Tag: lintas batas

  • Nasib Pejuang Integrasi Papua Dilupakan

    Hujan emas di negeri orang, hujan batu di negeri sendiri. Ungkapan itu, mencerminkan pengalaman warga negara Indonesia asal Provinsi Papua yang melintas batas dan menetap di negara tetangga Papua Nugini (PNG). Pelintas batas itu menyebar di Port Moresby, Wewak, Madang, Lae, Buka, Rabaul, Kingga, Daru, Vanimo, dan Manus. Sebanyak 708 orang dari ribuan pelintas tahun 1984 tersebut ingin kembali ke tanah kelahirannya atas kesadaran sendiri. Mereka melintas batas, karena alasan konflik sosial politik yang mengancam kelangsungan hidup.

    Menurut Departemen Luar Negeri, pelintas batas tersebut akan kembali seusai pemilihan umum calon anggota legislatif 9 April 2009.

    Sekretaris Daerah Provinsi Papua Tedjo Soeprapto dalam rapat persiapan di Jayapura baru-baru ini mengungkapkan, pemulangan pelintas batas akan menghabiskan dana Rp 30 miliar untuk persiapan sarana dan prasarana, termasuk pembinaan. Dana berasal dari Kantor Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat. Dua kabupaten yang paling banyak menerima kepulangan pelintas batas, yakni Jayapura 119 keluarga (451 jiwa) dan Boven Digoel 22 keluarga (108 jiwa). Selain itu, Kabupaten Merauke, Puncak Jaya, Tolikara, Mimika, Biak Numfor, dan Keerom.

    Menurut Neles Tebay, pelintas batas yang pulang itu merupakan kemenangan diplomasi pemerintah. Kemenangan tersebut akan dimanfaatkan dalam diplomasi internasional. Mereka mau pulang karena Papua sudah aman dan diperlakukan mereka dengan baik. “Tetapi, kalau dana Rp 30 miliar digunakan untuk memperbaiki nasib pejuang integrasi Papua ke Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tak akan membuat pemerintah populer di luar negeri. Padahal, keutuhan NKRI disatukan oleh para pejuang,” katanya.

    Sementara, pemerintah melupakan pengorbanan pejuang integrasi, yakni Trikora, Gerakan Merah Putih, dan Dewan Musyawarah Pepera. “Pejuang yang masih hidup harus diperhatikan. Secara psikologis, yang diinginkan orang- orang Papua pejuang integrasi supaya dihormati, diingat, jasa-jasa mereka dihargai, dan dikenang. Sekalipun bantuan sosial itu tak seberapa, prinsipnya pemerintah mengakui keberadaannya sebagai pejuang dalam menegakkan keutuhan NKRI,” ujarnya.

    Mantan Wakil Ketua Gerakan Merah Putih, Joel Worumi yang dijebloskan Belanda berkali-kali ke penjara mengatakan, pelintas batas kembali ke Papua karena ini tanah kelahirannya.

    Joel mengungkapkan pihaknya kecewa atas perlakuan pemerintah yang tak adil itu. Padahal, mereka sudah mengkhianati negara. Sedangkan, pejuang integrasi yang mempertaruhkan nyawa dan darah untuk keutuhan bangsa, kehidupannya memprihatinkan.”Jangan hanya memprioritas pelintas batas yang mengkhianati keutuhan bangsa. Tolong berlaku adil juga untuk pejuang. Kalau pemerintah memperhatikan pengungsi yang kembali ke Papua dari PNG, tolong perhatikan kami juga,” katanya.

    Kesejahteraan

    Senada dengan Worumi, mantan Komisaris Gerakan Merah Putih, Jantje Numberi menegaskan, pejuang membutuhkan sentuhan kesejahteraan dan dialog kemanusiaan. “Alangkah bahagianya ketika menjelang Pemilu 2009 maupun pemilihan presiden, diharapkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wapres Jusuf Kalla berkesempatan berdialog dengan pejuang integrasi di Tanah Papua,” katanya.

    Sementara pejuang lain, Peter Wona mengatakan, mereka telah mempertahankan tetap berkibarnya bendera Merah Putih di Papua. Apakah pemerintah melupakan perjuangan masyarakat Papua? Padahal, mereka sudah memberikan segalanya bagi negara.

    “Lalu apa yang kami dapat dari negara. Untuk itu, siapa pun yang menjadi presiden, orang Papua punya hak menjadi menteri atau menduduki berbagai jabatan di pemerintah pusat dalam mengukuhkan semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Tentu yang dipilih harus orang Papua yang berkualitas,” katanya.

    Harapan pejuang integrasi dan veteran di Papua dan Papua Barat dapat diwujudkan pemerintah. Menurut Presiden Susilo Bambang Yodhoyono dalam buku Semuanya Untuk Rakyat, pemerintah sangat peduli dengan veteran pejuang Kemerdekaan RI yang telah berjuang mengusir penjajah, membela dan mempertahankan NKRI. Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai pahlawannya, termasuk dalam meneruskan cita-cita dan perjuangannya.

    Presiden Yudhoyono dalam buku itu antara lain menyatakan, pemerintah menyadari bahwa veteran lebih mengharapkan penghargaan daripada materi. Namun, pemerintah tetap memberikan tunjangan veteran yang berkisar antara Rp 470.000 sampai Rp 526.000 per bulan.

    Selain itu, diberikan jaminan kesehatan bagi veteran beserta keluarga dan pemberian dana kehormatan veteran lain. Apakah ini diberikan juga untuk veteran di Papua? Dengan demikian mereka tak merasa dibiarkan dibandingkan pelintas batas yang kembali dari PNG ke Provinsi Papua dan Papua Barat. [SP/Wolas Krenak/Robert Isidorus]

  • 708 Warga Papua Akan Pulang dari PNG

    [BANDUNG] Departemen Luar Negeri (Deplu) menanti kucuran dana dari Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat untuk memulangkan 708 orang warga negara Indonesia (WNI) dari Papua Nugini (PNG). Mereka tersebar di 10 kabupaten di PNG.

    “Sebanyak 708 dari sekitar 25.000 orang Papua di PNG ini sudah menyampaikan niatnya pulang sejak 2008 secara sukarela. Kehidupan ekonomi mereka tidak jauh berbeda dibandingkan saat masih tinggal di Papua,” kata Direktur Keamanan Diplomatik Deplu, Sujatmiko, di Bandung, Jawa Barat, Senin (12/1).

    Dikatakan, pemerintah menargetkan memulangkan mereka sebelum April 2009. Penduduk asal Papua yang bermaksud kembali ke tempat kelahirannya itu sudah tinggal antara lima hingga 20 tahun di PNG. Kebanyakan dari mereka, tinggal di daerah hutan dan perbatasan.

    Pemerintah sudah pernah memulangkan warga Papua dari negara yang sama pada tahun 2005. Jumlahnya waktu itu 250 orang lewat jalur Merauke. Untuk pemulangan kali ini, setiap warga akan dikumpulkan di Port Moresby dari 10 kabupaten di PNG. Dari sana, mereka akan diterbangkan ke Jayapura dan dipulangkan ke tempat tinggal masing-masing. [153]

  • Kepulangan 708 Warga Papua Tertunda

    BANDUNG, SENIN — Kepulangan 708 warga Papua yang menyeberang ke Papuaniugini dan kini hendak kembali ke daerah asalnya tertunda. Hingga kini keinginan mereka terkendala dana Pemerintah Indonesia untuk membiayai ongkos perjalanan.

    Menurut Direktur Keamanan Diplomatik Departemen Luar Negeri Republik Indonesia Sujatmiko di Bandung, Senin (12/1), pengajuan kepulangan mereka sebenarnya sejak tahun lalu. Namun, hingga kini, pihaknya belum menerima persetujuan dan pengucuran dana.

    “Mengenai besarannya, saya serahkan pada negara. Namun, dengan keinginan besar warga untuk pulang, kami targetkan pencairan dana turun sebelum Pemilihan Umum 2009,” katanya.

    Menurut Sujatmiko, mereka yang ingin pulang adalah bagian dari sekitar 25.000 warga Papua yang berada di sepuluh kabupaten Papuaniugini. Mereka telah tinggal di Papuaniugini antara 5 dan 25 tahun atau bahkan lebih. Mereka meninggalkan Indonesia dengan alasan ketakutan pada organisasi pengacau keamanan (OPM), ketakutan perang adat, konflik dengan pendatang, hingga motif ekonomi.

    “Mereka secara tradisional melewati perbatasan, seperti berjalan kaki. Pengawasan pertugas perbatasan tidak maksimal karena dengan batas antarnegara yang membentang 700 kilometer,” katanya.

    Akan tetapi, harapan mereka mendapatkan kehidupan lebih baik ternyata tidak tercapai. Sujatmiko mengatakan, mereka malah hidup lebih miskin. Bahkan, tidak jarang banyak warga Papua terpaksa hidup di hutan akibat kesulitan ekonomi. “Di luar semua itu, hal yang paling mendorong mereka untuk kembali adalah keadaan Papua yang saat ini dikatakan lebih aman,” katanya.

    Mengenai perkembangan kepulangan warga Papua di Australia, dari sementara target 43 orang, Deplu sudah membantu kepulangan lima warga. Adapun 38 orang lainnya, meski belum pulang, diyakini dalam waktu dekat akan kembali ke Indonesia.

    Sementara itu, di Gedung Merdeka Bandung digelar diskusi bertema “Diplomasi Untuk Papua”. Sebagai pembicara adalah Peneliti Senior Pusat Studi Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Muridan Widjojo dan Yoel Rohrohmana, Pejabat Fungsional Direktorat Amerika Utara dan Tengah Deplu, yang berasal dari Papua.

    Menurut Muridan, masih banyak hal yang harus dilakukan Indonesia untuk Papua. Pemerintah dituntut menghapuskan marjinalisasi warga Papua, menuntuaskan pembangunan di segala bida ng dasar, persoalan pelanggaran hak asasi manusia (HAM), serta sejarah kepercayaan kemerdekaan Papua.

    Penghapusan marjinalisasi, menurut Muridan, bisa dilakukan dengan memaksimalkan otonomi khusus. Di dalamnya bisa dilakukan pelatihan dan pendekatan, baik bagi pejabat pemerintah dari Papua, maupun kalangan swasta Papua.

    Pembangunan di segala bidang dasar, seperti pendidikan, kesehatan, dan akses ekonomi juga harus diperhatikan. Minimnya perhatian membuat kesejahteraan masyarakat Papua sangat rendah.

    “Untuk permasalahan HAM, pemerintah bisa mendorong Komisi Nasional HAM membuat buku putih pelanggaran. Selain itu perlu dialog intensif agar masyarakat Papua bersatu dalam Republik Indonesia,” katanya.

    Sementara itu, Yoel mengatakan, banyak pembangunan di Papua justru tidak menyentuh kebutuhan pokok masyarakat, terutama kesejahteraan sosial, ekonomi, dan keamanan. Hal itu membuat Papua semakin tertinggal. Hal itu sangat disayangkan karena potensi ekonomi dan sosial budaya di Papua sangat tinggi.

    CHE

  • Mansoben: Perbatasan RI-PNG Butuh Kearifan Lokal

    JAYAPURA (PAPOS) -Paradigma pembangunan wilayah perbatasan RI dengan Papua Nugini (PNG) saat ini adalah pembangunan yang memiliki kearifan dan berkelanjutan. Artinya, para pembuat kebijakan dan perancang pembangunan di kawasan perbatasan antar negara ini harus memahami dan memanfaatkan potensi-potensi lokal yang tersedia di tempat tersebut,meliputi sumber daya alam (SDA) dan sumber daya manusia (SDM).

    Hal ini disampaikan Dr.J.R.Mansoben MA, pengajar Universitas Cenderawasih (Uncen) ketika membawakan makalah pada Rapat Koordinasi Teknis (Rakornis) Penanganan Wilayah Perbatasan RI-PNG Tahun 2008 yang diselenggarakan Badan Perbatasan dan Kerjasama Daerah Provinsi Papua di Jayapura, Kamis (11/12).

    Mansoben menekankan pentingnya pembasahan pembangunan di wilayah perbatasan RI-PNG pada aspek potensi SDM, yaitu unsur kearifan lokal dan kaitannya dalam pemanfaatan Sumber Daya Alam (SDA).

    “Pemahaman ini menjadi landasan bagi perencanaan model pengembangan masyarakat yang tepat, terutama pada daerah perbatasan RI-PNG,” katanya.

    Penduduk yang bermukim di daerah perbatasan dapat dikelompokkan berdasarkan beberapa hal,pertama kelompok etnik, yang terdiri dari tujuh kelompok etnik.

    Berikutnya adalah wilayah pemerintahan yang tersebar dalam lima wilayah Kabupaten dan Kota yang mencakup 20 distrik. Selain itu adalah penyebaran lingkungan ekologi yang dibagi menjadi daerah dataran pantai dan daerah perbukitan.

    Disusul aktivitas ekonomi yang berkaitan dengan kondisi ekologi, yaitu menangkap ikan,berkebun, berburu dan meramu hasil hutan. Dalam penataan kehidupan bermasyarakat, Mansoben menjelaskan bahwa terdapat dua sistem kepemimpinan yang dianut, yaitu sistem kepemimpinan yang bersifat chieftainship (kepala suku) dan kepemimpinan bigmen (pria berwibawa).

    Ciri-ciri kepemimpinan chieftainship adalah pemimpin diangkat berdasarkan ascribed status atau pewarisan dari pemimpin sebelumnya. Pemimpin yang diangkat mendapat legitimasi dari ceritera mitos nenek moyang sehingga masyarakat percaya bahwa pemimpin mereka adalah titisan atau representasi dewa.

    Sedangkan kepemimpinan bigmen (pria berwibawa) adalah sistem kepemimpinan yang berdasarkan pada achievement (pencapaian) sehingga pemimpin adalah seseorang yang memiliki kualitas dan kemampuan yang termanifestasi dalam keberhasilan ekonomi, keberanian memimpin perang,mengorganisir kelompok, kearifan dan kedermawanan untuk menolong orang lain.

    Walaupun banyak perbedaan antara daerah satu dengan yang lain di wilayah perbatasan, namun ada satu kesamaan dalam aktivitas ekonomi mereka, yaitu bersifat ekonomi subsistem.

    Implikasinya adalah tujuan utama dari setiap aktivitas ekonomi ditujukan untuk memenuhi kebutuhan sendiri (keluarga) dan kepentingan sosial lain, seperti upacara adat.

    Dalam masyarakat seperti ini, unit produksi utama adalah anggota keluarga, tujuan produksi terbatas dan tidak ada spesialisasi pekerjaan dalam suatu komunitas.

    Selain itu, ketergantungan kepada SDA terutama hasil hutan dan hasil hutan bukan kayu sangat tinggi.

    Berdasarkan kondisi-kondisi tersebut, Mansoben menjelaskan bahwa kebijakan pengembangan masyarakat di sepanjang daerah perbatasan RI-PNG berbasis SDA hendaknya merupakan intervensi yang memihak kepada penduduk setempat sekaligus ramah lingkungan.

    Model pengembangan sebaiknya tidak berskala besar yang menggunakan teknologi canggih dan manajemen yang kompleks sebab masyarakat belum siap untuk terlibat di dalamnya.

    Model pengembangan yang disarankan adalah yang berskala kecil dengan penggunaan teknologi tepat guna yang cepat dan mudah dikuasi oleh masyarakat setempat.

    Model pengembangan ini dibedakan berdasarkan ekologi pantai dan dataran rendah serta untuk daerah pegunungan tinggi.

    Oleh karena program-program pengembangan yang akan dilaksanakan berasal dari luar dan belum dikenal masyarakat, maka perlu dilakukan pendampingan secara utuh tanpa terputus.

    “Agar proses pendampingan berjalan baik maka para pendamping harus dibekali dengan pemahaman tentang masyarakat dimana mereka akan melakukan tugasnya,” katanya.(ant)

    Ditulis Oleh: Ant/Papos
    Jumat, 12 Desember 2008

  • Tahun Depan 708 Pelintas Batas Kembali ke Papua

    JAYAPURA-Sebanyak 708 orang pelintas batas yang merupakan Warga Negara Indonesia (WNI) yang menyeberang ke negara tetangga Papua New Guinea (PNG) rencananya akan dipulangkan pada tahun 2009.

    Kembalinya para pelintas batas tersebut ke pangkuan NKRI menurut Kepala Badan Perbatasan Provinsi Papua, Berty Fernandes, merupakan upya yang dilakukan

    Pemprov Papua dan pemerintah pusat. “Bukan hanya pemerintah daerah, pemerintah pusat lebih berperan untuk mengembalikan pelintas batas dari negara lain,” kata Kepala Badan Perbatasan Provinsi Papua, Berty Fernandes kepada Cenderawasih Pos, Jumat (12/12).

    Dikatakan, dari berbagai informasi yang dihimpun pemerintah, jumlah pelintas batas yang berada di negara tetangga sekitar 25 ribu hingga -28 ribu orang.

    Namun sejak 1984 hingga 2005 pemerintah RI telah mengembalikannya ke Papua sekitar 15 ribu orang. “Sisanya yang belum kembali akan diupayakan agar segera bergabung dengan saudara-saudaranya yang ada disini,”jelasnya.

    Diungkapkan, meski umumnya masyarakat di Indonesia merayakan ntal bersama keluarga seperti yang terjadi di daerah-daerah lainnya yang mulai terlihat orang-orang pulang kampung, namun untuk pelintas batas masih belum ditemui adanya eksodus besar-besaran masuk ke Papua.

    Kendati begitu, Berty Fernandes tidak menepis bahwa ada beberapa orang pelintas batas yang jumlahnya sekitar 10 sampai 20 orang yang pulang ke Papua mulai awal Desember ini. “Perayaan Natal ini belum ada lonjakan, kalau pun ada jumlahnya tidak lebih dari 20 orang,”terangnya.

    Untuk masalah pelintas batas, agar tidak menjadi masalah, baik itu masalah kepulangan maupun penanganannya, menurutnya kedepan pemerintah daerah bersama pemerintah pusat akan mensinkronkan hal-hal yang berkaitan dengan para pelintas batas khususnya di wilayah RI-PNG.

    Diharapkan, kepulangan para pelintas batas ke wilayah RI bukan menjadi beban pembangunan pada daerah yang didatanginya, melainkan kepulangan mereka dapat memagari integritas nasional, meningkatkan pertumbuhan ekonomi bahkan meningkatkan citra bangsa.(api)

  • Garis Perbatasan Papua

    MAGELANG (PAPOS) -Kepala Staf TNI Angkatan Darat Jenderal TNI Agustadi Sasongko Purnomo mengatakan, tidak semua garis perbatasan antara Papua dengan PNG ditempatkan pasukan pengamanan baik TNI maupun Polri karena jumlah personel yang relatif terbatas. Penegasan itu disampaikan, Jumat (12/12) kemarin, usai memimpin Penutupan Pendidikan Taruna Tingkat III Akademi Militer di Lembah Gunung Tidar Kota Magelang, Jawa Tengah.

    Pasukan pengamanan perbatasan, katanya, berada di berbagai tempat yang dinilai rawan terhagap gangguan keamanan. Kendati ia tidak menyebut secara jelas daerah-daerah yang relatif rawan di perbatasan antara kedua negara itu.

    “Namanya Papua itu dari ujung utara ke selatan lebih kurang seribu kilometer, pasukan kita hanya terbatas, sehingga ditempatkan di tempat rawan, di samping itu juga transportasi atau jalan yang terbatas, antarkecamatan juga pakai pesawat. Ini perlu dimaklumi sehingga tentara kita bersama Polri hanya menjaga tempat-tempat yang strategis, yang cukup rawan,” katanya.

    Pada kesempatan itu Agustadi juga mengatakan, pintu perbatasan antara Papua (Indonesia) dengan Papua New Guine (PNG) dibuka setiap hari. “Perbatasan dengan PNG memang setiap hari dibuka,” jelasnya.

    Setiap hari, katanya, orang dari PNG bisa belanja ke Jayapura asalkan memiliki Kartu Pelintas Batas. Apalagi, katanya, setiap hari Sabtu dan Minggu, di Wutung yang juga salah satu kawasan perbatasan antara Papua dengan PNG, dibuka pasar bagi masyarakat setempat.

    “Kalau hari Sabtu dan Minggu, di perbatasan, di Wutung, itu ada pasar yang kita gelar, kita peruntukkan anggota yang ada di situ dan untuk PNG yang ingin belanja,” katanya.

    Kemungkinan, katanya, harga berbagai barang kebutuhan di Pasar Wutung relatif lebih murah ketimbang di PNG. “Bebas mereka masuk yang penting ada Kartu Pelintas Batas,” katanya.(ant/nas)

    Ditulis Oleh: Ant/Papos
    Sabtu, 13 Desember 2008

  • Garis Perbatasan Papua–PNG Tidak Semua Dijaga Pasukan

    MAGELANG (PAPOS) -Kepala Staf TNI Angkatan Darat Jenderal TNI Agustadi Sasongko Purnomo mengatakan, tidak semua garis perbatasan antara Papua dengan PNG ditempatkan pasukan pengamanan baik TNI maupun Polri karena jumlah personel yang relatif terbatas. Penegasan itu disampaikan, Jumat (12/12) kemarin, usai memimpin Penutupan Pendidikan Taruna Tingkat III Akademi Militer di Lembah Gunung Tidar Kota Magelang, Jawa Tengah.

    Pasukan pengamanan perbatasan, katanya, berada di berbagai tempat yang dinilai rawan terhagap gangguan keamanan. Kendati ia tidak menyebut secara jelas daerah-daerah yang relatif rawan di perbatasan antara kedua negara itu.

    “Namanya Papua itu dari ujung utara ke selatan lebih kurang seribu kilometer, pasukan kita hanya terbatas, sehingga ditempatkan di tempat rawan, di samping itu juga transportasi atau jalan yang terbatas, antarkecamatan juga pakai pesawat. Ini perlu dimaklumi sehingga tentara kita bersama Polri hanya menjaga tempat-tempat yang strategis, yang cukup rawan,” katanya.

    Pada kesempatan itu Agustadi juga mengatakan, pintu perbatasan antara Papua (Indonesia) dengan Papua New Guine (PNG) dibuka setiap hari. “Perbatasan dengan PNG memang setiap hari dibuka,” jelasnya.

    Setiap hari, katanya, orang dari PNG bisa belanja ke Jayapura asalkan memiliki Kartu Pelintas Batas. Apalagi, katanya, setiap hari Sabtu dan Minggu, di Wutung yang juga salah satu kawasan perbatasan antara Papua dengan PNG, dibuka pasar bagi masyarakat setempat.

    “Kalau hari Sabtu dan Minggu, di perbatasan, di Wutung, itu ada pasar yang kita gelar, kita peruntukkan anggota yang ada di situ dan untuk PNG yang ingin belanja,” katanya.

    Kemungkinan, katanya, harga berbagai barang kebutuhan di Pasar Wutung relatif lebih murah ketimbang di PNG. “Bebas mereka masuk yang penting ada Kartu Pelintas Batas,” katanya.(ant/nas)

    Ditulis Oleh: Ant/Papos
    Sabtu, 13 Desember 2008

  • Warga Boven Digoel di PNG Minta Pulang

    JAKARTA (PAPOS) -Jumlah total warga negara Indonesia (WNI) asal Kabupaten Boven Digoel, Papua, yang berada di beberapa lokasi di negara tetangga Papua New Guinea (PNG) terus meningkat hingga sekitar 25 ribu jiwa. “Itu perkiraan sementara yang saya dapat dari beberapa rekan di sejumlah instansi pemerintah PNG dan dikompilasikan dengan catatan di KBRI di Port Moresby,” kata Bupati Boven Digoel Yusak Yaluwo seperti dilansir Koran ini dari ANTARA, tadi malam.

    Bupati Boven Digoel mengungkapkan hal itu sehubungan dengan adanya keinginan sebagian besar WNI itu kembali ke tanah air, setelah mereka menyaksikan pembangunan berlangsung pesat di kabupaten Boven Digoel.

    “Saya yakin kebutuhan mereka untuk menyekolahkan anak, mendapatkan fasilitas kesehatan dan kebutuhan pokok, merupakan hal yang mendorong mereka mau kembali ke Indonesia,” kata Yusak Yaluwo, yang dua pekan silam bersama sejumlah bupati di wilayah perbatasan RI-PNG ke Port Moresby, ibukota PNG, guna memenuhi undangan Pemerintah PNG.

    Yusak mengakui bahwa data resmi yang dimilikinya menyebut ada sekitar 8 ribu orang asal kabupaten pemekaran dari Kabupaten Merauke tersebut yang pergi ke PNG sejak pertengahan 1980-an.

    “Kalau memang angkanya membengkak jadi sekitar 25 ribu-an, itu berarti karena beberapa faktor, seperti kawin mawin dan melahirkan keturunan,” ungkap Yusak Yaluwo, bupati pertama yang memimpin Boven Digoel sejak tiga tahun silam itu.

    WNI asal Boven Digoel yang ada di PNG, sebagian besar berasal dari Suku Muyu, karena memang mereka memiliki kerabat se-kultur di negara tetangga tersebut.

    Kabupaten Boven Digoel merupakan pemekaran dari Kabupaten Merauke pada 2003. Kabupaten itu terdiri atas tiga suku besar, yakni Wambon, Muyu serta Auyu.

    Dimasa lalu, Kabupaten Boven Digoel dengan ibukotanya Tanah Merah itu merupakan lokasi “kamp konsentrasi” bagi para tahanan politik di masa pra kemerdekaan RI. Banyak pejuang nasionalis yang dibuang ke sana oleh pemerintah kolonial Belanda, antara lain Bung Karno dan Bung Hatta.(ant)

    Ditulis Oleh: Ant/Papos
    Senin, 24 November 2008

  • Yunus Wanggai Tiba Di Bandara Soetta

    JAYAPURA (PAPOS) -Yunus Wanggai peminta suaka ke Pemerintah Australia, tiba di Bandara Internasional Seokarno-Hatta (SOETTA), pada Sabtu (29/11) sekitar pukul 16.15 WIB.
    Yunus Wanggai tiba di Indonesia menggunakan pesawat Garuda nomor penerbangan GA-409 tujuan Denpasar – Jakarta bersama anak perempuannya bernama Anike Wanggai. Sebelumnya, Yunus Wanggai bersama 42 orang warga Papua lainnya yang mencari suaka politik kepada Pemerintah Australia pada tahun 2006 lalu.

    Para pencari suaka tersebut melakukan perjalanan menggunakan mesin perahu mulai dari Jayapura menuju Serui, Kabupaten Yapen di sebuah Pulau Cendrawasih, Papua.

    Kemudian warga Papua tersebut melanjutkan perjalanan menuju Pulau Kamaan di Kabupaten Merauke dan berhasil menyeberang ke Australia.

    Saat tiba di bandara terbesar di Indonesia, Yunus Wanggai menggunakan topi merah, jaket abu, celana jeans warna biru muda, sedangkan Anike mengenakan baju pink dan membawa boneka koala berwarna putih-abu.

    Kepada Papua Pos Yunus Wanggai(38) melalui telefon selularnya, tadi malam, mengatakan keinginan Yunus bersama anaknya Anike Wainggai (6) kembali ke Indonesia mendapat tantangan keras dari Herman Wainggai, karena sebelum dirinya bertolak ke Indonesia Yunus sempat bertengkar dengan Herman.

    Bertengkarnya Yunus dengan Herman karena keinginan Yunus balik ke Indonesia tidak disetujui dan dihalang-halangi Herman, dan juga uang Yunus tidak diganti oleh Herman atas janji yang diberikan kepada Yunus, sehingga mereka bertengkar.

    Dikatakan, ketika Yunus melapor ke Kedutaan Besar Republik Indonesia di Canberra Australia, dirinya langsung diantar oleh Duta Besar Indonesia di Canberra, Hamzah Tayeb hingga ke Bandara Sidney.

    Dalam perjalanan dari Australia ke Indonesia, Yunus dan anaknya Anike didampingi Konselor Politik KBRI, Dupito Hutagalung dan Sekretaris KBRI, Saut Situmorang. Setibanya di Bandara Soekarno-Hatta Jakarta Sabtu (29/11) kemarin, Yunus dan anaknya dijemput Direktur Perlindungan Warga Negara Indonesia Departemen Luar Negeri, Tegus Wardoyo dan Humas Deplu, Djujur Hutagalung.

    Pulang kampungnya Yunus Wanggai kembali ke Indonesia karena ingat keluarganya di Serui, Kabupaten Yapen, Papua.

    “Saya ingin kembali hidup bersama keluarga di Papua,” kata Yunus Wanggai, saat tiba di Terminal kedatangan 2-F, Bandara Internasional Soekarno-Hatta, Sabtu (29/11).

    Yunus Wanggai dan anak perempuannya, Anika Wanggai kembali ke Indonesia setelah mencari suaka politik di Australia selama tiga tahun sejak tahun 2006 lalu.

    Yunus bersama 42 orang warga Papua lainnya melakukan perjalanan menggunakan perahu mesin mulai dari Jayapura menuju Serui, Kabupaten Yapen di sebuah Pulau Cendrawasih, Papua.

    Kemudian warga Papua tersebut melanjutkan perjalanan menuju Pulau Kamaan di Kabupaten Merauke dan berhasil menyeberang ke Australia. Yunus mengatakan, kedatangannya kembali ke Indonesia tidak ada paksaan dari pihak manapun. Dia hanya berharap dapat berkumpul kembali bersama keluarganya.

    Yunus yang mengenakan topi merah, menuturkan, selama tinggal di Negeri Kangguru, dirinya diperlakukan baik oleh pemerintah Australia.

    Namun dia merasa tidak betah hidup di Australia karena lingkungan seperti cuaca dan menu makanannya tidak cocok dengan di Papua.

    Setelah pulang ke Papua, Yunus akan kembali menjalani profesi sebelumnya sebagai nelayan penangkap ikan di perairan Serui dan kumpul bersama keluarga.

    Disinggung alasan meninggalkan Indonesia, Yunus enggan memberikan komentarnya. Selain itu, suami dari Siti Farida tersebut tidak mau menuturkan kondisi warga Papua lainnya yang masih berada di Australia.

    Sementara itu, Staf KBRI di Australia, Dupito Darma Simamora menuturkan, sebelumnya Yunus mendatangi kantor KBRI di Australia menyampaikan keinginannya untuk kembali ke Indonesia.

    “Sebagai Warga Negara Indonesia, kami wajib memberikan perlindungan dan melayani keinginannya untuk kembali ke Indonesia,” kata Dupito.(islami/dhany/ant)

    Ditulis Oleh: Islami/Dhany/Papua Pos
    Senin, 01 Desember 2008

  • Dari Radio New Zealand Internasional: Australia – Ada Keprihatinan Dua Pencari Suaka Asal Papua diperkirakan Diculik Intelijen NKRI

    Dari Radio New Zealand Internasional: Australia – Ada Keprihatinan Dua Pencari Suaka Asal Papua diperkirakan Diculik Intelijen NKRI dan aparat Australia disangka Mengetahuinya tetapi merahasiakannya karena dimintakan oleh operasi intelijen NKRI.

    Pada 18 November 2008, pengacara Yunus Wainggai dan anaknya Anike yang sementara itu menunggu kedatangan sang Isteri-Ibunda, Siti Wainggai lewat Vanuatu setelah melarikan diri karena selalu diteror NKRI di Papua Barat, dinyatakan hilang di Australia, tanpa diketahui West Papua Australia Association.

    Kedatangan sang Isteri-Ibu-pun tidak ada kejelasan, apalagi kedua orang yang menunggupun dinyatakan hilang, tidak diketahui mereka berada di mana.

    Pemerintah Indonesia membantah bahwa mereka telah menculik dan sedang menyembunyikan kedua orang Papua yang melarikan diri ke Australia dan mencari suaka itu.

    Demikian Radio New Zealand Internasional.

Are you sure want to unlock this post?
Unlock left : 0
Are you sure want to cancel subscription?