Tag: menggugat NKRI

  • Ada Isu Makar, Jokowi Perintahkan TNI-Polri Siaga Penuh

    postmetro.co Presiden Joko Widodo (Jokowi) memerintahkan prajurit TNI dan personel kepolisian bersiaga untuk mengantisipasi dugaan adanya rencana makar.
    “Itu tugasnya Polri dan TNI untuk waspada yang membahayakan NKRI, membahayakan demokrasi kita,” kata Jokowi usai bertemu Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri di beranda belakang Istana Merdeka Jakarta, Senin (21/11/2016).
    Jokowi kembali mengingatkan bahwa sudah menjadi tugas Polri dan TNI untuk mewaspadai adanya upaya makar itu.
    “Tapi semuanya harus merujuk ketentuan hukum yang ada,” kata dia.
    Kapolri Jenderal Tito Karnavian sebelumnya mengaku sempat mendapat informasi mengenai adanya unjuk rasa yang bertujuan untuk makar dan menduduki gedung DPR pada tanggal 25 November 2016.
    Unjuk rasa ini diperkirakan masih terkait dengan kasus dugaan penisaan agama Gubernur nonaktif DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. [tsc]

  • Indonesia Sebentar Lagi Akan Punah Menurut Penulis Penerima Penghargaan Tertinggi Pulitzer Ini

    bagi.me – Di bawah ini adalah tulisan Jarred Diamond, penulis yang memperoleh penghargaan Pulitzer. Dalam sebuah pidatonya Jarred pernah mengatakan bahwa negara seperti: Indonesia, Columbia dan Philipina, merupakan beberapa peradaban yang sebentar lagi akan punah.

    Ketika bangsa Cina ingin hidup tenang, mereka membangun tembok Cina yang sangat besar.

    Mereka berkeyakinan tidak akan ada orang yang sanggup menerobosnya karena tinggi sekali.

    Akan tetapi 100 tahun pertama setelah tembok selesai dibangun, Cina terlibat tiga kali perperangan besar.

    Pada setiap kali perperangan itu, pasukan musuh tidak menghancurkan tembok atau memanjatnya, tapi cukup dengan menyogok penjaga pintu gerbang.

    Cina di zaman itu terlalu sibuk dengan pembangunan tembok, tapi mereka lupa membangun manusia.

    Membangun manusia seharusnya dilakukan sebelum membangun apapun. Dan itulah yang dibutuhkan oleh semua bangsa.

    Ada sebuah pendapat yang mengatakan bahwa apabila ingin menghancurkan peradaban sebuah bangsa, ada tiga cara untuk melakukannya, yaitu:

    1. Hancurkan tatanan keluarga
    2. Hancurkan pendidikan
    3. Hancurkan keteladanan dari para tokoh dan rohaniawan (ulama, ustadz, habaib)

    Untuk menghancurkan keluarga caranya dengan mengikis peranan ibu-ibu agar sibuk dengan dunia luar, menyerahkan urusan rumah tangga kepada pembantu.

    Para ibu akan lebih bangga menjadi wanita karir ketimbang ibu rumah tangga dengan dalih hak asasi dan emansipasi.

    Kedua, pendidikan bisa dihancurkan dengan cara mengabaikan peran guru. Kurangi penghargaan terhadap mereka, alihkan perhatian mereka sebagai pendidik dengan berbagai macam kewajiban administratif, dengan tujuan materi semata, hingga mereka abai terhadap fungsi utama sebagai pendidik, sehingga semua siswa meremehkannya.

    Ketiga, untuk menghancurkan keteladanan para tokoh masyarakat dan ulama adalah dengan cara melibatkan mereka kedalam politik praktis yang berorientasi materi dan jabatan semata, hingga tidak ada lagi orang pintar yang patut dipercayai. Tidak ada orang yang mendengarkan perkataannya, apalagi meneladani perbuatannya.

    Apabila ibu rumah tangga sudah hilang, para guru yang ikhlas lenyap dan para rohaniawan dan tokoh panutan sudah sirna, maka siapa lagi yang akan mendidik generasi dengan nilai-nilai luhur?

    Itulah awal kehancuran yang sesungguhnya. Saat itulah kehancuran bangsa akan terjadi, sekalipun tubuhnya dibungkus oleh pakaian mewah, bangunan fisik yang megah, dan dibawa dengan kendaraan yang mewah.

    Semuanya tak akan berarti apa apa, rapuh dan lemah tanpa jiwa yang tangguh.

    © 2016 Bagi.me. All New Rights Reserved.

  • Surat Terbuka Kepada Sri Sultan Hamengkubuwana X

    Surat Terbuka
    Aliansi Mahasiswa Papua [AMP]
    untuk Sri Sultan Hamengkubuwana X

    Kepada Yth. Sri Sultan Hamengkubuwana X

    di Tempat

    Salam sejahtera, dengan berkat rahmat Tuhan yang Maha Esa, sehingga kami selalu diberi perlindungan yang tak terhingga. Pertama-tama, kami ucapkan banyak terimakasih kepada Bpk. Sri Sultan Hemangkubuwono X yang telah membuka hati untuk memberikan tempat bagi kami mahasiswa Papua untuk mengemban  ilmu di  kota studi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), tak lupa juga kami ucapan terimakasih kami kepada rakyat Jogja yang sudah menjadi bagian dari kami.Apa kabar, Pak? Apa kabar Keraton? Apa kabar Jogja? Berharap bapak selalu dalam keadaan sehat-sehat, juga untuk Jogja istimewa selalu ‘cinta damai'(?) dan ‘anti premanisme'(?). Oh, iya, Pak, surat ini kami buat untuk merespon pernyataan bapak beberapa waktu yang lalu. Sebelumnya kami minta maaf, Pak, surat ini kami keluarkan secara terbuka. Alasannya simple, sangat tipis kemungkinan kami yang hanya mahasiswa Papua bisa bertemu dengan Bapak.

    Berhubung, peryataan Bapak di media online republika.co.id tgl 19 Juli 2016, 16:43 WIB, “Separatis tak Punya Tempat di Yogyakarta”. Juga pernyataan Bapak pada 20 Juli 2016. Tempo.co 20 Juli 2016 18:34 WIB “aspirasi untuk menentukan nasib sendiri yang dilakukan mahasiswa Papua boleh dilakukan, asalkan tidak disampaikan kepada publik”. “Kalau di asrama, silakan. Kalau disampaikan ke publik, di tempat lain sana, tidak di Jogja.”

    Kami melihat dari pernyataan tersebut sudah tentu mengarah pada kami, Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) sebagai organisasi massa mahasiswa Papua. Maka kami ingin merespon sedikit dari pernyataan Bapak di atas melalui surat terbuka ini. Tidak perlu lagi kami menjelaskan apa itu Aliansi Mahasiswa Papua dan apa tujuan perjuangan AMP. Karena AMP sudah tidak asing lagi di telinga Bapak, juga di seluruh rakyat Yogyakarta dan Indonesia.Melihat pernyataan di atas, Sultan sebagai gubernur sekaligus raja Jawa telah melakukan rasialisme terhadap mahasiswa Papua, lebih khusus soal konteks separatisme dalam bentuk hak menentukan nasib sendiri bagi Papua. Juga Sultan sebagai pimpinan di Jogja melakukan pengalihan isu dengan isu rasialisme sebagai jalan masuknya para pemodal-pemodal di Yogyakarta, misal Kulon Progo terkait Bandara, petani di Bantul dan pembangunan hotel-hotel di Sleman, Yogyakarta.

    Perlu kami tegaskan di sini, tentang status kami. Status kami hanya Mahasiswa, Pak, hanya mahasiswa. Toh, sekali lagi, Pak, hanya mahasiswa: Bukan separatis, sepeeti yang Bapak maksudkan. Setidaknya Bapak harus menjelaskan bentuk-bentuk separatis dan kesamaanya dengan mahasiswa. Jika Bapak memberikan diktum kepada kami sebagai separatis, sama halnya Bapak memberikan stigma (separatis) kepada rakyat Yogyakarta Kab. Kulon Progo yang memperjuangankan lahanya dari penggusuran guna pembagunan bandara Temon, Kulon Progo. Pak, sekali lagi kami hanya mahasiswa, sudah tentu tugas mahasiswa berat, Pak. Selain belajar di kampus kami juga dituntut untuk harus membantu menyelesaikan persoalan-persoalan yang dihadapi rakyat, memperjuangkan keadilan sejati dan kemerdekaan yang hakiki bagi rakyat Papua Barat yang sedang dijajah oleh kapitalisme dan pemerintahan Indonesia sebagai agennya.

    Kemudian, pernyataan Bapak tentang “aspirasi untuk menentukan nasib sendiri yang dilakukan mahasiswa Papua boleh dilakukan, asalkan tidak disampaikan kepada publik. “Kalau di asrama, silakan. Kalau disampaikan ke publik, di tempat lain sana, tidak di Jogja.” Pak, bukankah Indonesia negara demokrasi ke-III terbesar di dunia, yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Amat jauh berbeda dengan sistem kerajaan-kesultanan. jika Bapak menggunakan kekuasaan sebagai raja jawa untuk membungkam kebebasan berekspresi di muka umum sama halnya Bapak tidak mengakui NKRI sebagai negara demokrasi, demokrasi itu tidak muncul begitu saja, Pak, demokrasi direbut dan diperjuangkan, bahkan dengan pertumpahan darah. Sejarah gerakan rakyat 1998, mahasiswa dan gerakan pro-demokrasi menggulingkan rezim otoriter Soeharto yang anti dengan demokrasi, banyak korban juga yang berjatuhan dan hilang tak ditemukan.

    Bayangkan, Pak! Rakyat Papua Barat yang saat ini memperjuangkan hak-hak demokratiknya selalu saja diperhadapkan dengan moncong senjata, penangkapan, pemenjaraan, penyikasaan, terror intimidasi, sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari rakyat Papua Pengeksploitasian sumber daya alam tidak pernah berhenti, yang kemudian mengakibatkan ribuan hektar tanah rakyat Papua hilang dirampas kapitalis dan korporasi Imperialisme. Pertanyaannya, apakah kami, mahasiswa Papua yang bagian dari rakyat Papua akan tinggal diam dan membiarkan penderitaan rakyat terus terjadi? Tidak! Selama status kami masih mahasiswa, kami tidak akan pernah diam dan berhenti melihat rakyat Papua dan alam Papua dihancurkan oleh manusia bertangan besi yang rakus dan durjana.

    Pak, kami sadar bahwa kami juga manusia, sama dengan manusia lainnya, kami sadar bahwa kami juga manusia bebas yang punya hak untuk mengatur hidup di atas bumi Papua Barat. Pak, kami tidak hanya di Yogyakarta, kami ada di Solo, kami ada di Semarang, kami ada di Surabaya, kami ada di Bali, kami ada di Bandung, kami ada di Bogor, juga kami ada di pusat kota pemerintahan negara, Jakarta, dan di Papua, kami berlipat ganda. Di tempat dimana kami berada, kami akan terus memperjuangkan hak-hak demokratik rakyat Papua Barat, hingga tercapainya kemerdekaan sejati, kemerdekaan yang hakiki.

    Sekian surat ini kami buat, atas perhatian Bapak, dan demi kelancarannya aktivitas demokrasi bagi kami dan rakyat Yogyakarta, kami ucapkan salam erat!

    Colonial Land, 24 Juli 2016

     

    Pimpinan Komite Pusat
    Aliansi Mahasiswa Papua
    [KP-AMP]
     
    Jefry Wenda           Adhen Dimi
    Ketua                  Sekertaris

     

  • Franz Magnis: Peristiwa Pelanggaran HAM 1965-1966 Genosida

    Penulis: Dewasasri M Wardani 09:56 WIB | Sabtu, 23 Juli 2016

    JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Budayawan Franz Magnis Suseno mengatakan peristiwa pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia dalam kurun waktu 1965—1966, dapat digolongkan sebagai genosida.

    Sebab, kata dia, ketika itu berlangsung usaha pemusnahan terhadap golongan tertentu yang berlangsung secara terorganisasi.

    “Peristiwa itu adalah kejahatan terbesar terhadap umat manusia di dunia dalam kurun waktu lima puluh tahun terakhir,” kata pria yang akrab disapa Romo Magnis itu di Jakarta, Jumat (22/7).

    Menurut pria yang lahir di Polandia itu, kejadian pada tahun 1965–1966 yang diduga menelan korban hingga setengah juta jiwa, merupakan sesuatu yang direncanakan dan dimulai dari Jakarta.

    Dari Ibu Kota, pelanggaran HAM kemudian menyebar ke Jawa Tengah, Bali, dan wilayah lain di Indonesia.

    “Saya kira ada unsur balas dendam dalam peristiwa itu,” kata Romo Magnis.

    Tragedi 1965 merupakan salah satu pelanggaran HAM yang dijanjikan Presiden Joko Widodo akan tuntas di masa kepemimpinannya, selain kerusuhan Mei, Trisakti-Semanggi 1 dan 2, Penghilangan Paksa, Talang Sari-Lampung, Tanjung Priok, yang masuk dalam visi-misi dan program aksi berjudul Jalan Perubahan Untuk Indonesia yang Berdaulat, Mandiri dan Berkepribadian, yang berisi penjabaran dari Nawa Cita.

    Sebelumnya, Pengadilan Rakyat Internasional atau International People’s Tribunal (IPT), untuk kasus pelanggaran HAM di Indonesia pada tahun 1965 (IPT 1965) dalam keputusan akhirnya yang dikeluarkan pada Rabu (20/7), juga memvonis Indonesia telah melakukan genosida pada tahun 1965-1966, dengan maksud khusus untuk menghancurkan atau membinasakan kelompok tersebut sebagian atau keseluruhan.

    Genosida, disebut sebagai salah satu dari 10 tindakan kejahatan kemanusiaan yang dilakukan Indonesia pada tahun 1965-1966, terhadap anggota Partai Komunis Indonesia (PKI), terduga PKI, pendukung Presiden Soekarno, anggota radikal Partai Nasional Indonesia (PNI), beserta keluarga mereka.

    Sidang IPT 1965, yang dipimpin oleh Hakim Ketua Zak Yacoob yang pernah menjadi hakim di Mahkamah Konstitusi Afrika Selatan, juga menyatakan pembunuhan terhadap sekitar 400.000 hingga 500.000 orang, melanggar UU KUHP Pasal 138 dan 140 dan UU No 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.

    Selain genosida, Indonesia juga diputuskan telah melakukan hukuman penjara tanpa proses hukum terhadap sekitar 600.000 orang, perbudakan, penyiksaan dalam skala besar, penghilangan secara paksa, kekerasan seksual secara sistemik, pengasingan, propaganda tidak benar, keterlibatan negara lain seperti Amerika Serikat, Inggris, dan Australia.

    Koordinator IPT 1965 Nursyahbani Katjasungkana mengatakan, hasil akhir keputusan tersebut akan diserahkan kepada Presiden Joko Widodo, saat pertemuan dengan korban pelanggaran HAM berat seperti pernah dijanjikan Presiden melalui Juru Bicara Presiden Johan Budi. (Ant)

    Editor : Sotyati

  • Dialog Versi Presiden Bukan Tujuan Referendum

    JAYAPURA – Akademisi Universitas Cenderawasih, Panus Jingga menyatakan, seluruh rakyat di Papua mau dialog, namun dialog versi rakyat ini kadang diartikan sebagai buntut dari segala sesuatu yang tidak tercapai, sehingga kesan yang dimunculkan disebagian orang adalah dialog sama dengan referendum atau dialog merupakan satu kata kunci menuju referendum.

    Dikatakan, Presiden ke-7 RI Joko Widodo dalam kesempatan perayaan Natal di Papua sempat mengungkapkan, akan membuka ruang Dialog antara Pemerintah dengan rakyat di Papua, namun ungkapan Dialog yang sempat terlontar dari mulut Presiden bukan Dialog Jakarta – Papua seperti yang ada dalam pikiran semua orang di Papua. Hal ini mengingat Dialog Jakarta – Papua merupakan konsep Dialog yang telah digagas sebelumnya oleh Pastor Neles Tebay melalui jaringan Damai Papua.

    Menurut Panus Jingga, kita jangan salah persepsi tentang konsep Dialog yang diungkapkan Presiden Desember 2014 lalu, kalau ditelisik lebih seksama, makna Dialog yang dimaksudkan Presiden Jokowi adalah bagaimana membuka ruang komunikasi yang intens antara Pemerintah dengan rakyat di Papua dalam soal-soal pembangunan dan kemajuan di Papua, bukan Dialog untuk referendum.

    Panus mengingatkan, upaya-upaya untuk Dialog diresponi semua pihak, namun sekali lagi Dialog dibutuhkan dan harus berada dalam konsep yang jelas dan tidak keluar dari NKRI. Kelompok Jaringan Damai Papua perlu menelisik apa konsep Dialog yang diinginkan Pemerintah seperti diungkapkan Presiden, mengingat Presiden tidak pernah mengungkapkan Dialog Jakarta- Papua, Presiden hanya mengungkapkan membuka ruang Dialog.

    Jaringan Damai Papua perlu mengirim konsep ke Presiden atau ke Jakarta, Papua sebenarnya mau apa, itu dikirim ke Presiden. “ Kalau Presiden katakan itu ada unsur memisahkan diri dari NKRI, maka BIN sebagai Badan Intelijen Negara akan menghentikan proses Dialog itu,” ujar Panus Kemarin.

    Konsep Dialog akan diuji oleh BIN. Lembaga Intelijen Negera ini akan menterjemahkan konsep Dialog yang diungkapkan Presiden dengan konsep Dialog yang diinginkan rakyat Papua sebagaimana digagas oleh jaringan Damai Papua melalui koordinatornya Pastor Neles Tebay, ujar Panus.

    Diakui, memang hanya Dialoglah yang akan membuka ruang untuk menyelesaikan semua masalah di Papua, semua sektor, kalau Jaringan Damai Papua telah dibentuk sebagai sebuah Tim yang mulai membangun Dialog, maka sebaiknya Tim yang sama juga terbentuk dari Pemerintah, Pemerintah juga harus punya Tim yang mempunyai konsep Dialog, hingga kedua konsep Dialog itu disamakan, disatukan. Diingatkan juga peran BIN yang tak akan diam saja, BIN akan selalu mengikuti perkembangan dari permintaan Dialog rakyat Papua, bahkan BIN akan menilai kalau Dialog itu menganggu kestabilan Negara, BIN akan hentikan, BIN akan lihat kalau berbau referendum, otomatis tidak akan jadi.

    Lebih dari itu konsepnya akan beda saat mantan Presiden Habibie mengundang 100 Orang Papua yang disebut Tim 100 menghadap Presiden, konsep seperti itu mungkin bisa. Jaringan Damai Papua diminta untuk mulai membangun komunikasi dengan Presiden dan menyodorkan konsep Dialog mulai sekarang mengingat proses Dialog itu panjang dan sudah harus dimulai dari sekarang.

    Sementara itu, Yan Christian Warinussy Direktur Eksekutif LP3BH Manokwari kepada Bintang Papua Kamis (26/3) menuturkan, Pernyataan Presiden Jokowi tersebut tentang dialog ternyata cukup mempengaruhi perubahan total dalam aspek komunikasi politik Jakarta-Papua, dimana kata dialog yang sebelumnya sulit digunakan oleh sebagian besar pejabat negara, di pusat dan daerah, tetapi kini seringkali diucapkan dengan mudah dan tanpa halangan, bahkan diperbincangkan dalam berbagai level.

    Menurut pandangan saya selaku Advokat dan Pembela Hak Asasi Manusia (Human Right Defender/HRD) di Tanah Papua bahwa seharusnya sejak itu, (27/12/2014), Pemerintah Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat beserta segenap otoritas keamanan di daerah ini, seperti Polda dan Kodam juga mulai mempersiapkan diri dan mengkaji dialog sebagai alat penyelesaian konflik bersenjata di Tanah Papua.

    Sekiranya Gubernur Papua dan Papua Barat beserta jajaran DPR Papua dan Papua Barat maupun MRP serta MRP PB segera ikut memfasilitasi berbagai langkah hukum dan politik dalam mendorong terjadinya dialog diantara berbagai komponen masyarakat di Tanah Papua sejak sekarang ini.

    Terselenggaranya dialog diantara rakyat di Papua dan Papua Barat atau bisa disebut sebagai Dialog Internal Papua dapat difasilitasi penuh oleh pemerintah daerah di kedua provinsi tertimur di Nusantara tersebut sejak sekarang ini.

    Barangkali akan sangat baik, jika kedua Kepala Daerah Provinsi di Papua dan Papua Barat tersebut dapat meminta nasihat dan saran bahkan asistensi dari Jaringan Damai Papua (JDP) beserta Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) sebagai inisiator dan sekaligus fasilitator dialog Papua – Jakarta atau Papua – Indonesia yang masih aktif hingga dewasa ini.

    Dialog seharusnya kini menjadi kata kunci dan dapat didorong untuk dimasukkan dalam perencanaan pembangunan dan pemerintahan dan terutama dalam konsep penyelesaian konflik sosial-politik di Tanah Papua untuk Membangun Perdamaian Bersama.

    Tujuan pencapaian Papua Sebagai Tanah Damai (PTD) seharusnya tidak menjadi slogan kosong, tapi merupakan sebuah tujuan luhur dari semua komponen pemerintah lokal/daerah, insitusi keamanan (TNI/POLRI) maupun masyarakat adat/sipil dan kelompok masyarakat sipil pendukung Papua Merdeka ke depan. (ven/sera/don/l03)

    Source: BinPa, Jum’at, 27 Maret 2015 01:59

  • Awas! Gubernur Papua terindikasi Mengidap Penyakit “Lupa!”

    Gubernur Papua Lukas Enembe bersama Isteri didampingi Delegasi MSP (BintangPapua.com)
    Gubernur Papua Lukas Enembe bersama Isteri didampingi Delegasi MSP (BintangPapua.com)

    Menanggapi ajakan Gubernur Papua, Lukas Enembe sebagaimana dilansir TabloidJubi.com 13, Januari 2014, “TERKAIT KEDATANGAN MSG, GUBERNUR AJAK SEMUA PIHAK LUPAKAN MASA LALU“, dan BintangPapua.com dengan berita yang sama, Tentara Revolusi West Papua menyatakan situasi Papua “Darurat!” karena gubernurnya mengidap Penyakit Sosial -Budaya yang paling dihindari manusia beradab di seluruh muka Bumi, yang telah menelan banyak korban: lelaki, perempuan, kecil, besar, tua, muda: Penyakit Lupa.

    Lewat telepon langsung yang diterima PMNews, TRWP menyatakan, “Gubernur Papua harus dibedah di Gereja atau di Rumah Adat karena sekarang di Indonesia tidak ada rumah sakit seperti ini. Karena kalau lama-lama, ia bisa meningkat ke kategori “penyakit jiwa”.

    Menurut pesan langsung ini, TRWP menyatakan bahwa penyakit mematikan yang diderita Gubernur selama ini sudah kelihatan gejalanya tetapi kami belum berani mengambil kesimpulan, “penyakitnya apa?” Nah, sekarang ini sudah dengan terbuka diakui oleh sang Gubernur sendiri.

    Masih menurut pesan langsung ini,

    “Sekarang orang Papua sementara tidur dan bangun pikir baik-baik, apa akibat dari kepemimpinan seorang Gubernur yang mengidap penyakit sosial-budaya seperti ini? Ini penyakit turunan dari gubernur-gubernur sebelumnya, penyakit yang melahat dalam denyut jantung gubernur Papua. Orang Papua bersama Lukas Enembe tidak akan bangkit untuk Mandiri dan Sejahtera, kalau sudah terkena virus ini”,

    katanya.

    Selanjutnya dikatakan bahwa yang pernah melupakan masa lalu ialah manusia-manusia yang terganggu jiwanya dan rohnya terbelenggu di dalam cengkeraman penganiaya dan penjajah.

    “Gubernur lupa bahwa bangsa yang besar ialah bangsa yang tidak melupakan sejarahnya. Dan sekarang ini dia menjabat sebagai Gubernur Papua dan dia kedatangan tamu-tamu dari negara-negara Melanesia semuanya merupakan lanjutan dari sejarah masa lalu, bukan bagian dari rencana masa depan. Kalau tidak ada sejarah kelam di masa lalu, tidak mungkin orang-orang Melanesia ini datang berkunjung ke Tanah Papua.”

    Menurut TRWP, akibat dari penyakit sosial-budaya ini ialah jenis kebangkitan Papua dalam motto gubernur “Papua Bangkit” dan bentuk kemandirian dan kesejahteraan yang dimaksudkan Gubernur akan menjadi duri dan sekam di dalam dagingnya sendiri. Menurut SekJend TRWP,

    “Gubernur seharusnya tidak bicara masalah-masalah politik dan HAM. Gubernur punya tugas melayani para tamu, berterimakasih kepada mereka dan memberikan pernyataan-pernyataan terkait dengan mottonya Papua Bangkit untuk Mandiri dan Sejahtera, bukan bicara tentang HAM dan sejarah Papua. Ia jelas terintimidasi, penyakit turunan masih mengidap setiap gubernur yang diangkat dan bertahta di Dok 2 Jayapura. Atau apakah yang dia maksudkan Papua Bangkit untuk Mandiri dan Sejahtera dengan cara melupakan sejarah? Kalau begitu, Gubernur harus masuk ruang Gawat-Darurat Penyakit Sosial-Budaya.”

    kata Sekjend TRWP, Lt. Gen. Amunggut Tabi. Menurut Tabi bangsa yang memenuhi syarat untuk dijajah ialah bangsa yang selalu melupakan masa lalunya. Bangsa yang selalu melupakan masa lalunya ialah bangsa yang terus-menerus dijajah. Tidak pernah ada bangsa tertindas dan terjajah di dunia ini yang melupakan masa lalunya lalu pernah bangkit untuk mandiri dan sejahtera.

    “Bagaimana orang yang terjajah bangkit? Bagaimana sejahtera dan mandiri? dalam kondisi tertindas dan terjajah?” Ini kalimat orang pengidap penyakit lupa daratan.” Gubernur Lukas Enembe lupa juga bahwa Otsus dan Otsus Pluas, sampai dia sebagai orang pegunungan bisa menjadi Gubernur bukan karena reformasi NKRI, tetapi karena orang Papua menuntut hak menentukan nasib sendiri, yaitu karena sebagian besar orang Papua tidak mengidap penyakit sosial-budaya: Lupa Masa Lalu ini,”

    kata Amunggut Tabi dan telepon tiba-tiba terputus. PMNews berharap pesan-pesan dari TRWP akan dilanjutkan.

     

    Enhanced by Zemanta
Are you sure want to unlock this post?
Unlock left : 0
Are you sure want to cancel subscription?