, penembakan terhadap enam warga sipil di Mulia, Kabupaten Puncak Jaya itu diperkirakan sebanyak 18 orang. Namun, usai melakukan penembakan langsung melarikan diri ke hutan sekitar distrik Mulia, namun karena medan yang begitu sulit membuat aparat kepolisian dan TNI sulit melakukan pengejaran.

    “Kami perbantukan sebanyak 70 Anggota Brimob untuk melakukan pengejaran terhadap kelompok KSB tersebut dibantu TNI,” kata Kapolda Papua kepada wartawan usai melakukan rapat internal dengan Pangdam XVII/Cenderawasih, Mayjen TNI Fransen G Siahaa, pada Rabu (27/5/2015) di Mapolda Papua.

    Menurutnya, penembakan terhadap warga sipil oleh kelompok sipil bersenjata pimpinan Tengahmati Telenggen merupakan pelanggaran hukum, sehingga mereka harus bertanggungjawab atas perbuatannya.

    “Kejadian ini pelanggaran hukum dan kelompok Tengahmati harus bertanggung jawab. Kita akan kejar dan anggota brimob yang ada diatas sudah diperintahkan Kapolres menangkap hidup atau mati,” tegasnya.

    Kata dia, kelompok KSB pimpinan Tengahmati dengan jumlah 18 orang tersebut merupakan kelompok kecil dengan menggunakan senjata sekitar 10 pucuk.

    “Kita kejar terus, namun tetap waspada sebab mereka pegang senjata. Bagi saya permasalahan ini terakhir dan kita tidak akan menyerah, mereka harus cari dan ditindak tegas,”

    tegas Kapolda .

    Dalam pengejaran anggota KSB tersebut, anggota TNI siap membantuk kepolisian dan diminta kepada masyarakat Puncak Jaya untuk tetap membantu pihak kepolisian. Namun tetap waspada karena kelompok ini sudah tidak melihat dari aspek masyarakat atau TNI/Polri “Jika kelompok ini berada di tengah masyarakat segera laporkan kepada aparat keamanan karena aksinya selalu sama ratakan,” mintanya.

    Jenderal Bintang dua ini, mengkhwatirkan, jika kelompok ini berkeliaran di Puncak Jaya tidak memandang buluh masyarakat dari mana, Apakah TNI, Polri maupun warga sipil biasa atau orang asli di Puncak Jaya. “Kami minta segera memberikan informasi jika berbaur di tengah-tengah masyarakat,” harapnya.

    Dia juga memerintahkan kepada anggotanya untuk dilakukan penangkapan dan diproses hukum sesuai aturan yang berlaku. “

    Mereka merupakan DPO kita, dan kita akan cari. Kemudian kami mengimbau kepada mereka agar menyerahkan diri. Percuma mereka melawan dan melawan karena kita dengan TNI selalu berkomitmen bahwa NKRI adalah harga mati,”

    katanya.

    Ditandaskannya, jika mereka ingin memisahkan diri maka kita akan tetap melawan mereka, sehingga diminta untuk menyerahkan diri. Namun apabila tidak, maka akan dilakukan operasi penegakan hukum. “Kami juga lebih mengedepankan operasi intelejen setiap hari,” pungkasnya. (loy/don/l03)

    Source: BinPaa, Kamis, 28 Mei 2015 08:02

  • 52 Tahun Kembalinya Papua ke NKRI Bakal Diperingati

    JAYAPURA – 52 tahun kembalinya Papua ke dalam negara kesatuan Republik Indonesia (NKRI) akan diperingati oleh Pemuda Panca Marga (PPM) Provinsi Papua. Hal itu terungkap ketika Panglima Kodam XVII/Cenderawasih, Mayjen TNI Fransen G. Siahaan beraudensi dengan Pimpinan Daerah Pemuda Panca Marga (PPM) Provinsi Papua, Rachman Iba beserta rombongan, di ruang Cycloops Makodam XVII/Cenderawasih, pada (26/3) kemarin.

    Audensi yang berlangsung kurang lebih dua jam itu, bertujuan membahas rencana penyelenggaraan Musyawarah Pemuda Panca Marga (PPM) Provinsi Papua Tahun 2015, serta rencana seminar dan Apel Akbar dalam rangka memperingati 52 Tahun kembalinya Papua ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.

    Dalam pertemuan itu, Pangdam Fransen menyambut positif dan mendukung rencana kegiatan tersebut. Sebab kegiatan itu akan menjadi inspirasi bagi perubahan dalam membangun konsep berdemokrasi untuk mewujudkan Tanah Papua yang kondusif dan harmonis diatas sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara diatas kepentingan nasional.

    “Kami sambut positif demi menumbuhkan kecintaan terhadap Tanah Air, kesadaran Bela negara dan mempertahankan Empat Pilar keutuhan bangsa Indonesia yaitu Pancasila, UUD 1945, Bhineka Tunggal Ika dan NKRI harga mati demi tetap tegaknya NKRI,” katanya.

    Pada kesempatan itupula, Pangdam Fransen memberikan beberapa atensi kepada para Pemuda agar menjadi pelopor dalam segala kegiatan yang bersifat positif guna memperkokoh jiwa kebangsaan, memelihara, dan memantapkan rasa nasionalisme.

    “Harus hindari disintegrasi bangsa dan mampu menumbuhkan kesadaran kolektif bangsa untuk meningkatkan kreativitas, bersatu padu membangun masyarakat Indonesia khususnya Papua yang sejahtera dan bermartabat dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia,” harap dia.

    Pangdam Fransesn juga menekan, agar pada pemuda jadi pelopor dalam membangun interaksi segenap komponen bangsa yang dilandasi oleh semangat kebersamaan, persatuan dan kesatuan serta ikut andil dalam memantapkan sistim keamanan nasional yang mampu menjaga, menjamin Integritas bangsa, keutuhan wilayah dan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

    Turut hadir dalam acara tersebut adalah, Irdam XVII/Cenderawasih, Para Asisten Kasdam XVII/Cenderawasih dan Kapendam XVII/Cenderawasih, yang selanjutnya berfoto bersama. (loy/don)

    Source: BinPa, Jum’at, 27 Maret 2015 01:52

  • Detik Otsus Dihapus, Detik itu NKRI tidak Punya Dasar Hukum Menduduki Tanah Papua

    Menanggapi rencana NKRI menghentikan Otsus atas tanah Papua yang telah diberlakukan sejak 2001 oleh Presiden Megawati Sukarnoputri waktu itu, Lt. Gen. TRWP Amunggut Tabi atas nama Gen. TRWP Mathias Wenda dari Markas Pusat Pertahanan Tentara Revolusi West Papua menyatakan,

    “Detik Otsus dihapus, maka detik itu pula NKRI tidak punya Dasar Hukum untuk menduduki Tanah Papua. Dengan mencabut UU Otsus, maka secara otomatis mencabut dasar hukum NKRI tinggal di Tanah Papua, sama dengan NKRI keluar dari Tanah Papua”.

    Demikian dijawab lewat SMS menanggapi ringkasan SMS yang PMNews kirimkan kepada Markas Pusat Pertahanan (MPP) TRWP.

    Dilanjutkan dalam pesan pendek itu,

    Demikian juga, begitu masa berlaku UU Otsus berakhir, maka status hukum West Papua di dalam NKRI harus berakhir, kecuali kalau NKRI mengeluarkan UU selain UU Otsus untuk memperpanjang masa pendudukannya atas tanah Papua. Jadi, UU Otsus bukan sekedar untuk membangun tanah dan bangsa Papua ras Melanesia di dalam kerangka NKRI, tetapi sekaligus sebagai Surat Kontrak yang berisi Hak Menduduki dan Menggarap serta mencari keuntungan dari Tanah Papua. Kontrak itu ditandangani oleh NKRI, dan diketahui oleh masyarakat internasional, tanpa keterlibatan bangsa Papua.

    Selanjutnya dikatakan juga dalam sms berikutnya,

    Oleh karena itu, orang Papua yang mau tetap mempertahankan UU Otsus ialah orang Papua yang pro-NKRI, yang kami sebut orang suku Papindo (Papua – Indonesia). Kalau orang Papua asli dan murni akan mengucap syukur kepada Tuhan kalau NKRI mau menghapus UU Otsus atas tanah Papua.

    Akan tetapi di sisi lain, tetap mempertahankan Otsus juga lebih bagus, karena ujung-ujungnya pasti tetap menguntungkan perjuangan Papua Merdeka.

    Jangan kita lupa bahwa hubungan negara-bangsa modern dengan masyarakat adat di seluruh dunia semuanya didasarkan atas produk hukum internasional yang dijadikan dasar bagi para penjajah untuk menduduki wilayah dan bangsa jajahannya. Termasuk NKRI menduduki West Papua atas dasar Perjanjian Roma dan Perjanjian New York tahun 1960-an. Kedua perjanjian ini ditindak-lanjuti dengan Pemberlakuan Otonomi Khusus 25 tahun, yang mulai dari tahun 1963 dan berakhir tahun 1988 (masih ingat Dr. Thom Wainggai memproklamirkan negara Melanesia Raya dengan alasan Otsus I NKRI di Tanah Papua berakhir pada saat ini). Dari tahun 1988 – 2001, status West Papua di dalam NKRI tidak memiliki dasar hukum apapun. Baru tahun 2001 ada dasar hukum UU Otsus No. 21/2001, yang akan berakhir 2026.

    Akan tetapi itu semua tergantung perjuangan orang Papua, baik yang ada di dalam pemerintah NKRI sebagai pejabat kolonial Indonesia ataupun yang ada di luar pemerintah. Kalau semua orang Papua punya harga diri dan bermartabat sebagai manusia ciptaan Tuhan di tanah leluhurnya dan menghargai itu serta memperjuangkannya, maka bukan hal yang tidak mungkin, NKRI akan angkat kaki dari Tanah Papua, pada suatu saat. Hal itu pasti, tetapi kita tunggu waktu Tuhan.

  • Otonomi Khusus, Pemekaran dan Penolakan rakyat Papua dalam Kaitannya dengan Boikot Pemilu NKRI 2009: Sebuah Catatan Lepas per Agustus 2008

    Oleh Sem Karoba

    Dalam tiga buku saya, berujudul PAPUA MENGGUGAT: (1) Praktek, (2) Teori , dan (3) Politik serta Politisasi Otonomi Khusus NKRI di Papua Barat (2004a, 2004b dan 2005) terbitan Galang Press Yogyakarta telah berulang kali disebutkan dengan jelas dan tegas, menantang kleim NKRI dan Gubernur Jaap Solossa (waktu itu), bahwa Otonomi Khusus BUKANLAH SOLUSI, seperti kleim kaum Papindo (Papua Pendukung NKRI: Papua – Indonesia), tetapi adalah sebuah penumpukan masalah baru di atas masalah lama yang sudah akut dan kumat dalam hubungan NKRI – Papua Barat.

    Keakutan dan kekumatan penyakit dalam Pangkuan Ibutiri Pertiwi itu disampaikan dengan gamblang dalam ketiga buku ini bahwa entah berapapun dananya, entah berapa lamapun pemberlakuannya, entah kapanpun diterapkan, entah siapapun yang menerapkannya (Solossa ataupun Suebu, atau malaikat siapapun), Otsus bukan diberikan dengan ketulusan hati karena orang Papua sesama warga negara Indonesia yang patut dan berhak mendapatkan perhatian ‘khusus’, tetapi justru karena orang Papua dianggap ‘lain’ dari sisi etnis, budaya, wilayah, dan terutama pandangan politik serta statusnya dalam kedudukan segenap penduduk NKRI. Diskriminasi yang ada di sini bukanlah diskriminasi positiv, tetapi diskriminasi negative, diskriminasi yang dianggap tabu dalam pandangan politik global dan demokrasi modern yang menopang pluralisme dan multikulturalisme. Otonomi yang khusus itu ada bukan “karena bangsa Papua itu berbeda suku-bangsa dan etnik daripada kebanyakan penduduk NKRI,” tetapi ia diberikan “karena bangsa Papua itu tidak sama dalam suku-bangsa dan etniknya daripada kebanyakan penduduk NKRI.” Dengan kata lain, “Anak kandung berbeda statusnya dengan anak tiri”, biar sebesar apapun, seberapa piringpun anak tiri diberi makan, sang ibu tiri tetap memandangnya dan meperlakukannya sebagai anak-tiri. Sah-sah saja si anak-tiri memberontak, meminta perhatian ekstra, meminta bagian yang layak, menolak pemberian sang ibutiri dan seterusnya, tetapi sepanjang sang ibutiri memandang dan memposisikan anaktirinya itu sebagai anak tiri, tetapi saja ia menjadi nomor dua atau ke sekian dalam perhatian dan perlakuannya.

    Apalagi kalau anak kandungnya sendiri dilanda berbagai persoalan, musibah, penyakit sosial, budaya dan fisik seperti yang kita lihat terjadi di Pulau Jawa-Sumatra. Lumpur yang berbau muncul di mana-mana di kedua pulau, tak pernah ada ujung pangkal penyelesaiannya. Pembunuhan misterius dan berantai terjadi di mana-mana, tanpa ada ujung-pangkalnya. Organisasi dan kelompok milisi serta semi-militer bertebaran dan beraksi di sana-sini, saling mengancam dan menyerang. Korupsi kekayaan negara secara besar-besaran terjadi mulai dari tingkat tertinggi sampai ke tingkat terbawah. Harga kebutuhan bahan pokok terus-menerus melambung, dan pelambungan itu terjadi dalam hitungan minggu, bukan bulan apalagi tahun. Rakyat yang melarat sulit mendapatkan makanan dan tempat tinggal selayaknya sebagai manusia. Banyak orang Jawa-Sumatra minum air dari kotorannya sendiri, dari tempat mereka membuang kotorannya sendiri, dan banyak pula yang harus menempuh berkilo-kilo jauhnya untuk hanya menimba air se-ember. Untuk makan sesuap nasipun harus dengan cara halal (meminta-minta) dan kebanyakan dengan cara haram (memperdagangkan dirinya serta membunuh orang kaya dan mencuri serta merampok).

    Ini hanya sedikit masalah ekonomi dan fenomena penegakkan hukum alam yang berimbas kepada kehidupan sosial dan budaya. Belum kita singgung tumpukan masalah politik, hukum dan hak asasi manusia secara utuh. Kalau kita berhitung semuanya, jelas isu “kemiskinan dan kebodohan” yang dijadikan sebagai dasar persoalan peluncuran paket Otsus menjadi tidak bermakna sama sekali. dalam kasak mata, Kebodohan dan kemiskinan tidak nampak di Papua Barat. Pantas karena rumus mengukur kaya-miskin mereka gunakan dari stangar Bank Dunia, yaitu hitungan sebuah bank, yang berarti berdasarkan peredaran uang masuk-keluar dari saku-saku manusia. Jelas saja orang Papua tidak secara seratus persen tergantung atas uang, seperti orang di Pulau Jawa, Sulawesi, Bali, dan Sumatera. Apakah ukuran kaya-miskin benar harus diukur dari jumlah uang yang keluar-masuk saku-saku manusia? Bukan begitu! Itu patokan modernisme, yang kini sudah mulai tidak laku lagi, walaupun orang Papua yang baru keluar dari zaman batu itu menganggap modernisme sebagai Injil bagi hidupnya dan masa depannya. Pantas saja karena ia tidak tahu kepahitan modernsime. Modernisme lebih diwarnai dengan kepahitan hidup daripada kebahagiaan. Itu yang tidak dikenal orang Papua. Pantas saja begitu, karena mereka belum tahu apa artinya modernisasi dan pembangunan.

    Teori-teori modernisme mulai mentah kembali, dan manusia sudah mulai putar otak untuk memformat ulang atau mensampahkan segala teori lama, terutama teori pembangunan (modernisme), terutama karena penegakkan hukum alam (bencana, musibah) yang melanda segenap kehidupan di Planet Bumi. Manusia mulai bangkit seolah-olah mereka pintar dan sudah benar, berbicara tentang Pemanasan Bumi, Perubahan Iklim Global dengan berbaga terorika dan pertemuan politik. Gubernur Papua-pun tidak ketinggalan, walaupun di satu sisi ia memberi izin penebangan pohon, ia juga tampil di pentas global seolah-olah sebagai penyelamat bumi Cenderawawasih, Hutan Papua. Persoalan bukan kepada gelagat atau taktik atau pendekatan yang diluncurkan, tetapi paradigma berpikir, bahwa modernisme dan pembangunan dapat mengendalikan kehancuran di muka Bumi.

    Pembangunan lewat Otsus, Pemekaran
    Pertanyaan sekarang adalah “Apakah Otonomisasi NKRI di Papua Barat telah berhasil?” “Berhasil lakukan apa?” dan “Berhasil untuk Siapa?”

    Tentu saja NKRI akan menjawab, ya, sudah berhasil, karena (1) Sudah ada trilyunan rupiah dikuncurkan ke saku pejabat dan departemen di Tanah Papua; (2) Sudah ada banyak Kabuptan dan Dua Provinsi di Tanah Papua degan sudah banyak Batalion, Polres, Polsek, Korem, Yonif dan Pegawai Negeri dari Jawa-Sumatera sudah banyak didrop kesana untuk membangun Papua Barat; (3) Sudah banyak pesawat Pemda yang dibeli oleh Pemda sendiri untuk dipakai demi melancarakan akses TNI/Polri ke pelosok Tanah Papua; (4) Sudah banyak jalan raya yang dibangun menghubungkan berbagai wilayah untuk mendrop pasukan TNI/Polri dalam mengejar dan membunuh rakyat Papua; (5) Sudah bayak pejabat Papua mengenal Tanah Jawa dan merumahkan banyak isteri di Jawa yang selama ini perlu duit dari Tanah Papua, dan seterusnya.

    Dari berbagai demo Penolakan Otsus di Tanah Papua sejauh ini dapat dipetik sejumlah point yang mereka jadikan sebagai alasan. Pernyataan yang lebih sering mengemuka adalah “Kondisi hidup orang Papua sebelum Otsus lebih baik daripada setelah Otsus”, atau “Otsus tidak membawa dampak apa-apa bagi masyarakat asli Papua.” Artinya “Otus telah gagal!” Memang setelah mereka menolak Otsus itu sering disertai dengan berbagai tuntutan, terutama tuntutan untuk mengembalikan hak kedaulatan bangsa Papua. Rupanya tuntutan untuk dialogue dengan pemerintah NKRI semakin menghilang dengan kehilangan wajah dan peran PDP. Apakah bangsa Papua sudah kehilangan harapan bahwa Indonesia akan bakalan bersedia untuk berdialogue? Mengapa NKRI bisa berdialogue dengan bangsa NAD, tetapi dengan bangsa Papua tidak bisa? Bukanlah itu merupakan wujud nyata dari diskriminiasi positiv tadi? Bangsa Papua itu apa sih, sehingga mampu memaksa orang Melayu berdialog hanya gara-gara hak kamu wong ireng yang setengah hewan setengah manusia itu? Berpuluh tahun menuntut dialogue, berpuluh tahun pula tak ada tanggapan. Bukanlah itu sebuah wujud nyata diskriminiasi politik NKRI?

    Mengapa ada perbedaan penilaian atas kiprah Otsus di Tanah Papua? Mengapa ada yang bilang gagal, ada yang bilang sudah berhasil?

    Seperti saya sudah banyak dan berulangkali sebutkan dalam buku-buku saya, persoalannya bukan terletak kepada jumlah uang yang dikeluarkan atau berapa lama ia diterapkan. Bukan juga kepada pihak yang mengatakan Otsus gagal atau Otsus berhasil. Persoalan pokoknya terletak kepada “Titik berangkat dan paradigma berpikir dalam memandang dan menilai Otsus.”

    Seperti berulangkali disampaikan dalam berbagai kesempatan, orang Papua merasa dan mengetahui pasti bahwa Otsus digulirkan bukan karena mereka kurang makan dan kurang minum, sama seperti orang Jawa-Bali-Sumatera-Sulawesi, tetapi justru karena bangsa Papua menuntut kemerdekaannya. Wacananya jelas, minta merdeka, maka diredam dengan Otsus. Tetapi di tengah jalan, ada kelompok kelas menengah Papua, mulai dari Gubernur sampai Menteri orang Papua diserta para staff ahli di Departemen Dalam Negeri NKRI dan DPRP serta DPRRI memberikan nasehat kepada Jakarta bahwa tuntutan itu karena kecemburuan sosial. Maka paradigma pemberian Otsus justru dibelokkan dari esensi yang sebenarnya, Merdeka digantikan oleh Otsus menjadi Penderitaan, kemiskinan, kebodohan, diupayakan untuk digantikan oleh kebahagiaan dan kesetaraan lewat Otsus.

    Yang berulang kali juga saya tanyakan dalam buku-buku ini adalah, “Orang Papua mau dijadikan setara dengan “apa” atau “siapa”? Apakah setara dengan penderitaan yang melanda di Pulau-Pulau NKRI? Hendak disamakan dalam tingkat kejahatan, kemiskinan, kemelaratan dan penderitaan seperti yang dialami kebanyakan penduduk NKRI? Siapa yang sebenarnya menderita saat ini: Orang Papua atau orang Indonesia? Maka, kalau mau disamaratakan, maka apakah penderitaan yang ada di Pulau Jawa-Bali-Sulawesi-Sumatera mau dibagi-rata dengan orang Papua di Pulau New Guiena bagian Barat itu? Kalau kebahagiaan, di mana sarang kebahagiaan itu di Pulau Jawa-Bali-Sulawesi-Sumatera? Sama sekali tidak nampak???

    Yang sudah terjadi di Tanah Papua hingga tahun ini (per Agustus 2008) adalah sama psersis, tanap ada yang meleset dari apa yang telah digambarkan hampir 5 tahun silam dari ketiga buku ini: militerisasi, devide et impera alias pecah bela antara keluarga, marga dan suku, pendropan pasukan, penambahan Yonif, Korem, Polres, Poslsek, dan penambahan jumlah pasukan TNI dan Polri, yang berakibat intensifikasi dan ekstensifikasi operasi militer/polri, yang berdampak peningkatan jumlah orang mati misterius di jalan-jalan, entah dengan alasan karena miras ataupun karena mati tanpa identitas, penyebaran penyakit di mana-mana dan kematian yang merebak tanpa tahu sebab-musababnya, pelacuran yang marak (seperti sekarang sudah marak di Kota Numbay dan kota-kota lainnya di Tanah Papua), yang semuanya BELUM PERNAH ADA sebelum Otsus diluncurkan. Di kelas atas, banyak pejabat sudah memiliki banyak isteri dan rumah dan kendaraan ditempatkan di mana-mana. Bisnis Otus sudah merebak.

    Kalau MAsyarat Papua Menilai Otsus Gagal, Jalan Terbaik Bukan Menuntut Kembalikan Kedaulatan, tetapi Memboikot Pemilu 2009
    NKRI dan Ibutiri Pertiwi menganggap sudahlah berkelebihan memparhatikan sang anak-tiri itu, bahkan menyesal sudah memperlakukan seolah-olah Papua itu anak kandungnya. Sementara Papua sendiri tidak merasa puas dengan perlakuan ibutiri Pertiwi. Ia tetap saja menuntut.

    Kalau begitu apa yang harus dilakukan?

    Pertama, orang Papua harus sadar, entah kaum Papindo ataupun nasionalis, keduanya berasal dari dan hidup untuk Tanah Papua. Keduanya harus sadar penuh dan betul-betul bahwa penjajahan adalah penjajahan. Tidak pernah ada bangsa yang memanfaatkan penjajahan untuk kebahagiaan dan kemakmuran bangsanya. Itu impian siang bolong. Bangsa sehebat manapun di muka bumi, tak pernah ada yang mengoptimalkan sumberdayanya untuk kebahagiaan dan kemakmurannya di dalam bingkai kolonialisme yang ada. Tetap saja, tujuan akhir kedaulatan politik di luar penjajahan menjadi target.

    Ada saja orang Papua yang berteori, “Kita isi perut dulu, kita kembangkan ekonomi dulu, kita bangun darerah dulu, baru kita merdeka. Otsus merupakan jalan untuk mempersiapkan kemerdekaan.” Ini juga teori kosong, tak pernah ada buktinya. Memang ini sebuah idealisme yang sudah diinginkan bangsa-bangsa terjajah di muka bumi, tetapi sayang, dari semua bangsa yang pernah dijajah dan yang sudah pernah merdeka, tidak ada satupun dari mereka yang melewati alur pemikiran ini. Walaupun mereka pernah mencita-citakan, sama seperti orang Papindo, tetapi maaf saja, itu sebuah teori yang tidak pernah ada buktinya dalam sejarah hidup manusia dan sejarah modernisasi (kolonialisme dan dekolonisasi). Kita hanya sedang menantikan Skotlandia dan Welsh untuk membuktikan teori itu, kalau keduanya bisa. Selain itu tidak ada. Apakah orang Papua mau membuktikannya dahulu sebelum Skotlandia dan Welsh? Sebuah mimpi siang bolong!

    Yang dibutuhkan sekarang adalah agar bangsa Papua memperhatikan apa saja haknya dan apa saja kewajiban negara. Lalu mulai berhitung berapa banyak hak bangsa Papua yang belum pernah ia manfaatkan atau dijamin oleh NKRI dan berapa banyak kewajiban NKRI yang belum pernah ia penuhi atau ia langgar?

    Salah satu dari sekian hitungan itu adalah “Hak yang melekat dan tak dapat diganggu-gugat untuk TIDAK MENGIKUTI PEMILU” sebuah negara. Untuk mengikuti Pemilu atau tidak mengikuti Pemilu bukanlah merupakan sebuah kewajiban, tetapi adalah HAK. Itu artinya, negara tidak berhak untuk memaksa penduduk siapapun untuk mengikuti Pemilu, apalagi Partai Politik yang tak ada artinya apa-apa dalam politik modern itu?

    Dalam berhitung antara hak dan kewajiban itu, maka begitu bijak dan jitu, kalau mulai saat ini bangsa Papua, secara masal dan secara keseluruhan, mempersiapkan langkah-langkah untuk MEMBOIKOT PEMILU NKRI 2009.

    Kalau Anda berdemo, pasti ada Polisi mengawal, pasti harus ada izin untuk itu, pasti Anda dipenjarakan karenanya dan pasti ada KUHP tentang pelanggaran apapun yang Anda lakukan. Tetapi kalau Anda menolak ikut Pemilu, TAK ADA HUKUM APAPUN MEWAJIBKAN ANDA, apalagi menghukum Anda. Itu berlaku di manapun di seluruh dunia dan di seluruh Indonesia. Mantan Presiden RI. Aburrahman Wahid-pun sudah mengumumkan dirinya sebagai “Golongan Putih alias Golput” dalam Pemilu 2009.

    Orang Indonesia asli, WNI asli, mantan Presiden saja sudah menyatakan diri sebagai Golput. Apalah artinya seorang anak-tiri bagi ibuturinya? Apalah artinya meminta-minta berlebihan sementara tahu persis bahwa anak-kandungnya lebih dinomrsatukan daripada anak tiri? Sekalian saja, tunjukkan sikapmu bahwa “Kau orang Papua punya ayah dan ibu kandung, yang belum mati sampai detik ini. Dan untuk kembali ke pangkuannya, Anda menolak ikut Pemilu NKRI 2009!”

    Kalau itu yang Anda buktikan, dalam jarak waktu hitungan bulan ini, maka selanjutnya sebenarnya Anda tak perlu berkeluh-kesah turun ke jalan dan harus dikawal polisi, harus meminta izin dan harus berbicara sambil melirik kiri-kanan siapa tahu Anda ditangkap atau dikejar karena “Tolak Otsus dan minta kembalikan kedaulatan.” Dengan memboikot Pemilu, Anda sudah melakukan segala-galanya. Dan hal itu bukan sebuah kewajiban, tetapi sekali lagi, SEBUAH HAK, yak HAK ANDA, SEPENUH-PENUHNYA.

Are you sure want to unlock this post?
Unlock left : 0
Are you sure want to cancel subscription?